• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Kondisi Habitat Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian pertama di Rendani (Lampiran 1a) merupakan pantai yang jauh dari pemukiman dan memiliki daerah terumbu yang landai. Daerah ini merupakan daerah ekosistem yang kompleks karena terdapat ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Daerah ini berdekatan dengan danau kecil air payau yang perairannya relatif jernih. Tipe substrat pada lokasi ini terdiri atas pasir berbatu dan pecahan karang (Lampiran 2)

Pada lokasi Wosi merupakan daerah yang cukup luas dan landai, terdapat pada daerah teluk sehingga daerah ini agak terlindung (Lampiran 1b). Lokasi ini berada pada pemukiman penduduk dan dekat dengan pasar. Perairannya keruh karena dekat dengan muara sungai Wosi yang banyak masukan limbah dari pasar. Sedimen pada daerah ini merupakan sedimen terrigenous (berasal dari daratan) yang terdiri oleh lumpur dan lumpur berpasir.

Lokasi pulau Lemon merupakan daerah rataan terumbu dengan tipe substrat karbonat (pasir dan pecahan karang). Lokasi ini dekat dengan pemukiman pulau Lemon. Lokasi ini juga dekat dengan rataan terumbu bertipe sedimen karbonat yang berasal dari hancuran karang. Padang lamun di daerah ini sering ditemukan dalam pecahan karang dan terumbu karang, sedangkan pada lokasi Wosi didominansi oleh lumpur dan lumpur berpasir dan lokasi pulau Lemon terdiri oleh pasir dan pecahan karang (Lampiran 1c).

4.2 Parameter Kualitas Perairan

Kehidupan organisme perairan akan hidup dan bertumbuh denagn baik apabila didukung oleh kualitas perairan yang baik. Nilai-nilai parameter kualitas perairan pada 3 lokasi penelitian tersaji dalam Tabel 5 (Lampiran 3).

4.2.1 Suhu

Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam mengatur metabolisme dan penyebaran organisme pada suatu ekosistem. Faktor intensitas penyinaran cahaya matahari, kondisi atmosfir, cuaca maupun sirkulasi laut merupakan faktor

(2)

yang mempengaruhi distribusi suhu (Bowden 1980). Suhu air laut merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun dan ikan. Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Bulthuis 1987).

Tabel 5 Hasil rerata pengukuran parameter fisika-kimia di perairan Manokwari dibandingkan dengan baku mutu air laut Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004

Parameter Satuan Lokasi

Baku mutu air laut untuk biota

laut

Rendani Wosi P. Lemon

pH 7.81 7.83 7.90 7-8.5

DO (mg/l) 7.26 7.02 7.50 >5

Suhu (0C) 31.00 30.47 34.63 28-30

Kec. Arus (m/det) 0.10 0.10 0.10 -

Salinitas (0/00) 29.33 29.33 31.00 33-34

Turbidity (NTU) 4.08 5.95 1.64 <5

Total Fosfat (mg/l) 0.25 0.62 0.27 0.015

Nitrat (mg/l) 0.70 0.44 0.61 0.008

Kedalaman cm 59 55 42 -

Hasil pengukuran suhu pada ke 3 lokasi penelitian berkisar antara 30.00-34.63 0C. pengukuran ini dilakukan saat siang hari. Hasil pengukuran ini masih dalam kondisi yang sangat normal untuk pertumbuhan lamun karena menurut Berwick (1983), kisaran optimum untuk fotosintesis lamun yaitu antara 25-35 0C pada saat cahaya penuh. Perbedaan suhu ini sangat kecil fluktuasi suhunya dan tidak mempengaruhi proses metabolisme pertumbuhan lamun. Sedangkan baku mutu air laut untuk biota laut khususnya lamun oleh Kepmen Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 28-30 0

Walaupun pulau Lemon sedikit terlindung namun diduga ada sedikit pengaruh pengadukan air dari samudera Pasifik (lihat Gambar 3) sehingga membuat nilai suhu sedikit rendah. Sedangkan pada lokasi Wosi rendah disebabkan adanya aliran air sungai Wosi yang masuk. Menurut Nybakken (1997) dinginnya air laut juga dipengaruhi oleh aliran air sungai yang masuk ke laut.

C, dibandingkan dengan hasil pengukuran pada ke 3 lokasi adalah di luar ambang batas.

(3)

4.2.2 pH

pH atau derajat tingkat keasaman atau

sebagai+) yang terlarut.

hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.

Nilai derajat keasaman (pH) selama penelitian menunjukkan kisaran yang netral yaitu antara 7.8-7.9 (Tabel 5). Hasil pengukuran pH antar lokasi penelitian tidak menunjukkan fluktuasi yang besar. Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 menetapkan nilai ambang batas pH untuk biota laut yaitu 7-8.5±0.2 dan ke 3 lokasi masih berada dalam kisaran ini. Phillips dan Menez (1988) mengatakan bahwa lamun dapat tumbuh dengan baik pada pH air laut yang normal (7.8-8.5).

4.2.3 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan senyawa kimia gas yang larut dalam air yang mempunyai fungsi untuk keberlangsungan hidup dari biota aerobik yang hidup dalam air. Oksigen ini berasal dari difusi dari udara (proses aerasi) dan fotosintesi tumbuhan air di siang hari dan juga adanya oksidasi limbah (APHA 1989). Hasil penelitian oksigen terlarut dari ke 3 lokasi penelitian berkisar 7.02-7.5 mg/l. Kisaran yang diperoleh dari hasil pengukuran ini masih berada di atas baku mutu untuk biota laut, yaitu >5 mg/l.

Oksigen terlarut adalah faktor pembatas untuk pernapasan ikan dan biota air lain serta di perlukan dalam perombakan bahan organik. Terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut dalam air laut akan menurunkan kegiatan fisiologis makhluk hidup didalamnya. Menurut Schmitz (1971) in Erina (2006) menggolongkan kualitas air di perairan mengalir menjadi lima golongan berdasarkan kandungan oksigen terlarut yaitu :

 Sangat baik : kadar DO > 8 mg/l

(4)

 Kritis : kadar DO = 4 mg/l

 Buruk : kadar DO = 2 mg/l

 Sangat buruk : kadar DO< 2 mg/l

Membandingkan dengan hasil pengukuran gas terlarut dalam penelitian masuk dalam kategori sangat baik.

4.2.4 Kecepatan Arus

Kecepatan arus berhubungan sekali dengan aliran nutrien, distribusi suhu dan memberi pengaruh terhadap pencampuran gas atmosfir ke dalam air sehingga kandungan oksigen yang larut dalam air bertambah (Nybakken 1997). Hasil pengukuran kecepatan arus ke 3 lokasi sangatlah rendah 0.10-0.11 m/detik. Berdasarkan hasil pengukuran ini menggambarkan tidak ada perbedaan yang mencolok masing-masing kecepatan arus di setiap lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan arus yang terjadi lebih dipengaruhi oleh pasang-surut perairan daripada pengaruh angin dan densitas.

Menurut Welch (1980) membedakan arus dalam 5 kategori yaitu arus sangat cepat (>1 m/det), cepat (0.5-1 m/det, sedang (0.25-0.50 m/det), lambat (0.1-0.25 m/det) dan sangat lambat (<0.1m/det). Dari hasil pengkuran maka nilai kecepatan arus dalam penelitian masuk dalam kategori lambat. Kecepatan arus di 3 lokasi adalah sangat mendukung pertumbuhan lamun dan kehidupan ekosistem ikan. Lamun dapat melakukan proses metabolisme dengan baik, ikan dapat melakukan transportasi telur, larva dan ikan-ikan kecil dan juga dapat bermigrasi dan beruaya dengan baik (Laevastu & Hayes 1981).

4.2.5 Salinitas

Salinitas menunjukkan kandungan garam yang ada dalam air laut, dan perbandingannya dengan total jumlah padatan terlarut (DO) yang ada di air laut dalam perbandingan berat. Salinitas air laut bervariasi sebanding dengan kedalaman (Mukhtasor 2007). Nilai salinitas di perairan dipengaruhi oleh masuknya massa air tawar ke perairan estuari, massa air laut karena pasang-surut, penguapan curah hujan dan pola sirkulasi air. Salinitas umumnya mempengaruhi keseimbangan osmotik antara protoplasma organisme air (lamun) dengan medium air di lingkungannya.

(5)

Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Ditambahkan bahwa Thalassiahemprichii ditemuka n hidup dari salinitas 3.5-600/00, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemuka n pada salinitas 42.5°°/o

Dalam penelitian ini nilai salinitas paling tinggi pada lokasi pulau Lemon (31

, sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985).

0

/00) , sedangkan pada lokasi Rendani dan Wosi adalah sama sebesar 290/00. Salinitas padang lamun antara 15-400/00, tetapi puncak pertumbuhan dicapai pada salinitas 300/00

4.2.6 Kekeruhan (turbidity)

, baik untuk komunitas Thalassia (Wibisono 2005). Nilai salinitas yang rendah, pada lokasi Wosi diduga berhubungan dengan masuknya air sungai sehingga membawa limbah organik dan keberadaan lapisan minyak pada permukaan air. Nontji (1987) mengemukakan distribusi salinitas di laut salah satunya dipengaruhi oleh aliran sungai. Begitu halnya dengan Rendani yang terdapat juga sungai air payau dekat dengan daerah tersebut.

Menurut APHA (2004) merupakan deskripsi sifat yang optik suatu perairan yang bergantung pada jumlah cahaya (sinar) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel dalam air. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan antara lain pasir, lumpur, bahan organik dan anorganik, plankton dan organisme mikroskopik. Penyebaran kekeruhan di pengaruhi oleh faktor kimia, biologi dan fisik. Menurut Kirby (1986), kekeruhan dipengaruhi juga oleh proses penyerapan, refleksi serta asal materi suspensi dan interaksi yang ada didalamnya serta dinamika perairan.

Hasil pengukuran kekeruhan terlihat pulau Lemon memiliki nilai yang paling kecil yaitu 1.64 NTU yang berarti perairan yang sangat jernih, karena perairan Pulau Lemon jauh dari kota Manokwari. Pada lokasi Rendani dengan nilai kekeruhan 4.08 NTU karena di lokasi ini terdapat komunitas mangrove yang berperan pertama dalam menahan sedimen dari darat. Sedangkan Wosi kekeruhan paling tinggi karena lokasi

(6)

bersubstrat lumpur dan diduga adanya masukan limbah organik dari sungai Wosi di daerah pasar. Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 51 Tahun2004 menetapkan nilai ambang batas untuk kekeruhan untuk biota laut yaitu <5. Kisaran ini masih baik untuk daerah Rendani dan Pulau Lemon, sedangkan Wosi berada di luar ambang baku mutu ini.

4.2.7 Total Fosfat

Fosfat merupakan satu dari beberapa senyawa yang esential untuk pertumbuhan lamun, karena senyawa ini dibutuhkan dalam mensintesa protoplasma. Fosfat dalam perairan alami umumnya dalam bentuk ortofosfat dan polifosfat (Irawan 2003). Hasil analisis kandungan fosfat di kolom air di semua lokasi penelitian menunjukkan konsentrasi yang tinggi yaitu 0.22-0.62 mg/l. Konsentrasi ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan baku mutu biota air laut yang ditetapkan oleh Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0.015 mg/l. Keberadaan fosfat yang tinggi disamping limbah antropogenik juga karena ekosistem di lingkungannya (contohnya dari mangrove) yang berhubungan dengan adanya pelepasan senyawa dari matrik karbonat karena kandungan karbonat yang tinggi (Levaan 2008). Ini dapat dilihat pada ekosistem padang lamun Rendani dan Pulau Lemon, sedangkan limbah antropogenik ada pada lokasi Wosi.

4.2.8 Nitrat

Nitrat adalah pusat aktivitas mikroba yang melakukan dekomposisi bagian lamun yang mati (Moriarty & Boon 1989). Kandungan nitrat yang paling tinggi pada lokasi Wosi diduga disebabkan bahan organik yang masuk melalui sungai Wosi sehingga terjadi pengaruh antropogenik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung dan Rozak (1997) in Levaan (2008) bahwa peningkatan kandungan amoniak di laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah diurai. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa hasil reduksi nitrat dan nitrit oleh mikroorganisme itu disebabkan oleh degradasi bahan organik.

Konsentrasi nitrat pada semua lokasi yaitu 0.44-0.70 mg/l adalah sangat tinggi dibandingkan dengan baku mutu biota air laut sebesar 0.008 mg/l.

(7)

Tingginya konsentrasi nilai nitrat ini diduga telah terjadi eurotrifikasi pada lokasi penelitian tersebut.

4.2.9 Kedalaman Air

Kedalaman air mempengaruhi pertumbuhan lamun dan kelimpahan ikan.. Menurut Beer dan Waisel (1982) in Short et al. (2001) pada organisme lamun, kedalaman air tidak hanya mengurangi intensitas cahaya tetapi juga akan terjadi penambahan tekanan hydrostatik organisme lamun, contohnya Halodule uninervis yang akan menghasilkan terlalu banyaknya tekanan hydrostatik.

Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1985).

Hasil pengukuran kedalaman air dilakukan pada saat surut terendah, diukur dari ½ kedalaman saat berada pada ¼ surut (Burdick & Kendrick 2001). Hasil pengukuran dengan nilai kedalaman berkisar 42-59 cm (Lampiran 4). Sebagian besar jenis lamun pada kondisi kekeringan tidak bisa ditolerir untuk bertumbuh terutama pada zona intertidal. Ada sebagian kecil jenis lamun yang bertahan hidup di antara daun-daunnya saat surut terendah (Koch 2001). Syringodium isoetifolium (Bjork et

al. 1999) merupakan jenis yang tahan terhadap kekeringan dan bisa hidup di daerah itu.

4.3 Struktur Komunitas Lamun

4.3.1 Komposisi Jenis dan Sebaran Lamun

Jenis-jenis lamun yang di temukan dan di identifikasi selama penelitian sebanyak 8 jenis lamun yang termasuk dalam 2 suku yaitu Cymodocea (Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium) dan Hydrocharitaceae (Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides). Dari ke-8 jenis lamun tersebut yang jenis Enhalus acoroides di temukan di luar kuadran pada lokasi Wosi (Tabel 6). Sedikit berbeda

(8)

dengan penelitian sebelumnya ditemukan sama 8 jenis (Talakua 2007), 7 jenis (Levaan 2008) dan 6 jenis (Lahumeten 2009).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hamparan lamun yang ditemukan pada ketiga lokasi adalah tipe vegetasi campuran, dimana pada setiap kuadran terdapat lebih dari 2 jenis lamun. Keberadaan padang lamun dengan tipe campuran yang terdiri dari 8-11 spesies juga telah dilaporkan oleh Kiswara & Winardi (1994) di perairan Laut Flores, Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk. Tipe vegetasi ini juga bisa ditemukan beberapa tempat di perairan di Indonesia (Erftemeijer & Middelburg 1993; Nasution 2003b).

Tabel 6 Jenis dan sebaran jenis lamun pada lokasi penelitian

Suku Jenis

Lokasi Pulau

Lemon Rendani Wosi Cymodoceaeceae Cymodocea rotundata + + + Cymodocea serrulata + + + Halodule pinifolia + - + Syringodium isoetifolium - + - Hydrocharitaceae Halophila ovalis + + + Halodule uninervis + + + Thalassia hemprichii + + - Enhalus acoroides - - • Total 6 6 6

Keterangan : + = ditemukan di transek pengamatan - = tidak di temukan

• = ditemukan di luar transek pengamatan

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hemminga dan Duarte (2000) bahwa karakteristik padang lamun daerah tropis dan sub tropis Indo-Pasifik memiliki keanekaragaman yang tinggi dan bertipe vegetasi campuran (mixed vegetation).

4.3.2 Kerapatan, Frekuensi, Penutupan dan INP Spesies Lamun

Penyebaran lamun pada ketiga lokasi ini sangat beragam dimana pada lokasi Rendani yang paling banyak adalah Thallassia hemprichii dengan jumlah tegakan 313 – 882/m2. Pada lokasi Wosi didominansi oleh Halodule uninervis dengan jumlah

(9)

tegakan 1506 – 4770/m2. Sedangkan pada daerah pulau Lemon adalah Halodule pinifolia dengan jumlah tegakan 457 – 1555/m2

Dari 8 jenis lamun dan 7 yang diteliti terlihat bahwa Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis dan Halodule uninervis terdapat pada setiap lokasi penelitian. Hal ini berarti ke empat jenis lamun tersebut mampu hidup dan beradaptasi di 3 lokasi yang berbeda substratnya.

(Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah tegakan individu lamun

Jenis Lamun. Rendani

(m2 Wosi (m ) 2 P. Lemon (m ) 2) Thalassia hemprichii 1967 0 1399 Halophila ovalis 233 196 132 Halodule uninervis 844 8029 243 Cymodocea rotundata 1377 550 1246 Cymodocea serrulata 114 1473 1138 Halodule pinifolia 0 3493 2790 Syringodium isoetifolium 152 0 0

Nilai kerapatan jenis lamun yang tinggi sangat beragam pada ketiga lokasi seperti Thalassia hemprichii di Rendani yaitu 48.58 individu/m2, Halophila ovalis 57.78 individu/m2 dan Syringodium isoetifolium sebesar 39.12 individu/m2 yang terdapat di lokasi pulau Lemon (Gambar 7). Hal ini menggambarkan bahwa jenis ini memiliki kemampuan yang tinggi dari jenis lainnya dalam satu lokasi terhadap adaptasi dan kompetisi dalam lingkungan yang terganggu. Halophila ovalis mempunyai kerapatan yang tinggi karena hidup di lokasi Wosi yang bersubstrat lumpur. Short et al. (2001) mengatakan jenis ini bertumbuh pada intensitas cahaya yang kurang.

(10)

Gambar 7 Kerapatan jenis lamun pada setiap lokasi.

Dari ketiga lokasi untuk nilai frekuensinya hampir tersebar merata terlihat dengan nilai tertinggi masing-masing lokasi hampir berdekatan seperti Thalassia hemprichii di Rendani yaitu 17.08%, Halodule uninervis di Wosi yaitu 39.34% dan Cymodocea serrulata yaitu 18.22%. (Tabel 8). Untuk beberapa jenis yang rendah frekuensinya pada 2 lokasi diduga di sebakan jenis lamun tersebut kemampuan adaptasi pada daerah pecahan karang yang kurang.

Tabel 8 Frekuensi (%) jenis lamun

Jenis Rendani (%) Wosi (%) Lemon (%)

Thalassia hemprichii 17.08 0 16.03 Halophila ovalis 1.68 21.22 15.43 Halodule uninervis 6.16 39.34 8.52 Cymodocea rotundata 8.55 10.56 14.84 Cymodocea serrulata 0.80 18.74 18.22 Syringodium isoetifolium 1.80 0 9.49 Halodule pinifolia 0 10.14 0

Penutupan menggambarkan tingkat penaungan ruang oleh komunitas lamun. Penaungan ini sering dimanfaatkan oleh ekosistem yang hidup di lamun. Penutupan ini sangat penting untuk mengetahui kondisi ekositem serta sejauh mana komunitas lamun mampu memanfaatkan luasan yang ada. Menurut Erina (2006) nilai kerapatan jenis belum tentu menggambarkan tingkat penutupan suatu jenis

48,58 4,72 17,33 23,79 3,34 57,78 3,59 25,99 20,35 18,14 16,81 39,12 0,00 8,00 16,00 24,00 32,00 40,00 48,00 56,00 Th Ho Hu Cr Cs Si Hp Ke rap at an lam un (% ) Jenis lamun Rendani Wosi Lemon

(11)

karena nilai penutupannya selain dipengaruhi oleh kerapatan juga sangat erat kaitannya dengan tipe morfologi.

Penutupan total komunitas lamun pada ketiga lokasi penelitian relatif rendah dengan kisaran 0.49–24.65% dari keseluruhan areal yang potensial ditumbuhi lamun.

Tabel 9 Penutupan (%) jenis lamun

Jenis Rendani (%) Wosi (%) Lemon (%)

Thalassia hemprichii 24.65 0 8.14 Halophila ovalis 7.22 23.11 0.78 Halodule uninervis 8.76 0.49 1.45 Cymodocea rotundata 13.91 4.57 7.26 Cymodocea serrulata 2.80 1.44 6.72 Syringodium isoetifolium 2.67 0 0 Halodule pinifolia 0 10.40 15.65 Total 60 40 40

Penutupan tertinggi yaitu jenis Thalassia hemprichii sebesar 24.65% dan terendah yaitu halodule uninervis sebesar 0.49 % yang terdapat pada lokasi Wosi (Tabel 9). Lamun jenis T. hemprichii penutupannya lebih tinggi karena pada lokasi Rendani kondisi substrat yang berpasir dan pecahan karang yang membuat proses flushing atau pencucian pantai berlangsung baik sehingga proses sedimentasi berlangsung lambat. Kondisi substrat seperti ini sangat cocok untuk kehidupan jenis lamun Thalassia (den Hartog 1970). Hal ini juga dengan ukuran daun dan rhizome yang kuat sehingga apabila terjadi hempasan ombak tidak meyebabkan kerusakan daun dan patahnya rhizome. Sedangkan H. uninervis terendah di karenakan jenis ini hanya berada pada daerah genangan air. Bjork et al. (1990) mengatakan bahwa H. uninervis tidak tahan terhadap kekeringan dan ditemukan pada kolam-kolam dangkal genangan air di daerah rataan terumbu. Selain itu, Terrados et al. (1999) mengatakan bahwa kalau H. uninervis relatif peka terhadap gangguan (kekeruhan dan penutupan sedimen).

Total penutupan di 3 lokasi yang paling besar pada lokasi Rendani dengan tutupan 60%, diikuti oleh Wosi dan pulau Lemon yang masing-masing 40%. Nilai tutupan pada lokasi Rendani masuk dalam status padang lamun dengan kondisi baik, sedangkan lokasi Wosi dan pulau Lemon adalah kurang kaya/kurang sehat (Kepmen Negara dan Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004).

(12)

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan besaran yang digunakan untuk menghitung dan menduga peranan suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Hasil INP dipengaruhi oleh nilai relatif dari kerapatan, frekuensi dan penutupan jenis lamun. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies terhadap spesies lamun yang lain, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitas tersebut. Nilai INP ini tergantung pada struktur nilai relatif kerapatan, frekuensi dan penutupan jenis lamun yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Nilai INP tertinggi di setiap lokasi adalah beragam dimana T. hemprichii paling tinggi di lokasi Rendani dengan nilai 55.70 H. ovalis mendominasi di lokasi Wosi dengan nilai INP 40.15 dan C. serrulata pada lokasi pulau Lemon dengan nilai 18.46 (Gambar 8). Nilai INP yang tinggi berhubungan dengan kemampuan jenis lamun untuk beradaptasi terhadap fluktuasi kondisi perairan dan tipe substrat.

Gambar 8 Nilai INP jenis lamun disetiap lokasi.

Vermat et al. 1995 mengemukakan, walaupun T. hemprichii dan C. serrulata relatif peka terhadap gangguan namun jika ditemukan dalam perairan yang jernih dan jauh dari gangguan (Rendani dan pulau Lemon) maka akan bertumbuh baik. Hal ini juga dikemukakan oleh Phillips dan Menez (1988) bahwa T. hemprichii dominan di daerah substrat yang berpasir dan pecahan karang yang bersih.

55,70 22,11 26,37 40,15 21,59 18,46 10,04 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 Th Ho Hu Cr Cs Si Hp N ila i I N P Jenis Lamun Rendani Wosi Lemon

(13)

4.3.3 Biomassa Lamun

Pengamatan biomassa lamun dibagi atas tiga bagian, yaitu biomassa akar, batang dan daun. Hasil pengamatan biomassa berat basah dan berat kering tersaji dalam Tabel 10. Dari hasil pengamatan terlihat untuk berat basah pada 3 lokasi masih didominasi oleh berat daun yaitu dengan rata-rata 560.87 gbb/m2 di Rendani, 340.98 gbb/m2 di Wosi dan 540.08 gbb/m2

Biomassa dan produksi dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al. 1987). Selain itu juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air, kedalaman (Zieman 1987), panjang hari, suhu dan angin (Mellor et al. 1993). Fortes (1990) menambahkan bahwa besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan. Biomassa batang juga relatif lebih berat karena batang/rizoma merupakan gudang penyimpanan hasil fotosintesis dan unsur hara, serta dapat digunakan kembali untuk regenerasi bagian yang putus atau mati.

di pulau Lemon. Ini menunjukkan distribusi hasil fotosintesis lebih banyak disimpan dalam daun. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biomassa lamun di bawah substrat lebih besar dibanding di atas substrat. Namun sebaliknya, produksi lamun di atas substrat lebih besar dibanding di bawah substrat (Brouns 1985). Nilai ini disebabkan oleh adanya variasi cahaya, kedalaman, nutrien tipe sedimen, struktur komunitas mikroba, turbulensi/pengadukan dalam air, suhu air, dan spesies lamun (Fonseca et al. 1990; Pollard & Greenway 1993).

Biomassa berat basah dan berat kering dari 3 lokasi yang terendah ada pada lokasi Wosi, berbeda dengan dua lokasi Rendani dan Pulau Lemon yang nilai biomassanya relatif sama. Pada lokasi Wosi biomassanya relatif lebih rendah dikarenakan lokasi yang bersubstrat lumpur. Keadaan ini terkait dengan kekeruhan yang yang mempengaruhi intensitas cahaya. Daerah Wosi ini juga merupakan daerah yang landai sehingga kedalaman perairan rendah, memungkinkan intensitas cahaya relatif tinggi sehingga menyebabkan lamun kurang berfotosintesis secara optimal yang mengakibatkan biomassanya rendah.

(14)

Menurut Erftemeijer (1993) mengatakan cahaya cenderung menghambat pertumbuhan lamun jika intensitasnya begitu tinggi pada siang hari.

Tabel 10 Biomassa lamun dalam berat basah dan berat kering

Lokasi Berat Basah (gbb/m2) Berat Kering (gbk/m2) Akar Batang Daun Akar Batang Daun

Rendani 308.84 402.11 560.87 103.98 121.81 152.14

Wosi 204.46 260.52 340.98 72.06 90.39 107.30

P. Lemon 303.84 438.94 540.08 109.72 120.14 158.50

Total 817.14 1101.57 1441.93 285.76 332.34 417.94

Sementara untuk berat kering masih di dominansi oleh berat kering daun yaitu 152 gbk/m2 di Rendani, 107.30 gbk/m2 di Wosi dan 158.50 gbk/m2 (Tabel 10) Variasi biomassa dari lokasi penelitian berkaitan erat dengan dengan tipe sedimen dan unsur haranya. Umumnya lamun menyukai tipe substrat karbonat seperti ada pecahan karang. Di lokasi Wosi terlihat rendah karena tipe substrat berupa lumpur. Berat kering juga masih dipengaruhi oleh nutrien yang diserap seperti nitrat dan fosfat.

Kalau melihat hasil selisih biomassa pada Gambar 12 pada tiga lokasi terlihat hasilnya hampir sama dan merata. Untuk selisih biomassa lamun tidaklah terlalu berbeda jauh nilainya seperti akar (22-25%), batang (32-35%) dan daun (43-45%), ini disebabkan karena masing-masing mengambil nutrien dari laut dan darat yang sama, ini disebabkan karena masing-masing mengambil nutrien dari laut dan darat yang sama. Daun dengan fotosintesis mendapatkan nutrien, juga melakukan respirasi dalam air yaitu dengan mengambil karbon organik yang larut dalm air. Rizoma dan akar juga mengambil karbon organik yang larut dalam air dan menyimpan nutrien dari dalam substrat. Hal ini terbukt i dalam Gambar 9.

(15)

Keterangan : (a) Rendani, (b) Wosi, (c) P. Lemon).

4.3.4 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) Jenis Lamun

Indeks keanekaragaman suatu komunitas dapat menggambarkan kelimpahan dan kestabilan spesies pada suatu lokasi. Nilai indeks keanekaragaman berkaitan dengan jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang diperoleh. Nilai keseragaman menunjukkan keseimbangan populasi besar. Sedangkan nilai dominansi merupakan nilai ada tidaknya spesies yang mendominasi dalam suatu komunitas. Identifikasi dan analisis jumlah individu lamun masing-masing tersaji dalam Tabel 11.

Nilai indeks keanekaragaman tertinggi berada pada dua lokasi yaitu Rendani yaitu 2.17 dan Pulau Lemon 2.14. Pada lokasi Wosi yaitu 1.49. dengan mengikuti kriteria Magurran (2004) maka nilai keanekaragaman masuk dalam kategori keanekaragaman sedang, sedangkan pada Lokasi Wosi masih dalam nilai keanekaragaman rendah. Nilai indeks ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu 0.644 (Levaan 2008) dan 1.252 (Lahumeten 2009). Ini menggambarkan adanya perbaikan pertumbuhan lamun dari waktu ke waktu.

Tabel 11 Nilai keanekaragaman (H’), keseragaman(E) dan dominansi (Cd) lamun Lokasi H’ E Cd

Rendani 2.17 0.84 0.30

Wosi 1.49 0.64 0.42

P. Lemon 2.14 0.83 0.26

Seperti yang tersaji pada Tabel 11, nilai keseragaman pada ke-3 lokasi masuk dalam nilai keseragaman besar mendekati 1. Ini berarti pada ke 3 lokasi tersebut

Gambar 9 Prosentase selisihbiomassa Akar 23% Batang 32% Daun 45% (a) Akar 25% Batang 32% Daun 43% (b) Akar 22% Batang 35% Daun 43% (c)

(16)

ekosistemnya dalam kondisi relatif stabil. Nilai dominansi pada ke 3 lokasi menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu Rendani 0.30, Wosi 0.42 dan Pulau Lemon 0.26. Ini menggambarkan kalau tidak terdapat jenis tertentu yang melimpah (mendominasi) dari jenis yang lain pada ke-3 lokasi tersebut. Nilai-nilai tersebut mendekati 0 yang mengindikasikan tidak terjadi dominansi spesies dalam suatu komunitas.

4.4 Struktur Komunitas Ikan 4.4.1 Komposisi Jenis

Jumlah total ikan yang ditangkap selama penelitian berjumlah 596 individu ikan dari 33 spesies dan 19 famili pada luasan tangkapan 5000 m2

Berdasarkan jumlah spesies yang paling banyak adalah famili Apogonidae, Atherinidae, Leiognathidae, Mullidae dan Sphyraenidae yang masing-masing memiliki 3 spesies; diikuti famili Lethrinidae, Ostraciidae dan Tetraodontidae yang masing-masing memiliki 2 spesies. Jenis ikan yang termasuk dalam kelompok ikan target atau ikan ekonomis ada 4 famili yaitu Acanthuridae, Lethrinidae, Mullidae dan Siganidae, sedangkan untuk jenis ikan lain (ikan yang dijadikan ikan hias air laut) ada 1 famili yaitu Apogonidae.

. Komposisi dan jumlah spesies ikan pada lampiran 5, menunjukkan Apogonidae merupakan famili paling banyak ditemukannya jumlah individu yaitu di Rendani dengan 3 jenis (Apogon guamensis Valenciennes, Fowleria punctata Tesch dan Siphamia species Weber) dengan jumlah 114 individu ikan dan Pulau Lemon 1 jenis (Apogon guamensis Valenciennes) dari 166 individu ikan. Pada lokasi Wosi yang paling banyak adalah famili Atherinidae yaitu Atherinomorus duodecimalis Valenciennes dengan jumlah 151 individu ikan.

Kelimpahan ikan paling banyak adalah pada lokasi Rendani malam yaitu 188 individu ikan. Ini diduga adalah ikan yang menyenangi lamun dan mencari makan di padang lamun yang yang kerapatan dan tutupan yang paling tinggi, sedangkan pada siang hari tangkapanya sedikit yaitu 53 individu ikan dikarenakan hampir setiap hari ada beberapa masyarakat nelayan melakukan penangkapan dengan menggunakan jala lempar dan memancing. Berbeda dengan lokasi Wosi dan pulau Lemon yang jumlah tangkapan siang lebih banyak dari tangkapan malam.

(17)

Jika dilihat dari kelimpahan famili ikan yang paling banyak adalah pada lokasi Rendani yaitu 10 famili pada siang hari dan 9 famili pada malam hari. Ini disebabkan oleh lokasi Rendani yang merupakan lokasi yang kompleks dimana terdiri akan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Menurut Smith et al. (2008), kelimpahan ikan sering terjadi karena terdapat suatu komunitas yang kompleks yang terdiri akan terumbu karang, lamun, dan mangrove. Berbeda dengan lokasi Wosi yang bersubstrat lumpur dan pulau Lemon yang terdapat sedikit terumbu karang.

Gambar 10 Kelimpahan famili ikan hasil penelitian.

Dari Gambar 10 juga menggambarkan 13 famili dan kelompok famili lain (Faml) (Lampiran 6). Untuk famili Apogonidae (Apo) paling banyak di temukan pada lokasi Pulau Lemon. Menurut Myers (1991) famili ini mendiami daerah yang dangkal 1-5 m. Sementara menurut Vivien (1975) in Marnane dan Belwood (2002), walaupun famili Apogonidae merupakan ikan malam (nokturnalnekton) namun pada siang hari famili ini mencari mangsa di padang lamun. Sejumlah penelitian juga mengatakan pola distribusi Apoginidae terjadi pada siang hari (sebagai contoh Vivien 1975; Dale, 1978; Greenfield & Johnson 1960; Finn & Kingsford 1996 in Marnane & Belwood 2002). Untuk famili Atherinidae (Ath) adalah yang paling banyak ditemukan terlebih khusus di Lokasi Wosi. Menurut Takemura et al.

114 35 39 14 6 151 13 7 166 7 2 1 21 41 61 81 101 121 141 161

Apo Ath Sig Hem Chan Faml

Jum la h i ndi vi du/ m 2 Famili ikan Rendani Wosi P.Lemon

(18)

(2004) famili Atherinidae khususnya spesies Atherinomorus guamensis merupakan spesies yang mendiami daerah air payau, di daerah yang dangkal dan sering bergerombol (schooling). Melihat karakteristik habitat ikan ini, maka lokasi Wosi masuk dalam semua kriteria ini. Tangkapan banyak diduga ditangkap saat ikan-ikan bergerombol. Dibandingkan dengan penelitian asosiasi ikan di padang lamun, jumlah spesies yang ditemukan selama penelitian di Manokwari termasuk sedikit, akan tetapi ditinjau dari famili yang tertangkap termasuk banyak (Supratomo 2000) (Tabel 12).

Tabel 12 Jenis dan famili ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di berbagai lokasi penelitian (Supratomo 2000)

Lokasi Jenis Famili Peneliti

Pulau Osi dan Marsegu 207 52 Peristiwady 1994

Pantai Selatan Lombok 85 47 Hutomo dan Parino 1994

Selat Malaka 49 29 Erfteimejer dan Allen 1993

Manokwari 33 19 Penelitian sekarang

Aow Khung Krabanc, Thailand 21 18 Sudara etal. 1992

Teluk Baguala 61 10 Radjab etal. 1991

Peninsular, Malaysia 15 9 Rajuddin 1992

Ukuran ikan yang tertangkap rata-rata berukuran juvenile (Lampiran 7). Seperti yang tersaji dalam gambar 11a (ikan tangkapan siang) dan 11b (ikan tangkapan malam), tangkapan siang yang paling besar adalah stadia juvenil yaitu 65% diikuti oleh stadi pra-dewasa yaitu 20% dan stadia dewasa yaitu 15%. Untuk tangkapan malam yang paling banyak juga yaitu stadia juvenil yaitu 44% diikuti stadia dewasa yaitu 30% dan pra-dewasa yaitu 26%.

65% 20% 15% Juvenil Pra-dewasa Dewasa 44% 26% 30% Juvenil Pra-dewasa Dewasa (a) (b)

Gambar 11 Prosentase spesies ikan berdasarkan ukuran panjang total ikan. Keterangan (a). Ikan tangkapan siang

(19)

Dari hasil gambar dapat disimpulkan fungsi padang lamun selama waktu penelitian menjadi fungsi sebagai area asuhan (nursery ground) karena dilihat dari hasil tangkapan yang paling banyak masih dalam stadia juvenil untuk tangkapan siang dan tangkapan malam. Untuk pra-dewasa dan dewasa berbeda nilai prosentase pada tangkapan siang dan malam karena diduga berhubungan dengan ikan-ikan diurnal dan nokturnal pada saat pra-dewasa dan dewasa dalam hal mencari makan dan memijah.

4.4.2 Frekuensi, Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (Cd) Nilai frekuensi keterdapatan ikan pada semua lokasi penelitian memiliki nilai yang beragam. Nilai paling tinggi terdapat pada lokasi Rendani Malam dengan nilai 0.39. Hal ini menggambarkan kalau lokasi Rendani paling di gemari ikan untuk hidup dan tinggal karena lokasinya yang kompleks terdiri atas terumbu karang, lamun, dan mangrove (Tabel 14).

Indeks keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah individu setiap jenis ikan dan total individu seluruh jenis ikan. Nilai Indeks keanekaragaman yang paling tinggi yaitu pada Lokasi Rendani siang hari. Walaupun dari hasil jumlah ikan sedikit tapi lokasi Rendani tangkapan siang hari keanekaragamannya tinggi yaitu 2.65 sehingga masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis tinggi. Terlihat pada daerah ini lokasinya sangat kompleks yang disenangi ikan, sedangkan lokasi Wosi dan pulau lemon masuk dalam kriteria keanekaragaman jenis sedang dan rendah.

Tabel 13 Kelimpahan, jumlah famili, frekuensi keterdapatan, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan dominansi (Cd)

Index

Rendani Wosi Pulau Lemon

Siang Malam Siang Malam Siang Malam

Kelimpahan ikan 53 188 160 15 176 4 Jumlah famili 10 9 4 6 4 3 Frekuensi Kerterdapatan 0.33 0.39 0.18 0.18 0.12 0.12 H' 2.65 1.82 0.50 1.63 0.38 1.81 E' 0.76 0.47 0.18 0.70 0.19 0.91 Cd 0.20 0.46 0.87 0.41 0.89 0.28

(20)

Indeks keseragaman atau regularitas menggambarkan struktur penyebaran spesies yang merata atau tidak merata. Hasil nilai indeks keseragaman juga bervariasi pada siang dan malam hari untuk setiap lokasi. Rendani pada siang hari 0.76 mendekati nilai 1 dengan kriteria keseragamannya besar, berbeda dengan siang hari yang memiliki keseragaman sedang. Lokasi Wosi memiliki nilai keseragaman mendekati 1 pada malam hari yaitu 0.70 berbeda dengan siang hari yang masuk dalam kriteria keseragaman kecil. Pulau Lemon masuk dalam kriteria keseragaman besar untuk malam hari dengan nilai 0.91 dibanding siang hari 0.19 yaitu keseragaman kecil.

Lokasi Wosi dan pulau Lemon walaupun memiliki nilai indeks keanekaragaman relatif kecil dibanding lokasi Rendani, tetapi memiliki nilai dominansi yang tinggi yaitu 0.87 dan 0.89. Nilai dominansi ini mengartikan ada salah satu yang mendominansi. Untuk lokasi Wosi siang spesies yang mendominansi yaitu Atherinomorus duodecimalis sedangkan lokasi Pulau Lemon siang yaitu Apogon guamensis. Jika mengikut i kriteria Magguran (2004) lokasi Wosi siang dan Pulau Lemon siang masuk dalam kriteria dominasi tinggi, sedangkan lokasi yang lain masuk dalam kriteria dominansi rendah.

4.4.3 Kebiasaan Makanan Ikan

Menurut Effendie (1979) metode perhitungan kebiasaan makananan dapat juga dilakukan dengan metode perkiraan tumpukan dengan persen. Untuk sampel ikan yang diamati dilakukan perwakilan dari beberapa lokasi seperti lokasi Rendani malam dan Lemon siang (Atherinomorus lacunosus, Fowleria punctata dan Apogon guamensis), sedangkan Rendani siang dan Wosi malam (Atherinomorus duodecimalis). Setiap sampel spesies ikan di ambil 5 ekor. Tujuannya adalah mengetahui makanan ikan dengan asumsi ikan-ikan di lamun salah satu aktivitasnya mencari makan.

(21)

Gambar 12 Prosentase makanan ikan di beberapa lokasi.

Dari Gambar 12 diketahui dari keseluruhan isi perut ikan-ikan di beberapa lokasi yang paling banyak dimakan yaitu jenis ikan yaitu 65%, diikuti krustacea 16%, polychaeta 8%, detritus 5% dan insekta serta tumbuhan yang masing-masing 3%. Seperti yang terlihat pada Gambar 13, tertangkap salah satu jenis Leiognathidae sedang memakan fraksi ikan. Hasil ini memperkuat dugaan jika padang lamun berfungsi sebagai area mencari makan (feeding ground).

Gambar 13 Spesies Secutor rucorius yang memakan fraksi ikan.

4.5 Distribusi Spasial Antara Lokasi Penelitian Dengan Beberapa Variabel Pengamatan Penelitian

Berdasarkan hasil korelasi variable fisika-kimia perairan (pH, suhu, salinitas, kekeruhan, DO, kecepatan arus, kedalaman, nitrat, fosfat) ikan target, ikan mayor dan stadia berdasarkan ukuran, famili ikan berdasarkan jumlah ikan, selisih biomassa dan prosentase tutupan lamun (Lampiran 8) di masing-masing lokasi penelitian menunjukan adanya penyebaran informasi pada setiap lokasi pengamatan. yang

65% 5% 16% 3% 8% 3% ikan Detritus crustacea fraksi tumbuhan polychaeta Insecta

(22)

masing-masing memberikan kontribusi dari ragam total yaitu : F1 sebesar 70.18%, F2 sebesar 8.91% (Lampiran 8).

Untuk lokasi Lemon siang dan Lemon malam dicirikan dengan nitrat. Lokasi Rendani siang dan malam dicirikan dengan kedalaman dan oksigen terlarut, sedangkan Wosi siang dan Wosi malam dicirikan dengan fosfat dan kekeruhan (Gambar 14).

Keterkaitan pada penggolongan ikan target dan ikan lain (ikan mayor) berada pada lokasi Rendani siang dan Rendani malam. Ini menunjukkan ada kesamaan nilai dalam hal jumlah individu pada setiap golongan ikan.

Pada Gambar 14 menjelaskan juga keterkaitan dengan famili ikan lokasi Lemon siang dan Lemon malam dicirikan dengan famili ikan Acanthuridae dan Apogonidae, lokasi Rendani malam dan Rendani siang dicirikan dengan Holocentridae, Mullidae, Ostraciidae, Belonidae, Hemirhamphidae, Gobidae, Centriscidae, Carangidae, Siganidae, Tetraodontidae, Lethrinidae, Sphyraenidae dan famili yang tidak teridentifikasi, sedangkan untuk Wosi malam dan Wosi siang dicirikan dengan Scombridae, Leiognathidae, Chandidae dan Atherinidae.

Penggolongan stadia berdasarkan panjang total ikan lokasi Pulau Lemon siang dan Pulau Lemon malam dicirikan dengan stadia pra-dewasa. Pada lokasi Rendani siang dan Rendani malam dicirikan dengan stadia dewasa dan stadia juvenil pada lokasi Wosi siang.

Selisih biomassa lamun untuk batang, daun dan akar berada dalam lokasi Rendani siang dan Rendani malam. Keterkaitan dengan prosentase penutupan lamun yaitu pada lokasi Lemon siang dan malam dicirikan dengan H. ovalis. Lokasi Rendani malam dan Rendani siang dicirikan dengan S. isoetifolium, C. rotundata dan H. uninervis T. hemprichii yang tinggi, sedangkan untuk Wosi malam dicirikan dengan C. serrulata, H. pinifolia yang rendah.

(23)

pH DO Temp Ka Sal Dep Tur P Ni IkT IkL Juv preD De Aca Apo Ath Bel Car Cen Cha Gob Hem Hol Leio Let Mul Ost Sco Sig Sph Tet Tt ak btg dn Th Ho Hu Cr Cs Si Hp -1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 -1 -0,75 -0,5 -0,25 0 0,25 0,5 0,75 1 F3 ( 8. 91 % ) F1 (70.18 %) Wosi malam Rendani siang Rendani malam Lemon malam Lemon siang

Fig. 14 Spatial distribution between the location of the research study with the observed variables using Principal Component Analysis (PCA)

Biplot (axes F1 and F2: 79.09 %)

(24)

Karakter pengelompokan beberapa variabel pengamatan ini menunjukkan rendahnya famili Atherinidae dan Leiognathidae pada lokasi Wosi siang dan Wosi malam seiring dengan menurunnya nilai kekeruhan, pH dan salinitas. Begitu juga dengan lokasi Rendani siang dan Rendani malam yaitu Holocentridae, Mullidae, Ostraciidae, Belonidae, Hemiramphidae, Gobiidae, Centriscidae, Carangidae, Siganidae, Tetraodontidae, Lethrinidae, Sphyraenidae dan famili yang tidak teridentifikasi yang rendah diikuti oleh Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium yang tinggi namun rendah pada Halophila ovalis.

4.6 Keterkaitan Antara Padang Lamun Dengan Jumlah Famili Ikan

Hasil regresi sederhana ditunjukan dalam Gambar 16 menunjukan bahwa kepadatan ikan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap tutupan lamun dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.999. Pada hasil Gambar 16 membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara dua variabel tersebut.

Gambar 15 Hubungan antara kelimpahan ikan dengan tutupan lamun.

y = 1,922x + 5,439

R² = 0,999

0 50 100 150 200 250 300 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 Jum la h i ka n (I ndi vi du)

(25)

Hasil analisis sidik ragam menggambarkan jika nilai F hitung lebih besar dari Ftabel yaitu tolak H0

4.7 Implikasi Pengelolaan

atau berbeda nyata, artinya ada hubungan antar jumlah individu ikan dengan cover tutupan lamun (Lampiran 10). Ini juga terbukti dengan adanya prosentase tutupan yang tinggi pada lokasi Rendani dengan ikan yang melimpah.

Agar pemanfaatan sumberdaya alam di perairan pesisir Manokwari tetap berkelanjutan (suistanable) maka direkomendasikan perlu dilakukan peraturan daerah untuk tidak melakukan penangkapan jenis ikan seperti famili Apogonidae pada lokasi Rendani dan Pulau Lemon di siang hari mengingat spesies ini merupakan spesies ikan hias yang terancam dan dikuatirkan jika berkurang atau punah akan terjadi pemutusan mata rantai beberapa spesies pada lokasi tersebut. Untuk famili Atherinidae pada lokasi Wosi perlu dilakukan konservasi mengingat famili ikan tersebut membuat suatu ekosistem padang lamun menjadi subur pada lokasi tersebut. Sedangkan untuk perlindungan lamun perlu dilakukan desain kawasan konservasi lamun karena banyaknya biota yang berasosiasi dengan lamun

Alternatif pengelolaan adalah; (1) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam bentuk penyuluhan tentang peranan padang lamun dalam rangka pengelolaan pesisir pantai Manokwari; (2) rehabilitasi lamun; (3) pelarangan pengrusakan lamun pada saat menangkap ikan; (4) melibatkan stakeholder; dan (6) efektivitas pengawasan.

Gambar

Tabel 5  Hasil rerata pengukuran parameter fisika-kimia di perairan Manokwari  dibandingkan dengan baku mutu air laut Kepmen Negara dan  Lingkungan  Hidup  No 51 Tahun 2004
Tabel 6   Jenis dan sebaran jenis lamun pada lokasi penelitian
Tabel  7  Jumlah tegakan individu lamun  Jenis Lamun.   Rendani
Gambar 7   Kerapatan jenis lamun pada setiap lokasi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

aplikasi yang pertama yaitu program hitung luas lahan, dimana aplikasi ini ada pada mobile yang berfungsi untuk menghitung luas lahan pertanian dengan menggunakan

11) informasi tentang sanksi administratif yang dikenakan kepada Emiten atau Perusahaan Publik, anggota Dewan Komisaris dan Direksi, oleh otoritas Pasar Modal dan otoritas

Kegiatan selanjutnya Guru Peneliti memberitahukan kepada peserta didik tentang materi yang akan disampaikan yaitu menghitung luas permukaan kubus dan balok

Fisioterapis dapat membantu pasien stroke dalam rangka penyembuhan, seperti meningkatkan keseimbangan berjalan, mengurangi spasme (ketegangan) otot, mengurangi resiko

[r]

Nilai fata-rata faktor beban pencemar limbah cair batik yang tercantum pada Tabel 3 merupakan nilai umum yang dapat digunakan untuk mengestimasi secara kasar

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka peneliti tertarik untuk memperoleh informasi lebih jauh dan mendalam mengenai bagaimana pengaruh penerapan

Subyek yang mengalami kambuh/gagal pengobatan saat kunjungan ulang diberikan pengobatan dengan artesunat-amodiakuin (10 mg amodiakuin per kg dan 4 mg artesunat per kg) atau