• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Peradaban melalui Keteladanan Nabi Ibrahim Alaihissalam di n

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Membangun Peradaban melalui Keteladanan Nabi Ibrahim Alaihissalam di n"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN PERADABAN

MELALUI KETELADANAN NABI IBRAHIM ALAIHISSALAM

Oleh: Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si.

(Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, Indonesia)

Beberapa hari kebelakang kita berkumpul dalam rangka memperingati satu peristiwa hari raya yang amat istimewa, yang oleh kita ummat disebut dengan berbagai

macam sebutan, ada yang menyebutnya dengan Idul Adha, ada yang menyebutnya dengan Idul Qurban, dan ada juga yang menyebutnya dengan hari raya haji atau lebaran haji. Sebutan-sebutan tersebut tentu saja memiliki latar belakang. Idul Adha karena memang hari raya ini kita diperintahkan untuk menyembelih, Idul Qurban karena memang pada hari raya ini umat diperintahkan untuk berkurban bagi yang mampu. Bahkan, bagi yang mampu dan tidak mau berkurban rasul kita memberikan ancaman:

َالَ

َ نابارْقاي

َ

اان ل اصُم

َ

Artinya: “Tidak boleh dekat kepada tempat shalat

kami bagi orang yang mampu berqurban tidak mau berqurban”.

(2)

adalah hari raya yang istimewa yang patut oleh kita dicermati pesan-pesan yang terkandung didalamnya. Karena ketika peristiwa Idul Adha, Idul Qurban, dilaksanakan disitu ada banyak unsur-unsur nilai-nilai ke-Tuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita imani, yang harus kita fahami, yang juga harus kita implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena, pada kedua nilai tersebut kita akan mendapatkan upaya membangun kesalehan individual dan sekaligus upaya membangun kesalehan sosial. Kita bisa lihat kesalehan individual yang sekaligus kesalehan sosial terjadi pada saat kita melaksanakan Qurban.

Keikhlasan, keimanan, dan ketaqwaan adalah representasi kesalehan individual dan pendistribusian

daging qurban adalah cermin kesalehan sosial, karena memang pada hakikatnya qurban adalah ujian ketaqwaan seorang hamba kehadirat Allah SWT. Karena itu Allah mengingatkan melalui firmannya dalam surat Al-Hajj, ayat 37. Allah menyatakan:

Ketaqwaan dari kamu sekalian”.

(3)

Kesalehan individual dan kesalehan sosial yang ada pada pelaksanaan ibadah haji, inipun tercermin dari serangkaian tangga ritualitas yang harus ditempuh oleh jamaah haji dari mulai masuk tanah haram sampai meninggalkannya, dan itu semua dilakukan secara berjamaah, secara bersama-sama. Bersatu antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Semua itu dilakukan dalam rangka beribadah hanya kepada Allah SWT, sebagaimana Allah-pun mengingatkan kepada kita dalam surat Quraisy, ayat 3 dan 4, yang

Artinya: “Hendaklah kalian beribadah, mengabdi kepada Tuhan sang pemilik ini rumah, yang

dimaksud adalah Ka’bah”.

Ayat di atas, tentu mengingatkan kita bahwa Ka‟bah bukan Tuhan dan Hajar Aswad bukan simbol Tuhan. Jadi, yang kita sembah bukan Ka‟bah dan bukan Hajar Aswad, tetapi sang pemilik Ka‟bah yang oleh ayat berikutnya dijelaskan lebih lengkap:

keamanan dari orang yang merasa ketakutan.

(4)

Oleh karena itu, hadirin jamaah rohiimakumullah, kita tidak boleh salah memahami bahwa ketika kita berkunjung ke Ka‟bah, bukan kita menyembah Ka‟bah, ketika kita mencium Hajar Aswad bukan kita menyembah Hajar Aswad. Tetapi yang kita sembah adalah sang pemilik Ka‟bah dan Hajar Aswad yang senantiasa memberi kita makan dan memberi kita jaminan keamanan, yaitu Allah Azzawajalla.

Untuk memaknai hari raya „Id yang hari ini kita

rayakan agar lebih utuh dan menyeluruh kita bisa melihat yang dinukil oleh imam Asy-Syaukani dalam

kitab “Nailul Authar”. ketika seorang sahabat bertanya

kepada rasul. “Yaa Rasulallah. Maa Haadzihil Udhiya”?.

Wahai Rasululah apakah yang dimaksud Adhiyah itu?.

Kemudian rasul menjawab: “Sunnatu Abiikum Ibrahim”,

yaitu adalah tradisi ayahanda kalian Ibrahim a.s

Jadi, ketika sahabat bertanya apa yang dimaksud

Udhiyah” idul Adha, kemudian rasul menjawab: bahwa

yang dimaksud udhiyah itu adalah tradisi ayahanda kalian Ibrahim alaihissalam. Oleh karena itu, hadirin jamaah rohimakumullah. Ketika kita memperingati dan merayakan hari raya penyembelihan, kita tidak bisa lepas dari mengenang sejarah nabiyallah Ibrahim alaihissalam. Mudah-mudahan dengan mengenang nabiyallah Ibrahim, kita kelak bisa menjadikan Ibrahim sebagai teladan unuk kehidupan kita saat ini dan saat-saat yang akan datang.

(5)

sosok manusia yang betul-betul patut menjadi uswah dan qudwah dalam konteks kepribadian. Kita bisa melihat Ibrahim sebagai pemuda yang ideal, pada saat ia menjadi pemuda, dan kita bisa melihat Ibrahim sebagai bapak yang sempurna ketika ia tampil sebagai orangtua dan kita bisa melihat Ibrahim sebagai pemimpin yang luar biasa pada saat ia memimpin umatnya.

Oleh karena itu, mari kita lihat satu persatu posisi Ibrahim ketika menjadi pemuda, Ibrahim ketika menjadi orangtua, dan Ibrahim ketika ia memimpin umatnya. Ketika Ibrahim sebagai generasi muda, Ibrahim tampil sebagai pemuda yang kritis dan dinamis, yang ia mampu memaksimalkan tiga kecerdasan secara simultan dalam menegakan kebenaran, ia sebagai pemuda yang memiliki

kecerdasan intelektual, seluruh waktunya ia habiskan untuk mencari Allah dan mengkritisi realitas segala kemusyrikan disekelilingnya, secara tegas, keras, tetapi

(6)

Sebagai pemuda Ibrahim juga memiliki kecerdasan emosional, Ibrahim cerdik dalam menghadapi kedzaliman raja Namrud sebagai tantangan dakwahnya. Demikian pula ketika Ibrahim yang memiliki kecerdasan spiritual ia gunakan seluruh hidupnya untuk mengabdi dan mencintai Allah, sehingga ia mendapat anugerah gelar kehormatan dari Allah sebagai “Khalilullah” kekasih Allah.

Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang dimiliki seorang pemuda Ibrahim ia gunakan sepenuhnya untuk mengabdi kepada Allah. Sehingga ia mendapatkan gelar sebagai kekasih Allah.

Oleh karena itu, untuk para pemuda sepatutnyalah Ibrahim kita jadikan top model dalam kehidupan, yaitu

menjadi seorang pemuda yang bersikap dinamis, berfikir akademis, dan bermental kritis jika menghadapi berbagai persoalan yang ada dihadapannya. Tetapi kritis, akademis, dan dinamis tetap berlandasan pada etis.

Kita melihat bagaimana Ibrahim ketika diminta oleh orangtuanya untuk memasarkan patung yang dibuat oleh ayahandanya, Ibrahim dengan etika yang santun ia tidak menolak permintaan orangtuanya, tetapi ia pun tidak memasarkan apa yang ia anggap sebagai kemusyrikan, dan inilah yang dilakukan oleh pemuda Ibrahim ketika berhadapan dengan sesuatu yang menurutnya tidak sesuai ajaran. Oleh karena itu, hadirin jamaah

rohimakumullah. Pemuda di negeri manapun patut

(7)

mencapai apa yang menjadi tujuan tanpa membuat kegaduhan. Dalam al-Quran dikenal menolak dengan

cara yang baik (

نسحاَيَىلبَعفَدا

).

Selanjutnya, jika kita mencermati nabiyallah Ibrahim sebagai contoh sempurna sebagai orang tua kita dapat melihat bagaimana kesuksesan Ibrahim dalam mendidik puteranya, hampir seluruh putranya menjadi putra yang sholeh, bahkan bukan Cuma sekedar sholeh, ia mampu mengantarkan putranya menjadi nabi bagi kaumnya. Bisa lihat dari beberapa uraian dalam

Al-Artinya: “Ketika Ibrahim berpisah dengan kaumnya

yang menyembah selain Allah, yang menyembah berhala dan beliau berada di tanah suci, kemudian Allah menganugerahkan kepada Ibrahim keturunan, yaitu ishak dan Ya’kub, dan masing-masing mereka Allah angkat menjadi nabi, bagi umatnya.

Inilah bukti kesuksesan Ibrahim mampu menghan-tarkan putranya Ishak dan Ya‟kub menjadi Nabi. Tentu yang sering kita kenal adalah Ismail sebagai putera Ibrahim, Ismail pun adalah putra, hanya bedanya Ishaq

dan Ya‟kub adalah lahir dari buah perkawinan baginda

(8)

Hajar, dan inipun bisa kita lihat dalam surat ash-shafat ayat 101, Allah menyatakan:

Maka kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan datangnya seorang anak yang amat sabar, yang dimaksud

dengan “Gulamin Halim” adalah Ismail as, yang lahir dari

buah perkawinan Ibrahim dengan siti Hajar, ra.

Tingkat kesabaran Ismail digambarkan oleh Allah dalam surat Ash-Shaffat ayat 102, yang bunyinya:

menyampaikan keinginannya yang merupakan kewajibannya, dengan kata-kata: Wahai Anakku, sesungguhnya aku bermimpi pada saat tidurku bahwasanya aku diperintahkan untuk menyembelihmu.

Ini merupakan pelajaran buat kita, bahwa Ibrahim baru mau menyampaikan perintah tuhannya setelah puteranya dewasa, dan setelah ia sampaikan perintah tersebutpun ia mempersilahkan puteranya dengan

kalimat “fandzur madza taro” maka fikirkan oleh engkau

dan apa pendapat engkau. Ini dialog yang luar biasa

(9)

berkenan memperlakukan sewenang-wenang terhadap anak tanpa mendialogkan hatta perintah yang datangnya dari tuhan, Ibrahim tetap mendialogkan, member ruang kepada anaknya untuk berfikir dan sekaligus dipersilah-kan untuk berpendapat.

Karena bijak Ibrahim menghadapi puteranya,

akhirnya puteranyapun Ismail menjawab:”Yaa Abatif’al

maa tu’mar satajiduni insyaallahu mina shabiriin”. Wahai ayahanda tercinta kerjakan akan yang diperintahkan oleh Allah, maka insyaallah engkau akan mendapatkanku penuh kesabaran. Karena orang tua bijak, maka mampu melahirkan putra yang bijak. Ini tentu menjadi pesan khusus buat para orang tua. Jika ingin menghasilkan putera yang sholeh, tentu kita harus sholeh, jika ingin

menghasilkan putra yang bijak, tentu kita pun harus bijak, dan ini terjadi pada keluarga Ibrahim.

(10)

telah terpisah antara kepala dan badannya. Ia mengucurkan air mata. Seolah-olah darah sudah berlumuran ditubuhnya. Namun apa yang terjadi ketika Ibrahim membukakan matanya, ternyata yang ia sembelih, bukan putera kesayangannya Ismail, melainkan seekor binatang yang besar, yang Allah gantikan. Allah nyatakan dalam Firmannya:







Artinya: ...dan kami Tebus anak itu, kata Allah,

dengan seekor sembelihan kibas yang besar. Q.S.

Ash-shaffatt, ayat 107.

Apa yang kita ambil pelajaran dari kasus ini?, yang kita bisa ambil pelajaran dari kasus ini adalah ketika iman taqwa bercampur dengan keikhlasan dan kesabaran, maka disitu kuasa Allah akan muncul. Karena Ibrahim dan Ismail iman taqwanya hebat dibalut dengan keihklasan dan kesabaran, maka yang seharusnya Ismail menjadi Qurban. Akhirnya Allah tukar dengan seekor kibas yang besar. Ini artinya ketika iman, taqwa, ikhlas dan penuh kesabaran ada pada kita, maka kuasa Allah akan muncul pada saat yang kita butuhkan.

(11)

akan pernah mungkin ketika air dari hilir tidak jernih itu, akan mengocor kehulunya jernih.

Jadi jernih dan kotornya air di hilir, sangat ditentukan dari hulu. Artinya anak soleh dan tidaknya akan sangat ditentukan oleh orangtuanya. Kalau saat ini kita melihat generasi kita belum menjadi generasi yang memuaskan. Kalau saat ini kita melihat pemuda kita belum berakhlak mulia tentu harus menjadi bahan evaluasi kita orang tuanya. Karena kata Rasul:

ل

Artinya: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah akan membuat dia jadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.

Jadi, Yahudi atau Majusinya anak kita akan sangat ditentukan oleh langkah kita sebagai orang tua. Terlebih ibunda tercinta. Karena rasul bersabda:

نجا

Artinya: Surga dibawah telapak kaki ibu

Sering hadits di atas, dijadikan alat bahwa, untuk itu anak harus hormat kepada orang tua, iya tidak salah

(12)

yang berat untuk ibu, bahwa langkah itu sangat menentukan anaknya.

Dalam kontek kebangsaan, nabiyallah Ibrahim merupakan tauladan terbaik bagi para pemimpin bangsa, karena beliau merupakan sosok pemimpin yang berorientasi pada kesejahteraan rakyatnya diatas kesejahteraan diri, keluarga, dan kelompoknya. Hal ini tercermin diuntaian doa yang sering beliau sanjungkan kepada Allah yang diabadikan dalam al-Quan surat Al-Baqarah, ayat 126, yang bunyinya:

Artinya: “ketika Ibrahim berdoa, Tuhan jadikanlah negeri kami negeri yang aman sentosa, dan limpahkanlah rezeki kami rezeki bagi penduduk dari ragam buah-buahan terhadap mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Inilah tifikal doa pemimpin umat yang ideal, sebelum ia berdoa untuk keselamatan jabatan sendiri, keluarga, dan komunitasnya, terlebih dahulu ia berdoa demi keselamatan rakyatnya dan negaranya.

(13)

Referensi

Dokumen terkait