• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO DENGAN TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA KARYA SLAMET MULJANA PENDEKATAN HISTORIS Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjan"

Copied!
296
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH

DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

DENGAN

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA SLAMET MULJANA

PENDEKATAN HISTORIS

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Athalia Wika Ningtyas

NIM : 054114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH

DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

DENGAN

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA SLAMET MULJANA

PENDEKATAN HISTORIS

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Athalia Wika Ningtyas

NIM : 054114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

TUGAS AKHIR

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH

DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

DENGAN

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA SLAMET MULJANA

PENDEKATAN HISTORIS

Oleh

Athalia Wika Ningtyas

054114023

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Drs. B. Rahmanto, M.Hum. tanggal, 6 Desember 2010

Pembimbing II

(4)

TUGAS AKHIR

PENYIMPANGAN PERISTIWA SEJARAH

DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

DENGAN

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA SLAMET MULJANA

PENDEKATAN HISTORIS

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Athalia Wika Ningtyas

NIM: 054114023

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 24 Januari 2011

dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Drs. Heri Antono, M.Hum. ……….

Sekretaris : S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ……….

Anggota : 1. Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum. ……….

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ……….

3. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. ……….

Yogyakarta, 28 Februari 2011 Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma

(5)

JANGAN MELIHAT MASA LAMPAU

DENGAN PENYESALAN,

JANGAN MELIHAT MASA DEPAN

DENGAN KETAKUTAN,

NAMUN, LIHATLAH MASA

SEKARANG DENGAN

(6)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan sebenarnya, bahwa tugas akhir atau skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 November 2010 Penulis

(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama :Athalia Wika Ningtyas

NIM :054114023

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Penyimpangan Peristiwa Sejarah dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko

dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana Pendekatan

Historis, beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 30 November 2010 Yang menyatakan,

(9)

ABSTRAK

Ningtyas, Athalia Wika. 2011. “Penyimpangan Peristiwa Sejarah dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana: Pendekatan Historis.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang penyimpangan alur sejarah dalam novelKen Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, sebuah tinjauan pendekatan historis sastra. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan unsur alur dalam novel

Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, kemudian menunjukkan dan menganalisis kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, serta menunjukkan dan mendeskripsikan penyimpangan alur sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, lalu membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagamakarya Slamet Muljana.

Penelitian ini menggunakan teori struktural yang lebih memfokuskan unsur alur. Dari analisis alur yang meliputi: tahap penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian, terdapat peristiwa sejarah yang ada dalam novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Peristiwa alur sejarah tersebut kemudian dikomparatifkan dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Pendekatan historis dengan buku sejarah tersebut sangat berperan penting dalam mengangkat topik skripsi ini, khususnya pada analisis bab ketiga, yakni pada kisah Ken Arok sampai Kertanagara.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data, yang meliputi metode data komparatif dan metode analisis isi. Kemudian pada metode penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis sebagai bahan kajiannya. Dalam penelitian ini, metode analisis data komparatif lebih digunakan untuk membandingkan alur peristiwa sejarah dengan sebuah novel sejarah. Perbandingan antara novel Ken Arok Banjir Darah di Tumapel dengan buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama akan diulas secara lebih mendetail. Pada metode analisis isi, penulis mengkaji isi teks sastra tanpa melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari teks sastra tersebut. Pada metode penyajian hasil analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yang lebih menekankan pada pendeskripsian fakta-fakta yang disusul dengan analisis.

(10)

pengisahannya tercantum pada kitab, pupuh, kidung, dan juga prasasti-prasasti, seperti kitab Pararaton, pupuh Nagarakretagama, kidung Panji Wijayakrama, kidung

Harsawijaya, prasastiMula-Malurung, prasastiMaribong, prasastiPakis Wetan, prasasti

(11)

ABSTRACT

Ningtyas, Athalia Wika. 2011. “The Deviation of Historical Event in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama: Letter Historical Approach.” Minithesis of Strata-1 (S-1). Yogyakarta: Study Program of Indonesian Letter, Department of Indonesian Letter, Faculty of Letter, Sanata Dharma University.

This research studied on the deviation of Historical Plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama, a letter historical approach. The purpose of this research was to analyze and describe the element of plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, and the represent and analyze the story of Ken Arok to Kertanagara in Slamet Muljana’s book Tafsir Sejarah Nagarakretagama, and represent and describe the existing deviation of historical plot in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, and then compare it to Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama.

This research used structural theory of which more focused on the element of plot. From the plot analysis including: conditioning step, conflict emerging, conflict increase, climax, and solution, there was historical incident in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. The incident of historical plot was then compared to Slamet Muljana’s Tafsir Sejarah Nagarakretagama. The historical approach has important role in emphasize the topic of this minithesis, in particularly in the analysis of chapter three, i.e. in the story of Ken Arok to Kertanagara in book Tafsir Sejarah Nagarakretagamawhich will be studied by the historical approach.

The method used in this research was method of data analysis, including analysis of comparative data and method of content analysis. Then in the representing method of data analysis, the author used comparative analytical method as its studying material. In this research, method of comparative data analysis is preferred to use for comparing the plot of historical incident by a historical novel, as will be discussed later in the chapter four, that the comparison between novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel and book

Tafsir Sejarah Nagarakretagama will be reviewed in detail. In this method of content analysis, the author studied the content of letter text without knowing the content of communication (the message accepted by readers) of the letter text. Finally, in the method of representation of result of data analysis, the author used descriptive analytical method, of which emphasized on the description of facts followed by analysis.

The result research were following: (1) The plot in Gamal Komandoko’s novel

(12)

strophe Nagarakretagama, ballad Panji Wijayakrama, ballad Harsawijaya, epigraph

Mula-Malurung, epigraph Maribong, epigraph Pakis Wetan, epigraph Penampihan, treaty Amoghapasa, and theatyPadang Arca. The entire contens will be showed by the author appropriately to the data gained by Slamet Muljana, which has been written by him in the book Tafsir Sejarah Nagarakretagama. (3) The deviation of historical plot more emphasizes on some deviating plots in Gamal Komandoko’s novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. These deviations of plot are 32 plots, includes: (1) awareness of Kretajaya to Arya Pulung; (2) revenge of Arya Pulung to Kretajaya; (3) condition of Tumapel under the governance of Tunggul Ametung; (4) characterization of Resi Agung Sri Yogiswara Girinata; (5) marriage of Ken Endok with Resi Agung Girinata; (6) Gajah Para is not Ken Endok’s husband; (7) the beginning of love emergence (Ken Endok’s feelings to Gajah Para); (8) the entanglement of forbidden love (between Ken Endok and Gajah Para); (9) cruel incident in Pura Agung; (10) Ken Endok’s pregnancy; (11) abhorrence of Ken Endok to Gajah Para; (12) Arok is not Putera Dewa; (13) Arok is a good rogue; (14) the meeting of Arok and Umang told earlier; (15) the characterization on Gagak Inget; (16) the characterization of Nyi Prenjak and her subordinates; (17) Umang loves Arok; (18) Umang is Arok’s first wife; (19) Mpu Gandring’s cocky trait; (20) Kadiri soldiers bring disturbance in Tumapel; (21) Kebo Ijo’s treachery; (22) Mpu Gandring’s secret is revealed (23) Arok’s obedience to Tunggul Ametung; (24) the fight with gloves off Tumapel and Kadiri; (25) strange symptoms of Ken Dedes; (26) the kill of Mpu Gandring by Kebo Ijo (27) the kill of Tunggul Ametung by Kebo Ijo; (28) the resistance of Arok to substitute Tunggul Ametung; (29) Dedes is Arok’s second wife; (30) the second aggression og Kadiri; (31) Arok cares of Anusapati; (32) mystery behind Ken Arok’s death.

(13)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur dan ucapan terima kasih hamba panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi ini dengan penuh perjuangan. Penulis menyusun tugas akhir ini dengan tujuan agar dapat menyelesaikan program strata satu (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis mengakui bahwa skripsi ini tidak akan terwujud dan terlaksana tanpa bantuan, dukungan, doa, serta spiritdari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam terselesaikannya karya skripsi ini, yakni:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai pembimbing I, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, dan waktunya kepada penulis, sehingga dapat memotivasi saya dalam pembuatan serta terselesaikannya karya skripsi ini. 2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, sebagai pembimbing II, terima kasih atas

segala bimbingan, kesabaran, dan masukannya kepada saya, sehingga penulis semakin semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum, yang pernah menjadi pembimbing akademik angkatan 2005, terima kasih atas segala perhatian dan segala nasihat yang pernah ibu berikan kepada saya, serta terima kasih pula atas segala ilmu yang pernah ibu ajarkan.

(14)

5. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, terima kasih atas segala kesabaran dan kebaikan bapak, terutama ilmu yang telah diberikan ketika masa perkuliahan saya dulu.

6. Bapak Drs. F.X. Santosa, M.S, terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

7. Segenap para dosen: Pak Ari, Pak Yapi, Pak Widodo, Pak Bambang, Pak Heri Santoso, Pak Heri Mardiyanto, Pak Putu, Pak Nur, Pak Sandiwan, Pak Adisusilo, dan Almarhum Pak Arwan. Terima kasih atas segala kebaikan, serta ilmu-ilmu yang selama ini telah diberikan kepada penulis.

8. Segenap karyawan perpustakaan Sanata Dharma, terima kasih atas segala pelayanan, perhatian, dan keramahan kepada penulis, sehingga saya dapat belajar dengan tenang dan nyaman.

9. Mbak Ros dan Mas Tri, terima kasih atas segala pelayanan dan keramahan yang diberikan kepada penulis.

10. Mama dan Papaku yang paling kusayangi di dunia ini, Lia ucapkan rasa terima kasih yang tak terbatas atas segala doa, ketulusan, kasih sayang, semangat, nasihat, saran-saran, dukungan, kepercayaan, segala sarana dan prasana yang telah diberikan untukku.

11. Adikku tercinta, Dea Editha Ningtyas. Terima kasih ya dik, atas segala doa, kasih sayang, semangat, dan sudah menjadi teman curhat yang setia bagi mbk selama ini. Tetap giat belajar ya dik dan raih cita-citamu setinggi mungkin! 12. Koko Che Chen (UMY H.I 2007),Youre My Spirit Soul.. Xie-Xie… =)

(15)

14. Mikael Andri (Atmajaya Ekonomi 2006), thanks Andri. Though you’re my past tense lover, you’ll always be in my heart and my memory. Because,

however you’re my shining star. And, you are my best past lover.

15. Sahabat terbaikku, Norie Paramitha. Terima kasih atas persahabatan yang telah kita rajut. Dukunganmu, semangatmu, nasihatmu selalu membekas di hati. Terima kasih telah menjadi sandaran atas segala curahan-curahan di hatiku, walaupun Oie telah di Jakarta, namun hati kita tetap satu sahabat. 16. Teman-teman Smansaku: Indra, Bmg, Iwan, Radius, Boy, Ida Bagus Tantra,

Landara, Santika Wayan, Kompyang, Mahayoga, Gusti, Panji, Dek Adi, Komang Prima, Nyoman Aristadi, Putu Aries Pratama, Wisnu, Ova, Nadya, Hez-tee, Nova, Ika, Jean, Ita, Aprini, Widhi, Titiek, Titien, Santiani, Trina, Dewi, Prami, Dian Ayu, Putu Veronica. Terima kasih atas persahabatan yang telah kita bina selama masih di SMA. Bagiku, takkan mungkin bisa terlupakan akan persahabatan indah ini. Terima kasih kawan…

17. Gusti Lanang Segara, Komang Armada dan Ketut Ariasta, terima kasih buat doa dan supportnya ya. Yakinlah, suatu saat aku akan kembali ke Bali.I Love Bali

18. Teman-teman Sastra Indonesia seluruh angkatan, terima kasih atas segala pertemanannya selama ini, terutama teman-teman angkatan 2005, terima kasih atas kebersamaannya pada masa perkuliahan dulu.

(16)

Penulis berharap, agar Tuhan Yang Maha Esa dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian, segala bentuk tulisan dan hasil penelitian di dalam karya skripsi ini merupakan tanggung jawab penulis. Penulis sangat berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan, terutama para pembaca. Terima kasih.

Yogyakarta, 30 November 2010 Penulis,

(17)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

………..… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI

………... iii

HALAMAN MOTTO

………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

……….. v

LEMBAR KEASLIAN KARYA

……… vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

... vii

ABSTRAK

……… vii

ABSTRACT

………... x

KATA PENGANTAR

………. xii

DAFTAR ISI

……… xvi

BAB I

PENDAHULUAN

………

1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 11

1.3 Tujuan Penelitian ……… 11

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 12

1.5 Tinjauan Pustaka ………. 13

1.6 Landasan Teori ……… 14

(18)

1.6.1 Analisis Struktural ……… 14

1.6.1.1 Alur ……….. 15

1.6.2 Penyimpangan ……….. 17

1.6.3 Sejarah ………. 18

1.7 Metode Penelitian ……… 19

1.7.1 Pendekatan Historis……….……….. 19

1.7.2 Metode Penelitian ………. 20

1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………. 21

1.7.4 Sumber Data ……….. 22

1.7.5 Metode dan Teknik Analisis Data ……….. 23

1.7.5.1 Metode Komparatif ………. 23

1.7.5.2 Metode Analisis Isi ……….. 25

1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ………... 26

1.8 Sistematika Penyajian ………. 27

BAB II

ANALISIS ALUR NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI

TUMAPEL KARYA GAMAL KOMANDOKO

…………...

28

2.1 Tahap Penyituasian (Situation) ... 29

2.2 Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances) ... 35

2.3 Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action) ... 48

2.4 Tahap Klimaks (Climax) ... 79

2.5 Tahap Penyelesaian (Denouement) ... 98

(19)

BAB III

KISAH KEN AROK SAMPAI KERTANAGARA DALAM

TAFSIR SEJARAH NAGARAKRETAGAMA

KARYA

SLAMET MULJANA

...

112

3.1 Ken Arok (Sang Amurwabhumi) (1222-1227 M) ... 115

3.2 Raja Anusapati (1227-1248 M) ... 128

3.3 Panji Tohjaya (1248 M) ... 131

3.4 Wisnuwardhana (1248-1268 M) ... 133

3.5 Kertanagara dan Runtuhnya Singasari (1268-1292 M) ………… 136

3.6 Rangkuman ……… 146

BAB IV

PENYIMPANGAN ALUR SEJARAH DALAM NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA

GAMAL KOMANDOKO

………

154

4.1 Kewaspadaan Kretajaya terhadap Arya Pulung ... 157

4.2 Dendam Arya Pulung terhadap Kretajaya ... 161

4.3 Keadaan Tumapel dalam Kekuasaan Tunggul Ametung ... 163

4.4 Penokohan Resi Agung Sri Yogiswara Girinata ... 168

4.5 Pernikahan Ken Endok dengan Resi Agung Girinata ... 169

4.6 Gajah Para bukanlah Suami Ken Endok ... 172

4.7 Mulai Tumbuhnya Perasaan Suka (Perasaan Ken Endok terhadap Gajah Para) ... 178

4.8 Terjalinnya Cinta Terlarang (antara Ken Endok dan Gajah Para) 181 4.9 Peristiwa Keji di Pura Agung ... 185

(20)

4.11 Kebencian Ken Endok terhadap Gajah Para ... 190

4.12 Arok bukanlah Putera Dewa ... 192

4.13 Arok Berandal yang Baik ... 194

4.14 Pertemuan Arok dan Umang Dikisahkan Lebih Awal ... 198

4.15 Penokohan tentang Gagak Inget ... 200

4.16 Penokohan Nyi Prenjak dan Anak Buahnya ... 204

4.17 Umang Mencintai Arok ... 206

4.18 Umang Istri Pertama Arok ... 209

4.19 Sifat Congkak Mpu Gandring ... 210

4.20 Prajurit Kadiri Membuat Rusuh Tumapel ... 211

4.21 Pengkhianatan Kebo Ijo ... 213

4.22 Rahasia Mpu Gandring Terungkap ... 215

4.23 Kesetiaan Arok terhadap Tunggul Ametung ... 219

4.24 Pertempuran Sengit Tumapel dengan Kadiri ... 221

4.25 Gelagat Aneh Ken Dedes ... 223

4.26 Terbunuhnya Mpu Gandring oleh Kebo Ijo ... 226

4.27 Terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo ... 230

4.28 Penolakan Arok Menggantikan Tunggul Ametung ... 232

4.29 Dedes, Istri Kedua Arok ... 235

4.30 Penyerangan Kadiri Kedua ... 236

4.31 Arok Menyayangi Anusapati ... 242

4.32 Misteri Kematian Ken Arok ... 244

4.33 Rangkuman ... 247

(21)

BAB V

PENUTUP

...

266

5.1 Kesimpulan ………. 266

5.2 Saran ………... 270

DAFTAR PUSTAKA

………..

272

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sastra merupakan ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa, sedangkan yang dimaksud “pikiran” adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Karya sastra merupakan suatu ungkapan perasaan isi hati dan pikiran pengarang, apa yang dilihat, dirasakan, bahkan dialaminya. Karya sastra juga merupakan ekspresi atau pandangan kebudayaan (Sumardjo, 1986:2).

Teeuw mengemukakan, bahwa sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengaruhkan, mengajarkan, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra(buku petunjuk arsitektur),

kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikutnya, kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra yang berarti sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah (Teeuw, 1958).

(23)

Luxemburg dkk (1984), mengemukakan beberapa pengertian tentang sastra. Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Ketiga, sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu aneka rupa bentuknya. Ada pertentangan antara yang disadari dan tidak disadari, dan sebagainya. Keempat, sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang ditemui.

Selain itu, karya sastra merupakan suatu karya yang dihasilkan melalui proses kreatif pengarang. Dalam proses ini dibutuhkan suatu kreativitas dalam diri pengarang. Kreativitas ini dapat bersumber pada imajinasi pengarang atau hasil observasi pengarang terhadap realitas yang dihadapinya. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo (1979:65) yang mengatakan karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Sardjono (1992:10) menambahkan bahwa novel sebagai salah satu genre

sastra yang merupakan produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, dan filsafat yang bertolak dari pengungkapan kembali fenomena kehidupan.

(24)

peristiwa sejarah itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

(25)

Novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko, menghadirkan sepak terjang seorang tokoh sejarah yang sangat fenomenal di negeri ini. Dialah Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari. Kisahnya dimulai dari kelahirannya sebagai bayi buangan. Pergulatan batin pun terjadi pada diri Ken Endok (ibu kandung Arok), saat membuangnya ketika masih bayi. Arok merupakan titisan Dewa Brahma, bahwa dari mulutnya memancarkan cahaya terang melebihi terangnya lampu. Ki Lembong menemukan bayi tersebut di sebuah kuburan anak-anak. Setelah Arok tumbuh dewasa, pekerjaannya hanya bermain judi sehingga harta milik Ki Lembong habis terpakai untuk berjudi. Merasa bersalah, Arok pun melarikan diri dari kediaman rumah Ki Lembong di dusun Lebak. Secara tidak sengaja, Arok bertemu dengan Bango Samparan dan beliau mengangkatnya sebagai anak. Sepak terjang Arok tidak hanya sampai di situ, ia pun tidak sengaja bertemu dengan Tita (seorang anak Kepala Desa Sagenggeng), kemudian mereka berdua bersahabat dan belajar bersama di perguruan tempat Bapa Tantripala. Setelah lulus, Bapa Tantripala menyuruh mereka menemui Dang Hyang Lohgawe untuk berguru dengan beliau. Namun perintah Bapa Tantripala diabaikan begitu saja, hingga mereka memilih menjadi perampok yang paling ditakuti di seluruh Tumapel. Pada kesempatan yang tidak terduga-duga Arok bertemu dengan Mpu Palot kemudian berguru padanya. Setelah berguru dengan Mpu Palot, kemudian beliau mempertemukan Arok dengan Dang Hyang Lohgawe. Akhirnya, Arok pun menjadi muridnya pula.

(26)

Tumapel. Pesona Arok sungguh luar biasa, ia dapat mengambil hati Tunggul Ametung dan Sang Permaisuri, Ken Dedes. Diam-diam benih-benih cinta antara Arok dan Dedes mulai tumbuh. Pada kesempatan yang tidak terduga, Arok mendatangi Mpu Gandring untuk memesan sebuah keris pusaka. Dalam kisahnya ini, terjadi perbedaan cerita antara karya Gamal Komondoko dengan buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Disebutkan dalam karangan Gamal Komandoko, bahwa yang membunuh Mpu Gandring dan Tunggul Ametung adalah Kebo Ijo, tidaklah Ken Arok. Dikisahkan, bahwa Kebo Ijo mendapat tugas berat dari Baginda Kretajaya, untuk menyingkirkan Tunggul Ametung yang telah berusaha mengkhianati Sang Raja Kadiri ini. Sebagai imbalannya, jika Kebo Ijo berhasil membunuh Sang Akuwu Tumapel, ia akan mendapatkan kekuasaan sebagai Adipati penguasa Tumapel dan menggantikan kedudukan Tunggul Ametung. Kemudian dikisahkan pula, bahwa Mpu Gandring tewas ditangan Kebo Ijo sewaktu ia berusaha mengambil keris yang telah dipesan oleh Arok sebelumnya. Pada saat berada di kediaman Mpu Gandring, Kebo Ijo merebut paksa keris itu, lalu menusukkan keris tersebut pada dada Mpu Gandring hingga tewas mengenaskan.

(27)

DalamTafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana, cerita Ken Arok dikisahkan sesuai dengan kisah sejarah yang ada, yakni dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beliau. Kisah-kisah yang berhasil ditelitinya mengacu pada kitab

Pararaton, pupuh Nagarakretagama, dan penemuan prasasti Mula-Malurung. Tafsir Sejarah Nagarakretagamaini menghadirkan kehidupan Ken Arok ketika ia dilahirkan ke dunia tanpa seorang ayah kandung, keberadaan ayah kandungnya masih dianggap misterius. Konon, Bhatara Brahmalah yang selama ini menaruh benih pada rahim Ken Ndok dan melarang Ken Ndok untuk berhubungan dengan Gajah Para. Saat bulannya tiba, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki yang segera dibuang di pekuburan, akibat rasa malu yang menderanya. Pada malam harinya, seorang pencuri bernama Lembong melewati pekuburan tersebut dan sangat tercengang melihat sinar berpancaran. Sinar itu didekatinya dan tampak padanya seorang bayi sedang menangis, kemudian ia membawa pulang bayi tersebut. Semenjak penemuan bayi misterius tersebut, tersiar kabar sampai ke pelosok desa hingga membuat Ken Ndok mengunjungi Ki Lembong untuk mengatakan, bahwa bayi tersebut adalah anaknya dan terlahir dari kekuasaan Bhatara Brahma, kemudian anak laki-laki itu diberi nama Ken Arok.

(28)

merasa kesepian, karena ia tidak disukai oleh anak-anak Bango Samparan. Ia kemudian pergi dan bertemu dengan Tita, anak Ki Sahaja (kepala desa Siganggeng), dan belajar bersama dengan Ki Janggan. Selama belajar pada perguruan tempat Ki Janggan berada, Arok menunjukkan aksi kenakalannya hingga ia pernah mendapat hukuman dari sang guru. Di saat malam hari, Ken Arok mendapat hukuman untuk tidur di luar di atas timbunan ilalang kering. Ketika Ki Janggan keluar sewaktu malam, beliau terkejut melihat sinar berpancaran dari timbunan ilalang. Ternyata sinar itu berasal dari Ken Arok yang sedang tertidur. Sejak saat itu, Ki Janggan percaya bahwa Ken Arok adalah titisan Dewa Wisnu dan anak dari Dewa Brahma.

(29)

Sesampainya di Pulau Jawa, Brahmana Lohgawe segera menuju desa Taloka dan bertemu dengan Ken Arok. Setelah habis masa belajar, Ken Arok dibawanya menghadap akuwu Tumapel, bernama Tunggul Ametung. Brahmana Lohgawe menguraikan panjang lebar maksud kedatangannya serta menitipkan anak angkatnya, Ken Arok untuk diterima oleh Tunggul Ametung sebagai abdi istana. Selama menjadi pengawal sang akuwu, diam-diam Ken Arok menyimpan hati dan mengagumi kecantikan Ken Dedes yang maha dashyat. Pada saat Ken Arok mengawal Tunggul Ametung dan Ken Dedes untuk berjalan-jalan di taman Baboji, tidak sengaja kain yang dikenakan sang permaisuri terbuka dari betis hingga paha. Ken Arok sungguh takjub melihat sinar berpancaran dari ’kemaluan’ Ken Dedes. Sepulangnya dari taman, peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada Mahaguru Lohgawe. Brahmana Lohgawe lalu memberitahukan tentang rahasia besar, bahwa “wanita yang rahasianya menyala, adalah wanita nareswari. Betapa pun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan menjadi raja besar”. Mendengar ujaran itu, Arok terdiam. Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung, namun Brahmana Lohgawe sangat tidak setuju.

(30)

itu, Mpu Gandring mengeluarkan sumpah serapahnya sebelum ia tewas. “Hei Arok! Kamu dan anak cucumu sampai tujuh keturunan akan mati karena keris itu juga!”. Ken Arok tidak memperdulikan ucapannya, lalu ia bergegas pergi meninggalkan jasad Mpu Gandring. Setibanya di Tumapel, Ken Arok mempunyai sahabat karib, bernama Kebo Hijo. Pada Kebo Hijo inilah, Ken Arok menunjukkan keris pusaka tersebut. Kebo Hijo langsung terpana melihatnya, kemudian ia memohon pada Arok untuk dipinjamkan sebentar saja. Kebo Hijo merasa bangga dan selalu memamerkan keris itu kepada orang-orang sambil mengaku-ngaku bahwa keris tersebut adalah miliknya. Tepat pada waktunya, siasat licik Ken Arok akan segera dilaksanakannya. Saat malam hari, keris Mpu Gandring diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo Hijo, kemudian Ken Arok masuk ke dalam istana dan langsung menuju tempat tidur Tunggul Ametung. Ken Arok segera menikamnya hingga tewas. Pada pagi harinya, diketahui jika Tunggul Ametung telah tewas dan keris Mpu Gandring masih tertancap pada dadanya. Kebo Hijo disergap oleh kerabat Tunggul Ametung, kemudian Ken Arok yang muncul bak pahlawan, segera membunuh Kebo Hijo menggunakan keris tersebut. Sepeninggalnya Tunggul Ametung, Arok menggantikan posisinya menjadi Akuwu Tumapel, kemudian menikahi Ken Dedes.

(31)

Menurut Ratna (2004:65-66), pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis, di antaranya sebagai berikut; (1) fungsi dan tujuan karya sastra pada saat diterbitkan. (2) kedudukan pengarang pada saat menulis.

Pada bab kedua, penulis akan menganalisis penelitian ini dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural karya sastra dalam hal fiksi ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas dan kemaknaan yang terpadu (Nurgiyantoro, 2007:37). Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas unsur alur yang terkait dengan pengisahan Ken Arok dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel

(32)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, maka peneliti akan memfokuskan permasalahan yang akan dibahas dalam rumusan masalah ini, yakni sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko?

1.2.2 Bagaimanakah kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagamakarya Slamet Muljana?

1.2.3 Apa sajakah penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel

Ken Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan : 1.3.1 Menunjukkan dan mendeskripsikan bagaimana unsur alur pada novelKen

Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko.

1.3.2 Menunjukkan dan mendeskripsikan bagaimanakah kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana.

1.3.3 Menunjukkan dan mendeskripsikan apa sajakah penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel

(33)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat, antara lain :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1.4.1.1 Melengkapi perkembangan khazanah sastra Indonesia dalam hal penelitian sastra, khususnya menganalisis novel-novel sejarah yang berkaitan dengan sejarah masa lalu.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi kesusastraan Indonesia, khususnya pada novel sejarahKen Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko.

1.4.2.2 Memperkenalkan sosok Ken Arok dan menyajikan kisah kehidupan Ken Arok dalam novel sejarah tersebut.

1.4.2.3 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pembaca sastra untuk mengingatkan kembali akan kejadian sejarah kerajaan masa lampau.

(34)

1.5 Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka, sejauh pengamatan peneliti, belum ditemukan peneliti lain yang mengkaji dan menganalisis secara khusus novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko dalam bentuk penelitian ilmiah. Hal ini dapat dimaklumi karena novel tersebut terbit pada tahun 2008. Namun, peneliti berhasil menemukan sebuah tulisan sederhana dari majalah Gong, (majalah seni budaya) edisi 115/X/2009 melalui www.google.com mengenai novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko. Berikut ini adalah ulasannya.

Kisah Ken Arok, sesak dengan kisah-kisah yang dramatis dan kompleks. Ken Arok adalah gambaran lelaki hebat, cerdas, dan pemberani. Ia yang bukan keturunan raja tidak hanya berhasil menjungkalkan Tunggul Ametung, namun mampu pula meruntuhkan kedigdayaan Sang Raja Diraja Kadiri, Sri Kretajaya. Siasat politik yang dibangun dan ditempuhnya dalam beberapa aspek tampak kotor dan licik. Namun, dalam beberapa sisi kehidupan yang lain, terlihatlah bahwa Ken Arok tetap sosok yang menawan. Novel sejarah ini membabar dengan apik dan liris peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Ken Arok, dari kisahnya sebagai cah angon berandalan, kondisi politik di saat ia bertumbuh hingga merebut kekuasaan, dan kisah cintanya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari “ambisi” kekuasaan itu sendiri. “Kini tidak ada yang dapat menghentikanku -si anak desa- untuk memiliki Dedes dan menguasai tanah Jawa. Sebuah ambisi yang telah menjadi kutukan mendarah-daging dan akan terus kalian saksikan pada “raja-raja” Jawa berabad-abad lamanya setelah masaku.” Demikian kata Ken Arok dalam novel karya Gamal Kamandoko ini

(35)

1.6 Landasan Teori

Pada landasan teori ini, peneliti akan menggunakan tentang teori analisis struktural, pengertian arti penyimpangan, dan sejarah. Dalam analisis struktural peneliti akan membahas pula pengertian tentang alur.

1.6.1 Analisis Struktural

Analisis struktural karya sastra dalam hal fiksi ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas dan kemaknaan yang terpadu (Nurgiyantoro, 2007:37). Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain (Nurgiyantoro, 2007:37).

(36)

percobaan interpretasi karya sastra tidak dapat dimulai tanpa memahami bagian-bagiannya (unsur instrinsik).

1.6.1.1 Alur

Plot atau alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 2007:110). Pada tahapan alur, terdapat lima unsur alur yang meliputi: (1) tahap penyituasian (situation), (2) tahap pemunculan konflik (generating circumstances), (3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap penyelesaian (denouement) (Nurgiyantoro, 2007:l49).

(37)

eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari (Nurgiyantoro, 2007:149-150). Tahap klimaks adalah tahap yang berisi konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian (Nurgiyantoro, 2007:150). Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri. Tahap ini berkesuaian dengan tahap akhir di atas (Nurgiyantoro, 2007:150).

(38)

tertentu, melainkan mencakup beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa (Fananie, 2002:93).

Dalam penelitian ini, akan di bagi tahapan alur yang meliputi: tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap peningkatan konflik, dan tahap klimaks. Tahapan alur tersebut digunakan dengan tujuan untuk menunjukkan peristiwa-peristiwa sejarah yang disusun secara kausalitas. Pada bagian selanjutnya, peristiwa-peristiwa tersebut diperbandingkan dengan peristiwa sejarah yang terdapat dalamTafsir Sejarah Nagarakretagama.

1.6.2 Penyimpangan

(39)

1.6.3 Sejarah

Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab yaitu syajaratun yang berarti pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dan tumbuh, mulai dari bibit yang kemudian tumbuh menjadi sebuah pohon yang sangat kompleks, dan setiap bagiannya mempunyai cerita tentang proses tumbuhnya masing-masing (Taupan, 2007:3). Sejarah ialah cerita tentang raja-raja atau orang-orang besar yang betul-betul pernah ada. Pada mulanya menceritakan peristiwa-peristiwa yang penting dalam istana, kejadian-kejadian dalam negara yang berhubungan dengan kehidupan raja atau orang besar itu. Kejadian-kejadian itu disebutkan dengan jelas tentang waktu dan tempatnya (Subalidinata, 1979:9). Notosusanto menyebutkan, bahwa “sejarah” itu sendiri berasal dari kata Arab, yakni sjadjarah yang berarti pohon. Dalam hal ini, pengertian sjadjarah sama dengan apa yang kini di Indonesia disebut silsilah, yakni daftar asal-usul atau daftar keturunan. Silsilah jika digambarkan secara sistematis, rupanya seperti pohon dengan cabang-cabang serta ranting-rantingnya (Notosusanto, 1964:9). Dalam bahasa Inggris, kata sejarah disebut history yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani yaitu histories yang bermakna suatu penyelidikan atau pengkajian. Kedua kata itu mengandung makna sesuatu yang terjadi pada masa lampau kehidupan manusia. Oleh karena itu, sejarah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Keduanya terus berkembang secara beriringan, mulai dari kehidupan manusia yang paling sederhana sampai ke tingkat modern, bahkan tingkatan yang lebih maju (Taupan, 2007:3).

(40)

mengungkapkan, bahwa sejarah merupakan satu sistem yang mengira kejadian tersusun dalam bentuk kronologi dan semua peristiwa masa lalu mempunyai catatan dan bukti-bukti yang kuat. Menurut Ibnu Khaldun, pengertian sejarah yakni catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia dan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu. R.Moh.Ali juga mengemukakan bahwa sejarah adalah; (1) perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar kita, (2) sejarah ialah cerita tentang perubahan-perubahan, dan peristiwa yang merupakan realitas, (3) sejarah adalah ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas tersebut, sedangkan menurut R.G.Collingwood, sejarah yakni sejenis bentuk penelitian atau suatu penyiasatan tentang perkara-perkara yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau (Taupan, 2007: 3-5). Setelah mengetahui pengertian dari penyimpangan dan sejarah, dapat dipetik kesimpulan bahwa pengertian penyimpangan sejarah adalah suatu kisah yang menyimpang dari alur kisah sejarah, atau, tidak sesuai dengan apa yang terjadi pada masa lampau.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

1.7.1 Pendekatan Historis

(41)

sudah tertulis, dipahami pada saat ditulis oleh pengarang yang benar-benar menulis. Pendekatan historis sangat menonjol pada abad ke-19, dengan konsekuensi karya sastra sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Dalam hubungan inilah pendekatan historis pada umumnya dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap relevan dan sastra lama dengan kerajaan-kerajaan besar. Hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi memiliki konteks sosial dan sejarah. Pendekatan historis pada umumnya lebih relevan dalam kerangka sejarah sastra tradisional, sejarah sastra dengan implikasi para pengarang, karya sastra, dan periode-periode tertentu, dengan objek karya-karya sastra individual. Dengan mempertimbangkan indikator sejarah dan sastra, maka beberapa masalah yang menjadi objek sasaran pendekatan historis (Ratna, 2004: 65-66).

1.7.2. Metode Penelitian

Metode berasal dari bahasa Yunani, yaknimeta yang berarti ‘dari’ atau ‘sesudah’ dan hodos, yang berarti ‘perjalanan’. Kedua istilah tersebut dipahami sebagai perjalanan atau mengejar suatu tujuan (Basuki, 2006:92). Metode dapat didefinisikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud atau juga cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Basuki, 2006:93).

(42)

langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004:34).

Metode-metode tersebut terdiri lagi atas tahapan-tahapan berupa metode dan teknik, yang meliputi: (1) metode dan teknik pengumpulan data; (2) metode dan teknik analisis data; (3) metode dan penyajian hasil analisis data. Tahapan-tahapan tersebut akan menjadi acuan dan sangat membantu penulis dalam mengangkat skripsi ini.

1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian studi pustaka, maksudnya data-data tersebut diperoleh dari buku-buku yang sangat berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data-data itu kemudian diklasifikasikan dan dikaji berdasarkan kriteria rumusan masalah hingga menemukan jawaban permasalahan.

(43)

1.7.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua sumber data, berupa sebuah novel sejarah dan buku pengetahuan sejarah, yakni:

1.7.4.1 Judul Novel :Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel

Pengarang : Gamal Komandoko Tahun Terbit : 2008

Cetakan : Pertama Penerbit : Narasi Kota Terbit : Yogyakarta Halaman : 334 halaman

1.7.4.2 Judul Buku :Tafsir Sejarah Nagarakretagama

Pengarang : Slamet Muljana Tahun Terbit : 2008

Cetakan : Ketiga

Penerbit : LKiS Pelangi Aksara Kota Terbit : Yogyakarta

(44)

1.7.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam metode dan teknik analisis data, penulis akan menggunakan metode analisis data berupa analisis data komparatif (perbandingan) dan analisis isi. Berikut ini adalah pembahasannya.

1.7.5.1 Metode Komparatif

Menyinggung arti dari komparatif, bahwa komparatif berkenaan atau berdasarkan dengan perbandingan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991:516). Perbandingan di sini bertujuan untuk membandingkan karya sastra berupa novel sejarah dengan buku sejarah yang mengangkat tentang peristiwa sejarah. Pada metode komparatif, penulis menggunakan perbandingan sastra dengan sejarah. Sastra di sini menggunakan sebuah novel sejarah yang mengangkat alur cerita dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel, sedangkan sejarah berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lalu yang telah tertulis dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Luxemburg dkk (1989:212) mengatakan bahwa ilmu sastra perbandingan meneliti sastra dalam kerangka sejarah. Ilmu ini mempelajari gejala-gejala sastra kongkret yang kait-mengkait dalam perkembangan sejarah.

Bagi karya sastra yang menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan baku, mempunyai ketentuan-ketentuan di samping kebebasannya. Novel sejarah yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan kepada

(45)

Objek karya sastra adalah realitas, apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang. Apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat: pertama, mencoba menerjemahkan peristiwa sejarah itu dalam bahasa yang imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketiga, seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Dalam karya sastra, yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan simbol itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarangnya (Kuntowijoyo, 2006:171).

(46)

1.7.5.2 Metode Analisis Isi

Metode analisis isi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Contohnya, pada karya sastra, yang dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra. Isi dalam metode analisis terdiri atas dua macam, yakni isi laten dan isi komunikasi. Isi laten ialah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi yaitu pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten di sini merupakan isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi merupakan isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen. Objek formal metode analisis ini adalah isi komunikasi. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti, sedangkan analisis terhadap isi komunikasi akan menghasilkan makna (Ratna, 2004: 48-49).

Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam analisis isi adalah menitikberatkan pada isi dan pesan. Oleh karena itu, metode isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan metode analisis isi yang menganalisis isi laten dari sebuah naskah atau tulisan. Dalam hal ini, penulis akan memfokuskan penelitian isi yang terkandung dalam sebuah naskah tanpa melihat isi komunikasi dari naskah tersebut, karena isi komunikasi hanya menitikberatkan pada pesan yang diterima oleh pembaca, sedangkan isi laten lebih memfokuskan pada penafsiran karya sastra.

(47)

dalam bukuTafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Kemudian, dua kisah tersebut dibandingkan dan peneliti akan menemukan penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novelKen Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko.

Adapun langkah-langkah yang akan dikaji oleh penulis, yakni sebagai berikut; pertama, menganalisis unsur alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya Gamal Komandoko. Kedua, menunjukkan kisah Ken Arok sampai Kertanagara dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana. Ketiga, menemukan dan menganalisis penyimpangan peristiwa sejarah dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan

Tafsir Sejarah Nagarakretagamakarya Slamet Muljana.

1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(48)

Nagarakretagama karya Slamet Muljana; (3) apa sajakah penyimpangan peristiwa sejarah yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapelkarya Gamal Komandoko, kemudian membandingkannya dengan Tafsir Sejarah Nagarakretagama karya Slamet Muljana dengan cara mencatat, kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data dengan diteliti.

1.8 Sistematika Penyajian

Pada sistematika penyajian, penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab pertama, yakni pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Pada bab kedua, penelitian ini akan menyajikan unsur alur yang terdapat dalam novel

(49)

BAB II

ANALISIS ALUR

NOVEL

KEN AROK: BANJIR DARAH DI TUMAPEL

KARYA GAMAL KOMANDOKO

Dalam analisis bab kedua ini, penulis akan menganalisis unsur instrinsik yang lebih memfokuskan analisis alur yang terdapat dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel. Alur di sini sangat berkaitan erat untuk mengangkat dan mengingatkan kembali pada sejarah masa lampau, khususnya pergolakan seorang Ken Arok terutama dalam menggantikan kedudukan Tunggul Ametung di Tumapel, memperistrikan Ken Dedes, berperang melawan Kadiri, dan berhasil menghancurkan Istana Sri Maharaja Kretajaya di Kadiri, sampai dapat mendirikan kerajaan Singasari di tanah Jawa pada tahun 1222, kemudian bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.

(50)

tubuhnya, serta rajah telapak tangan kanannya berbentuk cakra, dan rajah telapak kirinya bertanda tutup kerap. Hal inilah yang membuktikan bahwa Ken Arok adalah sesosok pria yang luar biasa.

Dalam penelitian alur ini, penulis akan memfokuskan pada peristiwa-peristiwa penting dalam urutan waktu, latar dan pengenalan tokoh yang membentuk alur ceritaKen Arok: Banjir Darah di Tumapel. Tahapan alur yang digunakan dalam kajian ini, menggunakan lima tahapan alur, yaitu: (1) tahap penyituasian (situation), (2) tahap pemunculan konflik (generating circumstances), (3) tahap peningkatan konflik (rising action), (4) tahap klimaks (climax), (5) tahap penyelesaian (denouement) (Nurgiyantoro, 2007:l49). Berikut di bawah ini adalah uraian lima tahapan unsur alur dalam novel Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel.

2.1 Tahap Penyituasian (Situation)

(51)

Dalam sub judul Tumapel, alur di mulai pada tahun 1188, ketika zaman pemerintahan kerajaan Sri Maharaja Kretajaya yang berpusat di Kadiri sangat berkuasa. Pada situasi tersebut, bahwa kekuasaan dan keserakahan Baginda Kretajaya begitu dibenci oleh rakyat, terutama penduduk Tumapel, Janggala, dan sekitarnya. Begitu sengsara dan menderitanya mereka yang terlahir jauh dari panggung kekuasaan, menjadi rakyat jelata yang hanya memperoleh rempah-rempah kecil dari hasil terperasnya keringat mereka. Sementara itu, Raja Kretajaya dan sanak kerabat serta sahabat dekatnya, dapat menikmati sepuasnya isi lumbung di Kadiri. Mereka bebas mengeruk isi lumbung negara untuk memuaskan hawa nafsu pribadi. Rakyat Tumapel hanya bisa terdiam, tidak berkutik. Tidak hanya kaum paria, sudra dan waisya, kaum brahmana pun sama-sama terdiam. Semuanya seolah ingin lebih lama dapat menghirup udara segar di marcapada

dan sebisa mungkin menghindari kepala mereka terpisah dari badan, mengingat hanya kematian yang disediakan Raja Kretajaya bagi siapa pun yang menantangnya. Hidup berfoya-foya, menghambur-hamburkan lumbung-lumbung negara untuk kenikmatan pribadi, itulah perilaku Kretajaya, si Dandhang Gendhis tersebut (Komandoko, hlm 4-5).

Suatu ketika, Sri Maharaja Kretajaya terdiam dan bermuka tegang, dari pasukan

(52)

Gubar Baleman (Panglima Perang Kadiri); keempat, Arya Pulung atau Tunggul Ametung (Perwira Kadiri, tangan kanan Kretajaya); kelima, Kebo Ijo (Perwira Kadiri, tangan kanan Tunggul Ametung) (Komandoko, hlm 6). Setelah semuanya berkumpul, suasana balairung Istana Kadiri hening sejenak. Mendadak Baginda Kretajaya berujar dan mengagetkan siapa pun yang menghadapnya. Berikut ini adalah kutipan percakapannya.

(1) “Apakah Kretajaya telah dianggap tak lagi pantas duduk di atas singgasana ini?” (Komandoko, hlm 7).

(2) “Yang Mulia”, ujar Mpu Tanakung. “Tidak ada yang berpendapat seperti itu, Yang Mulia Sri Baginda Raja! Paduka Yang Mulia adalah penguasa sah atas takhta Kadiri. Singgasana itu tempat duduk sah Paduka Yang Mulia. Hanya Paduka Yang Mulia saja yang pantas mendudukinya. Hanya bahu Yang Mulia saja yang pantas menyangga Garuda-Mukha!” (Komandoko, hlm 7).

(3) “Jadi, kemana saja bola mata kalian selama ini menatap?” suara Kretajaya tinggi menghentak. “Tertutup abu tebal muntahan gunung Kelud kah pandangan kalian hingga tak menyadari kondisi nyata rakyat Kadiri? Kalian digaji tinggi, mendapatkan kedudukan tinggi di Kadiri, semua itu untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Kadiri. Mengabdi pada Kadiri! Meluaskan kejayaan, keagungan, dan kebesaran Kadiri hingga segenap sembah dan bakti hanya tertuju pada Kadiri!” (Komandoko, hlm 9).

(4) “Arya Pulung!”, Baginda Kretajaya kembali berucap. Kukira engkau tak cukup bebal untuk bisa memahami apa yang tengah kita perbincangkan kali ini. Maka, kuperintahkan engkau menuju Tumapel!” titah Kretajaya tiba-tiba. “Pulung! Tegakkan kewibawaan Kadiri dimana pun kedua kakimu tegak berdiri! Tumpas habis mereka yang berani mencoba berontak! Tumpas mereka hingga ke akar-akarnya yang ingin mencoba mengusik keutuhan Kadiri!” (Komandoko, hlm 10-11).

(5) “Hamba, Yang Mulia. Hamba akan melaksanakan segenap titah Paduka Gusti junjungan hamba!”, sembah Arya Pulung sekali lagi (Komandoko, hlm 11).

(53)

penyituasian yang membentuk alur cerita pada penelitian yang akan diteliti pada sub judul berikutnya.

Peranan tokoh yang sangat dominan dalam kelanjutan kisah berikutnya, yakni tokoh dari Arya Pulung. Arya Pulung adalah seorang perwira Kadiri, dan orang kepercayaan Baginda Kretajaya yang tiada pernah sekalipun kalah di medan peperangan. Meski dikenal sakti dan gagah, Arya Pulung juga dikenal tidak terlalu pintar. Baginda Kretajaya kerap menyindirnya dengan sebutan bebal. Namun, kebebalan Arya Pulung membuat rasa suka Kretajaya padanya. Kretajaya memang menghendaki orang-orangnya setia, penurut, tetapi tidak terlalu pintar. Walaupun demikian, ada satu perilaku Arya Pulung yang tidak disukai Kretajaya, yaitu ketampanan dan kegagahan Arya Pulung yang digunakan secara rakus untuk menjerat wanita-wanita ke dalam pelukannya. Baginda Kretajaya sesungguhnya tidak ambil peduli jika para wanita jatuh dalam pelukan Arya Pulung, asalkan jangan istri Kretajaya, karena beberapa kali, Kretajaya memergoki lirikan mata rakus Arya Pulung pada Sang Prameswari (Komandoko, hlm 20).

(54)
(55)

Pengenalan tokoh berlanjut pada sub judul Gajah Para. Gajah Para dihadirkan sebagai pemuda tampan yang berasal dari golongan kasta sudra dan sangat memegang teguh ajaran Sang Begawan Agung Siddartha Gautama. Pengenalan tokoh Gajah Para di sini, sangat berkaitan erat dengan tokoh Ken Endok yang membentuk alur cerita di tahap awal.

(56)

2.2 Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)

Tahap pemunculan konflik adalah tahap yang berisi masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik dan kemudian mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Pada tahap pembagian ini, tampaknya, berkesesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007:149).

(57)

cantik yang semula diculik untuk dinikmati oleh Arya Pulung merasa duka tak terkira, pada akhirnya berubah menjadi senang setelah mengetahui kehebatan Arya Pulung di atas ranjang. Arya Pulung yang tampan, meski mempunyai pandangan mata kejam laksana elang, tidak hanya piawai memainkan pedang di medan laga, tetapi jago pula dalam memuaskan wanita (Komandoko, hlm 16-17).

Sri Maharaja Kretajaya mengetahui sepak terjang Arya Pulung di Tumapel, namun ia tidak terlalu peduli dengannya. Baginya yang terpenting adalah langgengnya kekuasaan yang digenggamnya. Tidak ada satu pun orang yang berani meruntuhkannya dan upeti tetap deras mengalir mengisi lumbung-lumbung Kadiri. Ia dan sanak keluarga serta orang-orang terdekatnya tetap bisa menikmati sepuas-puasnya. Namun, Kretajaya merasa perlu memberikan penghargaan untuk Arya Pulung, punggawa andalannya itu. Arya Pulung yang telah mampu menunaikan tugas mahapentingnya, maka segera dipanggilnya ia ke Istana Kadiri. Di hadapan seluruh petinggi dan perwira kerajaan Kadiri, Sri Maharaja Kretajaya mengangkat Arya Pulung menjadi Akuwu Tumapel. Diberinya gelar untuk Arya Pulung menjadi Sang Tunggul Ametung, yang berarti gada penghancur nan tangguh (Komandoko, hlm 18).

(58)

(6) “Di Tumapel, Tunggul Ametung hidup laksana raja muda. Sekalipun ia hanya seorang akuwu, ia bukan akuwu biasa. Tunggul Ametung adalah akuwu istimewa dan mendapat keistimewaan dari Kadiri. Ia punggawa unggulan Kadiri dan menjadi tangan kanan Sri Maharaja Kretajaya dalam menumpas pemberontakan. Ia juga terkenal sakti. Tubuhnya bagai terbuat dari baja, tidak mempan senjata. Sifatnya juga amat kejam, jauh dari sifat welas asih. Baginya, ia tidak perlu takut kepada siapa pun kecuali terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Itu pun juga secara lahiriah semata. Secara batin, ia menentang bahkan sangat membenci Kretajaya. Ia berniat kuat menggulingkan kekuasaan Dandhang Gendhis itu. Sejak ia diangkat menjadi akuwu, Tunggul Ametung merasa bahwa sesungguhnya ia telah disingkirkan dari Kadiri. Ia tetap yakin, penyingkirannya itu karena rasa cemburu dan kekhawatiran Kretajaya perihal Sang Prameswari Kadiri. Memang, Tunggul Ametung amat tergoda dengan kecantikan sang permaisuri. Ia sungguh ingin memiliki si cantik jelita itu. Namun, kesempatan tersebut belum terbuka bagi dirinya selama si Dandhang Gendhis masih bernyawa” (Komandoko, hlm 21-22).

(7) “Tunggul Ametung bertindak lebih jauh. Untuk menandingi sebutan Sri Maharaja Kretajaya, ia pun meminta segenap prajurit dan juga rakyat Tumapel untuk memanggilnya Yang Mulia Akuwu. Semua perubahan di Tumapel itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Padahal Kretajaya tetap dan terus meminta upeti, sesuatu yang membuat kebencian Tunggul Ametung padanya kian membumbung. Bahkan, dari waktu ke waktu terus saja meningkat jumlah permintaan Kretajaya” (Komandoko, hlm 23-24).

(59)

Dari kutipan nomor (6) sampai (8), dapat terlihat setelah Tunggul Ametung menjadi Akuwu Tumapel, ia menganggap dirinya bukan seorang akuwu biasa. Ia seorang akuwu istimewa dan mendapat keistimewaan dari Kadiri. Namun, walaupun demikian, Tunggul Ametung menyimpan rasa benci terhadap Sri Maharaja Kretajaya. Kebencian Tunggul Ametung semakin besar ketika Baginda Kretajaya meminta upeti lebih banyak lagi. Di sini, dapat dirasakan pula bahwa Kretajaya begitu khawatir jika Tunggul Ametung akan merebut sang permaisuri dari dirinya. Maka dari itu, Kretajaya menghadiahkan jabatan akuwu terhadap Tunggul Ametung, tetapi pada kenyataannya ia ingin menyingkirkan Tunggul Ametung dari Istana Kadiri. Untuk sementara waktu, ia terpaksa mengalah dan menyimpan kegeraman, serta kemarahannya di dalam hati. Namun, ia menunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan dendamnya. Dengan tegas, ia berniat akan menggulingkan kekuasaan Sri Kretajaya. Ia tidak hanya berharap semoga si Dandhang Gendhis itu segera mati, tetapi ingin sekali menghabisi nyawa Kretajaya dengan kedua tangannya, lalu merebut tahtanya dan juga si jelita, permaisurinya. Berkeinginan seperti itu, Tunggul Ametung pun mulai giat dan aktif mempersiapkan diri. Ia menyusun kekuatan di Tumapel sekuat-kuatnya, tentunya sebelum merobohkan singgasana Kadiri.

(60)

kian gencar. Perawan-perawan desa dari penjuru Tumapel diculik paksa oleh sekelompok prajurit Tumapel demi kepuasan sang akuwu. Sisanya menjadi pelayan nafsu bagi para prajurit Tunggul Ametung. Para wanita yang semula terhormat dan kaya, jatuh bangkrut dan banyak yang menjadi pelacur setelah tidak menemukan jalan keluar. Lelaki yang semula terhormat segera bergabung dengan perampok dan pencuri setelah tidak lagi berharta. Mengetahui kondisi tersebut, Tunggul Ametung tetap diam saja dan tidak ambil peduli. Baginya yang terpenting adalah kekuatan laskar tempur Tumapel yang terus-menerus ditambah dan diasahnya. Tunggul Ametung terus menghitung kekuatan Kadiri yang hendak ditaklukkannya. Begitulah suasana alur yang terjadi pada sub judul Tunggul Ametung. Alur semakin maju dan terlihatnya konflik mulai bermunculan.

Tahap pemunculan konflik juga dapat dilihat pada sub judul Ken Endok. Pemunculan konflik dimulai saat Ken Endok memulai suatu pembicaraan dengan sang suami, yakni tentang suatu permasalahan serius yang tengah ia hadapi. Berikut ini adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan perbincangan di antara mereka.

(9) “Apa yang salah padaku dalam pandanganmu, Kakang Resi? Mengapa Kakang membiarkanku seperti ini? Sebutkanlah! Apakah sikap dan tubuhku ini tak membuatmu tertarik dan berhasrat? Apakah terlalu hina bagi rahim sudraku untuk menerima benih-benih cinta dan kasih sayangmu?” ungkap Ken Endok (Komandoko, hlm 31).

(10) “Bukan seperti itu, Istriku”, ujar Sang Resi (Komandoko, hlm 31). (11) “Lantas apa, Kakang?” (Komandoko, hlm 31).

(12) “Sesungguhnya Dewata Nan Agung telah mempunyai rencana tersendiri padamu, Istriku” ujar Sang Resi lembut (Komandoko, hlm 31).

(13) “Rencana apakah itu Kakang?” (Komandoko, hlm 32).

(61)

Pada kutipan nomor (9) sampai (14), menunjukkan bahwa Ken Endok sangat penasaran akan maksud perkataan suaminya. Ia mencoba untuk menerka-nerka, namun tidak juga menemukan suatu jawaban yang pasti. Pemunculan konflik semakin meninggi, setelah memasuki kutipan berikut ini.

(15) “Kakang Resi!” Ken Endok nekat memberanikan diri untuk bertanya lagi. “Apakah itu bukan hanya alasanmu saja? Apakah kehadiranku di sisimu bukan hanya sebagai pelengkap kehidupan Kakang selaku laki-laki? Bahwa lelaki belum lengkap disebut lelaki sejati jika belum terdapat wanita di sisinya?” (Komandoko, hlm 32).

(16) “Bukan, bukan seperti itu, istriku” Sang Resi menimpali perkataan Ken Endok (Komandoko, hlm 32).

(17) “Lantas?” (Komandoko, hlm 32).

(18) “Karena Dewata Agung mempunyai rencana untukmu! Bersabarlah sampai menunggu ketentuan-Nya!”, jawab Sang Resi (Komandoko, hlm 32).

(19) “Bersabar? Bersabar hingga kapan, Kakang?” (Komandoko, hlm 32). (20) “Hiduplah selaku brahmacari. Hiduplah dalam kesucian. Tak perlu

kenikmatan berhubungan badan itu menganggu pikiranmu. Itu hanya percikan dari buah nafsu duniawi. Hidup selaku brahmacari akan membebaskanmu dari pikiran nafsu!” jelas Sang Resi (Komandoko, hlm 32-33).

(21) “Tapi, bukankah nafsu itu karunia Dewata Agung, Kakang Resi?” (Komandoko, hlm 33).

(22) “Memang, nafsu merupakan karunia Dewata Agung, Istriku. Namun ketahuilah, nafsu harus dikendalikan. Manusia yang tidak mampu mengendalikan nafsunya berarti bersiaplah menjerumuskan dirinya ke lembah kehinaan dan kesengsaraan!” tuah Sang Resi (Komandoko, hlm 33).

(23) “Itu sebabnya Kakang Resi menjalankan laku pertapa yang tak mencoba merasakan nikmatnya berhubungan badan?” Ken Endok langsung menusuk pada pokok masalah tengah yang dialaminya. “Bisa jadi itu sangat baik bagimu. Tapi, bagaimana dengan diriku? Bukankah aku ini istrimu sahmu, Kakang Resi? Aku tak ingin hidup selaku yogini. Aku hanyalah wanita biasa dari dusun Pangkur yang kebetulan bersuamikan seorang dirimu, Kakang!”, tangis Ken Endok meledak (Komandoko, hlm 33-34).

(62)

Dari kutipan nomor (15) sampai (24), dengan jelas menunjukkan bahwa Ken Endok sangat gencar meminta nafkah batin pada suaminya. Namun, pada kenyataannya sang suami tidak dapat menyanggupi permintaan Ken Endok. Dalam sepuluh tahun berumah tangga, Ken Endok masih tetap perawan, walaupun desakan Ken Endok semakin memaksa tetapi Sang Resi tidak juga untuk menggaulinya. Kecantikan sang istri tidak membuat Sang Resi berhasrat untuk menyentuh Ken Endok. Meskipun, telah diberi wejangan dari suaminya, hati Ken Endok tetap tidak bisa menerima. Baginya, yang dibutuhkan bukan hanya wejangan, melainkan sentuhan sang suami. Sentuhan untuk memenuhi kebutuhan batinnya yang selama sepuluh tahun berumah tangga. Ia merasa bukan seorang yoginiyang harus membawa keperawanannya hingga mati.

(63)

menyenangkan itu. Beliau menangkap perubahan yang sangat besar pada perilaku istrinya.

Alur pada tahap ini semakin lurus dan semakin menemukan pemunculan konflik ditahap selanjutnya. Pemunculan konflik terjadi lagi ketika memasuki sub judulPeristiwa Pura Agung. Berikut ini adalah kutipan-kutipannya.

(25) “Ken Endok membeli setanggi untuk keperluanpuja bhakti dari seorang pandhita. Ia tak terlalu memperhatikan wajah sang pandhita dan juga

setanggi yang dibelinya yang ternyata berbeda dari biasanya. Setanggi

itu lebih kecil, namun ketika dibakar baunya jauh lebih harum dari biasanya. Bau setanggi menyebar. Harum sekali. Ken Endok yang tengah berkonsentrasi tinggi melakukan puja bhakti, mencium aroma harum itu. Konsentrasinya sedikit buyar. Bau setanggi itu sangat menusuk, membuatnya mendadak didera rasa pusing dan mengantuk. Meski Ken Endok mencoba bertahan, tak kuat pula ia akhirnya. Ia rebah, terkulai lemah di lantai pura. Ken Endok tertidur” (Komandoko, hlm 63).

(26) “Sang pandhita penjual setanggi menghentikan bacaan mantranya. Dengan gerak perlahan dan sikap berhati-hati, ia menggeser tubuh Ken Endok ke tempat tersembunyi di bagian dalam pura. Ia pun berlagak kembali meneruskan bacaan mantranya setelah memastikan tak ada orang yang melihat kelakuan busuknya” (Komandoko, hlm 64).

(27) “Gajah Para yang menunggu di halaman pura menjadi keheranan. Tak biasanya Ken Endok membutuhkan waktu yang lama ketika melakukan

puja bhakti. Beberapa lama ditunggunya lagi, tak juga Ken Endok muncul. Penasaran di hatinya pun menyeruak muncul. Ditinggalkannya pedati miliknya dan bergegas melihat ke dalam pura. Tak dilihatnya Ken Endok di dalam pura. Yang dilihatnya hanyalah seorang pandhita yang tengah membaca mantra” (Komandoko, hlm 64).

(28) “Ki Sanak,” sang pandhita menghentikan bacaannya dan berujar kepada Gajah Para. “Tunggulah di tempat itu! Duduklah, sebentar lagi orang yang engkau tunggu akan selesai dengan hajatnya. Gajah Para terpaksa menurut. Ia duduk bersila di atas lantai pura. Bau harum setanggi membuat sesak napasnya. Beberapa lama kemudian ia pun telah terkulai lemas dan tertidur” (Komandoko, hlm 64).

Gambar

Penyimpangan Alur Sejarah dalam NovelTABEL 1 Ken Arok: Banjir Darah di Tumapel karya

Referensi

Dokumen terkait