• Tidak ada hasil yang ditemukan

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR) KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

INCREMENTAL CAPITAL OUTPUT RATIO (ICOR)

KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2008

Kerjasama :

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung dengan

(2)

BUPATI BANDUNG Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, buku publikasi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Bandung Tahun 2008 dapat diterbitkan.

Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan hal yang sangat penting dalam menghasilkan pembangunan perekonomian yang berkualitas, yang pada akhirnya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu dalam melakukan perencanaan diperlukan data makro terukur yang menggambarkan kinerja pembangunan yang telah dilakukan sebagai dasar perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan yang berkelanjutan.

Publikasi ini memuat data tentang Koefisien ICOR menurut lapangan usaha Kabupaten Bandung dalam periode tahun 2007. Dengan demikian diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam penentuan kebijakan pembangunan di Kabupaten Bandung, khususnya sebagai bahan perencanaan dan evaluasi pembangunan di bidang ekonomi.

Akhirnya kami sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya publikasi Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Kabupaten Bandung Tahun 2008 ini. Diharapkan publikasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Soreang, Desember 2008 BUPATI BANDUNG

(3)

P E N G A N T A R

Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antar bangsa yang semakin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa berdaya saing tinggi. Sebagai Kabupaten yang besar di Jawa Barat, Kabupaten Bandung memiliki potensi pembangunan yang besar dan beragam. Pengelolaan yang baik terhadap sektor-sektor tersebut dapat mengembangkan produk-produk unggulan.

Peranan Kabupaten Bandung cukup dominan terhadap perekonomian Jawa Barat oleh karena itu diperlukan perencanaan yang memadai untuk pembangunan pada semua sektor yang terarah dan sebaik-baiknya. Untuk itu hasil-hasil pembangunan seluruh sektor perlu dievaluasi dan dianalisa untuk kemudian dijadikan masukan bagi perencanaan pembangunan berikutnya. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk evaluasi dan perencanaan terutama yang berkaitan dengan investasi adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) untuk mengukur efisiensi dari suatu investasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) berupaya menjadi bagian dari upaya peningkatan pembangunan ekonomi makro. Disadari bahwa data tidak dapat diperoleh dengan mudah, tetapi sangat penting dilakukan pemutakhiran setiap waktu. Untuk itu BPS bekerjasama dengan BAPEDA Kabupaten Bandung menyediakan data ICOR Kabupaten Bandung tahun 2008 dalam bentuk publikasi.

Publikasi ini berisi besaran ICOR dari setiap sektor yang menjadi ukuran kinerja investasi yang diciptakan pada setiap lapangan usaha perekonomian. Sektor industri pengolahan yang mempunyai peranan terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bandung, sehingga perlu dibagi kedalam sub sektor industri pengolahan untuk melihat ICOR lebih rinci.

Semoga publikasi ini dapat berguna untuk bahan perencanaan dan pengambilan kebijakan dalam pembangunan perekonomian Kabupatan Bandung. Terima kasih kami ucapkan kepada kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran publikasi ini sehingga bisa terbit tepat waktu.

Bandung, Desember 2008 BPS Kabupaten Bandung

Kepala,

Soegiri Soetardi, MA NIP 340010736

(4)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN... i

PENGANTAR... …...……….. ii

DAFTAR ISI ………...………...…... iii

BAB I. PENDAHULUAN ………...………... 1 1.1. Pendahuluan ………... 1 1.2. Tujuan Penelitian ….……….………… 5 1.3 Alokasi Sampel……….….………. 5 1.4 Persiapan Lapang……….………. 6 1.5 Sistematika Penulisan……….……….. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….……….…… 7

2.1. Pengertian Incremental Capital Output Ratio……… 8

2.2 Pengertian Kapital dan Investasi..………….…………..… 9

2.3 Pengertian Output……….………. 11

2.4 Pengertian Nilai Tambah….……….………… 12

2.5 Industri Pengolahan dan Perusahaan Industri..………… 13

2.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan …… …………..……. 14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 18

3.1. Data dan Keterbatasan………..………… 18

3.2. Rumus dan Asumsi yang Digunakan ………..……... 20

3.2.1 Rumus Standar……….……….. 21

3.2.2 Rumus Akumulasi Investasi………... 29

3.2.3 Asumsi Dasar..………..…………. 30

3.3 Tahap-tahap Penyusunan ICOR Sektor Industri……….... 31

(5)

3.3.2 Penyesuaian Data Investasi………... 31

3.3.3 Penyesuaian Untuk Harga Konstan……….. 32

3.3.4 Penghitungan Nilai ICOR dengan Komputer……….. 33

3.3.5 Penyesuaian Tahap Akhir Dalam Penyusunan ICOR... 34

3.3.6 Pemilihan Lag Investasi……….. 34

BAB IV PEMBAHASAN……… 36

4.1 Tinjauan Ekonomi dari Sisi Penggunaan…………...…. 36

4.2 Koefisien ICOR Akumulasi periode 2000-2007………….. 39

4.3 Koefisien ICOR Akumulasi periode 2000-2004 dan 2005-2007………... 42

4.4 Koefisien ICOR Lag 0,Lag 1 serta Lag 2 Kab Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007……… 44

4.4.1 Koefisien ICOR Lag 0, Kab Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007…... 45

4.4.2 Koefisien ICOR Lag 1, Kab Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007…... 47

4.4.3 Koefisien ICOR Lag 2, Kab Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007…... 49

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasu yang rendah seperti Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi di Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Beberapa hasil survei lembaga internasional, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi Indonesia masih berada pada kelompok peringkat bawah dan selalu beradadi bawah negara-negara di sekitar kita, seperti Thailand dan Malaysia. Peringkat ini juga cenderung mengalami penurunan secara signifikan. Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi di Indonesia yang harus segera disikapi.

Perbaikan iklim investasi bukan hanya tanggungjawab pemerintah pusat, namun seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum, agar perekonomian Indonesia segera pulih dari krisis yang berkepanjangan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi

(7)

yang kondusif di daerahnya. Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing. Proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Kesiapan dan kemampuan daerah dalam berkreasi, merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan di daerah termasuk dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Sejalan dengan kondisi iklim investasi nasional yang memburuk, otonomi daerah diterapkan mulai tahun 2001. Selama 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi beberapa perubahan dalam tata pemerintahan di tingkat lokal. Banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk pembenahan, mulai dari tata kelembagaan pemerintahan, perencanaan perekonomian daerah dan kemasyarakatan serta lain sebagainnya. Disisi lain dengan berbagai alasan tidak sedikit justru dijumpai praktik-praktik negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, yang justru mengurangi daya saing investasi daerah. Keterbatasan pemda dalam melakukan pembiayaan pembangunan perekonomian daerah, sering dijadikan alasan mengeluarkan kebijakan yang justru kontraproduktif terhadap penciptaan daya saing investasi. Padahal dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah harus berupaya keras mendorong agar sebanyak mungkin investasi dapat masuk ke

(8)

daerahnya. Yang menjadi persoalan adalah investasi tidak selalu datang ke setiap daerah. Hanya daerah-daerah yang memiliki daya saing investasi yang baik yang akan mendapatkan peluang investasi yang lebih besar. Di era otonomi daerah, daerah-daerah harus bersaing dengan daerah-daerah lainnya untuk menarik investasi.

Investasi yang akan masuk ke suatu daerah bergantung kepada daya saing investasi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Daya saing investasi suatu daerah tidak terjadi dengan serta merta. Pembentukan daya saing investasin berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pelaku utama investasi adalah kalangan dunia usaha. Dengan demikian untuk mengetahui faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi daya saing investasi suatu daerah, penelitian ini mempertimbangkan persepsi dunia usaha dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi di suatu daerah. Persepsi ini juga perlu dipahami oleh Pemda. Sama halnya ketika ketika Pemda perlu mengetahui bagaimana kerangka berfikir investor dalam menentukan pilihan lokasi untuk investasi.

Dari berbagai literatur dan pendapat para pelaku usaha, faktor ekonomi, infrastruktur, politik dan kelembagaan, sosial dan budaya diyakini merupakan beberapa faktor pembentuk daya saing investasi suatu negara atau daerah. Secara umum investasi atau penanaman modal, baik dalam bentuk penanaman modala dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA) membutuhkan adanya iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur penanaman modal. Iklim

(9)

investasi daerah juga dipengaruhi juga oleh kondisi makro ekonomi daerah yang bersangkutan.

Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya saing terhadap investasi salah satunya bergantung kepada kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha, serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam upaya menarik investor, selain makroekonomi yang kondusif juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam arti luas. Kondisi inilah yang mampu menggerakan sektor swasta untuk ikut serta dalam menggerakkan roda ekonomi.

Bagi investor, informasi mengenai potensi investasi dan iklim investasi daerah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan lokasi untuk investasi. Tetapi hal ini tidak cukup samapi sebatas ketersediaan informasi saja. Diperlukan rangkaian upaya untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai iklim investasi di berbagai daerah, untuk membantu para investor dalam membuat keputusan lokasi investasinya. Pemeringkatan daya saing investasi daerah yang dilakukan oleh KPPOD salah satunya adalah untuk menjawab permasalahan di atas, disamping juga untuk membantu pemerintah daerah dalam melihat daya saingnya terhadap investasi dibandingkan dengan daerah lainnya.

Pemerintah Kabupaten Bandung perlu menjalin kerjasama dengan Badan Pusat Statistik untuk mengetahui data tentang investasi di wilayah Kabupaten. Hasil dari kerjasama ini

(10)

menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pemerintah kabupaten dalam hal investasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan publikasi ini antara lain untuk:

a. Menghitung ICOR seluruh sektor lapangan usaha menurut pengelompokan 1 digit berdasarkan International Standard Industrial Classification if All Economic Activities (ISIC) .

b. Menghitung ICOR sektor industri menurut pengelompokan 2 digit menurut pengelompokan ISIC. c. Menggolongkan nilai ICOR menurut kelompok lapangan

usaha berdasarkan lag investasi.

d. Menganalisis perbandingan nilai ICOR pada periode penelitian tahun 2007

1.3 Alokasi Sampel

Untuk memperoleh gambaran atau rasio invesatsi yang dilakukan institusi, maka dilakukan pencacahan secara sampel dengan jumlah sebanyak 700 responden di Kabupaten Bandung dengan sebaran sebagai berikut:

a. Jumlah sampel Survey Khusu ICOR 2007 sebanyak 700 responden, yang dialokasikan ke dalam seluruh sekto/kegiatan ekonomi yang tersebar di seluruh Kecamatan

b. Asumsi dasar yang dipakai adalah setiap karakteristi dari elemen sampel mempunyai sifat homogenitas.

(11)

c. Aloksi jumlah sampel menurut Kecamatan berdasarkan besarnya peranan PDRB

d. Penentuan alokasi sampel ke masing-masing sektor dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah unit usaha.

1.4. Persiapan Lapang

Petugas lapang pencacahan adalah staf/ KSK BPS Kabupaten Bandung dan mitra statistik yang sudah biasa melakukan penelitian. Pelatihan petugas dilakukan untuk menyamakan persepsi petugas mengenai konsep dan definisi serta tata cara pengisian daftar isian sesuai dengan pedoman pencacahan yang telah disusun. Pelatihan petugasdilaksanakan selama tiga hari agar isi materi serta sasaran survei dapat dipahami dengan baik. Selama pelatihan petugas diberikan fasilitas, akomodasi dibawah bimbingan instruktur.

1.5. Sitematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan di dalam publikasi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan Bab II Tinjauan Pustaka Bab III Metodologi Penelitian Bab IV Pembahasan

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Incremental Capital Output Ratio

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output. Karena unit kapital bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relatif tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal).

Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat merefleksikan besarnya produktifitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Secara teoritis hubungan ICOR dengan pertumbuhan ekonomi dikembangkan pertama kali oleh R. F. Harrod dan Evsey Domar (1939 dan 1947). Namun karena kedua teori tersebut banyak kesamaannya, maka kemudian teori tersebut lebih dikenal sebagai teori Harrod-Domar.

Pada dasarnya teori tentang ICOR dilandasi oleh dua macam konsep Rasio Modal-Output yaitu:

(i) Rasio Modal-Output atau Capital Output Ratio (COR) atau yang sering disebut sebagai Average Capital Output

Ratio (ACOR), yaitu perbandingan antara kapital

(13)

suatu periode tertentu. COR atau ACOR ini bersifat statis karena hanya menunjukkan besaran yang menggambarkan perbandingan modal dan output.

(ii) Ratio Modal-Output Marginal atau Incremental Capital

Output Ratio (ICOR) yaitu suatu besaran yang

menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan /menambah satu unit output baik secara fisik maupun secara nilai (uang). Konsep ICOR ini Iebih bersifat dinamis karena menunjukkan perubahan kenaikan/ penambahan output sebagai akibat langsung dari penambahan kapital.

Dari pengertian pada butir (ii), maka ICOR bisa diformulasikan sebagai berikut:

ICOR = ǻK / ǻY...(1)

dimana ǻK = perubahan kapital ǻY = perubahan output

Dari rumus (1) didapatkan pengertian bahwa ICOR merupakan statistik yang menunjukkan kebutuhan perubahan stok kapital untuk menaikkan satu unit output.

Dalam perkembangannya, data yang digunakan untuk menghitung ICOR bukan lagi hanya penambahan barang modal baru atau perubahan stok kapital melainkan Investasi (I) yang ditanam balk oleh swasta maupun pemerintah sehingga rumusan ICOR dimodifikasi menjadi:

(14)

dimana I = Investasi

ǻY = perubahan output

Rumus (2) dapat diartikan sebagai banyaknya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mendapatkan 1 unit output. Sebagai contoh, misalnya besarnya investasi pada suatu tahun di negara A adalah sebesar Rp 300 miliar, sedangkan tambahan output yang diperoleh dari hasil penanaman investasi itu adalah sebesar Rp 60 miliar, maka nilai ICOR negara A adalah sebesar 5 (300 miliar / 60 miliar). Angka ini menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 unit output diperlukan investasi sebesar 5 unit.

Pada kenyataannya pertambahan output bukan hanya disebabkan oleh investasi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan kemampuan kewiraswastaan. Dengan demikian untuk melihat peranan investasi terhadap output berdasarkan konsep ICOR, maka peranan faktor-faktor selain investasi diasumsikan konstan (ceteris paribus).

2.2. Pengertian Kapital dan Investasi

Secara umum kapital atau yang sering disebut sebagai

"Gross Capital Stock' merupakan akumulasi/penumpukan

pembentukan modal bruto dari tahun ke tahun yang digunakan untuk menghasilkan produk baru. Kapital secara fisik adalah seluruh barang modal yang digunakan dalam proses produksi seperti mesin, bangunan, kendaraan dan lainnya. Dalam sistem pembukuan neraca perusahaan, yang dimaksud dengan kapital adalah harta tetap (fixed assests) suatu badan usaha.

(15)

Sementara itu menurut konsep ekonomi nasional yang mengacu pada A System of National Account (UN, 1968) investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1). Sehingga setiap terjadi penambahan atau penimbunan kapital (modal) selalu dianggap sebagai investasi. Oleh karena itu besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal baru dari dalam negeri dan pembuatan dan pembelian barang modal baru maupun bekas dari luar negeri. Termasuk dalam PMTB ini adalah perbaikan besar barang modal yang mengakibatkan menambah umur pemakaian atau meningkatkan kemampuan barang modal tersebut, dikurangi dengan penjualan barang modal bekas.

Konsep barang modal sendiri adalah seluruh peralatan dan prasarana fisik yang digunakan di dalam proses produksi. Ciri-ciri barang modal adalah:

x Umur kegunaannya lebih dari 1 tahun atau mempunyai unsur ekonomis lebih dari satu tahun.

x Nilai belinya relatif besar.

x Manfaatnya akan dirasakan dalam jangka panjang atau dapat digunakan berulangkali di dalam proses produksi.

Dalam penghitungan ICOR, konsep investasi yang digunakan mengacu pada konsep ekonomi nasional. Pengertian investasi yang dimaksud di sini adalah fixed capital formation/pembentukan barang modal tetap yang terdiri dari tanah, gedung/konstruksi, mesin dan perlengkapannya,

(16)

kendaraan dan barang modal lainnya. Sementara itu nilai yang diperhitungkan mencakup:

x Pembelian barang baru/bekas

x Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan pihak lain x Pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan sendiri x Penjualan barang modal bekas

Fixed Capital Formation/Pembentukan Barang Modal Tetap dalam hal ini adalah Pembentukan BArang Modal Tetap Bruto (PMTB)

Total nilai investasi diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal baru/bekas, pembuatan/perbaikan besar yang dilakukan oleh pihak lain dan sendiri dikurangi oleh penjualan barang modal bekas.

2.3. Pengertian Output

Output adalah hasil yang diperoleh dari pendayagunaan seluruh faktor produksi balk berbentuk barang atau jasa seperti tanah, tenaga kerja, modal dan kewiraswastaan. Dari segi ekonomi nasional, output merupakan nilai dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor domestik dalam negeri dalam suatu periode tertentu.

Dari segi perusahaan, output mencakup nilai barang (komoditi) jadi yang dihasilkan selama suatu periode tertentu ditambah nilai perubahan stok barang (komoditi) yang masih dalam proses. Output yang dimaksud adalah:

x Barang-barang yang dihasilkan. x Tenaga listrik yang dijual. x Selisih nilai stok setengah jadi.

(17)

Output ini dihitung atas dasar harga produsen, yaitu harga yang diterima oleh produsen pada tingkat transaksi pertama. Karena masih mengandung nilai penyusutan barang modal, output ini masih bersifat bruto. Untuk mendapatkan output neto atas harga pasar, output bruto atas harga pasar harus dikurangi dengan penyusutan barang modal.

Dalam pengertian ICOR, output adalah tambahan (flow)

produk dari hasil kegiatan ekonomi dalam suatu periode atau nilai-nilai yang merupakan hasil pendayagunaan faktor produksi. Output ini merupakan seluruh nilai tambah atas dasar biaya faktor produksi yang dihasilkan dari seluruh kegiatan usaha. Untuk itu dalam penghitungan ICOR sektor industri dipakai konsep Gross Value Added (nilai tambah) bukan konsep output secara umum.

2.4. Pengertian Nilai Tambah

Nilai tambah adalah suatu tambahan nilai input antara yang digunakan dalam proses menghasilkan barang/jasa. Penambahan nilai input antara ini terjadi karena input antara tersebut telah mengalami proses produksi yang mengubahnya menjadi barang yang nilainya lebih tinggi. Input antara sendiri mencakup nilai seluruh komoditi yang habis atau dianggap habis dalam suatu proses produksi, seperti: bahan baku, bahan bakar, pemakaian listrik dan sebagainya. Barang yang digunakan sebagai alat dalam suatu proses produksi dan umurnya kurang dari setahun dan habis dipakai dimasukkan sebagai input antara bukan barang modal.

(18)

Nilai tambah bisa berupa nilai tambah bruto maupun nilai tambah neto. Nilai tambah bruto dari suatu unit produksi dihitung dari output bruto atas harga produsen dikurangi input antara atas dasar harga pasar. Sedangkan nilai tambah neto atas harga pasar dihitung dari nilai tambah bruto atas harga pasar dikurangi pajak tak langsung dan penyusutan. Karena keterbatasan data penyusutan dan pajak tak- langsung, maka konsep nilai tambah yang digunakan dalam penghitungan ICOR dalam publikasi ini adalah nilai tambah bruto atas dasar harga pasar.

2.5. Industri Pengolahan dan Perusahaan Industri

Industri pengolahan adalah kegiatan yang mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Termasuk di dalamnya adalah perusahaan yang melakukan kegiatan jasa industri dan pekerjaan perakitan

(assembling) dari suatu industri.

Perusahaan industri adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya yang terletak di suatu bangunan atau lokasi tertentu yang mempunyai catatan administrasi sendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada orang yang bertanggungjawab terhadap resiko usaha.

Sektor industri dikelompokkan ke dalam empat golongan berdasarkan banyaknya pekerja yaitu:

x Industri besar, dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih x Industri sedang, dengan tenaga kerja 20-99 orang

(19)

x Industri rumahtangga, dengan tenaga kerja 1-4 orang.

Karena keterbatasan data yang tersedia maka dalam penyusunan ICOR sektor industri pengolahan hanya digunakan data industri pengolahan yang berskala besar dan sedang.

2.6. Penelitian yang Pernah Dilakukan

Badan Pusat Statistik telah melakukan penghitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sektor industri pengolahan sebanyak tiga kali. Dua penghitungan pertama (1983 dan 1993) tidak dipublikasikan sementara penghitungan yang ketiga (1994) telah dipublikasikan. Pada penghitungan yang pertama (1983) digunakan series data

hasil survei tahunan industri besar dan sedang tahun 1975-1981 dan survei khusus barang-barang modal yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (sekarang menjadi Badan Pusat Statistik). Sementara pada penghitungan kedua (1993) digunakan series data hasil survei Tahunan Industri Besar dan Sedang tahun 1985-1990. Selanjutnya pada penghitungan ketiga (1994) digunakan data hasil Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang tahun 1980-1990. Ketiga penghitungan tersebut masing-masing dilakukan untuk 2 dan 3 digit ISIC.

Sebelum tahun 1985, Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang mengalami lewat cacah sehingga terjadi "under coverage" untuk jumlah perusahaan. Dalam mengatasi hal tersebut BPS telah melakukan

backcasting terhadap jumlah per usahaan sehingga

cak up an n ya le bih lengkap. Pada penghitungan ICOR kedua (periode 1985-1990) telah digunakan nilai output

(20)

sektor industri yang di-backcast sesuai dengan jumlah perusahaannya. Namun nilai investasi yang digunakan belum disesuaikan dengan cakupan yang lebih lengkap sehingga nilai ICOR yang diperoleh sangat rendah yang berkisar antara 1 sampai 2. Sebaliknya pada penghitungan ICOR ketiga (periode 1980-1990) telah dilakukan

backcasting terhadap nilai output dan investasi sehingga

cakupan datanya sama. Hal ini berpengaruh pada besaran ICOR yang dihasilkan relative lebih baik.

Untuk memperoleh satu nilai ICOR yang dapat mewakili suatu kurun waktu unttik masing-masing kiasifikasi industri digunakan penghitungan dengan rata-rata sederhana. Rumus yang digunakan pada penghitungan ICOR pertama dan kedua sebanyak 12 rumus standar. Sedangkan pada penghitungan ICOR sektor industri yang ketiga digunakan sebanyak 15 rumus standar yang juga digunakan pada penghitungan ICOR dalam publikasi ini (untuk rumus lebih jelas dapat dilihat pada bab III). Sebagai pembanding pada penghitungan ICOR ketiga dilakukan pula penghitungan berdasarkan akumulasi investasi dengan lag 1 yang pada dasarnya menerapkan prinsip rata-rata tertimbang. Selain itu pada pen gh it u nga n I C O R k e t ig a in i j ug s d i l a k u k a n p e n g h i t u n g a n I C O R y a n g memperhitungkan selisih stok bahan baku, barang jadi, dan barang setengah jadi.

Pada penghitungan ICOR yang pertama dan kedua digunakan nilai output dan nilai investasi sektor industri

(21)

pengolahan sebagai data dasar. Namun pada penghitungan ICOR ketiga digunakan nilai tambah sebagai proksi dari variabel output dan fixed capital formation

(pembentukan modal tetap bruto) sebagai proksi dari variabel investasi. Penggunaan variabel nilai tambah sebagai proksi dari input dilakukan untuk menghindari

double counting karena output suatu kegiatan bisa

merupakan input dari kegiatan yang lainnya. Nilai tambah yang digunakan dalam penghitungan ini adalah seluruh nilai output yang telah dikurangi dengan seluruh input/biaya antara. Selanjutnya komponen nilai tambah yang bukan merupakan hasil pendayagunaan barang modal dikeluarkan dari seluruh nilai tambah.

Data sektor industri pengolahan skala besar dan sedang yang digunakan dalam penghitungan ICOR ini merupakan data menurut harga berlaku sehingga masih terpengaruh oleh faktor harga. Oleh karena itu untuk mendapatkan data/nilai menurut harga konstan digunakan suatu indeks sebagai deflator.

Pada penghitungan ICOR pertama digunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator untuk nilai output pada masing-masing kode industri. Sementara deflator untuk nilai investasi pada penghitungan ICOR pertama adalah IHPB barang-barang modal yang dihitung berdasarkan data yang dikumpulkan melalui Survei Khusus Barang Modal.

Pada penghitungan ICOR kedua dan ketiga, deflator

(22)

penghitungan ICOR pertama yaitu dengan menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk masing-masing kode ISIC industri. Sedangkan deflator untuk investasi adalah rata-rata tertimbang IHPB dari kode ISIC 382 (industri mesin bukan mesin listrik), 383 (industri mesin listrik dan perlengkapannya), 384 (industri alat angkutan), dan 390 (industri Iainnya dengan penimbang output dari masing-masing kode di atas.

(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada Bab II telah dijelaskan beberapa konsep yang dipakai dalam penyusunan ICOR sektor industri pengolahan. Penjelasan tersebut masih sangat teoritis dengan anggapan bahwa data yang tersedia sesuai dengan kebutuhan untuk penghitungan. Namun pada kenyataannya tidak semua asumsi terpenuhi sehingga perlu dilakukan adjustment atau penyesuaian terhadap data yang digunakan. Pada bab III ini dijelaskan tentang data dan keterbatasannya, rumus-rumus yang digunakan dan metode penghitungannya.

3.1. Data dan Keterbatasannya

Data yang digunakan dalam penyusunan angka ICOR sektor industri pengolahan bersumber dari hasil Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang yang pengumpulan datanya dilakukan dengan pencacahan lengkap sejak tahun 1975. Selain data Survei Tahunan Industri Besar dan Sedang, digunakan juga Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sektor industri pengolahan menurut subsektor dan IHPB barang modal.

Dalam penghitungan ICOR sektor industri ini terdapat keterbatasan cakupan data. Data yang dicakup di sini hanya meliputi data industri besar dan sedang tanpa memperhitungkan data industri kecil dan kerajinan rumah tangga. S e l a i n i t u d a t a i n d u s t r i p e n g o l a h a n m i n y a k j u g a t i d a k d i c a k u p d a l a m penghitungan ini. Jika

(24)

industri pengolahan minyak dicakup di sini maka angka ICOR yang dihasilkan akan berbeda karena industri ini merupakan industri yang padat modal dan berteknologi tinggi. Di samping itu beberapa penyesuaian juga dilakukan terhadap data output, nilai tambah dan investasi. Penyesuaian yang dilakukan antara lain adalah dengan men-deflate nilai investasi dan output/nilai tambah menjadi harga konstan.

Beberapa karakteristik data industri besar dan sedang yang disertakan dalam penghitungan ICOR ini adalah:

a. Nilai Tambah Bruto (Value Added) merupakan selisih antara nilai output dan nilai input antara.

b. Nilai Investasi yang digunakan dalam penghitungan ICOR ini adalah data Fixed Capital Formation/Pembentukan Modal Tetap Bruto berupa:

x tanah, x gedung,

x mesin dan perlengkapannya, x kendaraan,

x modal tetap lainnya.

Karakteristik data yang dikumpulkan berkaitan dengan masing-masing komponen modal tetap ini mencakup:

(1). Pembelian/penambahan,

(2). Pembuatan/perbaikan besar barang modal tetap yang dilakukan sendiri,

(3). Pembuatan/perbaikan besar barang modal tetap yang dilakukan yang dilakukan pihak lain,

(4). Penjualan/pengurangan barang modal tetap.

(25)

ini meliputi penjumlahan butir (1), (2) dan (3) dikurangi butir (4). Konsep investasi yang dipakai di sini didasarkan pada pendekatan mikro dimana perusahaan

diasumsikan tid4 melakukan penimbunan atau akumulasi stok baik bahan baku, barang setengah jadi maupun bahan jadi.

c. Nilai selisih stok yang dicakup meliputi nilai selisih stok bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi. Nilai selisih stok ini akan ditambahkan pada nilai investasi pada penghitungan ICOR yang telah mempertimbangkan kondisi ekonomi makro.

3.2. Rumus dan Asumsi yang Digunakan

Secara matematis rumus yang digunakan untuk menghitung ICOR sektor industri adalah:

...(1)

dimana:

ǻK = penambahan barang modal baru/kapasitas terpasang

ǻY = Perubahan/pertambahan output

Dalam praktek, data yang diperoleh bukan merupakan penambahan barang modal baru atau kapasitas terpasang melainkan besarnya investasi yang ditanamkan. Sehingga dengan mengasumsikan ǻK = I (Investasi) maka rumus

(26)

(1) dapat dimodifikasi menjadi.

...(2) dimana:

I = Investasi

ǻY = Perubahan output

Rumus ke (2) diatas disebut Gross ICOR yaitu suatu rasio yang menunjukkan besarnya tambahan unit kapital yang diperlukan untuk memperoleh tambahan satu unit output pada suatu periode tertentu. Karena ketersediaan data yang diperlukan untuk rumus ini lebih lengkap maka rumus ini lebih sering dipakai dalam penghitungan ICOR.

3.2.1. Rumus Standar

Pada kenyatannya, investasi yang ditanamkan kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data yang digunakan adalah time series data, maka untuk memperoleh suatu nilai ICOR yang mewakili dilakukan penghitungan simple average (rata-rata sederhana).

Rumus penghitungan ICOR sektor industri dapat diperluas menjadi 15 persamaan standar yang dibuat berdasarkan prinsip rata-rata sederhana. Kelima belas rumus standar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Rumus dalam persamaan 1 sampai 5 mengasumsikan bahwa penambahan output pada tahun tertentu terjadi

(27)

karena adanya investasi yang ditanamkan selama satu tahun.

Persamaan 1

dimana:

n = t2- (t1- 1)

Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun ke t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke t juga. Dengan demikian tidak diperlukan waktu (lag time) sampai investasi dapat memberikan tambahan output.

Persamaan 2

dimana:

n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t (It) baru akan menghasilkan tambahan output pada tahun ke t+1. Dengan demikian terdapat lag satu tahun sampai investasi yang ditanamkan menghasilkan tambahan output.

Persamaan 3

(28)

n = t2- (t1- 1)

Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun t (It) akan menghasilkan tambahan output pada tahun ke t+2. Hal ini berarti bahwa

investasi yang ditanamkan pada tahun ke t baru akan menghasilkan tambahan output setelah 2 tahun kemudian (t+2).

Persamaan 4

dimana:

n = t2- (t1- 1)

Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun ke t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke t+3. Dengan demikian diperlukan waktu 3 tahun sampai investasi yang ditanamkan bisa menghasilkan tambahan output.

Persamaan 5

dimana: n = t2- (t1- 1)

Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun t (It) akan menghasilkan output pada tahun ke t+4. Hal ini berarti bahwa investasi tahun ke t baru akan menghasilkan tambahan output pada tahun t+4.

(29)

b. Rumus lain yang digunakan dalam penghitungan ICOR adalah dengan memodifikasi investasi (It ) menjadi bagian-bagian investasi tahun ke (t-1) dan tahun ke (t). Modifikasi ini dapat dilihat dalam persamaan 6 sampai 10. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tambahan output pada tahun tertentu merupakan hasil penanaman investasi tahun ke t dan tahun ke t-1 dengan proporsi 0,1 untuk tahun ke t-1 dan 0,9 untuk tahun ke t. Hal ini terjadi bila investasi yang ditanamkan pada tahun ke t-1 belum dimanfaatkan secara optimal, maka investasi itu bisa dimanfaatkan untuk tahun berikutnya atau bahwa investasi pada tahun ke t-1 belum

full capacity sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk tahun berikutnya.

Persamaan 6

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun ke t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It-i tersebut masih bisa menambah output tahun t.

(30)

Persamaan 7

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa tambahan output pada tahun tertentu ditentukan oleh investasi yang ditanamkan dua tahun sebelumnya secara berturut-turut. Hal ini terjadi karena investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 dan t belum mencapai kapasitas penuh sehingga masih memberikan kontribusi pada output tahun t+1.

Persamaan 8

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t dan tahun t-1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+2. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It_i tersebut masih bisa

menambah output tahun t.

(31)

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t dan tahun t-1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+3. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity It-1 tersebut masih bisa menambah output tahun t.

Persamaan 10

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t dan tahun t1 (It-1) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+4. Hal ini terjadi karena investasi tahun t-1 (It-1) pada tahun t-1 tidak full capacity, sehingga ketika pada tahun t mencapai full capacity tersebut masih bisa menambah output tahun t.

c. Modifikasi Rumus ICOR berikutnya adalah dengan memodifikasi investasi menjadi bagian-bagian investasi tahun ke t-2, t-1 dan t. Rumus-rumus ini dapat dilihat dalam persamaan 11 sampai 15. Dalam rumus ini diasumsikan bahwa pertambahan output tahun tertentu merupakan hasil dari penanaman investasi tiga tahun berturut-turut (tahun ke t-2, tahun t-1 dan tahun t). Besarnya proporsi investasi

(32)

tahun t-2, t-1 dan t berturut-turut diasumsikan sebesar 0,1, 0,2 dan 0,7.

Persamaan 11

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa tidak ada lag sampai suatu investasi bisa menghasilkan karena sebagian investasi yang ditanamkan pada tahun t akan menghasilkan tambahan output pada tahun t juga. Selain itu tambahan output pada tahun ke t juga dipengaruhi oleh investasi yang ditanamkan pada tahun ke t-1 (It-1)'dan ke t-2 (It-2).

Persamaan 12

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa sebagian investasi yang ditanamkan tahun ke t baru bisa menghasilkan tambahan output pada tahun t+1. Selain itu tambahan output pada tahun t+1 juga merupakan hasil dari investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 dan t-2.

(33)

Persamaan 13

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t (It), investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It-1) dan t-2 (It-2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+2. Dengan demikian diperlukan waktu sedikitnya dua tahun sampai suatu investasi bisa menambah output. Karena tidak semua investasi yang ditanamkan bisa dimanfaatkan secara penuh pada tahun itu juga.

Persamaan 14

dimana: n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It-1) dan t-2 (I t-2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+3.

Persamaan 15

(34)

n = t2- (t1- 1)

Rumus ini berarti bahwa selain investasi yang ditanamkan pada tahun t, investasi yang ditanamkan pada tahun t-1 (It_i) dan t-2 (It_2) masih mempunyai kontribusi pada tambahan output tahun t+4.

3.2.2. Rumus Akumulasi Investasi

Penghitungan dengan kelima belas rumus di atas menerapkan prinsip rata-rata sederhana sehingga dimungkinkan terjadinya bias yang disebabkan karena fluktuasi yang cukup ekstrim pada tahun tertentu. Untuk itu sebagai pembanding dilakukan juga penghitungan ICOR menggunakan metode akumulasi investasi yang menerapkan prinsip rata-rata tertimbang untuk periode 1990-2002, 1990-1997, dan 1999-2002. Untuk masing-masing periode digunakan Iag=1 sehingga rumus yang digunakan untuk kedua periode tersebut adalah:

a. Periode 1990-2002 dimana: I = investasi Y = nilai tambah t = 1990, 1991, ..., 2001 b. Periode 1990-1997 dimana:

(35)

I = investasi Y = nilai tambah

t = 1990, 1991, ..., 1996

Melalui rumus ini dapat dilihat sejauh mana investasi yang ditanamkan sejak tahun 1990 sampai tahun 1996 dapat berpengaruh terhadap penambahan output sejak tahun 1991 sampai 1997. c. Periode 1999-2002 dimana: I = investasi Y = nilai tambah t = 1999, 2000, ..., 2002

Dengan rumus ini dapat dilihat sejauh mana investasi yang ditanamkan sejak tahun 1999 sampai tahun 2001 dapat berpengaruh terhadap penambahan output sejak tahun 2000 sampai 2002.

3.2.3. Asumsi dasar

Dalam penghitungan ICOR dengan metode standar maupun akumulasi investasi terdapat asumsi bahwa perubahan output semata-mata hanya disebabkan oleh perubahan kapital/adanya investasi. Faktor-faktor lain di luar investasi seperti pemakaian tenaga kerja, penerapan teknologi dan kemampuan kewiraswastaan diasumsikan konstan.

(36)

3.3. Tahap-Tahap Penyusunan ICOR Sektor Industri

Penyusunan nilai ICOR sektor industri dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penyesuaian output dan investasi, penyesuaian harga konstan dan penghitungan dengan komputer.

3.3.1. Penyesuaian Output

Dalam kegiatan ekonomi output suatu kegiatan bisa menjadi input untuk kegiatan ekonomi lainnya (input antara). Sehingga untuk menghindari double counting, dalam penghitungan ICOR ini tidak digunakan nilai output melainkan nilai tambah. Nilai tambah yang dihitung di sini adalah nilai output dikurangi biaya antara atau sering juga disebut nilai tambah bruto. Namun karena ICOR hanya memperhitungkan komponen nilai tambah yang dihasilkan dari pendayagunaan barang modal maka dilakukan beberapa penyesuaian yaitu komponen nilai tambah yang bukan merupakan pendayagunaan barang modal dikeluarkan dari seluruh nilai tambah. Dalam hal ini nilai pendapatan dari jasa industri, keuntungan barang yang tidak diproses, penerimaan jasa angkutan dan jasa-jasa non industri lainnya dan penerimaan dad penjualan limbah/sampah produksi akan dikeluarkan dari nilai tambah bruto. Dengan demikian komponen nilai tambah yang dicakup hanya meliputi barang yang dihasilkan, listrik yang dijual dan selisih stok barang setengah jadi.

3.3.2. Penyesuaian data investasi.

Dalam konsep ICOR, investasi yang dimaksud adalah

fixed capital formation atau pembentukan barang modal tetap seperti tercantum dalam butir 3.1.b. Nilai total investasi

(37)

diperoleh dari penjumlahan seluruh pembelian barang modal/perbaikan besar dikurangi penjualan barang modal bekas. Sebenarnya nilai investasi ini masih merupakan investasi bruto karena belum dikurangi nilai penyusutan. Namun karena adanya beberapa keterbatasan mengenai data penyusutan, maka data penyusutan tidak digunakan. Keterbatasan pertama adalah pada umumnya perusahaan cenderung melebihkan nilai penyusutan dengan alasan pajak. Sementara yang perlu kita perhitungkan disini adalah nilai penyusutan riil atas barang modal. Disamping itu data penyusutan yang ada merupakan nilai akumulasi, sementara data investasi yang digunakan adalah tambahan investasi yang terjadi pada tahun yang bersangkutan. Akibatnya, apabila nilai penyusutan diperhitungkan, maka nilainya bisa jauh lebih besar dari investasi itu sendiri.

3.3.3. Penyesuaian untuk harga konstan

Nilai output dan investasi dalam butir 3.3.1 dan 3.3.2 di atas masih merupakan nilai yang berdasarkan pada harga berlaku. Untuk mendapatkan nilai output dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) yang terlepas dari pengaruh harga (menurut harga konstan), maka digunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sebagai deflator.

Perkembangan riil dari nilai tambah pada masing-masing kode industri antar waktu (series data) dapat dilihat dari nilai tambah menurut harga konstan. Untuk mendapatkan nilat tambah menurut harga konstan dilakukan dengan men-deflate

nilai tambah harga berlaku dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) masing-masing sub sektor industri. Karena

(38)

ketersediaan data IHPB sektor industri ini hanya pada beberapa subsektor industri saja, maka untuk sub sektor (3 digit ISIC) yang tidak mempunyai data IHPB maka digunakan IHPB sektornya. Misalnya jika IHPB kode ISIC 313 tidak tersedia maka digunakan IHPB kode ISIC Sementara itu untuk mendapatkan nilai investasi menurut harga konstan dihitung dengan men-deflate nilai investasi menurut harga berlaku dengan menggunakan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk barang modal. Berhubung data IHPB untuk barang modal tidak tersedia, maka sebagai deflator nilai investasi digunakan rata-rata tertimbang IHPB dari kode ISIC 382 (industri mesin bukan mesin listrik), 383 (industri mesin listrik dan perlengkapannya), 384 (industri alat angkutan), dan 390 (industri lainnya) dengan penimbang output dari masing-masing kode di atas.

3.3.4. Penghitungan Nilai ICOR dengan komputer

Penghitungan nilai ICOR sektor Industri ini dilakukan dengan menggunakan program SAS. Kelima belas rumus dibuat dan diterapkan untuk mendapatkan nilai ICOR menurut 2 dan 3 digit ISIC sektor Industri selain nilai ISIC total sektor industri.

a. Nilai ICOR 3 digit ISIC

Data nilai tambah untuk 3 digit ISIC diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai tambah harga konstan untuk 5 digit ISIC yang mempunyai 3 angka depan yang sama untuk masing-masing tahun. Metode ini juga dilakukan untuk data investasi untuk masing-masing tahun. Dari penjumlahan 5 digit ISIC ini didapatkan 31 jenis ISIC 3 digit. Selanjutnya penghitungan

(39)

ICOR 3 digit ISIC dilakukan dengan selisih maupun tanpa selisih stok bahan baku, bahan mentah dan bahan setengah jadi. Penghitungan ICOR ini dilakukan dengan menggunakan kelima belas rumus standar dan rumus Akumulasi Investasi lag=1.

b. Nilai ICOR 2 digit ISIC.

Untuk mendapatkan nilai ICOR 2 digit ISIC digunakan cara yang sama dengan cara yang terdapat pada butir a.

3.3.5. Penyesuaian Tahap Akhir Dalam Penyusunan ICOR

Dalam penghitungan ICOR masih ditemukan beberapa nilai ICOR yang bernilai negatif. Hal ini terjadi karena ada series data nilai tambah untuk beberapa ISIC yang masih berfluktuasi. Oleh karena itu untuk beberapa ISIC yang memiliki nilai tambah berfluktuasi dilakukan perapihan dengan cara menghitung rata-rata pertumbuhan nilai tambah per tahun untuk masing-masing ISIC. Selanjutnya angka pertumbuhan ini diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki ten nilai tambah menurun. Dengan demikian didapatkan suatu series nilai tambah yang lebih balk. Selain itu dilakukan juga perapihan nilai investasi yang e k s t r i m d e n g a n m e n g h i t u n g r a t a - r a t a p e r t u m b u h a n n y a a t a u t i d a k mengikutsertakannya dalam penghitungan. Selanjutnya nilai ICOR untuk masingmasing ISIC bersangkutan dihitung kembali.

3.3.6. Pemilihan lag investasi

Data yang digunakan dalam penghitungan ICOR adalah data series waktu. Dalam penentuan lag investasi

(40)

digunakan analisis Cross Correlation Function (CCF). Analisis CCF dapat digunakan untuk melihat hubungan antara satu observasi dengan observasi yang lain untuk variabel yang berbeda. Dengan menggunakati analisis CCF dapat dilihat hubungan antara investasi yang ditanamkan pada sektor industri pengolahan dengan tambahan output untuk masing-masing tahun untuk setiap jenis industri. Atau dengan kata lain dengan CCF dapat diketahui kapan waktu pengembalian investasi yang tepat untuk masing-masing jenis industri.

(41)

BAB IV

P E M B A H A S A N

4.1. Tinjauan Ekonomi dari sisi Penggunaan

Perekonomian Kabupaten Bandung selama periode 2000 sampai dengan 2007 mengalami trend pertumbuhan yang sangat baik. Jika dibahas dari sisi penggunaan porsi terbesar PDRB digunakan untuk konsumsi rumahtangga. Pada periode 2000-2004 rata-rata konsumsi rumahtangga per tahun di Kabupaten Bandung sebesar Rp. 10.793,49 milyar sedangkan pada periode 2005-2007 meningkat menjadi sebesar Rp. 17.954,86 milyar. Namun jika dilihat peranannya cenderung menurun yaitu dari rata-rata per tahun 62,53 persen pada periode 2000-2004 menjadi 61,04 persen pada periode 2005-2007. Berikutnya adalah konsumsi lembaga non profit, nilai rata-rata pertahunnya meningkat dari Rp. 65,68 milyar pada periode 2000-2004 meningkat menjadi 126,06 milyar pada periode 2005-2007. Seiring dengan nlainya, peranannya pun meningkat dari 0,38 persen menjadi 0,43 persen. Demikian halnya dengan konsumsi pemerintah, nilai rata-rata per tahun meningkat dari Rp. 943,70 milyar pada periode 2000-2004 menjadi Rp. 1.909,44 milyar pada periode 2005-2007. Perananya pun meningkat dari 5,47 persen menjadi 6,49 persen.

Selain digunakan untuk konsumsi akhir, PDRB juga digunakan untuk Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau disebut juga investasi fisik yang sifatnya lebih produktif. Nilai rata-rata PMTB meningkat cukup signifikan dari Rp.2.438,25 milyar pada periode 2000-2004 meningkat menjadi Rp. 4.021,03 milyar pada periode 2005-2007. Namun jika dilihat rata-rata

(42)

peranannya per tahun justru menurun, yaitu dari 14,13 persen pada periode 2000-2004 menjadi 13,67 persen pada periode 2005-2007. Berikutnya adalah componen ekspor netto yang merupakan selisih nilai dari kegiatan ekspor dikurangi impor. Pada periode 2000-2004 nilai rata-rata per tahunnya meningkat dari Rp. 2.001,60 milyar menjadi Rp. 3.698,34 milyar pada periode 2005-2007. Peranannya pun meningkat dari 11,60 persen menjadi 12,57 persen.

Berikutnya adalah perubahan stok (inventori) yang didalamnya termasuk nilai selisih statistik. Pada periode 2000-2004 nilai rata-rata per tahun Rp. 1.018,22 milyar meningkat menjadi Rp. 1.705,24 milyar pada periode 2005-2007. Namun peranannya menurun dari 5,90 persen menjadi 5,80 persen.

Tabel. 1. Nilai Rata-rata PDRB Menurut Penggunaan atas dasar harga berlaku per tahun dan Peranannya Kabupaten

Bandung Periode 2000 – 2004 dan 2005 - 2007

Periode Peranan Komponen 2000-2004 2005-2007 2000-2004 2005-2007 [1] [2] [3] [4] [5] Konsumsi Rumahtangga 10.793,49 17.954,86 62,53 61,04 Konsumsi LNPRT 65,68 126,04 0,38 0,43 Konsumsi Pemerintah 943,70 1.909,44 5,47 6,49 PMTB 2.438,25 4.021,03 14,13 13,67 Perubahan Stok 1.018,22 1.705,24 5,90 5,80 Ekspor Netto 2.001,60 3.698,34 11,60 12,57 PDRB per tahun 17.260,96 29.414,95 100,00 100,00 Jika kita bahas rata-rata laju pertumbuhan komponen PDRB menurut penggunaan Kabupaten Bandung ditampilkan

(43)

pada tabel berikut. Komponen konsumsi rumahtangga yang merupakan kontributor terbesar mengalami peningkatan rata-rata laju pertumbuhan per tahun yang signifikan yaitu dari 3,45 persen pada periode 2000-2004 menjadi 6,36 persen pada periode 2005-2007. Sebaliknya rata-rata laju pertumbuhan per tahun konsumsi lembaga non profit menurun dari 7,18 persen menjadi 5,94 persen. Konsumsi pemerintah mengalami peningkatan rata-rata laju pertumbuhan yaitu dari 7,09 persen pada periode 2000-2004 menjadi 8,38 persen pada periode 2005-2007.

Tabel. 2. Rata-rata Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan per tahun Kabupaten Bandung

Periode 2000 – 2004 dan 2005 - 2007 Laju Pertumbuhan Komponen 2000 - 2004 2005 - 2007 [1] [2] [3] Konsumsi Rumahtangga 3,45 6,36 Konsumsi LNPRT 7,18 5,94 Konsumsi Pemerintah 7,09 8,38 PMTB 5,26 5,45 Perubahan Stok 9,62 4,51 Ekspor Netto 12,62 3,89 PDRB per tahun 5,16 5,83

Komponen PMTB cenderung tidak mengalami perubahan rata-rata laju pertumbuhan yaitu 5,26 persen pada periode 2000-2004 menjadi 5,45 persen pada periode 2005-2007. Komponen ekspor netto mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahun 12,62 persen pada periode 2000-2004 menjadi hanya 3,89 persen pada periode

(44)

2005-2007. Demikian halnya dengan komponen perubahan stok, rata-rata laju pertumbuhannya menurun dari 9,62 persne menjadi 4,51 persen.

4.2. Koefisien ICOR Akumulasi periode 2000-2007

Sebagaimana diketahui koefisien ICOR Incremental Capital

Output Ratio adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya

tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output. Dalam pembahasan ini tambahan kapital (investasi) baru adalaha Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Besaran ICOR diperoleh dengan membandingkan besarnya PMTB dengan tambahan output. Karena unit PMTB bentuknya berbeda-beda dan beraneka ragam sementara unit output relative tidak berbeda, maka untuk memudahkan penghitungan keduanya dinilai dalam bentuk uang (nominal).

Berikut adalah pembahasan koefisien ICOR secara akumulasi periode 2000-2007 di Kabupaten Bandung. Besaran koefisien ICOR Akumulasi selama periode 2000-2007 secara total 3,07; hal ini menggambarkan untuk memperoleh penambahan satu unit output dalam rentang periode tersebut dibutuhkan investasi fisik (PMTB) sebanyak 3,07 unit. Besaran koefisien ICOR merefleksikan produktivitas PMTB yang pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Semakin kecil koefisien ICOR menunjukkan semakin efisien pembentukan modal yang terjadi.

(45)

Tabel 3. Koefisien ICOR Akumulasi Periode 2000 – 2007 Kabupaten Bandung

Sektor Pengguna ICOR Akumulasi 2000 - 2007

[1] [2]

1. Pertanian 2.75

2. Pertambangan & Penggalian 1.91

3. Industri Pengolahan 2.33

3.1. Ind. Mkn, Mnm & Tbk 1.39

3.2. Ind. Tekstil & Kulit 2.92

3.3. Ind. Kayu, bambu dsb 1.89

3.4. Industri Kertas & Percetakan 4.82

3.5. Industri Kimia 1.17

3.6. Industri Mineral non logam 2.44

3.7. Industri Logam Dasar 1.16

3.8. Industri Brg dr Logam 1.49

3.9. Industri lainnya 4.13

4. Listrik, Gas & Air Bersih 20.30

5. Bangunan 0.28

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 1.92 7. Pengangkutan & Komunikasi 5.38 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Pers 2.24

9. Pemerintahan Umum 13.39

10. Jasa-jasa 4.09

Jumlah 3.07

Tabel di bawah ini menunjukkan besaran koefisien ICOR Akumulasi periode 2000-2007 di Kabupaten Bandung menurut sektor. Sektor-sektor yang mempunyai koefisien ICOR paling kecil adalah sektor bangunan, dengan koefisien ICOR hanya 0,28. Artinya setiap penambahan Rp.1 milyar output hanya memerlukan PMTB sebesar Rp.280 juta. Hal ini menunjukkan

(46)

bahwa produktifitas PMTB pada sektor bangunan sangat tinggi, karena hampir sebagian besar ouputnya menjadi investasi fisik (PMTB). Berikutnya sektor dengan koefisien ICOR kurang dari 2 adalah sektor pertambangan dan penggalian (1.91), serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (1.92). PMTB pada kedua sektor tersebut sangat efisien. Sedangkan sektor dengan koefisien ICOR antara 2 dan 3 adalah sektor pertanian (2.75), sektor industri pengolahan (2.33), serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (2.24). Sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa masing-masing mempunyai koefisien ICOR 5.38 dan 4.09. Bisa dikatakan PMTB pada kedua sektor tersebut kurang efisien jika dibandingkan dengan sektor-sektor yang tersebut di atas. Sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor jasa pemerintahan umum mempunyai koefisien ICOR yang besar yaitu 20.30 dan 13.39. Artinya PMTB pada kedua sektor tersebut tidak efisien, karena ditangani langsung oleh pemerintah menyangkut kebijakan yang bersifat kepentingan publik.

Khusus untuk sektor industri pengolahan akan dibahas secara rinci berdasarkan kelompok komoditi. Kelompok komoditi dengan koefisien ICOR kurang dari 2 adalah Industri makanan, minuman dan tembakau (1.39); industri kayu, bambu dsb (1.89); industri kimia (1.17); industri logam dasar (1.16) serta industri barang dari logam (1.49). Sedangkan kelompok komoditi dengan koefisien ICOR antara 2 dan 4 adalah industri tekstil & kulit (2.92); serta industri mineral non logam (2.44). Kelompok komoditi industri kertas & percetakan serta industri lainnya

(47)

mempunyai koefisien ICOR di atas 4 yaitu masing-masing 4.82 dan 4.13.

4.3. Koefisien ICOR Akumulasi periode 2000-2004 dan 2005-2007

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada tahun 2005 berpengaruh besar terhadap perekonomian pada seluruh sektor, terutama sektor yang muatan bahan baku BBM-nya cukup dominan. Walaupun pengaruh kenaikan harga BBM tidak berkaitan langsung dengan PMTB namun dalam pembahasan ini akan melihat pengaruhnya terhadap perubahan besaran koefisien ICOR. Berikut adalah pembahasan koefisien ICOR akumulasi jika dipecah dalam dua periode yaitu periode 2000-2004 dan 2005-2007. Secara total koefisien ICOR akumulasi mengalami peningkatan dari 3.56 menjadi 3.77, peningkatan ini mengindikasikan adanya penurunan produktivitas PMTB pada periode 2005-2007. Jika ditelaah lebih jauh berdasarkan sektor, hanya sektor perdagangan, hotel & restoran dan sektor jasa-jasa yang koefisien ICOR akumulasinya menurun. Koefisien ICOR sektor perdagangan, hotel & restoran pada periode 2000-2004 sebesar 2.22 menurun menjadi 2.17, sedangkan sektor jasa-jasa dari 5.68 menjadi 3.77.

Khusus pada sektor pertanian terjadi perubahan koefisien ICOR yang cukup signifikan yaitu dari 2.50 menjadi 9.01. Perubahan ini lebih disebabkan oleh berkurangnya penambahan output yang terbentuk pada periode 2005-2007. Pada periode tersebut terjadi pergeseran musim yang menyebabkan kegagalan panen di hampir seluruh kegiatan pertanian. Hal ini

(48)

menyebabkan pembentukan modal pada sektor pertanian yang terjadi dalam periode tersebut menjadi tidak efisien.

Tabel 4. Koefisien ICOR Akumulasi periode Tahun 2000 – 2004, dan 2005 – 2007 Kabupaten Bandung

ICOR Akumulasi Sektor Pengguna

2000 - 2004 2005 - 2007

[1] [2] [3]

1. Pertanian 2.50 9.01

2. Pertambangan & Penggalian 2.09 2.29

3. Industri Pengolahan 2.70 2.94

3.1. Ind. Mkn, Mnm & Tbk 2.11 1.80

3.2. Ind. Tekstil & Kulit 2.93 3.80

3.3. Ind. Kayu, bambu dsb 2.78 2.57

3.4. Industri Kertas & Percetakan 4.48 8.55

3.5. Industri Kimia 1.72 1.33

3.6. Industri Mineral non logam 3.74 2.25

3.7. Industri Logam Dasar 1.50 1.52

3.8. Industri Brg dr Logam 1.92 2.44

3.9. Industri lainnya 6.11 5.79

4. Listrik, Gas & Air Bersih 21.46 26.46

5. Bangunan 0.26 0.43

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 2.22 2.17 7. Pengangkutan & Komunikasi 5.84 6.13 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Pers 2.52 2.71

9. Pemerintahan Umum 15.22 16.20

10. Jasa-jasa 5.68 3.77

Jumlah 3.56 3.77

Pada sektor industri pengolahan beberapa kelompok komoditi mengalami penurunan koefisien ICOR, yaitu industri makanan, minuman & tembakau; industri kayu, bambu dsb; industri kimia; industri mineral non logam serta industri lainnya.

(49)

Sedangkan industri yang mengalami peningkatan koefisien ICOR adalah industri tekstil & kulit; industri kertas & percetakan; industri logam dasar serta industri barang dari logam.

4.4. Koefisien ICOR Lag 0, Lag 1 serta Lag 2 Kabupaten Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, investasi yang ditanamkan kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data yang digunakan adalah time series

data, maka untuk memperoleh suatu koefisien ICOR yang

mewakili dilakukan penghitungan simple average (rata-rata sederhana). Berikut adalah hasil penghitungan koefisien ICOR berdasarkanlagwaktu 0 tahun, 1 tahun serta 2 tahun.

Tabel 5. Koefisien ICOR Kabupaten Bandung berdasarkan

Lag waktu (Time Lag) Periode 2001 - 2007

Tahun Lag 0 Lag 1 Lag 2

[1] [2] [3] [4] 2001 3.06 2.87 2002 3.01 2.91 2.74 2003 2.98 2.84 2.75 2004 2.68 2.52 2.40 2005 2.61 2.49 2.33 2006 2.64 2.46 2.34 2007 2.55 2.45 2.28 Akumulasi 3.07 2.94 0.90 Standar 2.79 2.63 2.47

(50)

Pada tabel di atas terlihat koefisien ICOR dengan metode akumulasi dari lag 0 sampai dengan lag 2 terlihat semakin mengecil. Pada periode 2001-2007 dengan lag 0 koefisien ICOR akumulasi sebesar 3.07 yang artinya untuk mendapatkan penambahan 1 unit output setiap tahunnya diperlukan PMTB sebanyak 3.07 unit per tahun; dengan asumsi PMTB pada tahun tertentu akan langsung menghasilkan output yang diinginkan pada tahun yang sama. Tetapi jika dengan asumsi PMTB pada tahun tertentu baru akan menghasilkan output yang diinginkan setelah ditanam selama 1 tahun koefisien ICOR nya lebih kecil yaitu 2.94. Jika lag-nya 2 maka koefisien ICOR nya lebih kecil lagi yaitu hanya 0.90.

Koefisien ICOR periode 2000-2007 dengan menggunakan

metode standar adalah 2.79 dengan lag 0; 2.63 dengan lag 1; 2.47 dengan lag 2. Jika kita telusuri lebih rinci setiap tahunnya untuk lag waktu 0 dari tahun 2001 sampai 2007 nilainya semakin mengecil, artinya produktivitas PMTB semakin baik dengan asumsi investasi yang ditanamkan pada tahun tertentu akan langsung dapat menghasilkan output yang diinginkan di tahun yang sama. Jika dengan menggunakan asumsi time lag 1 tahun nilainya lebih kecil lagi, demikian halnya jika time lag-nya 2.

4.4.1. Koefisien ICOR Lag 0, Kabupaten Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007

Pada tabel berikut menampilkan koefisien ICOR menurut sektor dengan time lag 0 periode 2000-2004 dan periode 2005-2007. Pembahasan berikut dengan menggunakan asumsi bahwa investasi yang digunakan pada tahun tertentu akan

(51)

langsung menghasilkan output yang diinginkan pada tahun yang sama. Pada periode 2000-2004 koefisien ICOR secara total adalah sebesar 2.93. Secara sektoral nilai yang paling kecil adalah sektor bangunan yaitu 0.23. Berikutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan koefisien ICOR 1.84. Sedangkan yang nilainya antara 2 dan 3 adalah sektor industri pengolahan (2.25) dan sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan (2.75). Sektor-sektor dengan koefisien ICOR yang cukup besar adalah sektor pertanian (7.42); Listrik, gas dan air bersih (22.07); sektor pengangkutan & komunikasi (4.78); sektor pemerintahan umum (24.96) serta sektor jasa-jasa (11.07)

Tabel 6. Koefisien ICOR Lag 0 Kabupaten Bandung Periode 2000 – 2004 dan 2005 - 2007 Periode Sektor Pengguna 2000 - 2004 2005 - 2007 [1] [2] [3] 1. Pertanian 7.42 19.05

2. Pertambangan & Penggalian -0.01 1.68

3. Industri Pengolahan 2.25 2.00

3.1. Ind.Mkn,Mnm & tbk 1.86 1.10

3.2. Ind. Tekstil & kulit 2.44 3.02

3.3. Ind.Kayu,bambu dsb 2.80 2.50

3.4. Ind.Kertas & percetakan 9.58 5.58

3.5. Ind.Kimia 2.08 0.90

3.6. Ind.Mineral non logam 8.95 2.11

3.7. Ind.Logam Dasar 1.83 0.97

3.8. Ind.Brg dari logam 1.93 1.38

3.9. Ind. Lainnya 9.88 3.40

4. Listrik, Gas & Air Bersih 22.07 19.03

5. Bangunan 0.23 0.34

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 1.84 1.69 7. Pengangkutan & Komunikasi 4.78 5.24 8. Keuangan, Persewaan & Jasa Persh. 2.75 1.95

9. Pemerintahan Umum 24.96 11.16

10. Jasa – jasa 11.07 3.21

(52)

Koefisien ICOR industri pengolahan lag 0 jika ditelusuri menurut kelompok komoditi yang nilainya antara 1 dan 2 adalah industri makanan, minuman & tembakau (1.86); industri logam dasar (1.83); serta industri barang dari logam (1.93). Sedangkan industri yang koefisien ICOR nya antara 2 dan 3 adalah industri tekstil & kulit (2.44); industri kayu, bambu dsb (2.80); serta industri kimia (2.08). Koefisien ICOR pada industri kertas & percetakan dan industri mineral non logam serta industri lainnya nilainya cukup besar masing-masing sebesar 9.58; 8.95 serta 9.88.

Pada periode 2005-2007 koefisien ICOR secara total menurun yaitu dari 2.93 menjadi 2.60. Penurunan ini mengindikasikan adanya peningkatan produktivitas PMTB. Beberapa industri memiliki koefisien ICOR yang semakin besar pada periode 2005-2007 yaitu sektor pertanian, sektor bangunan, serta sektor pengangkutan & komunikasi. Hal ini menggambarkan semakin menurunnya produktivitas PMTB. Tapi beberapa sektor yang lain mengalami peningkatan produktivitas PMTB dengan indikasi semakin mengecilnya koefisien ICOR. Pada industri pengolahan hanya indsutri tekstil yang mengalami peningkatan koefisien ICOR.

4.4.2. Koefisien ICOR Lag 1, Kabupaten Bandung periode 2000-2004 dan 2005-2007

Berikut adalah pembahasan koefisien ICOR dengan asumsi PMTB pada tahun tertentu baru akan menghasilkan output yang diinginkan setelah satu tahun berikutnya. Secara total koefisian ICOR dengan time lag 1 mengalami penurunan

Gambar

Tabel 3. Koefisien ICOR Akumulasi Periode 2000 – 2007   Kabupaten Bandung
Tabel 4. Koefisien ICOR Akumulasi periode Tahun 2000 –  2004, dan 2005 – 2007 Kabupaten Bandung
Tabel 5. Koefisien ICOR Kabupaten Bandung berdasarkan  Lag waktu (Time Lag) Periode 2001 - 2007
Tabel 6. Koefisien ICOR Lag 0 Kabupaten Bandung Periode  2000 – 2004 dan 2005 - 2007  PeriodeSektor Pengguna  2000 - 2004  2005 - 2007  [1]  [2]  [3]  1
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dari sisi obyek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam

Adapun Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh sekolah untuk mata pelajaran Matematika adalah 65,00. Rendahnya aktivitas dan hasil belajar berhitung

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2016) yang berjudul faktor- faktor yang mempengaruhi keikutsertaan bidan praktek swasta dalam

Perbedaan penambahan konsentrasi wortel berpengaruh nyata terhadap kadar air, persentase pengembangan, densitas kamba kerupuk matang, daya patah, warna, serta sifat

Obesitas pada anak yang kurang beraktivitas fisik maupun berolahraga disebabkan oleh jumlah kalori yang dibakar lebih sedikit dibandingkan jumlah kalori yang diperoleh dari

Guna menunjang tujuan tersebut, maka dibutuhkan suatu bentuk pelatihan bagi pemuda untuk memahami secara mendalam mengenai falsafah Jawa yang terkandung dalam

berikut : a) mengingat sejak pelaksanaan TRI yang mengalihkan pengusahaan tanaraan tebu untuk produksi gula di atas tanah sev/a ke arah tanaman tebu rakyat dengan

Melihat rendahnya sikap ilmiah siswa kelas V SD Negeri I Kebon Gembong Kendal, guru harus melakukan tindakan guna mengatasi masalah tersebut, salah satunya