• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Sebuah karya seni yang berkembang di suatu wilayah, sering diidentifikasikan sebagai sebuah produk kebudayaan. Pengertian dari produk kebudayaan itu sendiri sangatlah luas, karena di dalamnya kita akan menemukan beberapa unsur yang satu dengan lainnya saling terkait. Di antaranya adalah sistem, gagasan, yang disertai pula dengan tindakan dari masyarakat pendukungnya. Dengan demikian hasil karya-karya seni tersebut diharapkan kelak akan berguna bagi kehidupan manusia.

Kebudayaan itu sendiri sebenarnya memiliki tiga aspek, yang pertama adalah himpunan ide, yang diidentifikasi sebagai sebuah konsep dan idea dari suatu kelompok, kemudian yang kedua adalah kegiatan yang mencakup suatu aktifitas kelompok dan yang ketiga adalah benda hasil karya manusia, yang bersifat fisik atau benda hasil kebudayaan tersebut (J.J Honigman dalam Jajang Suryaman, 2002:21).

Sebagai sebuah produk kebudayaan, perkembangan yang terjadi dalam kegiatan kesenian atau lebih spesifik lagi pada konteks seni pertunjukan sampai kini tetap menjadi wacana yang menarik untuk dikaji. Di dalamnya kita akan mendapatkan beberapa aspek, di antaranya tentang bentuk pertunjukannya, konsep pertunjukannya, dan aktivitas pertumbuhannya.

Seni pertunjukan sangat berkait erat dengan kehidupan manusia, hal ini dikuatkan oleh dugaan para ahli yang menyatakan bahwa kemungkinan besar usia seni pertunjukan itu sendiri hampir sama dengan peradaban manusia. Dalam perkembangannya, kebudayaan Indonesia justru semakin berwarna setelah terjadinya kontak budaya dengan kebudayaan luar, yang dimulai dari kebudayaan India (Soedarsono,1999:3).

Keberadaan seni pertunjukan itu sendiri memiliki fungsi dan masa yang berbeda-beda, namun tetap erat berkait dengan kehidupan manusia sebagai mahluk yang menjalaninya. Contohnya adalah digunakannya tarian-tarian sebagai media perantara dalam memanggil atau berkomunikasi dengan alam para ruh nenek moyang

(2)

dalam sebuah ritual, misalkan untuk memperingati daur hidup manusia sejak lahir sampai mati atau mengusir wabah penyakit yang sedang terjadi di suatu wilayah.

Fungsi dari ritual tersebut tampaknya kini telah bergeser, semula ritual ini erat dengan kegiatan religi, namun kini lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat duniawi atau profan, sebagai contoh kita lebih sering melihat sebuah aktivitas seni berfungsi sebagai penggugah solidaritas, sebagai media propaganda bahkan media hiburan dan lainnya, contohnya kesenian ini sering digunakan sebagai pertunjukan pada tamu-tamu pemerintah daerah, prosesi menyambut pengantin, serta pada kegiatan festival di tingkat daerah, nasional dan mancanegara. Di sini dapat disimpulkan bahwa setiap karya yang diciptakan oleh manusia tentu memiliki maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan tersebut ada yang bersifat fungsional, konseptual yang sarat dengan nilai-nilai filosofis.

Aktifitas dalam seni pertunjukan dapat dikaji dari berbagai aspek, terlebih jika bentuknya kesenian tersebut bermuatan nilai tradisional atau bersifat etnik. Istilah tradisional sendiri adalah untuk menjelaskan segala yang berkaitan dengan tradisi, sesuai dengan kerangka dan pola-pola bentuk maupun penerapan yang berulang (Edy Sedyawati,1981: 58) atau sesuatu yang terpancarkan atau disampaikan dari masa lalu hingga ke masa kini dan tidak semata pada hal yang bersifat fisik namun berkait pula pada suatu kontruksi budaya. (Edward Shills,1981:12).

Sifat etnik dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk kesenian yang memiliki serangkaian pola dan kerangka yang sesuai dengan tradisi dan nilai etnik dari lingkungannya berada. Dan faktor geografis, gelombang perpindahan dan unsur serapan dari budaya-budaya lain dari wilayah Asia Tenggara, merupakan penyebab dari keanekaragaman bentuk kebudayaan di wilayah Indonesia (Koentjaraningrat, 2002:30).

Setiap bentuk kebudayaan memiliki ciri khas tersendiri dan penamaannya berdasarkan letak wilayah masing-masing. Salah satu bentuk kebudayaannya yang terletak di wilayah pantai disebut kebudayaan pesisir. Salah satu hasil kebudayaannya adalah seni pertunjukan. Kesenian yang lahir di wilayah pesisir berkembang seiring dengan proses akulturasi budaya, selain kondisi masyarakat pesisir yang adaptif, mereka juga menggunakan kesenian sebagai sarana religi dan ritual sebagai sarana penyebaran agama, terutama pada awal penyebaran Islam.

(3)

Dari aspek bentuk, kesenian yang ada di Cirebon pada umumnya memiliki aspek estetika visual, nilai spiritual yang tinggi dan bermuatan filosofis, hal ini berkait dengan kehadiran dan pengaruh Sunan Gunung Jati sebagai pemegang otoritas pemerintahan serta pimpinan spritual tertinggi di Cirebon. Masyarakat di Cirebon pada umumnya masih terikat pada hal-hal yang bersifat mistis, dan hal lainnya adalah kecenderungan kaum laki-laki menjadi seniman, sehingga refleksi karya yang dihasilkan berkesan kuat dan berani (Cerbon,1982: 23).

Pada kegiatan penelitian ini, objek yang dikaji adalah sebuah seni pertunjukan yang masih memiliki pola dan kerangka yang sesuai dengan etniknya, yaitu pertunjukan Tari Topeng Cirebon. Dalam perjalanannya, kesenian ini mengalami pergeseran fungsi dan nilai. Pada awalnya kesenian ini memiliki nilai yang sangat sakral, terutama bagi sebagian masyarakat pendukungnya yang tetap menggunakan kesenian ini sebagai ritual tradisi.

Sebagai contoh kita masih menemukan di beberapa wilayah Cirebon, penyajian tarian ini sebagai sarana ritual kedaerahan yang erat dengan ketentuan-ketentuan adat, seperti menjelang masa tanam, memasuki masa paceklik atau pada masa kemarau panjang, upacara kaulan dan lainnya. Walaupun fungsinya telah bergeser, namun bagi masyarakat pendukungnya kesenian topeng tersebut masih tetap memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan bentuk tuanya serta menggambarkan filosofi hidup manusia.

Sekalipun Topeng Cirebon telah menjadi tontonan hiburan rakyat, namun bentuk tarian tersebut masih membawa bentuk-bentuk tuanya, tentu dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang sejarah keberadannya. (Jakob Sumardjo, 2002:203)

Ciri khas dari kesenian ini adalah tampilnya lima penari dengan lima karakter dalam satu pertunjukan yang mencerminkan suatu siklus hidup manusia dari bayi hingga dewasa, serta penggunaan kedok ditambah beberapa unsur lainnya, yaitu Tekes atau Sobrah, Mahkuta, Jamang, Rarawis, Tutup Rasa, Krodong atau Mongkrong, baju, celana dan kain sinjang.

Pada awalnya kostum dan aksesoris semula berfungsi sebagai kelengkapan tari saja, namun saat digunakan untuk menari fungsinya adalah sebuah kesatuan yang membangun eksistensi karakter dan penokohannya, sehingga menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan sarat makna.

(4)

Sampai kini memang tidak terungkap dengan jelas, siapa sesungguhnya pencipta kostum dalam pertunjukan topeng tersebut, namun makna dan kandungan filosofis di dalamnya diduga memiliki keterkaitan yang erat dengan sejarah kota Cirebon, Sunan Gunung Jati, Majapahit, riwayat Panji serta nilai-nilai filosofi dari ajaran Hindu, Budha, Islam dan Jawa. Keterkaitan kesenian topeng dengan riwayat Panji dijelaskan pula sebagai berikut :

Topeng Cirebon yang dikenal hingga sekarang berdasarkan mitos atau cerita Panji. Panji adalah ‘pahlawan budaya’ bagi masyarakat Hindu-Budha, sekurang-kurangnya pada jaman Majapahit. ...Panji adalah calon raja pada sebuah Kerajaan Hindu-Jawa yang besar dan melegenda tiga ratus tahun kemudian di zaman Majapahit dan hingga kini Panji dan permaisurinya, Candrakirana adalah nenek moyang raja-raja Jawa dikemudian. (Jakob Sumardjo, 2002:236)

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan pada masa pertumbuhannya yaitu di zaman kerajaan Hindu, tarian ini berkembang di wilayah keraton dan digunakan para raja-raja untuk menghibur para penonton perempuan, yaitu permaisuri, ratu dan kerabat istana. Sedangkan pada masa Islam, tarian ini berfungsi sebagai media dakwah oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga untuk menyiarkan agama Islam dimasa itu.

Jika kita tinjau dalam pertumbuhannya, muncul dugaan bahwa aspek - aspek yang ada dalam tarian ini yaitu gerak, fungsi dan kelengkapan yang digunakan dalam pertunjukan ini memiliki pula sejarah tersendiri dalam ‘kelahiran’ nya. Hal ini terlihat pada penari topeng tradisi yang masih mematuhi aturan yang ada dalam penggunaan kostum, contohnya penggunaan topeng, sobrah, krodong dan lainnya. Sikap kepatuhan terhadap aturan pada pengenaan kostum tersebut dapat dikatakan sebagai upaya bagi para penari agar terjaganya nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya sesuai dengan tradisi yang mereka miliki.

Kostum yang digunakan oleh para pedalang pun ternyata memiliki kaitan yang erat dengan karakter topeng yang dipakai, dan karakter pada topeng dinamakan wanda. Apabila dikaitkan dengan misi dakwah yang berlangsung pada masa Islam, maka maksud pemberian wanda tersebut menggambarkan suatu tingkat kearifan serta keimanan dari seorang manusia, sedangkan pada masa perkembangan kesenian ini di masa Hindu, penokohan atau wanda tersebut erat kaitannya dengan cerita raja di Jawa, yaitu kisah Panji dengan permaisurinya Candrakirana.

(5)

Visualisasi yang dapat dicerap secara inderawi menunjukkan adanya suatu ‘tingkatan’atau ’perjalanan’ yang sarat dengan tafsir. Tafsir-tafsir tersebut dapat digali melalui warna topeng, ekspresi wajah pada topeng, jenis tarian, gerakan dan semua unsur yang ada di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perupaannya, termasuk di dalamnya peran akulturasi budaya.

Dalam catatan sejarah diungkapkan bahwa pada abad-abad awal di wilayah ini pernah berhubungan dengan kerajaan-kerajaan yang pusatnya berada di luar Jawa maupun di wilayah pulau Jawa. Karena wilayah ini berada di pesisir, yang secara harfiah dijelaskan sebagai tempat di tepian laut (Edy Sedyawati, Budaya Indonesia , 2006:337). Wilayah pesisir dianggap jalur yang strategis dalam perdagangan dan pelayaran kuna, sehingga perkembangan serta kemajuan di wilayah khususnya daerah dekat pantai mengalami percepatan seiring dengan maraknya hubungan perkapalan dan perdagangan di wilayah ini.

Faktor letak wilayah Cirebon setidaknya mempengaruhi pula pada perkembangan seni tari topeng yang berada di wilayah Cirebon berkembang dibeberapa wilayah, antara lain wilayah Losari, Palimanan, Slangit, Pakandangan-Indramayu, Gegesik dan lainnya. Dan setiap daerah dianggap memiliki karakter yang berbeda-beda, seperti pada aspek gaya kostum, gerakan tarian, urutan tampilan dan unsur yang digunakan oleh penarinya. Berikut adalah peta wilayah desa Slangit di Kabupaten Cirebon di antara wilayah kesenian topeng lainnya.

Gambar I.1 Peta Wilayah Slangit

(1). Slangit -Klangenan, (2).Cirebon Utara, (3). Kapetakan, (4). Arjawinangun, (5). Ciwaringin, (6). Plumbon, (7) Sumber

(6)

Pada penelitian ini penulis akan mengkaji unsur-unsur visual dalam sebuah kotum tari yang digunakan oleh penari topeng di wilayah Slangit Cirebon, yaitu Keni Arja. Ia adalah penari topeng generasi ke sembilan dari generasi Arja. Saat ini Keni Arja adalah satu-satunya penari topeng perempuan yang masih hidup, dan dapat diketegorikan sebagai pedalang sepuh artinya penari topeng tersebut memiliki tingkat keterampilan, pengabdian dan eksistensi yang mendalam pada kesenian ini.

Kostum yang digunakan oleh seorang penari topeng Keni Arja ternyata tidak semata berfungsi sebagai penutup tubuh dan menambah nilai keindahan saja, melainkan ada maksud dan tujuan dari penggunaannya, terlebih jika dikaitkan dengan fungsi dan keberadaan seni topeng di wilayah Cirebon, yang sarat dengan nilai-nilai ritual religius.

I.2 Rumusan Masalah

Sebuah kostum lahir sebagai salah satu objek material kebudayaan yang telah dimulai dari masa lampau hingga berkembang sampai kini. Selain berfungsi sebagai penutup tubuh, ia berperan juga sebagai asas keindahan, serta asas kesopanan. Begitu pula yang terjadi atas kostum tari Topeng Cirebon, selain memiliki fungsi untuk menutupi tubuh penarinya, juga menambah nilai keindahan pada para penari, atas dasar tersebut objek penelitian ini menjadi penting untuk dikaji antara lain :

1. Bagaimana bentuk kostum Tari Topeng Babakan yang ada di wilayah Slangit-Cirebon?

2. Bagaimanakah nilai estetik dan simbolik yang terkandung dalam visualisasi kostum di wilayah tersebut?

I.3 Pembatasan Penelitian

Dari beberapa wilayah yang ada di Cirebon, penulis tertarik untuk menjadikan Slangit sebagai objek penelitian. Slangit yang dikenal sebagai daerah Cirebon pedalaman atau pegunungan yang memiliki beberapa kekhasan tersendiri, diantaranya dalam aspek gerakan, yaitu gerak bahu dan pinggang yang terlihat kuat, gesit, urutan gerak yang detail dan terperinci. Dari aspek kostum, gaya kostum

(7)

Slangit juga dianggap sebagai kostum yang masih patuh terhadap bentuk asalnya, serta menjadi bahan rujukan bagi wilayah lainnya, kecuali Losari.

Saat ini Keni Arja adalah satu-satunya penari topeng sepuh di daerah Slangit yang masih bertahan di antara saudara-saudara lainnya. Pemilihan Keni Arja sebagai sumber primer dalam penelitian dilandasi faktor-faktor sebagai berikut, yaitu Keni Arja adalah pewaris tari topeng generasi Arja yang masih hidup, sehingga dapat memahami struktur lama pada pemakaian kostum, kelengkapan, kegunaan, serta makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Keberadaan penari topeng perempuan di wilayah Cirebon sempat mengalami sedikit hambatan karena proses pewarisan topeng yang pada umumnya dilakukan pada generasi laki-laki. Dan proses pewarisan pada kaum perempuan biasanya akan terhambat atau terputus karena perempuan yang telah menikah sering dilarang untuk menari oleh suaminya. Faktor lainnya adalah pada masa Islam, wanita dilarang menari karena menari diidentikan dengan tarian ronggeng yang gerakannya erotis, sedangkan hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.

Jenis pertunjukan topeng yang dipilih sebagai objek adalah jenis Topeng Babakan, yang menampilkan tarian lepas atau tunggal, disuguhkan per babak, tidak mementingkan isi cerita, melainkan menampilkan keindahan gerak penari dan diselingi oleh bodoran atau lawakan.

Dengan pemilihan sampel di wilayah tersebut, diharapkan penulis dapat mendeskripsikan unsur-unsur visual pada sebuah kostum tari topeng pada periode tahun 2006, hingga penulis dapat mengkaji nilai estetik dan simbolik yang terkandung dalam kostum tersebut.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan keinginan untuk mengkaji nilai estetik dan simbolik yang terdapat pada sebuah kostum tari topeng Cirebon tersebut, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Memahami dan mendeskripsikan nilai estetik dan simbolik yang terdapat dalam sebuah kostum.

2. Mengidentifikasi data mengenai atribut yang dikenakan para penari topeng di wilayah penelitian berdasarkan karakteristik, sifat, dan ciri-ciri khas yang ada pada sebuah kostum.

(8)

3. Mendeskripsikan tentang perbedaan dan persamaan yang ada pada kostum yang digunakan penari topeng Keni Arja pada tahun 2006 dengan kostum tari topeng di daerah Jawa dan kerajaan Kutai pada awal abad 19.

4. Memperkaya keilmuan dan literatur akademik yang berhubungan dengan salah satu artefak bangsa.

Manfaat penelitian :

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sebuah data tertulis tentang kostum-kostum yang digunakan oleh para penari tari topeng Cirebon.

2. Dapat mendeskripsikan makna serta simbolisasi yang ada dalam setiap unsur visual pada sebuah kostum tari topeng Cirebon, khususnya di wilayah yang dijadikan objek penelitian.

3. Menjadi sumber data bagi penelitian dan kajian selanjutnya tentang topeng.

I.5 Metodologi Penelitian

Berangkat dari tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka penyelesaian masalah dalam penelitian ini didekati dengan metoda deskriptif-kualitatif, yakni dengan menjalani pengamatan partisipan secara langsung, mengumpulkan informasi dari para nara sumber, informan dan responden tentang kostum tari yang digunakan oleh para penari pada kegiatan pertunjukan. Metoda studi komparatif digunakan selain memberikan data tentang keberadan kostum yang ada di wilayah tersebut, juga mendapat gambaran tentang persamaan dan perbedaan kostum yang berada di wilayah tersebut.

Pada penelitian ini akan digunakan pula pendekatan dengan teori-teori budaya yang bersifat interdisiplin, sehingga dapat dilakukan analisa serta interpretasi berdasarkan hasil data yang diperoleh. Populasi dalam penelitian ini adalah kostum-kostum tari topeng yang dipakai penari topeng Keni Arja pada periode tahun 2006 dan sampel yang digunakan adalah kostum yang dipakai pada tari topeng jenis Babakan, yang terdiri dari kostum Panji, Pamindo, Rumyang, Patih dan Klana

(9)

I.5.1 Sumber Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pencarian data yang terbagi atas data primer dan sekunder. Dalam penelitian kualitatif kedudukan data menempati peringkat tertinggi dan langkah pertama yang harus diambil setelah merumuskan masalah adalah menentukan jenis data yang akan digunakan, mencari sumber data dan melakukan kritik terhadap sumber, maka jenis data yang diolah adalah jenis data primer dan sekunder.

1. Data primer berupa dokumentasi, gambar dan foto yang didapat dari penari topeng di wilayah Slangit, pemerhati kesenian topeng, budayawan dan narasumber lain, baik dari lingkungan praktisi maupun akademis.

2. Data sekunder, sumbernya berasal dari studi literatur yang berkaitan dengan budaya Cirebon serta kesenian topeng di wilayah Cirebon, seperti majalah, jurnal, makalah penelitian, surat kabar, foto-foto dan lain sebagainya. Kegiatan wawancara digunakan untuk melengkapi data-data dan jawaban-jawaban tersebut akan di reduksi dan di analisis.

Proses pencarian data akan dilakukan penulis dengan meninjau langsung pada sanggar lokal, penari topeng dari lingkungan akademis, serta penari yang aktif di keraton. Informasi yang bersifat lisan dan tertulis juga akan dicari dari pihak keraton sebagai pusat konservasi budaya tertinggi di wilayah Cirebon, yaitu Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan dan Kacirebonan.

Kegiatan dokumentasi serta membuat rekontruksi dari gambar-gambar yang didapat akan dilakukan penulis sebagai data untuk mempermudah proses deskripsi dan analisa terhadap kostum-kostum tersebut. Sumber dari kegiatan analisa akan diambil dari keterangan para narasumber baik yang sifatnya tertulis maupun lisan, disertai studi literasi pustaka-pustaka dan dokumentasi milik

Untuk kegiatan analisa akan dilakukan dengan melakukan klasifikasi data-data yang telah diperoleh langsung dari sumber primer yaitu penari topeng Keni Arja. Klasifikasi akan dilakukan dengan cara membagi kostum menjadi unsur utama dan unsur tambahan, kemudian dilakukan pembagian berdasarkan unsur bagian atas, unsur bagian tengah dan unsur bagian bawah. Setelah proses klasifikasi, maka semua unsur akan di rekontruksi atau digambar ulang, diharapkan langkah tersebut akan mempermudah penulis untuk melakukan kegiatan analisa pada objek kaji.

(10)

I.6 Asumsi

Dari aspek visual, kostum tari topeng yang digunakan oleh penarinya memiliki banyak kelengkapan, yang dapat dicermati sebagai hasil olah fikir dari si penciptanya. Diduga unsur-unsur visual yang ada di dalamnya merupakan hasil peleburan dari berbagai bentuk kebudayaan yang ada pada masa terbentuknya kesenian ini, di antaranya :

1. Makna dan simbol yang ada di dalam sebuah kostum menyiratkan tentang filosofi hidup perilaku manusia dan hubunganya dengan Tuhan-Nya dalam bentuk tingkatan keimanan dan tingkatan nafsu manusia.

2. Perubahan yang terjadi dalam unsur visual kostum merupakan ekspresi sikap seniman dan penari topeng terhadap perkembangan zaman serta respon dari sikap masyarakat pendukungnya, tetapi unsur-unsur tersebut pada umumnya masih mengacu pada bentuk kostum yang sudah ada dan digunakan pada masa perkembangan kesenian ini.

I.7 Kerangka Berfikir

Pada hasil akhir dari penelitian ini diharapkan penulis dapat mengungkap dan menjelaskan pembagian jenis-jenis kostum tari topeng yang ada dan masih digunakan oleh para penari di Cirebon, kemudian dilakukan proses analisa terhadap makna-makna simbolis yang tersirat di dalamnya. Untuk mempermudah alur penelitian ini, maka penulis akan memaparkan beberapa kosep tentang kebudayaan, konsep seni tradisi, pola pikir masyarakat Cirebon serta konsep religi masyarakat Cirebon.

Permasalahan kebudayaan masyarakat Indonesia dipandang oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam Rokhmin Dahuri (2004:198), sebagai sesuatu yang kompleks dan bersahaja, yakni bersifat keseluruhan dan emosional, serta amat dikuasai oleh perasan, yang sangat rapat dengan pengaruh kebudayaan agama, kepercayaan kepada ruh-ruh dan tenaga-tenaga gaib yang meresapi seluruh kehidupannya.

Konsep kebudayaan masyarakat pesisir terbentuk atas pengaruh dari berbagai budaya pendatang, diantaranya India, Hindu, Budha dan Arab. Pengaruh beragam budaya tersebut akhirnya membentuk pola pemikiran masyarakat Cirebon. Sebelum periode Islam, kebudayaan di daerah pesisir sebelumnya diwarnai oleh kebudayaan

(11)

Hindu yang berakibat pada bentuk-bentuk pemujaan dan tradisi mengkultuskan roh-roh sebagai manifestasi kepatuhan mereka terhadap alam.

Pada masa Islam berbagai bentuk-bentuk kebudayaan berubah. Dan Islam dianggap sebagai pembawa pengaruh yang paling besar pada bentuk kebudayaan di Indonesia, terutama pada kebudayaan masyarakat petani, kebudayaan masyarakat peladang dan kebudayaan pantai.

Namun pada kenyataannya perkembangan kebudayaan yang terjadi di wilayah ini sebenarnya sangat kompleks, karena dasar animisme dan dinamisme masyarakat pesisir telah lahir menjadi kebutuhan dasar dan naluri yang berkembang dalam kehidupan sosial dan spriritualnya. Agama Islam yang berkembang serta merta tidak menghapus seluruh peninggalan ajaran yang sebelumnya.

Masyarakat Cirebon adalah tipikal masyarakat pesisir, kehidupannya sangat erat dengan bidang perniagaan dan ’orang asing’ yaitu para kaum pendatang (Jakob Soemardjo, 2002:32). Kondisi seperti ini akhirnya membentuk karakteristik terhadap rasa percaya diri, aktif, pragmatis, yaitu memiliki kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran bergantung pada penerapan dan kepentingan manusia, serta segala sesuatu memiliki sifat tidak tetap, tumbuh, terus berubah, siap dalam persaingan dan harga diri yang tinggi.

Terkadang pertarungan atas rasa harga diri justru timbul akibat persaingan yang tercipta dalam kegiatan perniagaan dan tingkat kekayaan yang dimilikinya. Pandangan ini turut melahirkan kontruksi terhadap bentuk-bentuk kesenian yang ada, karena pada dasarnya setiap tempat dan ruang budaya memiliki bakat primordial atau pandangan atas dasar nilai aslinya serta mengalami perkembangannya masing-masing.

Sedangkan dalam konsep kesenian masyarakat Indonesia, suatu karya seni yang erat dengan nilai tradisi selalu dikaitkan dengan nilai-nilai luhur, ia tidak semata pada nilai keindahanya saja, melainkan unsur indah yang ada di dalamnya berkaitan dengan kaidah moral, adat, tabu, agama dan lainnya (Primadi Tabrani, 1995:16). Dan sebagai produk dari sebuah kebudayaan ia selalu terkait dengan idea, aktivitas dan artefaknya (Honigman dalam Tjetjep Rohendi, 2000:6).

Dalam kegiatan pembacaan unsur kebudayaan, kita akan berhadapan dengan nilai-nilai simbolik. Kaitan antara kebudayaan dan simbol dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan yang perangkat dan modelnya terjalin menyeluruh dan ditransmisikan secara historis.

(12)

Dan dalam sebuah simbol, akan terdapat berbagai makna, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan dan pengalaman tertentu yang dipahami secara bersama. Artinya, dalam kebudayaan terdapat sistem simbol, dan dalam konstruksi masyarakat ia berwujud sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pada penelitian ini penulis membuat alur pikir yang dirancang sebagai berikut :

Bagan I.1 Skema Berpikir (Sumber : penulis, 2007)

I.8 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, lokasi penelitian, metodologi penelitian, kerangka penelitian dan kerangka berfikir termasuk sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teori, yang akan memaparkan konsep kebudayaan dan kajian unsur visual yang bersifat teoritis. Pada bab ini terdiri atas beberapa sub-bab yang isinya akan memaparkan teori-teori yang berkait dengan judul penelitian, yaitu teori seni rupa tradisi Indonesia, yang berguna untuk membaca simbol dan makna yang

(13)

terkandung dalam objek penelitian, disertai dengan teori cara membaca makna pada artefak seni rupa tradisi.

Bab III Seni Pertunjukan Tradisi di Indonesia, yang akan berisi tentang paparan secara deskriptif tentang seni pertunjukan Indonesia dan Cirebon. Pemaparan di mulai dari kondisi geografi wilayah Cirebon, hal ini akan membawa peneliti untuk memperhatikan adanya faktor-faktor geografi pada visualisasi dari objek. Pembahasan selanjutnya adalah kondisi sosial budaya dari wilayah Cirebon, termasuk bentuk kesenian dan bahasa yang ada pada objek, serta konsep kesenian yang ada di masyarakat Cirebon pada umumnya.

Bab IV Kostum Tari Topeng Cirebon, akan berisi tinjauan secara khusus pada jenis kostum yang menjadi ciri khas dari wilayah yang diteliti. Penguraiannya akan didampingi dengan tinjauan sejarah dan fungsi kostum, selain itu akan dipaparkan pula sejumlah data berupa skema serta elemen-elemen yang ada pada setiap kostum serta istilah dan kegunaannya, pembagian ini sifatnya akan diungkap secara umum dan deskriptif. Pada sub-bab selanjutnya akan dipaparkan kaitan antara topeng yang dikenakan penari serta kaitan gerak dalam tari dengan kegunaan kostum tersebut.

Bab V Unsur Visual dan Nilai Simbol dalam Kostum Tari Topeng Babakan di Slangit-Cirebon, akan berisi uraian dan tentang analisa dari data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis. Proses analisa tersebut tentunya akan disertai dengan teori-teori yang dapat membantu membuat simpulan serta interpretasi pada setiap unsur yang terkandung dalam kostum yang diteliti.

Bab VI Simpulan, akan berisi simpulan akhir dari kegiatan penelitian ini. Sifatnya memberitakan kesimpulan akhir serta temuan-temuannya, terhadap semua unsur yang diteliti, sekaligus menjadi jawaban atas asumsi yang dilakukan pada bab pendahuluan.

Gambar

Gambar I.1 Peta Wilayah Slangit

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Oleh karena itu penelitian ini akan menguji pengaruh-pengaruh variabel internal bank yang terdiri dari Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Performing Loan (NPL),

Keberadaan Sistem Informasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang menunjang proses bisnis perusahaan tidak terlepas dari dukungan layanan Teknologi Informasi

Hasil penelitian yang menunjukan nilai ekonomi air total resapan hutan lindung Gunung Sinabung dan hutan lindung TWA Deleng Lancuk di Desa Kuta Gugung dan Desa Sigarang

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

192 / 393 Laporan digenerate secara otomatis melalui aplikasi SSCN Pengolahan Data, © 2018 Badan

P (Participants) P1 dalam dialog tersebut adalah Lorna yang sedang berbicara pada P2 yaitu James... 145 No

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang