• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRIMBON DALAM BUDAYA JAWA: STUDI TEKSTUAL-KOMPREHENSIF KITAB BETALJEMUR ADAMMAKNA DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRIMBON DALAM BUDAYA JAWA: STUDI TEKSTUAL-KOMPREHENSIF KITAB BETALJEMUR ADAMMAKNA DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT SURABAYA."

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PRIMBON DALAM BUDAYA JAWA:

STUDI TEKSTUAL-KOMPREHENSIF

KITAB BETALJEMUR ADAMMAKNA DAN APLIKASINYA

DALAM MASYARAKAT SURABAYA

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

MUHAMMAD KALIMULLAH NIM: E92212052

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Primbon dalam Budaya Jawa: Studi Tekstual-Komprehensif Primbon Betaljemur Adammakna dan Aplikasinya dalam Masyarakat Surabaya”. Objek dari penelitian ini adalah kitab primbon Betaljemur Adammakna dan aplikasi dari isi kitab tersebut dalam masyarakat Surabaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran deskriptif mengenai sistematika dan isi kitab tersebut; juga untuk memberikan deskripsi mengenai bagaimana isi kitab tersebut diaplikasikan dalam masyarakat Surabaya.

Penelitian ini, secara garis besar, bersifat kualitatif, yakni dengan tujuan menelaah suatu objek secara mendalam. Pada bagian analisis tekstual, yakni analisis kitab Betaljemur Adammakna, digunakan metode analisis isi. Sementara dalam menelaah aplikasinya dalam masyarakat Surabaya, digunakan metode observasi (dalam hal ini, peneliti sebagai alat penelitian) dan wawancara.

Selain itu, penelitian ini juga didasarkan pada gagasan atau kerangka teoritik tertentu. Pada bagian analisis tekstual, dipakai klasifikasi yang dibuat Suwardi Endraswara mengenai isi primbon pada umumnya. Kemudian pada bagian praktis-aplikatif, digunakan klasifikasi unsur-unsur budaya yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat.

Penelitian ini menemukan bahwa kitab primbon Betaljemur Adammakna berisi bermacam kandungan yang berkaitan dengan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan-kandungan tersebut seperti perhitungan numerologis, tata cara ritual, manual dalam mengerjakan sesuatu, pengobatan, doa, dan sebagainya. Setidaknya tercatat ada 14 macam kandungan dalam kitab tersebut.

Dari sisi aplikatif, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Surabaya mempraktikkan bagian-bagian (tema-tema) tertentu dalam primbon ini. Sedikitnya terdapat 5 tema yang sering dipraktikkan. Tema-tema tersebut adalah yang berkaitan dengan petungan (numerologi), tata cara slametan, pengobatan, doa, dan ngalamat (isyarat dari anggota tubuh atau alam).

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ... iii

Persetujuan Pembimbing ... iv

Pengesahan Skripsi ... v

Pernyataan Keaslian ... vi

Moto ... vii

Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xiv

Bab I: Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Hasil Penelitian ... 8

E. Penegasan Judul ... 8

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Metodologi Penelitian ... 12

(8)

Bab II: Landasan Teoritis ... 23

A. Primbon dalam Budaya Jawa ... 23

B. Sistem Kalender Dunia ... 32

Bab III: Budaya Religi Masyarakat Jawa ... 48

A. Pemahaman Budaya ... 48

B. Sistem Religi Masyarakat Jawa ... 55

Bab IV: Analisis Data ... 66

A. Analisis Bentuk (Struktur) Betaljemur Adammakna ... 67

B. Analisis Tema (Isi) Betaljemur Adammakna ... 86

C. Aplikasi Primbon (Betaljemur Adammakna) dalam Masyarakat Surabaya (Kecamatan Wonocolo) ... 99

Bab V: Penutup ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 108

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian mengenai kehidupan masyarakat Indonesia (khususnya

masyarakat Islam) telah banyak dilakukan, baik oleh peneliti dari Indonesia

(seperti Simuh, Nur Syam, Azyumardi Azra, dan lain-lain) maupun oleh peneliti

luar (seperti Christian Snouck Hurgronje, Clifford Geertz, Mark Woodward, dan

lain-lain). Simuh, misalnya, banyak melakukan penelitian terkait mistisisme

Jawa-Islam. Ia juga banyak menerbitkan publikasi di bidang itu. Nur Syam terkenal

dengan penelitiannya tentang keberagamaan masyarakat di daerah pesisir yang ia

publikasikan dalam buku berjudul “Islam Pesisir”. Sementara penelitian terkenal yang dilakukan Azyumardi Azra adalah tentang jaringan ulama nusantara di abad

18 dan 191.

Di samping mereka, Snouck Hurgronje, yang seorang peneliti dari Belanda

pada masa kolonial, telah mengkaji Islam di Sumatra (Aceh) yang diterbitkan

dalam bentuk buku berjudul The Achehnese2. Clifford Geertz terkenal dengan penelitiannya terhadap masyarakat Jawa yang kemudian menghasilkan tipologi

yang terkenal, yakni: santri, priyayi, dan abangan. Terakhir, Mark Woodward,

yang melakukan penelitian di Jogjakarta, menyimpulkan bahwa agama dan

1

Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia

(Australia: Allen & Unwin, 2004)

2

Lihat prolog yang diberikan oleh Hairus Salim HS dalam terjemahannya atas

buku Woodward. Mark R Woodward, Islam Jawa, terj. Hairus Salim HS (Jogjakarta:

LKiS, 2008), viii

(10)

2

masyarakat Jawa adalah Islam karena doktrin-doktrin Islam telah menggantikan

Hinduisme dan Buddhisme.

Khusus untuk peneliti terakhir ini, yakni Mark Woodward, tesis yang

diungkapkannya kiranya dapat memperjelas posisi keberagamaan masyarakat

Jawa (yakni Islam). Ia menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat syariat (kesalehan

normatif) dan mistisisme (tasawuf). Jika syariat berkaitan dengan aspek hukum

atau lahir maka tasawuf berkaitan dengan aspek mental atau jiwa. Dan dalam

tradisi Islam, pengunggulan atas salah satu aspek tertentu dari keduanya atas

aspek yang lain adalah hal yang niscaya. Hal ini sebagaimana terjadi dalam

kalangan ahli fikih dan sufi.

Islam Jawa menurut Woodward bercorak tasawuf, yakni lebih

mementingkan aspek mental atau jiwa daripada aspek hukum. Maka menurutnya,

daripada menyebut atau membagi tipologi masyarakat Islam Jawa sebagai Islam

sinkretik (Islam yang berakulturasi dengan budaya) dan Islam ortodoks (Islam

yang dianggap dipraktikkan secara murni), akan lebih baik kalau menyebut atau

membaginya ke dalam tipologi Islam Jawa (Islam yang berakulturasi dengan

budaya, namun secara aspek batiniah sesuai dengan Islam) dan Islam normatif

(Islam yang tidak atau sedikit berakulturasi dengan budaya)3. Selain itu, sebagai

tanggapan atas Clifford Geertz, menurutnya Islam Jawa dan Islam normatif lebih

baik dipahami sebagai orientasi-orientasi keagamaan atau bentuk-bentuk

kesalehan daripada sebagai kategori-kategori sosiologis campuran4.

3 Ibid, 9

4

Ibid, 11

(11)

3

Hairus Salim HS menilai karya Woodward tersebut sebagai wacana

tandingan terhadap wacana dominan yang melihat kebudayaan Jawa sebagai

sesuatu yang terpisah dari Islam. Akan tetapi, menurutnya pula, penelitian

Woodward bukan bebas dari kritik. Martin van Bruinessen dan Paul Stange,

menurutnya, merupakan 2 tokoh yang memberikan kritik terhadap Woodward5.

Namun begitu, secara personal, peneliti merasa tertarik dengan tesis Woodward

yang menganggap kebudayaan dan masyarakat Jawa sebagai “Islam” karena

menurut peneliti Islam sendiri sebenarnya juga mengapresiasi budaya (lokal).

Ditinjau dari perspektif hukum6 Islam (fiqh), budaya mendapatkan tempat dalam rumusan dasar-dasar hukum Islam. Al-Suyuti menjelaskan bahwa semua

pendapat dalam mazhab Syafii dapat disimpulkan ke dalam 4 asas atau prinsip

dasar, yakni:

1. Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan;

2. Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan;

3. Kemudharatan harus dihilangkan; dan

4. “al-‘Adah Muhakkamah” (adat kebiasaan atau budaya itu dapat dijadikan hukum)7.

5

Ibid, x-xi

6

Dalam Islam, hukum mempunyai pengertian tersendiri. Al-Ghazali menjelaskan bahwa hukum adalah “aturan Allah”. Sementara itu, Nizham Din al-Anshari menjelaskan bahwa kata hukum dalam pemahaman Ahlusunnah waljamaah

adalah “Aturan (perintah atau larangan) Allah terkait perbuatan manusia”. Lih.

Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (1993), hlm. 8 dan 54 (catatan kaki). Bandingkan dengan

definisi Geertz tentang agama, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2011), 342

7

Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair (2001), 33

(12)

4

Prinsip keempat menunjukkan bahwa sebenarnya di kalangan ulama Islam

sendiri budaya mendapatkan posisi yang terhormat8.

Lebih jauh, Abdul Wahab Khalaf membedakan dua macam budaya menurut

perspektif Islam, yakni budaya yang baik (‘urfshahih) dan budaya yang tidak baik (‘urf fasid). Budaya yang baik adalah budaya yang tidak berlawanan dengan al-Quran dan hadis serta tidak menghalalkan yang haram. Sementara itu, budaya

yang buruk adalah yang sebaliknya9.

Berangkat dari beragam wacana kebudayaan tersebut, penulis kemudian

tertarik untuk melakukan penelitian dalam ranah atau bidang kebudayaan,

khususnya budaya masyarakat Jawa. Namun begitu, sebelum membahas latar

belakang penelitian agaknya sedikit perlu disinggung terlebih dahulu pengertian

dari kata budaya.

Budaya, menurut Koentjaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan,

tindakan, dan hasil karya manusia. Lebih jauh dia membagi budaya, menurut

wujudnya (bentuknya), menjadi 3 wujud:

1. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan, dsb;

2. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola

dari manusia dalam masyarakat; dan

8

Muhammad Hasan Ismail yang menyunting kitab al-Suyuthi tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut adalah bahwa di dalam Islam adat-istiadat atau budaya yang “baik” dapat dijadikan sebagai hukum (aturan atau norma) yang dapat diikuti. Ibid, hlm. 193

9

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam

(Surabaya: IAIN Press, 2011), 262-263

(13)

5

3. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia10.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dapat disederhanakan. Menggunakan

istilah yang diajukan oleh J.J. Honigmann, maka budaya dapat berwujud ideas, activities, dan artifacts (gagasan, tindakan, dan benda).

Sementara, menurut unsur-unsurnya, Koentjaraningrat menyimpulkan

bahwa budaya memiliki 7 unsur, yakni sebagai berikut: a. bahasa; b. sistem

pengetahuan; c. organisasi sosial; d. sistem peralatan hidup dan teknologi; e.

sistem mata pencaharian hidup; f. sistem religi; dan g. Kesenian.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa budaya (di samping muncul

dalam 3 bentuk: gagasan, tindakan, dan benda) mempunyai, sedikitnya, 7 unsur

sebagaimana disebut di muka. Salah satu dari 7 unsur tersebut adalah sistem

religi. Jika dipikirkan selintas lalu, sistem religi ini dapat dipahami sebagai unsur

(atau bagian) budaya yang isinya adalah hubungan di antara seseorang atau

masyarakat dengan kekuatan di luar dirinya (Tuhan, dan sebagainya).

Salah satu bentuk aktivitas, menurut peneliti, yang termasuk dalam unsur

sistem religi dalam budaya Jawa adalah aktivitas yang berhubungan dengan

ramalan dan selametan. Aktivitas-aktivitas tersebut terangkum dalam sebuah

catatan atau tulisan yang disebut dengan primbon. Dengan kata lain, primbon

adalah tulisan yang memuat hal-hal (tata cara, perlengkapan, dsb) yang berkaitan

dengan salah satu bentuk sistem religi dalam budaya Jawa.

Isi primbon dan bagaimana hal tersebut diaplikasikan dalam masyarakat

Jawa, itulah topik yang dipilih dalam penelitian ini. Pemilihan topik tersebut

10

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta,

2002), 186-187

(14)

6

didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, penelitian tentang primbon, meski telah beberapa kali dilakukan, belum menjadi hal yang umum di kalangan

akademisi ilmu sosial, khususnya dalam studi-studi agama (religious studies). Kedua, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai salah satu upaya untuk melestarikan warisan tekstual kebudayaan, yakni kebudayaan Jawa.

Selanjutnya, primbon yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah primbon

Betaljemur Adammakna. Peneliti akan melakukan penelaahan secara menyeluruh

terhadap isi primbon ini, yakni secara tekstual dan lengkap.

Dalam penelitian primbon ini, peneliti menggunakan 2 landasan teoritis

yang dikemukakan oleh 2 tokoh. Pertama, wacana primbon sebagai perpaduan unsur Islam dan Jawa yang dikemukakan oleh Simuh. Simuh, secara eksplisit,

menyebutkan primbon sebagai sebuah tulisan (kesusastraan) yang isinya

merupakan perpaduan Islam dan budaya lokal, yakni Jawa.

Kedua, wacana tentang isi atau tema dalam primbon yang dikemukakan

oleh Suwardi Endraswara. Menurutnya, primbon mengandung 11 tema atau topik

di dalamnya. Tema-tema tersebut adalah: Pranata Mangsa, Petungan, Pawukon,

Pengobatan, Wirid (Sastra Weda), Aji-Aji, Kidung, Ramalan, Tata Cara Slametan,

Donga atau Mantra, dan Ngalamat atau Sasmita Gaib. Kesebelas tema tersebut

akan dijelaskan secara lebih mendetil dalam bab II.

Kedua kerangka teoritis tersebut akan dipakai dalam meneliti primbon

secara tekstual dan aplikasinya. Selain itu, kerangka teoritis mengenai kebudayaan

(15)

7

banyak, digunakan. Kerangka teoritis tersebut berguna untuk memahami pada

bagian mana primbon digunakan dalam sebuah kebudayaan.

Selanjutnya, dalam hal bagaimana, siapa, dan dimana primbon tersebut

digunakan, peneliti menjadikan masyarakat Surabaya sebagai objek penelitian

lapangan. Surabaya dipilih sebagai objek penelitian karena peneliti bermaksud

untuk mengetahui bagaimana primbon digunakan dalam masyarakat perkotaan.

Kemudian, untuk meningkatkan fokus penelitian, masyarakat Surabaya yang akan

diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada masyarakat Surabaya yang berada di

kecamatan Wonocolo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas maka

permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimana deskripsi kitab primbon Betaljemur Adammakna?

2. Bagaimana aplikasi dari isi primbon tersebut dalam kehidupan masyarakat

Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagaimana berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran atau deskripsi kitab primbon

Betaljemur Adammakna;

2. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi dari isi primbon tersebut dalam

(16)

8

D. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikitnya dua hasil sebagai

berikut:

1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan melanjutkan

kajian-kajian dan penelitian-penelitian terdahulu terkait kebudayaan Indonesia,

terutama yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini kiranya dapat dipakai sebagai data yang menunjukkan

deskripsi tentang salah satu kepustakaan Indonesia, primbon. Bagaimana isi

dan aplikasi dari pustaka tersebut adalah sesuatu yang diharapkan dapat dicapai

dalam penelitian ini.

E. Penegasan Judul 1. Primbon

Primbon adalah buku atau kitab yang berisikan ramalan (perhitungan hari

baik, hari naas, dsb)11. Secara khusus, kitab primbon yang dimaksud pada

penelitian ini adalah kitab Betaljemur Adammakna.

2. Budaya Jawa

Koentjaraningrat menyebutkan bahwa sebagian sarjana membedakan

kata “budaya” dengan “kebudayaan”12. Akan tetapi, di tempat yang sama, ia

juga menyebutkan bahwa di dalam antropologi kebudayaan kata “budaya” dan

11

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 1983), 701 12

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta,

2002), 181

(17)

9

“kebudayaan” mempunyai makna yang sama, yakni “keseluruhan sistem

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar13.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan budaya sama artinya dengan

kebudayaan sebagaimana disebut di muka. Dengan demikian, budaya Jawa

yang dimaksud disini adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat

beretnis Jawa.

3. Studi Tekstual-Komprehensif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata studi mempunyai 3 arti,

yakni penelitian ilmiah, kajian, dan telaahan. Kata tekstual maksudnya adalah

berdasarkan teks. Teks, dalam sumber yang sama, mempunyai arti “naskah

yang berupa” (a) “kata-kata asli dari pengarang”; (b) “kutipan dari kitab suci

untuk pangkal ajaran atau alasan”; dan (c) “bahan tertulis untuk dasar

memberikan pelajaran, berpidato, dsb”. Sementara kata komprehensif

mempunyai 3 arti yang salah satunya adalah “luas dan lengkap (tentang ruang

lingkup atau isi)”.

Dengan demikian, maksud dari studi tekstual-komprehensif dalam

penelitian ini adalah penelitian atas teks (karya seorang pengarang) yang

dilakukan secara luas dan lengkap (mencakup keseluruhan isinya).

4. Kitab Betaljemur Adammakna

Kitab atau pustaka tentang primbon. Merupakan salah satu kitab primbon

dalam masyarakat Jawa. Terdapat 9 kitab primbon yang berakhiran

13

Ibid, 180

(18)

10

Adammakna (termasuk Betaljemur Adammakna), meski dalam penelitian ini

hanya kitab Betaljemur Adammakna yang menjadi fokus penelitian.

5. Aplikasi

Aplikasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mempunyai 4 arti. Salah

satunya, dan yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah penggunaan atau

penerapan. Secara lebih jelas, yakni penggunaan atau penerapan isi primbon

Betaljemur Adammakna.

6. Masyarakat Surabaya

Masyarakat adalah sehimpunan orang yang hidup bersama dalam suatu

tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu14. Masyarakat Surabaya yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada atau tinggal di

wilayah kota Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur. Namun begitu,

sebagaimana dijelaskan di muka, penelitian ini akan difokuskan pada

masyarakat Surabaya yang tinggal di Kecamatan Wonocolo.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian dan tulisan tentang primbon setidaknya telah beberapa kali

dilakukan. Dalam hal ini, sedikitnya terdapat 5 tulisan tentang primbon yang

berhasil dilacak. Pertama, penelitian untuk pembuatan skripsi yang dilakukan oleh

Bay Aji Yusuf, mahasiswa Perbandingan Agama di UIN Jakarta, yang berjudul

Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat

14

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai

Pustaka, 1983), 636

(19)

11

Jawa15. Penelitian ini, sebagaimana judulnya, membahas konsep-konsep seperti ruang dan waktu dalam primbon; perhitungan ruang dan waktu dalam primbon;

serta bagaimana aplikasi praktisnya dalam masyarakat Jawa.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Widodo. Dalam hal ini, ia

menulis sebuah artikel yang berjudul Kearifan Lokal dalam Mantra Jawa16. Dalam tulisannya tersebut, ia mengkaji tentang mantra yang terdapat dalam

primbon AtasshadurAdammakna (seri ketiga dari primbon Adammakna). Dalam penelitian ini, ia mengkaji nilai yang terkandung dalam mantra juga kegunaan

mantra, di antaranya, sebagai pengusir hama pada tanaman.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sahid Teguh Widodo dan Kundharu

Saddhono. Penelitian ini mereka tulis dalam artikel yang berjudul Petangan Tradition in Javanese Personal Naming Practice: An Ethnolinguistic Study17. Artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris ini membahas sistem numerologi Jawa

yang dikenal dengan nama petangan. Dalam tulisan ini, mereka menjelaskan dengan cukup lengkap tentang neptu (angka dari huruf, nama, hari, dsb), dan

bagaimana masyarakat Jawa menggunakannya dalam memberi nama anak-anak

mereka.

15

Bay Aji Yusuf, “Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat Jawa”, Skripsi tidak diterbitkan (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009)

16

Wahyu Widodo, “Kearifan Lokal dalam Mantra Jawa”, makalah disajikan dalam laporan keempat konferensi internasional tentang studi keindonesiaan, t.k., tt

17

Sahid Teguh Widodo & Kundharu Saddhono, “Petangan Tradition in Javanese Personal Naming Practice: An Ethnolinguistic Study”, Journal of Language Studies, Vol. 12 No. 4 (November, 2012)

(20)

12

Keempat, artikel yang ditulis oleh Muhammad Taufiq al-Makmun, Sisyono

Eko Widodo, dan Sunarto. Tulisan mereka, juga ditulis dalam bahasa Inggris,

berjudul Construing Traditional Javanese Herbal Medicine of Headache: Transliterating, Translating, and Interpreting Serat Primbon Jampi Jawi18. Penelitian ini mengambil objek kitab Serat Primbon Jampi Jawi. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa pengobatan tradisional Jawa dapat digunakan pada

masa kini, melalui proses pembacaan ulang terhadap literatur kuno, yang salah

satunya adalah kitab tersebut di atas.

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Avi Meilawati dari Universitas

Negeri Yogyakarta. Penelitiannya ditulis dalam artikel berjudul Mantra Tulak-Balak dalam Primbon Betaljemur Adammakna19. Tulisan ini, selain membahas tentang seluk-beluk mantra tulak-balak, juga membahas mantra tulak-balak yang

terdapat dalam primbon Betaljemur Adammakna.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong membedakan

penelitian ini dari penelitian kuantitatif, yakni bahwa penelitian kuantitatif

mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas penghitungan

persentase, rata-rata, ci kuadrat, dan perhitungan statistik lainnya. Singkatnya,

18

Muhammad Taufiq al Makmun, Sisyono Eko Widodo & Sunarto, “Construing Traditional Javanese Herbal Medicine of Headache: Transliterating, Translating, and

Interpreting Serat Primbon Jampi Jawi”, Procedia Social and Behavioral Sciences, No.

134 (2014)

19

Avi Meilawati, “Mantra Tulak-Balak dalam Primbon Betaljemur

Adammakna”, t.t.

(21)

13

penelitian yang mencakup penghitungan, angka, atau kuantitas. Sementara

penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan penghitungan20.

Lebih lanjut, M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur menjelaskan

penelitian kualitatif sebagai penelitian yang khusus dipakai untuk meneliti

objek-objek yang tidak bisa diteliti secara kuantitatif (atau secara statistik).

Penelitian kualitatif umumnya digunakan untuk meneliti peristiwa sosial,

gejala rohani, dan proses tanda (pemaknaan) yang didasarkan pada pendekatan

non-positivis, seperti misalnya kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku,

fungsi organisasi, gerakan sosial, keagamaan, atau hubungan kekerabatan21.

Menurut mereka pula, penelitian kualitatif akan menghasilkan data yang

bersifat deskriptif dalam bentuk ucapan, tulisan, dan perilaku orang-orang yang

diamati. Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan,

persepsi, dan pemikiran manusia secara individu maupun kelompok. Mereka

melanjutkan bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, yakni bahwa peneliti

membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan

terbuka untuk interpretasi22.

2. Metode yang Digunakan

20

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Pt. Remaja

Rosdakarya, 2000), 2

21

M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-RUZZ Media, 2012), 13

22

Ibid, 13-14

(22)

14

Nyoman Kutha Ratna (2010: 84), sebagaimana dikutip Andi Prastowo,

menyebutkan bahwa metode adalah “cara-cara, strategi untuk memahami

realitas, dan langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan rangkaian

sebab-akibat berikutnya”. Selanjutnya Andi Prastowo menjelaskan tentang

metode penelitian kualitatif sebagai “metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi objek yang alamiah” dimana peneliti merupakan

instrumen kunci. Selain itu, menurutnya, analisis data dalam penelitian

kualitatif bersifat induktif; dan hasil penelitian ini lebih menekankan pada

makna daripada generalisasi23.

Secara umum, berdasarkan tempat atau lapangan penelitian, metode

penelitian kualitatif dibagi menjadi 2 jenis: metode penelitian lapangan

(penelitian kancah) dan metode penelitian pustaka (Andi Prastowo, 2012: 183).

Metode penelitian lapangan adalah penelitian kualitatif yang lokasi atau

tempat dilakukannya penelitian adalah di lapangan. Metode ini dapat

digunakan baik dalam ilmu kealaman maupun ilmu sosial-humaniora. Dalam

metode ini tercakup beberapa metode lagi, yakni: metode sejarah, metode

deskriptif, dan metode groundedresearch24.

Sementara metode kepustakaan adalah metode penelitian kualitatif yang

tempat atau lokasi penelitiannya adalah pustaka, dokumen, arsip, dan lain

sebagainya25. Sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna (dalam Andi

23

Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan

Penelitian (Jogjakarta: AR-RUZZ Media, 2012), 183

24

Ibid, 183-184

25

Ibid, 190

(23)

15

Prastowo, 2012: 190), “metode kepustakaan merupakan metode penelitian

yang pengumpulan datanya dilakukan melalui tempat-tempat penyimpanan

hasil penelitian, yaitu perpustakaan”.

Dalam penelitian ini, kedua jenis metode tersebut (yakni penelitian

pustaka dan penelitian lapangan) sama-sama digunakan. Metode pustaka

dipakai dalam meneliti primbon Betaljemur Adammakna. Sementara metode

lapangan, peneliti menggunakan metode deskriptif-komparatif, digunakan

untuk meneliti kehidupan masyarakat yang menjadi objek penelitian.

3. Jenis dan Sumber Data

Pohan (dalam Andi Prastowo, 2012: 204) menjelaskan bahwa data adalah

“fakta, informasi, atau keterangan”. Menurut jenisnya, Andi Prastowo (2012:

204) menyebutkan bahwa data penelitian adalah beragam. Namun begitu,

menurutnya terdapat 2 jenis data yang dapat ditemukan di lapangan, yakni data

kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif adalah “semua bahan, keterangan, dan fakta-fakta yang

tak dapat diukur dan dihitung secara eksak matematis, tetapi berwujud

keterangan naratif semata, seperti indah, baik-buruk, dan sebagainya”.

Sementara data kuantitatif adalah “keterangan atau fakta yang dapat diolah

secara matematis, seperti jumlah benda, tinggi benda, berat benda, dan

sebagainya”.

Sementara itu, menurut sumbernya, Andi Prastowo (2012: 204-205)

membagi data menjadi 2, yakni data primer dan data sekunder. Data primer

(24)

16

data sekunder adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan dari sumber kedua,

ketiga, dan seterusnya.

Dalam hal ini, data-data yang terdapat dalam penelitian ini akan

dikumpulkan atau didapat dari sumber-sumber berikut:

a. Sumber Primer

Sugiyono (dalam Andi Prastowo, 2012: 211) menjelaskan bahwa

sumber primer adalah yang memberi informasi langsung kepada pengumpul

data. Selanjutnya Sumadi Suryabrata menyebutkan bahwa data primer

adalah “data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau

petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya”26. Dalam penelitian ini terdapat 2

sumber primer, yakni Kitab Betaljemur Adammakna dan masyarakat

Surabaya yang tinggal di kecamatan Wonocolo.

b. Sumber Sekunder

Sumber atau data sekunder adalah sumber atau data yang didapat dari

atau disimpan oleh orang lain27. Dalam penelitian ini, yang akan dijadikan

sumber data penunjang oleh peneliti adalah buku, skripsi, jurnal, dan artikel

yang pembahasannya (secara langsung atau tidak) berkaitan dengan

primbon secara umum, dan kitab Betaljemur Adammakna secara khusus.

Selanjutnya, dalam meneliti masyarakat Surabaya, penulis

menggunakan sumber penunjang yang berupa keterangan atau

catatan-26

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), 39

27

Dermawan Wibisono, Panduan Penyusunan Skripsi, Tesis, dan Disertasi

(Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), 154

(25)

17

catatan yang terdapat dalam situs online resmi kota Surabaya dan dokumen

atau arsip yang disimpan di kantor kecamatan Wonocolo.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono (2007: 62-63), sebagaimana dikutip oleh Andi Prastowo,

menjelaskan bahwa pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat

dilakukan dalam bermacam-macam latar (setting), sumber, dan cara28. Menurut latarnya (setting-nya), pengumpulan data bisa dilakukan pada latar alamiah (natural setting), pada suatu seminar, dalam diskusi, di jalan, dan lain sebagainya.

Menurut sumbernya, pengumpulan data bisa dilakukan dengan cara

menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah

yang memberi informasi langsung kepada pengumpul data, sementara sumber

sekunder adalah yang tidak bisa memberi informasi langsung kepada

pengumpul data. Menurut caranya, pengumpulan data dapat dilakukan dengan

observasi, interviu atau wawancara, kuesioner, dokumentasi, dan gabungan di

antara keempatnya.

Sejalan dengan hal itu, Suharsimi Arikunto menyebutkan sedikitnya 5

cara atau metode yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data, yakni:

penggunaan tes, penggunaan kuesioner atau angket, penggunaan metode

interviu, penggunaan metode observasi, dan penggunaan metode

28

Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspekif Rancangan

Penelitian (Jogjakarta: AR-RUZZ Media, 2012), 211

(26)

18

dokumentasi29. Sementara Lexy J. Moleong menyebutkan 4 metode yang dapat

dipakai dalam penelitian kualitatif, yakni: pengamatan, wawancara, catatan

lapangan, dan penggunaan dokumen30.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan sedikitnya 3 dari

metode-metode tersebut, yakni metode pengamatan atau observasi, metode

wawancara, dan metode penggunaan dokumen.

5. Teknik Analisis Data

Moleong (dalam Andi Prastowo, 2012: 238) menjelaskan bahwa analisis

data adalah “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.

Selanjutnya, Moleong (dalam Andi Prastowo, 2012: 264) menjelaskan

tahapan-tahapan analisis data sebagai berikut:

a. Tahap 1 (reduksi data)

Tahap ini terdiri dari 2 langkah. Pertama, identifikasi satuan atau unit, yakni mengidentifikasi atau mencari bagian terkecil yang ditemukan dalam

data yang memiliki makna jika dihubungkan dengan fokus dan masalah

penelitian. Kedua, membuat kode, yakni memberikan kode pada tiap satuan atau unit agar dapat ditelusuri asalnya.

b. Tahap 2 (kategorisasi data)

29

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:

PT. Rineka Cipta, 2010), 266-274

30

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Pt. Remaja

Rosdakarya, 2000), 125

(27)

19

Tahap ini juga terdiri dari 2 langkah. Pertama, menyusun kategori, yakni memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki

kesamaan. Kedua, setiap kategori atau bagian tersebut kita beri nama atau label.

c. Tahap 3 (sintesisasi)

Pada tahap ini, pertama kita melakukan sintesis (mencari hubungan di

antara satu kategori dengan kategori lainnya). Kemudian hubungan di antara

kategori-kategori tersebut diberi nama atau label kembali.

d. Tahap 4 (menyusun hipotesis kerja)

Menyusun hipotesis kerja maksudnya merumuskan suatu pernyataan

proposisional. Hipotesis kerja (pernyataan proposisional) yang kita

rumuskan ini merupakan teori substantif, yakni teori yang berasal dan

terkait dengan data. Hipotesis kerja hendaknya berhubungan dan juga

sekaligus menjawab pertanyaan penelitian.

Demikianlah teknik analisis data sebagaimana yang dijelaskan oleh Lexy

J. Moleong. Dalam penelitian ini, teknik analisis yang akan dipakai adalah

teknik tersebut.

6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Sugiyono (dalam Andi Prastowo, 2012: 265) menjelaskan bahwa terdapat

4 bentuk pengujian keabsahan data, yakni uji kredibilitas data (validitas

internal); uji dependabilitas (reliabilitas) data; uji transferabilitas (validitas

eksternal atau generalisasi); dan uji konfirmabilitas (objektivitas). Dari

(28)

20

adalah yang utama. Oleh karena itu, berdasar pendapat tersebut, dalam

penelitian ini yang diutamakan adalah uji kredibilitas data.

Uji kredibilitas data dapat dilakukan dengan tujuh teknik, yakni

perpanjangan pengamatan; meningkatkan ketekunan; triangulasi; diskusi

dengan teman sejawat; member check; analisis kasus negatif; dan

menggunakan bahan referensi.

Dalam penelitian ini, teknik yang dipakai untuk menguji kredibilitas atau

keabsahan data adalah teknik triangulasi. Denzin (dalam Andi Prastowo, 2012:

269-271) menyebutkan bahwa teknik ini dibagi menjadi 5 macam.

a. Triangulasi sumber

Triangulasi sumber adalah teknik pengecekan kredibilitas data yang

dilakukan dengan cara memeriksa data yang didapatkan melalui beberapa

sumber.

b. Triangulasi teknik atau metode

Hal ini adalah pengujian kredibilitas data dengan cara mengecek data

kepada sumber yang sama dengan teknik atau metode yang berbeda.

c. Triangulasi waktu

Triangulasi waktu adalah tindakan menguji kredibilitas data dengan

cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau teknik lain

dalam waktu atau situasi yang berbeda.

d. Triangulasi penyidik atau peneliti

Hal ini adalah tindakan memeriksa kredibilitas data dengan

(29)

21

kita. Cara ini dapat dilakukan dalam penelitian yang berbentuk tim. Bisa

juga dengan cara membandingkan data dari seorang peneliti dengan peneliti

yang lain.

e. Triangulasi teori

Hal tesebut adalah tindakan pemeriksaan kredibilitas data dengan cara

menggunakan lebih dari satu teori untuk memeriksa data temuan penelitian.

Dalam penelitian ini, teknik triangulasi yang terutama akan dipakai

adalah teknik triangulasi sumber (yakni memeriksa data dari sumber yang

berbeda).

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian skripsi ini akan ditulis dalam bentuk laporan penelitian skripsi.

Sistematika pembahasannya terdiri atas 5 bab. Adapun penjelasannya adalah

sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, penegasan judul,

penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan. Dalam

subbab metodologi penelitian, akan dijelaskan jenis penelitian, metode penelitian,

jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik

pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini.

Bab kedua merupakan penjelasan tentang landasan teoritik yang digunakan

dalam penelitian ini. Bab ini akan membahas tentang dasar-dasar teoritis yang

membantu dalam memahami tema-tema umum dalam primbon. Bab ini

(30)

22

Bahasan ini mencakup pembahasan tentang sistem kalender Jawa. Tema-tema

dalam primbon didasarkan banyak pada kalender ini. Bahasan kedua tentang

primbon Jawa. Bahasan ini mencakup pembahasan tentang pengertian primbon,

sejarah, dan tema-tema yang terdapat di dalamnya.

Selanjutnya pembahasan dalam bab ketiga merupakan lanjutan dari bab

kedua. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan teori kebudayaan.

Bab ini mencakup 2 bahasan. Bahasan pertama tentang pengertian budaya, wujud,

dan unsur-unsurnya. Sementara bahasan kedua tentang kehidupan religi

masyarakat Jawa.

Bab keempat merupakan paparan hasil analisis. Bab ini mencakup 3 pokok

bahasan. Bahasan pertama tentang struktur kitab Betaljemur Adammakna.

Bagaimana sistematika dari kitab ini merupakan inti pembahasan. Bahasan kedua

tentang isi atau tema yang terdapat dalam kitab tersebut. Bahasan terakhir

berbicara tentang analisis aplikasi primbon dalam masyarakat Surabaya.

Bab kelima merupakan bab penutup. Bab ini terdiri atas dua subbab, yakni

kesimpulan dan saran. Dalam subbab kesimpulan, diberikan paparan tentang

gambaran umum kitab Betaljemur Adammakna (deskripsi dan praktiknya) dan

teori-teori yang dipakai dalam menganalisisnya. Sementara dalam saran, peneliti

(31)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Primbon dalam Budaya Jawa

1. Definisi dan Makna Primbon

Untuk memahami kata primbon, sedikitnya terdapat 3 cara yang dapat

kita gunakan untuk memahaminya. Cara pertama adalah melalui proses

morfologis (penguraian kata). Cara kedua melalui proses etimologi (menelaah

makna dari suatu kata dasar). Terakhir, melalui proses terminologi (menelaah

konsep dari sebuah kata).

Secara morfologis, primbon berasal dari kata dalam Bahasa Jawa, yakni

bon (dapat juga dieja mbon atau mpon) yang artinya induk. Kata ini kemudian mendapat tambahan kata peri yang fungsinya untuk memperluas kata dasar1.

Peri sendiri dapat berarti hal, sifat, atau keadaan2. Dari sini dapat dipahami

bahwa secara etimologis primbon berarti sesuatu yang sifat atau keadaannya

adalah induk, khususnya induk dari pengetahuan.

Pengertian lain diberikan oleh Subalidinata. Subalidinata, sebagaimana

dikutip oleh Wahyu Widodo dari Sarworo3, menduga bahwa kata primbon

1

Wikipedia, “Primbon”, https://id.m.wikipedia.org/Wiki/Primbon (Minggu, 20

Desember 2015, 14.30)

2

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 671

3

Wahyu Widodo, “Kearifan Lokal dalam Mantra Jawa”, Prosiding The 4th

International Conference on Indonesian Studies, t.t, 967

(32)

24

berasal dari kata dasar imbu (yang berarti simpan atau peram) yang diberi

awalan pari- atau per- dan akhiran –an. Parimbon, perimbon, atau primbon

berarti “sesuatu yang disimpan”. Selain itu, primbon dapat diartikan juga

sebagai tempat simpan-menyimpan (yakni yang berupa kitab atau buku).

Dari segi etimologis, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi primbon sebagai kitab yang berisikan ramalan (perhitungan hari baik,

hari naas, dsb)4. Behrend, sebagaimana dikutip Bay Aji Yusuf, menyebutkan

bahwa primbon merupakan buku yang berisi perhitungan, perkiraan, ramalan

dan sejenisnya mengenai hari baik dan buruk untuk melakukan segala sesuatu,

serta perhitungan untuk mengetahui nasib dan watak pribadi seseorang

berdasarkan hari kelahiran, nama, dan ciri-ciri fisik5. Dia juga mengutip

Suwardi Endraswara yang menyebutkan bahwa primbon adalah gudang ilmu

pengetahuan6.

Dari definisi ini, tampak jelas bahwa primbon adalah suatu kitab atau

buku. Pemahaman ini juga memperjelas pemahaman sebelumnya, yakni

pengertian primbon secara morfologis. Jika dua pengertian tersebut

digabungkan maka didapat pemahaman bahwa primbon adalah kitab atau buku

induk yang berisi ramalan, perhitungan hari, dsb.

4

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 701

5

Bay Aji Yusuf, “Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat Jawa”, Skripsi tidak diterbitkan (Jakarta: Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 8

6 Ibid, 8

(33)

25

Pengertian terakhir adalah secara terminologis. Ditinjau dari segi ini,

Simuh menjelaskan primbon sebagai suatu jenis kepustakaan Islam kejawen.

Kepustakaan ini merupakan salah satu kepustakaan Jawa yang memuat

perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Jadi primbon

adalah nama atau istilah yang diberikan untuk jenis kepustakaan Jawa yang

isinya merupakan perpaduan dari tradisi Jawa dan ajaran Islam7.

Hampir sama dengan pendapat Simuh tersebut, Capt. R. P. Suyono dalam

bukunya Dunia Mistik Orang Jawa menyebutkan bahwa primbon adalah petangan yang dipakai oleh orang Islam8. Ia mendefinisikan petangan sebagai

keyakinan mengenai hubungan antara manusia dan roh-roh halus dan

merupakan sarana bantu dimana Yang Kuasa dapat menampakkan diri secara

tidak langsung kepada manusia9.

Dari ketiga definisi tersebut, kita dapat membuat suatu kesimpulan.

Yakni dapat dipahami bahwa primbon adalah sebuah buku atau kitab

(kepustakaan) dalam Islam kejawen yang memadukan unsur tradisi Jawa dan

ajaran Islam. Sementara itu, primbon isinya adalah ramalan, perhitungan hari,

dsb.

2. Sejarah Primbon

7

Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI

Press, 1988), 1-3

8

Capt. R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis

(Jogjakarta: LkiS, 2007), 4

9 Ibid, 3

(34)

26

Sejarah primbon tidak bisa dilepaskan dari gelombang kedatangan dan

persebaran agama Islam di pulau Jawa10. Menurut Simuh, kedatangan Islam ke

pulau Jawa juga diikuti dengan datangnya kepustakaan-kepustakaan Islam baik

yang berbahasa Arab maupun yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Melayu. Kepustakaan ini pada gilirannya juga mempengaruhi tradisi

kepustakaan budaya Jawa11.

Kepustakaan Islam yang masuk ke pulau Jawa, mengikuti pola yang

dipakai Simuh, dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam atau jenis. Yakni

kepustakaan yang dipakai oleh kaum santri dan kepustakaan yang isinya

merupakan pertemuan dari ajaran Islam dan tradisi Jawa12. Kepustakaan jenis

pertama, yakni yang dipakai kaum santri, isinya bertalian erat dengan

ajaran-ajaran syariat atau ajaran-ajaran-ajaran-ajaran agama.

Sementara kepustakaan jenis kedua, yakni yang isinya merupakan

perpaduan dari ajaran Islam dan tradisi lokal, isinya banyak berkaitan dengan

tasawuf dan nila-nilai luhur dalam tasawuf. Simuh menyebut jenis kepustakaan

ini sebagai kepustakaan Islam kejawen. Menurutnya, bahasa yang dipakai

dalam kepustakaan ini adalah bahasa Jawa. Selain itu, jenis kepustakaan ini

jarang berbicara tentang persoalan hukum (syariat)13.

10

Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI

Press, 1988), 9

11 Ibid, 9

12 Ibid, 2

13

Ibid, 2-3

(35)

27

Selain itu, menurut Simuh, kepustakaan jenis kedua ini biasanya disebut

dengan nama primbon, wirid, dan suluk. Dua nama yang terakhir (yakni wirid dan suluk) berasal dari bahasa Arab dan biasanya berisi ajaran-ajaran tasawuf. Sementara primbon isinya merangkum berbagai macam ajaran yang

berkembang dalam tradisi Jawa, seperti petungan, ramalan, guna-guna, dan

sebagainya, meski primbon juga memuat ajaran-ajaran Islam14.

Menurut Simuh, berdirinya kerajaan Mataram Islam membuat

kepustakaan Islam kejawen semakin tumbuh subur15. Menurutnya kalangan

istana juga mempunyai kepentingan yang besar untuk mempertemukan

ajaran-ajaran Islam dan tradisi Jawa. Ia menyebutkan bahwa dalam pemerintahan

Panembahan Seda Krapyak (1601-1613) muncul berbagai serat suluk yang mempertemukan tradisi Jawa dengan ajaran mistik Islam. Di antaranya adalah

SeratSulukWujil dan SulukMalangSumirang16.

Raja sesudahnya, yakni Sultan Agung (1613-1645) melancarkan politik

islamisasi untuk mempertemukan tradisi Jawa dan ajaran Islam. Salah satu

agenda yang dilakukan Sultan Agung adalah menyusun kalender Jawa sebagai

kalender baru yang merupakan perpaduan dari kalender Saka dan kalender

Hijriah. Hal ini yang membuat kepustakaan Islam kejawen semakin tumbuh

subur17.

14 Ibid, 3

15

Ibid, 23

16

Ibid, 23-24

17

Ibid, 24

(36)

28

Kepustakaan Islam kejawen tertua yang berhasil ditemukan diperkirakan

berasal dari abad keenam belas. Kepustakaan tersebut berbentuk manuskrip

atau tulisan tangan. Kedua manuskrip tersebut kemudian dikenal dengan nama

Het Boek van Bonang (Buku Sunan Bonang) dan Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (PrimbonJawaAbadEnamBelas).

Penamaan pustaka yang pertama, yakni Buku Sunan Bonang, oleh seorang peneliti bernama G.W.J. Drewes dianggap kurang tepat. Nama yang

lebih tepat menurutnya adalah The Admonition of Seh Bari atau Pitutur Seh Bari. Sementara manuskrip yang kedua, yakni Primbon Jawa Abad Enam Belas, di dalam manuskrip ini terdapat penyebutan kitab Ihya’ Ulumiddin karya al-Ghazali.

Menurut Bay Aji Yusuf, pada mulanya primbon hanya berupa catatan

pribadi yang diwariskan turun-temurun antar generasi (dalam bentuk

manuskrip atau tulisan tangan). Barulah pada awal abad ke-20 primbon mulai

dicetak dan diedarkan secara bebas. Primbon cetakan tertua diterbitkan pada

tahun 1906 Masehi oleh De Bliksem dengan ketebalan 36 halaman. Namun

primbon tersebut menurutnya belum tersusun secara sistematis.

Bay Aji Yusuf melanjutkan bahwa primbon yang lebih sistematis

diterbitkan pada tahun 1930-an. Kemudian pada perkembangan selanjutnya,

primbon bukan lagi hanya sekadar catatan keluarga, tapi merupakan petunjuk

(37)

29

Adammakna yang terdiri atas beberapa seri dalam bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia (salah satunya adalah kitab BetaljemurAdammakna)18.

3. Macam-Macam Isi Primbon

Mengenai isi atau kandungan yang ada dalam primbon, Suwardi

Endraswara (sebagaimana dikutip Bay Aji Yusuf) menyebutkan adanya 11

tema. Dengan kata lain, pada umumnya primbon mengandung salah satu atau

beberapa (bahkan mungkin keseluruhan) dari tema-tema tersebut. Adapun

kesebelas tema tersebut adalah sebagai berikut:19

a. Pranata Mangsa

Pranata Mangsa adalah kalender yang dipakai untuk menandai musim.

Pranata Mangsa disebut juga tafsir ngalam semesta. Pranata mangsa digunakan kaum tani pedesaan untuk menghitung waktu tandur (menanam

padi) atau nelayan untuk mengetahui waktu melaut.

b. Petungan

Petungan adalah perhitungan neptu. Neptu adalah nilai numerik dari

suatu hal (biasanya waktu dan huruf). Contohnya, dalam primbon hari Ahad

mempunyai neptu 5. Ini berarti, hari Ahad mempunyai nilai numerik 5.

Begitu pula dengan huruf dan sebagainya.

Dalam petungan ada juga istilah weton. Weton adalah gabungan dari

salah satu hari dalam sepekan dengan salah satu hari dalam pasaran.

18

Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Tangerang: Cakrawala, 2003),

119; Bay Aji Yusuf, “Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat Jawa”, Skripsi tidak diterbitkan (Jakarta: Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 24-25

19

Ibid, 8-10

(38)

30

Misalnya, Senin Legi. Senin adalah sebuah hari dalam pekan, dan Legi

adalah salah satu hari dalam pasaran. Gabungan keduanya inilah yang

disebut dengan nama weton.

c. Pawukon

Pawukon berasal dari kata wuku. Sesuai namanya, pawukon

merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan perhitungan wuku.

d. Pengobatan

Tema ini juga merupakan salah satu tema umum dalam primbon.

Pengobatan yang dimaksud adalah pengobatan tradisional.

e. Wirid

Meskipun nama ini sekilas mirip dalam salah satu tradisi dalam Islam,

yakni zikir, namun wirid disini berarti lain. Dalam terminologi Suwardi

Endraswara, wirid merupakan bacaan atau tulisan yang biasanya berasal dari

kitab Weda. Dalam wirid terkandung pesan, sugesti, atau larangan yang

berkaitan dengan hal rohaniah (mistik).

f. Aji-Aji

Aji-Aji adalah bacaan (mantra) yang diyakini memiliki efek magis

atau supranatural. Dalam kitab Betaljemur Adammakna, salah satu

contohnya adalah Aji Begananda. Aji Begananda adalah mantra yang dapat

dipakai untuk menidurkan orang20.

g. Kidung

20

Harya Cakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna Bahasa Indnesia (Jogjakarta: CV. Buana Raya, tt), 220

(39)

31

Kidung merupakan syair yang di dalamnya terkandung nasihat, kata

bijak, dan sebagainya. Dalam kitab Betaljemur Adammakna, salah satu

contohnya adalah Dandanggula dan Kinanti21.

h. Ramalan atau Jangka

Ramalan hampir mirip dengan petungan. Hanya saja, ramalan

merupakan tema yang lebih luas. Ramalan tidak hanya berkaitan dengan

masalah individu seperti jodoh dan nikah, akan tetapi bersifat lebih luas.

Salah satu contoh yang terkenal adalah ramalan atau Jangka Jayabaya.

i. Tata Cara Slametan

Tema tersebut berisi praktik ritual atau praktik sakral yang dilakukan

oleh orang atau masyarakat Jawa. Secara sederhana dapat dipahami sebagai

tata cara ritual orang Jawa sebagai tanda syukur, tolak bala, ataupun yang

lainnya.

j. Donga atau Mantra

Donga (dalam ejaan Indonesia baku disebut doa) atau mantra mirip

dengan Wirid dan Aji-Aji. Hanya bedanya, Donga atau Mantra

menggunakan ayat-ayat al-Quran yang ejaannya dijawakan.

k. Ngalamat atau Sasmita Gaib

Ngalamat adalah tanda. Yang dimaksud dengan Ngalamat disini

adalah fenomena aneh atau ganjil yang terjadi di sekitar kita atau di alam.

Sebagian masyarakat Jawa menganggap fenomena ganjil sebagai suatu

pertanda.

21

Ibid, 43-44

(40)

32

B. Sistem Kalender Dunia

Kalender adalah sistem pengorganisasian hari untuk tujuan sosial,

keagamaan, komersial, dan administratif. Pengorganisasian ini dilakukan dengan

memberi nama terhadap periode-periode waktu, yang biasanya berupa hari,

minggu, bulan, dan tahun. Periode waktu dalam kalender (seperti tahun dan bulan)

biasanya disesuaikan dengan peredaran matahari dan bulan22.

Kalender (dalam bahasa Inggris calendar) berasal dari kata calendae. Istilah ini (yakni calendae) digunakan untuk menunjuk hari pertama dalam sebulan dalam kalender Romawi. Kalender yang umum digunakan saat ini adalah kalender

Gregorian. Kalender ini diperkenalkan pada abad 16 dan merupakan modifikasi

dari kalender Julian. Kalender Julian sendiri pada gilirannya juga merupakan

perubahan dari kalender Romawi kuno23.

1. Kalender Romawi

Beberapa penulis percaya bahwa kalender Romawi berasal dari Romulus

(tokoh mitologis yang dipercaya sebagai pendiri kota Roma). Kalender

Romulus ini hanya mempunyai 10 bulan (304 hari), yakni24:

No. Nama Bulan Urutan Hari Keterangan

1 Martius Pertama 31 Nama yang diberikan untuk

menghormati Mars (dewa perang)

2 Aprilis Kedua 30 Dari kata aperio yang artinya

membuka (maksudnya adalah bumi

22

Wikipedia, “Calendar”, https://en.m.wikipedia.org/wiki/Calendar (Sabtu, 28

Mei 2016, 12.49)

23 Ibid

24

Wikipedia, “Roman calendar”,

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Roman_calendar (Sabtu, 28 Mei 2016, 13.37)

(41)

33

membuka atau menerima benih)

3 Maius Ketiga 31 Berasal dari Maia (dewi pertumbuhan)

4 Iunius Keempat 30 Berasal dari iunior, yakni “yang lebih

muda atau junior”

5 Quintilis Kelima 31 Berasal dari angka 5 dalam bahasa

Latin, yakni Quinque

6 Sextilis Keenam 30 Berasal dari angka 6 dalam bahasa

Latin, yakni Sex

7 September Ketujuh 30 Berasal dari angka 7 dalam bahasa

Latin, yakni Septem

8 October Kedelapan 31 Berasal dari angka 8 dalam bahasa

Latin, yakni Octo

9 November Kesembilan 30 Berasal dari angka 9 dalam bahasa

Latin, yakni Novem

10 December Kesepuluh 30 Berasal dari angka 10 dalam bahasa

Latin, yakni Decem Tabel1 Nama-Nama Bulan Romawi Kuno

Kalender Romulus ini kemudian direformasi (diadakan perubahan) oleh

Numa Pompilius (raja kedua dari 7 raja-raja kuno Roma). Orang Romawi

menganggap angka genap sebagai kurang beruntung. Oleh karenanya, Numa

kemudian mengambil 1 hari dari tiap-tiap bulan yang jumlah harinya 30

(karena terdapat 6 bulan yang jumlah harinya 30 maka ada 6 hari yang

diambil). Pada saat yang sama, ternyata musim dingin yang berjumlah 51 hari

tidak masuk di kalender. Akhirnya, 6 hari yang diambil dari keenam bulan itu

dijumlahkan dengan 51 hari musim dingin sehingga jumlahnya menjadi 57.

57 hari ini kemudian oleh Numa dijadikan 2 bulan yang baru, yakni

Januari (jumlah harinya 29) dan Februari. Februari mendapat jumlah hari yang

kurang beruntung (yakni 28). Namun hal ini dapat ditolerir karena bulan

(42)

34

mempunyai 12 bulan (dengan tambahan Januari dan Februari) dengan jumlah

355 hari25.

Setelah itu terdapat reformasi lagi yang dilakukan oleh Gnaeus Flavius

pada tahun 304 sebelum Masehi.

Reformasi keempat kalinya terhadap kalender Romawi dilakukan oleh

Julius Caesar pada tahun 46 SM. Kalender yang sudah direformasi olehnya

kemudian diberi nama kalender Julian. Sebagai penghormatan terhadap Julius

Caesar, Mark Antony mengganti nama bulan Quintilis menjadi Iulius (Juli) pada tahun 44 SM. Kemudian pada jaman kaisar Augustus (pengganti Julius

Caesar), yakni pada tahun 8 SM, bulan Sextilis diganti nama menjadi Augustus (Agustus)26.

Kalender Julian merupakan kalender yang dipakai di seluruh wilayah

Romawi, juga di hampir seluruh benua Eropa dan wilayah-wilayah jajahan

bangsa Eropa, hingga kalender ini dimodifikasi dan digantikan oleh kalender

Gregorian27. Dalam kalender Julian, jumlah hari dalam setahun menjadi 365

hari. Tiap empat tahun sekali, jumlah hari dalam Februari ditambah 1 hari. Ini

disebut dengan tahun kabisat (leapyear)28.

Terakhir, reformasi kelima dilakukan oleh Paus Gregorius XIII. Kalender

ini merupakan perbaikan (pengurangan) terhadap kalender Julian sebanyak

25 Ibid

26 Ibid

27

Wikipedia, “Julian calendar”, https://en.m.wikipedia.org/wiki/Julian_calendar

(Sabtu, 28 Mei 2016, 13.16)

28 Ibid

(43)

35

0,002 persen dalam setahun. Jadi jika dalam kalender Julian, setahun

panjangnya adalah 365,25 hari maka dalam kalender Gregorian panjang tahun

menjadi lebih pendek, yakni 365,2425 hari. Kalender Gregorian disebut juga

dengan kalender Barat atau kalender Kristen. Kalender ini diperkenalkan pada

bulan Oktober tahun 158229.

Dalam kalender Gregorian terdapat beberapa modifikasi atas kalender

Julian. Di antaranya tentang tahun kabisat. Menurut kalender Gregorian, setiap

abad yang habis dibagi 4 belum tentu merupakan tahun kabisat. Sebuah abad

bisa menjadi tahun kabisat hanya apabila bisa dibagi 400. Sebagai contoh,

tahun 1700, 1800, dan 1900 bukanlah tahun (abad) kabisat meski bisa dibagi 4

karena ketiganya tidak habis jika dibagi 400. Akan tetapi tahun 2000

merupakan tahun kabisat karena selain habis dibagi 4 juga bisa dibagi 40030.

2. Kalender Islam

Kalender Islam adalah kalender lunar (yakni kalender yang didasarkan

pada peredaran bulan). Kalender Islam juga disebut dengan kalender Hijriah

atau Anno Hijri (AH). Kalender ini terdiri atas 12 bulan yang jumlah harinya adalah 354 atau 355 hari. Tahun pertama kalender Hijriah dimulai pada 622

Masehi, yakni pada masa hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah31.

29

Wikipedia, “Gregorian calendar”,

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Gregorian_calendar (Sabtu, 28 Mei 2016, 13.08)

30 Ibid

31

Wikipedia, “Islamic calendar”,

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Islamic_calendar (Sabtu, 30 Mei 2016, 04.03)

(44)

36

Adapun nama-nama bulan dalam kalender Hijriah adalah sebagai

berikut32:

No. Nama Bulan Urutan Arti Keterangan

1 Muharram Pertama

Terlarang (hal ini karena perang dan

semua jenis pertarungan dilarang pada bulan

ini)

Terdapat hari Asyura (yakni hari kesepuluh dalam bulan

ini).

2 Shafar Kedua

Kosong atau kekosongan (karena pada bulan

ini para penghuni rumah sering berada di luar rumahnya untuk

Juga disebut bulan untuk menggembala (karena selama bulan ini hewan ternak akan digembalakan)

4 Rabi’ al-Tsani Keempat Musim semi kedua

5 Jumada al-Ula Kelima

Tanah panas pertama (the first of

parched land)

Sering disebut musim panas (summer) pada masa

pra-Islam. Kata jumada juga bisa berarti “dingin”. Sumber lain menyebutkan

bahwa pada bulan ini air akan menjadi terasa dingin.

6 Jumada

al-Akhirah Keenam

tanah panas terakhir (the last

parched land).

7 Rajab Ketujuh Penghormatan atau

kehormatan

Kata rajab berarti “melepaskan” (pada masa pra-Islam bangsa Arab akan

melepaskan (ujung) mata tombak mereka dan menahan diri untuk tidak berperang). Pada bulan ini

juga dilarang berperang.

8 Sya’ban Kedelapan Bertebaran

Pada bulan ini, suku-suku Arab mulai berpencar untuk

mencari air. Kata sya’ban juga bisa berarti “berada di

32 Ibid

(45)

37

antara dua hal”. Menurut sumber lain, penamaan ini karena posisi Sya’ban yang terletak di antara Rajab dan

Ramadan.

9 Ramadan Kesembilan

Panas yang membakar (pada

bulan ini suhu menjadi sangat

bulan ini (yakni dengan berpuasa,

hasrat atau keinginan duniawi

akan dibakar)

Bulan paling mulia dalam kalender Hijriah. Pada bulan ini, orang-orang Islam melakukan puasa.

10 Syawwal Kesepuluh Diangkat atau

dinaikkan

Pada bulan ini, biasanya unta betina akan berlutut dan mengangkat ekornya.

11 Dzu al-Qa’dah Kesebelas Yang duduk (untuk

gencatan senjata)

Pada bulan ini juga dilarang melakukan peperangan.

Pihak yang diserang diperbolehkan memberikan

perlawanan.

12 Dzu al-Hijjah Melakukan ziarah

(haji)

Ini adalah bulan haji (ziarah ke Mekah) bagi orang-orang muslim. Pada bulan ini juga dilarang berperang. Tabel2 Nama-Nama Bulan dalam Kalender Hijriah

Dari 12 bulan tersebut, terdapat 4 bulan yang dianggap bulan suci, yakni

Muharram, Rajab, Dzu al-Qa’dah, dan Dzu al-Hijjah. Dalam tradisi Islam telah

disepakati bahwa Arab bagian Tihamah, Hijaz, dan Najd membagi bulan ke

(46)

38

haram ini adalah keempat bulan suci yang disebut di awal. Disebut bulan haram, karena pada keempat bulan tersebut dilarang melakukan peperangan33.

Dalam kalender Hijriah, hari pertama dalam sepekan adalah Ahad

(artinya “yang pertama”). Dan sama halnya dengan kalender Yahudi dan

kalender Baha’i, perhitungan hari dalam kalender Hijriah dimulai dari

tenggelamnya matahari (jadi hari Ahad, misalnya, dimulai dari tenggelamnya

matahari pada hari Sabtu; begitu seterusnya). Ini berbeda dari kalender Kristen

yang memulai perhitungan hari dari pertengahan malam. Jadi hari Senin,

misalnya, dimulai dari pukul 12.01 tengah malam dari hari Minggu. Begitu

juga seterusnya34.

Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa kalender Hijriah adalah

kalender lunar. Meski demikian ada juga kalender solar (yakni kalender yang

berdasar peredaran matahari) yang dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi

Muhammad. Dengan kata lain, kalender ini disebut kalender Solar Hijriah

(solar Hijri calendar) atau kalender Syamsiyah Hijriah (Shamsi Hijri calendar). Kalender ini menjadi kalender resmi di Iran dan Afghanistan35.

Di samping hal itu, sebagaimana kalender solar Gregorian atau Masehi,

kalender lunar Hijriah juga mengenal tahun kabisat. Menurut perhitungan

aritmetis, tahun kabisat Hijriah berlangsung tiap 3 tahun sekali (berbeda dari

tahun kabisat Masehi yang berlangsung tiap 4 tahun sekali).

33 Ibid

34 Ibid

35

Wikipedia, “Solar Hijri calendar”,

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Solar_Hijri_calendar (Sabtu, 30 Mei 2016, 17.12)

(47)

39

Selain itu, dalam penentuan tahun kabisat, dikenal pula penggunaan

kalender tabel Islam (tabular Islamic Calendar). Secara garis besar, terdapat 2 model dalam kalender ini, yakni siklus 8 tahunan dan siklus 30 tahunan. Dalam

siklus 8 tahunan, terdapat 3 tahun kabisat dan 5 tahun biasa. Sementara dalam

siklus 30-tahunan, terdapat 11 tahun kabisat dan 19 tahun biasa. Adapun

perincian tahun-tahun kabisat tersebut adalah sebagaimana tabel berikut36:

No. Jenis Kalender Siklus Tahun Kabisat Keterangan

1 Kalender Mesir atau

Fatimiah 30 tahun

2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan

29

2 Komunitas Ismaili

Tayyebi 30 tahun diperbarui tiap 120

tahun dengan cara menghilangkan satu hari terakhir pada tiap 120 tahun

sekali Tabel3 Cara Mencari Tahun Kabisat Kalender Hijriah

3. Kalender Jawa

36

Wikipedia, “Tabular Islamic calendar”,

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Tabular_Islamic_calendar (Rabu, 29 Juni 2016, 15.06)

37

Dalam kalender Jawa, siklus ini dikenal dengan nama Windu. Satu windu terdiri dari 8 tahun. Tahun-tahun dalam siklus ini mempunyai nama masing-masing. Secara berurutan, nama tahun-tahun dalam kalender Jawa Hijriah dalam siklus ini adalah sebagai berikut: tahun Alip, tahun Ehe, tahun Jimawal, tahun Je, tahun Dal, tahun Be,

tahun Wawu, dan tahun Jimakir. Harya Cakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur

Adammakna Bahasa Indonesia (Jogjakarta: CV. Buana Raya, tt), 7

(48)

40

Menurut situs SabdaDewi, tidak banyak suku atau bangsa di dunia yang

mempunyai kalender sendiri. Di antara yang sedikit itu, Jawa termasuk yang

mempunyai kalender sendiri. Hampir sama dengan pandangan tersebut adalah

pendapat Crawfurd. Menurutnya suku bangsa Jawa adalah satu-satunya suku

bangsa di kepulauan (Indonesia) yang memiliki kalender sendiri38. Di samping

itu, Crawfurd dan Raffles agaknya memiliki pandangan berbeda mengenai

unsur atau bagian tertentu dari kalender Jawa. Unsur atau bagian tersebut

adalah sistem Pancawara39 (yang akan dijelaskan selanjutnya).

Kalender Jawa diciptakan pada tahun 911 sebelum Masehi oleh Empu

Hubayun. Beberapa abad sesudahnya, pada tahun 50 SM, Prabu Sri

Mahapunggung I (yang dikenal juga dengan Ki Ajar Padang I) melakukan

perubahan terhadap aksara dan sastra Jawa40. Barulah kemudian pada tahun 78

Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap kalender tersebut.

Dalam hal ini, Prabu Ajisaka memasukkan angka “0” (nol) yang dia

adopsi dari India ke dalam kalender Jawa. Peristiwa ini terjadi tepatnya pada

21 Juni 78 Masehi. Dari situ pulalah dimulai tahun pertama kalender Jawa

baru. Kalender ini (agaknya disesuaikan dengan nama pembuatnya) kemudian

38

John Crawfurd, History of the Indian Archipelago (Edinburgh: Archibald

Constable and Co. Edinburgh, 1820), 285

39

Crawfurd memandang bahwa sistem Pancawara memang asli milik suku bangsa Jawa (Ibid, 289). Sementara itu, Raffles memandang sistem tersebut sebagai sistem paling awal dan paling umum yang dipakai suku bangsa Jawa, tanpa menyebutkan apakah sistem tersebut memang asli milik suku bangsa Jawa atau tidak. Sir Thomas

Stamford Raffles, The History of Java (London: John Murray, Albemarle-Street, 1830),

532 40

Sabdadewi, “Jawa Punya Kalender”,

https://sabdadewi.wordpress.com/2013/12/27/jawa-punya-kalender/ (Sabtu, 04 Juni 2016, 11.20)

(49)

41

dikenal dengan sebutan kalender Saka. Oleh karena itu, tahun 1 kalender Saka

bertepatan dengan 21 Juni 78 Masehi41.

Budaya Jawa mengenal 10 siklus perputaran hari atau 10 jenis minggu

atau pekan, yakni sebagaimana dalam tabel di bawah. Namun begitu, hanya 2

jenis pekan yang tetap dipakai sampai sekarang. Keduanya adalah Pancawara

(pekan yang berisi 5 hari) dan Saptawara (pekan yang berisi 7 hari)42.

No. Nama Pekan Jumlah Hari

Tabel 4 Macam-Macam Siklus Mingguan Masyarakat Jawa

Pancawara (pekan yang berisi 5 hari) disebut juga dengan istilah pasar atau pasaran. Sesuai dengan namanya (yakni pasar atau pasaran), pekan pancawara ini memang dipakai sebagai patokan untuk menentukan waktu dan

tempat pembukaan pasar43. Menurut Crawfurd, sistem pekan 5 hari ini

merupakan asli milik orang Jawa (berbeda dengan pekan 7 hari yang berasal

41 Ibid

42

Sabdadewi, “Sistem Kalender Jawa”,

https://sabdadewi.wordpress.com/2013/12/27/sistem-kalender-jawa/ (Kamis, 23 Juni 2016, 15.19)

43

Dalam hal ini, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java

memandang bahwa sistem pancawara ini merupakan sistem pekan paling awal dan paling umum yang dipakai oleh masyarakat Jawa. Sir Thomas Stamford Raffles, The History of Java (London: John Murray, Albemarle-Street, 1830), 531-532

Gambar

Tabel 4 Macam-Macam Siklus Mingguan Masyarakat Jawa
Tabel 5 Hari-Hari dalam Pasaran Jawa
Tabel 7 Nama-Nama Wuku (Pekan dalam Siklus Tertentu)
Tabel 8 Nama-Nama Bulan dalam Kalender Jawa Pra-Hijriah
+6

Referensi

Dokumen terkait