• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELIMPAHAN MEIOFAUNA DI KAWASAN MANGROVE DESA BASILAM BARU DUMAI, PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KELIMPAHAN MEIOFAUNA DI KAWASAN MANGROVE DESA BASILAM BARU DUMAI, PROVINSI RIAU"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

KELIMPAHAN MEIOFAUNA DI KAWASAN MANGROVE DESA BASILAM BARU DUMAI, PROVINSI RIAU

Elfi Neri1, Radith Mahatma2, Khairijon2 1

Mahasiswa Program Studi S1 Biologi 2

Dosen Jurusan Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia

e-mail : elfi_neri@yahoo.com

ABSTRACT

The information of meiofauna abundance from Indonesia mangrove is still scarce. This research aimed to know the abundance of meiofauna from mangrove area in Basilam Baru village. Samples were collected using corer from sediment that dominated four different mangrove vegetations i.e. Rhizopora apiculata, Xylocarpus granatum, sonneratia alba and Avicennia alba. A total of 4144 meiofauna which consisted of Copepoda, Nematoda, Nemertina, Olygochaeta, Ostracoda, Polichaeta and Thermosbaenacea were found in this study. The total of meiofauna abundance that found in mangrove area of Basilam Baru village was 682,03 ind/10cm2. The average abundance of meiofauna within the four different mangrove vegetations was significantly different (P<0,05). The most dominant meiofauna was Nematode followed by Copepode. The highest abundance of meiofauna was found around Avicennia alba and the lowest abundance was found around Xylocarpus granatum.

Key words : Abundance, mangrove, meiofauna. ABSTRAK

Informasi mengenai kelimpahan meiofauna pada kawasan mangrove yang ada di Indonesia masih sangat jarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru. Sampel diambil menggunakan corer dari sedimen yang didominasi oleh empat vegetasi mangrove yang berbeda yaitu Rhizopora apiculata, Xylocarpus granatum, sonneratia alba dan Avicennia alba. Dalam penelitian ini ditemukan 4144 individu meiofauna yang terdiri dari taksa Copepoda, Nematoda, Nemertina, oligochaeta, Ostracoda, Polichaeta dan Thermosbaenacea. Total kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru adalah 682,03 ind/10cm2. Kelimpahan rata-rata meiofauna antara vegetasi mangrove berbeda nyata (P<0,05). Kelimpahan meiofauna yang paling dominan adalah taksa Nematoda dan copepoda. Kelimpahan meiofauna tertinggi pada vegetasi Avicennia alba dan kelimpahan meiofauna terendah pada vegetasi Xylocarpus granatum.

(2)

2

PENDAHULUAN

Meiofauna adalah kelompok fauna bentik yang berukuran antara 63-1000 µm (0,063-1mm) (Bouwman 1987). Organisme ini merupakan hewan multiseluler yang hidup pada perairan tawar, payau dan laut yang hidup dalam ruang antara partikel sedimen atau yang disebut dengan ruang interstisial (Higgins dan Thiel 1988). Meiofauna ini merupakan salah satu komponen penting dalam suatu perairan (Metcalfe 2005) yang berperan dalam produktifitas primer, siklus nutrien dan proses metabolisme (Carman et al. 1996, 1997, 2000; Manini et al. 2000; Pinckney et al. 2003 cit Metcalfe 2005). Keberadaan meiofauna sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang terjadi di suatu perairan, sehingga organisme ini dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran perairan (Noortiningsih et al. 2008).

Kawasan pesisir pantai Dumai khususnya pantai Basilam Baru merupakan bagian dari Selat Rupat yang rentan terhadap pencemaran minyak, karena merupakan jalur transportasi yang strategis. Kawasan ini juga berhubungan langsung dengan kawasan industri Migas yang melakukan aktifitas penyimpanan, pengolahan dan distribusi pasokan minyak ke berbagai daerah di Sumatera melalui angkutan kapal (Nedi et al. 2010). Aktivitas ini memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan dan keanekaragaman biota yang hidup di dalamnya. Salah satunya keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna.

Sebagian besar kawasan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan. Demikian juga dengan mangrove di Riau. Semakin meningkatnya aktivitas masyarakat pesisir dan tingginya tingkat degradasi menyebabkan sejumlah daerah di Provinsi Riau mengalami abrasi. Oleh karena itu informasi keanekaragaman hayati mangrove penting untuk diperhatikan. Telah banyak dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman hayati di ekosistem mangrove namun penelitian mengenai fauna bentik berukuran kecil (mikroskopis) seperti meiofauna masih jarang dilakukan. Sehingga penelitian mengenai meiofauna di kawasan mangrove penting untuk dikaji mengingat besarnya peranan meiofauna di ekosistem ini dan mengetahui informasi terkait ekosistem mangrove

Informasi mengenai keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove desa Basilam Baru Kecamatan Sungai Sembilan kota Dumai Propinsi Riau belum pernah dilaporkan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna di kawasan tersebut.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Sampling dilakukan pada bulan Februari 2012 di empat vegetasi mangrove Desa Basilam Baru, Dumai yaitu Rhizopora apiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia alba dan Avicennia alba. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan UR. Identifikasi Copepoda dilakukan di Laboratorium Crustacea Departemen

(3)

3

Zoologi LIPI Cibinong. Analisis faktor fisika kimia perairan yaitu salinita, suhu dan fraksi sedimen dilakukan in situ dan ex situ.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah corer yang terbuat dari paralon-PVC dengan diameter 4,4 cm dan panjang 30 cm, saringan logam bertingkat yang berukuran 1,70 mm, 355 µm dan 0,45 mm untuk memisahkan meiofauna dengan sedimen dan substrat, toples untuk menyimpan sampel, mikroskop binokuler dan botol koleksi. Sedangkan bahan yang diperlukan adalah aquades, formalin 10% untuk pengawetan sampel meiofauna yang masih bercampur dengan substrat, alkohol 70 % untuk pengawetan meiofauna yang sudah dipisahkan dari substrat dan rose bengal 1% untuk mempermudah pensortiran meiofauna dengan substrat.

Prosedur Penelitian

Sampling meiofauna dilakukan menggunakan corer yang ditancapkan ke dalam sedimen sedalam 10 cm (Nybakken and Bartness 2005). Substrat meiofauna dimasukkan ke dalam toples dan diawetkan dengan formalin 10%, kemudian sampel dibawa ke laboratorium. Meiofauna dipisahkan dari substrat dengan saringan bertingkat dan penyiraman air mengalir dengan saringan yang berukuran 1,70 mm, 355 µm, sisa yang melalui saringan ditampung kemudian disaring lagi dengan saringan yang berukuran 0,45 mm, setelah itu meiofauna diwarnai dengan Rose Bengal 1%, selanjutnya disortir dalam kelompok mayor taksa dan kemudian disimpan dalam alkohol 70 %.

Identifikasi Meiofauna

Identifikasi meiofauna berpedoman pada buku 1) Introduction To The Study of Meiofauna (Higgins and Thiel 1988); 2) Meiobenthology (Giere et al. 2008); 3) An Illustrated Guide To fresh water Zooplankton In Japan; 4) Illustrated fauna of The Freshwater Harpacticoid Copepods of Japan (Ishida dan Kikuchi 2000); 5) Monographie der Harpacticoiden I (K.Lang 1948); Monographie der Harpacticoiden II (K.Lang 1948); 6) Marine and Brackish Water Harpacticoid Copepode part I & II (Huys et al 1996); 7). An Introduction to copepode diversity to copepode diversity (Boxshall and Halsey 2004). Analisis Data

Kelimpahan Meiofauna

Kelimpahan meiofauna dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan luas (ind/m2) dengan perhitungan sebagai berikut:

Dimana :

D = Kelimpahan meiofauna (individu/10cm²) a = Jumlah meiofauna yang dihitung (individu)

b = Luas lingkaran corer (cm²)

Kelimpahan meiofauna diuji dengan One-Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) menggunakan program Minitab.

(4)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan meiofauna

Meiofauna yang ditemukan pada penelitian di kawasan mangrove Desa Basilam Baru berjumlah 4144 individu yang terdiri dari 7 taksa yaitu taksa Copepoda, Nematoda, Oligochaeta, Ostracoda, Nemertina, Polychaeta dan Thermosbaenacea. Kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru di dominasi oleh Nematoda 613,89 ind/10cm2 dan Copepoda 34,07 ind/10cm2 (Gambar 1).

Gambar 1. Komposisi total meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru (Taksa lain = Ostracoda, Nemertina, Polychaeta dan Thermosbaenacae).

Tingginya tingkat kehadiran Nematoda bila dibandingkan dengan taksa lainnya disebabkan oleh beberapa hal yang menjelaskan bahwa Nematoda memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi substrat lumpur, liat dan berpasir (Lasmana 2004). Jenis makanan serta pembiakan yang luas, mampu bertahan pada perubahan faktor lingkungan serta mempunyai bentuk badan yang sesuai untuk hidup sebagai organisme intertis ataupun pengorek (Long et al. 1990). Nematoda mempunyai toleransi yang tinggi tehadap kondisi sedimen yang kadar oksigen rendah (Giere 2008).

Kelimpahan meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru di dominasi oleh Nematoda 613,89 ind/10cm2 dan Crutacea 35,88 ind/10cm2. Tingginya komposisi Copepoda disebabkan oleh Copepoda memiliki keunggulan morfologis dan keunggulan fisiologis, keunggulan morfologis adanya pelindung tubuh berupa karapaks yang melindungi dari gesekan dan benturan, Copepoda memiliki tungkai yang bercakar yang digunakan untuk mencengkram substrat (vegetasi dan sedimen) sehingga Copepoda lebih aman dari bahaya gelombang yang kuat dan hempasan arus dan adanya antena yang dapat mendeteksi kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Keunggulan fisiologis adanya sistem reproduksi yang bersifat progenesis sehingga Copepoda dapat berbiak lebih awal, melalui mekanisme pergantian kulit (molting) Copepoda mampu beradaptasi terhadap

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 700.00

Copepoda Nematoda Olygochaeta Taksa lain 34.07 613.89 23.86 10.20 K elim pa ha n ind /1 0 cm 2 Taksa meiofauna

(5)

5

kondisi lingkungan yang kurang baik yang juga dapat berfungsi dalam proses pertumbuhan dan mampu menerima berbagai jenis bahan makanan seperti detritus, mikroalga dan deposit (Giere 1993). Selain disebabkan oleh adanya keunggulan morfologis dan fisiologis Copepoda juga didukung oleh kondisi dan tipe habitatnya (Zulkifli 2008). Seperti diketahui bahwa tipe habitat meiofauna interstisial di lokasi penelitian adalah berupa habitat berpasir. Copepoda dapat berasosiasi dengan semua tipe substrat baik substrat berlumpur, substrat lumpur berpasir maupun substrat berpasir. Menurut Nasution (2013) Copepoda masih dapat dijumpai pada kedalaman 5-10cm dimana kandungan oksigen mulai menurun. Bertambahnya kedalaman juga mempengaruhi kahadiran Copepoda terkait dengan kandungan oksigen dan bahan organik.

Kelimpahan meiofauna pada suatu kawasan dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna di habitatnya antara lain fraksi sedimen. Jenis sedimen ini erat kaitannya dengan ketersediaan bahan organik dan konsentrasi oksigen dalam sedimen. Giere (2008) mengemukakan bahwa bahan organik (makanan) dan konsentrasi oksigen dipengaruhi oleh sirkulasi air dalam celah-celah sedimen. Kawasan mangrove desa Basilam Baru merupakan bagian dari Selat Rupat yang rentan terhadap pencemaran minyak, karena merupakan jalur transportasi yang strategis. Aktivitas ini diduga memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan dan keberadaan biota yang hidup di dalamnya.

Faktor biotik yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna di suatu habitat antara lain adalah proses dekomposisi bahan organik oleh organisme yang terdapat pada sedimen yang mampu menurunkan konsentrasi oksigen pada lapisan sedimen yang lebih dalam (Giere 2008). Faktor biotik berikutnya adalah proses bioturbasi yaitu pengadukan sedimen oleh organisme seperti kepiting penggali yang menyebabkan peregangan agregat antar partikel sedimen sehingga terjadi pertukaran air dan udara dalam lapisan sedimen, sehingga membawa pengaruh positif terhadap organisme meiofauna yang berada pada kedalaman sedimen yang berbeda dalam memperoleh air dan kandungan oksigen. Berikutnya, faktor biotik yang mempengaruhi kelimpahan meiofauna adalah predasi (pemangsaan), akibat pemangsaan oleh tingkat trofik yg lebih tinggi seperti makroinvertebrata dan juvenil ikan menyebabkan trajadinya distribusi meiofauna tidak merata di sedimen (Nybakken & Bertness 2005).

Kelimpahan Meiofauna di Empat Vegetasi Mangrove.

Komposisi meiofauna di tiap vegetasi mangrove Rhizopora apiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia alba dan Avicennia alba menunjukkan bahwa Nematoda merupakan taksa yang paling dominan pada setiap vegetasi. Taksa meiofauna yang dominan pada masing-masing vegetasi adalah Nematoda yang berkisar 69,12 – 208,53 ind/10cm2 dan Copepoda 7,57 – 9,22 ind/10cm2 (Gambar 2).

(6)

6

Gambar 4. Kelimpahan rata-rata (ind/10cm2) taksa meiofauna pada masing-masing vegetasi mangrove Desa Basilam Baru.

Kelimpahan rata-rata meiofauna pada vegetasi Rhizopora apiculata, Xylocarpus granatum, Sonneratia alba dan Avicennia alba di kawasan mangrove Desa Basilam Baru berkisar 89,69–230.59 ind/10cm2.Berdasarkan hasil analisis ANOVA satu arah kelimpahan rata-rata meiofauna antara vegetasi mangrove menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05).

Tabel 1. Kelimpahan rata-rata meiofauna (ind/10 cm2) pada masing-masing vegetasi mangrove Desa Basilam Baru

Vegetasi N Ind/10cm2

Rhizopora apiculata 4 200.46 AB

Xylocarpus granatum 4 89.69 C

Sonneratia alba 4 161.29 B

Avicenia alba 4 230.59 A

Ket : N= jumlah ulangan, huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 95%

Perbandingan kelimpahan meiofauna di antara vegetasi mangrove, diduga disebabkan oleh karakteristik yang berbeda pada masing-masing vegetasi mangrove misalnya senyawa tanin. Alongi (1987) menyatakan hampir semua taksa meiofauna berkorelasi negatif dengan tanin. Senyawa tanin tersebut diduga memiliki efek negatif bagi organisme yang hidup di kawasan mangrove, karena tanin dapat menghambat pertumbuhan organisme tersebut dengan cara menghambat proses penyerapan makanan di usus dan pada kadar tertentu dapat

(7)

7

menyebabkan kematian pada organisme tersebut (Ahadi 2003). Senyawa tanin di kawasan mangrove berpengaruh negatif terhadap komposisi dan kelimpahan meiofauna. Senyawa tanin terurai ke lingkungan melalui proses dekomposisi serasah.

Berdasarkan pengukuran terhadap parameter fisika sedimen diperoleh hasil suhu berkisar 27°C-28°C yang tidak jauh berbeda antar vegetasi. Heip et al. (1985) mengemukakan kisaran suhu yang baik untuk meiofauna berkisar 20-30°C. Hal ini menunjukkan pada penelitian di kawasan mangrove desa Basilam Baru masih dalam batas suhu normal untuk kehidupan meiofauna. Faktor suhu berhubungan dengan musim, kelimpahan meiofauna berfluktuasi secara musiman dimana, kelimpahan meiofauna tertinggi umumnya terjadi pada saat kondisi terhangat dalam setahun (Heip et al. 1985). Berdasarkan pengukuran parameter kimia diperoleh salinitas berkisar 25-26 ppt. Air laut, air tawar maupun payau adalah habitat yang baik untuk organisme meiofauna karena meiofauna pada dasarnya mampu beradaptasi pada air tawar maupun air yang bersalinitas tinggi (Giere 2008).

Berdasarkan hasil analisis fraksi sedimen di kawasan mangrove desa Basilam Baru rata-rata ukuran partikel sedimen di masing-masing vegetasi merupakan tipe sedimen pasir. Persentase sedimen pada vegetasi mangrove yaitu lumpur 5-8 % dan pasir 92-95 %. Hubungan antara konsentrasi oksigen dan bahan organik (makanan), bahan organik yang mengendap di sedimen merupakan sumber bahan makanan bagi organisme meiofauna sehingga seiring bertambahnya kedalaman sedimen merupakan pengaruh besar terhadap populasi organisme (Lasmana 2004). Selain itu, konsentrasi oksigen yang menurun seiring kedalaman sedimen akan mempengaruhi kelimpahan meiofauna (Zulkifli 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian di kawasan mangrove pantai Basilam Baru kecamatan Sungai Sembilan Provinsi Riau, dapat disimpulkan bahwa, meiofauna yang ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 4144 individu yang terdiri dari 7 taksa yaitu Copepoda, Nematoda, Nemertina, Olygochaeta, Ostracoda, Polychaeta dan Thermosbaenacea. Kelimpahan taksa meiofauna di kawasan mangrove desa Basilam Baru, Provinsi Riau sebesar (682.03 ind/cm²) dengan kelimpahan tertinggi pada vegetasi Avicennia alba (230.59 ind/10 cm²), Rhizopora apiculata (200.46 ind/10 cm²), Sonneratia alba (161.29 ind/10 cm²) dan Xylocarpus granatum (89.69 ind/10 cm²). Kelimpahan total individu meiofauna antara vegetasi berbeda nyata. Copepoda Harpacticoida yang paling banyak ditemukan adalah famili Canthocamptidae dan paling rendah adalah famili Darcythompsoniidae. Kehadiran Copepoda Harpacticoida tertinggi pada vegetasi mangrove Xylocarpus granatum sedangkan yang terendah pada vegetasi mangrove Sonneratia alba.

Informasi tentang meiofauna di kawasan hutan mangrove pantai Basilam Baru Kecamatan Sungai Sembilan Provinsi Riau masih perlu dikaji lebih lanjut. Kajian keanekaragaman dan kelimpahan meiofauna ini sebaiknya dikaitkan dengan beberapa parameter lingkungan, misalnya dengan mengkorelasikan meiofauna dengan parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi, sehingga diperoleh data yang lebih akurat sebagai referensi untuk menunjang kelestarian lingkungan perairan di Provinsi Riau.

(8)

8

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Fundamental Anggaran Tahun 2012-2013 a/n Dr. rer. nat Radith Mahatma, M.Si, Drs. Khairijon. MS dan Dra. Dyah Indriani, M.Si. Terima kasih kepada Syahrial, S.Pi yang telah banyak membantu selama sampling di lapangan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahadi. M. R. 2003. Kandungan Tanin Terkondensasi dan Laju Dekomposisi Pada Serasah Daun Rhizopora mucronata Lamk Pada Ekosistem Tambak Tumpangsari di Blanakan, Purwakarta, Jawa barat (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Program Studi Manajemen Hutan.

Bouwman, L. A. 1987. Meiofauna. In: J.M. Baker and W.J. Wolff (eds), Cambridge University Press. Cambridge. Biological surveys of Estuaries and Coasts. 140-156. Boxshall. G. A. Defaye. D. 2007. Global Diversity of Copepods in Freshwater.

Hydrobiologia 595: 195-207.

Giere O. (2008). Meiobenthology: The Microscopic Motile Fauna of Aquatic Sediments. 2nd edition. Berlin: Springer-Verlag.

Heip, C. M. Vincx & G. Vranken. 1985. The Ecology of Marine Nemetode. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev.23 : 399-489.

Higgins, R. P. And H. Thiel. 1998. Introduction to the Study of Meiofauna. Washington D.C: Smithsonian Institution Press.

Lasmana, A. H. 2004. Struktur Komunitas dan Distribusi Meiofauna di Perairan Bojonegara Teluk Banten Kabupaten Serang. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Long, S. M., Karim, R. 1990. Kajian Awal Kepadatan Meiofauna dalam Paya Bakau Teluk Mengkabung, Sabah. Pertanika 349-355.

Metcalfe, W. J. 2005. Meiofauna Abundance and Distribution in Chesapeake Bay Relationships With Enviromental Stressors Sediment Toxicity and Macrofauna. (Thesis). Virginia: Marine Science.

Nedi, S., B. Pramudya, E. Riani & Manuwoto. 2010. Karakteristik Lingkungan Selat Rupat. Riau. Journal of Environmental Science 1(4): 25-35.

Noortiningsih, I.S., Jalip & S. Handayani. 2008. Keanekaragaman Makrozoobenthos, Meiofauna dan Foraminifera di Pantai Pasir Putih Barat dan Muara Sungai Cikamal Pengandaran. Jawa Barat.

Vanhove S, Vincx M, Van Gansbeke D, Gijselinck W, Schram D. 1992. The Meiobenthos of Five Mangrove Vegetation Types in Gazi Bay, Kenya.Hydrobiologia. 247: 99-108. Zulkifli, E. 2008. Dinamika Komunitas Meiofauna Interstinal Di Perairan Selat Dompak,

Gambar

Gambar 1. Komposisi total meiofauna di kawasan mangrove Desa Basilam Baru                       (Taksa lain = Ostracoda, Nemertina, Polychaeta dan Thermosbaenacae)
Gambar  4.  Kelimpahan  rata-rata  (ind/10cm 2 )  taksa  meiofauna  pada  masing-masing   vegetasi  mangrove Desa Basilam Baru

Referensi

Dokumen terkait

Sehu- bungan dengan fakta bahwa 78% kardiomiopati peripartum terjadi pada bulan ke-0 sampai dengan bulan ke-4 setelah mela- hirkan, dan pasien tidak mem- punyai kelainan

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai Kepemimpinan Transformasional lebih kecil nilainya dari nilai ttabel artinya variabel Kepemimpinan Transformasional

Pada kasus Sekolah tinggi Agama Islam negeri (StAIn), persoalan Program Studi (Prodi) umum yang dikembangkan bukan hanya persoalan keilmuan semata, bahkan secara kelembagaan

Dari hasil running data pada simulasi, didapatkan bahwa sejarah produksi dengan perhitungan dari model tidak cocok/match, maka penyelarasan sejarah produksi

Hemat penulis, di era digital seperti saat ini maka pustakawan harus banting stir dari yang semula hanya mengelola koleksi dalam artian fisik menjadi lebih makro yaitu

Dari aspek keselamatan radiasi lingkungan, data yang diperoleh dari masyarakat Mamuju akan bermanfaat untuk menginisiasi studi epidemiologi dengan skala yang lebih besar,

Analisis komparatif hukuman bagi pelaku tindak pidana narkotika menurut Wahbah Az-Zuhaili dan Ibnu Taimiyah dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan menurut Wahbah