• Tidak ada hasil yang ditemukan

MELANGKAH MENUJU LITERASI EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SPATIAL CITIZENSHIP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MELANGKAH MENUJU LITERASI EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SPATIAL CITIZENSHIP"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MELANGKAH MENUJU LITERASI EKOLOGI DENGAN PENDEKATAN SPATIAL

CITIZENSHIP

Ihsan Nurhakim1, Ivan Veriansyah2, Dian Equanti3

1,2,3 Program Studi Pendidikan Geografi

Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial IKIP PGRI Pontianak, Jalan Ampera Nomor 88 Pontianak

1ihsannurhakim08@gmail.com Abstrak

Pemusatan perhatian membangun perilaku individu maupun institusi merupakan upaya dalam menangani permasalahan lingkungan. Pemusatan perilaku berarti memusatkan pada ranah sebab atau ‘causal chain’. Pemusatan pada ranah sebab merupakan salah satu yang perlu mendapat prioritas karena ‘sebab’ bersifat lebih multidimensi sehingga relatif sulit untuk ditangani. Merujuk pada kerangka konseptual DPSIR dan Theory of Planned Behavior, pada ranah sebab terdapat konstruk ‘capacity’ dan ‘incentive’serta pemusatan pada penguatan pendidikan lingkungan efektif, orientasi afektif vertikal terintegrasi dalam pendidikan formal penanaman dan habituasi nilai-nilai lingkungan di masyarakat dan keluarga merupakan langkah-langkah yang dapat diupayakan untuk membangun ekologi literasi masyarakat. Spatial citizenship, dalam hal ini menekankan pada kemampuan individu dan kelompok untuk berinteraksi dalam pengambilan keputusan spatial masyarakat melalui produks, refleksi dan penggunaan geo-media. Keterkaitan literasi ekologi dan spatial citizenship masyarakat mampu mengakses dan menggunakan informasi geografis dari perangkat geomedia, maka dari keterkaitan keduanya adalah partisipasi masyarakat melalui produksi informasi geografis untuk mengetahui permasalahan lingkungan.

Kata Kunci: Ekologi Literasi, spatial Citizenship

Abstract

Focusing attention to building individual and institutional behavior is an effort in dealing with environmental problems. Concentration of behavior means focusing on the realm of cause or 'causal chain'. Concentration on the realm of cause is one that needs to be prioritized because 'cause' is more multidimensional so it is relatively difficult to handle. Referring to the DPSIR conceptual framework and Theory of Planned Behavior, in the realm because there are the constructs of 'capacity' and 'incentive' as well as a focus on strengthening effective environmental education, integrated vertical affective orientation in formal education, planting and habituation of environmental values in society and the family are steps that can be pursued to build a community literacy ecology. Spatial citizenship, in this case emphasizes the ability of individuals and groups to interact in community spatial decision making through the production, reflection and use of geo-media. The relationship between ecological literacy and spatial citizenship is that people are able to access and use geographic information from geomedia tools, so the link between the two is public participation through the production of geographic information to identify environmental problems.

Keywords: Ecological Literacy, Spatial Citizenship

PENDAHULUAN

Masalah lingkungan non alamiah adalah bentuk dampak negatif dari aktivitas manusia dalam mengelola lingkungan dan sumber daya yang dianugerahkan kepadanya. Aktivitas tersebut merupakan manifestasi dari perilaku, sehingga pemusatan perhatian pada pengarah perilaku manusia sebagai individu maupun institusi merupakan upaya kunci dalam menangani permasalahan lingkungan yang terjadi.

(2)

Berbagai bentuk penanganan masalah lingkungan telah dikonsepsi dan diimplementasikan baik pada tingkat global maupun pada wilayah yang lebih sempit dengan keberhasilan implementasi yang bervariasi. Berdasarkan sifat pada targetnya, penanganan masalah lingkungan yang telah dilakukan dapat dikelompokkan dalam dua strategi utama yaitu penanganan pada rantai hasil atau ‘result chain’ dan penanganan pada rantai sebab atau ‘causal chain’ (Azar et al, 1996). Penanganan pada rantai hasil merupakan penanganan yang bersifat kuratif dan cenderung menggunakan pendekatan teknis dan teknologi. Teknologi pengolahan limbah dengan bakteri dan absorben, daur ulang limbah plastik dan berbagai usaha pemanfaatan dan pengolahan limbah merupakan beberapa contoh dari penanganan masalah lingkungan yang bersifat kuratif tersebut. Penanganan pada rantai sebab bersifat preventif dan cenderung menggunakan pendekatan insentif dan kultural. Integrasi pendidikan lingkungan dalam kurikulum dan upaya difusi gagasan-gagasan ‘hijau’ misalnya program kali bersih (prokasih) dan gerakan sadar lingkungan (Darling) merupakan beberapa contoh dari penanganan masalah lingkungan yang bersifat preventif pada rantai sebab. Rantai hasil merupakan resultan dari rantai sebab. Tingkat kerumitan pada rantai sebab menjadikan pemusatan perhatian pada rantai tersebut secara efektif merupakan prioritas penting dalam setiap usaha penanganan lingkungan.

Kerangka konseptual DPSIR/Driving Force-Pressure-State-Response (EEA, 1999) dalam strategi analisis masalah lingkungan terpadu menunjukkan bahwa masalah lingkungan dapat terjadi karena perilaku atau ‘pressure’. Perilaku manusia dalam mengelola lingkungan digerakkan oleh kompleks daya penggerak tertentu atau ‘driving force’. Merujuk pada kerangka konseptual tersebut, pemusatan pada rantai sebab adalah pemusatan pada ranah faktor penggerak . Faktor penggerak menurut Kristensen (2004) merupakan faktor kebutuhan yang mendorong munculnya ‘pressure’ atau perilaku pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan tertentu. Definisi Kristensen (2004) tersebut lebih bernuansa ekonomi dan tidak memuat premis lain yang terkait dengan kompleksitas aspek-aspek yang mendasari munculnya perilaku, sehingga faktor ‘kebutuhan’ menurut Kristensen perlu dirinci lebih lanjut. Karyanto (2010) telah memodelkan bahwa kerangka konseptual Capacity-Incentive/Environmental Degradation dari Reardon dan Vosti (1995) dapat digunakan untuk menjelaskan ‘faktor penggerak’ secara lebih terinci. Faktor penggerak tersebut merupakan derajat tertentu atas ‘capacity’ dan ‘incentive’ yang dimiliki. ‘Capacity’ merupakan derajat tertentu kemampuan akses atas lima modal dasar meliputi modal finansial, sarana prasarana, modal alam, modal manusia dan modal sosial (Bebbington 1999), sedangkan ‘Incentive’ adalah penggerak eksternal yang yang telah terlembagakan dalam masyarakat (Bahamondes, 1993). Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku individual maupun yang terlembagakan dalam masyarakat terkait

(3)

perilaku pengelolaan lingkungan merupakan respon logis dari ‘capacity’ dan ‘incentive’ yang dimiliki.

‘Driving force’ atau faktor penggerak yang terdapat dalam kerangka konseptual DPSIR memiliki kesamaan substantif dengan motivasi. Motivasi tersebut merupakan penggerak yang mendorong individu atau institusi dan memunculkan ‘pressure’ atau perilaku lingkungan tertentu. Konstruk ‘Pressure’ sebagai perilaku pengelolaan lingkungan tertentu dapat dijelaskan dengan mendasarkan pada beberapa teori tentang perilaku. Salah satu teori perilaku yang dapat digunakan untuk menjelaskan munculnya perilaku lingkungan tertentu adalah Theory of Planned Behavior (Lihat Abduh-Muhmin, 2006). Theory of Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku -dalam hal ini adalah perilaku lingkungan tertentu- muncul karena kesiapan berperilaku/Behavioral Intention (Ajzen, 1991). Kesiapan tersebut dideterminasi oleh behavioral attitude/attitude towards behavior atau sikap, subjective norm atau norma sosial/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan

perceived behavioral control/self-efficacy yang berhubungan dengan analisis pribadi menyangkut

potensi dan sumber daya yang dimiliki.

Kedua kerangka teoritis yang telah diulas yaitu Theory of Planned Behavior dan kerangka konseptual Capacity-Incentive/Environmental Degradation, memiliki keterkaitan yang erat. ‘Capacity’ dan ‘incentive’ merupakan salah satu determinan bagi ‘behavioral intention’ dan perilaku. Setiap modal dalam ‘capacity’ bersama dengan ‘incentive’ merupakan sumber daya sebagai dasar analisis pengambilan keputusan dan berperilaku, sehingga dapat dikatakan bahwa setiap modal dalam ‘capacity’ dan ‘incentive’ adalah detail dari ‘perceived behavioral control/self-efficacy’ dalam teori perilaku. Salah satu aspek dalam modal manusia dalam ‘capacity’ diperluas menjadi konstruk baru yaitu ‘attitude’ sebagai bentuk perhatian bahwa perilaku juga dipengaruhi oleh perkembangan ‘nilai’ baik individual mapun institusi. Berapa teori lain misalnya Theory of Action (Parson, 1975) dan Symbolic Interactionism Theory (Mead, 1972), juga mengemukakan bahwa ‘attitude’ bersifat penting dalam mempengaruhi perilaku. Dewasa ini ‘Attitude’ telah berkembang menjadi salah satu sentral diskusi dalam mempengaruhi perilaku lingkungan tertentu.

Penguatan struktur ‘capacity’ dan ‘incentive’ serta pembangunan ‘attitude’ merupakan metode alternatif yang potensial dalam strategi penanganan masalah lingkungan secara preventif. Penguatan tersebut, melalui implementasi terintegrasi, dapat bersifat sebagai komplemen bagi strategi kuratif yang dilakukan. Kesungguhan, konsistensi pelaksanaan, sistem evaluasi umpan balik dan tegaknya sistem regulasi kemudian menjadi kunci bagi efektivitas penanganan masalah lingkungan lebih lanjut.

(4)

METODE

Metode dalam melaksanakan pengabdian kepada masyarakat ini, melalui webinar daring, dengan pertimbangan masih berbahayanya persebaran virus covid 19 di sekitar lingkungan kita. Maka melalui Pengabdian Kepada masyrakat kami lakukan secara daring dengan mengangkat tema Melangkah Menuju Literasi Ekologis Dengan Pendekatan Spatial Citizenship”, kegiatan ini akan dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu Persiapan, Pelaksanaan dan Evaluasi. Adapun tahapan-tahapan yang akan dilaksanakan sebagai berikut:

Pelaksanaan 1. Tahap Persiapan

a. Pembuatan templet dan pendaftaran peserta webinar

b. Koordinasi dengan Mitra kegiatan pengabdian dalam rangka penyusunan jadwal kegiatan dan sasaran dalam kegiatan.

c. Penentuan dan pemilihan media dan materi pada kegiatan agar tujuan pengabdian dapat tercapai.

2. Tahap Pelaksanaan Adapun kegiatan yang akan dilaksakan pada tahapan pelaksanaan Antara lain:

a. Pembukaan oleh wakil rektor I b. Pengisian daftar hadir peserta

c. Sosialisasi tentang materi pengabdian kepada masyarakat yaitu tentang melangkah Menuju Literasi Ekologis Dengan Pendekatan Spatial Citizenship”melalui webinar.

3. Tahap Evaluasi adapun kegiatan yang akan dilaksakan pada tahapan pelaksanaan Antara lain: Adapun tahapan evaluasi yang kita lakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai pada kegiatan.Selain itu tahapan ini juga untuk mengetahui kekurangan pada kegiatan yang telah dilaksanakan sehingga dapat menjadi saran untuk kegiatan selanjutnya yang sejenis.

Partisipasi Mitra Dalam PKM

Pelaksanaan PKM ini berjalan dengan lancar karena adanya kerja sama yang baik antara kedua belah pihak yaitu pihak kampus danpanitia dan anggota webinar dengan para peserta webinar dalam hal ini adalah guru IPS / Geografi dan mahasiswa, yang mana pihak pihak yang terkait telah memberikan ijin kepada Tim PKM dari Prodi Pendidikan Geografi IKIP-PGRI Pontianak untuk dapat melakukan pengabdian kepada masyarakat di kampus IKIP PGRI Pontianak secara daring melalui ZOOM Meeting, tak luput juga kami ucapan terimakasih kepada pihakkampus yang memfasilitasi tempat, dan media lainnya, serta peserta yang ikut berpartisipasi menjadi peserta dalam

(5)

webinar PKM ini, Kami dari tim prodi pendidikan geografi ingin mengaplikasikan keilmuan kami kepada masyarakat melalui pengabdian ini, agar dapat dimanfaatkan masyarakat luas.

Tahap Evaluasi

Adapun tahapan evaluasi yang kita lakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai pada kegiatan. Selain itu tahapan ini juga untuk mengetahui kekurangan pada kegiatan yang telah dilaksanakan sehingga dapat menjadi saran untuk kegiatan selanjutnya yang sejenis

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Setelah persiapan yang dilaksanakan dirasakan telah matang. Tim PKM masuk dalam tahap selanjutnya yaitu Tahap Pelaksana. Pelaksanaan kegiatan pada tanggal 10 November 2019. Dari hasil pelaksanaan PKM melalui webinar menghasilkantemuan antara lain dokumentasi foto hasil dari kegiaatan PKM tersebut, antara lain sebagai berikut:

Pamflet PKM Pembukaan Webinar Oleh Warek 1

(6)

Penyampaian Materi Oleh Bapak Galuh Bayuardi

Peserta Webinar PKM

Gambar 1. Dokumentasi Kegiatan PKM 1. Capacity, Incentive dan Perilaku Arif Lingkungan

Melalui kepercayaan, perilaku lingkungan dapat terarahkan. Kepercayaan terhadap ketokohan dan institusi dapat menggiring kepatuhan, sehingga setiap program lingkungan yang direncanakan dapat terlaksana dengan konflik yang minimal. Melalui kebersamaan dalam berbagi dan peduli, kendala modal fisik, modal finansial dan modal manusia dapat diturunkan entalpinya, sehingga sumber daya dan peluang menjadi lebih dapat diakses secara merata. Dengan kemampuan membangun jejaring, individu maupun kolektif dapat mengakses modal sosial dari struktur sosial yang lain, sehingga difusi kebijakan, program, inovasi dan informasi dapat terfasilitasi. Kekuatan percaya, kepedulian sosial dan kemampuan membangun jejaring kemudian dapat membentuk nilai-nilai dalam masyarakat yang kemudian dapat ditetapkan sebagai kode etik bersama sebagai aturan-aturan sosial, norma atau sangsi. Secara umum modal sosial dapat berperan sebagai salah satu pelumas dalam membangun masyarakat arif lingkungan melalui pembentukan struktur sosialnya.

(7)

Pembangunan ‘capacity’ telah jelas mempunyai peran penting dalam membentuk masyarakat arif lingkungan. ‘Capacity’ yang baik dapat memfasilitasi perilaku ramah lingkungan. Terkait dengan ‘capacity’ Bahamondes (2003) dan Swinton et al (2003) menyebutkan bahwa dalam kondisi social tertentu ‘capacity’ tidak cukup mendorong munculnya perilaku ramah lingkungan. Dalam kondisi tersebut ‘incentive’ diperlukan sebagai pendorong. ‘Incentive’ merupakan kekuatan yang membuat manusia berkemauan untuk patuh. ‘Incentive’ yang dimaksud adalah bentuk-bentuk regulasi formal oleh institusi dalam struktur sosialnya. Satu contoh ‘incentive’ adalah kebijakan pemerintah tentang lingkungan yang mengatur mengenai AMDAL dan baku mutu. Dalam Field dan Field (2006) terdapat beberapa catatan menyangkut ‘incentive’. Beberapa ‘incentive’ yang dirumuskan sering membawa dampak yang tidak diinginkan yang disebut sebagai ‘perverse incentive’, dimana kebijakan yang dibuat justru menimbulkan akibat yang berkebalikan.

Kebijakan sektor otomotif di Amerika Serikat mendorong industri otomotif untuk memproduksi kendaraan bermotor yang hemat konsumsi bahan bakar untuk merespon tingginya konsumsi bahan bakar minyak di Negara yang bersangkutan. Dampak ‘perverse incentive’ terlihat ketika warga Amerika Serikat menggunakan kendaraan lebih sering dan menempuh jarak yang lebih jauh karena pertimbangan hemat konsumsi bahan bakar pada mobil yang dimiliki. Akibatnya konsumsi bahan bakar nasional justru mengalami peningktan relatif terhadap sebelumnya. ‘Capacity’ dan ‘incentive’ yang diulas di atas merupakan konstruk besar yang dapat mempengaruhi perilaku arif lingkungan. Hubungan antara kedua konstruk dalam mempengaruhi perilaku arif ingkungan bersifat relatif untuk kondisi masyarakat tertentu dan tidak tetap, bervariasi kekuatannya bergantung pada variabel lain yang mungkin turut menjadi determinan atas perilaku lingkungan tertentu. Merujuk pada Karyanto (2010) secara korelasional hubungan variael-variabel dalam kerangka konseptual CapacityIncentive/Environmental Degradation dapat diskemakan sebagai berikut:

Gambar 2. Skema hubungan variabel dalam kerangka konseptual

(8)

2. Pendidikan Sebagai Salah Satu Kunci Pembentuk Masyarakat Arif Lingkungan

Merujuk pada paradigma berpikir vertikal, pendidikan yang mengarahkan peserta didik mengenal penciptanya dan berorientasi pada tertanamnya hasil belajar pada ranah afektif vertikal pendidikan dapat membawa pendidikan secara umum termasuk pendidikan lingkungan mencapai tujuan hasil belajar yang diharapkan dengan bertanggung jawab. Secara khusus penanaman karakter afektif vertikal dapat memunculkan ‘attitude’ yang baik melalui pembentukan etika lingkungan yang baik (Atfield, 1999) Merujuk kembali pada definisi bahwa belajar adalah perubahan perilaku, habituasi merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan menanamkan sifat arif lingkungan. Peran keluarga dan masyarakat kemudian menjadi penting sebagai sistem habituasi melengkapi sistem pendidikan formal yang ada. Nilai-nilai yang lingkungan yang ada di masyarakat kemudian merupakan modal sosial yang penting yang dapat mempengaruhi habituasi tersebut.

Gambar 3. Skema target wilayah belajar 3. Pendekatan Spatial Citizen

Konteks spatial citizenship, dalam hal ini menekankan pada kemampuan individu dan kelompok untuk berinteraksi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan spatial masyarakat melalui produks, refleksi dan penggunaan geo-media (media geografis seperti peta, google map,GIS). Keterkaitan literasi ekologi dan spatial citizenship adalah jika litirasi membahas tentang komponen penyusun, prinsip-prisip dan mengenal keterkaitan ekosistem, dari unsure spatial

citizenshipnya menjelaskan masyarakat mampu mengakses dan menggunakan informasi geografis

dari perangkat geomedia, maka dari keterkaitan keduanya adalah tentang partisipasi masyarakat melalui produksi informasi geografis untuk mengetahui permasalahan lingkungan.

Spatial Citizenship juga menurut Boscaljon, Daniel (Spring 2014). merupakan pendekatan pendidikan di persimpangan antara pendidikan citizenship dan pendidikan geografi. Dengan mengacu pada bentuk pemberdayaan masyarakat dan "apropriasi refleksif ruang". Atau Kesadaran ruang secara tepat guna. Salah satu contoh aplikasi pengantar, ojek on line dan lain sebagainya dan jasa kurir menggunakan aplikasi gps dan google map

(9)

Gambar 6. Praksis Spatial Citizenship

Gambar 4. Praksis Spatial Citizenship Pembahasan

Salah satu strategi dalam melangkah menuju litersi ekologi adalah dengan pendekatan spatial citizenship. Aktivitas manusia mempengaruhi literasi ekologi dan ekosistem.Merujuk pada kerangka konseptual DPSIR dan Theory of Planned Behavior, pada ranah sebab terdapat konstruk ‘capacity’ dan ‘incentive’ sebagai variabel yang berasosiasi dengan perilaku arif lingkungan.

Sedangkan yang berkaitan dengan konteks spatial citizenship, dalam hal ini menekankan pada kemampuan individu dan kelompok untuk berinteraksi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan spatial masyarakat melalui produks, refleksi dan penggunaan geo-media (media geografis seperti peta, google map,GIS), dimana dalam PKM ini spatial citizenshipyang dimaksud adalah lingkungan sekolah karena perilaku ramah lingkungan dapat mendukung program pemerintah yang sedang menggalakan tentang sekolah adiwiata, sekolah sehat dan sekolah ramah anak. Keterkaitan literasi ekologi dan spatial citizenship adalah jika litirasi membahas tentang komponen penyusun,prinsip-prisip dan mengenal keterkaitan ekosistem, dari unsurspatial citizenshipnya menjelaskan masyarakat mampu mengakses dan menggunakan informasi geografis dari perangkat geomedia, makadari keterkaitan keduanya adalah tentang partisipasi masyarakat melalui produksi informasi geografis untuk mengetahui permasalahan lingkungan.

(10)

SIMPULAN

Berdasarkan hasil kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah dilaksanakan oleh Prodi Geografi disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan lancar sesuai dengan target dan luaran yang telah direncanakan. Segala aktivitas yang meliputi perencanaan, pelaksanaandanevaluasikegiatan terlaksana dengan baik.

Kegiatan yang dilaksanakan memberikan gambaran bahwa kegiatan ini membawa pengetahuan dan kesadaran terhadap lingkungan. Serta memberikan inspirasi kepada masyarakat bahwa Salah satu strategi dalam menangani masalah lingkungan adalah dengan memusatkan pada rantai sebab. Merujuk pada kerangka konseptual DPSIR dan Theory of Planned Behavior, pada ranah sebab terdapat konstruk ‘capacity’ dan ‘incentive’ sebagai variabel yang berasosiasi dengan perilaku arif lingkungan.

Pada ranah kultural, pendidikan formal dan non formal mempunyai peranan yang penting dalam membangun ‘capacity’. Pengembangan SDM ujung tombak (misalnya guru) juga merupakan salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Dukungan aspek teknis di lapangan tentu tidak dapat lepas dari aspek substansi berupa komponen lunak pendidikan yaitu paradigma atau muatan nilai, visi dan misi serta desain kurikulum. Penguatan pendidikan lingkungan efektif secara formal melalui orientasi afektif vertikal terintegrasi dalam pendidikan merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan.

Keterkaitan literasi ekologi dan spatial citizenship adalah jika litirasi membahas tentang komponen penyusun,prinsip-prisip dan mengenal keterkaitan ekosistem, dari unsure spatial

citizenshipnya menjelaskan masyarakat mampu mengakses dan menggunakan informasi geografis

dari perangkat geomedia, maka dari keterkaitan keduanya adalah tentang partisipasi masyarakat melalui produksi informasi geografis untuk mengetahui permasalahan lingkungan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kami haturkan kepada panitia penyelenggara PKM yang telah bekersama dengan solid, sehingga PKM berjalan dengan lancar, kepada pihak mitra yakni guru, mahasiswa peserta seminar PKM yang telah mengikuti dengan baik dari awal kegiatan hingga akhir penyampaian materi dari narasumber

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, J. (2006). Social capital: Menuju keunggulan budaya manusia Indonesia. MR-United Press.

Koesoema, D. (2007). Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta:

grasindo, 212-221.

Mead, G. H. (1934). Mind, self and society (Vol. 111). University of Chicago Press.: Chicago.

Kumaidi, K. (2016). Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu

Pendidikan, 5(4).

Abdul‐Muhmin, A. G. (2007). Explaining consumers’ willingness to be environmentally friendly. International Journal of Consumer Studies, 31(3), 237-247.

Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational behavior and human decision

processes, 50(2), 179-211.

Azar, C., Holmberg, J., & Lindgren, K. (1996). Socio-ecological indicators for sustainability. Ecological economics, 18(2), 89-112.

Bebbington, A. (1999). Capitals and capabilities: a framework for analyzing peasant viability, rural livelihoods and poverty. World development, 27(12), 2021-2044.

Walter, E. (2008). Cambridge advanced learner's dictionary. Cambridge university press.

Coleman, J. S. (1988). Social capital in the creation of human capital. American journal of

sociology, 94, S95-S120.

EEA, E. (1999). Environmental indicators: Typology and overview. European Environmental.

Field, B.C. and Field, M.K.. (2006). Environmental economics; an Introduction. Fourth Edition. Mc Graw-Hill Co Inc, USA

Karyanto, P. (2010). Factors Affecting the Adoption of Sustainable Upland Agriculture at Lawu Mountain Indonesia. Ph.D Theses at Faculty of International Studies, Universiti Utara Malaysia, Malaysia

Kristensen. (2004). The DPSIR Framework. Proceeding at the 27-29 September 2004 workshop on a comprehensive / detailed assessment of the vulnerability of water resources to environmental change in Africa using river basin approach. UNEP Headquarters, Nairobi, Kenya

Muhammad, H. (2007). Manusia dan Tugas Kosmiknya menurut Islam, dalam Mangunjaya, F., Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat (ed) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mohsen Mirri, (2007). Prinsip-Prinsip Islam dan Falsafah Mulla Shadra Sebagai Basis Etis dan Kosmologi Lingkungan Hidup. dalam Mangunjaya, F., Husain Heriyanto, Reza Gholami. 2007. Menanam Sebelum Kiamat (ed) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

(12)

Sarabhai, K., Meena Raghunathan & Shivani Jain. (2002). Environmental Education Some experiences of India. Paper on Some Pioneering Examples of Environmental Education Institute for global enironmenatl strategies. Japan, 2002.

Sumarsono, (2003). Kurikulum Kita: Dimana Salahnya. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja Edisi Khusus XXXVI Desember 2003.

Surakusumah, tanpa tahun, diakses pada 16 Juni 2012 dengan kata kunci ‘pendidikan lingkungan di Indonesia’

Surendra, L. (2011). National Journeys Towards Education for Sustainable Development; Reviewing National Experience in Indonesia. UNESCO, France

Parson, T. (1975). Social Systems and The Evolution of Action Theory. The Free Press, New York. USA.

Pretty, J., (2003).Social Capital. CTA Working Document. The ACP-EU CTA Publisher. Essex, UK.

Pope, J. (2003). Social Capital and Social Capital Indicator; A Reading List. Working Paper Series No. 1. Public Health Information and Development Unit. Adelaide

Routledge, B.R., and Amsberg, J.V. (2002). Social Capital and Growth. Carnegie- Rochester Conference Series on Public Policy. Pittsburg.

UN. United Nations, (1992). Agenda 21, United Nations Conference on Environment and Dvelopment, Rio de Janeiro, Brazil. United Nation Press, New York. UN. United Nations, (2002).

UN-General Assembly Resolution, 57/254 December 2002 Wals, A., 2009. Review of Context and Structure for ESD 2009.UNESCO 2009

Gambar

Gambar 1. Dokumentasi Kegiatan PKM
Gambar 2. Skema hubungan variabel dalam kerangka konseptual Capacity-
Gambar 6. Praksis Spatial Citizenship

Referensi

Dokumen terkait