Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 22222
Fokus Lahan Basah
Taman Wisata Alam Pulau BAKUT
Bertambah Luas? 3
Konservasi Lahan Basah
Rehabilitasi Pesisir dan Potensi Penerapan Perangkap Sedimen
di Kawasan Pesisir Teluk Maumere, Kab. Sikka 4
Berita Kegiatan Lahan Basah Laporan Singkat
8 Tahun Pasca Kegiatan Proyek Green Coast di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam 6
Press Release
Kebakaran di Sumatra: Mengurusi Gejala, Tak Cukup Aksi
dalam Menangani Penyakit 8
Mama Loretha
Sorgum: Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim 10 Berita Umum Lahan Basah
Perburuan Rusa:
Sumber Pendapatan Alternatif Masyarakat di Kepala Burung, Papua 12
Penanaman Mangrove di Desa Sawah Luhur, Provinsi Banten
Kerjasama L’Oreal dengan Yayasan Lahan Basah Indonesia 14
Dokumentasi Perpustakaan 19
Stop Press
Irwansyah Reza Lubis - Deputy Asian Coordinator
Otter Specialist Group Periode 2012-2016 19 Daftar Isi
Ucapan
Terima Kasih dan
Undangan
Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini. Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuksoft copy, diketik dengan huruf Arial 10
spasi 1,5 maksimal 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada: Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International Indonesia Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189 fax./tel.: (0251) 8325755 e-mail: publication@wetlands.or.id
DEWAN REDAKSI: Pimpinan Redaksi: Direktur Program WIIP Anggota Redaksi: I Nyoman N. Suryadiputra Triana Ita Sualia “Artikel yang ditulis oleh para penulis, sepenuhnya merupakan opini yang bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isinya”
Dari Redaksi
Dengan dilandasi semangat Idul Fitri, mari kita tata dan susun kembali setiap pemikiran, ucap, langkah dan karya kita bersama ke arah yang lebih baik. Saling meminta dan memberi maaf adalah esensi Idul Fitri (kembali suci). Mungkin kita telah ikhlas bersalaman dan saling memaafkan antar sesama, namun ingatkah kita bahwa kekhilafan dan kesalahan juga kadang bahkan sering kita lakukan pada alam lingkungan dan mahluk hidup lainnya di sekitar kita?
Bila kita sudah berdamai dengan sesama (manusia), mari kita juga berdamai dengan alam sekitar kita, agar rahmat Idul Fitri itu nyata dan sempurna. Mulai saat ini, stop ‘kekerasan’ kepada alam. Mari sayangi dan pelihara alam sebagaimana yang telah diamanatkan Sang Pencipta kepada umat manusia.
3 3 3 3
3 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
...bersambung ke hal 15
P
ulau Bakut adalah daratanyang memanjang dari timur laut ke barat daya atau dari hulu ke hilir di tengah alur Sungai Barito, Kalimantan Selatan (Gambar 1). Di pulau yang terbentuk dari endapan sedimen hasil erosi di wilayah hulu sungai tersebut, tertancap dua dari empat pilar Jembatan Barito. Jembatan
sepanjang ±1.082 m ini membentang (dari barat laut ke tenggara) di atas pulau dan termasuk salah satu jembatan terpanjang di Indonesia.
Pulau Bakut seluas ±18,70 hektar ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Pulau Bakut berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 140/Kpts-II/2003 tanggal 21 April 2003
(BKSDA Kalsel 2008). Pulau dengan ekosistem mangrove ini dihuni bekantan (Nasalis larvatus), primata endemik Kalimantan (Borneo). Selain itu, dijumpai beberapa spesies burung, seperti elang bondol (Haliastur indus), cipoh jantung (Aegithina viridissima), kapasan kemiri (Lalage nigra), sepah tulin (Pericrocotus
igneus), caladi tilik (Picoides moluccensis), cinenen kelabu
(Orthotomus ruficeps), burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis), dan burung kacamata (Zosterops sp.). Fenomena dari Pulau Bakut yang jarang diperhatikan atau bahkan tidak
dipedulikan orang adalah penambahan luas daratannya atau pembentukan lahan oloran. Memang tidak atau belum ada
data luas lahan oloran itu, tetapi dua indikator menunjukkan bahwa fenomena itu adalah fakta dan benar terjadi. Indikator pertama adalah penambangan pasir di titik yang terletak ±250 m dari ujung pulau bagian hulu (Gambar 2). Penambangan dilakukan oleh perusahaan dengan bantuan ekskavator terapung, padahal sebelumnya (sekitar 4 tahun lalu) kegiatan ini tidak ada. Pasir hasil
tambangnya diangkut dengan tongkang dan ditumpuk sementara di tepi Sungai Barito, di seberang tenggara/selatan Pulau Bakut, atau tepat di kiri oprit Jembatan Barito dari arah Banjarmasin.
Indikator kedua adalah penumbuhan atau penambahan jumlah rambai (Sonneratia
caseolaris) terutama di tepi barat laut
Pulau Bakut, padahal sekitar 10 tahun lalu, jumlah rambai di bagian ini bisa dihitung dengan jari (Gambar 3). Rambai merupakan bioindikator yang
menunjukkan terjadinya sedimentasi di daerah atau perairan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut. Penambahan luas Pulau Bakut tentu harus diperhitungkan mulai dari sekarang oleh BKSDA Kalimantan Selatan yang bertanggung jawab pada Taman Wisata Alam Pulau Bakut atau instansi terkait lainnya yang bertanggung jawab (misalnya) pada pengelolaan daerah aliran sungai, perhubungan sungai, dan pemeliharaan jembatan. Kondisi ini mungkin menguntungkan, tetapi bisa juga akan merugikan.
Taman Wisata Alam Pulau BAKUT
Bertambah Luas?
Oleh: Mochamad Arief Soendjoto*
Gambar 1. Sketsa Pulau Bakut dan aktivitas sekelilingnya
Fokus
Fokus
Fokus
Fokus
Fokus
Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 44444
Rehabilitasi Pesisir dan Potensi
Penerapan Perangkap Sedimen
di Kawasan Pesisir Teluk Maumere, Kab. Sikka
Oleh: Ragil Satriyo G., Aswin Rahadian, Eko Budi P., dan Kuswantoro
D
alam beberapa dekade terakhir ini, luas hutan mangrove di Indonesia terus menurun. Dari data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasarkan hasil interpetasi citra landsat tahun 1992 luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo 1994). Selanjutnya data Ditjen RRL tahun 1999 menyebutkan bahwa luas mangrove Indonesia dalam kawasan hutan hanya seluas 3,7 juta ha, dimana 1,6 juta ha (43,2%) dalam kondisi rusak parah. Di luar kawasan, Indonesia diperkirakan memiliki mangrove seluas 5,5 juta ha, dimana sebanyak 4,8 juta ha (87,3%) dalam kedaan rusak parah. Informasi terakhir berrdasarkan data dari Bakorsurtanal tahun 2009, hutan mangrove di Indonesia saat ini luasnya sekitar 3,244,018 ha.Luas hutan mangrove pesisir Teluk Maumere Kab. Sikka saat ini adalah 574.96 ha. Substrat ekosistem mangrove di pesisir Teluk Maumere didominasi oleh pasir dan bebatuan (koral) dengan sedikit lumpur. Hutan mangrove teridentifikasi tersebar di 8
kecamatan dan 21 desa. Antara tahun 1997 hingga 2012, lebih dari 50 % hutan mangrove pesisir Teluk Maumere mengalami kerusakan dan perubahan status penggunaan lahan. Berdasarkan analisis spasial secara visual, di beberapa lokasi di Teluk Maumere teridentifikasi
Konserv
Konserv
Konserv
Konserv
Konservasi
asi
asi
asi
asi
Lahan Basah
5 5 5 5
5 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
kondisi ekosistem mangrove sebelum dan sesudah bencana Tsunami tahun 1992. Secara umum, luas ekosistem mangrove berkurang cukup signifikan akibat bencana tsunami tahun 1992. Analisis secara visual dengan
menggunakan citra Landsat menunjukkan penurunan luas ekosistem mangrove antara tahun 1990 hingga 2000. Penurunan luas dan kualitas ekosistem mangrove meningkatkan tingkat kerawanan bencana pesisir di kawasan Teluk Maumere Kabupaten Sikka. Karakteristik lingkungan pesisir Teluk Maumere (iklim, topografi, geologis, substrat tanah, dan hidro-oseanografi) sangat dinamis dan beberapa dari parameter tersebut rentan terhadap perubahan dan kerusakan. Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar kawasan pesisir Teluk Maumere sangat rawan terhadap bencana pesisir. Bencana pesisir yang pernah terjadi dan
(beberapa) mungkin akan terus terjadi, antara lain: gempa bumi, tsunami, abrasi pantai, subsiden, gelombang angin (badai dan putting beliung), erosi, tanah longsor, serta gelombang pasang dan banjir. GEMPA BUMI DAN TSUNAMI Pada tanggal tanggal 12 Desember 1992, gempa bumi tektonik berkekuatan 6,8 SR dengan pusat gempa di laut Flores mengguncang empat kabupaten yaitu Sikka, Ende, Ngada dan Flores Timur. Gempa bumi tersebut memicu gelombang tsunami setinggi 36 meter dan merusak rumah serta infrastruktur lainnya di pesisir Pantai Flores. Di Kabupaten Sikka, bencana tsunami setidaknya menelan 1.952 korban jiwa, 492 orang luka berat dan 1.518 luka ringan. Wilayah paling parah terkena bencana tsunami tersebut adalah Kecamatan Magepanda, Alok, Alok Barat, Alok Timur, Kangae, Kewapante, Waigete, Talibura, Paga, Mego, Lela, Bola, Doreng, Waiblama, Palue.
ABRASI PANTAI Abrasi pantai terjadi secara terus menerus hampir di sebagian besar wilayah pesisir Teluk Maumere. Masyarakat menganggap bahwa abrasi pantai semakin sering terjadi dan terasa perubahannya pasca bencana tsunami tahun 1992 lalu. Wilayah yang paling rawan abrasi di pantai utara setidaknya meliputi delapan (8) kecamatan yaitu Talibura, Waigete, Kewapante,
Kangae, Alok, Alok Timur, Alok Barat, Waiblama dan Magepanda. Sedangkan di wilayah selatan yang paling rawan abrasi meliputi 6 kecamatan yaitu Paga, Mego, Lela, Bola, Doreng dan Mapitara. Rusaknya terumbu karang dan hutan mangrove telah
memperparah kejadian abrasi. Disisi lain, lemahnya tata ruang wilayah pesisir membuat kerantanan pesisir terhadap bencana menjadi lebih tinggi. Tanpa adanya penerapan jalur hijau, maka kerentanan ini akan semakin bertambah tinggi tiap tahunnya. GELOMBANG ANGIN DAN PUTING BELIUNG
Golombang angin besar atau angin topan dan puting beliung biasanya terjadi pada musim hujan antara bulan Februari hingga Maret dan melanda hampir semua wilayah kecamatan. Angin topan yang terjadi di wilayah pantai utara dan selatan Kabupaten Sikka seringkali memicu gelombang pasang air laut yang kemudian menghantam pantai sehingga terjadi erosi pantai atau abrasi. Meskipun tidak sering, angin puting beliung tercatat pernah menghantam Kab. Sikka. Dilaporkan bahwa angin ini telah
merusak ratusan rumah penduduk di beberapa kecamatan seperti
Kecamatan Nita, Alok, Alok timur, Alok barat, Kangae, Kewapante dan Waigete. GELOMBANG PASANG DAN BANJIR
Ancaman gelombang pasang di Kab.Sikka sering menyebabkan banjir apabila terjadi bersamaan dengan hujan dalam jangka waktu yang lama sehingga tanah menjadi jenuh air. Keadaan ini bisa menjadi semakin parah jika drainase pemukiman sangat buruk atau wilayah tersebut berada dibawah permukaan air rata-rata.
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR KABUPATEN SIKKA Peraturan daerah tentang tata ruang di Kabupaten Sikka belum lama disahkan. Penataan ruang tersebut diatur melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sikka Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sikka Tahun 2012 - 2032. Secara umum rencana tata ruang Kabupaten Sikka terdiri dari 2 (dua) kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya.
...bersambung ke hal 16
Konserv
Konserv
Konserv
Konserv
Konservasi
asi
asi
asi
asi
Lahan Basah
Bencana angin putting beliung di Desa Nangahale, Kab SIkka, tahun 2012 (Foto: Kuswantoro)
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 66666
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
PENDAHULUAN
G
reen Coast merupakan sebuah proyek kerjasama antara Wetlands International, IUCN Belanda WWF, dan Both ENDS yang didanai oleh Oxfam. Proyek ini bertujuan untuk memperbaiki pesisir di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias pasca tsunami 2004, dengan melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan lokal (LSM/KSM). Kegiatan Proyek Green Coast yang dilakukan terutama terkait dengan rehabilitasi ekosistem pesisir, pengembangan mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan serta pembuatan kebijakan pesisir di tingkat desa. Di Indonesia, Proyek Green Coast dilaksanakan oleh WI-IP bekerja sama dengan WWF. WI-IP sebagai salah satu pelaksana kegiatan, menerapkan konsep Biorightsyaitu dengan menyediakan dana pinjaman tanpa bunga dan tanpa agunan kepada kelompok/LSM/KSM untuk melakukan kegiatan rehabilitasi pesisir. Apabila kegiatan rehabilitasi dari hasil monitoring memperlihatkan keberhasilan tumbuh/hidup tanaman pada akhir kontrak (sekitar 3 tahun) lebih dari 75% maka dana pinjaman berubah menjadi hibah. Pada
pelaksanaan Proyek Green Coast yang diselenggarakan sejak tahun 2005 s/d 2009, kontrak kerja sama dibuat dan disepakati bersama dengan kelompok (LSM/KSM) dampingan untuk masa waktu tertentu. Dari hasil monitoring yang dilakukan pada akhir tahun 2009, diketahui bahwa sebesar lebih dari 75% tanaman mangrove dan tanaman pantai mampu bertahan hidup dengan baik, dan di sisi lain usaha perekonomian kelompok masyarakat juga berkembang dengan baik.
Untuk mengetahui perkembangan kegiatan kelompok pasca proyek selesai tahun 2009, WI-IP pada tanggal 28-30 Juni 2013, telah melakukan suatu kajian dengan mengunjungi lokasi-lokasi contoh kegiatan dimana kelompok/LSM/KSM bekerja. Tim melakukan wawancara dengan pengurus kelompok/LSM/KSM dampingan di masing-masing desa dan mencari informasi perkembangan kegiatan kelompok dampingan terkait dengan hasil penanaman,
perkembangan usaha ekonomi kelompok dan harapannya. Lokasi kajian adalah di Desa
Ceunamprong, Keude Unga, Gle Jong dan Krueng Tunong (Kecamatan Jaya Kabupaten Aceh Jaya); Desa Kahju, Lam Ujong, Gampong Baru (Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar); Desa Pulot (Kecamatan Leupung Kabupaten Aceh Besar).
Laporan Singkat
8 Tahun Pasca Kegiatan Proyek Green Coast
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Oleh: Eko Budi Priyanto* dan Kuswantoro**
7 7 7 7
7 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
HASIL KAJIAN DAN SARAN Dari hasil kajian yang telah dilakukan di 8 (delapan) lokasi kegiatan proyek Green Coast, semua kelompok telah melaksanakan kegiatan penanaman dan pengembangan usaha ekonomi sesuai dengan kesepakatan kerja sama dalam kontrak Biorights. Konsep pendekatan kontrak semacam ini kepada
masyarakat dianggap berhasil oleh kelompok-kelompok dampingan, walaupun hanya berlangsung singkat. Rata-rata hasil penanaman mangrove yang tumbuh dan bertahan hidup diperkirakan mencapai 50%, sedangkan tanaman pantai/perkebunan lebih tinggi prosentase hidupnya yaitu mencapai 70 %. Tanaman mangrove dan tanaman pantai yang tidak berhasil hidup, lebih
banyak dikarenakan faktor non teknis seperti gangguan ternak masyarakat seperti kerbau, sapi dan kambing. Terlepas dari keberhasilan-keberhasilan di atas, ternyata pendampingan yang dilakukan selama ini masih belum mampu meningkatkan kapasitas anggota kelompok dalam berorganisasi. Ternyata untuk meningkatkan kapasitas organisasi diperlukan waktu yang cukup lama agar kelompok dapat menjadi kelompok yang mandiri, dengan dukungan
pendampingan secara kontinyu. Pembangunan tanggul penahan abrasi misalnya di Desa Gle Jong, dengan menggunakan batu-batu cukup efektif mengurangi laju abrasi, namun ada dampak lain yang ditimbulkan adalah beberapa tanaman mangrove mengalami kekeringan karena tidak ada lagi suplai air laut masuk ke rawa-rawa di pinggir pantai. Kajian yang telah dilaksanakan dalam rangka memantau dan melihat hasil perkembangan dari kegiatan proyek Green Coast ini, tentu saja bukanlah merupakan langkah akhir dalam memperbaiki lingkungan pesisir di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Walaupun program telah usai, namun semangat memperbaiki lingkungan pesisir harus terus dikobarkan. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang saat ini memegang tongkat estafet kegiatan, diharapkan tiada lelah melanjutkan jerih payah mereka yang telah diwujudkan selama proyek Green Coast berlangsung.
Dari hasil kajian, tim merekomendasikan beberapa saran untuk diterapkan kedepan agar kegiatan berjalan lebih optimal dan lebih baik, antara lain:
•
Waktu untuk melakukan pendampingan secara kontinyu kepada kelompok oleh fasilitator perlu diperpanjang (misalnya 4 tahun) untuk meningkatkan kapasitas dalam mengelola kelembagaan dan usaha ekonomi kelompok.•
Sebelum melaksanakan kegiatan penanaman, perlu diketahui terlebih dahulu rencana tata ruang wilayah setempat, agar tanaman hasil penanaman dapat terjamin kehidupannya dari kegiatan fisik.•
Untuk keberhasilan penanaman, diperlukan pembuatan pagar pelindung tanaman dari jangkauan hewan-hewan ternak yang memakan daun-daun tanaman, walaupun dengan kompensasi pembiayaan yang lebih besar. zz*Project Coordinator WIIP-PfR project E-mail: eko.has@gmail.com **Project Facilitator WIIP-PfR project E-mail: kus.santren@gmail.com 5 tahun pasca proyek Green Coast di Krueng Tunong
(Foto: Kuswantoro)
Tanaman mangrove, 8 tahun pasca proyek Green Coast di Lam Ujong (Foto: Eko B.P)
Tanaman cemara pantai, 5 tahun pasca proyek Green Coast di Laguna Pulot (Foto: Eko B.P)
Tanaman cemara pantai, 8 tahun pasca proyek Green Coast di Lam Ujong (Foto: Kuswantoro)
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 88888
Kebakaran di Sumatra:
mengurusi gejala, tak cukup aksi dalam menangani penyakit
K
ebakaran lahan dan hutan gambut di Sumatra baru-baru ini mengindikasikan betapa tidak berkelanjutannya usaha perkebunan sawit dan HTI (bubur kertas) diatas lahan gambut. Kejadian kebakaran di Sumatra telah menyebabkan dikeluarkannya peringatan dari otoritas kesehatan di Singapura, Malaysia dan Indonesia, dan menimbulkan silang pendapat diantara ketiga negara tersebut mengenai siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap kejadian kebakaran tersebut. Meskipun demikian, nampaknya sangat kurang perhatian terhadap akar permasalahan dari penyebab kebakaran tersebut. “Untuk mencegah kebakaran, Indonesia dan Malaysia perlu melindungi hutan rawa gambut yang masih tersisa, dan memindahkan ataumemperbaiki pengelolaan dari perkebunan yang saat ini telah beroperasi dilahan gambut. Selain itu, diperlukan adanya dukungan birokrasi untuk memperluas dan mempercepat investasi langsung dari luar untuk membantu upaya rehabilitasi lahan gambut yang telah mengalami kerusakan, diantaranya melalui mekanisme konsesi Restorasi Ekosistem”, demikian disampaikan oleh Marcel Silvius, Head of Programme and Strategy for Wetlands and Climate dari Wetlands International.
SEBAGIAN BESAR ASAP
BERASAL DARI KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT
Pada tahun-tahun belakangan ini, sejumlah besar luasan hutan rawa gambut di Asia Tenggara telah mengalami kerusakan cukup parah, sebagai akibat dari deforestasi, pengeringan gambut dan pembangunan perkebunan dan pertanian yang kurang terencana dengan baik. Lahan gambut yang telah mengalami kekeringan sangat rentan terhadap kerbakaran. Karena sebagian besar kebakaran gambut terjadi dibawah permukaan, maka material gambut terbakar tidak
sempurna, dan kemudian menghasilkan lebih banyak asap dibandingkan dengan kebakaran lainnya. Kebakaran di lahan gambut juga sangat sulit untuk
dipadamkan. Dengan demikian, kebakaran di lahan gambut memang merupakan sumber utama terjadinya asap1. Peta yang dikembangkan oleh
SarVision dengan jelas menunjukkan bahwa banyak kebakaran baru-baru ini terjadi di lahan gambut.
Penelitian2 yang dilaksanakan
baru-baru ini menunjukan bahwa kebakaran yang terjadi di Sumatra terkonsentrasi di wilayah yang sudah mengalami kerusakan berat (140 kejadian kebakaran per 100 km2), sementara hanya sedikit yang terjadi di wilayah yang masih berupa hutan rawa gambut alami (7 kebakaran per 100 km2). Dengan demikian, strategi pencegahan kebakaran yang paling efektif adalah
dengan mempertahankan wilayah hutan rawa gambut yang masih alami dan merehabilitasi serta membasahi kembali wilayah lahan gambut yang sudah mengalami kerusakan,
sehingga bisa kembali ke kondisi yang tergenang air.
PERKEBUNAN YANG TIDAK BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT
Liputan media terhadap kejadian kebakaran menekankan adanya peran dari perkebunan kelapa sawit dalam menyulut kebakaran. Meskipun demikian, peta yang dikembangkan oleh SarVision serta penelitian yang dilakukan oleh kelompok advokasi
Eyes on the Forest3 menunjukan
bahwa HTI yang memproduksi bahan bubur kertas di lahan gambut juga seharusnya bertanggung jawab terhadap kejadian kebakaran di propinsi Riau. Baik perkebunan kelapa sawit maupun HTI seharusnya bertanggung jawab untuk membangun dan melaksanakan berbagai solusi terhadap kejadian kebakaran yang disebabkan oleh kegiatan mereka di lahan gambut.
“Untuk menangani isu kebakaran secara efektif, Indonesia seharusnya mendorong pemindahan konsesi perkebunan kelapa sawit dan HTI dari lahan gambut, misalnya melalui kesepakatan land swap, ke lahan mineral. Kita juga harus membangun suatu roadmap terkait dengan
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
9 9 9 9
9 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
rehabilitasi di lahan gambut, termasuk budidaya jenis-jenis asli lahan gambut, yang sepenuhnya
mengikutsertakan masyarakat, yang tidak memerlukan drainase dan menyediakan pasokan berkelanjutan bagi berbagai jenis produk bernilai ekonomi tinggi, seperti lateks, obat-obatan, buah-buahan maupun sumber daya kayu” tutur Nyoman
Suryadiputra, Direktur Wetlands International – Indonesia Programme. “Rehabilitasi lahan gambut lebih lanjut dapat difasilitasi oleh, misalnya,
investasi langsung sektor swasta dalam kegiatan dibawah payung strategi REDD+ Indonesia, serta menciptakan iklim yang secara birokratif mendukung
terlaksananya konsesi Restorasi Ekosistem”, lebih lanjut dikatakan oleh Nyoman Suryadiputra. “Kerjasama internasional sangat dibutuhkan (termasuk ketiga negara yang terdampak),
difokuskan pada langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut.
Setiap tahun (kecuali pada tahun-tahun sangat basah) kebakaran besar merusak
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
lahan pertanian, kehutanan dan lahan alami, menyebabkan masalah polusi udara, dan kerugian ekonomi yang sangat besar serta menyumbang ratusan juta ton emisi gas rumah kaca, dan akhirnya mempengaruhi iklim dunia. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa kebakaran terjadi akibat perbuatan manusia, dan sebenarnya dapat dilacak asalnya dari kegiatan pembukaan lahan, baik oleh perusahaan skala besar maupun skala kecil. (01-Jul-2013, Sumatra,
Indonesia). zz
Pustaka
1 Betha R, Pradani M, Lestari P, Joshi UM, Reid JS,
Balasubramanian R. Chemical speciation of trace metals emitted from Indonesian peat fires for health risk assessment.
Atmospheric Research. 2013;122:571-8.
2 Miettinen, J., Shi, C., Liew, S.C, 2012. Two decades of
destruction in Southeast Asia’s peat swamp forests. Frontiers in Ecology and Environment.Vol 10 (3), pp 124-128
3 Cause of haze? Up to 87% of recent deforestation in fire zone
due to palm oil, timber, published in Mongabay.com
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi : Marcel Silvius, Head of Programme and Strategy, Wetlands and Climate:
marcel.silvius@wetlands.org, +31 (0) 318 660 924 Nyoman Suryadiputra, Director, Wetlands International – Indonesia Programme
nyoman@wetlands.or.id, +62 251 8312189
www.wetlands.org
(Ilustrasi: Aldo Suryadiputra)
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 1010101010
Mama Loretha
Sorgum: Ketahanan Pangan
dan Adaptasi Perubahan Iklim
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
S
orgum bagi perempuan yang bernama lengkap Maria Loretha atau biasa dipanggil Mama Loretha adalah nafas kehidupannya. Dedikasinya terhadap sorgum sebagai pangan lokal dibuktikan dengan menjadi petani sorgum sejak 2005.Semangat membudidayakan pangan lokal dan pentingnya mewujudkan kedaulatan pangan, terus ia kampanyekan kepada pemerintah, LSM, petani dan masyarakat. Bahkan Mama Loretha telah menularkan pengetahuan dan pengalamannya kepada kelompok-kelompok petani di 9 Kabupaten di Propinsi NTT. Tidak hanya teori, di setiap tempat yang dikunjunginya Mama Loretha selalu membagikan benih sorgum, memberikan pelatihan dan melakukan pendampingan berkelanjutan kepada para petani.
Pada tanggal 24 – 25 April 2013, Wetlands International - Indonesia Programme (WI-IP) melalui program Partner for Resilience (PfR) mengundang Mama Loretha untuk berbagi ilmu dan pengalamannya dalam membudidayakan sorgum kepada delapan kelompok dampingan WI-IP. Bagi Mama Loretha memberikan pelatihan budidaya sorgum kepada para petani di Sikka dan Ende seperti membangunkan macan tidur, karena sebenarnya para petani di dua kabupaten ini tidak asing lagi dengan tanaman sorgum, hanya saja program konsumsi beras menina bobokan mereka sejak tahun 70-an sehingga secara perlahan sorgum hilang dari daftar menu makan sehari-hari para petani. Berikut cuplikan wawancara tim WKLB dengan Mama Loretha tentang sorgum, kedaulatan pangan, nasib para petani dan perubahan iklim.
WKLB : berbicara sorgum sebagian masyarakat sudah lupa dan tidak bisa merasakan lagi ‘enak’nya sorgum, sebenarnya apa itu sorgum?
Mama Loretha : Sorgum adalah sejenis tanaman palawija, di Jawa dikenal dengan sebutan cantel, jagung cantel dan gandrung. Di Sikka dan Ende sorgum dinamakan watar mitak atau lolo, suatu tanaman sumber pangan lokal yang sudah diwariskan turun temurun dari nenek moyang. Sayangnya tahun 70-an program konsumsi beras telah menggusur keberadaan pangan lokal ini, semua petani beralih tanam padi, alih fungsi lahan dari tanaman lokal ke tanaman komoditi seperti jambu mete, kemiri dan kakao akibatnya sorgum semakin hilang. WKLB : Apa akibatnya ketika para petani beralih dari tanaman sorgum ke padi dan tanaman komoditi?
Mama Loretha : Akibatnya kearifan lokal tentang ketahanan pangan hilang, ketergantungan akan bahan pangan dari luar seperti beras sangat tinggi, yang sebenarnya bahan pangan tersebut tidak ramah di alam seperti di NTT.
WKLB : Apakah kondisi itu yang akhirnya anda menggeluti sorgum?
Maria Loretha : Alam kita (NTT) sangat kaya, seharusnya tidak akan pernah ada kelaparan, cuma stigma di luar tentang NTT kan tidak jauh-jauh dari kelaparan dan kemiskinan. Soal pangan kita tidak kekurangan karena kita punya pisang, jagung, keladi dan juga sorgum, cuma sejak diterapkannya program beras masyarakat jadi terbiasa kalau belum makan nasi katanya belum makan. Akhirnya makanan lokal jadi makanan selingan, ketergantungan
akan beras tinggi akibatnya ketika gagal panen mereka kelaparan. Pemerintah dalam hal ini dinas pertanian atau badan ketahanan pangan sudah saatnya menggalakkan kembali sumber-sumber pangan lokal agar masalah kelaparan tidak terjadi lagi di kemudian hari. WKLB : Setelah hampir 10 tahun menggeluti sorgum bagaimana hasilnya? Mama Loretha : 11 varietas sorgum lokal berhasil saya kembangkan dan kelompok-kelompok petani di 9 Kabupaten di NTT yang saya dampingi mulai membudidayakan tanaman sorgum. Dibeberapa lokasi sudah panen dan hasilnya sangat menggembirakan. Saya juga mensosialisasikan budidaya sorgum bagi ketahanan pangan kepada
pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat umum, tidak hanya lingkup lokal NTT tetapi juga tingkat nasional, tujuannya sederhana agar kedepan bangsa kita mempunyai kemandirian dibidang pertanian dan pangan. Saya bersyukur saat ini beberapa pemerintah daerah, kementerian, swasta dan LSM mulai tertarik membudidayakan sorgum, saya diundang untuk memberikan pelatihan dan mendampingi kelompok –kelompok petani binaan mereka.
WKLB : Dengan kondisi alam NTT yang kemaraunya lebih panjang dan kering bagaimana sorgum bisa dikembangkan?
11 11 11 11
11 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegia
a Kegiat
tt
ttan
an
an
an
an
Lahan Basah
Mama Loretha : Wilayah NTT memang hampir 80% lahannya kering dan tandus, hujan di wilayah ini sangat pendek. Tetapi justru kondisi seperti ini cocok untuk pengembangan tanaman sorgum. Sorgum bisa dipanen 2 sampai 3 kali setahun, sementara tanaman padi di NTT hanya bisa ditanam satu kali dalam setahun, kalaupun bisa dua kali dalam setahun itu hanya di daerah dengan kelimpahan air yang bagus. Untuk itu mengembangkan sorgum adalah pilihan tepat untuk membangun NTT dibidang pertanian. WKLB : Kedepan bagaimana prospek tanaman sorgum?
Mama Loretha : Prospeknya sangat bagus, sorgum mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Daunnya bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, batangnya untuk sirup atau gula (jenis sachartum), dan bahan baku industri seperti alkohol, MSG dan spiritus. Sering saya ditanya petani peserta pelatihan tentang bagaimana pemasaran sorgum? Lho, menanam saja belum kok sudah pusing pemasarannya. Saya jelaskan, mari kita tanam dulu sorgum baru kita bicara pemasaran. Pak Dahlan Iskan dari kementerian BUMN saat ini sedang menggalakkan juga penanaman sorgum di beberapa daerah. Beliau tahu kedepan sorgum akan menjadi sumber pangan yang sangat penting di Indonesia. WKLB : Dengan kondisi iklim yang ekstrem secara umum di NTT dan lebih khususnya di Kabupaten Sikka dan Ende, bagaimana nasib para petani?
Mama Loretha : Memang sangat kompleks, dengan kondisi alam yang panas dan kering nasib petani menjadi tidak menentu, misalnya petani yang menanam padi hanya mengandalkan musim penghujan padahal musim hujan di wilayah NTT dalam sepuluh tahun terakhir sangat pendek, akibatnya mereka sering mengalami kegagalan panen. Hasil komoditi baik mente, kemiri, kakao, juga kurang maksimal karena sewaktu-waktu harganya bisa dipermainkan oleh para
tengkulak akibatnya para petani masih dalam perangkap kemiskinan. Masalah petani memang tidak sederhana tapi ini adalah tugas kita semua untuk membantu memperbaiki kesejahteraan para petani. WKLB : Dampak perubahan iklim sudah bisa kita rasakan saat ini, berbagai penyakit mulai muncul, bencana alam terjadi dimana-mana, dan bidang pertananian paling rentan terkena dampaknya, bagaimana menurut anda? Mama Loretha : Saya sangat mengapresiasi Wetlands International dengan program PfR-nya yang
didalamnya juga terkait kegiatan adaptasi perubahan Iklim, dan saya sangat bangga dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Dampak perubahan iklim yang paling rentan dirasakan para petani, contoh nyata di tahun 2010 lalu dimana seluruh petani di kepulauan Flores mengalami gagal panen padi termasuk hasil komoditi lain akibat musim panas berkepanjangan. Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, yang bisa kita lakukan adalah dengan beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Di bidang kebencanaan, teman-teman di Wetlands International sudah melakukan kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir dengan menanam mangrove untuk mengurangi abrasi, kenaikan permukaan air laut dan intrusi air laut ke daratan. Di bidang pertanian saya mengembangkan sumber pangan alternatif yang adaptif terhadap perubahan iklim. Nah, dua pendekatan ini kita gabungkan, Wetlands International bekerja agar masyarakat mempunyai ketahanan saat bencana pesisir terjadi dan saya menyiapkan masyarakat untuk menyediakan sumber pangan lokal melalui pelatihan budidaya tanaman sorgum. Kerjasama ini sangat bagus bagi ketahanan lingkungan dan pangan masyarakat ke depan. WKLB : Setelah diadakan pelatihan budidaya sorgum untuk kelompok dampingan Wetlands International, bagaimana tanggapan anda dan respon para peserta pelatihan?
Mama Loretha : Sekali lagi saya ucapkan terimakasih kepada Wetlands International karena saya dilibatkan dalam program PfR. Setelah dua hari berbagi ilmu dan pengalaman budidaya sorgum kepada kelompok, saya melihat semangat dan antusias peserta luar biasa. Kebun contoh yang dibuat di Desa Tou Timur kedepan akan menjadi pusat bibit untuk wilayah Kabupaten Sikka dan Ende, dan kelompok yang ikut pelatihan nantinya bisa
membagikan bibit sorgum ke kelompok lainnya.
WKLB : Banyak yang mengeluhkan susahnya mengolah sorgum, menurut anda?
Mama Loretha : Sebenarnya tidak susah, tapi mungkin belum terbiasa karena sudah sangat lama masyarakat tidak
mengolahnya. Misalnya ada yang mengatakan memerlukan waktu yang lama karena harus ditumbuk sehingga banyak orang yang malas mengolahnya. Kita tidak perlu repot-repot lagi menumbuknya tinggal dibawa saja ke tempat penggilingan padi. Setelah digiling sorgum bisa langsung dimasak seperti nasi atau diolah menjadi kue, roti dan bubur. Masyarakat memang belum banyak yang tahu kalau manfaat sorgum lebih unggul daripada beras dan jagung. Sorgum kandungan nutrisinya lebih tinggi, tidak menyebabkan penyakit diabetes, mencegah penyakit kanker, dan baik bagi pencernaan WKLB : Apa rencana anda ke depan untuk tanaman sorgum?
Mama Loretha : Saya tidak akan berhenti untuk mengkampanyekan penggunaan sumber-sumber pangan lokal terutama menanam sorgum untuk ketahanan pangan lokal, mengurangi ketergantungan terhadap sumber pangan yang tidak adaptif terhadap perubahan iklim, melakukan pendampingan yang
berkelanjutan terhadap para petani sorgum dan tentunya kedaulatan pangan adalah cita-cita besar saya yang belum terwujud. zz (Didik Fitrianto)
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 1212121212
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Umum
a Umum
a Umum
a Umum
a Umum
Lahan Basah
Perburuan Rusa: Sumber Pendapatan Alternatif
Masyarakat di Kepala Burung, Papua
Oleh: Freddy Pattiselanno1, Bastian Maryen2 & Yusuf Burako2
SEKILAS TENTANG RUSA TIMOR
D
i Papua, Rusa Timor (Cervustimorensis) merupakan jenis
rusa yang diintroduksi oleh Belanda tahun 1928 di Merauke, Manokwari dan selanjutnya menyebar ke seluruh wilayah Papua. Masyud, et
al. (2003) mendeskripsikan rusa Timor
(Rusa timorensis) sebagai rusa Indonesia dengan ukuran sedang (Gambar 1). Saat ini pemanfaatan rusa di Papua umumnya untuk memenuhi sumber protein hewani keluarga. Selain itu juga kepala rusa jantan yang telah diofset merupakan sumber penerimaan rumah tangga di derah kantong penyebaran rusa. Dari hasil kajian dan pengamatan yang kami lakukan (WKLB April 2012; WKLB Januari 2013) pada bulan Agustus 2011 hingga Agustus 2012 lalu, menunjukan bahwa perburuan bukan hanya berkontribusi terhadap terpenuhinya konsumsi protein hewani keluarga, tetapi juga menjadi sumber pendapatan alternatif rumah tangga. SUMBER PENGHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat di desa-desa pesisir ternyata tidak selamanya bergantung pada hasil laut. Saat musim-musim gelombang yang tidak memungkinkan melaut, aktivitas mereka biasanya lebih banyak di darat, seperti memperbaiki armada melaut dan alat tangkap, aktivitas pertanian dan perburuan subsisten. Hal ini tergambar dari kondisi responden yang diwawancarai di Abun 92,7% dan di Amberbaken 77,3% adalah petani.
Sumber pendapatan utama masyarakat adalah hasil pertanian (Gambar 2) sekalipun masih terkendala pemasaran akibat terbatasnya sarana transportasi. Sumbangan hasil laut masih terbatas pada konsumsi rumah tangga dan penerimaan pembayaran hak ulayat wilayah laut yang dimanfaatkan nelayan dari luar. Aktivitas perburuan biasanya dilakukan jika ada permintaan daging dari pedagang pengumpul atau saat melakukan kegiatan di lahan pertanian secara aksidental. Sebagian kecil masyarakat bekerja sebagai buruh di areal perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengolahan kayu, pembangunan jalan, perusahaan tambang dan aktivitas konservasi yang melibatkan
masyarakat setempat. Namun untuk menopang kebutuhan keluarga sehari-hari, masyarakat sangat berharap perolehan dana tunai secara langsung, sehingga aktivitas perburuan menjadi pilihan mereka untuk mendapatkan tambahan income. KONTRIBUSI PERBURUAN RUSA Hasil wawancara terhadap responden di 11 desa masing-masing 7 desa di Distrik Amberbaken dan 4 desa di Distrik Abun menunjukkan bahwa hewan buruan yang paling sering menjadi target perburuan masyarakat adalah babi hutan, rusa, kangguru, kangguru pohon dan kuskus (Grafik 1 dan 2).
Rusa timor (Cervus timorensis) Mengolah lahan pertanian
13 13 13 13
13 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Umum
a Umum
a Umum
a Umum
a Umum
Lahan Basah
Hasil buruan di masing-masing desa hampir didominasi rusa dan babi hutan (Gambar 3a & 3b), ditengarai karena kedua jenis satwa tsb tergolong dalam hewan buruan berukuran tubuh besar (large size animals) dibanding target buruan lainnya. Hal ini cukup beralasan, karena tujuan perburuan selain untuk memenuhi konsumsi protein hewani juga telah menjadi sumber pendapatan alternatif keluarga. Semakin besar produksi daging yang dihasilkan akan semakin
meningkatkan pula pendapatan dari setiap aktivitas perburuan. Harga daging babi dan rusa per kilogram yang dijual kepada pedagang pengumpul berkisar antara Rp. 15.000 sampai dengan Rp. 25.000 tergantung ketersediaan stok daging dan kebutuhan daging di pasaran.
Rata-rata penghasilan tambahan responden di luar perolehan nilai tunai per bulan dari hasil pertanian adalah Rp. 3.639.683 untuk responden di distrik Abun dan Rp. 1.919.084 untuk responden di distrik Amberbaken. Tambahan penghasilan tsb termasuk hasil jual ternak, penerimaan hak ulayat terhadap pemanfaatan hasil laut oleh nelayan dari luar, penjualan kopra dan penjualan hasil buruan.
Walaupun pasar daging satwa secara formal hampir tidak ada, tetapi kebutuhan akan daging ternyata mampu menciptakan arus pemasaran daging satwa langsung dari pemburu, pedagang perantara (Gambar 4) dan rumah makan dan konsumen. Khusus untuk daging rusa biasanya dijual ke pengusaha bakso yang banyak digemari oleh masyarakat.
DAMPAK PERBURUAN
Hasil penelitian yang sudah dilakukan di beberapa negara Afrika, Amerika Latin dan Asia berkesimpulan bahwa perburuan yang terus meningkat dari waktu ke waktu menjadi semakin tidak terkendali dan berdampak terhadap (1) kepadatan populasi satwa, (2) struktur umur, (3) kelanjutan produksi satwa dan (4) ukuran tubuh target buruan. Ternyata perburuan tidak hanya membawa dampak negatif terhadap komunitas satwa yang ada tetapi juga terhadap ekosistem hutan sebagai habitat satwa itu sendiri. Perburuan menciptakan potensi kehilangan yang sangat besar sejumlah species satwa di hutan tropis. Perburuan juga ternyata mampu merubah ekosistem hutan tropis karena berkurangnya populasi satwa yang berdampak terhadap keberlanjutan hidup hewan penghuni hutan yang memainkan peranan penting terhadap penyebaran biji dan proses polinasi lansekap hutan. Babi hutan misalnya temasuk pemakan biji-bijian yang mampu menyebarkan biji sejumlah tanaman tropis, rusa dikenal sebagai agen pemencar biji-bijian tertentu. Penilaian terhadap perburuan di wilayah hutan tropis di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa ekstraksi satwa dari alam telah melewati ambang batas keberlanjutan (sustainable rate). Hal ini berdampak signifikan terhadap penurunan populasi satwa di alam yang lebih dikenal dengan sindrom “hutan kosong” atau “empty forest” syndrome (Redford, 1992).
KEGIATAN ALTERNATIF BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Rencana pembukaan jaringan jalan Papua sepanjang 2.700 km yang juga mencakup kawasan di Kepala Burung yang
menghubungkan Manokwari dan Sorong, akan semakin membuka keterisolasian desa-desa pesisir di masa mendatang. Di satu sisi akan membantu pemasaran hasil-hasil pertanian, tetapi di sisi lain juga akan membuka peluang meningkatnya intensitas perburuan yang mengancam populasi satwa yang ada. Dikuatirkan jika target yang sering diburu menjadi berkurang maka preferensi target buruan akan berpindah ke satwa yang tadinya bukan merupakan target buruan. Mengacu pada potensi ekoturisme bahari di kawasan Kepala Burung, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat memikirkan aktivitas alternatif melalui pemberdayaan masyarakat setempat. Pengembangan wisata buru misalnya merupakan peluang yang patut dipertimbangkan. Di wilayah-wilayah yang merupakan kantong satwa buruan seperti rusa dan babi hutan, olahraga berburu diharapkan juga akan mampu mengontrol populasi kedua satwa ini. Kompensasi terhadap wilayah zona berburu, penyediaan akomodasi bagi para pemburu dan kebutuhan pemandu lapangan (masyarakat lokal) diperkirakan akan membuka sumber-sumber pendapatan alternatif masyarakat. Perlu pengkajian mendalam agar pendekatan melalui pemberdayaan masyarakat mampu menjawab kebutuhan masyarakat sekaligus membuka ruang bagi agenda pembangunan berkelanjutan. zz
1 & 2 Staf Pengajar & Mahasiswa Fak. Peternakan
Perikanan & Ilmu Kelautan UNIPA Manokwari
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 1414141414
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Umum
a Umum
a Umum
a Umum
a Umum
Lahan Basah
Peserta dari PT. L’Oreal Indonesia (Foto: Umar Istihori)
Penanaman Mangrove
di Desa Sawah Luhur, Propinsi Banten
Kerjasama L’Oreal dengan Yayasan Lahan Basah Indonesia
Oleh: Telly Kurniasari*
Latar Belakang Kegiatan
K
egiatan penanaman mangrove di Desa Sawah Luhur yangdilaksanakan pada 5 Juli 2013 lalu, merupakan bentuk kegiatan Corporate
Social Responsibility (CSR) dari divisi supply chain PT. L’Oreal Indonesia.
Kegiatan ini dikemas dengan tema Citizen
Day Mangrove Planting. Inisiatif divisi Supply Chain untuk menanam mangrove
disambut baik oleh Yayasan Lahan Basah Indonesia (YLBI) yang bermitra dengan Wetands International Indonesia Programme (WIIP) dalam merehabilitasi 20 Ha lahan tambak terlantar di Desa Sawah Luhur kawasan pesisir Cagar Alam Pulau Dua, Propinsi Banten. Kegiatan melibatkan kelompok masyarakat yang telah menjadi binaan YLBI-WIIP sejak tahun 2009 dalam melakukan penanaman dan pemeliharaan mangrove di areal tambak yang merupakan daerah penyangga Cagar Alam Pulau Dua.
Tujuan Kegiatan
Divisi supply chain PT. L’Oreal memiliki kegiatan CSR rutin setiap tahun. Tema kegiatan yang dipilih untuk tahun 2013 adalah Citizen Day Mangrove Planting. Penanaman mangrove merupakan kegiatan perdana bagi PT. L’Oreal Indonesia, bertujuan untuk membuat suatu terobosan yang berbeda dari kegiatan-kegiatan sosial sebelumnya. Sesuai dengan moto Loreal Beauty, Education
and Environment, target yang ingin dicapai
kedepannya dari kegiatan ini adalah mewujudkan sebuah aksi bersama yang berbasis lingkungan dimana seluruh divisi CSR PT. L’Oreal Indonesia akan terlibat dalam merehabilitasi mangrove. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan penanaman dilaksanakan di areal pertambakan Desa Sawah Luhur Serang Banten.
Jumlah Peserta
Jumlah peserta yang terlibat kurang lebih sebanyak 50 (lima puluh) orang terdiri dari karyawan PT. L’Oreal Indonesia, YLBI, WIIP dan tokoh serta kelompok masyarakat Desa Sawah Luhur. Jumlah Bibit yang Ditanam Jumlah bibit mangrove yang akan ditanam sebanyak 2250 bibit, yaitu dari jenis Rhizophora apiculata dan
Rhizophora stylosa. Bibit-bibit mangrove
yang merupakan sumbangan dari PT. L’Oreal Indonesia dan perorangan dari para karyawan tersebut, selanjutnya akan ditanam oleh kelompok masyarakat di dalam petakan tambak dalam dua tahapan waktu. Tahap pertama akan ditanam 1000 bibit pada bulan Juli 2013, dan tahap kedua sebanyak 1250 bibit pada awal Agustus 2013 mendatang.
15 15 15 15
15 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
Sedimentasi yang terjadi sedemikian cepat akan menyambungkan Pulau Bakut dengan daratan di seberang barat-laut pulau. Walaupun terjadinya proses itu masih cukup lama, alur sungai sudah pasti tidak akan bisa dilalui lagi dengan kendaraan air (kelotok, jukung, perahu). Lahan oloran pun akan menjadi sumber konflik.
Pada sisi lain, air sungai di tenggara pulau mengalir semakin deras dan mengikis daratan di seberang pulau. Tanah yang melindungi fondasi jembatan terkelupas. Oprit jembatan pun mudah
anjlok, apalagi bila kendaraan yang melewatinya —jalan ini adalah jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Kalimantan Selatan dengan Kalimantan Tengah— bertambah banyak dan berukuran besar.
Lebih dari itu, penambahan luas Pulau Bakut sebenarnya mengindikasikan bahwa daerah tangkapan air (DTA) di bagian hulu Sungai Barito tererosi sangat parah. DTA masuk dalam wilayah 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan serta sedikitnya 4 kabupaten di Kalimantan Tengah.
Di DTA tersebut banyak faktor penyebab erosi. Faktor utama adalah
penambangan batubara sistem terbuka. Penambangan dilakukan oleh
perusahaan tambang dengan ijin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (melalui PKP2B), ijin bupati (melalui kawasan penambangan), dan bahkan tanpa ijin. Faktor lainnya adalah pembangunan kebun sawit,
pengembangan permukiman (akibat pemekaran wilayah atau pertambahan penduduk), serta pembangunan infrastruktur (jalan angkutan batubara). Hasil erosi (sedimen) membentuk gosong serta mendangkalkan alur Sungai Barito. Salah satu gosong terbentuk di tepi Sungai Barito ±500 m dari ujung pulau bagian hulu dan dapat dilihat dari Jembatan Barito.
Pendangkalan dibuktikan dengan lengan ekskavator penggali atau pengangkat pasir yang panjangnya hanya sekitar 6 m.
Akankah kondisi seperti ini terus tidak dipedulikan? Akankah perlakuan diberikan, setelah masalahnya menjadi lebih rumit? Jawabannya bergantung pada pemerintah setempat atau
pemerintah provinsi sebagai penanggung jawab serta pada masyarakat sebagai pengguna. zz
Daftar Pustaka
BKSDA Kalsel. 2008. Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Selatan.
* Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru masoendjoto@gmail.com Gambar 2. Penambangan pasir di ujung timur laut Pulau Bakut
Gambar 3. Rambai, bioindikator sedimentasi di tepi barat laut Pulau Bakut
... Sambungan dari halaman 3
Taman Wisata Alam Pulau BAKUT ...
Fokus
Fokus
Fokus
Fokus
Fokus
Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 1616161616
Peraturan Daerah tersebut secara spesifik belum mengatur pemanfaatan ruang pada kawasan lindung termasuk pada daerah rawan bencana pesisir dan kawasan lindung geologi, tetapi baru sebatas memuat zonasi kawasan rawan bencana diantaranya kawasan rawan longsor, rawan gelombang pasang, rawan banjir, rawan angin topan serta kawasan rawan bencana alam geologi.
Pengaturan dan penetapan kawasan daerah rawan bencana khususnya daerah yang rawan terhadap bencana pesisir akan dilaksanakan pada tahun 2015 – 2016.
Berkaitan dengan ekosistem pesisir, khususnya ekosistem mangrove, Wetlands International - IP bersama
stakeholder lain telah berhasil
memfasilitasi penyusunan surat
keputusan tentang perlindungan kawasan mangrove. Surat Keputusan tersebut ditetapkan oleh Bupati Sikka Nomor 263/ HK/2012 tentang Perlindungan Kawasan Mangrove (SK Moratorium mangrove). KEGIATAN REHABILITASI PESISIR WI-IP
Ketersediaan informasi yang lengkap dan akurat mengenai karakteristik ekosistem mangrove dan karakteristik lingkungan pesisir, peran mangrove, serta kebencanaan di Kawasan Teluk Maumere Kabupaten Sikka merupakan hal yang sangat diperlukan dalam pengelolaan eksosistem pesisir serta demi mencegah dan meminimalkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh bencana pesisir. Untuk itu, Wetlands International - IP pada awal tahun 2013 telah melakukan suatu kajian pesisir melalui pengumpulan data/ informasi dari berbagai sumber termasuk wawancara langsung di lapangan.
Hasil kajian ini selanjutnya dapat dijadikan masukan bagi pengelolaan Kawasan Teluk Maumere Kabupaten Sikka yang rawan terhadap bencana pesisir. Wilayah kajian meliputi kawasan pesisir Teluk Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, mencakup delapan kecamatan, antara lain: Alok, Alok Barat, Alok Timur, Kangae, Magepanda, Talibura, Waiblama, dan Waigete.
POTENSI PENERAPAN
PERANGKAP SEDIMEN / HYBRID ENGINEERING DI DESA
TALIBURA
Hybrid Engineering dalam konteks
rehabilitasi pesisir merupakan suatu teknik untuk mengembalikan kondisi alami, termasuk diantaranya: stabilitas substrat, kondisi ekologi sedimen dan hidrodinamika, yang diperlukan untuk menghentikan proses erosif,
merangsang pertambahan (akresi) lahan dan menjadikan tanah terlantar yang terdegradasi menjadi produktif. Teknik ini dapat dilakukan dengan membangun material pelindung pantai/perangkap sedimen yang bersifat sementara serta dipadukan dengan langkah-langkah praktis untuk rehabilitasi pesisir dan membuat rencana pengelolaan
ekosistem berkelanjutan bersama-sama dengan para pemangku kepentingan.
Prioritas penerapan Hybrid Engineering perlu memperhatikan situasi strategis dan tingkat kepentingan yang lebih tinggi, antara lain:
1. Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai
2. Pusat aktivitas masyarakat dan fasilitas umum yang berada di sepanjang pantai diantaranya adalah jalan raya, rumah ibadah, pasar, kompleks pertokoan dan kawasan rekreasi
3. Bio-fisik alami pesisir (misal: hutan mangrove, terumbu karang) yang terancam keberadaannya
Dusun Talibura merupakan desa yang sangat potensial untuk dikembangkan alat penangkap sedimen karena memiliki muara sungai yang lebar dan potensi sedimentasi yang kuat terutama setelah banjir atau musim hujan. Di sekitar muara sungai terdapat Pasar Talibura dan tempat bersandarnya perahu nelayan yang membawa ikan untuk dijual setiap hari Jum’at dan Sabtu. Dalam membangun perangkap sedimen sangat penting memperhatikan posisi jalur keluar masuk perahu masyarakat.
Terkait hal di atas, tim WI-IP telah berkoordinasi dengan Kepala Desa dan Sekretaris Desa Talibura untuk
Konserv
Konserv
Konserv
Konserv
Konservasi
asi
asi
asi
asi
Lahan Basah
... Sambungan dari halaman 5
Rehabilitasi Pesisir dan Penerapan Perangkap Sedimen ...
17 17 17 17
17 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
membangun perangkap sedimen, dan Pemerintah desa menyambut baik adanya upaya tersebut. Beberapa anggota kelompok binaan WI-IP sudah melakukan diskusi dan sebagian besar mendukung terutama nelayan-nelayan. KONSTRUKSI PERANGKAP SEDIMEN
Perangkap sedimen, diharapkan akan dapat:
•
Mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai.•
Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai.•
Menambah suplai sedimen ke pantai•
Stabilisasi muara sungai•
Menjadi habitat untuk penghijauan pantai dengan mangrove dan tanaman pantaiRancang bangun (desain) perangkap sedimen di pantai Desa Talibura memiliki beberapa alternatif konstruksi, antara lain: a) Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar dengan garis pantai, b) Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan berhubungan dengan pantai c) Konstruksi yang dibangun di dekat pantai dan sejajar dengan garis pantai.
Konstruksi bangunan perangkap sedimen diprioritaskan menggunakan bahan-bahan lokal yang murah, kuat, tahan terhadap korosi air laut dan mudah didapat. Bahan-bahan yang digunakan antara lain: bambu petung, daun kelapa, jaring plastik (paranet), tali.
Berdasarkan analisis citra satelit dan pengukuran di lapangan, panjang garis pantai tempat endapan sedimen adalah ± 308 meter. Tidak seluruh garis pantai tersebut dibangun konstruksi
Ilustrasi rekomendasi teknik perangkap sedimen di Desa Talibura (Oleh: Triana)
Konserv
Konserv
Konserv
Konserv
Konservasi
asi
asi
asi
asi
Lahan Basah
perangkap sedimen karena
mempertimbangkan posisi jalan keluar masuk perahu masyarakat. Panjang garis pantai yang akan dibangun perangkap sedimen sepanjang 200 meter dan terbagi menjadi dua posisi, masing-masing 120 meter (sisi utara) dan 80 meter (sisi selatan). Masing-masing jalur tersebut tersusun dari dua lapis bambu dan jarak antar bambu selebar 20 cm. Setiap meter sejajar garis pantai tersusun bambu secara berseling (zig-zag) dengan kemiringan 45°. Jumlah bambu setiap seling
maksimal diperlukan sebanyak 10 bambu dengan diameter bamboo 10 – 12 cm. Di sela dua lapis bamboo tersebut dipasang jaring dan daun kelapa yang berfungsi menahan sedimen terlepas ke laut. Total bambu yang dibutuhkan sebanyak 2.767 potong dengan ukuran 3 meter. Pada saat artikel ini ditulis, kegiatan pembangunan perangkap sedimen tengah berlangsung, dan informasi perkembangannya akan dilaporkan pada edisi majalah WKLB berikutnya. zz
Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah Warta Konservasi Lahan Basah
Warta Konservasi Lahan Basah zzzzzzzzzzzzzzz 1818181818
Berit
Berit
Berit
Berit
Berita Umum
a Umum
a Umum
a Umum
a Umum
Lahan Basah
Penanaman 1000 bibit mangrove tahap pertama secara simbolis. (Foto: Umar I.)
Saung di tengah tambak; tempat memancing dan tempat berekreasi (Foto: Umar I.)
Serah terima cindera mata secara simbolis antara L’Oreal-YLBI-WIIP (Foto: Umar I.)
... Sambungan dari halaman 14
Penanaman Mangrove (PT. L’Oreal - YLBI) ...
Pembukaan dan sambutan oleh Yayasan Lahan Basah Indonesia (YLBI) (Foto: Umar I.)
Sambutan oleh Direktur Supply Chain PT. L’Oreal Indonesia (Foto: Umar I.)
Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan dimulai pada pukul 13.30, diawali pembukaan yang disampaikan oleh Saudari Anggita Kalistaningsih perwakilan dari WIIP. Kemudian dilanjutkan sambutan dari YLBI selaku penyelenggara kegiatan disampaikan oleh Telly Kurniasari dan dari PT. L’Oreal Indonesia disampaikan oleh Direktur supply Chain Bapak Edi Darwin. Kedua belah pihak menyambut baik kegiatan dan berharap kedepannya akan tetap terjalin kerjasama dalam menjaga dan merestorasi hutan mangrove terutama kawasan pesisir di Pulau Dua Banten. Kegiatan selesai pada pukul 15.30 dan ditutup dengan ucapan terimakasih yang disampaikan oleh I Nyoman Suryadiputra dari WIIP selaku mitra kerja YLBI.
Persiapan
Sebelum penanaman, peserta diberikan pembekalan mengenai teknik menanam mangrove. Peserta berkumpul di saung ekowisata yang dibangun di tengah tambak. Materi diberikan oleh Ita Sualia dengan memperagakan teknik melepas bibit mangrove dari polybag dan cara menaman yang benar di dalam tambak. Penanaman
Penanaman mangrove secara simbolis dilakukan di tambak Simangu. Setiap peserta menanam sebanyak 3 bibit mangrove. Kelompok masyarakat akan melanjutkan penanaman untuk tahap I dan tahap II (Juli-Agustus 2013).
Penutup
Setelah kegiatan penanaman, acara kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah. Selain perkenalan secara umum, peserta diajak untuk bermain tebak kuis seputar tanaman mangrove dan habitatnya. Bagi para peserta yang berhasil menjawab pertanyaan diberikan cindera mata berupa poster, komik dan leaflet yang berkaitan dengan mangrove. Puncak acara kemudian diakhiri dengan serah terima cindera mata secara simbolik dari Bapak Edy Darwin kepada Bapak I Nyoman Suryadiputra, juga sebaliknya. zz
19 19 19 19
19 zzzzzzzzzzzzzzz Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013 Volume 21 No. 3, Juli 2013
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Anonim. 2012. Bridging Science and
Policy Since 1989. Stockholm
Environment Institute. 22 pp.
Anonim. 2013. Informasi singkat Hasil
Hutan bakau Kayu: Hutan Mangrove.
BPHM Wilayah I. 19 pp.
Anonim. 2013. World Water Week in Stockholm Water Cooperation: Building Partnerships. SIWI. 31 pp.
Cameron, C. 2012. Managing Climate
Extremes and Disasters in Asia: Lessons from the IPCCSREX Report.
Climate & Development Knowledge Network. 42 pp.
Ellis, K., A. 2013. Cambray and A.
Lemma Drivers and Challenges for Climate Compatible Development.
Climate & Development Knowledge Network. 13 pp.
Lhendup, P. 2012. Integration of Climate
Adaption Into Development and conservation Planning in Bhutan: Issue Identification and Recommendations.
Adaption Knowladge Platform. 22 pp. Mitchell, T. 2012. Trackling Exposure:
Placing Disaster Risk Management at the heart of National Economic and Fiscal Policy. Climate & Development
Knowledge Network. 15 pp.
Dokument
Dokument
Dokument
Dokument
Dokumentasi
asi
asi
asi
asi
Perpustakaan
Ragil S.G, Aswin R., Eko B.P., dan Kuswantoro. 2013. Peran Ekosistem
Mangrove sebagai Pelindung Bencana Pesisir di Kawasan Pesisir Teluk Maumere, Kabupaten Sikka. Wetlands
International – Indonesia Programme. Bogor.
Stop Press
Selamat kepadaIrwansyah Reza Lubis
staff Wetlands International -Indonesia Programme yang telah ditunjuk sebagai
Deputy Asian Coordinator
Otter Specialist Group periode 2012-2016
Semoga dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya ...