KUMPULAN MAKALAH
PEMENANG LOMBA KARYA TULIS
KONPERENSI SANITASI DAN AIR MINUM NASIONAl (KSAN) TAHUN 2011
Kategori Pelajar Juara 1 M asfar Syafar
SMA Negeri 1 Bulukumba
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Upaya penanggulangan penyediaan air bersih di daerah pesisir studi kasus pesisir pantai Bulukumba.
Juara 2 Siti Kholifatul
SMA Negeri 1 Ponorogo
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Saatnya Sanitasi dan Akses Air Bersih Menjadi Sorotan
Juara 3 Muhammad Gilang Ramadhan Putra Ponpes Daar El‐Qolam II
Tema: Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul: Upaya pemukiman PPA Sanila di lingkungan masyarakat
Kategori Mahasiswa Juara 1 Hakimatul Mukaromah
Universitas Diponegoro
Tema:Pentingnya keterlibatan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pembangunan AMPL. Judul: Partisipasi Masyarakat sebagai Jawaban atas Tantangan Pembangunan Sarana dan Prasarana AMPL di Indonesia
Juara 2 Frederic Hamonangan Universitas Brawijaya
Tema:Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia. Judul: Upaya Peningkatan Stratifikasi Sosial Masyarakat Miskin di Indonesia, Dengan Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan , Sistematis , dan Efisien. Juara 3 Gayuh Mustiko Jati
Universitas Gajah Mada
Tema:Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia Judul:SEBUAH #OPTIMISME (Memberantas Kemiskinan Melalui Pembangunan Air Minum dan Sanitasi)
Kategori Pelajar dan Mahasiswa Juara
Favorit
Mushonnifun Faiz Sugihartanto SMA Negeri 3 Malang
Tema:Upaya penanggulangan terkait minimnya akses terhadap air bersih dan buruknya layanan sanitasi.
Judul:Menanggulangi Masalah Ketersediaan Air Bersih dan Sanitasi di Indonesia
Pemenang Pertama Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
UPAYA PENANGGULANGAN PENYEDIAAN AIR BERSIH
DI DAERAH PESISIR STUDI KASUS PESISIR PANTAI BULUKUMBA
Esai ditulis untuk diikutkan dalam
“Lomba Esai Pelajar dan Mahasiswa KSAN 2011 ″
DISUSUN OLEH :
M. ASFAR SYAFAR
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BULUKUMBA,
SMA NEGERI 1 BULUKUMBA
Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau yang tersebar di seluruh nusantara dengan
mayoritas masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Salah satu masalah yang
dihadapi oleh masyarakat adalah kurangnya ketersediaan air bersih. Kekurangan air bersih ini
dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Padahal air bersih merupakan kebutuhan paling penting untuk menunjang aktivitas makhluk
hidup. Kurangnya ketersediaan air bersih secara kuantitatif disebabkan karena 97 % air di
bumi merupakan air laut, sehingga dengan kadar garam sekitar 35000 mg/l menyebabkan air
tersebut tidak dapat langsung dipergunakan tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Selain
itu kadar air tawar juga semakin menurun karena pembangunan yang berkelanjutan tanpa
memperhatikan lingkungan sehingga memperkecil daerah resapan air hujan. Kandungan air
tawar dalam tanah semakin menipis karena diambil terus menerus sehingga semakin banyak
air laut yang meresap kedalam tanah menggantikan posisi air tawar tersebut.
Menghadapi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat, diperlukan fasilitas
penyediaan air bersih yang dapat menjangkau pemukiman penduduk, khususnya bagi
penduduk yang bermukim disekitar pesisir. Mengingat sebagian besar penduduk yang
bermukim disekitar pesisir memiliki tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah
maka diperlukan teknologi penyediaan air bersih yang mudah pemeliharaannya sehingga
tidak memerlukan biaya yang mahal untuk pengoperasiannya. Perencanaan yang baik dari
segi teknis maupun ekonomis penyaluran air dari fasilitas pengolahan air ke rumah-rumah
penduduk sangat diperlukan agar penyediaan air bersih dapat dilakukan dengan cara yang
efektif, efisien dan produk yang dihasilkan dapat dijangkau oleh penduduk. Salah satu daerah
pesisir yang memiliki kualitas penyediaan air bersih yang minim adalah Kabupaten
o Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu daerah pesisir dengan ketersediaan air
bersih yang minim
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi
Selatan yang luas wilayahnya sekitar 1.154,67 km2 yang terdiri dari 22,22% daerah pantai,
0,79% daerah lembah, 15,87% daerah perbukitan, dan 61,60% merupakan dataran. Secara
kewilayahan kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi yaitu dataran tinggi
pada kaki gunung Bawakaraeng-Lompo Battang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010) yang
tersebar di 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Adapun ke 10 kecamatan tersebut
yaitu Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan
Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan
Kindang, Kecamatan Rilau Ale dan Kecamatan Bulukumpa. Dari ke-10 kecamatan tersebut
tujuh di antaranya merupakan daerah pesisir yang dimanfaatkan sebagai sentra
pengembangan pariwisata dan perikanan. (Wikipedia)
Dari kondisi geografis Kabupaten Bulukumba yang terdiri dari 22,22% daerah pantai
tersebut memberi gambaran bahwa Kabupaten Bulukumba terletak hampir di sepanjang
pesisir pantai. Inilah yang membuat sebagian besar penduduk Kabupaten Bulukumba yang
bermukim di pesisir pantai memilih profesi sebagai nelayan dan buruh rumput laut, yang
mana kebanyakan dari nelayan ini adalah nelayan yang berpendapatan rendah yang masih
berada di bawah garis kemiskinan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan yang kuat
mengapa nelayan di sepanjang pesisir pantai ini memiliki akses air bersih yang rendah dan
sanitasi yang buruk.
Nelayan tersebut lebih memilih menggunakan air tanah (sumur) dibanding mendapat
pasokan dari PDAM dikarenakan biaya pemasangan yang relatif mahal. Masalah yang
pesisir Kabupaten Bulukumba akibat dari semakin kecilnya daerah resapan air hujan dan
semakin menipisnya kandungan air tanah akibat pembangunan berkelanjutan yang tanpa
batas. Yang mana sumur yang mereka buat kebanyakan berair asin (payau), memiliki aroma
yang tidak enak dan berwarna kekuningan karena dekat daerah pantai. Hal ini membuat
penduduk yang bermukim disekitar pesisir terpaksa mengkomsumsi air tidak layak tersebut.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena dengan mengkomsumsi air berkadar garam
tinggi (air payau) dapat menyebabkan terjadinya penyakit diare, mual, muntaber, pusing,
gangguan pencernaan, dan berbagai gangguan kulit seperti kudisan dan bisul.
o Ada solusi, tapi tidak efektif
Untuk permasalahan penduduk yang bermukim di pesisir pantai tersebut sebenarnya
sudah ada solusinya , yaitu dengan melakukan pemurnian air laut. Pada dasarnya prinsip
pemurnian air laut adalah proses pemisahan garam dari air laut sehingga diperoleh air tawar,
proses ini kita kenal dengan sebutan desalinasi. Ada banyak cara untuk mengolah air asin
menjadi air tawar, antara lain:
1.Penyulingan
Percobaan pertama untuk memisahkan garam dan air laut adalah meniru cara alam,
yaitu dengan menguapkan air laut kemudian mengembunkan uapnya kembali. Ketika air laut
dipanaskan, hanya air yang menguap, garam-garam yang terlarut tetap tinggal dalam larutan
(air laut). Dengan menggunakan alat suling bagian dalam wadah perebus air laut dilengkapi
dengan pipa-pipa tegak untuk memperluas permukaan air yang dipanaskan. Dengan
perluasan dapat diperoleh banyak uap dalam waktu relatif singkat.
2.Osmosis Balik (Reverse Osmosis)
Osmosis balik atau reverse osmosis (RO), dilaksanakan dengan memberikan tekanan
terhadap air laut, sehingga memaksa dari molekul-molekul air murni menembus suatu
bakteri akan ditolak (rejeksi). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar diatas. Osmosis
balik ini dioperasikan secara kontinyu. Kemurnian air yang dicapai hingga 99% dan tingkat
produksi yang tinggi. RO merupakan cara paling murah untuk menawarkan pemurnian air
laut. Keuntungan metode ini adalah kemurnian air yang dihasilkan bagus, menghemat
tempat,dan menghemat energi.
3.Evaporator
Evaporator adalah sistem utama bagi pabrik untuk mengolah air laut menjadi air tawar.
Demikian juga Ladang garam memproduksi garam melalui proses penguapan air laut.
Sebaliknya, air bersih akan diproduksi, dengan menghilangkan garam dari air laut.
Evaporator untuk mengolah air laut dirancangkan untuk mengumpulkan uap yang terjadi di
dalam proses penguapan. Proses tersebut antara lain: penguapan dengan multi guna yaitu air
laut yang direbus untuk penguapan. Sehingga uap itu akan terkumpul menjadi air tawar.
Teknologi itu biasanya digunakan untuk pabrik pengolah air laut skala besar. Disamping itu
juga terdapat proses tekanan peresapan (osmosis) dengan arah balik yaitu cara untuk
mengurangi dan menghapus rasa asin air laut. Teknologi ini digunakan untuk pabrik
pengolah air laut sekala menengah dan kecil.
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui berbagai cara untuk melakukan pemurnian air
laut menjadi air tawar. Akantetapi apakah proses desalinasi diatas efektif diterapkan untuk
penduduk pesisir? Apakah ini solusi yang jitu untuk menghadapi permasalahan ketersediaan
air bersih bagi masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai?
Jawabannya adalah tidak, mengapa? Karena seperti yang diterangkan diatas bahwa
masyarakat Kabupaten Bulukumba yang bermukim di pesisir pantai didominasi oleh nelayan
berpendapatan rendah dan masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tentunya menjadi
alasan yang kuat bahwa ke-tiga proses desalinasi tersebut tidak cocok diterapkan di
membutuhkan biaya yang tinggi karena menggunakan bahan kimia dan prosesnya yang
rumit. Disamping itu juga terjadi kesenjangan antara pemerintah dan rakyatnya, pemerintah
sangat tidak peduli dan acuh terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyatnya
saat ini. Sehingga sangat tidak mungkin terjalin kerja sama untuk menarik investor agar
menginvestasikan uangnya untuk membantu kesejahteraan masyarakat pesisir dengan
menyediakan akses air bersih yang layak.
o Merumuskan solusi, menghadapi tantangan
Untuk menghadapi permasalahan ini kita membutuhkan solusi yang jitu sekaligus
efektif, Nah, coba kita tinjau kembali! Bahan apa saja yang yang tersedia dalam jumlah yang
berlimpah dan bisa dimanfaatkan sebagai filter untuk menyaring air asin (payau) menjadi air
tanah yang layak? Fakta membuktikan bahwa arang dan sekam padi mampu menetralkan air
asin (payau) menjadi air berpH normal (pH 7) sehingga menjadi air yang layak komsumsi.
Disamping itu kita tidak perlu takut kekurangan bahan baku tersebut karena sekam padi dan
arang tergolong limbah yang banyak tersedia dimana-mana. Apalagi berdasarkan studi
pustaka yang telah saya lakukan ternyata arang dan sekam padi telah teruji keandalannya
sebagai salah satu bahan filter untuk pengolahan air yang tercemar oleh bakteri coli, logam
berat (Cu dan Cr), memperbaiki warna, dan tingkat kejernihan air
Nah, sekarang sudah jelas bagaimana buruknya penyediaan air bersih bagi masyarakat
pesisir Kabupaten Bulukumba, bagaimana melakukan melakukan pemurnian air laut menjadi
air tawar, serta bahan apa saja yang yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah dan bisa
dimanfaatkan sebagai filter untuk menyaring air asin (payau) menjadi air tanah yang layak.
Sekarang, yang dibutuhkan adalah sebuah pemikiran yang maju untuk menciptakan sebuah
inovasi baru demi menyediakan air bersih yang layak yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Maka berdasarkan masalah tersebut maka saya mencoba melakukan
Parameter Filter sekam padi Filter arang Filter Campuran sekam padi dan arang
Banyaknya air 1 liter 1 liter 1 liter
Warna Jernih Agak jernih Jernih
Rasa Agak asin tawar Tawar
Aroma Agak berbau Tidak berbau Tidak berbau
pH 7,35 7 7,1
Sumber: data primer. Uji laboratorium sangat dibutuhkan
Ternyata pada filter sekam padi dengan volume air sebanyak 1 liter, setelah dilakukan
penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke jernih, sedangkan rasanya
tidak terjadi perubahan karena tetap asin, hal ini disebabkan oleh pori sekam padi yang lebih
besar dibanding arang. Dan aromanya masih agak berbau dan setelah diuji menggunakan
pHmeter didapat bahwa pH-nya sebesar 7,35 (basa).
Sedangkan pada filter arang dengan volume air sebanyak 1 liter, setelah dilakukan
penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke jernih, begitu pula dengan
rasanya terjadi perubahan dari yang semula asin menjadi tawar, sedangkan dicium dari
aromanya ternyata tidak menimbulkan bau. Dan setelah diuji menggunakanpHmeter didapat
bahwa pH-nya sebesar 7 (normal) sehingga menjadi air yang layak komsumsi.
Sedangkan pada filter campuran sekam padi dan arang dengan volume air sebanyak 1
liter, setelah dilakukan penyaringan diketahui bahwa ada perubahan warna dari keruh ke
jernih, begitu pula dengan rasanya terjadi perubahan dari yang semula asin menjadi tawar,
sedangkan dicium dari aromanya ternyata tidak menimbulkan bau. Dan setelah diuji
menggunakan pHmeter didapat bahwa pH-nya sebesar 7,1 yang dibulatkan menjadi pH 7
(normal) sehingga menjadi air yang layak komsumsi.
Berdasarkan eksperimen sederhana yang telah saya lakukan, didapatkan kesimpulan
bahwa air hasil penyaringan yang paling baik adalah air hasil saringan pada filter campuran
sekam padi dan arang, yang mana kualitas warna yang dihasilkan jernih, rasanya tawar, tidak
mampu menyerap bau, dan adanya sekam padi yang mampu meningkatkan kejernihan air
sehingga menjadi air bersih yang layak dikomsumsi dan digunakan oleh masyarakat pesisir
khususnya di pesisir Kabupaten Bulukumba. Disamping itu bahan diatas lebih efiesien,
murah, mudah didapat, dan tersedia dalam jumlah banyak, sehingga tidak akan menyulitkan
masyarakat pesisir.
Selain itu dibutuhkan solusi teknologi untuk penerapan filter sekam padi dan arang ini,
yang mana dengan membuat filter air sederhana yang menggunakan pipa dari sumur ke bak
filter penyaringan, yang mana filter penyaringannya terbagi atas beberapa filter seperti batu
kerikil, sekam padi, pasir, arang yang selanjutnya dialirkan keluar melalui kerang. Hal ini
tentunya akan sangat memudahkan masyarakat pesisir karena biaya yang diperlukan murah,
efisien, perawatannya mudah dan memanfaatkan limbah. Adapun rancangan desain yang
coba ditawarkan yaitu
Maka dengan begitu masyarakat pesisir tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah
ketersediaan air bersih, mereka bisa mengolah air payau di sumur mereka untuk diolah
menjadi air tawar yang layak komsumsi, tentunya dengan biaya yang murah. Dan tentunya
hal ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir serta
akan menciptakan pola hidup bersih yang baik dan akan meningkatkan kesehatan masyarakat
Sekarang yang dibutuhkan adalah terjun langsung ke lapangan, memberikan sosialisasi
terhadap masalah ini, memberikan solusi, pemahaman dan mencoba menerapkan solusi
tersebut kepada masyarakat, karena praktek lebih baik dibanding hanya teori. Idealnya,
mengapa kita harus menunda-nunda sebuah kesempatan emas untuk masa depan yang lebih
cerah selagi hari ini masih ada waktu. Kesadaran untuk menolong sesama yang sedang
kesusahan harus dipupuk sejak dini.
Kesimpulannya, pemanfaatan berbagai limbah dan bahan yang melimpah dan murah di
Indonesia terutama arang dan sekam padi dapat menjadi solusi permasalahan yang kompleks
dimasyarakat, misalnya ketersediaan air bersih bagi masyarakat pesisir, permasalahan
kesehatan karena air minum yang tidak layak dsb. Jadi, untuk apa berlepas diri karena
benturan ekonomi apabila terdapat solusi dengan harga yang murah, terjangkau, dan mudah
didapat, banyak hal yang bisa dioptimalkan pemanfaatnnya didalam negeri kita tercinta ini.
Buktikan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang mandiri, bangsa yang mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk masalah penyediaan air bersih sekalipun.
Maju terus Indonesiaku ! Mari tingkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan taraf
Lampiran gambar kondisi pesisir pantai Bulukumba
Masyarakat pesisir Kabupaten Bulukumba yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
Nelayan dan buruh rumput laut yang berpendapatan rendah, sehingga masih berada di bawah
garis kemiskinan.
sanitasi yang buruk dan selokan pembuangan air yang kotor dan tersumbat
beberapa sumur warga pesisir yang ditutup karena berair asin (payau) dan ada pula yang
terpaksa digunakan karena minimnya ketersediaan air bersih.
banner tentang penerapan PHBS dan sambungan air bersih yang dimiliki seorang warga yang
lain : - Fina - Fina KEM - Fina - Juara - Sisw - Juara - Juara - Juara
Bulu Lure nam di S
alis National alis dan pen MENPORA 2 alis 3rd Indon
a II kategori wa berprestas a III passing a II passing a I olimpiad
Nama l ukumba, pad e no 9 Bulu ma emailnya SMA Negeri Young Inve nerima peng 2010 nesian Scienc
i pelajar lom si pada 100 t g great olimp great olimpi e astronomi
BIODAT engkap M da tanggal 3 ukumba, Su
Asfar_sman
i 1 Bulukum
entor Award ghargaan Yo
ce Project O mba Esai LRP
tahun kebang piade astrono
iade astronom tingkat kabu
TA PENULI M. Asfar Sya Agustus 19 ulawesi Sela nsa@yahoo. mba. Adapun 2010 outh Nationa lympiad 201 PTN ITB 20
gkitan nasio omi tingkat k
mi tingkat k upaten tahun
IS
afar, berusia 994. Beragam atan. Nomor
com. Kini d n prestasi y
al Science a
11 11
nal Kab. Bu kabupaten ta
abupaten ta n 2011
a 17 tahun ma Islam, be r telepon 08 duduk di kel yang pernah
and Techno
ulukumba ta ahun 2008 ahun 2010
dan lahir d eralamat di J 8124220115
Nama
:
M.
ASFAR
SYAFAR
Tempat/Tanggal
lahir
:
BULUKUMBA,
3
AGUSTUS
1994
Status
:
Pelajar/Mahasiwa
*)
coret
salah
satu
Nama
Sekolah/Universitas:
SMA
NEGERI
1
BULUKUMBA
Tema
yang
dipilih
:
UPAYA
PENANGGULANGAN
TERKAIT
MINIMNYA
AKSES
TERHADAP
AIR
BERSIH
DAN
BURUKNYA
LAYANAN
SANITASI
Akun
:
TIDAK
ADA
Akun
:
ASFAR
SYAFAR
Alamat
:
ASFAR_SMANSA@YAHOO.COM
Alamat
Rumah
:
JL.
LURE
9,
BULUKUMBA,
SULAWESI
‐
SELATAN
Pemenang Kedua Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
Saatnya Sanitasi dan Akses Air Bersih Menjadi Sorotan
Oleh Siti Kholifatul (SMA Negeri 1 Ponorogo)
Sehat, satu kata sederhana namun cukup rumit dalam usaha pencapaian terhadapnya.
Kesehatan menjadi indikator penting penentu sejahtera tidaknya suatu masyarakat. Kesehatan
adalah kebutuhan primer yang tidak bisa tidak mutlak dimiliki oleh setiap manusia. Tanpa
memiliki komponen satu ini, manusia tidak akan bisa melakukan kegiatan apapun untuk
menunjang kehidupannya. Dan bahkan ketidak tercapaian definisi sehat dalam diri seseorang
dapat mengancam kelangsungan hidup seseorang tersebut. Karenanya adalah hal yang wajib
untuk menjadikan kesehatan sebagai sorotan utama setiap individu dan lebih jauh pemerintah
sebagai pengayom masyarakat itu sendiri. Dalam pencapaian sehat yang ideal ada beberapa
indikator yang harus dipenuhi, diantaranya adalah kepenuhan akan gizi dalam makanan yang
dikonsumsi, latihan fisik secara proporsional, pola hidup yang sehat, akses air bersih dan
sanitasi yang layak.
Selama ini permasalahan yang dialami masayarakat Indonesia terkait masalah akses
air besih dan sanitasi yang layak masih sangat kompleks. Hasil studi Indonesian Sanitation
Sector Development Program Tahun 2006, sekitar 47% masyarakat masih berperilaku buang
air besar ke sungai, sawah, kolam, dan tempat terbuka lainnya. Sungguh ironis jika kita lirik,
hampir setengah dari penduduk Indonesia belum memiliki kesadaran yang memadai dengan
konsep sanitasi yang ideal. Padahal dengan jumlah penduduk yang mencapai hampir 230 juta
jiwa, kondisi sanitasi yang buruk dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam wabah
penduduk. Penyakit yang dapat disebabkan oleh buruknya sanitasi dan kualitas air adalah
diare, hepatitis A, disentri, basil kolera, polio, cacingan dan penyakit-penyakit lainnya yang
penyebarannya sangat cepat. Ambil contoh saja kasus diare, berdasarkan data World Health
Organization (WHO) tahun 2004, penyakit ini masih menjadi penyebab terbesar kematian
anak di dunia yang membuat 1,8 juta orang di dunia meninggal, dimana sebagian besar dari
mereka adalah anak dengan usia di bawah lima tahun. Fakta yang mencengangkan dimana
anak-anak penerus bangsa kita direnggut oleh penyakit yang disebabkan oleh buruknya
kondisi sanitasi. Belum lagi masalah sulitnya akses terhadap air bersih terutama di
daerah-daerah terpencil di Indonesia. Karenanya diperlukan suatu sistem yang benar-benar fokus
menanggulangi masalah ini.
Sanitasi sendiri adalah perilaku pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah
manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan
tujuan untuk menghindarkan manusia dari berbagai macam penyakit. Bahaya ini bisa saja
terjadi secara fisik, disebabkan oleh mikrobiologi dan agen-agen kimia dari
penyakit-penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bisa berupa
feses (kotoran) hewan dan manusia, limbah buangan padat, air buangan domestik (air bekas
cucian, air seni, air buangan mandi), limbah buangan industri, limbah buangan pertanian, dan
lain lain. Limbah-limbah dapat dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari
dengan jumlah yang sangat besar. Kalkulasikan saja limbah domestik dari sekian juta kepala
rumah tangga, belum lagi dengan limbah hasil industri dan pertanian yang jumlahnya tidak
kalah besar. Hal ini tentu dapat menjadi masalah yang serus jika tidak ditangani secara
proporsional dan berkala. Sementara susahnya akses terhadap sanitasi dasar mencapai
90,5%(di perkotaan dan 67% di pedesaan. Namun akses terhadap sanitasi setempat yang
aman (menggunakan septic tank) baru mencapai 71,06% (kota) dan 32,47% (desa). Hal ini
berbagai macam wabah penyakit, masih ditambah lagi dengan susahnya akses terhadap air
bersih. Padahal air adalah kebutuhan vital bagi manusia. Manusia dapat bertahan tanpa
makanan lebih dari satu bulan, tapi manusia akan mati tanpa mengkonsumsi air lebih dari
tujuh hari saja. Hal ini juga mengindikasikan bahwa air adalah komponen utama yang
dikonsumsi manusia, karenanya kebutuhan akan air sifatnya mutlak dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
Bersamaan dengan permasalahan yang kompleks ini, deadline Millenium
Development Goals di tahun 2015, yang menargetkan pengurangan setengah dari populasi
penduduk yang tidak terjangkau akses ke sanitasi yang baik pada tahun 2015 semakin
mendesak. Karenanya perlu diadakan evaluasi yang berkala terhadap sistem sanitasi dasar
dan air bersih di Indonesia untuk mengetahui faktor apa yang menghambat tercapainya
kondisi sanitasi dan akses air bersih yang ideal. Sehingga dapat diketahui mana-mana yang
perlu diperbaiki dan diperbaharui. Faktor-faktor yang perlu dievaluasi adalah stakeholder
yang berperan di dalamnya, yaitu pihak pemerintah dan masyarakat sendiri.
Dari pihak pemerintah, hendaknya mengkaji ulang peraturan dan undang-undang serta
program-program yang dicanangkan untuk peningkatan kualitas dan mutu sanitasi dan air.
Dewasa ini perhatian pemerintah terhadap sektor sanitasi sangatlah minim, sanitasi belum
menjadi prioritas pembangunan bagi para pengambil keputusan. Berdasarkan data, alokasi
APBN pusat untuk sektor ini pada tahun 2002 hanya 1,8%. Rata-rata APBD provinsi tahun
2002 3,3%, sementara APBD kabupaten dan kota tahun 2002 sejumlah 5,7%. Terlihat betapa
kebutuhan akan sanitasi dan akses air bersih masih sangat dikesampingkan oleh pemerintah.
Padahal dapat kita lihat dengan gamblang kondisi lingkungan masyarakat kita. Pemukiman
kumuh masih merajalela menghiasi kota-kota besar, masalah persampahan yang tak kunjung
usai, minimnya fasilitas sanitasi terutama bagi warga yang kurang mampu, merebaknya
betapa buruknya kondisi sanitasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena buruknya infrastruktur
sanitasi yang dibangun pemerintah untuk penyediaan air bersih, pengelolaan sampah,
drainase air selokan, dan lain-lain.
Selain itu, susahnya akses air bersih tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di daerah
terpencil. Bahkan, masyarakat di perkotaan pun kesulitan mendapatkan air bersih hingga
untuk mendapatkannya masyarakat harus membayar mahal sehingga bagi mereka yang tidak
mampu cukuplah menggunakan air sungai yang penuh dengan kuman dan bakteri. Air minum
perpipaan sebagai sistem perairan yang ideal masih belum dirasakan oleh masyarakat secara
maksimal. Hal ini karena mahalnya air yang bersumber dari Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM). Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena PDAM sendiri memiliki berbagai macam
permasalahan kompleks yang menghambat produktivitas mereka untuk menyediakan air
bersih yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Permasalahan tersebut mencakup
permasalahan secara teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua,
tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non-teknis (status kelembagaan PDAM,
sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif
tidak full cost recovery, dan lain lain. Hal ini menyebabkan cost untuk produksi menjadi
sangat besar sehingga mau tidak mau tarif PDAM pun cukup tinggi hingga tidak dapat
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Karenanya pemerintah hendaknya mulai memberi perhatian lebih dengan
meningkatkan anggaran pembelanjaan negara pada sektor ini. Dan tentunya juga melakukan
koordinasi kepada pemerintah daerah untuk ikut fokus dalam upaya perbaikan sanitasi dan
akses air bersih di daerahnya, karena berdasar UU No. 32 Tahun 2004 masalah sanitasi
merupakan kewenangan daerah sedang perkembangan di daerah belum menunjukkan
perbaikan yang signifikan. Secara ekonomis, peningkatan anggaran untuk sanitasi terlihat
sanitasi yang baik mengakibatkan biaya kesehatan membengkak untuk menangani berbagai
kasus atas penyakit yang banyak muncul karena buruknya sanitasi. Sanitasi yang buruk juga
menyebabkan kualitas air menurun yang lagi-lagi akan berdampak pada pendanaan
ketersediaan air untuk masyarakat. Selain itu, hal ini juga berakibat buruk pada pariwisata
Indonesia yang juga menurun peminatnya karena kondisi Indonesia yang tidak higienis.
Perbaikan sarana sanitasi dengan peningkatan anggaran untuk memperbaikinya tidak akan
membuat pemerintah membuang dana tersebut dengan sia-sia, artinya dana tersebut sama
sekali tidak bersifat konsumtif. Karena produktivitas yang meningkat dan terhindarnya dari
sakit dan kematian. Juga akan meningkatkan angka harapan hidup dan menyumbang
peningkatan perkembangan ekonomi setiap tahun.
Estimasi dana yang mencukupi harus dibarengi dengan efektifitas program yang telah
dicanangkan sebelumnya. Program-program seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM), pembentukan komunitas, Open Defaction Free, cuci tangan pakai sabun,
pengelolaan air minum rumah tangga, sanitasi total, proyek jamban dan sanitasi dasar harus
digalakkan lebih giat lagi. Kontrol dan sosialisasi secara langsung dari pihak pemerintah
kepada masyarakat perlu terus dilakukan untuk melaksanakan program ini secara efektif.
Selain itu, pemerintah harus pula mengefektifkan peran swasta dan masyarakat sebagai
pelaku aktif dalam proyek perbaikan sanitasi ini. Hendaknya peran Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan organisasi swasta digalakkan dan diekplorasi lagi, seperti penggunaan
metode kemitraan antara pemerintah dengan yayasan/ LSM. Dimana pemerintah memberikan
dana hibah untuk pembangunan proyek perbaikan snitasi dan akses air bersih sedang LSM
bertindak sebagai pengelola sehingga dana tersebut bergulir dan dikelola oleh masyarakat
sendiri dibawah control kontrol dan difasilitasi oleh yayasan. Bantuan secara teknis dari
pihak yayasan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, dan peran yayasan sebagai
Di samping itu kesadaran masyarakat adalah faktor utama yang harus diperbaiki,
karena bermacam infrastruktur dan fasilitas yang dibangun pemerintah akan sia-sia jika
masyarakat tidak memiliki iktikad baik dan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya
sanitasi. Masyarakat adalah objek sekaligus subjek aktif yang akan menyukseskan program
ini. Kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara fasilitas sanitasi dan pentingnya
menjaga kebersihan lingkungan dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antaranya, dengan
melibatkan tokoh masyarakat yang disegani dalam kampanye dan sosialisasi. Ini artinya
harus ada tokoh masyarakat yang mumpuni dalam hal kelingkungan, jika tidak ada maka
pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat tersebut dan
memberikan pengetahuan yang cukup mengenai program-program sanitasi yang akan
dilaksanakan. Karena umumnya masyarakat akan lebih tergerak jika pihak yang
menggerakkan adalah tokoh yang disegani dan mereka kenal dalam kesehariaannya. Selain
itu, media juga berperan banyak dalam penyebaran propaganda positif dan kampanye
kesadaran kelingkungan. Pemerintah dapat mensosialisasikian program jamban bersih lewat
media elektronik, spanduk, media cetak, dan lain-lain.
Sosialisasi secara langsung juga harus dilakukan, hal ini dapat melalui kelompok
Karang Taruna atau perkumpulan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di
daerah. Hal ini justru akan lebih mengena, karena masyarakat dapat berinteraksi secara
langsung dan bertanya bermacam hal terkait sanitasi dan air bersih. Serta pembentukan
kelompok aktif di masyarakat seperti forum-forum kepedulian terhadap lingkungan, remaja
masjid, klub jantung sehat, klub manula, pengelola kebersihan/sampah, dan lain-lain. Dengan
adanya forum-forum tersebut, akan membentuk kesadaran dari semua elemen masyarakat.
Masyarakat, baik dari kalangan muda, tua, ibu-ibu, remaja, pelajar, dan yang lainnya.
dilaksanakan dengan mantap karena semua subjek yang berkecimpung di dalamnya telah
siap.
Setelah kesadaran dan pengetahuan tersebut terbentuk, masyarakat dapat menentukan
sendiri program-program yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya, menyusun rencana aksi,
membentuk tim dan mengelola pembangunan fisik. Sehingga terbentuklah masyarakat yang
mandiri dalam hal inisiasi, pelaksanaan, dan pengawasan perbaikan sanitasi itu sendiri. Dari
sinilah kesejahteraan masyarakat dalam hal sanitasi dan akses air bersih dapat tercapai.
Sumber:
1. Pedoman Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Departemen Kesehatan RI
2008
2. Kajian Kebijakan Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat oleh Ir. Tuti Kustiah.
Pemenang Ketiga Kategori Pelajar
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
UPAYA PEMUKIMAN PPA SANILA DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
Oleh Muhammad Gilang Ramadhan Putra (Ponpes Daar El-Qolam II)
Keadaan negara Indonesia masih terlihat sangat memilukan, dimana satu wilayah atau
lingkungan sekitar mengalami peristiwa yang sudah biasa terjadi, kekurangan air.
Keterlibatan masyarakat dalam menangani masalah ini menjadi salah satu hal yang
rumit, jika kita melihat dari sisi ekonomi. Banyak dari masyarakat tak mampu yang tak
sanggup untuk mengatasi kekurangan air ini karena adanya ketidakpastian dari
pemerintah dalam penanggulangan akses air bersih dan sanitasi layak bagi masyarakat
tak mampu tersebut. Sungguh sangat berbeda dengan mereka yang hanya menggunakan
berbagai fasilitas tertentu dan mengeluarkan uang banyak tanpa berpikir panjang. Patut
kita sadari bahwa hal ini dapat menjadi suatu landasan pemikiran seseorang dimana
perlu adanya aktifitas yang didukung oleh fasilitas tertentu, yang mungkin dapat
membantu masyarakat tersebut dalam penanggulangan minimnya akses terhadap air
bersih dan sanitasi layak untuk masyarakat.
Air adalah senyawa penting bagi semua bentuk kehidupan yang ada di muka
bumi, dan tidak ditemukan di planet lain. Unsur tersebut sungguh sangat dibutuhkan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, khussusnya dalam hal jasmani. Air yang
dibutuhkan tentunya air bersih yang bermutu baik dan biasa dikonsumsi oleh manusia
atau dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Jika bukan, maka kadar yang
terdapat dalam air tersebut akan merusak kandungan yang seharusnya dibutuhkan dalam
Penggunaan air bersih sangat terkait dengan kegiatan sanitasi. Sanitasi adalah
perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia
bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya dengan
harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Kebiasaan yang
dilakukan masyarakat dapat mendukung faktor-faktor yang akhirnya akan menjadi hasil
yang sangat analitis, seperti pembiasaan dalam hidup bersih dari segala sisi. Hasil
tersebut juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga dirinya dari
berbagai kotoran dan cinta alam. Akan tetapi, jika dilihat dari bahaya-bahaya yang
dialami, mungkin bisa terjadi secara fisik, mikrobiologi, dan agen-agen kimia atau
biologis dari penyakit terkait. Bahan buangan yang dapat menyebabkan masalah
kesehatan terdiri dari tinja manusia atau binatang, sisa bahan buangan padat, air bahan
buangan domestik (cucian, air seni, bahan buangan mandi atau cucian), dan bahan
buangan industri dan bahan buangan pertanian. Maka dari itu, perlu adanya akses air
bersih dan sanitasi layak sebagai penanggulangan umum.
Sebenarnya, masalah yang dialami oleh masyarakat ini bukanlah perkara yang
rumit, jika pemerintah menindaklanjuti masalah ini dengan akurat. Saya, sebagai
masyarakat indonesia sendiri, menyadari adanya kekurangan dalam kinerja pemerintah
kali ini. Banyak sekali hal-hal mudah yang selalu diremehkan sehingga hasil yang
diinginkan benar-benar tidk maksimal. Melalui apa yang saya analisa dari problema
tersebut, saya ingin sekali menggalakkan upaya PPA SANILA (Program Penyulingan
Air dan Sanitasi Layak) sebagai acuan dan sumber dalam mengatasi masalah yang
selama ini melanda kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang
PPA SANILA ini diperuntukkan untuk masyarakat yang benar-benar kurang
mampu dan kesulitan untuk mengakses air bersih. Saya menggalakkan program ini
berdasarkan apa yang saya amati, dan setelah apa yang dibutuhkan telah dipenuhi, saya
dapat menyusun keanggotaan kecil yang ada di sekolah. Saya mengajak beberapa teman
saya yang bergerak di bidang kesehatan dan kegiatan ilmiah. Karena sekolah saya
berbasis pesantren, saya akan menggalakkan terlebih dahulu di desa sekitar pesantren
saya, tepatnya di daerah Pasir Gintung. Melalui penyulingan air, saya dapat mengakses
air tersebut agar dapat dipergunakan oleh masyarakat sekitar.
Penyulingan air yang dilakukan terbagi kedalam beberapa proses yang perlu
diperhatikan langkah-langkahnya. Langkah awal yang harus ditempuh yaitu dengan
menggunakan proses destilasi. Proses ini akan menghilangkan kandungan garam yang
terkandung dalam air secara sistematis. Akan tetapi, salah satu kekekurangannya adalah
biayanya yang terlalu mahal. Sekali pemakaian alat destilasi dapat mencapai jutaan
rupiah, dan hal ini tak mungkin terjadi jika masyarakat belum dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka dan juga pemerintah yang terlalu mementingkan hal besar
dibandingkan kesejahteraan umat manusia. Maka dari itu, perlu adanya pembaharuan
yang layak agar proses ini dapat mendukung akses air bersih dan pelayanan sanitasi
yang terjamin.
Dengan adanya inovasi dan beberapa pemikiran, maka didapatlah perantara
proses yang mudah dan terjangkau. Kita dapat menggunakan saringan kain katun.
Pembuatan saringan air dengan menggunakan kain katun merupakan teknik
penyaringan yang paling sederhana atau mudah. Air keruh disaring dengan
menggunakan kain katun yang bersih. Saringan ini dapat membersihkan air dari kotoran
ketebalan dan kerapatan kain yang digunakan. Selanjutnya, kita dapat memanfaatkan
kapas sebagai saringan. Teknik saringan air ini dapat memberikan hasil yang lebih baik
dari teknik sebelumnya. Seperti halnya penyaringan dengan kain katun, penyaringan
dengan kapas juga dapat membersihkan air dari kotoran dan organisme kecil yang ada
dalam air keruh. Hasil saringan juga tergantung pada ketebalan dan kerapatan kapas
yang digunakan.
Selain pemanfaatan melalui perantara katun, kita juga dapat menggunakan
sistem aerasi. Aerasi merupakan proses penjernihan dengan cara mengisikan oksigen ke
dalam air. Dengan diisikannya oksigen ke dalam air maka zat-zat seperti karbon
dioksida serta hidrogen sulfida dan metana yang mempengaruhi rasa dan bau dari air
dapat dikurangi atau dihilangkan. Selain itu partikel mineral yang terlarut dalam air
seperti besi dan mangan akan teroksidasi dan secara cepat akan membentuk lapisan
endapan yang nantinya dapat dihilangkan melalui proses sedimentasi atau filtrasi.
Adapun proses yang hampir sejenis, yaitu proses penyaringan pasir lambat. Saringan
pasir lambat merupakan saringan air yang dibuat dengan menggunakan lapisan pasir
pada bagian atas dan kerikil pada bagian bawah. Air bersih didapatkan dengan jalan
menyaring air baku melewati lapisan pasir terlebih dahulu baru kemudian melewati
lapisan kerikil. Untuk keterangan lebih lanjut dapat temukan pada artikel Saringan Pasir
Lambat (SPL). Setelah itu, ada yang dinamakan proses penyaringan pasir cepat.
Saringan pasir cepat seperti halnya saringan pasir lambat, terdiri atas lapisan pasir pada
bagian atas dan kerikil pada bagian bawah. Tetapi arah penyaringan air terbalik bila
dibandingkan dengan Saringan Pasir Lambat, yakni dari bawah ke atas (up flow). Air
dahulu baru kemudian melewati lapisan pasir. Untuk keterangan lebih lanjut dapat
temukan pada artikel Saringan Pasir Cepat (SPC).
Adapun proses penyulingan air yang unik yaitu Gravity-Fed Filtering System
dan saringan arang. Gravity-Fed Filtering System merupakan gabungan dari Saringan
Pasir Cepat(SPC) dan Saringan Pasir Lambat(SPL). Air bersih dihasilkan melalui dua
tahap. Pertama-tama air disaring menggunakan Saringan Pasir Cepat(SPC). Air hasil
penyaringan tersebut dan kemudian hasilnya disaring kembali menggunakan Saringan
Pasir Lambat. Dengan dua kali penyaringan tersebut diharapkan kualitas air bersih yang
dihasilkan tersebut dapat lebih baik. Untuk mengantisipasi debit air hasil penyaringan
yang keluar dari Saringan Pasir Cepat, dapat digunakan beberapa/multi Saringan Pasir
Lambat. Sedangkan saringan arang dapat dikatakan sebagai saringan pasir arang dengan
tambahan satu buah lapisan arang. Lapisan arang ini sangat efektif dalam
menghilangkan bau dan rasa yang ada pada air baku. Arang yang digunakan dapat
berupa arang kayu atau arang batok kelapa. Dengan begitu air yang dihasilkan dapat
dikonsumsi dengan mudah oleh masyarakat banyak.
Proses-proses penyulingan ini akan sangat berguna jika ada dukungan dari
masyarakat. Setelah itu, proses sanitasi akan berlangsung dengan sangat mudah dan
stabil. Karena, banyak sekali dari masyarakat yang meremehkan kegiatan sanitasi di
lingkungan terbuka. Maka, perlu adanya program sanitasi layak lingkungan yang
merupakan status kesehatan suatu lingkungan dan mencakup perumahan, pembuangan
kotoran, dan penyediaan air bersih.
Masyarakat tentu tidak perlu bersusah payah dalam mengkonsumsi air yang
didapat dari hasil sulingan, karena PPA SANILA ini akan mencoba untuk membuat
buruk sanitasi, khususnya pemukiman pada sekitar daerah Pasir Gintung. Dengan
adanya pemukiman ini, masyarakat dapat berbondong-bondong untuk mengkonsumsi
akses air bersih dan program sanitasi layak dengan sangat mudah dan teratur. Hal ini
ditujukan agar masyarakat luas, khususnya masyarakat Pasir Gintung dapat memulai
hidup bersih dari masa belia.
Setelah semuanya berjalan dengan lancar dan stabil, saya dapat menyarankan
kepada pemerintah tentang apa yang saya canangkan. Karena program ini sangat
berpengaruh dalam mengatasi minimnya akses air bersih dan sanitasi tersebut. Terdapat
hubungan yang erat antara masalah sanitasi dan penyediaan air, dimana sanitasi tersebut
berhubungan langsung dengan kesehatan, penggunaan air, dan pemulihan biaya.
Jika kita lihat dari sisi kesehatan, semua penyakit yang berhubungan dengan air
sebenarnya berkaitan dengan pengumpulan dan pembuangan limbah manusia yang tidak
benar. Sehingga, memperbaiki yang satu tanpa memperhatikan yang lainnya sangatlah
tidak efektif. Maka dari itu, perlu adanya perhatian lebih lanjut dari hubungan tersebut,
karena dampaknya akan sangat buruk jika tidak dapat diperbaiki satu sama lain.
Begitu pula dengan sisi penggunaan air. Kita bisa mengambil contoh dari toilet
siram dengan desain lama. Toilet siram desain lama membutuhkan 19 liter air dan bisa
memakan hingga 40% dari penggunaan air untuk kebutuhan rumah tangga. Dengan
jumlah penggunaan 190 liter air per kepala per hari, mengganti toilet ini dengan unit
baru yang menggunakan hanya 0,7 liter per siraman bisa menghemat 25% dari
penggunaan air untuk rumah tangga tanpa mengorbankan kenyamanan dan kesehatan.
Sebaliknya, memasang unit penyiraman yang memakai 19 liter air di sebuah rumah
di daerah yang penyediaan airnya tidak mencukupi, dan hal tersebut juga bisa
menambah jumlah limbah yang akhirnya harus dibuang dengan benar.
Kita juga harus memperhatikan sisi pemulihan biaya yang terjadi dalam
hubungan sanitasi terhadapa penyediaan air tersebut. Biaya pengumpulan, pengolahan,
dan pembuangan limbah meningkat dengan cepat begitu konsumsi meningkat. Apabila
kita hanya merencanakan satu sisi penyediaan air tanpa memperhitungkan biaya sanitasi
akan menyebabkan kota berhadapan dengan masalah lingkungan dan biaya tinggi yang
tak terantisipasi. Pada tahun 1980, Bank Dunia melaporkan bahwa dengan
menggunakan praktik-praktik konvesional, untuk membuang air dibutuhkan biaya lima
sampai enam kali sebanyak biaya penyediaan. Ini adalah untuk konsumsi sekitar 150
hingga 190 liter air per kepala per hari. Informasi lebih baru dari Indonesia, Jepang,
Malaysia dan A. S. menunjukkan bahwa rasio meningkat tajam dengan meningkatnya
konsumsi; dari 1,3 berbanding 1 untuk 19 liter per kepala per hari menjadi 7 berbanding
1 untuk konsumsi 190 liter dan 18 berbanding 1 untuk konsumsi 760 liter. Lalu, hal
tersebut juga berpengaruh dalam penggunaan ulang air. Jika sumber daya air tidak
mencukupi, air limbah merupakan sumber penyediaan yang menarik, dan akan dipakai
baik resmi disetujui atau tidak. Oleh karena itu, peningkatan penyediaan air cenderung
mengakibatkan peningkataan penggunaan air limbah, diolah atau tidak dengan
memperhatikan sumber-sumber daya tersebut supaya penggunaan ulang ini tidak
merusak kesehatan masyarakat.
Proses penyulingan yang digalakkan ini akan menjadi sempurna dengan adanya
pemukiman atau penetapan dibeberapa daerah tertentu, sehingga masyarakat hanya akan
air bersih karena zat-zat beracun telah difiltrasi sehingga membuat kereaktifan senyawa
air menjadi stabil, sama seperti apa yang telah saya paparkan sebelumnya.
Sebenarnya, program sanitasi yang telah dibangun oleh pihak nasional juga
harus dicanangkan demi membantu kestabilan hidup masyarakat dalam hal kebersihan,
seperti Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) adalah satu Program Nasional di bidang sanitasi yang bersifat lintas sektoral.
Program ini telah dicanangkan pada bulan Agustus 2008 oleh Menteri Kesehatan RI.
STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Strategi Nasional STBM memiliki
indikator outcome yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis
lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku. Sedangkan indikator
output-nya adalah akses terhadap sarana sanitasi dasar bagi setiap individu sehingga
dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang tempat (ODF),
pengelolaan air minum dan makanan yang aman di rumah tangga, dan pengelolaan
limbah dan sampah yang benar bagi setiap rumah tangga.
Maka dari itu, masyarakat Indonesia dan pemerintah juga harus memperhatikan
hal ini secara serius. Jika pemerintah menerima PPA SANILA ini, maka proses akses
air bersih dan sanitasi layak akan teratasi dengan mudah, dan juga dapat membantu
kinerja para peneliti lain dalam menangani masalah akses air ini dengan berbagai
macam jenis proses. Sehingga, keluhan masyarakat terkait minimnya akses terhadap air
bersih dan buruknya layanan sanitasi dapat ditanggulangi dengan cepat oleh upaya
pemukiman Program Penyulingan Air dan Sanitasi Layak (PPA SANILA), dan tentu
GAMBAR-GAMBAR PROSES PENYULINGAN AIR DENGAN MUDAH
DAN PRAKTIS
Sumber: http://aimyaya.com/id/lingkungan
-hidup/kumpulan-teknik-penyaringan-air-sederhana/
Gambar 1.1. Saringan Kain Katun
Gambar 1.2. Saringan Kapas
Gambar 1.3. Aerasi
Gambar 1 Error! No text of specified style in
Gambar 1.5. Saringan Pasir Cepat
Gambar 1.6. Gravity-fed Filtering System
Partisipasi Masyarakat sebagai Jawaban atas
Tantangan Pembangunan Sarana dan Prasarana AMPL di Indonesia
Oleh:
Hakimatul Mukaromah
(Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro)
Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap manusia.
Kebutuhan air bersih di perkotaan rata-rata adalah sekitar 100-200 liter/orang/hari.
Artinya jika dikalikan dengan total penduduk Indonesia, yaitu sejumlah
237.641.326 jiwa (Sensus Penduduk, 2010) maka dapat diketahui betapa besarnya
kebutuhan air bersih yang harus di-supply. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan
untuk kegiatan agrikultur dan industri yang tentunya memiliki jumlah lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan air domestik.
Ada berbagai macam sumber air bersih yang dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia. Pada tahun 2006, 52,1% penduduk Indonesia telah
memiliki akses terhadap air bersih yang aman
1. Sebagian besar masyarakat
perkotaan telah memiliki akses terhadap air perpipaan atau PDAM. Namun, hal
ini berbeda dengan masyarakat di pedesaan atau yang tinggal di daerah dataran
tinggi yang tidak terjangkau pelayanan air bersih dari PDAM. Hal ini tidak
menjadi masalah jika daerah tempat tinggal mereka memiliki kualitas dan
kuantitas air tanah yang baik dan layak digunakan untuk keperluan domestik
seperti minum, cuci, masak, mandi, dan lainnya. Akan tetapi, hal ini menjadi
kesulitan sendiri bagi mereka yang tinggal di dataran tinggi, di mana sumber air
1
tanah sangat terbatas kuantitasnya. Terkadang masyarakat tersebut harus berjalan
berkilo-kilometer untuk dapat mengambil air bersih sebagai kebutuhan
sehari-hari.
Penyediaan sarana dan prasarana AMPL khususnya air minum tidak
hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Masyarakat, sebagai konsumen,
seharusnya juga ikut serta dalam pembangunan dan pemeliharaannya. Hal inilah
yang saat ini dikembangkan di Indonesia, yaitu kerjasama antara pemerintah dan
masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan adanya bantuan pihak lain
seperti LSM atau dari
private sector. Kerjasama ini bisa dilakukan dalam aspekfinansial, teknologi atau dalam hal sosialisasi dan pendampingan.
Sampai saat ini telah banyak program yang telah dilaksanakan oleh
Pokja AMPL (Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) dalam
upaya meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan dan keberlanjutan
pelayanan khususnya untuk prasarana dan sarana air bersih atau air minum.
Program tersebut diantaranya adalah pembuatan sambungan komunal di
Kelurahan Sunggal, Kampung Baru, Kampung Sei Meti, Kota Medan dan Desa
Cibodas, Bandung; pembuatan sumur bor di Kelurahan Kedung Kandang dan
Lesanpuro Kota Malang; program zakat air di Kabupaten Pemalang; dan berbagai
program lainnya
2. Dari beberapa program penyediaan sarana dan prasarana air
bersih di atas, terdapat satu hal yang menjadi perhatian Pokja AMPL, yaitu
keterlibatan masyarakat.
2
Peran serta masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana
AMPL menjadi salah satu strategi yang dilakukan oleh Pokja AMPL. Masyarakat
dapat berperan sebagai pencetus (pioneer), pelaksana pembangunan, pemelihara,
serta dapat berperan dalam monitoring dan evaluasi AMPL. Keterlibatan
masyarakat ini tentunya memiliki tujuan yang penting, yaitu pembangunan sarana
dan prasarana AMPL diharapkan dapat berjalan dengan
sustainable. Hal inimengingat banyak sekali tantangan yang harus dihadapi baik pada tahap sebelum,
saat, maupun setelah proses pembangunan sarana dan prasarana AMPL.
Pada fase pertama, yaitu sebelum pembangunan sarana dan prasarana
AMPL, partisipasi masyarakat merupakan salah satu pondasi bagi keberlanjutan
pembangunan yang akan dilakukan. Pada tahap ini biasanya terdapat seorang
pioneer
dari dalam komunitas yang memiliki kemauan dan kemampuan kuat
dalam melakukan inisiasi atau pengajuan pembuatan sarana dan prasarana AMPL.
Bahkan tidak menutup kemungkinan pioneer tersebut berasal dari luar komunitas
yang memiliki kapabilitas yang lebih dan mampu melakukan pendekatan persuasi
terhadap masyarakat.
Pada tahap ini kadang terdapat konflik dari dalam komunitas target
pembangunan sarana dan prasarana AMPL. Konflik ini bisa timbul dari aspek
finansial atau pembiayaan pembangunan, aspek fisik (lahan yang akan dipakai
untuk pembangunan), atau pengambilan keputusan lain yang sulit mencapai
mufakat. Oleh karena itu, suatu lembaga, baik secara formal maupun informal
dalam komunitas maupun dari luar komunitas yang dianggap memiliki pengaruh
leadership terhadap komunitas.
Dengan adanya kelembagaan yang mampu mengkoordinir masyarakat
secara lebih sistematis dan berasal dari dalam komunitas mereka sendiri, maka
akan cenderung untuk lebih mudah diketahui kemauan masyarakat dan diharapkan
juga nantinya mampu meminimalisir konflik yang mungkin timbul. Peran awal
lembaga atau organisasi ini adalah memberikan sosialisasi kepada masyarakat atas
pembangunan sarana dan prasarana AMPL; melakukan musyawarah terkait lokasi
pembangunan, sistem pembiayaan, dan hal teknis lainnya; sebagai fasilitator
antara masyarakat keseluruhan dengan institusi atau lembaga donor/pemberi
bantuan (jika ada).
Dengan adanya tahap inisiasi dan sosialisasi yang sifatnya lebih
partisipatif, maka masyarakat akan merasa dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. Tahap sosialiasi ini dapat dilakukan secara konvensional seperti
pertemuan rutin atau melalui teknik lain yang lebih menarik minat masyarakat.
Misalnya, visualisasi pemanfaatan sampah anorganik oleh komunitas lain yang
telah berhasil menerapkannya. Tujuan yang diharapkan dari proses sosialisasi ini
adalah masyarakat nantinya memiliki rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
tanggung jawab dalam operasional sarana dan prasarana AMPL hingga waktu
yang akan datang.
Selanjutnya pada tahap pembangunan, masyarakat memang tidak
diharuskan untuk berpartisipasi secara langsung. Tetapi, tidak menutup
Yang pasti, masyarakat diharapkan mengerti sistem yang diterapkan dan mampu
mereplikasi sendiri jika dibutuhkan.
Pepatah mengatakan, “Setiap orang bisa membangun, tetapi hanya
sebagian yang mampu merawat dan menjaga”. Seperti halnya sarana dan
prasarana AMPL, proses pembangunannya memang cukup mudah, namun untuk
menjaga fungsinya agar tetap
sustain tidak hanya membutuhkan kemampuantetapi juga kemauan yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan strategi
guna mengajak masyarakat agar tetap konsisten menjaga sarana dan prasarana
AMPL yang telah dibangun. Misalnya adalah dengan penyelenggaraan sayembara
atau pemberian apresiasi terhadap masyarakat yang memiliki kontribusi besar
dalam menjaga keberlanjutan sarana dan prasarana AMPL.
Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan
pengelolaan sarana dan prasarana AMPL belum tentu dapat menjamin
keberlanjutan dari pemanfaatan sarana dan prasarana AMPL tersebut. Perlu
adanya monitoring dan evaluasi baik dari insider team maupun outsider time. Hal
ini untuk memantau apakah ada penyelewengan atas sistem yang telah disepakati
sebelumnya. Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat kebutuhan akan sarana
prasarana AMPL yang tentunya meningkat seiring dengan pertambahan penduduk
di wilayah terkait. Sehingga konsistensi penerapan sistem yang telah disepakati
dapat rentan untuk diselewengkan.
Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya secara teknis seperti yang
tersebut di atas. Tetapi, pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga
terpisahkan. Keterbatasan sumber daya air misalnya, meskipun telah dibangun
sarana dan prasarana yang mampu men-supply kebutuhan air bersih secara
mencukupi bahkan lebih, masyarakat tetap harus menghemat penggunaannya.
Karena terkadang seiring dengan perkembangan sarana dan prasarana yang ada,
perilaku masyarakat cenderung berubah. Ketika masyarakat kesulitan untuk
mendapatkan air bersih, mereka cenderung untuk sebisa mungkin menghemat
penggunaannya. Sedangkan ketika air bersih sudah mampu diakses secara lebih
mudah, perilaku mereka berubah menjadi lebih
„loyal‟ dalam menggunakan air
bersih. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi pasca pembangunan sebagai salah
satu upaya untuk tetap menjaga keberlanjutan sarana dan prasarana AMPL serta
untuk keberlanjutan ketersediaan sumberdaya yang ada.
Pelibatan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana AMPL
ini, pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sadar dan peduli
terhadap lingkungannya. Mereka diharapkan juga mampu lebih mandiri atau
bahkan mampu berinovasi dalam pemanfaatan potensi dan sumber daya di
lingkungan mereka terkait dengan pemberdayaan yang telah dilakukan seiring
dengan jalannya sosialisasi. Dengan adanya kesinambungan antara kemajuan
sumber daya manusia dan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam maka
REFERENSI
Bappenas, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen
Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan. 2003.
Kebijakan Na sional Pembangunan Air Minum dan Penyehata n Lingkungan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Bappenashttp://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=0, diakses pada 2 Oktober 2011
http://eprints.undip.ac.id/4624/1/dodyTA.pdf, diakses pada 2 Oktober 2011
http://kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/pengantar-pengolahan-air-bersih-compatibility-mode.pdf, diakses pada 2 Oktober 2011
http://www.indonesiatoday.in/, diakses pada 2 Oktober 2011
Pokja AMPL. 2008.
Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan diPemenang Kedua Kategori Mahasiswa
Lomba Penulisan Konperensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) Tahun 2011
Tema : Upaya penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan air minum dan sanitasi di Indonesia
Upaya Peningkatan Stratifikasi Sosial Masyarakat Miskin di Indonesia,
Dengan Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi yang
Berkelanjutan , Sistematis , dan Efisien
Oleh Frederic Hamonangan Tumanggor (Universitas Brawijaya)
Latar Belakang
Dari hasil sensus penduduk tahun 2005 jumlah penduduk Indonesia adalah 218,868,791 jiwa.
Berarti Indonesia termasuk negara terbesar ke tiga di antara negara- negara yang sedang
berkembang setelah Cina dan India. Dibanding dengan jumlah sensus tahun 1990 maka akan
terlihat peningkatan penduduk Indonesia rata-rata 1,98 – 2,11% pertahun. Bila dilihat dari luas
wilayah pada peta penyebaran penduduknya, kita akan melihat realita bahwa pola penyebaran
pendududk di 33 propinsi, tidak merata. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2005 sekitar
60% penduduk tinggal di pulau Jawa, padahal luas pulau Jawa hanya 7% dari luas wilayah
Indonesia. Dilain pihak pulau Kalimantan yang luas wilayahnya hampir 6 kali luas wilayah pulau
jawa, hanya ditempati oleh 5% dari jumlah penduduknya (BPS, 2011).
Dilihat dari tingkat pertambahan penduduknya, Indonesia masih masuk dalam kategori tinggi.
Hal ini bila tidak diupayakan pengendaliannya akan menimbulkan banyak masalah. Sebagai
contoh di Indonesia, tingkat partisipasi anak usia sekolah untuk tingkat SMA sederajat, baru
tergolong rendah. Hongkong misalnya, pada tahun 1985 telah mencapai 95%, Korea Selatan
88% dan Singapura telah mencapai 95 % (Surabaya Post, 2 Oktober 2005). Masalah-masalah
lain seperti tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia juga sangat rendah. Sekitar 77%
angkatan kerja masih berpendidikan rendah (dibawah SMA/sederajat). Hal ini, tentu saja akan
berdampak terhadap pendapatan perkapita yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
kualitas hidup dan konflik pada kehidupan rumah tangga seperti perceraian dan perkawinan usia
dini yang nantinya akan berpengaruh terhadap angka kelahiran dan kematian. Hal inilah yang
dalam banyak hal dijadikan indikator bagi kesejahteraan suatu Negara sesuai dengan paradigma
ahli kependudukan Amerika Serikat, Sharp et al, “negara miskin itu miskin karena dia miskin”
(a poor country is poor because it is poor). Nampaknya sederhana, tetapi harus diingat bahwa
manusia adalah sebagai subjek tetapi juga sekaligus objek pembangunan sehingga bila tidak
diantisipasi mungkin pada gilirannnya akan berakibat ketidakstabilan atau kerapuhan suatu
negara.
Polemik Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu, umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya
kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati
fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pembangunan sanitasi air yang memadai
dan kemudahan - kemudahan lainnya yang biasa tersedia pada jaman modern di negara-negara
maju. Pemerintah Indonesia yang berorientasi mengembangkan Indonesia menjadi negara maju
dan mapan dari segi ekonomi tentu menganggap kemiskinan adalah masalah mutlak yang harus
segera diselesaikan disamping masalah lain yaitu ketimpangan pendapatan, strukturisasi
membeludak dan tidak diimbangi oleh adanya sarana-prasarana yang memadai, menjadi
kambing hitam yang membuat pemerintah sulit untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Kemiskinan, dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki atau perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan
berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi
dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak
dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar secara umum terdiri dari antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, sanitasi, pertanahan, sumberdaya alam
dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak
dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak
terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya. (
BAPPENAS, 2004 )Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat
secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya
masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat
beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak
langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat
miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat, yang dapat
dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia. Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ) merupakan indeks
komposit yang dihitung sebagai nilai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yaitu: indeks kesehatan, indeks
pendidikan dan indeks daya beli. Indeks kesehatan inilah yang sering menjadi menjadi polemik utama
dan memiliki hubungan secara langsung, dengan kualitas air minum dan sanitasi yang ada pada
masyarakat.
Hubungan Air minum dan Sanitasi Air terhadap Stratifikasi Sosial Masyrarakat
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam
lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis). Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang
berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Salah satu ukuran
atau kriteria yang dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah kekayaan dan
ilmu pengetahuan. Kekayaan dan Ilmu pengetahuan didalam masyarakat, sangat erat kaitannya
dengan kesehatan. Hal ini dikarenakan, kesehatan merupakan suatu komponen utama yang harus
dipenuhi untuk dapat melakukan tindakan-tindakan dan usaha dalam memperoleh ilmu
pengetahuan secara optimal. Nantinya, dengan ilmu pengetahuan inilah, seseorang akan
memperoleh kekayaan untuk meningkatkan statusnya didalam stratifikasi social masyarakat.
Tingkat stratifikasi social yang rendah merupakan suatu ketidakmampuan (lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, serta penyediaan air minum bersih dan
sanitasi. Semakin tinggi tingkat stratifikasi social yang dimiliki oleh masyarakat, dapat
dipastikan, masyarakat tersebut akan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan minimumnya,
kemampuan daya beli yang dimilikinya. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat
yang ada pada stratifikasi sosial rendah (miskin) akan sulit untuk dapat memenuhi penyediaan air
minum bersih dan sanitasi yang baik di lingkungan rumahnya. Padahal, pemenuhan air bersih
dan sanitasi merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai,
dan juga, sistem air bersih dan sanitasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi,
melindungi lingkungan hidup, dan vital bagi kesehatan manusia. Hal ini diperkuat dengan
adanya sebuah studi Bank Dunia dan disebarluaskan pada bulan Agustus 2008 yang menemukan
bahwa kurangnya akses terhadap sanitasi menyebabkan biaya finansial dan ekonomi sangat berat
bagi ekonomi Indonesia, yang dalam konteks ini, lagi-lagi rakyat yang ada pada stratifikasi sosial
yang rendahlah yang menjadi korban utama.
Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Air merupakan kebutuhan mendasar bagi semua makhluk hidup. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita memerlukan air untuk minum, mandi, cuci, masak dan sebagainya. Sedangkan keberadaan
sanitasi yang bersih dan sehat juga tidak bisa dianggap remeh keberadaannya. Sayang, tidak
semua orang di Indonesia, bisa mengakses air bersih dan mendapatkan sanitasi yang memadai
untuk kebutuhan hidup. Air yang notabene nya diciptakan Tuhan, dikelola oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk rakyat, rupanya saat ini telah menjadi barang mahal. Jika
kita lihat, masih banyak orang yang harus merogoh kocek dalam hanya untuk mendapatkan satu
liter atau se-jerigen air. Selain itu, banyak daerah di berbagai daerah di Indonesia masih
mengalami kesulitan untuk memperoleh air. Contohnya seperti di daerah NTT dan Gudung
Kidul ( liputan6.com, 3 Oktober 2011 ). Hal ini disebabkan lantaran topografi daerah tersebut
yang kurang baik, sehingga membutuhkan system infrastruktur pasokan air bersih untuk
menjadi Pekerjaan Rumah (PR) untuk kita bersama adalah air bersih yang sejatinya menjadi sumber
kehidupan warga sekitar, kini sudah tercemar dan berubah warna hitam pekat, sehingga tidak layak lagi
untuk mandi, cuci dan minum. Sedangkan untuk masalah sanitasi, ternyata ada kira-kira 20% penduduk
Indonesia yang masih buang air besar sembarangan. Hal inilah yang menyebabkan perlu adanya suatu
pemerataan
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di seluruh wilayah yang ada di Indonesia
hingga ke pelosok desa dan daerah terpencil.
Pemerataan Pembangunan Air Minum dan Sanitasi
yang dimaksud disini, adalah pembangunan sistem air minum pada wilayah-wilayah tertentu
sesuai dengan urgensinya yang terencana dan terintegrasi dengan pemerintah daerah yang juga
memerlukan peran aktif masyarakat setempat, dan tertuang dalam suatu rencana tata
pembangunan sistem air minum dan sanitasi jangka panjang. Selanjutnya, suatu rencana tata
pembangunan sistem air minum dan sanitasi jangka panjang tersebut, digunakan sebagai acuan
kebijakan spasial bagi pembangu