• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN ENREKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN ENREKANG"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN ENREKANG

OLEH:

RESKI OLIVIA DURI O111 11 117

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2015 SKRIPSI

(2)

DETEKSI Toxocara vitulorum PADA KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) DI KABUPATEN ENREKANG

RESKI OLIVIA DURI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi saya yang berjudul Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Di Kabupaten Enrekang karya saya sendiri dengan bimbingan Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan drh. Junwar, M.Si serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Makassar, November 2015

Reski Olivia Duri O111 11 117

(5)

INTISARI

RESKI OLIVIA DURI. O111 11 117. Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Di Kabupaten Enrekang. Dibimbing oleh LUCIA MUSLIMIN dan JUNWAR

Penyakit yang ditimbulkan akibat infeksi Toxocara vitulorum adalah toxocariasis. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kejadian infeksi Toxocara vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni 2015 jumlah populasi kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang sebanyak 500 ekor dan sampel feses yang diambil yaitu sebanyak 28 sampel. Sampel dikumpulkan dengan menggunakan metode Simple Random Sampling. Sampel feses di uji menggunakan uji apung, dan diamati dengan pembesaran 100 x menggunakan mikroskop. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif . hasil pengujian menunjukkan bahwa seluruh sampel negatif yang artinya tidak terdeteksi adanya infeksi Toxocara vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang.

(6)

Abstract

RESKI OLIVIA DURI. O11111117. Detection of Toxocara vitulorum Squeeze Buffalo (Bubalus bubalis) in Enrekang Regency. Guidanced by LUCIA MUSLIMIN and JUNWAR

Toxocariasis is a desease that caused by Toxocara vitulorum infection. This desease can causes high economic loss. This study purposed to detect the infection of

Toxocara vitulorum in Squeeze Buffalo in Curio subdistrict, Enrekang Regency. This study held in June 2015, with populations amount of Squeeze Buffalo in Curio subdistrict, Enrekang Regency are 500 buffalos and feses samples that used are 28 samples. The samples collected with Simple Random Sampling method. Feses samples were tested by Float Examination (Tes Apung), and observed with Microscop. Data analysis that used in this study is analisis deskriptif. The examination shows negative result for all samples means that infection of Toxocara vitulorum in Squeeze Buffalo in Curio subdistrict, Enrekang Regency is undetected.

(7)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Kalosi 03 September 1992, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Supriadi dan Sanuria.

Penulis memasuki pendidikan formal sekolah dasar di SD Negeri No. 57 Sangeran Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pasa tahun 1999 dan tamat pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP 3 Alla dan tamat pada tahun 2007, kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah SMA 1 Anggeraja dan tamat pada tahun 2010. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi di Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran UniversitasHasanuddin.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

ALHAMDULILLAH, Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deteksi

Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan/S.KH dalam program pendidikan strata satu Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa sangat bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin,

3. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing utama dan drh. Junwar, M.Si selaku pembimbing anggota atas dedikasi ilmu, waktu, motivasi, dan kesabarannya dalam membimbing mulai dari usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penyusunan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan,

4. Kepada drh. Adriani Ris. M.Sc sebagai Dosen penguji atas motivasi, saran, dan kritiknya kepada penulis,

5. Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang beserta staf yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian,

6. Seluruh dosen beserta staf pengelola pendidikan Program Studi Kedokteran Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses pendidikan, 7. Drh. Fitri Amaliah, dan seluruh staf Balai Besar Veteriner Maros yang telah

membantu proses penelitian serta memberikan dukungan selama proses penelitian, 8. Paramedik dan rekan-rekan satu tim di lokasi penelitian yang senantiasa

meluangkan waktu, memberikan bantuan, dan atas kerja samanya selama penelitian,

9. Terkhusus kedua orang tua tercinta Ayahanda Supriadi dan Ibunda Sanuria atas cinta kasih dan untaian kasih sayang serta doa yang tidak pernah putus. Demikian pula saudara(i)ku tercinta Rahmat dan Sherly serta keluarga besar atas segala dukungan dan bantuannya, baik secara spiritual, moral, maupun material.

10. Masyarakat Kecamatan Curio khususnya para peternak yang telah membantu pengumpulan data penelitian serta informasi-informasi penting yang dibutuhkan peneliti dan dengan rasa kekeluargaan menerima dan membantu penulis selama penelitian berlangsung,

11. Seluruh rekan mahasiswa(i) Angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Studi

(9)

Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin dan membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini,

12. Kepada sahabat dekat Abd. Malik yang telah banyak memberikan bantuan, semangat, doa, waktu dan motivasi.

13. Sahabat yang selalu memberikan semangat, motivasi dan bantuannya Yaumil Ni’mah, Kuntum Khoirani, Wahyuni, Murtafia Daris, Sry Febrianti, Muspianto, Ceng, serta sahabat yang selalu setia mendengarkan, memberikan masukan dan kritikan,

Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang juga tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya. Harapan dan doa penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kemampuan penulis dan sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan tanggapan, kritik, dan saran yang konstruktif sehingga penulis dapat berkarya dengan lebih baik lagi kedepannya. Aamiin

Makassar, November 2015

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAAN iv

INTISARI v

ABSTRAK vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTRA GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1

PENDAHULUAN

1

1.1

Latar Belakang

1

1.2

Rumusan Masalah

2

1.3

Tujuan

2

1.3.1

Tujuan Umum

2

1.3.2

Tujuan Khusus

2

1.3.3

Manfaat Penelitian

2

1.4

Hipotesis

2

1.5

Keaslian Penelitian

2

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

2.1

Kerbau (Bubalus bubalis)

3

2.2

Karakteristik Kerbau

4

2.3

Toxocara vitulorum

5

2.3.1

Etiologi

5

(11)

2.3.3

Siklus Hidup

6

2.3.4

Gejala Klinis

8

2.3.5

Diagnosis

8

2.3.6

Patogenesis Toxocariasis

9

2.3.7

Pencegahan dan Kontrol

9

2.3.8

Cara Penularan.

10

2.4

Keadaan Umum Wilayah

10

3

METODELOGI PENELITIAN

12

3.1

Waktu dan lokasi Penelitian

12

3.2

Materi Penelitian

12

3.2.1

Sampel dan Teknik Sampling

12

3.2.2

Alat

12

3.2.3

Bahan

13

3.3

METODE PENELITIAN

14

3.3.1

Desain Penelitian

14

3.3.2

Pengambilan Sampel

14

3.3.3

Pengujian Laboratorium

14

3.3.4

Analisis Data

14

3.3.5

Kerangka Konsep

15

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

16

5

PENUTUP

23

5.1

Kesimpulan

23

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR

GAMBAR

Gambar 1 : Kerbau Lumpur Betina 4

Gambar 2 : Morfologi Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum 5 Gambar 3 : Telur Toxocara vitulorum 6

Gambar 4 : Siklus Hidup Toxocara vitulorum 7

Gambar 5 : Diagram Pemberian Obat Cacing 16

Gambar 6 : Diagram Pengalaman Beternak 17

Gambar 8 : Diagram Sistem Pemeliharaan Kerbau 17

Gambar 9 : Diagram Kondisis Kerbau Perah 18

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Laboratorium BBV Maros, Identifikasi Telur Cacing

Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.

Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatn Proses Pengambilan Sampel dan Pemeriksaan Sampel di Laboratorium..

Lampiran 3. Kuisioner Deteksi Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di Kabupaten Enrekang.

(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati sangat melimpah. Kerbau rawa (Bubalus bubalis) adalah salah satu keanekaragaman hayati di Indonesia yang termasuk jenis ternak ruminansia yang keberadaannya relatif kurang diperhatikan, namun demikian, secara nasional kontribusinya terhadap pembangunan peternakan cukup berperan penting, dan memberikan manfaat begitu besar bagi kehidupan masyarakat, salah satunya yaitu untuk konsumsi sehari-hari dan juga sebagai barang yang bernilai ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini disebabkan peranan kerbau secara umum menghasilkan daging, susu, kulit, dan sebagai ternak kerja (Karim, 2012).

Ternak kerbau merupakan salah satu sumber produksi susu dan daging yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Kerbau yang dipelihara dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi dan susunya sebagai bahan baku pembuatan dangke (Anonim, 2012).

Berdasarkan aspek nutrisi dan fisiologisnya tidak jauh berbeda dengan sapi, sehingga ternak ini cocok dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi daging nasional. Peranan ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang swasembada daging sapi. Saat ini pertumbuhan produksi hasil ternak kerbau berupa daging salama 20 tahun terahir rata-rata 6,70%. Pertumbuhan produksi daging ini masih jauh dari angka harapan yaitu 7,10% (Purwanta, 2006). Penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit saluran pencernaan menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi daging oleh ternak, salah satunya yaitu cacing

Toxocara vitulorum (Mufiidah et al, 2013).

Toxocara vitulorum merupakan parasit cacing yang hidup di saluran pencernaan hewan ruminansia besar seperi kerbau. T. Vitulorum banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Cacing ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi khusunya pada hewan muda. Prevalensi toxocariasis di Malang sebesar 76%, di Surabaya 68,2%, Sumedang sebesar 42,31%, Kabupaten Pasuruan 21,33%, di Bali Timur 36,4%, Kabupaten Kebumen 33% (Yudha et al, 2014)

Berdasarkan survei di bebrapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% hewan ternak kerbau dan sapi mengidap penyakit cacing (Abidin, 2002). penyakit cacingan (Toxocariasis) sangat menekan produktivitas ternak, hal ini menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian. Pedet yang menderita Toxocariasisakan kehilangan bobot badan sebanyak 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan.

Kerugian yang diakibatkan oleh parasit diantaranya penurunan produksi dan berat badan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain bahkan dapat menimbulkan kematian. Kejadian toxocariasis pada ternak di Indonesia masih tergolong tinggi oleh sebab itu perlu dilakukan pendeteksian parasit T. vitulorum

pada kerbau sehingga dapat dilakukan pengendalian untuk menekan tingkat kejadian dan kerugian yang ditimbulkan akibat parasit tersebut.

(16)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat kejadian infeksi parasit (Toxocara vitulorum). Pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi adanya (Toxocara vitulorum) pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengidentifikasi parasit (Toxocara vitulorum). Pada Kerbau Perah (Bubalus bubalis) di Kabupaten Enrekang.

1.3.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan kejadian parasit (Toxocara vitulorum) pada ternak kerbau perah. Informasi ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan (Pemerintah daerah, Balai Besar Veteriner Maros, dan peternak) dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit parasiter khususnya kejadian parasit (Toxocara vitulorum) di Kabupaten Enrekang.

1.4 Hipotesis

Ditemukan minimal satu ekor kerbau perah di Kabupaten Enrekang yang terdeteksi adanya parasit (Toxocara vitulorum).

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Deteksi parasit (Toxocara vitulorum) pada kerbau di Kabupaten Enrekang belum pernah dilakukan.

(17)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerbau (Bubalus bubalis)

Kerbau adalah ternak asli daerah tropis yang lembab, dalam kehidupannya ternak tersebut sangat menyukai air. Ada 2 tipe kerbau yaitu kerbau sungai (river buffalo) dengan 50 pasang kromosom dan tipe rawa/lumpur (swamp buffalo) dengan 48 pasang kromosom dengan total populasi sekitar 2.246.000 ekor (Talib, 2011). Kerbau sungai hanya ditemukan di daerah Sumatera Utara, sedangkan kerbau lumpur hampir tersebar di seluruh daerah di Indonesia, terutama di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kerbau lumpur dipelihara terutama sebagai ternak kerja dan untuk produksi daging, namun di beberapa daerah kerbau ini juga diperah (Sjamsul, 2008; Wirdahayati, 2008).

Ternak kerbau merupakan hewan ruminansia yang bernilai ekonomi tinggi, ternak kerbau dapat dijadikan usaha pokok petani, selain kegunaan membantu mambajak sawah. Kerbau yang dipelihara oleh masyarakat biasanya untuk tujuan keperluan tenaga kerja maupun untuk diambil dagingnya. Kerbau juga mempunyai manfaat yang besar dalam sosial buadaya dan dapat dijadikan ukuran martabat seseorang dalam masyarakat serta dapat pula sebagai hewan kurban pada acara-acara ritual (Karim, 2012).

Dari sisi performans umum, maka kerbau lumpur serupa satu sama lainnya di Indonesia, tetapi karena ada penerapan beberapa karakter kearifan lokal yang sangat intensif maka timbul beberapa keragaman pada kerbau lumpur di Indonesia, yaitu timbulnya variasi pada warna, ukuran tubuh dan kemampuan adaptasi. Disamping itu juga muncul berbagai nama pada kerbau tersebut berdasarkan nama tempat keberadaannya maupun berdasarkan warnanya. Maka dikenal berbagai nama seperti kerbau Aceh, Binanga, Sumba, Sumbawa, Kalang, Pampangan, Belang dan lainnya (Tiesnamurti dkk, 2011).

Klasifikasi ilmiah ternak kerbau lumpur adalah sebagai berikut menurut Azimah (2013): Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bubalus

Spesies : Bubalus bubalis

Berdasarkan penciptaannya, kerbau mempunyai beberapa karakter biologis yang berbeda dengan sapi yang terlihat pada keunggulan maupun kelemahan dari ternak tersebut jika dibandingkan dengan sapi potong. Beberapa hal tersebut antara lain (a) mempunyai ketahanan terhadap parasit yang lebih tinggi karena mempunyai kulit yang lebih tebal, (b) Memanfaatkan pakan dengan kandungan serat kasar tinggi dengan kualitas rendah karena komponen biologis organisme rumennya yang berbeda dengan sapi, (c) Menghasilkan daging yang rendah

(18)

kandungan kolesterol yaitu hampir 50% lebih rendah dari kolestrol daging sapi dalam keadaan segar(Sompotan, 2011), (d) Kandungan lemak susu segar kerbau lebih tinggi 100-300%, total protein lebih tinggi 11,4%, makro mineral Fe, Ca dan P lebih tinggi 30-118%, Vit A lebih tinggi dan kandungan bahan bioprotektif juga lebih tinggi sedangkan kolestrol lebih rendah dari kandungan dalam susu sapi. Hal tersebut penting untuk dipopulerkan karena sudah jelas susu kerbau maupun daging kerbau ternyata lebih baik sebagai pangan kesehatan dibandingkan dengan susu dan daging sapi (India Dairy, 2011).

2.2 Karakteristik Kerbau

Secara umum kerbau lumpur (Swamp buffalo) memiliki ciri-ciri warna kulit coklat kehitam-hitaman, tubuhnya relatif pendek dan kaki pendek. Berat badan kerbau dewasa berkisar antara 300-600 kg tergantung kondisi dan genetis ternak (Azimah, 2013).

Rambut panjang di tengah antara leher, telinga relatif kecil, tengkorak kecil memanjang, tanduk berbentuk bulan menyabit (pipih), kerbau tidak memiliki punuk dan gelambir. Semua kerbau mempunyai tanduk yang lebar, pipih dan hampir berbentuk segi empat panjang, arah pertumbuhan tanduk bervariasi (Karim, 2012).

Bulu pada kerbau pendek dan kaku, menutup seluruh badan, agak panjang tersebar sehingga kulit kerbau yang bersangkutan tetap kentar jelas. Hanya di leher, di pusar kepala dan di bagian muka kuku, bulu lebih tebal. Tanduk kerbau terletak pada kepala dengan dasar yang berdekatan satu sama lain, arah tanduk berbentuk busur. Panjangnya berbeda-beda tetapi biasanya 50-70 cm. Umur kerbau pada umumnya dapat dihitung paling tinggi sampai kurang lebih 20 tahun, oleh para pengembala kerbau lazimnya dinilai berdasarkan panjang dan bentuk tanduk yang bersangkutan dengan lekuk-lekuk melintang yang kelihatan diatasnya (Karim, 2012).

(19)

2.3 Toxocara vitulorum 2.3.1 Etiologi

Toxocara vitulorum merupakan salah satu cacing nematoda terbesar yang memiliki distribusi luas di seluruh dunia, namun keberadaannya paling sering dijumpai pada negara tropis dan subtropis. Prevalensinya sangat tinggi di negara tropis. Hal tersebut sering menyebabkan masalah pada sapi (Bos spp.) dan kerbau (Babalus spp.) di Asia Tenggara dan Afrika. Toxocara vitulorum memiliki permukaan tubuh yang lunak dan tembus pandang. Cacing betina memiliki panjang 150-400 mm dengan lebar 51-70 mm. Cacing jantan memiliki ukuran yang lebih kecil, yaitu memiliki panjang 106-275 mm dan lebar 25-41 mm. Cacing dewasa memiliki 3 bibir yang berfungsi dengan baik yang terdapat pada dorsal dan subventral. Masing-masing bibir dilengkapi dengan beberapa papilla besar dan kecil (Buzetti dkk, 2001).

Gambar 2. Morfologi Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum

Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah Phylum : Nemathelminthes Class : Nematoda Subclass : Secernentea Ordo : Ascaridida Family : Ascarididae Genus : Toxocara

Species : Toxocara vitulorum

Telur cacing Toxocara vitulorum memiliki warna kekuning-kuningan. Bentuknya agak bulat dan memiliki dinding yang tebal. Dinding tersebut sebagai pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai termakan oleh inang. Telur tersebut dapat ditemukan setelah melakukan pemeriksaan tinja (Yudha, 2014). Pengamatan melalui scanning electron microscope (SEM) dapat dilihat T. vitulorum memiliki permukaan dinding berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1999).

(20)

Gambar 3. Telur Toxocara vitulorum

2.3.2 Epidemiologi

Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, prevalensi toxocariasis pada induk maupun pedet sapi bali di Bali relatif lebih rendah dimana prevalensi toksokariasis pada sapi dan kerbau di Malang telah dilaporkan oleh Trisnuwati, et al. (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al, 1999). Kejadian toksokariasis pada anak kerbau di Kabupaten Subang Jawa Barat telah dilaporkan oleh Carmichael and Martindah (1996). Mereka melaporkan bahwa 14 dari 21 sampel feses dari anak kerbau umur 21-62 hari ditemukan telur T. Vitulorum 100 epg-104.000 epg. Penemuan telur T. Vitulorum yang lebih dari 100.000 epg bisa merupakan suatu faktor penyebab kematian anak-anak kerbau maupun anak-anak sapi (Carmichael, 1996).

Prevalensi toksokariasis akibat infeksi T. vitulorum pada pedet di Nigeria adalah 61,4-91,1% (Agustina et al, 2013), dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur cacing T. Vitulorum dalam fesesnya (Holland et al, 2000). Infeksi paten toksokara pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih, 2005).

2.3.3 Siklus Hidup

Toxocara vitulorum biasanya lebih sering ditemukan pada kandang-kandang yang sudah tercemar oleh parasit tersebut. Peternakan ruminansia yang sudah tercemar biasanya tidak segera dapat dibebaskan karena sulitnya memutus mata rantai daur hidup cacing tersebut. Hal ini disebabkan karena tebalnya dinding telur

Toxocara vitulorum. Daur hidup Toxocara vitulorum salah satunya dapat melalui kolostrum. Cacing dewasa hidup di bagian depan usus halus dan sanggup membebaskan telur dalam jumlah banyak. Seekor cacing betina mampu bertelur sebanyak 200.000 telur/hari. Telur dibebaskan bersama tinja dan sangat tahan terhadap udara dingin, panas dan kekeringan (Yudha, 2014).

Telur Toxocara vitulorum mampu bertahan hidup di alam selama 5 tahun. Di tempat yang lembab dan hangat telur mengalami embrionase sehingga

(21)

terbentuk larva stadium kesatu, kedua, dan ketiga. Stadium terahir tersebut yang dicapai dalam beberapa minggu bersifat infektif dan dapat menyebabkan hospes lain tertular. Larva jarang menetas diluar telur dan yang paling umum adalah penetasan setelah telur infektif tertelan setelah makanan atau air minum. Setelah telur menetas di dalam usus halus, larva yang bebas bermigrasi dengan jalan menembus dinding usus, yang selanjutnya mencapai vena porta hepatitis, hati, dan dengan mengikuti aliran darah sampai di bronchus, paru-paru, tenggorokan dan kemudian pindah ke pharynx. Selain itu, larva cacing juga akan bermigrasi ke kelenjar susu. Dengan ikut makanan, air minum atau saliva akan sampai di usus halus lagi untuk tumbuh menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan oleh larva dalam mencapai hati biasanya lebih kurang 24 jam sejak telur infektif tertelan, dan untuk mencapai usus diperlukan waktu 3-4 minggu. Untuk menjadi dewasa sampai bertelur dibutuhkan waktu lebih kurang 5 minggu. Jadi, bila dihitung sejak infestasi pertama sampai mampu bertelur diperlukan waktu lebih kurang 8-9 minggu. Pedet memperoleh larva T. vitulorum induknya melalui kolostrum, hingga pada umur 10 hari telah mengandung cacing dewasa, sehingga telur cacing dapat ditemukan pada umur 2-3 minggu. Waktu pedet umur 5 bulan cacing dewasa mungkin dikeluarkan secara spontan (Subronto, 2004). Beberapa hasil penelitian Buzetti et al. (2001), telur T. Vitulorum sudah tidak ditemukan lagi di dalam feses kerbau antara hari ke 30-120 setelah infeksi yang bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam serum dan diduga pada saat itu cacing dewasa telah keluar dari usus (Yudha, 2014).

(22)

larva T. Vitulorum pada kerbau akan ditemukan di dalam kolostrum 1-5 hari setelah kelahiran dan 90% larva tersebut berada dalam kolostrum selama 8 hari. Namun, pada hari ke-11 sudah tidak ditemukan lagi di dalam susu (Yudha, 2014).

2.3.4 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis toxokariasis pada hewan sangat bervariasi dan tergantung dari umur hewan. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain tidak mau makan, sakit didaerah perut, diare, dehidrasi, penurunan berat badan dan tinja berbau khas. Infeksi toxocara vitulorum pada kerbau dan sapi lebih banyak ditemukan pada anak kerbau dan anak sapi dari pada yang dewasa (Rian, 2004).

Pneumonia akan terlihat pada anak sapi yang terinfeksi toxocara karena adanya migrasi larva ke paru-paru. Selain itu, pada pedet juga akan terjadi diare dan kekurusan akibat turunnya berat badan dan tidak mau makan. Estuningsih (2005) melaporkan bahwa migrasi larva toxocara pada anak sapi bisa menyebabkan kerusakan pada hati dan paru-paru. Selanjutnya keberadaan cacing dewasa pada usus kecil akan menyebabkan diare dan turunnya berat badan, serta dalam keadaan infeksi berat akan terjadi kematian sekitar 35-40%. Pedet yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan. Infeksi toxocara pada pedet digolongkan dalam 3 tingkatan yaitu, infeksi ringan dengan 5.000 epg, infeksi sedang 5.000- 10.000 epg, dan infeksi berat lebih dari 10.000 epg. Jika kejadian

toxocariasis di lapangan tidak terkontrol dengan baik maka prevalensi penyakit ini bisa mencapai 100% dengan mortalitasnya mencapai 80%. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa infeksi toxocariasis pada anak kerbau lebih berat daripada anak sapi, akan tetapi keberadaan penyakitnya tidak jelas dan tingkat kematiannya paling banyak terjadi pada anak sapi (Estuningsih, 2005).

2.3.5 Diagnosis

Infeksi paten T.vitulorum pada anak kerbau dapat didiagnosa secara tentatif mulai dari tanda-tanda klinis yang terlihat dan umur dari hewan-hewan tersebut. Konfirmasi diagnosis harus dilakukan dengan sejarah penyakit, adanya

pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara dalam feses. Telur Toxocara

berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya berbintik-bintik dan dinding luarnya sangat tebal.

Pemeriksaan feses dengan uji apung merupakan salah satu metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing. Dengan uji apung tersebut, telur cacing akan mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat dihitung dalam kotak hitung. Uji apung dalam pemeriksaan telur Toxocara spesifitasnya adalah 51%, sedangkan sensitivitasnya 100%. Pemeriksaan oleh uji apung tersebut hanya bisa digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi paten, sedangkan untuk mendiagnosa adanya infeksi prepaten bisa dilakukan dengan uji serologi. Uji serologi dengan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibodi T. vitulorum pada kerbau atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari larva yang infektif telah dikembangkan oleh Buzetti et al. (2001). Uji serologi juga telah diterapkan untuk melakukan penelitian seroepidemiologi toxocariasis pada manusia (Yudha, 2014).

(23)

2.3.6 Patogenesis Toxocariasis

Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitif-nya dengan mengakibatkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase migrasi dengan meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui. Keparahannya tergantung pada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun pada larva (Agna, 2009).

Perjalanan larva infektif Toxocara melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan terjadinyaedema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang mengalami edema mengakibatkan batuk, dispnoea, selesma, dengan eksudat yang berbusa dan kadang mengandung darah (Subronto, 2006).

Adanya cacing yang banyak menyebabkan penurunan bahan makanan yang diserap, hingga terjadi hipoalbuninemia yang selanjutnya menyebabkan kekurusan dengan busung perut (ascites) (Agna, 2009).

2.3.7 Pencegahan dan Kontrol

Toxocara vitulorum menyebabkan kematian yang tinggi pada hewan muda dibandingkan pada hewan dewasa. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian terdap T.vitulorum perlu dilakukan untuk menekan pertumbuhan dan infeksi cacing tersebut. Pencegahan terhadap T.vitulorum dapat dilakukan dengan atau tanpa bahan-bahan kimiawi (Junquera, 2014).

Tingkat kematian akibat infeksi T.vitulorum lebih tinggi pada hewan muda dibanding hewan dewasa. Infeksi pada hewan muda dapat terjadi pada saat baru lahir melalui induknya, oleh karena itu pencegahan yang paling efektif yaitu mencegah infeksi pada indukknya. Telur T.vitulorum dikeluarkan oleh hewan muda saat di padang rumput kemudian mengkontaminasi padang rumput yang menyebabkan resiko tinggi terhadap infeksi T.vitulorum. Pencegahan yang dilakukan yaitu membuang manur sehingga dapat mengurangi kontaminasi terhadap telur T.vitulorum. Jika hewan tidak dapat dijauhkan dari padang rumput yang terkontaminasi, maka harus dilakukan pencegahan terhadap hewan tersebut dengan pemberian anthelmentik serta desinfeksi kandang (Junquera, 2014).

Pengendalian yang disarankan untuk menekan tingkat kejadian penyakit akibat T.vitulorum diantaranya menejemen pengembalaan dan kesehatan hewan yang baik. Menejemen pengembalaan yang baik pada hewan ternak dapat menekan tingkat pertumbuhan T.vitulorum. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu mengistrahatkan kubangan lumpur selama beberapa bulan. Hal ini dilakukan agar larva T.vitulorum menjadi inaktif karena larva T.vitulorum rentan terhadap sinar matahari dan lingkungan yang kering. Rotasi pengembalaan juga dapat menekan jumlah T.vitulorum. Rotasi pengembalaan dilakukan dengan membagi jumlah ternak kedalam beberapa petak padang rumput kemudian digembalakan secara bergilir pada setiap area dengan memperpendek waktu pengembalaan dan memperpanjang waktu istrahat (Junquera, 2004).

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terinfeksi

T.vitulorum yaitu menghindari kepadatan ternak yang berlebihan dipadang rumput, mengganti tempat istrahat di malam hari secara periodik, rotasi pengembalaan, dan menghindari ternak dari lingkungan yang terlalu lembab.

(24)

Pencegahan dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik. Antihelmentik berspektrum luas efektif terhadap cacing dewasa dan larva di saluran pencernaan seperti benzimidazole (albendazole, febantel, fenbendazole, exfendazole dll), levamisole dan beberapa golongan makrosiklik lakton (abamectin, doramectin, eprinomectin, ivermectin, moxidectin). Tidak semua anthelmentik efektif terhadap larvae migransdan larva yang menetap padajaringan. Piperazine dapat mengurangi ekskresi telur T.vitulorum sebanyak 93% dalam waktu 7 hari setelah pengobatan (Terry, 2013).

2.3.8 Cara Penularan.

Terdapat tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain memakan telur dan tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada ke fetus serta lewat kolostrum pada waktu menyusui (intramamaria) dengan induknya (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

Telur T.vitulorum saat dikeluarkam melalui feses dari hewan yang terinfeksi adalah belum infektif, dan akan menjadi infektif dalam waktu 3-6 minggu yang sangat tergantung pada tipe tanah dan cuaca seperti temperatur dan kelembapan. Telur toxocara yang infektif berdinding tebal, sangat tahan terhadap lingkungan dan tetap infektif sampai beberapa tahun lamanya. Apabila hewan memakan telur yang infektif maka hampir dipastikan hewan tersebut akan terinfeksi dengan cacing toxocara (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

Penularan T.vitulorum melalui kelenjar susu (transmamary infection) pada anak kerbau/sapi merupakan cara penularan T.vitulorum yang utama. Kira-kira 8 hari sebelum melahirkan, larva yang berada di dalam hati dan paru-paru yang tadinya tidak aktif akan mulai bergerak dan bermigrasi ke kelenjar susu. Larva

T.Vitulorumakan ditemukan di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi melahirkan dan 90% akan ditemukan pada hari ke-11 setelah kelahiran. Pada kerbau, larva T.vitulorum ditemukan dalam kolostrum selama 8 hari (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

2.4 Keadaan Umum Wilayah

Kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Ibukota Enrekang. Secara administrasi Kabupaten Enrekang terdiri dari 11 Kecamatan dan 102 Desa Kelurahan. Enam kecamatan terletak di Kawasan Barat Enrekang yaitu Kecamatan Enrekang, Cendana, Maiwa, Anggeraja, Alla, dan Masalle. Sementara Lima kecamatan berada di Kawasan Timur Enrekang yakni, Kecamatan Bungin, Baraka, Malua, Buntu Batu, dan Curio (Wahab, 2009).

Topografi wilayah Kabupaten Enrekang pada umumnya bervariasi berupa perbukitan, pegunungan, lembah dan sungai dengan ketinggian 47 - 3.293 m dari permukaan laut serta tidak mempunyai wilayah pantai. Secara umum keadaan Topografi wilayah didominasi oleh perbukitan yaitu sekitar 84,96% dari luas wilayah Kabupaten Enrekang sedangkan yang datar hanya 15,04%. Potensi peternakan pada dasarnya memiliki prospek pengembangan yang potensial, prospek pengembangan sub sektor peternakan meliputi ternak besar yaitu sapi,

(25)

kuda, kerbau, kambing dan ternak kecil meliputi ayam ras dan ayam buras, ayam broiler serta itik.Populasi kerbau pada tahun 2009 mencapai 2,641 ekor. Populasi sapi pada tahun 2009 terdiri dari ; sapi potong sebanyak 30.168 ekor terjadi peningkatan sebanyak 4476 ekor dibanding tahun 2008 yang lalu; sapi perah sebanyak 1.508 ekor. Populasi kuda yang sempat terdata sampai tahun 2009 mencapai 981 ekor. Populasi kambing pada tahun 2009 mencapai 34.941 ekor (Wahab, 2009).

Berdasarkan hasil sensus pertanian 2013 apabila dirinci menurut wilayah, kecamatan yang memiliki kerbau dan sapi paling banyak adalah kecamatan Enrekang dengan jumlah populasi sebanyak 13.153 ekor, kemudian Kecamatan Maiwa (11.096 ekor), dan Kecamatan Baraka (4.370 ekor). Sedangkan kecamatan yang memiliki kerbau dan sapi paling sedikit adalah Kecamatan Baroko dengan jumlah populasi sebanyak 799 ekor (Wahab, 2009).

(26)

3

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Pemeriksaan sampel feses dilakukan diLaboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros.

3.2 Materi Penelitian

3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah ternak Kerbau yang dipelihara oleh masyarakat di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang sebanyak 500 ekor (Dinas Peternakan Enrekang, 2014).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 ekor kerbau yang tersebar di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Berdasarkan formulasi deteksi keberadaan penyakit (Martin et al., 1987):

Keterangan :

n : Besaran sampel yang digunakan. a : Tingkat kepercayaan

D : Jumlah hewan sakit dalam populasi. N : Jumlah populasi. n = [1 – (1- a)1/D] [N – (D – 1)/2] n = [1 – (1- 0,95)1/50] [500 – (50 – 1)/2] n = [1 – 0,942] [500 – 24,5] n = 0,058 x 475,5 n = 27,579 = 28

Dengan asumsi tingkat prevalensi T. vitulorum. Di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang sebesar 10%, tingkat kepercayaan 95%, dan besaran populasi 500 ekor, sehingga diperoleh besaran sampel sebesar 28 ekor.

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan mengambil sampel yang terdapat di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang.

3.2.2 Alat

Alat yang digunakan yaitu object glass, cover glass, mikroskop (pembesaran 10 x 10), sentrifus, tabung sentrifus, saringan teh, mortar, botol pot plastik, label,

coolbox, pulpen dan kamera.

(27)

3.2.3 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu feses kerbau, formalin 10 % dan kapas, garam jenuh (NaCl) atau glukosa.

(28)

3.3 METODE PENELITIAN 3.3.1 Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian mengenai kejadian Toxocara vitulorumpada Kerbau (Bubalus bubalis) melalui pemeriksaan feses secara mikroskopis.

3.3.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan feses dilakukan secara per rektal, sebanyak kurang lebih 4 gram setiap ekor kerbau. Feses segar dimasukkan ke dalam kantong plastik bersama dengan kapas yang telah diberi formalin 10 % untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan dan penyimpanan. Setiap sampel diberi label yang memuat keterangan desa tempat pengambilan dan keterangan lain yang dapat dijadikan sebagai penanda setiap sampel. Setelah itu, sampel dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat pengambilan sampel, kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator sampai dilakukan pemeriksaan di laboratorium.

3.3.3 Pengujian Laboratorium

Untuk mengetahui sampel yang positif terinfeksi (Toxocara vitulorum), pemeriksaan dilakukan dengan metode uji apung yaitu pertama ditimbang sebanyak 2 gram feses, diletakkan dalam botol pot plastik lalu ditambahkan larutan gula atau garam jenuh sebanyak 30 ml, tinja dan larutan pengapung di aduk sampai homogen dengan menggunakan mortar, setelah campuran homogen, di saring menggunakan saringan teh dan hasil saringan di masukkan ke dalam tabung sentrifus sampai volume 15 ml. Seimbangkan tabung sentrifus, kemudian di sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit kemudian ditambahkan lagi sedikit larutan gula atau garam jenuh sampai permukaan cairan itu tepat diatas permukaan tabung. Bagian atas tabung diletakkan cover glass, dibiarkan selama 5 menit, kemudiancover glassdiangkat dan diletakkan ke dalam object glass lalu periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.

3.3.4 Analisis Data

(29)

3.3.5 Kerangka Konsep Kerbau Perah Feses Positif Negatif Analisis data

(30)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya infeksi Toxocara vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Jumlah seluruh populasi Kerbau di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang sebanyak 500 ekor dan sampel yang diambil yaitu sebanyak 28 ekor. Berdasarkan sampel yang telah diperiksa, menunjukkan bahwa seluruh sampel feses kerbau perah sebanyak 28 sampel yang dikumpulkan dengan metode Simple Random Sampling tidak ditemukan adanya infeksi parasit Toxocara vitulorum.

Sampel feses kerbau yang diteliti berjumlah 28 sampel, yang diambil dari seluruh populasi di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Semua sampel feses yang diambil kemudian dibawah ke Laboratorium Parasitologi BBVET Maros lalu diidentifikasi menggunakan metode apung. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa seluruh sampel negatif terinfeksi Toxocara vitulorum yang artinya di dalam sampel feses tidak ditemukan adanya telur Toxocara vitulorum. Ini menunjukkan bahwa frekuensi kejadian infeksi parasit Toxocara vitulorum di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang adalah 0%.

Menurut Yudha (2014), telur cacing Toxocara vitulorum yang positif memiliki warna kekuning-kuningan. Bentuknya agak bulat dan memiliki dinding yang tebal. Dinding tersebut sebagai pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai termakan oleh inang. Pengamatan melalui

scanning electron microscope (SEM) dapat dilihat T. vitulorum memiliki permukaan dinding berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1999). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, seluruh sampel feses yang diidentifikasi menunjukkan hasil negatif yang berarti di dalam sampel feses tidak terdapat telur cacing Toxocara vitulorum seperti yang di kemukakan oleh Yudha (2014).

Berdasarkan hasil wawancara dari peternak dan pengamatan langsung dilapangan, hal yang diduga memicu tidak timbulnya penyakit parasit tersebut dikarenakan keadaan fisik ternak kerbau yang baik, cara pemeliharaan yang baik, kondisi lingkungan yang baik dan kondisi kerbau yang berhubungan dengan kekebalan tubuh kerbau yang ada di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang.

Analisis univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan pengalaman beternak kerbau perah (gambar 4.2) yang terbagi atas peternak dengan pengalaman beternak kerbau perah lebih dari 3 tahun (70%) dan peternak dengan pengalaman beternak kerbau perah kurang dari 3 tahun (30%). Pengalaman beternak lebih dari 3 tahun selaras dengan penerapan prinsip manajemen pemeliharaan yang baik, sehingga hal tersebut dapat menjadi faktor yang diduga memicu tidak timbulnya kejadian infeksi parasit Toxocara vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.

(31)

Gambar 4.1 Pemberian Obat Cacing.

Antelmintika atau obat cacing (Yunani, anti = lawan, helmintes = cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna. Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit cacing merupakan penyakit yang umum di masyarakat. Infeksinya pun dapat terjadi secara simultan oleh beberapa cacing sekaligus. Infeksi cacing umumnya terjadi melalui mulut, melalui luka di kulit, dari telur (kista) atau larva cacing yang ada dimana-mana. Kebanyakan antelmintika efektif terhadap satu macam cacing. Kebanyakan antelmintika diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Salah satu antelmintika yang sering digunakan adalah dari golongan benzimedazole. Anthelmintika spectrum luas biasanya menghambat sintesis mikrotubulus, dengan demikian mengurangi pengambilan glukosa secara

irreversible, mengakibatkan cacing lumpuh. Pemberian anthelmintika spektrum luas diharapkan mampu mencegah dan mengendalikan populasi cacing, karena efektif melawan beberapa spesies cacing nematoda gastrointestinal, baik telur, larva, maupun cacing dewasa.

Ternak yang diberi Antelmintika mengalami penurunan jumlah telur cacing, sedangkan ternak yang tidak diberi antelmintika sama sekali tidak mengalami penurunan jumlah telur cacing (Andrianty, 2015). Penelitian tersebut dapat menjadi patokan tidak adanya kerbau perah yang positif terinfeksi cacing toxocara vitulorum karena masyarakat di kecamatan Curio Kabupaten Enrekang sangat memperhatikan kesehatan ternak kerbau perah mereka dengan memberikan obat cacing. Diagram di atas menjelaskan bahwa ternak kerbau yang sudah pernah diberi obat cacing sebesar 100% dan kerbau perah yang belum pernah diberi obat cacing sebanyak 0%.

(32)

Gambar 4.2 Diagram Penilaian Pengalaman Beternak

Pola pemeliharaan (gambar 4.3) terbagi atas pola pemeliharaan digembalakan (60%) dan dikandangkan (40%). Pola pemeliharaan kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang didominasi oleh pola pemeliharaan digembalakan (60%). Kerbau perah yang dipelihara dengan pola pemeliharaan dengan cara digembalakan akan mencegah kondisi cekaman terhadap kerbau, kerbau yang digembalakan juga diduga dapat menekan kejadian stres pada kerbau sehingga pola tersebut lebih banyak dilakukan oleh peternak.

Berdasarkan penciptaannya, kerbau mempunyai beberapa karakter biologis yang berbeda dengan sapi yang terlihat pada keunggulan dari ternak tersebut jika dibandingkan dengan sapi potong, keunggulan tersebut adalah kerbau mempunyai ketahanan terhadap parasit yang lebih tinggi karena mempunyai kulit yang lebih tebal (Sompotan, 2011).

(33)

Gambar 4.4 diagram kondisi kerbau perah

Secara keseluruhan dari total sampel menunjukkan kondisi kerbau (gambar 4.4) yang terlihat sehat (96,5%) dan terlihat sakit (3,5%). Penggolongan kerbau kategori sehat ataupun sakit dinilai dari kondisi tubuh, ada tidaknya luka terbuka, feses encer, kurus dan nafsu makan.

Dari pengamatan dilapangan kebanyakan dari kerbau tersebut tidak berada dikubangan lumpur, sebagian masyarakat mengikat kerbau mereka pada tanah yang agak kering, seperti yang kita ketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan cacing sangat produktif pada daerah yang lembab dan basah seperti kubangan lumpur. Salah satu hal yang sangat berpengaruh besar terhadap hasil negatif Toxocara vitulorum yang ada di Kecamatan curio Kabupaten Enrekang yaitu kebanyakan kerbau yang dipelihara oleh warga adalah subsidi dari pemerintah, sebelum kerbau dibagi kepada masyarakat di Kecamatan Curio terlebih dahulu Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang memberikan obat cacing untuk mencegah penularan dan terjadinya infeksi cacing pada kerbau tersebut.

Dari hasil pemeriksaan mikroskop melalui uji apung tidak ditemukan adanya telur cacing Toxocara vitulorum pada 28 sampel yang di ambil di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang. Sampel sebanyak 28 yang di ambil untuk dilakukan pengujian dibawah mikroskop berasal dari kerbau perah betina. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor tidak ditemukannya infeksi Toxocara vitulorum

seperti yang dijelaskan oleh Yudha (2014) bahwa Toxocariasi yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum pada induk jantan lebih sering terjadi dari pada induk betina karena pada induk betina yang terinfeksi larva ke 2 (L2) tidak berkembang menjadi (L3) tetapi akan mengalami dormansi dan tetap tinggal di dalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang pada saat induk betina bunting, pada masa menjelang kelahiran akan terjadi transplacental infection atau transmamary infection.

(34)

Tabel 1. Hasil pemeriksaan sampel feses kerbau perah

No

Nama Sampel Umur Toxocara vitolorum

Positif Negatif 1. Agus 6th √ 2. Sangkala 2th √ 3. Mattana 7bl √ 4. Mattana 7th √ 5. Hodding 7bl √ 6. Kadis 1th √ 7. Kadis 4th √ 8. Amiruddin 2th √ 9. Mattana 2th √ 10. Jono 5th √ 11. Ahmad D 1th √ 12. Ahmad D 2th √ 13. Ahmad D 8bl √ 14. Abd.Latif 2th √ 15. Alwi 1th √ 16. Rahaman 2,5th √ 17. Masdar 1th √ 18. Sujono 7bl √ 19. Rusmin L 9bl √ 20. Jusli 1th √ 21. Halim 6bl √ 22. Muhajir 1th √ 23. Muhajir 2th √ 24. Muhajir 2th √ 25. Muhajir 3th √ 26. Sigeri 2th √ 27. Ranah 7bl √ 28. Sainal 7bl √

Tingkat infeksi dan kematian akibat Toxocara vitulorum lebih tinggi pada hewan muda dibandingkan hewan dewasa. Infeksi pada hewan muda dapat terjadi pada saat baru lahir melalui induknya. Kerbau yang rentan berumur di bawah 6

(35)

bulan. Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada anak kerbau yang berumur 1-2 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan tahan terhadap infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah telur cacing per gram feses secara signifikan seiring dengan bertambahnya umur hewan (Yudha, 2014). Dari tabel hasil pemeriksaan laboratorium (Tabel 1) tidak terdapat sampel yang memiliki umur dibawah 6 bulan.

Kecamatan Curio adalah salah satu Kecamatan diKabupaten Enrekang yang mempunyai luas 178,51 km2 yang terdiri dari 11 Desa dan berada pada 740-1.098 m diatas permukaan laut. Sebagian besar penduduk kecamatan Curio bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Kecamatan Curio merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Enrekang yang berbatasan dengan Kecamatan Alla di seblah Barat, sebelah Timur terdapat Kabupaten Luwu, Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanah Toraja dan di sebelah Selatan terdapat Kecamatan Malua dan Baraka (Pemerintah Kabupaten Enrekang, 2011). salah satu yang menyebabkan rendahnya tingkat helminthiasis di daerah tersebut adalah wilayah dari Kecamatan Curio berada pada ketinggian 740-1.098 mdpl. Perbedaaan dataran tinggi dan dataran rendah juga mempengaruhi tingkat infeksi helminthiasi.

Dari hasil penelitian Zulfikar (2012) yang dijelaskan bahwa pada ternak dataran tinggi Kec. Pintu Rime Gayo, sebanyak 33 ekor (22%) dan dataran rendah sebanyak 100 ekor (66,6%) positif terhadap infestasi Nematoda. Analisis memperlihatkan perbedaan nyata (P<0,05) antara kedua dataran terkait keberadaan parasit. Dapat disimpulkan dataran tinggi memiliki kejadian lebih rendah terhadap infeksi parasit pada ternak dibanding dataran rendah.

Pada pemeriksaan sampel, selain telur Toxocara vitulorum diidentifikasi juga telur nematoda lain yaitu Oesophagostomum dan jenis protozoa Eimeria.

Oesophagostomum juga termasuk Nematoda gastrointestinal seperti Toxocara vitulorum, secara spesifik cacing ini digolongkan ke cacing bungkul. Disebut cacing bungkul karena gejala yang nampak adalah timbulnya bungkul-bungkul di dalam kolon dan gejala klinis lainnya yaitu, hewan menjadi kurus, kotoran berwarna hitam lunak bercampur lendir dan kadang-kadang terdapat darah segar. Dalam keadaan kronis ternak mengalami diare dengan feses berwarna kehitaman, nafsu makan menurun, kurus, anemia, hipoalbuminemia, hipoproteinemia dan busung (Sugama, 2011).

Eimeria adalah parasit berupa protozoa yang sering menginfeksi hewan ternak. Eimeria bovis berukuran lebar 17-23 µm, panjang 23-34 µm berbentuk ovoid dan tidak simetris, berwarna coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak punya microphyle, oosit tidak polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit (fitriastuti, 2013). Berikut gambar Eimeria yang ditemukan dalam sampel.

(36)
(37)

5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa tidak ditemukan adanya kejadian infeksi Toxocara vitulorum pada kerbau perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang

2. Ditemukan adanya telur nematoda lain yaitu Oesophagostomum dan jenis protozoa Eimeria.

3. Analisis univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan faktor yang mempengaruhi hasil negative dari toxocara vitulorum diantaranya, analisis

univariate terhadap variabel kuisioner menunjukkan pengalaman peternak lebih dari 3 tahun (70%) dan peternak dengan pengalaman beternak kerbau perah kurang dari 3 tahun (30%). Secara keseluruhan dari total sampel menunjukkan kondisi kerbau (gambar 4.4) yang terlihat sehat (96,5%) dan terlihat sakit (3,5%). pola pemeliharaan digembalakan (60%) dan dikandangkan (40%).

5.2 Saran

1. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada peternak untuk lebih memperhatikan kesehatan ternak dari segi pakan dan manajemen pemeliharaan. Sebaiknya manajemen pemeliharaan yang diterapkan yaitu secara intensif agar siklus hidup cacing dapat dihentikan dan kebersihan ternak juga dapat terjaga. 2. Sosialisasi kepada peternak mengenai pentingnya pemberian obat cacing pada

kerbau perah khususnya pada kerbau perah usia produktif perlu dilakukan agar ternak terbebas dari penyakit parasiter. Sebaiknya pemberian obat cacing rutin dilakukan sebanyak 2 kali pertahun.

(38)

DAFTAR

PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka Jakarta, 70 hal. Anonim. 2012. Kecamatan Curio. http://www.scribd.com/doc Profil_Kecamatan

Curio. (diakses 27 Februari 2015).

Andrianty vivi. 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal pada Pedet Sapi Bali di Kec Marioriwawo Kabupaten Soppeng. Universitas hasanuddin. Agustina, K, K, Dharmayuda, Wirata IW. 2013. The Prevalention Of Toxocara

Vitulorum On Bali Cow and Calf in Eastern Area Of Bali. Buletin Veteriner Udayana, Vol 5 No. 1: 1-6.

Agna. 2009. Toxocariasis pada kucing, (on line), (http://dr-agna.livejournal.com/3275. Diakses pada tanggal 27 maret 2015).

Azimah Nurul. 2013. Hubungan Antara Periode Laktasi dan Produksi Susu Ternak Kerbau di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makssar.

Buzetti WA, Machado RZ, Zocoller MC. 2001. An Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Detection of Antibodies Against Toxocara vitilorum in Water Buffaloes. Veterinary Parasitology 97 (2001) 55-64.

Carmichael, I.H. and E. Mmartindah. 1996. Mortalities Of Buffalo (Bubbalus Bubalis) Calves As A Possible Source Of loss to Indonesia Draught Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.

Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada Manusia. Warta Zoa, Vol 15 No: 3 P. 136-142.

Fitriastuti Erna. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis pada Sapi Betina di 9 Provinsi di Indonesia Tahun 2011.Unit Uji Bakteriologi Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Gunungsindur Bogor.

HOLLAND, W.G.,TT. Loung, L.A. Nguyen, T.T. Do and J. Vercruysee. 2000.

The Epidemiology of Nematode end Fluke Infection In Cattle in The Red River Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93: 141-147.

India Dairy. 20011. Buffalo_Milk_vs Cow Milk. http://www. Indiadairy.com/info_buffalo_milk_vs. Html.

Junquera P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle: Biology, Prevention and Control. Neoascaris Vitulorum. [internet] http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id= 2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 2 Maret 2015].

Kania U. 2012. Nematoda Usus http://parasitipedia.net/index.php?option= com_content&view=article&id=2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 27 Februari 2015].

(39)

Karim. 2012. Manajemen Reproduksi Kerbau (Bubalus bubalis) Sebagai Ternak Potong di Kabupaten Mamasa. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makssar.

Koesdarto, Mahfudz, Mumpuni, Kusnoto. 1999. Perbedaan Struktur dan Morfologi Diantar Telur Cacing Toxocara. Fakultas Kedokteran Hewan Unair.

Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. Puspitawati. 1999. The Prevalence Of Toxocara Vitulorum in Dairy Cow in Surabaya. Proc. Seminar on Infectious Disease The Tropics. TDC Airlangga University, Surabaya. P.46-49.

Levine, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan Oleh Prof. Dr. Gatut Ashadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Mufiidah et al. 2013. The Productivity of Female Swamp Buffaloes Bubalus bubalis carabanesis) in Terms Of Reproductive Performance and Body Measurements at Tempursari Subdistrict Lumajang Regency. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.

Martin SW, Meek AH, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. USA: Iowa State University Press.

SNP. 2011. Profil Kecamatan. Pemerintah Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Purwanta. 2006. Penyakit Cacing Pada Hati (Fascioliasis) Pada Sapi Bali Di

Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan Daerah Makassar. Jurnal Agrisistem 2 : 63-69.

Rian. 2014. Toxocarosis pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Sjamsul, B. Dan C. Talib. 2077. Strategi Pengembangan Pembibitan Ternak Kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sugama i nyoman dan suyasa. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.

Sompotan, J. 2011. Sejuta Manfaat Daging Kerbau. http://www.okefood.com/read/2011/09/26/299/507080/sejuta-manfaat-daging-kerbau

Talib. 2011. Penerapan Sistem Pembibitan Kerbau pada Kelompok Ternak. Seminar Lokakarya Nasional Kerbau 2011.

Trisnuwati, P, T. Cornelissen and Nasich. 1991. A Parasitological Study on The Impact of Nematodes on The Production of Livestock in The Limestone Area Of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ. Wageningen. The Netherlands.

(40)

Tiesnamurti, Talib. 2011. Inovasi Teknologi Dalam Pengembangan Perbibitan dan Budidaya Kerbau Lumpur. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011.

Terry JA. 2013. The Use Of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal Parasitic Nematode Control In Feces Of Exotic Artiodactylids At Disney’s Animal Kingdom. [Tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University. Wahab. 2009. Dampak Peningkatan Kualitas Jalan Lingkar Barat Enrekang

Terhadap Pengembangan Kawasan Pertanian. Tesis. Universitas Diponegoro.

Wirdahayati, R.B. 2008. Upaya Peningkatan Produksi Susu Kerbau untuk Kelestarian Produk Dadih di Sumatera Barat. Wartazoa Vol. 17 (4) : 178-184.

Yuda, Susanty. 2014. Identifikasi dan Program Pengendalian toxocara vitulorum pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Zulfikar. 2012. Derajat Infestasi Parasit Nematoda Gastrointestinal Pada Sapi di Aceh Bagian Tengan. Aceh: Universitas Syiah Kuala.

(41)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Laboratorium BBV Maros, Identifikasi Telur Cacing

Toxocara vitulorum pada Kerbau Perah di Kecamatan Curio, Kabupaten Enrekang.

No

Nama

Sampel

Umur

Toxocara

vitolorum

Oesophagostomum

sp

Eimeria

sp.

Positif Negatif

1. Agus

6th

2. Sangkala

2th

3. Mattana

7bl

4. Mattana

7th

5. Hodding

7bl

6. Kadis

1th

7. Kadis

4th

8. Amiruddin 2th

9. Mattana

2th

10. Jono

5th

11. Ahmad D

1th

12. Ahmad D

2th

13. Ahmad D

8bl

14. Abd.Latif

2th

15. Alwi

1th

16. Rahaman

2,5th

17. Masdar

1th

18. Sujono

7bl

19. Rusmin L

9bl

20. Jusli

1th

21. Halim

6bl

22. Muhajir

1th

23. Muhajir

2th

24. Muhajir

2th

25. Muhajir

3th

26. Sigeri

2th

27. Ranah

7bl

28. Sainal

7bl

(42)
(43)
(44)
(45)

Lampiran 3

Kuesioner Deteksi

Toxocara vitulorum

pada

Kerbau Perah di Kabupaten

Enrekang.

I.

INFORMASI DASAR

1.

2. 3.

Nomor kuesioner : ……… Tanggal : ………

Nama enumerator :………...

Nama peternak/pengelola : ………...………..………...

a. Jenis kelamin : ( Pria ) (Wanita)

b. Umur : ………..Tahun

c. Pendidikan terakhir setingkat : ( SD/SR ) / ( SMP ) / ( SMA ) / ( PT )

d. Pengalaman beternak sapi : ………...tahun

4. Alamat : ………

a. Dusun : ………

b. Desa : ………

5. Sistem pemeliharaan : a) dikandangkan / b) digembalakan

II. MANAJEMEN PEMELIHARAAN

PERTANYAN YA TDK

1 Apakah kerbau perah dikandangkan secara bersama-

sama?

2 Apakah kerbau perah digembalakan bersamaan

dengan ternak jenis lain (kambing, kuda, kerbau)?

3

Jenis pakan apa yang sering diberikan ? a) Rerumputan

b) Konsentrat c) Jerami

d) Lainnya: ...

4 Apakah kerbau anda pernah diberikan obat cacing

?

(46)

III. PENGETAHUAN PETERNAK

NO PERTANYAAN Ya Tidak

1

Apakah anda tahu penyakit cacingan

(helminthiasis) pada

Kerbau perah?

2

Menurut anda gejala klinis

helminthiasis/caingan pada kerbau

perah adalah :

a) Kerbau kurus

b) kerbau mengalami bulu kusam, kasar, kaku dan berdiri

c) Kerbau mengalami kekurusan, bulu kusam, kasar, kaku dan berdiri, serta

diare

3

Menurut anda, apakah faktor yang

yang dapat menyebabkan

helminthiasis?

a)

Melalui vektor perantara

(siput)/ melalui ternak yang

sakit

b)

Menular melalui merumput

dan minum sumber yang sama

c)

Kandang yang jarang

dibersihkan/ kurangnya

kebersihan lingkungan

Pada musim hujan, daerah lembab

dan kotor.

4

Menurut anda pencegahan

helminthiasis dapat dilakukan

dengan:

a)

Pemberian ransum/makanan yang

berkualitas dan cukup jumlahnya,

b)

Memisahkan antara ternak muda

dan dewasa/menghindari kepadatan

dalam satu kandang.

c)

Menjaga sanitasi (kebersihan

lingkungan) dn menghindari tempat

lembab

d)

Melakukan pemeriksaan kesehatan

dan pemberian obat cacing secara

teratur

5

Apakah anda tahu cara pengobatan

helminthiasis?

Tidak

Ya

(47)

Lampiran 4.

Hasil Kuesioner

No.

Deskripsi

Hasil Deskripsi

1.

Pendidikan terakhir peternak:

1. SD/SR

0% (0/20)

2. SMP

45% (9/20)

3. SMA

55% (11/20)

2.

Pola pemeliharaan

Di gembalakan

60% (17/28)

Di kandangkan

40% (11/28)

3.

Pengalaman beternak

< 3 Tahun

30%(6/20)

 3 Tahun

70% (14/20)

4.

Jenis Pakan yang diberikan peternak

:

Hijauan (Rumput)

90% (18/20)

Hijauan dan jerami 10% (2/20)

5.

Kondisi kerbau perah

Terlihat sehat

96% (/28)

Terlihat sakit

3,5% (/28)

6.

Pemberian Obat cacing.

Ya

Tidak

100%(28/2

8)

Gambar

Gambar 1. Kerbau Lumpur Betina
Gambar 2. Morfologi Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum  Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah   Phylum     : Nemathelminthes  Class         : Nematoda  Subclass    : Secernentea  Ordo          : Ascaridida  Family
Gambar 3. Telur Toxocara vitulorum
Gambar 4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum
+7

Referensi

Dokumen terkait