• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, asetaminofen/parasetamol merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Jika perlu, COX 2 inhibitor lebih diutamakan untuk menghindari efek gastrointestinal, dan pemberian aspirin bersama PPI (Proton Pump Inhibitor) untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. Penggunaan OAINS (Obat Anti-infl amasi Nonsteroid) sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. OAINS harus dihindari pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman, tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, dan antidepresan golongan SNRI (Serotonin Norepinephrin Reuptake Inhibitor).

Kata kunci: Nyeri, lanjut usia, penatalaksanaan farmakologis

ABSTRACT

The increase of elderly population resulted in increasing problem of pain connected to degenerative diseases and disabilities. The use of analgetics among elderly needs special consideration. Acetaminophen/paracetamol is still the fi rst choice for musculoskeletal pain with dose and side eff ect monitoring. COX2 inhibitor is preferred to avoid gastrointestinal eff ect, and aspirin in combination with PPI is used to minimize cardiovascular risk. NSAID (Nonsteroidal Anti-infl ammatory Drug) use is limited as much as possible, because it is associated with gastrointestinal side eff ects and increased risk of cardiovascular disorders. NSAID should be avoided in renal insuffi ciency. Opioid is relatively safe but needs monitoring of side eff ect. Adjuvant analgesics that can be considered are anticonvulsants: gabapentin and pregabalin, and SNRI antidepressant.Jimmy Barus. Pharmacological Management of Pain in the Elderly.

Keywords: Pain, elderly, pharmacological management

Alamat korespondensi email: jimmybarusmd@yahoo.com

Akreditasi PB IDI–3 SKP

Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri

pada Lanjut Usia

Jimmy Barus

Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN

Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini. Dokter umum sebagai tenaga pelayanan kesehatan lini pertama mendapat tantangan cukup signifi kan terkait penatalaksanaan nyeri pada lansia.1 Prevalensi kasus nyeri terutama nyeri persisten (kronis) pada lansia berkisar antara 25 – 80%. Prevalensi nyeri pada lansia di komunitas adalah 25 – 50%, sementara yang berada di sarana perawatan khusus 45 – 80%.2

Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok kasus nyeri yang paling sering dialami oleh kelompok lansia di komunitas. Osteoartritis,

penyakit degeneratif diskus, osteoporosis dan fraktur, serta gout merupakan kasus nyeri muskuloskeletal yang sering terjadi; kelompok kasus lainnya berupa sindrom nyeri neuropatik, seperti neuropati diabetika, neuralgia pasca-herpes, neuralgia trigeminal, nyeri sentral pasca-stroke, dan nyeri radikuler akibat penyakit degeneratif tulang belakang. Selain itu, kasus reumatologik seperti arthritis rheumatoid, polimialgia reumatika, dan fi bromialgia sering juga dikeluhkan.2

Sebelum menentukan tatalaksana yang tepat, assessment yang komprehensif harus dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri, termasuk anamnesis, pemeriksaan fi sik adekuat, pemeriksaan penunjang relevan perlu dilakukan sebelum menentukan

pe-natalaksanaan yang paling tepat. Riwayat penyakit penyerta, seperti gangguan hati, ginjal, faktor risiko vaskuler, status fi sik dan mental, penting diperhatikan karena akan sangat berkaitan dengan pilihan analgetik. Makalah ini akan menitikberatkan mengenai pembahasan penatalaksanaan nyeri pada lansia dari segi farmakologis.

Perubahan Fisiologis pada Lansia yang Mempengaruhi Pilihan Terapi Obat

Secara fi siologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan. Hal ini penting dipertimbangkan sebelum me-nentukan pengobatan farmakologis yang tepat. Perubahan fi siologis pada lansia yang dapat mempengaruhi pilihan terapi obat dapat dilihat pada tabel 1.3

(2)

Pertimbangan Pemilihan Analgetik pada Lansia

Prinsip penanganan nyeri adalah meng-identifi kasi dan mengeliminasi kausa yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dll. Hal ini tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan masuk akal yang biasa dilakukan oleh klinisi adalah menangani keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri. Meskipun nyeri tidak dapat dihilang-kan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan dengan penilaian yang teliti tanpa melupa-kan evaluasi respons terapi.

Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada umumnya, sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi farmakologis tetap memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri pada lansia. Penting untuk diingat bahwa pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi Tabel 1. Perubahan fi siologis pada lansia3

Fungsi Fisiologis Perubahan Sejalan

dengan Proses Penuaan Konsekuensi Klinis Fungsi Absorbsi dan

Traktus Gastrointestinal

• Pemanjangan waktu pengosongan lambung dan penurunan fungsi peristaltik usus

• Penurunan aliran darah di saluran cerna

• Peningkatan efek samping saluran cerna terkait penggunaan obat yang dapat mengurangi gerakan peristaltik, misalnya opioid

Distribusi • Berkurangnya kandungan air tubuh • Meningkatnya proporsi lemak tubuh

yang mengakibatkan obat yang larut dalam lemak akan terakumulasi • Konsentrasi protein plasma yang lebih

rendah dan meningkatnya fraksi bebas obat yang akan cenderung berikatan dengan protein

• Berkurangnya distribusi obat yang larut dalam air

• Obat yang larut dalam lemak akan cenderung mengalami penambahan waktu paruh

• Meningkatnya potensi interaksi obat

Metabolisme Hepar • Berkurangnya aliran darah hepatik • Berkurangnya massa hepar dan jumlah

sel hepatosit yang fungsional

• Berkurangnya metabolisme obat yang efektif

• Proses oksidasi obat menurun, akibatnya waktu paruh akan meningkat

• Proses konjugasi biasanya tetap, efek individual sulit diprediksi

Ekskresi Renal • Menurunnya aliran darah renal • Menurunnya fi ltrasi glomerulus • Menurunnya sekresi tubulus

• Menurunnya ekskresi renal pada obat yang metabolitnya secara alami diekskresikan melalui renal, berakibat akumulasi dan efek memanjang

Perubahan Farmakodinamik

• Berkurangnya densitas reseptor • Meningkatnya afi nitas reseptor

• Peningkatan sensitivitas terhadap obat dan potensi efek samping

Tabel 2. Beers Criteria untuk kelas analgetik7

Obat Rasional Rekomendasi Kualitas Bukti Ilmiah Kekuatan Rekomendasi

Meperidine Bukan analgetik oral yang efektif; dapat mengakibatkan neurotoksisitas

Hindari Tinggi Kuat

OAINS non-selektif (oral) • Aspirin >325 mg • Diklofenak • Difl unisal • Etodolak • Fenoprofen • Ibuprofen • Ketoprofen • Meklofenamat • Asam mefenamat • Meloksikam • Nabumeton • Naproksen • Oksaprozin • Piroksikam • Sulindak • Tolmetin

• Meningkatkan risiko perdarahan traktus gastrointestinal dan ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi, yaitu usia >75 tahun, yang mendapat terapi kortikosteroid, antikoagulan, antiplatelet

• Penggunaan bersama PPI (proton pump inhibitor) dan misoprostol dapat menurunkan, namun tidak menghilang-kan risiko

• Perforasi, perdarahan saluran cerna atas, ulserasi terjadi pada 1% pasien yang menjalani pengobatan kontinu dalam 3-6 bulan dan 2-4% pada pengobatan 1 tahun

• Hindari penggunaan kronik, kecuali pilihan obat lain tidak efektif • Berikan agen proteksi

lambung (PPI + / misoprostol) jika harus menggunakan obat-obat ini

Moderat Kuat

Indometasin, ketorolak (termasuk parenteral)

• Meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna dan ulkus peptikum pada kelompok risiko tinggi (sda)

• Dari keseluruhan OAINS, indometasin memiliki efek samping yang paling berat

Hindari Indometasin: moderat

Ketorolak: Tinggi

Kuat

Pentazosin Analgetik opioid yang menyebabkan konfusi, halusinasi; lebih sering dibanding opioid lainnya

Hindari Rendah Kuat

Relaksan otot • Carisoprodol • Siklobenzaprin • Klorzoksazon • Metoksalon • Metokarbamol • Orphenadrin

• Kebanyakan relaksan otot tidak ditoleransi baik pada lansia, karena efek samping antikolinergik, sedasi, risiko fraktur • Dosis terapeutik efektif, mungkin tidak dapat ditolerir oleh

lansia

(3)

dosis sering tidak mengikuti ketentuan umum, karena pada umumnya lansia akan berespons berbeda dibanding populasi dewasa pada umumnya. Sedapat mungkin, pilihan analgetik didasari oleh mekanisme terjadinya nyeri. Sebagai contoh, nyeri infl amasi sebaiknya diterapi dengan anti-infl amasi dan nyeri neuropatik diterapi dengan menggunakan analgetik adjuvan. Hal ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran. Kombinasi analgetik tidak diharamkan selama perhitungan efektivitas dan efek samping di-lakukan dengan seksama. Sebagai contoh, pasien dapat diterapi dengan analgetik non-opioid, non-opioid, dan adjuvan selama memang dibutuhkan. Hindari kombinasi analgetik yang berasal dari golongan yang sama.4,5,6

Beers Criteria untuk Analgetik

Dengan mempertimbangkan perubahan fi siologis yang terjadi pada lansia, efektivitas obat sesuai bukti ilmiah, dan potensi pe-nyalahgunaannya, maka American Geriatrics Society menerbitkan Beers criteria. Beers criteria berisi obat-obatan yang berpotensi terjadi penyalahgunaan atau penggunaan tidak sesuai pada lansia, khususnya lansia di komunitas. Beers Criteria khusus untuk analgetik dapat dilihat pada tabel 2.

Tambahan Beers Criteria 2012:

• Penggunaan tramadol harus secara hati-hati, karena dapat menurunkan ambang batas kejang. Dapat diberikan jika kejang sudah terkontrol baik. Dapat juga digunakan sebagai alternatif pada pasien lansia dengan osteoartritis yang memiliki kontraindikasi ter-hadap obat anti-infl amasi nonsteroid (OAINS). • Alternatif untuk nyeri ringan dan sedang adalah kodein, asetaminofen, OAINS jangka pendek, obat topikal (kapsaisin atau OAINS), khususnya pada osteoartritis.

• Alternatif untuk nyeri sedang atau berat adalah hidrokodon atau oksikodon.

• Alternatif untuk nyeri neuropatik adalah duloksetin, venlafaksin, pregabalin, gabapentin, lidokain topikal, kapsaisin, desipramin, nortriptilin.

• Penggunaan OAINS selektif COX-2 sebaiknya dihindari pada pasien gagal jantung, karena dapat memperberat edema sehingga memperburuk keadaan.

• OAINS berhubungan dengan per-burukan derajat gagal ginjal, oleh karena itu tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.

berhubungan dengan kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food and Drugs Administration USA (FDA-USA), penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis pada lansia sebaiknya dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena efek gastrointestinal yang minimal (Argoff , 2005).

Yang dimaksud dengan analgetik adjuvan pada gambar 1 adalah obat-obat golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat dipergunakan pada nyeri persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk nyeri per-sisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 3.

Opioid pada Lansia

Penggunaan opioid untuk kasus nyeri persisten pada lansia, tidak hanya pada kasus nyeri kanker, dewasa ini semakin dapat diterima. Opioid terutama digunakan pada kasus nyeri sedang atau berat. Meskipun demikian, sediaan opioid juga dapat dipertimbangkan jika didapatkan kontraindikasi terhadap penggunaan obat lain, terutama OAINS. Adiksi pada lansia jarang terjadi. Meskipun potensi itu ada, tidak boleh dijadikan alasan kurang teratasinya nyeri pada lansia.1

Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan. Untuk nyeri sedang dan berat dapat digunakan morfi n, hidromorfon, oksikodon, bahkan fentanil. Morfi n terutama dikeluarkan melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada pasien lansia dengan gangguan fungsi ginjal. Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih

Modifi kasi WHO Step Ladder pada Lansia

Dengan mempertimbangkan perubahan fi siologis pada lansia, maka WHO Step Ladder

juga perlu disesuaikan (gambar 1).

Penggunaan WHO analgesics step ladder

pada awalnya dikhususkan untuk pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga dapat diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan perhatian khusus. Modifi kasi WHO analgesics step ladder pada lansia menunjuk-kan bahwa OAINS non-spesifi k, termasuk aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari. Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa penggunaannya sebaiknya di minimalisir karena efek samping kerusakan hati. Penggunaan asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang Tabel 3. Terapi adjuvan nyeri persisten pada lansia1,8

Golongan obat Rekomendasi

Antidepresan • Golongan trisiklik, seperti amitriptilin dan imipramin, tidak dianjurkan untuk digunakan pada lansia sehubungan dengan efek retensi urin, hipotensi postural, sedasi, glaukoma, dan aritmia • Nortriptilin, mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding antidepresan trisiklik lainnya, dapat

dipergunakan dengan pengawasan

• Golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) tidak efektif dalam penanganan nyeri persisten meskipun tolerabilitasnya lebih baik dibanding antidepresan trisiklik

• Golongan SNRI (serotonin norepinephrine reuptake inhibitor), seperti duloksetin, cukup efektif untuk nyeri persisten, dengan tingkat tolerabilitas yang lebih baik dibanding antidepresan trisiklik Antikonvulsan • Antikonvulsan untuk nyeri persisten golongan gabapentin dan pregabalin lebih ditoleransi baik

oleh lansia dibanding karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. Obat ini digunakan pada kasus nyeri neuropatik (postherpetik neuralgia, neuropati DM, dll). Gabapentin dan pregabalin juga lebih ditoleransi baik dibanding antidepresan trisiklik

• Titrasi dosis diperlukan untuk meminimalisir efek samping Analgetik topikal • Lidokain : Sediaan lidokain 5% efektif untuk neuralgia postherpetika

• OAINS : Efektif mengurangi nyeri dan menghindari efek samping sistemik • Kapsaisin : Dapat dipertimbangkan untuk kasus neuralgia postherpetika

Gambar 1. Modifi kasi WHO Analgesics Step Ladder pada penatalaksanaan nyeri pada lansia (Argoff , 2005)

Level 1 (mild to moderate pain):

Acetaminophen plus opioid [hydrocodone, oxycodone, codeine; tramadol±adjuvants, propxyophene

W H O l a d d e r ( a d a p t e d fo r t h e e l d e r l y ) Level 2 (moderate to severe pain):

Acetaminophe, aspirin, nonspecific NSAIDs, COX-2–specific NSAIDs±adjuvants

Level 3 (sever pain):

Strong opioids–morphine, hydromorphone, fentanyl, oxycodone±adjuvants

(4)

aman pada kondisi ini. Meskipun demikian, potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko jatuh, dan gangguan motilitas usus perlu dipertimbangkan setiap kali memberikan opioid pada lansia. Efek samping tersebut akan hilang bersamaan dengan timbulnya toleransi terhadap opioid, kecuali gangguan motilitas usus. Pemberian laksansia harus selalu dipertimbangkan bersamaan dengan opioid.

Obat golongan opioid yang sebaiknya dihindari pada lansia adalah:

• Propoksifen, karena efek gangguan susunan saraf pusat

• Metadon, karena efek long acting se-hingga respons pada lansia sulit diperkirakan • Meperidine, karena efek gangguan susunan saraf pusat, bahkan banyak referensi menganggapnya tidak efektif sebagai analgetik

• Penggunaan fentanil patch diutamakan pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi atau

breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan pada lansia perlu pemantauan khusus, karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan saat dilepaskan dari kulit efek terapeutiknya tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk mencapai efek terapeutik maksimal setelah ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak dianjurkan pada pasien yang opioid naïve. • Tramadol dapat memicu kejang pada pasien epilepsi, karena menurunkan ambang batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang sudah terkontrol baik.9

Obat Anti-Infl amasi Non-Steroid (OAINS) dan Hubungannya dengan Gangguan Kardiovaskuler

Obat anti-infl amasi non-steroid konvensional (non-selektif ) yang menghambat siklo-oksigenase (COX) 1 dan 2, seperti ibuprofen, diklofenak, mefenamat, diketahui mempunyai efek samping gangguan gastrointestinal. Hal ini terutama dimediasi oleh efek terhadap COX 1. Untuk itu, dikembangkanlah OAINS yang selektif menghambat COX 2 dengan harapan tidak mengakibatkan gangguan gastrointestinal. Tetapi dalam perjalanannya, banyak penelitian telah membuktikan bahwa OAINS non-selektif maupun selektif dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hal ini telah terbukti sejalan dengan penarikan rofekoksib dari peredaran, karena berkaitan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler.

Inhibitor COX 2 selektif dan OAINS non-selektif menghambat produksi prostasiklin dalam derajat yang sama. Prostasiklin adalah zat vaskuloprotektif yang secara fi siologis menghambat agregasi platelet dan proses aterogenesis. Aspirin berperan dalam proteksi terhadap gangguan kardiovaskuler dengan cara menghambat COX 1 di platelet

secara ireversibel. Meskipun OAINS non-selektif juga menghambat COX 1, tetapi tampaknya tidak cukup untuk memberikan efek yang sama bila dibanding dengan aspirin. Kecuali naproksen, sebagian besar OAINS non-selektif dianggap berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. Risiko ini dapat dikurangi dengan menambahkan aspirin pada pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskuler yang mendapat terapi OAINS non-selektif, tetapi efek gastrointestinalnya akan meningkat signifi kan.10 Tabel 4 menunjuk-kan potensi risiko gangguan kardiovaskuler

terkait penggunaan beberapa OAINS. Simpulannya, baik penggunaan OAINS non-selektif maupun selektif pada pasien yang mempunyai faktor risiko vaskuler dan pasien lansia harus dilakukan secara hati-hati. Rekomendasi penggunaan analgetik pada pasien yang diketahui berisiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskuler menurut

American Heart Association (AHA) dapat di-lihat pada gambar 2.

SIMPULAN

Penggunaan analgetik pada lansia perlu pertimbangan khusus. Secara umum, parasetamol tetap merupakan pilihan pertama untuk kasus nyeri muskuloskeletal dengan pemantauan dosis dan efek samping. Penggunaan OAINS sedapat mungkin dibatasi, karena berkaitan dengan efek samping gastrointestinal dan peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler. Jika perlu, diutamakan pemberian COX 2 inhibitor

Gambar 2. Rekomendasi AHA tentang penggunaan analgetik pada kasus nyeri muskuloskeletal pada pasien risiko tinggi penyakit kardiovaskuler12

Tabel 4. Risiko gangguan kardiovaskuler terkait penggunaan OAINS11

NSAID

Major Vascular Events: Rate Ratio

(95% Cl)

Pvalue

Major Coronary Events: Rate Ratio

(95% Cl) Pvalue Coxib 1,37 (1,14 - 1,66) .0009 1,76 (1,31 - 2,37) .0001 Diclofenac 1,41 (1,12 - 1,78) .0036 1,70 (1,19 - 2,41) .0032 Ibuprofen 1,44 (0,89 - 2,33) NS 2,22 (1,10 - 4,48) .0253 High-dose naproxen 0,93 (0,69 - 1,27) NS 0,84 (0,52 - 1,35) NS

(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cavalieri TA. Management of pain in older adults. JAOA 2005;105(3):S12-S17.

2. Bruckenthal P. Assessment of pain in the elderly adult. Clin Geriatr Med. 2008;24:213-36.

3. Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffi n J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.

4. Katz B. Pharmacological management of pain in older people. J Pharm Pract Res. 2007;37:63-6.

5. Strassels SA, McNicol E, Suleman R. Pharmacotherapy of pain in older adults. Clin Geriatr Med. 2008;24:275-98. 6. Gordon DB. Pain management in the elderly. J Perianesthesia Nurs. 1999;14(6):367-72.

7. The American Geriatrics Society. American geriatrics society updated beers criteria for potentially inappropriate medication use in older adults. J Am Geriatr Soc. 2012. 8. Argoff CE. Pharmacoterapeutics options in pain management. In: Chronic Pain Management in the Elderly. Supplement for Geriatrics, Advanstar Communication Inc USA; 2005

9. Ginsburg M, Silver S, Berman H. Prescribing opioids to older adults: A guide to choosing and switching among them. Geriatrics and Aging 2009;12(1):4-52.

10. British Heart Foundation. Non steroidal anti-infl ammatory drugs and cardiovascular disease [Internet]. 2007. Available from: http://www/bhf.org.uk/factfi les.

11. Jeff rey S., Risk for CVD events with NSAIDs can be predicted [Internet]. 2013 May 30. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/804976#2

12. Antman EM, Bennet JS, Daugherty A, Furberg C, Roberts H, Taubert KA. Use of nonsteroidal antiinfl ammatory drugs: An update for clinicians: A scientifi c statement from the American Heart Association. Circulation 2007;115:1634-42.

untuk menghindari efek gastrointestinal, dan aspirin bersama PPI untuk mengurangi risiko kardiovaskuler. OAINS harus dihindari

pada gangguan ginjal. Opioid secara umum dianggap lebih aman tetapi efek samping harus tetap diperhatikan. Analgetik adjuvan

yang dianjurkan adalah antikonvulsan golongan gabapentin dan pregabalin, serta antidepresan golongan SNRI.

Referensi

Dokumen terkait

Para stakeholder yang terkait dantaranya operator, regulator yakni BPTJ Kemenhub, PT Transportasi Jakarta, PT Kereta Commuter Jabodetabek, Kementrian Kominfo dan Bank

Parameter formal adalah : Parameter yang dideklarasikan di dalam bagian header prosedur itu sendiri.... Parameter actual dan

variabel dan konstanta dalam model regresi logistik ini memiliki nilai signifikan kurang dari 0,05 (p<0,05) maka hal ini berarti bahwa ada hubungan antara pola asuh

Celaan Terhadap Sikap Bermewah-Mewahan. Indonesia –

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. © Adjie Ginanjar 2016 Universitas

Menurut Sigmund Freud adanya gangguan tugas pekembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan takut,

Pada analisis deskriptif, data yang berskala kategorial seperti jenis kelamin, kategori derajat keparahan gagal ginjal kronik dan sebagainya akan dinyatakan sebagai

makan lainnya yang menyediakan makanan cepat saji seperti mi instan, bakso,. gorengan, snack, burger, martabak, pecel, yang banyak ditemukan