• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU : ANALISIS HADIS SUNAN AL-NASA’I NO. INDEKS 5396.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU : ANALISIS HADIS SUNAN AL-NASA’I NO. INDEKS 5396."

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU

(Analisis Hadis Sunan al-Nasa>

’i

No. Indeks 5396)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

IMAM HASANUDIN NIM : E03212054

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Hasanudin, Imam. 2016. Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu (Analisis

Hadith al-Nasa>’i No Indeks 5396). Skripsi, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas

Ushuluddin dan filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Zainul Arifin, MA.

Kata Kunci: Anak kandung, wali nikah ibu, hadith nabi

Anak kandung menjadi wali nikah ibu merupakan permasalahan yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) dan Imam al-Muzani dari kalangan Syafi‟iyyah memperbolehkan seorang anak menjadi wali nikah ibu. Berbeda dengan pandangan imam Syafi‟i dan ulama-ulama yang berafiliasi kepada madzhab Syafi‟i yang tidak memperbolehkan seorang anak menjadi wali nikah ibunya kecuali anak tersebut kedudukannya sebagai anak anaknya paman (ibn ibni ammiha), orang yang memerdekakan, hakim atau penghulu, dan wakil dari walinya ibu.

Mengingat kedua pendapat di atas sama-sama berangkat dari interpretasi yang berbeda terhadap hadis Nabi yang salah satunya adalah hadith yang berbunyi ر ع اي

هجو ف ه لوسر جو ف مق maka penelitian ini diarahkan pada tiga kajian pokok yaitu

menyangkut validitas keshahihan hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي dalam tinjauan ilmu hadis, begitu juga mengenai kandungan dan implikasi hukum yang dapat ditimbulkan dari pemahaman terhadap hadith tersebut.

Dengan demikian, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian perpustakaan (library research), tentu saja data-data yang dibutuhkan berupa literatur yang mempunyai relevansi terhadap tema kajian dengan menggunakan metode dokumentasi, yakni metode pengumpulan data melalui penelusuran terhadap data-data kepustakaan, baik yang berupa sumber data primer, sekunder, atau bahkan data-data yang bersifat tersier. Kemudian data tersebut dipahami dengan menggunakan pendekatan historis, tekstual, dan kontekstual. Pendekatan historis digunakan untuk melihat sisi validitas hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي dari sisi sanad maupun matannya. Sementara analisis tekstual digunakan untuk memberikan pemaknaan terhadap hadis yang dimaksudkan dari sisi redaksi maupun gramatikanya, sedangkan analisis kontekstual dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk menelaah setting historis pada saat hadis هجو ف ه لوسر جو ف مق ر ع اي disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.

(7)

(8)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Kajian Pustaka ... 11

G. Penegasan Judul ... 11

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... .... 17

BAB II : HADIS NABAWI SERTA PANDANGAN ANAK MENJADI WALI NIKAH IBU A.Hadis ... 19

B. Kritik Hadis: Perspektif Definitif-Historis ... 21

C. Kritik Sanad dan Standarisasi Keshahihan ... 29

(9)

E. Unsur Metodologis Dalam Kritik Hadis ... 46

F. Pendekatan Dalam Kritik dan Fiqh al-Hadis ... 55

G.Tinjauan Hukum Terhadap Status Anak Menjadi Wali Nikah Ibu 59 BAB III : IMAM AL-NASA’I DAN HADIS TENTANG ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU A.Biografi Imam al-Nasa’i ... 86

B. Hadith Tentang Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 96

C. Takhrij al-Hadis ... 97

D.Skema Sanad Hadis ... 100

E. I‟tibar al-Sanad ... 102

F. Data Biografi Perawi Hadis Tentang Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 103

BAB IV : ANALISIS VALIDITAS HADIS TENTANG ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU NO. INDEKS 5396 ... A.Analisis Kualitas Hadis Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 112

B. Analisis Kandungan Hadis Anak Kandung Menjadi Wali Nikah Ibu ... 124

C. Analisis Implikasi Hukum Hadis Anak Kadung Menjadi Wali Nikah Ibu ... ... 127

BAB V : PENUTUP A.Kesimpulan ... 130

B. Saran ... ... 131

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Islam adalah agama yang komprehensif yang mengatur segala aspek kehidupan

baik yang berhubungan dengan dimensi individual maupun dimensi sosial, vertikal maupun horizontal, dunia maupun akhirat. Semua ajaran dalam Islam bersumber dari dua asas dasar yaitu al-Qur‟an dan al-Hadis.

Syari‟at Islam merupakan bentuk rahmat dan kemas{lahatan yang diperuntukkan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dan semua hukum-hukum syari‟at

selalu didasarkan pada kemaslahatan manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan awal dari diutusnya Rasulullah SAW yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Anbiya‟: 107

َْيِمَلاَعْلِل ًةََْْر اِّإ َكاَْلَسْرَا اَمَو

.1

“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Al-„Allamah al-Qurt{ubi mengatakan: “ tidak ada pertentangan diantara orang-orang yang berakal bahwa shari‟at para nabi bertujuan untuk kemas{lahatan makhluk,

baik yang berhubungan dengan agama maupun dunia.”2

(11)

2

Hal senada juga disampaikan oleh Imam al-Shat{ibi dalam kitabnya “al-Muwafaqat”:

ٍقاَفِ تاِب ِحِلاَصَمْلا ِراَبِتْعا ىَلَع َةَعْ يِراشلا َعَضَو ُعِرااشلا

3

“Shari‟ (Allah dan Rasul-Nya) meletakkan shari‟ah berdasarkan atas kemaslahatan menurut kesepakatan para ulama.”

Menurut Imam al-Ghazali, tujuan dari penshari‟atan itu ada lima yaitu menjaga agama (hifz{ al-di<n), menjaga jiwa (hifz{ al-nafs), menjaga akal (hifz{ al-„aql), menjaga keturunan (hifz{ al-nasl), dan menjaga harta (hifz{ al-ma>l). Oleh karena itu segala sesuatu yang memuat atas terjaganya kelima dasar tersebut dinamakan maslahah. Dan segala sesuatu yang bisa menyebabkan ketiadaanya disebut mafsadah, dan menghilangkan mafsadah merupakan bentuk dari kemaslahatan.4

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa menjaga keturunan (hifz{ al-nasl) merupakan salah satu dari tujuan penshari‟atan ( al-maqas{id shar‟iyyah al-Khamsah). Dan demi terjaganya keturunan, Islam telah menshari‟atkan pernikahan dan mengharamkan zina. Hal ini dimaksudkan untuk kemas{lahatan manusia itu sendiri, yaitu demi kelangsungan hidupnya di dunia dan untuk mengharap ridha Allah SWT.

2 Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, (Riyadh: Dar „Alam al-Kutub, 2003), jilid II: 64.

3 Al-Syathibi, al-Muwafaqat, (Madinah: Da>r Ibni Affan, 1997), jilid I: 221

(12)

3

Dengan disyari‟atkannya pernikahan, maka akan diketahui nasab dari seseorang, apakah dinisbatkan kepada si fulan ataukah kepada si fulan yang lain. Dan hal ini berbeda dengan zina.

Dalam masalah pernikahan tentu tidak bisa lepas dari syarat dan rukun. Dan diantara syarat sah nikah adalah wali. Abdurrahman al-Jaziri mendevinisikan wali nikah sebagai berikut:

ِِنْوُدِب ُحِصَي َََف ِدْقَعْلا ُةاحِص ِْيَلَع ُفاقَوَ تَ ي ْيِذالا َوُ ِحاَكِلا ِِ َُِِوْلَا

5

“Wali nikah adalah sesuatu yang menjadikan sahnya suatu akad, maka akad dipandang tidak sah tanpa adanya sesuatu tersebut.”

Terlepas dari pendapat Imam Abu Hanifah, wali nikah merupakan suatu hal yang harus ada dalam akad nikah. Oleh karena itu nikah tanpa wali menurut jumhur ulama dipandang tidak sah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, bahwa wali nikah itu ada yang disepakati (mujma‟ alaih) seperti ayah, kakek, dan saudara laki-laki kandung. Dan ada pula yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) seperti anak.

Dalam masalah anak menjadi wali nikah, para ulama berbeda pendapat. Maz{hab

Syafi‟i menjelaskan bahwa seorang anak tidak bisa menjadi wali nikah ibunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm.

ِو َََف ٍدَلَو ُدَلَو وأ ٌدَلَو ِةَجاوَزُمْلِل ناك ْنِإَو ِبَْْا ِلَبِق نم اّإ ِحاَكِلا ي ِةَباَرَقْلِل َةَي َِّو َّ

مه َةَي َّ

اَِِ اهيف

ةَبَصَعْلاِب ُةَي َِّوْلا مه َنوُكَتَ ف ًةَبَصَع اوُنوُكَي ْنَأ اّإ ٍل

6

5Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madh>ahib al-Arba‟ah, (Beirut: Da>r Kutub

al-Islamiyah, tt), 29

(13)

4

“Tidak ada perwalian dalam nikah bagi kerabat kecuali dari silsilah ayah. Jika wanita yang dinikahi mempunyai anak atau cucu, maka sama sekali tidak ada perwalian bagi mereka kecuali mereka menjadi waris „ashabah, maka mereka berhak menjadi wali sebab „ashabah tersebut.”

Begitu juga yang terdapat dalam Hashiyah Bujayrami diterangkan:

ِةَث ََاثلا ِةامِئَْْا َعَم ِ َِِزُمْلِل اًف ََِخ ) ُامُأ ٌنْبا ُجِوَزُ ي ََّو ُُلْوَ ق (

7

“perkataan mus{annif: anak tidak boleh menjadi wali nikah ibunya, hal ini berbeda dengan pendapat al-Muzani dan imam ketiga maz{hab (Hanafi, Maliki, Hanbali).”

Sedangkan menurut selain maz{hab Syafi‟i, seorang anak itu bisa menjadi wali nikah ibunya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Syihab dari kalangan Malikiyah,

ْمُهْ ِم ، ٍضْعَ ب ْنِم اَِِ ُدَعْ قَأ ْمُهُضْعَ بَو ْمُهُلُك اًروُضُح اَُؤاَيِلْوَأ ُنوُكَي َةَأْرَمْلا َتْيَأَرَأ : ُتْلُ ق

ْلا

ُمَع

ْوَْْا ُرِئاَسَو اَُدَلَو َرَكْنَأَف ، ُمَعْلا اَهَجاوَزَ ف ، ُُسْفَ ن ُدَلَوْلاَو ِدَلَوْلا ُدَلَوَو ُدَْْاَو ُخَْْاَو

، اَهَجِوْزَ ت ِءاَيِل

كِلاَم َدِْع ِءاَيِلْوَْْا ىَلَع ٌزِئاَج َكِلَذ : َلاَق ؟ ُةَأْرَمْلا ْتَيِضَر ْدَقَو

8

“Ibn Syihab berkata: apakah kamu pernah melihat wanita yang dinikahkahkan dan para walinya hadir semua yang mana sebagian lebih dekat dari pada yang lain. Diantara mereka adalah paman, saudara laki-laki, kakek, cucu laki-laki, dan anaknya sendiri. Kemudian yang menikahkan pamannya, kemudian anak dan para wali yang lainnya mengingkari pernikahan tersebut, walaupun perempuan itu sudah merid{ainya? Maka jawaban Ibn Syihab: yang demikian itu boleh menurut Imam Malik.”

Bahkan menurut Imam Malik, seorang anak itu lebih utama dalam menikahkan ibunya dibanding ayah,

اَهِحاَكْنِإِب ََْوَأ ُنْب ِّا : ٌكِلاَم َلاَق : َلاَق ؟ ُبَْْا ْمَأ ُنْب ِّا اَهِحاَكْنِإِب ََْوَأ ْنَمَف : ُتْلُ ق

اَهْ يَلَع ِة ََاصلاِبَو

9

7 Sulaiman ibn Umar al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami „ala Sharh Minhaj al-T{ulab, (Turki: al-Maktabah al-Islamiyah, tt), 341

(14)

5

“Ibn Syihab ditanya, siapakah yang lebih utama menikahkan wanita tersebut, anaknya atau ayahnya? Ibn Syihab menjawab, Imam Malik berkata, anak lebih utama dalam menikahkan dan menshalatinya.”

Perbedaan pendapat tersebut didasarkan pada perbedaan pemahaman dan penilaian terhadap hadis dari Ummu Salamah riwayat al-Nasa>‟i, yaitu:

َمَلَس ِنْب دااَْ ْنَع ُدْيِزَي اََ ثادَح َلاَق َةايَلُع ِنْب َمْيِاَرْ بِإ ِنْب َلْيِعاَِْْإ ُنْب ٌدامَُُ اَنَرَ بْخَأ

ٍتِباَث ْنَع َة

َِِْأ ِنْب َرَمُع ُنْب َِِْثَدَح َلاَق ْ ِِاََ بْلا

اَهْ يَلِإ َثَعَ ب اَهُ تادِع ْتَضَقْ نا اامَل َةَمَلَس ِمُأ ْنَع ِْيِبَأ ْنَع َةَمَلَس

ص ِها َلْوُسَر ِِْْخَأ ْتَلاَقَ ف ِْيَلَع اَهُ بُطََْ ِبااطَْْا َنْب َرَمُع َمالَسَو ِْيَلَع ها ىالص ِها ُلْوُسَر

ها ىل

ْوَأ ْنِم ٌدَحَأ َسْيَلَو ملسو يلع

َُل َكِلَذ َرَكَذَف ملسو يلع ها ىلص ِها َلْوُسَر ىَتَأَف ٌدِاَش ْيِئاَيِل

ِم ٌدَحَأ َسْيَلَ ف ٌدِاَش ْيِئاَيِلْوَأ ْنِم ٌدَحَأ َسْيَل ُانَأ ِكُلْوَ ق اامَأَو اََه ْلُقَ ف اَهْ يَلِإ ْعِجْرِا َلاَقَ ف

ِكِئاَيِلْوَأ ْن

َذ َُرْكَي ٌبِئاَغ ََّو ٌدِاَش

ملسو يلع ها ىلص ِها َلْوُسَر ْجِوَزَ ف ْمُق ُرَمُع اَي اَهِْب ِّ ْتَلاَقَ ف َكِل

َُجاوَزَ ف

10 “Telah memberi kabar kepadaku Muhammad ibn Isma‟il ibn Ibrahim ibn „Ulaiyyah berkata, telah bercerita kepadaku Yazid dari Hammad ibn Salamah dari Thabit al-Banani berkata, telah bercerita kepadaku Ibn Umar ibn Abu Salamah dari ayahnya dari Ummu Salamah, ketika masa iddahnya selesai Rasulullah menyuruh Umar bin Khat{ab untuk melamarkannya, kemudian Ummu Salamah berkata: beritahu Rasulullah bahwa tidak seorang pun wali-waliku ada yang hadir. Kemudian Umar menemui Rasulullah dan menceritakan semuanya, lalu Rasulullah berkata kepada Umar, kembalilah dan katakan kepadanya, “ Adapun ucapanmu bahwa tidak seorang pun wali-waliku ada yang hadir, maka tidak ada seorang pun dari wali-walimu yang hadir maupun yang ghaib yang tidak menyukai pernikahan ini.” Kemudian Ummu Salamah berkata kepada anak laki-lakinya: hai Umar, bangkitlah kemudian kawinkanlah Rasulullah saw, lalu ia pun mengawinkannya.”

Mengenai hadis tersebut, ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah tentang kebolehan anak menjadi wali nikah ibunya,

9ibid

(15)

6

dengan beberapa alasan. Pertama, bahwa Nabi saw dalam pernikahannya tidak membutuhkan wali. Kedua, pada waktu itu Umar bin Abu Salamah masih berusia 2 tahun. Ibn Sa‟d mengatakan bagaimana mungkin anak usia 2 tahun menjadi wali nikah ibunya?11

Sedangkan ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah memperbolehkan seorang anak menikahkan ibunya berdasarkan pada d{ahirnya nash hadis tersebut.

Tentu saja jika ditelusuri secara seksama perbedaan tersebut berangkat dari interpretasi yang berbeda terhadap salah satu sumber hukum Islam yang dalam hal ini adalah hadis Nabi yang berbicara tentang anak menjadi wali nikah ibu. Sehingga pada hakikatnya kedua pandangan di atas sama-sama memiliki sandaran hukum yakni hadis Nabi. Statemen ini diperkuat oleh posisi hadis yang ditempatkan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur‟an yang berfungsi sebagai penjelas terhadap kandungan al-Qur‟an, bahkan hadis –sekalipun masih diperselisihkan para ulama- dapat menasakh al-Qur‟an.

Namun bagaimanapun urgensi kedudukan hadis, pada kenyataannya tidak semua hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW mencapai validitas keshahihan sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh para pakar ilmu hadis tentang keshahihan sebuah hadis baik dari sisi internal hadis (matn al-hadis) maupun dari sisi eksternalnya (sanad al-hadis), tidak terkecuali hadith mengenai anak menjadi wali nikah ibu, yang juga menjadi ajang perdebatan seputar validitas keshahihannya.

(16)

7

Di satu sisi, hadis tersebut menurut al-Hakim adalah hadis yang bernilai shahih

(shahih al-isnad), sehingga implikasi hukumnya seorang anak boleh menjadi wali

nikah ibunya. Sementara di sisi lain hadis tentang anak yang menjadi wali nikah ibunya menurut Syekh Nashiruddin al-Albani adalah dha’if, sehingga implikasi hukumnya seorang anak tidak boleh menjadi wali nikah ibunya.12

Persoalan selanjutnya sekalipun terhadap hadis yang dinilai shahih baik secara eksternal maupun internal masih menimbulkan problem tersendiri dalam hal pemahaman atas kandungan hadith, mengingat hadis yang merupakan upaya faktualisasi ajaran Islam melalui ucapan, tindakan, ataupun ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad SAW tidaklah berangkat dari ruang hampa melainkan sangat erat kaitannya dengan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Arab saat itu.

Melihat kenyataan ini, untuk menelusuri akar perbedaan dan duduk permasalahan tentang anak menjadi wali nikah ibunya, dianggap perlu untuk dilakukan penelitian terhadap hadis tersebut baik menyangkut kes{ahihan dari sisi eksternal (sanad al-hadis) maupun internalnya (matn al-hadis).

Persoalan lain yang menjadi alasan dilakukannya penelitian terhadap hadis yang berbicara tentang anak kandung yang menjadi wali nikah ibunya disebabkan persoalan tersebut adalah persoalan hukum yang tidak dapat disandarkan pada hadis

(17)

8

yang bernilai dha’if. Imam Nawawi mengatakan bahwa hadith dha’if hanya bisa dijadikan hujjah dalam hal-hal yang bersifat fad{ail al-a‟mal.13

Berangkat dari persoalan itulah penulis tertarik untuk meneliti keshahihan hadis yang berbicara tentang anak kandung yang menjadi wali nikah ibunya serta implikasi hukum yang terkandung didalamnya yang kemudian tema tersebut penulis rumuskan ke dalam sebuah judul “ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU (ANALISIS HADIS Al-NASA>‟I NOMOR INDEKS 5396)”

B. IDENTIFIKASI MASALAH DAN BATASAN MASALAH

Hadis yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah hadis riwayat al-Nasa>‟i dalam Kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396 . Maka dalam skripsi ini, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas, di antaranya:

1. Persoalan anak kandung menjadi wali nikah ibu.

2. Gambaran mengenai kitab al-Sunan al-Kubra beserta pengarangnya (Imam Abu Abdurrahman Ahmad al-Nasa>‟i ).

3. Kualitas hadis dalam kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396. 4. Kehujjahan hadis dalam kitab al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396. 5. Pemaknaan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam kitab

al-sunan al-Kubra li al-Nasa>‟i nomor indeks 5396.

13Ahmad Abd. Majid, Muhad}arat fi> Ushul al-Fiqh, (Pasuruan, Garoeda Buana Indah, 1994),

(18)

9

Agar mendapat hasil penelitian yang maksimal, diperlukan adanya batasan masalah untuk meghindari perluasan dalam penelitian, dengan demikian penulisan skripsi ini bisa terfokus pada batasan masalah yang ingin dibahas. Dari beberapa masalah yang sudah teridentifikasi, peneliti membatasi pada 3 permasalahan, diantaranya:

1. Bagaimanakah kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

2. Bagaimanakah kandungan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

3. Bagaimanakah implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

C. RUMUSAN MASALAH

Untuk memperjelas masalah yang akan dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

(19)

10

3. Bagaimanakah implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i?

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. kualitas hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor

indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i.

2. kandungan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i

3. implikasi hukum dari hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dalam hadis nomor indeks 5396 pada kitab sunan al-Nasa>‟i

E. KEGUNAAN PENELITIAN

(20)

11

Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman atau setidaknya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh lembaga yang concern terhadap urusan pernikahan semisal Kantor Urusan Agama (KUA) atau Lembaga Peradilan Agama dalam menyelesaikan kasus yang muncul dalam masalah pernikahan terlebih masalah perwalian.

F. KAJIAN PUSTAKA

Menurut data yang saya dapat dari perpustakaan jurusan maupun perpustakaan kampus, bahwasannya hadis tentang anak menjadi wali nikah ibu dalam sunan an-nasa>‟i ini belum ada yang membahas atau meneliti baik hukum maupun kualitasnya.

G. PENEGASAN JUDUL

Skripsi ini berjudul “ANAK KANDUNG MENJADI WALI NIKAH IBU (ANALISIS HADIS SUNAN AL-NASA>’I NO. INDEKS 5396)”, oleh karena itu

untuk memperoleh persamaan persepsi dan menghindari terjadinya penafsiran yang berbeda, maka penulis memandang sangat perlu untuk menegaskan judul tersebut diatas, adalah sebagai berikut:

STUDI : Kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.14

ANALISIS : penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian

14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim penyusun: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

(21)

12

untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

SUNAN AN-NASA>’I : Kitab hadis yang dikarang oleh Abu Abdurrahman

Ahmad ibn Syuaib ibn Ali al-Khurasani al-Nasa>‟i.

ANAK KANDUNG :

ْنِم ْوَا ٍحاَكِن ْنِم ٌءاَوَس ُُمُا ُْتَدَلَو ٍرَكَذ ُلُك ِمُِْْل ِةَبْسِلاِب ُنْبِّْا

ٍحاَفِس

15

“Anak laki-laki ketika dinisbatkan pada ibu adalah setiap laki-laki yang telah dilahirkan ibunya, baik dari pernikahan maupun dari hasil zina.”

WALI NIKAH :

ُحِصَي َََف ِدْقَعْلا ُةاحِص ِْيَلَع ُفاقَوَ تَ ي ْيِذالا َوُ ِحاَكِلا ِِ َُِِوْلَا

ِِنْوُدِب

16

“Wali nikah adalah sesuatu yang menjadikan sahnya suatu akad, maka akad dipandang tidak sah tanpa adanya sesuatu tersebut.”

IBU : 17

ًةَقْ يِقَح َكُمُأ َيِهَف َكْتَدَلَو ْنَم ُلُك َيِ ُمُّا

“Ibu adalah setiap orang yang melahirkanmu, maka ia adalah ibumu yang sesungguhnya.”

15 Muhammad bin Ibrahim al-Tuwajuri, Mawsu>‟ah al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Bait al-Afkar

al-Dauliyah, 2009), 37

16 al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madhahib, 29

(22)

13

Dengan adanya upaya penafsiran yang telah penulis jelaskan diatas, maka yang dimaksud dengan judul tersebut adalah suatu penggunaan waktu dan pikiran untuk memperoleh pengetahuan dengan jalan menganalisa hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibunya.

H. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Untuk menjawab persoalan seperti yang telah diuraikan pada rumusan masalah, maka dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis bukan berupa angka. Maka dari itu penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif.

Mengingat dalam penelitian ini dibutuhkan data-data tertulis untuk mengetahui status hadis yang sedang diteliti yaitu hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu baik dari sisi validitas sanad, matan, maupun implikasi hukum dari hadis tersebut, maka tentu saja data-data tersebut diperoleh dari hasil bacaan terhadap buku-buku literatur yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan demikian jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini tergolong pada penelitian perpustakaan (library research).18 2. Pendekatan Penelitian

Pada dasarnya penelitian terhadap hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu ini meliputi tiga hal pokok yang menjadi fokus kajiannya yaitu menyangkut

(23)

14

penelitian terhadap otentisitas sanad dan matan maupun pemahaman terhadap kandungan matan, serta implikasi hukum yang dikandungnya. Untuk menjawab ketiga persoalan tersebut tentu dibutuhkan sebuah pendekatan yang tentu saja haruslah pendekatan yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji sebagai perangkat analisisnya.

Dalam hal ini penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan historis yang digunakan sebagai perangkat analisis untuk melacak keotentikan sanad maupun matan hadith yang sedang diteliti. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan tekstual yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap pemaknaan hadith secara tekstual. 3. Sumber Data

Sumber data seperti yang telah didefinisikan oleh Suharsimi Arikunto adalah objek dari mana sebuah data bisa diperoleh.19 Penelitian apapun jenisnya pasti membutuhkan sebuah data dalam rangka mencari jawaban atas persoalan yang menjadi pertanyaan sebagai pendorong dilakukannya sebuah penelitian, tentu saja data yang dibutuhkan bisa saja didapatkan dari lapangan melalui obsevasi ataupun interview serta bisa diperoleh dari perpustakaan melalui pembacaan dan pentelaahan terhadap buku-buku literature.

Karena penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (library reseach), maka

sudah dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah data-data yang

19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka

(24)

15

diperoleh dari perpustakaan melalui penelusuran terhadap buku-buku literatur, baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder.20

Data primer dalam penelitian ini adalah: a) Kitab al-Sunan al-Kubra karya al-Nasa‟i

Sumber yang sekunder berasal dari Karya-karya para ulama lain sebagai pelengkap dalam penelitian ini diantaranya adalah:

a) Kitab Tafsir Mus{t{alah al-Hadith karya Mahmud Thahhan

b) Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal karya Ahmad bin Hanbal al-Syaibani

c) Kitab Tahz{ib al-Tahz{ib karya Syihab Din Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany

d) Kitab Tahz{ib al-Kamal fi al-Asma‟ al-Rijal karya Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi

e) Kitab al-Umm karya Imam al-Syafi‟i

f) Kitab al-Mudawwanah al-Kubra karya Imam Malik

g) Dan buku-buku lain yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data

Seperti yang telah diketahui, penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (library reseach) sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari hasil telaah terhadap berbagai literature yang mempunyai relevansi dengan tema

(25)

16

pembahasan, maka instrument pengumpulan terhadap data-data tersebut adalah dengan menggunakan dokumentasi.21

Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan, terlebih dahulu mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek telaah dalam penelitian kemudian dilanjutkan dengan upaya pengumpulan data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan baik sumber primer maupun sekunder dengan cara menghimpun hadith-hadith yang mempunyai tema sejenis dengan hadith yang sedang diteliti yaitu hadith tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu.

5. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan telaah dan analisis data.

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan rija>l al-h}adith dan al-jarh} wa al-ta’di>l serta mencermati silsilah guru murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tah}ammul wa al-ada‟).22 Sedangkan analisis terhadap matan hadis yaitu dengan cara membandingkan hadis tentang anak kandung menjadi wali nikah ibu dengan al-Qur‟an atau hadis lain yang dinilai shahih atau lebih shahih, ataupun dengan cara membandingkannya dengan fakta sejarah maupun pertimbangan rasional sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga

21Jonathan Sarwono, Op. Cit, 225; Suharsimi Arikunto, Op. Cit, 158.

(26)

17

diperoleh kesimpulan mengenai validitas keshahihan hadis tersebut ditinjau dari segi matannya.23

Tahapan selanjutnya adalah analisis matan, yaitu menelaah kandungan hadis yang dimaksud sehingga dapat diketahui dan ditentukan implikasi hukumnya yang dalam penelitian ini adalah mengenai anak kandung menjadi wali nikah ibu.

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

Bab satu adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab dua memuat tentang tinjauan pustaka, meliputi pengertian hadis dan pembagiannya, pengertian maupun sejarah kritik hadis. Selain itu juga dibahas mengenai takhrij al-h}adith, I‟tibar, maupun kritik sanad hadis yang meliputi pengertian kritik sanad, al-jarh} wa al-ta’di>l, serta kriteria keshahihan sanad hadis. Begitu juga menyangkut kritik matan hadis yang meliputi pengertian dan kriteria

keshahihan matan hadis. Dan bab ini juga memuat tentang pembahasan mengenai

pendekatan yang digunakan dalam kritik dan fiqh al-hadis.

Bab tiga merupakan bab yang berisi data yang dibahas dalm skripsi ini. Adapun isi dari bab ini mengenai biografi Imam an-Nasa>‟i, data hadis yang dibahas, takhrij

(27)

18

al-h}adith, skema sanad hadis dari masing-masing mukharrij al-h}adith, I‟tibar al-sanad (gabungan seluruh al-sanad hadis yang dibahas dari beberapa kitab hadis yang mencantumkan hadis tersebut), dan terakhir mengenai biografi perawi Sunan al-Nasa>‟i.

Bab empat merupakan bab utama atau intisari dari skripsi ini yang menyertakan analisa dari seluruh pembahasan skripsi ini. Analisis pertama membahas analisis dari segi sanad yang menjelaskan kritik sanad dengan cara meneliti ke-muttas}i>l-an sanad, meneliti kredibilitas perawi hadis, meneliti „illat, meneliti kejanggalan dalam sanad. Kedua, menyertakan analisis dalam matan yang menelaah matan dari berbagai penelitiannya. Ketiga, menganalisa kandungan hadis sendiri dengan menyertakan sharah} dari matan hadis, penjelasan dari beberapa buku yang membahas hal yang serupa serta mencantumkan analisis pribadi.

(28)

BAB II

HADIS NABAWI SERTA PANDANGAN TENTANG ANAK

MENJADI WALI NIKAH IBU

A. Hadis

1. Pengertian Hadis

Kata h}adi>th berasal dari bahasa Arab, yaitu al-h}adi>th, jamaknya al-ah}a>di>th,

al-h}adi>than, dan al-h}udthan. Secara etimologis, kata ini mempunyai banyak arti, diantaranya al-jadid (segala sesuatu yang baru) lawan dari al-qadim (sesuatu yang

lama), dan al-khabar yang berarti (berita).1 Kata tersebut juga telah masuk ke dalam

bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesiasecara bahasa mengartikan “hadis”

dengan “1. Sabda dan perbuatan Nabi Muhammad saw. Yang diriwayatkan atau

diceritakan oleh sahabat-sahabat Nabi (untuk menjelaskan dan menentukan hukum

Islam); 2. Sumber ajaran agama Islam yang kedua selain Al-Qur‟an.”2

Adapun para ulama ahli hadis mendefinisikan h}adi>th dengan “segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi saw. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat

maupun hal ihwal Nabi.3

1

Muhammad bin Makram Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‟arif, 1992), jld II: 131–134 2

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 513 3 Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 15.

(29)

20

2. Pembagian Hadis

Pada perkembangan selanjutnya para ulama hadis berusaha melakukan

klasifikasi terhadap hadis baik berdasarkan kuantitas maupun berdasarkan kualitas

hadis. Hadis jika ditinjau dari segi kuantitas perawinya, maka akan di dapatkan dua

bagian terbesar yaitu, hadis mutawatir adalah Hadis Mutawatir adalah hadis yang

diriwayatkan oleh banyak rawi dari awal sanad hingga akhirnya, yang secara adat

mustahil bagi mereka untuk bersepakat bohong4 dan hadis ahad adalah khabar yang

tidak memenuhi syarat mutawatir. Hadis ahad terbagi menjadi tiga: Pertama,

mashhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau lebih rawi di setiap tingkatan

(tabaqah) namun belum sampai batas mutawatir. Kedua, hadis „aziz, yaitu hadis yang

diriwayatkan oleh dua rawi disetiap tabaqah-nya. Ketiga, hadis gharib, yaitu hadis

yang diriwayatkan oleh seorang rawi saja.5

Sedangkan hadis jika ditinjau dari segi kualitas perawinya, maka dapat

diklasifikasikan pada dua bagian yaitu, hadis Maqbul hadis yang diterima sebagai

dalil dan hadis Mardud hadis yang tertolak sebagai dalil. Hadis Maqbul terbagi

menjadi dua yaitu: Pertama, Hadis Shahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi „adl dan d{abt mulai dari awal sanad hingga terakhirnya, serta tidak terdapat shadz dan „illah.6 Kedua, Hadis Hasan adalah hadis yang

memenuhi syarat hadis shahih kecuali hadis hasan diriwayatkan oleh rawi yang tidak

4

Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>th: „Ulumuh wa Must}alahuh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1971), 301

5

Mahmud al-Thahan , Taisi>rMus}t}alah} al-H}adi>th, (Surabaya: Bungkul Indah, tt), 22-31. Lihat juga al-Khatib, Us}u>l, 302

6

(30)

21

sempurna sifat dabt-nya.7 Sedangkan yang termasuk dalam hadith Mardud salah

satunya adalah hadis d{aif, yaitu hadis yang tidak memenuhi sifat hadis shahih dan hadis hasan dikarenakan ketiadaan satu atau beberapa syaratnya.8

B. Kritik Hadis: Perspektif Definitif – Historis

1. Pengertian Kritik Hadis

Menurut bahasa istilah kritik merupakan terjemahan dari bahasa Arab yaitu dari

fi‟il

ادقنَ دق يَ دقن

yang berarti mengkritik ataupun melakukan penelitian secara

seksama9. Kata tersebut seringkali ditemukan dalam literatur Arab, misalnya seperti

ungkapan

روعشلاَ دقنوَ مَكلاَ دقن

(ia telah mengkritik bahasa dan sya‟irnya)10, atau

semakna dengan kata tamyiz11 seperti pada ayat yang berbunyi

َنَُثيبْاَزيمَّح

بيطلا

(sehingga ia mampu membedakan antara keburukan dan kebaikan)12. Sehingga

tidak salah jika seorang pakar hadis abad 3 H, Imam Muslim (w.261 H / 875 M)

memberi judul bukunya yang membahas tentang metode kritik hadis dengan judul

al-Tamyiz.

7

Ibid., 46 8

Ibid., 63

9 Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus al-Bisri, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1999), 733. Dan A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Unit PBIK PP. al-Munawwir, 1984), 1551 10 Umi Sumbulah, Buku Ajar Ulum al-Hadis, (Malang: Fak. Syari‟ah, 2007), 26

11 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 5

(31)

22

Sedang istilah kritik secara terminology berarti berusaha menemukan kekeliruan

atau kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran13. Jika istilah tersebut dikaitkan

dengan hadis Nabi SAW, maka yang dimaksud adalah upaya pengkajian dan

penelitian secara seksama terhadap hadis Nabi dalam rangka untuk menemukan

orisinalitas hadis-hadis Rasulullah SAW baik dari sisi sanad maupun matan14.

Tampaknya devinisi inilah yang dimaksudkan dalam istilah kiritik hadis, Karena

memang istilah kritik hadis dalam perbincangan para muhaddithin seperti yang

didevinisikan oleh Abu Hatim ar-Razi yang selanjutnya dikutip oleh MM. Azami

adalah upaya menyelidiki (membedakan) antara hadis shahih dan dha’if serta menetapkan status perawinya dari segi jarh}dan ta’di>lnya.15

Begitu juga dengan definisi yang dimajukan oleh Muhammad Tahir al-Jawaby,

beliau mendefinisikan ilmu kritik hadis sebagai langkah untuk memberikan ketentuan

terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan menggunakan

ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama hadis, kemudian meneliti

matan hadis yang telah dinyatakan shahih dari aspek sanad untuk menentukan keabsahan atau ke-dha’ifan matan hadis tersebut, serta untuk mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan sahih maupun untuk mengatasi kontradiksi pemahaman hadith dengan pertimbangan yang mendalam.

Dari pengertian di atas, maka istilah kritik hadis bukan sebuah upaya

pendistorsian melainkan sebagai upaya pelestarian terhadap hadis Nabi, atau dengan

13 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1976), 965 14 Bustamin dan M. Isa H.A Salam, Metodologi, 179

(32)

23

kata lain istilah kritik tidaklah berkonotasi negatif melainkan sebaliknya berkonotasi

positif.16 Dan tidak pula bertujuan untuk menguji ajaran Rasulullah melainkan untuk

menguji daya tangkap dan kejujuran para perawi, sehingga penolakan terhadap hadis

tidak berarti menolak Rasulullah tetapi menolak klaim bahwa hadis tersebut berasal

dari Rasulullah.17

Tentu saja kritik hadis perspektif ulama hadis sangatlah berbeda kritik hadis

perspektif para orientalis. Jika dalam perspektif ulama hadis, kritik hadis tidak lebih

dari upaya penyeleksian hadis Nabi sehingga dapat dibedakan hadis-hadis yang

bernilai shahih ataupun sebaliknya.18 Sedangkan dalam perspektif orientalis,kritik hadis dimaksudkan sebagai upaya memberikan semacam kecaman sehingga berujung

pada skeptisisme umat Islam terhadap otentisitas dan orisinalitas hadis sebagai

kontekstualisasi Rasulullah terhadap ajaran Islam.19

2. Telaah Historis Kemunculan Kritik Hadis

Seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa penelitian

terhadap hadis nabi merupakan sebuah upaya dalam melestarikan dan memelihara

orisinalitas hadis Nabi, sehingga aktivitas dalam penelitian hadis merupakan sebuah

keniscayaan yang perlu dikembangkan secara berkesinambungan.

Sehubungan dengan persoalan tersebut, M. Syuhudi Ismail menguraikan

pandangan argumentatif yang dijadikan sebagai pijakan dalam memandang

16 Umi Sumbulah, Buku Ajar, 26

17 Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), 42 18 Umi Sumbulah, Buku Ajar, 26

(33)

24

pentingnya untuk dilakukan sebuah penelitian terhadap hadis Nabi. Menurutnya,

terdapat beberapa hal yang menuntut dilakukannya penelitian terhadap hadis Nabi

yaitu, adanya fakta sejarah yang membuktikan bahwa tidak semua hadis telah ditulis

pada zaman Nabi20 dan yang terpenting adalah mengingat hadis Nabi secara hirarkis

menempati urutan kedua sebagai sumber tas}ri’ setelah al-Qur‟an. Selain itu, adanya kebutuhan masyarakat terhadap hadis yang terus meningkat berimplikasi pada

periwayatan hadis baik secara tertulis maupun secara lisan dengan sendirinya akan

mengalami perkembangan pula. Namun satu hal yang tak dapat dipungkiri seiring

banyaknya periwayatan hadis yaitu tingkat kekeliruan dan kesalahan semakin

meningkat baik kekeliruan dan kesalahan itu berupa salah mendengar dan memahami

riwayat atau bahkan dengan sengaja memalsukan hadith dengan mengatasnamakan

Rasulullah.21

Berdasarkan pada realitas historis di atas, dapat kita pahami bahwa urgensi

penyeleksian terhadap sebuah hadis muncul seiring dengan munculnya hadis itu

sendiri sehingga dapatlah dikatakan bahwa aktifitas penelitian terhadap hadis (baca:

kritik hadis) telah muncul pada masa Rasulullah masih hidup sebagai aktor sejarah

sekalipun dengan metode yang sangat sederhana, terlebih jika kritik hadis

dimaksudkan sebagai upaya untuk memilah-milah antara yang shahih dan yang tidak.

20 M. Syuhud Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1992), 11 21 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT.

(34)

25

22 sekalipun seperti dikatakan oleh Muhammad Shalih Ahmad al-Farsi, bahwa

penelitian hadis khususnya yang berkaitan dengan sanad belum dikenal pada masa

Rasulullah SAW dan Khulafa‟ al-Rashidin dengan sebuah argumen bahwa pada

kedua masa tersebut para muh}addithi>n telah bersepakat pada sebuah kaidah

ةباحصلا

لودعَمهلك

(semua sahabat Nabi adalah orang yang adil).23

Pernyataan di atas tampaknya tidak sepenuhnya benar karena memang

bertentangan dengan bukti historis yang dilakukan oleh sahabat Nabi terhadap

informasi yang masih meragukan diantara kalangan sahabat. Misalnya apa yang

dilakukan oleh Umar ibn al-Khathab, beliau menanyakan kembali kepada Nabi SAW

tentang berita yang diterima dari salah seorang tetangganya yang mengatakan bahwa

Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Dari hasil konfirmasinya, diperoleh penjelasan

dari Nabi bahwa beliau tidak melakukan hal tersebut melainkan hanya tidak

mengumpulinya saja.24 Sekalipun memang seperti yang dikatakan A‟zami, pada masa Nabi kritik hadis dilakukan hanya sebatas konfirmasi yang berarti pergi menemui

Rasulullah untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan oleh beliau,

tidaklah berarti bahwa kritik hadis belum dikenal pada masa Nabi mengingat

banyaknya sahabat yang melakukan penyelidikan terhadap berita yang dikabarkan

22 Muhammad Musthafa A‟zami, “Studies in Hadis Methodology and Literature”, diterjemahkan A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 82

23 Bustamin dan M. Isa H. A.Salim, Metodologi, 6

(35)

26

berasal dari Nabi seperti Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah ibn Umar, Umar ibn al-Khatab, bahkan Zainab yang merupakan istri dari Ibn Mas‟ud.25 Sebagai contoh yang perlu diungkap sebagai bukti bahwa kritik sanad telah muncul pada masa

Rasulullah masih hidup adalah sebuah kasus yang terjadi dimana Dhimam ibn

Tsa‟labah datang menemui Rasulullah dan berkata, Muhammad, utusanmu telah

mengatakan begini dan begitu, kemudian Nabi menjawab, dia berkata benar.26

Bentuk konfirmasi yang dilakukan oleh sahabat sebagai cikal bakal munculnya

disiplin ilmu kritik sanad dalam bidang hadis. Hal ini terus berlanjut hingga wafatnya

Rasulullah SAW. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, praktek penilaian

terhadap sanad hadis tidak hanya sekedar konfirmasi melainkan telah melangkah

pada tahap komparasi. Hal ini dapat dikuatkan dengan fakta sejarah yang terjadi pada

Abu Bakar di saat seorang nenek mendatanginya untuk menanyakan warisan dari

harta yang ditinggalkan cucunya. Menghadapi kasus tersebut Abu Bakar dengan tegas

menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan ketentuan dalam al-Quran dan

tidak pula mendengar dari Rasulullah. Lalu Abu Bakar menanyakannya kepada para

sahabat yang lain, pada saat itulah tampil Mughirah dengan mengatakan bahwa

bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah seperenam. Mendengar hal

tersebut Abu Bakar tidak merta mempercayainya melainkan masih menanyakannya

kepada sahabat yang lain sebagai penguat terhadap apa yang telah dikatakan oleh

Mughirah. Beberapa saat kemudian datanglah Muhammad bin Maslamah untuk

25 Muhammad Musthafa A‟zami, “Studies in Hadis methodology and Literature”, diterjemahkan A. Yamin, Metodologi kritik Hadis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 82-83

(36)

27

menguatkan pernyataan Mughirah, sehingga dari situlah Abu Bakar akhirnya

menyimpulkan bahwa bagian seorang nenek atas warisan cucunya adalah

seperenam.27

Begitu pula mengenai kritik matan hadis. Aktivitas pengujian terhadap matan

hadis sebenarnya telah dilakukan oleh generasi sahabat semisal Umar ibn Khathab,

Ali ibn Abi Thalib, maupun Abdullah bin Mas‟ud. Bahkan yang paling masyhur adalah Sayyidah Aisyah ketika melakukan verivikasi terhadap hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi “sesungguhnya mayit itu akan

disiksa disebabkan oleh ratapan keluarganya”, begitu juga dengan sebuah hadis

yang menyatakan bahwa anak hasil zina tidak masuk surga.28

Hadis yang pertama menurut Aisyah, perawi telah melakukan kesalahan dalam

periwayatannya mengingat hadis tersebut diucapkan Rasulullah pada saat beliau

melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayit sedang

meratap di atasnya. Melihat hal tersebut Rasulullah bersabda yang artinya: “mereka

sedang meratapi si mayit, sedang si mayit sendiri sedang diazab dalam kuburnya”.

Selain faktor kesalahan dalam periwayatan, menurut Aisyah, hadis tersebut dianggap

bertentangan dengan al-Quran yang artinya: “dan seorang yang berdosa tidak akan

memikul dosa orang lain”.29 Sementara hadis kedua tentang anak zina tidak akan

masuk surga menurut Aisyah, asbab al-wurud hadis tersebut adalah suatu ketika

Rasulullah berjalan dengan seseorang kemudian diejek oleh orang munafik, lalu

27Ibid., 38

28 M. Zuhri, Telaah Matan, 43

(37)

28

Rasulullah bertanya kepada orang munafik tersebut, siapakah yang menghalangi jika

aku bersama si fulan ini? kemudian orang munafik itu berkata, ia punya anak zina.

Lalu Rasulullah menyatakan bahwa “yang berzina itulah yang punya tiga keburukan,

diantaranya adalah terancam tidak masuk surga”. Jadi menurut Aisyah hadis tersebut

tidak menunjukkan bahwa anak hasil zina tidak akan masuk surga melainkan adalah

si pelakunya.30

Upaya verivikasi terhadap matan hadith yang dilakukan oleh Aisyah seperti

diuraikan di atas menjadi bukti bahwa kritik terhadap matan hadis telah dilakukan

oleh generasi sahabat sekalipun memang harus diakui bahwa penelitian terhadap

matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh muh}addithi>n jika dibandingkan dengan perhatiannya terhadap penelitian sanad. Hal itu cukup beralasan

karena bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis Nabi jikalau tidak didukung oleh

adanya silsilah yang menghubungkannya sampai kepada Rasululah sebagai sumber

hadis.31

Namun demikian tidak serta merta kita katakana bahwa dalam melakukan

penelitian terhadap hadis Nabi, para ulama hanya memperhatikan aspek sanadnya dan

mengesampingkan terhadap kritik matan hadis seperti yang dituduhkan oleh para

orientalis semisal Ignaz Goldziher (1850-1921), A.J. Wensinck (1882-1939), maupun

Joseph Schacht (1902-1969)32

30 Muh. Zuhri, Telaah Matan, 44

(38)

29

C. Kritik Sanad Dan Standarisasi keshahihan

1. Pengertian Kritik Sanad

Sanad merupakan salah satu unsur penting yang sekaligus dijadikan sebagai

objek dalam kegiatan penelitian terhadap hadis Nabi. Kata sanad menurut bahasa

adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian karena

setiap hadis selalu bersandar kepadanya. Sementara dari sisi terminologi, terdapat

beragam pendapat yang dikemikakan oleh para ulama mengenai pengertian sanad.

Namun jika ditelaah pada intinya keragaman tersebut hanya dalam tataran redaksi

sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad dapat diartikan sebagai

لولاَردصَُنعَن اَاولقنَنيذلاَةاورلاَةلسلسَواَن اَقرط

“jalan yang menyampaikan kepada matan hadis atau silsilah perawi yang

menukil matan hadis dari sumbernya yang pertama.”33

Dari definisi di atas , kritik sanad hadis dapat diartikan sebagi penelitian,

penilaian, dan penelusuran terhadap rangkaian perawi dalam sanad dengan cara

mengetahui biografi perawi yang terlibat dalam tranmisi periwayatan serta proses

penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing. 34 definisi ini memberikan

pemahaman bahwa dalam penelitian sanad hadis, dua hal pokok yang menjadi

bahasannya adalah menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan

(39)

30

hadis yang bersangkutan serta lambang periwayatan hadis yang digunakan oleh

masing-masing perawi dalam meriwayatkan hadis yang diterima dari gurunya.35

Penelitian terhadap sanad hadis merupakan sebuah keniscayaan karena

bagaimanapun sebuah hadis tidak akan pernah dikatakan berasal dari Rasulullah

tanpa disertai adanya tranmisi periwayatan yang jelas, sehingga sangatlah wajar jika

persoalan sanad seakan menjadi anak emas dalam kegiatan penelitian hadis. Bahkan

Abdullah ibn al-Mubarak mengatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari

agama sehingga ketiadaan sebuah sanad akan menimbulkan peluang bagi siapa saja

untuk mengatak bahwa apa yang dikatakannya adalah hadis yang berasal dari

Rasulullah.36

Perlakuan istimewa terhadap sanad hadis seperti di atas, tentunya berlawanan

dengan pandangan orientalis sekalipun mereka menyadari bahwa sanad hadis

merupakan penentu validitas sebuah hadis, namun kesimpulannya seperti dikatakan

oleh Schacht bahwa sekalipun secara keseluruhan sistem isnad mungkin valid untuk

melacak hadis-hadis nabi sampai pada ulama abad kedua, tetapi periwayatan yang

merentang kebelakang sampai kepada Nabi SAW dan para sahabat adalah palsu

belaka dengan alasan sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau paling awal

akhir abad pertama.

(40)

31

2. Standarisasi Keshahihan Sanad Hadis

Tidak ada perbadaan pendapat ulama hadis tentang definisi hadis shahih, yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, diriwayatkan

oleh orang yang d}abit{, tidak terdapat shad{ dan illat.37 Uraian mengenai syarat

keshahihan hadis pada bab II ini adalah untuk menjadi barometer ketika menilai hadis

yang akan diteliti dan dibuktikan keshahihannya pada bab berikutnya. a. Ittis{a>l al-sana>d (persambungan sanad hadis)

Persambungan sanad hadis adalah adanya hubungan antara penerima hadis

dengan penyampai hadis atau antara murid dengan guru. Indikator persambungan

sanad hadis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Burhan Djamaluddin, tergantung pada

ungkapan yang digunakan oleh penulis buku-buku mengenai ilmu hadis, khususnya

buku-buku rijal al-h}adi>th (buku-buku yang khusus membicarakan sanad atau perawi hadis, serta pertalian antara guru dengan murid ketika meriwayatkan hadis) tentang

ketersambungan hadis tersebut.38

Dalam buku-buku rijal al-h}adi>th, seperti Tahdhib al-Tahdhib karya al-Asqalani atau Tahdhib al-Kamal karya al-Suyuthi, pasti ditemukan ungkapan yang menjadi indikator ketersambungan sanad hadis dari satu perawi kepada perawi lainnya.

37 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Us}u>l al-H}adi>thUlu>muhu wa Mus}t}alahuh, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), 19

38 Burhan Djamaluddin, Qunut Subuh Bid‟ah? Kajian Komprehensif Tentang Hadis-Hadis Qunut

(41)

32

Ungkapan yang populer tersebut diantaranya adalah rawa „an (ia meriwayatkan hadis

dari) dan rawa „anhu (orang yang meriwayatkan hadis darinya).39

Istilah rawa „an, al-Asqalani misalnya, setelah selesai mengungkap nama

lengkap perawi seperti Salamah ibn Abd. Rahman, beliau menyebut Abu Hurairah

setelah menyebut istilah rawa „an. Istilah rawa „an Abi Hurairah menunjukkan

bahwa Salamah ibn Abd. Rahman pernah menerima hadis dari Abu Hurairah, dengan

kata lain Abu Hurairah merupakan guru dari Salamah ibn Abd. Rahman. Sedangkan

istilah rawa „anhu yang menyertai nama Salamah ibn Abd. Rahman, misalnya rawa

„anhu al-Bukhari, menunjukkan bahwa al-Bukhari menerima hadis dari Salamah ibn

Abd. Rahman. Dengan kata lain al-Bukhari adalah murid dari Salamah ibn Abd.

Rahman.

Lebih lanjut, Burhan Djamaluddin mengatakan, bahwa ketersambungan sanad

hadis bisa diketahui dengan melihat dari dua sisi. Pertama,dari sisi atas atau dari guru

kepada murid. Dari contoh diatas, untuk mengetahui hubungan antara Abu Hurairah

dengan Salamah ibn Abd. Rahman dapat dilihat dari riwayat hidup Abu Hurairah.

Seandainya dalam riwayat hidupnya terdapat nama Salamah bin Abd. Rahman –

sebagai orang yang pernah menerima hadis darinya- maka itu menjadi indikator

ketersambungan sanad antara Abu Hurairah dengan Salamah ibn Abd. Rahman.

Kedua, dari sisi bawah atau sisi murid dari guru. Seandainya dalam riwayat hidup

Salamah bin Abd. Rahman terdapat nama Abu Hurairah, sebagai orang yang pernah

(42)

33

menyampaikan hadis padanya, maka hal tersebut juga menjadi indikator

ketersambungan sanad antara Salamah ibn Abd. Rahman dengan Abu Hurairah.40

Namun dalam buku-buku rijal al-h}adi>th, tidak selalu ditemukan istilah yang menjadi indikator ketersambungan sanad tersebut dari dua sisi, seperti yang

dikemukakan di atas, tetapi hanya ditemukan pada satu sisi saja. Misalnya, dalam

riwayat hidup Abu Hurairah terdapat nama Salamah ibn Abd. Rahman (sebagai orang

yang pernah menerima hadis darinya), tetapi nama Abu Hurairah belum tentu

ditemukan dalam riwayat hidup Salamah ibn Abd. Rahman.

Indikator lain untuk membuktikan ketersambungan sanad adalah tahun lahir atau

tahun wafat dari masing-masing perawi. Misalnya, Abu Hurairah wafat pada tahun 56

H dan Salamah ibn Abd. Rahman lahir pada tahun 40 H, maka hal itu menjadi

indikator ketersambungan sanad antara Abu Hurairah dengan Salamah ibn Abd.

Rahman, sebab dimungkinkan Abu Hurairah pernah menyampaikan hadis kepada

Salamah ibn Abd. Rahman. Sebaliknya, bila Abu Hurairah wafat pada tahun 56 H

dan Salamah ibn Abd. Rahman lahir pada tahun 57 H, maka hal ini tidak bisa menjadi

indikator ketersambungan sanad antara keduanya, karena tidak masuk akal Abu

Hurairah yang telah wafat menyampaikan hadis kepada Salamah ibn Abd. Rahman

yang belum lahir. Informasi mengenai tahun wafat atau tahun lahir para perawi hadis

dapat ditemukan pada buku-buku rijal al-h}adi>th, seperti Tahdhib al-Tahdhib dan

Taqrib al-Tahdhib keduanya karya Ibn Hajar al-Asqalani atau Tahdhib al-Kamal

karya al-Suyuthi.

(43)

34

Dikalangan mukharrij hadis (para ahli hadis yang mengumpulkan hadis ke dalam

buku-buku hadis, seperti al-Bukhari, Muslim, al-Nasa>‟i, al-Tirmidzi, dan lain-lain) ada yang dapat dikategorikan sangat selektif dalam menilai perawi hadis atau dalam

bahasa hadis disebut mutashaddid, ada yang sedang-sedang saja atau mutawassith,

dan ada yang mudah atau mutasahhil. Kelompok mutashadd ia menetapkan kriteria

yang ketat untuk menentukan ketersambungan sanad hadis, yaitu harus hidup satu

masa, sebab hal ini memungkinkan sanad yang satu dengan sanad lainnya dapat

bersambung, apakah penerima hadis mendengar langsung dari gurunya, menemukan

catatan, atau menerima wasiat gurunya. Bahkan Imam al-Bukhari mensyaratkan

bahwa antara guru dengan murid harus betul-betul bertemu. Lebih jauh lagi,

al-Bukhari bahkan menggunakan cara-cara spiritual untuk mendukung keyakinannya

akan ketersambungan sanad hadis yang akan diriwayatkannya. Menurut Muhammad

Zafzaf, sebagaimana yang telah dinukil oleh Burhan Djamaluddin, al-Bukhari

melakukan shalat istikharah sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak

sebuah hadis yang ia dapatkan. Sedangkan ulama lain tidak mengharuskan bertemu

antara guru dengan murid, tetapi cukup hidup satu masa.41

Ketatnya persyaratan yang ditentukan oleh Imam al-Bukhari, dibanding dengan

syarat yang ditetapkan imam hadis lainnya, menempatkan kitab shahih al-Bukhari pada posisi teratas dalam nilai hadis yang termuat di dalamnya.

(44)

35

b. Adil

Syarat kedua yang harus ada dalam hadis shahih adalah adil, yaitu seorang

perawi harus istiqamah (konsisten) dalam menjalankan agama, memiliki moral yang

baik, tidak melakukan kefasikan, dan menjaga muru‟ah (harga diri).42 Para ulama

berbeda pendapat dalam masalah ukuran konsistensi dalam menjalankan agama,

seperti pertentangan antara al-Bukhari dengan al-Nasa>‟i mengenai seorang perawi hadis bernama Abu Laila. Walaupun dalam kitab ulu>m al-h}adi>th tidak dijelaskan secara rinci mengenai kriteria adil yang mereka perselisihkan, namun ternyata

al-Bukhari menerima hadis riwayat Abu Laila karena menurutnya Abu Laila merupakan

seorang perawi yang adil. Sedangkan al-Nasa>‟i tidak menerima hadis riwayat Abu Laila kerena menganggap ia bukan seorang perawi yang adil. Ukuran konsistensi

dalam menjalankan agama mencakup bidang yang cukup luas, baik bidang ibadah

maupun mu‟amalah. Sebagai contoh misalnya perawi A, karena ia tidak selalu menjalankan ibadah sunah, bisa saja ia dinilai tidak konsisten menjalankan agama.

Sebaliknya, perawi hadis tersebut dapat dinilai adil oleh kritikus lainnya.

Lebih jauh lagi, yang dapat membuka peluang untuk berbeda pendapat dalam

menilai seorang perawi hadis adalah moralnya. Bagi seorang kritikus hadis yang

mengutamakan etika, seorang perawi dapat dinilai tidak adil pada saat ia tidak

mengucapkan salam ketika berjumpa dengan orang lain. Sedangkan menurut kritikus

hadis yang tidak begitu mengutamakan etika, bisa saja menilai perawi tersebut

sebagai perawi yang adil walaupun ia tidak mengucapkan salam. Apalagi yang

(45)

36

dipakai oleh kritikus hadis tersebut adalah standar hukum fiqh. Dalam hukum fiqh,

mengucap salam tidak wajib, dan hanya menjawabnya saja yang wajib. Dan masih

banyak lagi masalah moral sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh

seorang perawi hadis, yang memberi peluang untuk diperdebatkan.

Kriteria yang paling rumit dari sekian banyak kriteria adilnya seorang perawi

adalah menjaga muru‟ah. Bagi seorang kritikus hadis yang selektif, seorang perawi

yang tidak memakai kopiah saja dapat dinilai tidak adil, karena ia tidak menjaga

muru‟ah. Sebagai dampak dari penilaian tersebut, banyak perawi yang tidak

memenuhi syarat sebagai perawi hadis shahih. Berbeda dengan kritikus yang pertama, kritikus kedua yang tidak terlalu selektif dalam menilai perawi hadis, dapat

menerima hadis dari perawi yang tidak menutup kepala, karena tidak menutup kepala

tidak menjatuhkan harga diri (murawu‟ah). Begitu juga makan dan minum dengan

cara berdiri. Hal tersebut bisa saja menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan

kritikus hadis, seperti halnya pertentangan mereka dalam masalah menutup kepala.

c. D{abit{

Syarat ketiga adalah d{abit{ (kuat hafalan). Para kritikus hadis menetapkan bahwa seorang perawi hadis haruslah orang yang d{abit{, yaitu perawi yang mampu menghafal hadis yang ia terima dari gurunya dan mampu menyampaikan lagi kepada

(46)

37

mengetahui kesalahan yang terjadi, baik berupa penambahan maupun pengurangan

matan hadis yang ia riwayatkan.43

Dalam kitab-kitab rijal al-h}adi>th, adil dan d{a>bit{ biasanya digabung dalam satu istilah, yaitu thiqah. Dan thiqah itu sendiri memiliki beberapa tingkatan, dari tingkat

yang paling tinggi sampai kepada tingkatan yang paling rendah. Adanya tingkatan

kethiqahan seorang perawi membawa dampak kepada bertingkatnya nilai hadis Nabi.

Ajjaj al-Khathib, sebagaimana yang dititurkan oleh Burhan Djamaluddin, membagi

urutan kethiqahan perawi hadis kepada enam tingkat, yaitu:44

Pertama, tingkat kethiqahan yang paling tinggi, yaitu yang ditandai oleh kata

yang menunjuk pada arti mubalaghah (tingkat paling atau superlative), seperti authaq

al-nas (orang yang terpercaya), ad{bat{ al-nas (orang yang paling kuat hafalannya),

laisa lahu naz{ir (orang yang tidak ada tandingannya dalam kethiqahan).

Kedua, tingkat kethiqahan yang ditandai dengan istilah la> yus‟alu „anhu (tidak perlu dipertanyakan lagi) atau la> yus‟alu „an mithlih (tidak perlu dicari orang seperti dia). Perawi yang mendapat nilai kedua ini, maka keshahihan hadis yang diriwayatkan kedudukannya lebih rendah dari keshahihan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang memiliki nilai tingkat pertama.

Ketiga, tingkat kethiqahan yang ditandai dengan mengulang kata thiqah, seperti:

thiqah-thiqah atau ditandai dengan istilah thiqah ma‟mun atau thiqah hafiz.

(47)

38

Keempat, kethiqahan yang ditandai oleh kata thabat, mutqin, hujjatun, imam fi

al-hadis, „adlun hafid, dan „adlun d{abit{un. Secara berurutan, urutan keempat ini

masih termasuk kategori shahih, tetapi menempati urutan di bawah keshahihan urutan ke tiga.

Kelima, kethiqahan yang ditandai dengan kata seperti s{aduq, ma‟mun, la> ba‟sa bih. Tingkatan ke lima ini mengindikasikan bahwa perawi adalah orang yang adil

tetapi hafalannya kurang kuat. Lafaz{ lain yang semakna dengan ini adalah mahalluh al-s{idqu (pantas dikategorikan perawi yang adil), s{alih al-h}adi>th (hadis yang

diriwayatkannya baik untuk dijadikan hujjah). Namun sebagian ulama ahli hadis

menempatkan dua istilah terakhir ini pada urutan ke enam.

Keenam, kethiqahan yang ditandai dengan istilah seperti syaikh, laisa bi ab‟ad

min al-s{awab (tidak jauh dari kebenaran), s{uwailih (hadisnya agak baik), dan s{aduq

insya Allah (insya Allah perawinya seorang yang benar).

d. Tidak terdapat shadh

Syarat ke lima yang harus ada pada hadis shahih adalah hadis tersebut tidak

shadh, yaitu perawi hadis tersebut tidak bertentangan dengan perawi lain yang lebih

thiqah. Dengan kata lain tidak ada pertentangan secara substansial bukan redaksional

antara hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang thiqah dengan riwayat hadis dari

perawi yang lebih thiqah, serta pertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan

sehingga dengan sendirinya hadis yang diriwayatkan oleh pertama dianggap shaz.

(48)

39

e. Tidak terdapat illat

Syarat ke enam dari hadis shahih adalah hadis tersebut tidak cacat, misalnya hadis yang sanadnya tampak bersambung (muttas{il) dan sampai pada Nabi (marfu‟) namun ternyata hanya sampai pada sahabat (mawquf), hadis munqat{i’ (hadis yang tidak bersambung sanadnya) dianggap hadis maws{u>l(bersambung sanadnya).

Ajjaj al-Khatib menyebut cacadnya seorang perawi hadis ada enam tingkatan,

yaitu:45

Pertama, cacat yang paling parah yang ditandai dengan istilah yang menunjukkan

arti paling (superlative), seperti akz{ab al-nas (orang yang paling bohong). Kedua, cacat yang ditandai dengan istilah yang berarti bohong, seperti kaz{z{ab (pembohong) atau wad{d{a’ (orang yang senang membuat-buat berita). Ketiga, cacat yang ditandai oleh kata yang merujuk bahwa ia dituduh berbohong, seperti muttah}amun bi al-kaz{ib

(dituduh berbohong), muttah}amun bi al-wad}‟i (dituduh membuat hadis), sariqa

al-h}adi>th (mencuri hadis), atau laisa bi thiqah (dia tidak thiqah). Keempat, cacat yang ditandai oleh kata-kata seperti rudda hadithuh (hadisnya ditolak), d{a’if jiddan (lemah sekali), laisa bi shai‟in (tidak ada apa-apanya), atau la> yuktabu h}adithuh (hadis yang diriwayatkannya tidak boleh ditulis atau diriwayatkan). Kelima, cacat yang ditandai

oleh kata-kata seperti mud{t{arib al-h}adi>th (hadis yang diriwayatkannya mud{t{arib), la>

yuhtajju bih (hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah), d{a’if (lemah), atau lahu manakir

(hadis yang diriwayatkannya termasuk hadis munkar). Keenam, cacat yang merujuk

(49)

40

pada arti lemah, tetapi mendekati thiqah, seperti laisa bi z{aka al-qawiyyi (tidak begitu kuat), fihi maqal (hadis yang diriwayatkannya masih perlu diperdebatkan), atau laisa

bi h}ujjatin(hadis yang diriwayatkannya tidak dapat dijadikan hujjah), atau fihi d{a’fun

(hadis yang diriwayatkannya terdapat kelemahan), atau ghairuhu authaq minhu

(orang lain lebih thiqah dari pada dia).

Kecacatan perawi tingkat pertama menunjuk pada beratny

Referensi

Dokumen terkait

More precisely, the relational model consists of the following components: (a) an open-ended collection of scalar types, including in particular type BOOLEAN; (b) a relation

Aplikasi sensor accelerometer pada handphone android se- bagai pencatat gempabumi secara online ini menggunakan web server untuk menghimpun data dari pembacaan getaran di lapangan

Bahkan penyelesaian sengketa pilkada di MK adalah urgen sebab MK merupakan lembaga yang dibentuk untuk memberikan perlindungan konstitusional terhadap warga

imunomodulator dengan menggunakan fraksi polar (etanol 70%) dari ekstrak etanol 70% kulit buah manggis, serta menggunakan berbagai konsentrasi yang mempunyai potensi

Luaran yang diharapkan dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini yaitu adanya peningkatan perilaku kelompok dasa wisma di Kelurahan Sekaran yang diukur

Volume air yang harus disediakan penduduk agar tidak mengalami kekurangan air adalah sebesar 27,13 m³/orang/tahun. Nilai ini berlaku untuk periode kering dengan periode ulang 23

Sedangkan dalam hal setiap proses pembuatan perencanaan dan pengambilan keputusan sebanyak 15 (60%) responden menyatakan keputusan telah mengikutsertakan bawahan,

Pada kelompok 2, average abnormal return (AAR) tertinggi pada H+2 terjadi akibat adanya abnormal return positif yang cukup tinggi pada beberapa perusahaan yang melakukan