• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRONOLOGI PEMBEREDELAN MAJALAH LENTERA UKSW SALATIGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KRONOLOGI PEMBEREDELAN MAJALAH LENTERA UKSW SALATIGA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAMPIRAN

KRONOLOGI PEMBEREDELAN MAJALAH

LENTERA UKSW SALATIGA

SAMPUL muka di sebelah ini adalah majalah edisi ketiga dari Majalah Lentera, pers mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) UKSW Salatiga. Dari sampulnya sudah jelas kalau yang diulas perihal PKI dan tragedi kemanusiaan pada 1965. Secara geografis, majalah ini fokus di seputaran Salatiga dan sekitarnya. Setelah terbit, ternyata dipermasalahkan.

Malam 16 Oktober 2015, sekitaran pukul 20.00, Lentera ditelpon Flavianus Der Melsasail, Koorbidkem Fiskom, agar datang ke Gedung Administrasi Pusat (GAP). Tidak ada pemberitahuan yang begitu jelas mengenai pertemuan tersebut. Empat orang pengelola Lentera datang ke GAP. Menghadap Daru Purnomo, Dekan Fiskom dan John Titaley, Rektor UKSW.

“Waktu itu, Pak rektor ngomong kalau majalah kami dipermasalahkan oleh beberapa pihak,” tukas Arista Ayu Nanda, Pemimpin Umum Lentera.

Malam itu rektor meminta seluruh majalah yang dijual di luar kampus, alias yang ada di agen-agen, untuk ditarik seluruhnya. Menurut Arista, rektor mewanti-wanti bahwa penarikan majalah tersebut didasari pada pencegahan adanya ormas yang akan mempermasalahkan “Salatiga Kota Merah”. Memang, pada poster-poster promosi majalah yang tersebar, Lentera membuka dua tempat penjualan di luar kampus. Yang pertama di Ababil Agency dan di Kafe Godhong Pring. Namun belakangan SA baru mendapat informasi langsung dari Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera, bahwa Ababil Agency menolak menjualkan “Salatiga Kota Merah” karena takut dikira menyebarkan ajaran komunisme.

Menurut data himpunan SA, distribusi majalah Lentera dibagikan dalam dua lingkup. Dalam kampus dan luar kampus. Khusus di luar kampus, Lentera telah mengirim majalahnya ke Humas Wali Kota, Persipda, Kampoeng Percik, Godhong Pring dan penjual buku online Salatiga.

Setelah pertemuan dengan orang nomor satu di UKSW itu, Lentera langsung menghubungi Godhong Pring agar menyimpankan majalahnya, untuk diambil esoknya.

(3)

Sebagian awak-awak pengelola Majalah Lentera Fiskom UKSW Salatiga.

Pada 17 Oktober 2015 pagi, Daru meminta Lentera agar datang ke kampus membawa sisa majalah yang ada di Godhong Pring. Lentera mengiyakan. Tapi ternyata majalah yang sedianya ada di Godhong Pring, sudah berpindah tangan. “Ternyata sudah diambil oleh Polres Salatiga,” ujar Arista yang mengenakan parka hijau gelap khas angkatan darat.

Mengetahui tumpukan majalah Lentera di Godhong Pring sudah „lenyap‟, Daru lantas membuat pertemuan pukul 15.00 dengan anggota Lentera. Dengan satu catatan: seluruh sisa majalah harus dikumpulkan. Pada pertemuan tatap muka antara Daru dengan Lentera, yang mana mestinya sudah ada pengumpulan seluruh sisa majalah, ternyata Lentera mengumpulkan 20 dari 500 eksemplar majalah.

Lebih lanjut, Arista menceritakan bahwa pada malamnya, Lentera kembali dihubungi fakultas. Pesannya jelas: besok 18 Oktober 2015, diminta perwakilan Lentera datang ke Kantor Polres Salatiga pukul 08.00.

18 Oktober 2015, Arista, Bima dan Septi, Bendahara Lentera, hadir di Kantor Polres Salatiga untuk memberi keterangan pada aparat. Di lokasi juga ada Daru, Teguh Wahyono PR II, Arief Sadjiarto PR III, dan Neil Rupidara PR V yang mendampingi proses hingga berakhir siang tadi.

Pertemuan di Kantor Polres Salatiga itu membuahkan kesepakatan agar distribusi majalah Lentera dihentikan dan seluruh sisa majalah segera ditarik, karena rencananya akan segera dibakar. Teguran lisan juga disampaikan kepada UKSW.

Ketika SA menyinggung soal penarikan dan penghangusan majalah, mimik Arista menyeringai lebih lebar. “Di satu sisi kami tetap mau mempertahankan majalah yang ada di tangan kami, ya karena itu hak kami,” aku Arista.

(4)

Penarikan Majalah

Malam pukul 18.00, SA menghubungi Daru Purnomo. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk,” terdengar lirih dari pengeras suara ponsel selular.

Setelah mengulanginya dua kali, tepat pukul 18.27 baru ada nada tunggu. Diangkat. Samar-samar terdengar suara agak berat.

Dalam percakapan telepon tersebut, Dekan Fiskom ini mengiyakan bahwa pertemuan hari ini bertujuan mencari penyelesaian terbaik, terkait dengan usaha kepolisian dalam mencegah reaksi ormas pada pemberitaan “Salatiga Kota Merah”. Maka dari itu diminta penarikan majalah dan pemberhentian distribusi.

“Penarikan dan pemberhentian distribusi itu adalah kesepakatan bersama,” tukas Daru. Lebih lanjut, Daru menegaskan bahwa kesepakatan tersebut termaktub secara tertulis antara UKSW dengan Polres Salatiga.

Mengacu pada pernyataan dari Lentera bahwa majalah yang nantinya dikumpulkan akan dihanguskan, Daru menepisnya. “Hanya ditarik dan dikumpulkan di fakultas. Tidak akan dibakar,” ujar Daru. Kali ini suaranya putus-putus gegara sinyal lemah, keluhnya.

Di sela-sela percakapan soal pengumpulan majalah, Daru menegaskan dirinya akan berdiri buat Lentera. “Karena Lentera ada di bawah UKSW, maka kami pimpinan fakultas dan universitas juga turut mendampingi proses pemanggilan ini,” tegas Daru.

Selain dukungan dari fakultas, menilik dari Tempo.co pada rubrik Nasional, kasus penarikan majalah ini mengundang sorotan media dan beragam lembaga eksternal UKSW. Pada berita “Beritakan Kasus 1965, Majalah Lentera Ditarik kemudian Dibakar” oleh Abdul Azis, tertulis bahwa Lentera mendapat tawaran advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum Pers di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional.

Arya Adikristya Nonoputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, angkatan 2013. Pemimpin Umum Scientiarum.

Penyunting: Evan Adiananta Nonoputra Sumber: Scientiarum.com, 18 Oktober 2015

(5)

AJI Semarang Desak Polres Salatiga Hentikan Intimidasi ke

Pengelola LPM Lentera UKSW

Pada awal Oktober 2015 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa Lentera Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) UKSW Salatiga menerbitkan majalah edisi nomor 3/2015. Para mahasiswa itu mengangkat tema tentang G30S dengan angle peristiwanya di Salatiga. Mereka memberi judul karya laporannya: “Salatiga Kota Merah”. Mereka lalu mendistribusikan karya majalahnya ke beberapa pihak. Ada yang dijual di dalam kampus. Majalah itu juga didistribusikan ke luar kampus UKSW. Tapi, pada Ahad (18 Oktober 2015), Polres Salatiga melakukan pemanggilan terhadap awak LPM Lentera. Informasi yang kami telusuri ada tiga orang yang diperiksa oleh Polres Salatiga. Diperiksa dari pagi hingga menjelang sore hari. Polisi meminta agar majalah Lentera yang sudah diedarkan ditarik lagi untuk diserahkan ke pihak kepolisian. Hingga Ahad malam (18 Oktober 2015) belum ada peristiwa pembakaran Lentera. Hanya, polisi meminta Lentera yang sudah diedarkan ditarik untuk diserahkan ke kepolisian.

Atas peristiwa itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang menyampaikan sikap:

1. Mengecam langkah Polres Salatiga yang sewenang-wenang memanggil awak media LPM Lentera. Apalagi, pemanggilan itu tak disertai dengan surat resmi pemanggilan. Polres sebagai penegak hukum harusnya mengerti hal ihwal kebebasan berekspresi yang dimiliki mahasiswa. Polres Salatiga tidak boleh menggunakan kewenangannya secara serampangan sehingga bisa mengancam dan

memberangus kebebasan berekspresi mahasiswa. Mahasiswa adalah asset bangsa yang harus terus menerus dilestarikan kreatifitasnya. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi UUD 1945. Mahasiswa berhak membuat liputan di LPM masing-masing. Langkah Polres Salatiga memeriksa dan meminta LPM Lentera ditarik bisa menjadi insiden memalukan. Ini bisa mencederai demokrasi. Kami mendesak Polres Salatiga menghentikan tindakan-tindakan intimidasi ke LPM Lentera. AJI Semarang juga mendesak Kapolda Jateng dan Kapolri memberikan teguran kepada Polres Salatiga yang telah sewenang-wenang melakukan pemanggilan kepada mahasiswa anggota LPM Lentera.

2. AJI Semarang sudah mengkaji laporan LPM Lentera. Kami menilai LPM Lentera sudah melakukan proses peliputan melalui wawancara dengan narasumber, observasi untuk reportase hingga

menggunakan dokumen dan literatur yang bisa dipertanggungjawabkan. AJI juga menilai LPM Lentera tidak melanggar batasan kebebasan berekspresi sesuai dengan konvensi HAM. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas liputan LPM Lentera maka bisa melakukan dialog dan diskusi. Di sisi lain, kalaupun toh ada yang dianggap keliru atau salah oleh pihak-pihak tertentu maka bisa menyampaikan hak jawab atau ralat. Bukan dengan cara menarik majalahnya. Ingat, laporan jurnalistik itu adalah usaha memperoleh kebenaran secara terus menerus.

3. Meminta kepada civitas akademika UKSW untuk memberikan perlindungan kepada awak LPM Lentera. Rektor UKSW dan Dekan Fisikom harus memberikan perlindungan kepada mahasiswanya yang telah membuat karya untuk LPM Lentera. Kami meminta agar pengelola kampus jangan justru ikut mengintimidasi mahasiswa LPM Lentera. Liputan LPM Lentera harus diapresiasi dalam

kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, apa yang dilakukan LPM Lentera sudah sesuai dengan prosedur karya jurnalistik.

Semarang, 18 Oktober 2015 Tertanda,

Ketua AJI Semarang Muhammad Rofiuddin

(6)

Majalah Lentera Diberedel, Polisi: Sampulnya

Bendera Palu Arit

TEMPO.CO, Semarang - Polisi berdalih penarikan Lentera setelah menerima protes dari

sejumlah organisasi masyarakat yang mempersoalkan sampul depan majalah tersebut.

"Cover yang dipersoalkan adalah adanya gambar bendera-bendera palu arit," kata Kepala

Kepolisian Resor Salatiga AKB Polisi Yudho Hermanto kepada Tempo, Senin, 19 Oktober

2015. Selain itu, judulnya “Salatiga Kota Merah”. Masyarakat Salatiga, klaim Yudho, tidak

mau ada judul seperti itu.

Sedangkan soal isi majalah, ucap Yudho, tidak dipersoalkan. “Isinya soal lingkungan kampus

terserah. Tidak ambil pusing selama tidak ada pelanggaran,” ujarnya. Yudho enggan

menyebut ormas mana yang melayangkan protes ke polisi.

Lentera diterbitkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen

Satya Wacana. Pada Minggu, 18 Oktober 2015, polisi memeriksa tiga pengelola Lembaga

Pers Mahasiswa Lentera.

Polisi meminta majalah yang sudah beredar dengan sampul gambar palu arit ditarik kemudian

diserahkan ke Polres. Namun penarikan majalah ini dinilai sebagai bentuk pemberangusan

kebebasan pers mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Abdul Somad

menjelaskan, tindakan polisi tersebut merupakan pengekangan terhadap kebebasan pers. "Ini

jelas menunjukkan demokrasi di Indonesia belum berjalan sehat," ucapnya.

Pada Jumat malam, 16 Oktober 2015, menurut Yudho, forum Musyawarah Pimpinan Daerah

Kota Salatiga bersama pengelola UKSW secara khusus berkumpul untuk membahas masalah

tersebut.

Mereka yang hadir dalam pertemuan adalah Wali Kota Salatiga, Ketua Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Salatiga, perwakilan Kodim 0714 Salatiga, dan Rektor UKSW Jhon Titaley

yang didampingi para pembantu rektor.

Saat itu, tutur Yudho, ada kesepakatan menarik Lentera. “Bahkan yang meminta menarik

adalah Pak Jhon (rektor) sendiri,” kata Yudho.

Polres Salatiga membantah disebut melakukan pemberedelan dan akan membakar majalah

tersebut. Menurut Yudho, tindakan penarikan itu sesuai dengan kesepakatan Muspida untuk

mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan.

Polres Salatiga kemudian menindaklanjuti kesepakatan itu. Polres pun meminta keterangan

kepada pengelola LPM Lentera. Yudho menyatakan pemanggilan itu hanya untuk mengorek

informasi.

Selain itu, Polres dengan menggunakan jajaran intel mengaku hanya ingin mengklarifikasi.

Tujuannya, ujar Yudho, jika ada yang mempermasalahkan, masalah itu sudah diklarifikasi.

(7)

“Jika saya melakukan tindakan hukum, saya tidak pakai intel, tapi reserse,” ucap Yudho.

ROFIUDDIN

Sumber: Tempo.co

URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/19/058710758/majalah-lentera-diberedel-polisi-sampulnya-bendera-palu-arit

Referensi

Dokumen terkait