• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI PERKEMBANGAN SKEMA REDD+ DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DESKRIPSI PERKEMBANGAN SKEMA REDD+ DI INDONESIA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DESKRIPSI PERKEMBANGAN SKEMA REDD+ DI

INDONESIA

2.1 Munculnya REDD Sebagai Mekanisme Global

Peurbahan iklim global menjadi perdebatan panjang pasca tahun 1970, bersamaan dengan itu, isu lingkungan lainnya masuk dalam perbincangan gerakan politik penyelematan lingkungan di seluruh dunia. Dunia internasional mencoba membuka mata mata dengan memperhatikan lingkungan dengan upaya membentuk kesepatakan bersama untuk mengatasinya. Bisa dipastikan ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan melalui kesepakatan yang dibangun tersebut. Dalam UNFCCC tahun 1992 menegaskan bahwa ada sebagian umat manusia bertanggungjawab terhadap percepatan perubahan iklim, kelompok ini meliput i mereka yang sekarang menikmati kesejahteraan tinggi dengan cara memakai sumber daya alam secara tifak wajar.38

Akibat penggunaan sumber daya alam yang berlebihan dan berpengaruh terhadap perubahan iklim tersebut, negara-negara berkembang harus menanggung dampak negatif misalnya Indonesia dan negara pemilik hutan lainnya. Upaya Mereka yang menikmati sumber daya alam ini adalah negara-negara industri maju antara lain Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa diluar Eropa Timur.

(2)

yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim tersebut adalah penurunan penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) dan negara-negara maju dalam kesepakatan UNFCCC mewajibkan untuk menurunkan emisi GRK yang dihasilkan dari negara mereka. Pertemuan IPCC (Inter-governmental Panel on Climate Change) tahun 2007 mengeluarkan laporan keempat yang menegaskan 1,6 miliar ton gas karbon dioksida yang dilepas tiap tahunnya ke atmosfer akibat perubahan tata guna lahan dan sebagian besarnya disumbangkan oleh deforestasi.39

Negara berkembang banyak mendesak negara maju untuk memenuhi target penurunan emisi terutama lewat pada COP ke 11 di Montreal dengan mengusulkan kompensasi kepada negara yang dapat mempertahankan laju deforestasi dan degradasi hutan. Kesepakatan yang dibentuk pada pertemuan COP 11 memang belum memberikan hasil yang baik, pasalnya belum ada kesepakatan bersama berapa target emisi minimum yang dicapai oleh setiap negara dan berapa

Dampak deforestasi tampaknya yang banyak menyumbang emisi gas karbon dan perubahan iklim menjadi sorotan, terutama pada pertemuan COP di Kyoto pada tahun 1997 dan menghasilkan Protokol Kyoto. Secara garis besar, kesepakatan itu memberi tangunggjawab kepada negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas karbon lewat penyelamatan hutan. Negara industri maju yang memilki luas hutan yang tidak begitu besar juga diberikan pilihan dengan memberikan insentif kepada negara berkembang yang memiliki sebaran hutan yang luas untuk mendapatkan kredit karbon.

39

(3)

insentif yang diberikan kepada negara pemberi kredit karbon, namun pertemuan ini memasukkan agenda Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries yang merupakan gagasan Coalition of Rain Forest Nation (CFRN).

Pembahasan COP ke 13 di Bali menjadi lebih spesifik karena penambahan poin degradasi pada mekanisme deforestasi mengingat dampak perubahan iklim menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan. Pencegahan deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu upaya menahan laju gas karbon yang berpengaruh pada iklim global. Berdasarkan pertemuan tersebut, berhasil melahirkan REDD (Reducing Emission Deforestation and Degradation) dan tertuang dalam Bali Roadmap. Ada beberapa fase yang dipersiapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan dalam pembentukan REDD yang bekerjasama dengan Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA).

Pembentukan REDD pasca COP 13 melewati beberapa tahap diantaranya, tahap persiapan pada COP 13 di Bali dengan mempersiapkan kriteria pemilihan lokasi proyek. Kemudian membahas kajian strategi serta kajian aspek pasar dan pemberian insentif. Selanjutnya memasuki pada tahap transisi pengujian hasil pembahasan pada tahap persiapan dengan menempatkan upaya pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi serta upaya konservasi. Menyelesaikan tahap transisi tahun 2012 seluruh rangkaian dari tahap persiapan dan transisi mulai dijalankan berdasarkan prosedur yang disepakati dalam COP.

(4)

Istilah REDD kemudian menjadi salah satu poin pembahasan yang terus diperbincangkan dalam forum negosiasi UNFCCC setelah Bali Action Plan diadopsi sebagai hasil COP XIII di Bali tahun 2007. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009, REDD adalah40

1. Mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) disepakati sebagai mekanisme internasional dalam upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi dengan memberikan insentif kepada negara pemilik hutan.

“Semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.”

Pertemuan COP 13 di Bali pada tahun 2008 sebelumnya sudah menyepakati REDD sebagai program yang akan segera dijalankan. Namun sebelum dijalankan masih perlu beberapa kajian yang perlu dilakukan mengingat mekanismenya melibatkan negara-negara penjaga hutan dengan penyimpan emisi. Pemaparan REDD yang disepakati dalam UNFCCC di Bali atau yang sering disebut sebagai Bali Road Map diantaranya:

40

Modul: Kajian Isu Perubahan Iklim. 2010. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK). Kementerian Luar Negeri RI. Jakarta. Hal 2

(5)

2. Pelaksanaan REDD harus tetap menghormati kedaulatan negara penerima dan pemberi insentif dan bersifat kesukarelaan.

3. Negara maju atau pemberi insentif sepakat memberikan transfer teknologi pengelolaan REDD.

Hasil pertemuan COP 13 di Bali menjadi titik penentu sekaligus perdebatan REDD terhangat pasca dirumuskannya Bali Roadmap. Penamaan REDD kemudian berkembang pada awalnya menyangkut pencegahan deforestasi dan degradasi hutan dalam aspek negatif, kemudian disusupi dengan aspek positif yaitu pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), konservasi dan peningkatan penyimpanan karbon (carbon stock), maka dalam perkembangannya skema ini dibubuhi dengan “+” menjadi REDD+. Skema REDD+ dalam COP 13 ini kemudian diperkuat kembali dalam diskusi yang lebih hangat di COP 14 di Poznan namun sempat mendingin di COP 15 Kopenhagen tahun 2009.

Dari sisi negara berkembang, skema REDD+ merupakan skema kedua setelah CDM (Clean Development Mechanism/ Skema Pembangunan Bersih) yang pada dasarnya tanggungjawab negara-negara maju yaitu mitigasi dan perubahan iklim. Pada skema CDM ini – skema yang dilahirkan oleh Protokol Kyoto – negara-negara berkembang menyelenggarakan berbagai proyek yang hasilnya adalah penurunan emisi GRK. Hasil penurunan emisi ini (Kredit Emisi) ini kemudian dijual kepada negara maju. Dengan demikian,

(6)

negara-negara berkembang “membantu” negara-negara-negara-negara maju memenuhi kewajibannya menurunkan emisi dengan imbalan insentif keuangan.41

a. Emission Trading (Perdagangan Emisi)

Sebelumnya Protokol Kyoto (Hasil dari COP ke-3 UNFCCC di Kyoto, Jepang) yang merupakan petunjuk teknis dan mengikat hukum negara-negara yang meratifikasinya, menyediakan tiga mekanisme fleksibel penurunan emisi, sebagai berikut:

Mekanisme perdagangan karbon ini berlangsung dengan sistem cap and trade. Mekanisme ini diatur dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Mekanisme perdagangan karbon ini hanya berlangsung antarnegara maju yang telah dibatasi jumlah emisinya. Satuan emisi yang diperdagangkan disebut AAUs.42

b. Joint Implementation (Implementasi Bersama)

Mekanisme perdagangan karbon ini diatur dalam pasal 6 Protokol Kyoto. Seperti dengan emission trading, mekanisme ini hanya boleh digunakan dalam perdagangan karbon antarnegara maju. Melalui mekanisme ini, negara industri (Annex I) yang ditarget penurunan emisinya diperbolehkan untuk mendapatkan sertifikat satuan penurunan emisi yang disebut ERU (emission reduction unit). ERU ini didapatkan dari proyek penurunan atau

41 Mumu Mujahir. Op.cit . Hal 4

42

Agus Sari. 2010. Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia. Jurnal Prisma, Volume 29, Nomor 2. Hal. 9

(7)

penyerapan emisi di negara Annex I lain yang juga ditarget penurunan emisinya.

c. Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih)

Mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya mekanisme yang memperbolehkan terjadinya perdagangan karbon antarnegara maju dan berkembang diantara tiga mekanisme yang diatur dalam Protokol Kyoto. Melalui mekanisme ini negara yang dibebani target penurunan emisi dibawah komitmen Protokol Kyoto bisa mengimplementasikan target tersebut dalam kegiatan penurunan emisi di negara berkembang. Adapun sertifikat karbon yang diterbitkan disebut Certified Emission Reduction (CER).

2.2 Copenhagen Accord dan Fase Pelaksanaan REDD+

Pertemuan COP 15 di Kopenhagen tahun 2009 menjadi penentu pembahasan komsep REDD setelah perdebatan panas pada COP 13 Bali, pertemuan ini sebelumnya diharapkan mampu melahirkan sebuah kesepakatan yang bersifat mengikat semua pihak. Akhir pertemuan berhasil mengakomodir semacam persetujuan sukarela (voluntary agreement). Meskipun pada pleno terkahir diusulkan komitmen bersama namun tidak mengikat secara hukum tetapi “take note of the Copenhagen Accord of the 18th of December of 2009.” Artinya, siapa yang memberikan pernyataan dukungan terhadap Accord, dia setuju

(8)

terhadap Accord.43

a. Menekankan perlunya kemauan politik yang kuat dari setiap negara untuk segera melakukan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi perubahan iklim sesuai prinsip umum dengan tanggung jawab dan kemampuan masingmasing. Dalam rangka mengantisipasi potensi dampak pada negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, maka akan dirumuskan suatu program adaptasi secara komprehensif dengan melibatkan dukungan internasional.

Dalam Kopenhagen Accord juga menghasilkan 12 poin penting yang merupakan lanjutan dari Bali Action Plan (BAP), diantaranya :

b. Dalam rangka menahan kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celcius, diperlukan kerja sama untuk mencapai kesepakatan batasan emisi maksimal nasional dan global sesegera mungkin.

c. Peningkatan aksi dan kerja sama internasional untuk adaptasi sangat diperlukan untuk menjamin pelaksanaan konvensi. Negara-negara maju akan membantu menyediakan sumber dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan di negara-negara berkembang.

d. Negara-negara Annex-I akan lebih memperkuat pengurangan emisi yang diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pelaksanaan pengurangan emisi dan pembiayaan oleh negara-negara maju akan diukur, dilaporkan dan diverifikasi sesuai dengan pedoman yang telah ada dan

43

(9)

yang akan diadopsi oleh COP dan akan memastikan bahwa perhitungan sesuai dengan target dan mekanisme keuangan yang ketat, kuat dan transparan.

e. Negara-negara Non-Annex-I, yakni negara -negara berkembang dan negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dapat melakukan tindakan sukarela dan atas dasar dukungan untuk melakukan tindakan-tindakan mitigasi perubahan iklim yang diambil dan direncanakan sendiri.

f. Penghargaan terhadap upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan penyediaan insentif positif dari tindakan tersebut melalui pembentukan mekanisme REDD+, untuk memungkinkan mobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara maju.

g. Penggunaan berbagai pendekatan, termasuk mekanisme pasar, untuk meningkatkan efektivitas biaya dan mempromosikan tindakan-tindakan mitigasi. Memberikan insentif kepada negara-negara berkembang agar berupaya untuk melakukan pembangunan rendah emisi.

h. Penyediaan dana yang memadai serta peningkatan akses akan diberikan kepada negara-negara berkembang untuk mengaktifkan dan mendukung penyempurnaan tindakan-tindakan mitigasi, termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan

(10)

(REDD+), adaptasi, serta transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Mendorong adanya komitmen kolektif dari negara-negara maju untuk menyediakan sumber investasi melalui lembaga-lembaga internasional sejumlah kurang lebih US$ 1 miliar untuk periode 2010-2012 dengan alokasi yang seimbang antara adaptasi dan mitigasi. Pendanaan untuk adaptasi akan diprioritaskan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan, seperti negara-negara-negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dan negara-negara Afrika. Dalam konteks tindakan mitigasi yang bermakna dan transparansi pelaksanaan, negara-negara maju berkomitmen untuk mencapai tujuan memobilisasi secara bersama-sama dana sejumlah 30 miliar dolar AS per tahun pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara -negara berkembang. Pendanaan ini akan berasal dari beragam sumber, umum, swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumber-sumber pembiayaan alternatif. Pendanaan multilateral baru untuk adaptasi akan dikirimkan melalui pengaturan dana yang efektif dan efisien, dengan dan efisien, dengan struktur tata kelola untuk menjamin adanya keterwakilan yang setara dari negara maju dan berkembang. Sebagian besar dana tersebut harus mengalir melalui “Copenhagen Green Climate Fund”.

i. Akan dibentuk sebuah panel tingkat tinggi yang bertanggung jawab kepada forum COP untuk mempelajari kontribusi

(11)

sumber-sumber potensi pendapatan, termasuk sumber-sumber-sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan COP. 10.

j. Penetapan Copenhagen Green Climate Fund sebagai entitas operasional dari mekanisme keuangan konvensi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan dan kegiatan yang lain di negara-negara berkembang yang terkait dengan mitigasi termasuk REDD+, adaptasi, peningkatan kapasitas, serta pengembangan dan transfer teknologi.

k. Pengembangan suatu mekanisme teknologi untuk mempercepat pembangunan dan transfer teknologi untuk mendukung tindakan adaptasi dan mitigasi yang akan dipandu dengan pendekatan untuk masing-masing negara yang didorong oleh dan didasarkan pada keadaan dan prioritas nasional.

l. Penilaian terhadap pelaksanaan kesepakatan ini direncanakan akan selesai pada tahun 2015, termasuk pertimbangan-pertimbangan ilmiah untuk memperkuat tujuan jangka panjang dalam kaitannya dengan upaya pembatasan kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celcius.

Copenhagen Accord memang belum mengatur REDD secara jelas tetapi melalui Decision 4/CP 15, COP memberikan semua tanggung jawab metodologi pada SBSTA untuk tetap melakukan uji coba REDD+ dengan mengakomodasi

(12)

hak masyarakat adat, termasuk menyediakan panduan bagaimana masyarakat adat bisa terlibat secara penuh dalam mekanisme monitoring dan pelaporan REDD.44

Gambar 2.1 Peta Perjalanan dan Negoisasi REDD+

Sumber: Diolah dari DNPI (2012)

2.3 Keterlibatan Indonesia Dalam Skema REDD+

Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+.45

44

Mumu Muhajir. Op.cit. Hal. 93

45

The Nature Concevacy. Op.cit. Hal. 12

Pertemuan COP 18 di Doha, Qatar pada tahun 2012 semkain intens membahas bagaimana skema REDD+, namun sebenarnya secara general, sudah dimatangkan pada pertemuan di Bali dan tidak berubah hingga sekarang. Sepanjang waktu pengelolaan, berbagai jenis kawasan hutan yang terintegrasi

(13)

dengan REDD+ terjadi dinamika penurunan stok karbon karena ada emisi karbon dan atau terjadi peningkatan stok karbon melalui penyerapan (sequestration/removal) karbon. Dalam skema REDD+ ini juga harus masing-masing tipologi hutan dan kawasan yang terintegrasi harus dipertahankan stok karbon dasarnya.

Mekanisme REDD+ memang dibuat untuk mempertahankan stok karbon hutan yang masih virgin (intact forest) melalui upaya konservasi. Sama halnya juga dilakukam konservasi terhadap hutan yang tidak terganggu stok karbonnya, dengan artian pelepasan dan penyerapan emisi karbon berjalan secara seimbang dan alamiah.46

Keterlibatan Indonesia dalam UNFCCC secara langsung mengikutsertakan pengambilan kesepakatan dalam setiap konvensi yang sudah diadakan terutama dalam perumusan skema REDD+ untuk pengendalian perubahan iklim dunia. Kesepakatan UNFCCC menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen akan mengupayakan penurunan emisi melalui penghijauan hutan ditargetkan 20 hingga 40 persen pada tahun 2012. Dari total target tersebut, 10 persen diharapkan akan dicapai melalui strategi REDD+.

Proses penyerapan dan pelepasan ini memang terjadi secara alamiah terutama bila terjadi bencana alam, tetapi akan kembali pulih dalam waktu yang relatif singkat sampai kemudian terjadi keseimbangan.

47

46

The Nature Concevacy. Op.cit. Hal. 13 47

Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko. 2011. Pendanaan Iklim, Antara Kebutuhan dan Dengan target tersebut REDD+ hadir

(14)

sebagai suatu skema internasional untuk menurunkan emisi di sektor kehutanan. Kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan skema ini benar-benar diperhitungkan bersarkan kemampuan dan situasi internal Indonesia.

Hasil penelitian IFCA tahun 2007 menyebutkan perkembangan negoisasi dan kebijakan nasional merekomendasikan tiga poin penting yang diperlukan dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia yaitu, pemenuhan kondisi pemungkin sinergisme pembangunan lintas sektor, reformasi pembangunan sektor-sektor berbasis penggunaan lahan, dan pembangunan infrastruktur pendukung pelaksanaan REDD+. Selain tiga hal pokok diatas terdapat beberapa syarat lain pelaksanaan REDD+ yang harus disiapkan, diantaranya:

1. Tingkat emisi referensi yang digunakan;

2. Penanganan pengalihan emisi (displacement of emission);

3. Sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV); Measurement (M) maksudnya pengukuran jumlah karbon yang dapat diserap (Additionality), dilepaskan (Leakage) dan disimpan (Permanence) karena adanya tutupan hutan.

Reporting (R) maksudnya perkembangan jumlah karbon yang dapat diserap, yang terlepas, dan masih dapat dipertahankan dalam kurun waktu tertentu.

Verification (V) maksudnya jumlah perhitungan Additionality, Leakage, dan Permanence yang diverfikasi oleh lembaga independen.

(15)

Berdasarkan komitmen yang telah digagas oleh Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kopenhagen, pemerintah Indonesia melalui bergegas menyusun suatu strategi nasional pelaksanaan REDD+. Pemerintah Indonesia menegaskan secara sukarela berniat menurunkan tingkat emisinya sebesar 26% pada tahun 2020 dibandingkan pada emisi pada situasi biasa atau dikenal dengan istilah BAU (business as usual/tanpa rencana aksi) atau 41% jika ada bantuan internasional.48

Komitmen Indonesia dalam pelestarian hutan yang berdampak pada perubahan iklim telah dirancang dalam Strategi Nasional REDD+ yang merujuk pada kesepakatan UNFCCC, yaitu pengurangan emisi berdasarkan BAU hingga tahun 2020 yang dijalankan dengan upaya mampu mencapai targer pertumbuhan ekonomi sebesar 67 persen. Strategi nasional ini mengkombinasikan antara target nasional tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 67 persen atau 7 persen per tahun dan komitmen Indonesia menurunkan emisi sebesar 26-41 persen. Adapun strategi nasional REDD+

Permyataan tersebut langsung masuk kedalam laporan UNFCCC sebagai timdak lanjut Copenhagen Accord, hal itu erat kaitannya dengan profil emisi Indonesia serta adanya tawaran pembiayaan REDD+ di Indonesia. Penyumbang emisi terbesar Indonesia berasal dari tata guna lahan, deforestasi dan kebakaran lahan gambut. Ketiganya menyumbang 61% dari total emisi Indonesia di tahun 2005.

49

dalam tabel sebagai berikut:

48 Mumu Mujahir. Op.cit. Hal. 112

(16)

Tabel 2.1 Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan 5 Pilar Utama

Pilar Utama Target Pilar Utama

Capaian Keseluruhan Strategi Nasional REDD+ melalui Kelima

Pilar I. Kelembagaan dan Proses 1. Lembaga REDD+ 2. Instrumen Pendanaan 3. Institusi MRV (Pengukuran,

Pelaporan, dan Verifikasi)

1. Reduksi Emisi

2. Cadangan Karbon Hutan Meningkat

3. Keanekaragaman Hayati dan Jasa Lingkungan Terpelihara 4. Pertumbuhan Ekonomi II. Kerangka Hukum dan Peraturan

1. Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan tata ruang

2. Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi 3. Menangguhkan ijin baru

untuk hutan dan lahan gambut selama dua tahun

4. Memperbaiki data tutupan dan perijinan di hutan dan lahan gambut

5. Memberikan insentif untuk sektor swasta

III. Program-program Strategis

1. Konservasi dan rehabilitasi; a. Memantapkan fungsi

kawasan lindung

b. Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut c. Restorasi hutan dan

rehabilitasi gambut 2. Pertanian, Kehutanan, dan

pertambangan yang berkelanjutan; a. Meningkatkan

produktivitas pertanian dan perkebunan

b. Mengelola hutan secara lestari

(17)

c. Mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan

d. Mengendalikan konversi lahan untuk tambang terbuka

3. Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan;

a. Perluasan alternatif lapangan kerja yang berkelanjutan

b. Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi

c. Pengelolaan lanskap multi-fungsi

IV.Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja

1. Penguatan tata kelola kehutanan dan penggunaan lahan

2. Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan 3. Kampanye nasional untuk

aksi “penyelamatan hutan Indonesia”

V. Pelibatan Para Pihak

1. Melakukan interaksi dengan berbagai kelompok

(pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non

pemerintah, masyarakat adat/ lokal, dan internasional 2. Mengembangkan sistem

pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan

3. Mengusahakan pembagian manfaat (benefit sharing) secara adil

(18)

Pendekatan REDD+

Dalam menjalankan skema REDD+ di Indonesia ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mencapai terlaksananya program tersebut. Beberapa pendekatan yang digunakan diantaranya:

a. Pendekatan Sub-Nasional

Pendekatan sub-nasional mengusulkan kegiatan REDD+ diterapkan di areal dengan batas geografis tertentu, atau sebagai proyek oleh individu, masyarakat, lembaga non-pemerintah, perusahaan swasta atau pemerintah daerah dan nasional.50

b. Pendekatan Nasional

Pendekatan ini pemberian kredit untuk kegiatan REDD+ memerlukan kesepakatan aturan-aturan pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV/monitoring, reporting and verification), sistem pemberian kredit, serta kelembagaan di tingkat nasional dan tingkat internasional. Prosedur yang digunakan dalam CDM versi Protokol Kyoto digunakan kembali untuk merancang kelembagaan REDD+.

Banyak negara mengusulkan agar menggunakan pendekatan ini kepada UNFCCC, dilihat dari pegalaman dalam menghadapi kebocoran dan biaya transaksi, yang menjadi resiko dari pendekatan sub-nasional. Pendekatan ini juga menyoal pada kedaulatan suatu negara karena memerangi deforestasi dan degradasi hutan berpengaruh kepada 50

(19)

kebijakan yang luas dan berpotensi mengurangi emisi lebih banyak dibandingkan pendekatan sub-nasional.

c. Pendekatan Bertingkat

Melihat keadaan nasional yang beragam, beberapa usulan diajukan ke UNFCCC dan menyarankan untuk mengkombinasikan pendekatan sub-nasional kedalam kerangka kerja sub-nasional melalui pendekatan bertingkat. Pendekatan ini diyakini mampu memberikan ruang gerak bagi negara dan memulai skema REDD+ pada skala manapun. Jiika mampu memperkua kapasitasnya dalam tahapan yang lebih baik, pihak yang memulai dari sub-nasional bisa melanjutkan ke tahap pendekatan nasional. Transisi ke pendekatan nasional menjadi keharusan, bisa dalam kerangka waktu yang disepakati atau ketika mencapai persentase areal hutan di bawah proyek REDD+.51 Dalam pendekatan bertingkat, dimana penghitungan dan pemberian kredit dilakukan di tingkat subnasional dan nasional, prosedur MRV dan penentuan tingkat referensi perlu diselaraskan. Pengaturan pembagian kredit antara kedua tingkat dapat mencontoh mekanisme Kyoto Protocol Joint Implementation (JI).52

51

(20)

Tabel 2.2 Tingkat Efektivitas, Efisiensi, Kesetaraan dan Keuntungan Tambahan dari Tiga Pendekatan

Mod el RE DD + Kriteria Efektivitas Efesiensi Kesetaraan dan Keuntungan Tambahan P en d ek at a n S ub -N as ion al • Partisipasi jangka pendek • Menarik bagi penyandang dana swasta • Kebocoran domestik menjadi masalah • Tidak mendorong perubahan kebijakan yang diperlukan • Kurangnya keterlibatan negara tuan rumah • Biaya MRV lebih

murah tapi lebih tinggi per CO2e yang dikurangi • Memungkinkan

pembedaan

imbalan; menekan biaya

• Lebih mudah ikut serta bagi negara miskin dan negara dengan sistem tata kepemerintahan yang lemah • Dapat mencapai sasaran kelompok miskin dan menciptakan lebih banyak peluang bagi partisipasi masyarakat P en d ek at an N as io n al • Seperangkat kebijakan bisa diterapkan • Mencakup kebocoran domestik • Rasa kepemilikan negara tuan rumah lebih kuat • Isu tingkat referensi yang belum terpecahkan (additionality) • Biaya MRV dan transaksi per CO2e lebih rendah • Tersedianya

kebijakan rendah biaya (non-PES) • Kemungkinan

kebijakan dan tata kelola pemerintahan yang gagal • Berpotensi mendapat imbalan keuangan yang lebih besar • Lebih serasi dengan strategi pembangunan nasional • Lebih sesuai untuk negara berpenghasila n menengah • Risiko

(21)

manfaat hanya dirasakan kaum elit dan pejabat tinggi. P en d ek at an B ert in g k at • Kombinasi kekuatan dari dua pendekatan di atas • Fleksibilitas berdasarkan keadaan nasional • Berpotensi mendapat imbalan finansial yang lebih besar • Isu tingkat referensi yang belum terpecahkan (additionality) • Pembedaan pembayaran kompensasi dan kebijakan berbiaya murah • Biaya MRV tinggi (memerlukan data nasional rinci) • Tantangan dalam mengharmonisasik an pendekatan nasional dan sub-nasional

• Meningkatkan partisipasi negara dan transfer lebih besar ke negaranegara miskin • Memungkinkan target kelompok miskin

Sumber: Diolah dari The Nature Concervacy. 2013.

2.4 Kebijakan REDD+ di Indonesia

Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan skema REDD+ dapat dilihat dari bentuk kerjasama awal yang dibangun bersama Kerajaan Norwegia dengan penandatanganan LoI (letter of intent) pada 26 Mei 2010. Skema REDD+ di Indonesia menjadi lebih luas, tidak hanya pada isu deforestasi dan degradasi hutan, beberapa aspek

lain yang dikerjakan yaitu sustainable forest management(SFM), carbon stock

enhancement, dan forest restoration & rehabilitation Dalam laporan Dewan Nasional

Perubahan Iklim (DNPI) ada tiga tahap kerjasama yang dibangun anrara Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Indonesia, yaitu:

(22)

Tabel 2.3 Tahapan Perencanaan dan Pelaksanaan REDD+ di Indonesia

Tahapan Rencana Aksi Waktu Pelaksanaan

Tahap Persiapan • Penyusunan Strategi Nasional REDD+ • Pembentukan Lembaga REDD+ • Penetapan Lembaga Independen MRV • Penetapan instrumen pembiayaan • Penetapan provinsi percontohan Juli – Desember 2013 Tahap Transformasi • Operasionalisasi instrumen pembiayaan • MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3

• Moratorium izin baru

konversi hutan alam dan gambut

• Pengembangan basis data hutan yang terdegradasi untuk investasi

• Penegakan hukum

pembalakan, perdagangan kayu dan pembentukan satuan Tindak Kriminal Kehutanan • Penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial (2011 – 2013) Tahap Pembayaran Kontribusi (dimulai tahun 2014)

(23)

Memperkuat keberadaan REDD+ di Indonesia, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai upaya pengurangan emisi pada sektor kehutanan. Dalam Strategi Nasional REDD+, kebijakan pemerintah menjadi faktor penting yang mendorong

implementasi REDD+ dapat berjalan sesuai perencanaan. Dalam mendukung

pelaksanaan REDD di Indonesia, telah dikelurkan beberapa peraturan dan gagasan53

a. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstrative activities pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Peraturan ini menjadi pembahasan antara Pemerintah Indonesia dengan UNFCCC untuk menjalankan demonstrative activities. Melalui peraturan ini dilakukan untuk menguji dan mengembangkan teknologi dan metodologi dan institusi pengelolaan hutan berkelanjutan serta untuk mengendalikan laju deforestasi dan degradasi hutan.

baik secara langsung dan tidak langsung, diantaranya :

b. Permenhut No.P.30 tahun 2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Secara substansi peraturan ini menegaskan bahwa REDD+ akan dilaksanakan setelah ada kesepakatan bersama pada level internasional. Sebelum kesepakatan terjadi, pelaksanaan skema REDD+ hanya dalam bentuk demonstrative activities, artinya proses transfer teknologi dan perdagangan karbon dalam bentuk sukarela (voluntary activities). Pelaksanaan REDD+ di Indonesia pada tahap ini ditempuh melalui dua jalur, yaitu demonstrative activities dan perdagangan

(24)

karbon secara sukarela serta peningkatan kapasitas transfer teknologi. Lebih jauh, dimensi REDD+ dalam Permenhut ini sebagai upaya pengentasan kemiskinan.

c. Permenhut No.P.36 tahun 2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung.

d. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI): Readiness Strategy 2009-2012. Strategi ini berisi panduan intervensi kebijakan terkait penanganan deforestasi dan degradasi hutan. Strategi ini juga mengintegrasikan aksi REDD+ yang didanai oleh negara maupun bantuan luar negeri.

e. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64 tahun 2010 tentang pembentukan kelompok kerja hutan dan perubahan iklim, yang bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses penyiapan perangkat implementasi REDD+.

f. ICCSR (Indonesia Climate Change Strategy Roadmap) merupakan peta pengarusutamaan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan serta penanganan sektor kehutanan.

g. Strategi REDD+ Kehutanan nasional yang disusun Badan Litbang Kehutanan yang diserahkan kepada Bappenas.

h. Dokumen bertajuk Green Paper on Economic and Fiscal Policy and Strategy for Climate Change in Indonesia oleh Menteri Keuangan pada

(25)

akhir Oktober 2009; Dokumen ini menguraikan konsep dan kerangka kebijakan fiskal, anggaran dan keuangan negara dalam menunjang tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim yang ditentukan Pemerintah Indonesia serta Yellow Book yang diterbitkan oleh Bappenas.54

i. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+

j. Permenhut No P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan

k. Perpres No.71 tahun 2011 tentang Inventarisasi GRK nasional

l. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+

m. Permenhut No P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan

n. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan atas o. Keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas

Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

2.5 Lembaga Nasional Skema REDD+ di Indonesia

Dalam menjalankan proses demonstrative activities maupun implementasi REDD+ di Indonesia dalam mitigasi di sektor kehutanan dan perubahan iklim,

(26)

pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup RI banyak membentuk kelembagaan untuk mengurusnya. Kedua kementerian ini juga bertugas sebagai perpanjangan tangan Indonesia dalam negoisasi pertemuan UNFCCC. Sebagai sebuah skema penyelamatan hutan, REDD+ melalui Kementerian Kehutanan terdapat beberapa lembaga Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan serta Balitbang Kemenhut yang berfungsi memperkuat kelembagaan REDD+ di Indonesia. Selain itu ada juga kelembagaan ad-hoc seperti:

1. Komisi REDD; Komisi ini dibentuk oleh Menteri Kehutanan dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.

2. IFCA; Kemenhut membentuk IFCA pada Juli 2007. IFCA dimaksudkan sebagai forum komunikasi atau koordinasi para stakeholder serta meberikan fasilitasi substansi dalam membahas isu-isu REDD. Lembaga ini berada dibawah Badan Litbang Kehutanan.

3. Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi; Pokja ini berada dibawah Balitbang Kemenhut untuk membantu balitbang sebagai badan yang meberikan rekomendasi-rekomendasi teknis-scientific berkaitan dengan rencana implementasi REDD.

4. Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan; Pokja ini bertugas membantu Menteri Kehutanan dalam menilai kelayakan permohonan DA REDD.

(27)

Selain dua kementerian diatas, peran Kementerian Koodrinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan tidak kalah penting dalam perumusan perangkat aturan REDD+. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Inpres No. 5 Tahun 2008 juga menginstruksikan Kemenko Perekonomian agar mengeluarkan kerangka aturan terkait pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Sementara Kemenkeu bertugas untuk bertanggungjawab atas persetujuan seluruh kegiatan pembiayaan dan memastikan adanya proses konsultasi sebelum penandatanganan terkait REDD+.

Selain itu, Bappenas juga memiliki peran dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia, mengingat pelaksanaan skema ini juga berkontribusi untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan pembangunan nasional berkelanjutan. Kemudian dibentuk juga Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang dibentuk berdasarkan kesepakaran bersama dengan Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010. Melalui Keppres RI No.19 tahun 2010, terbentuklah satuan tugas persiapan pembentukan kelembagaan REDD+, yang berakhir masa tugasnya 30 Juni 2011.55

55

. Kinerja Satgas REDD+ ini pertama sekali adalah menghasilkan dokumen Strategi Nasional (Stranas) REDD+, Inpres No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta mempersiapkan proses seleksi Provinsi Kalimantan Barat sebagai provinsi pilot REDD+ yang pertama di Indonesia.

(28)

Selesai membentuk Satgas REDD+ yang pertama kemudia dibentuk kembali yang kedua dibentuk melalui September 2011. REDD+ di Indonesia akan memasuki pembangunan institusi dan pelaksanaan program strategis yang sebagian besar dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Satgas kedua ini terdiri dari 10 kelompok kerja (Pokja). Masing-masing Pokja diketuai oleh orang-orang terpilih dari jajaran pemerintahan maupun non pemerintahan yang bekerja secara intensif dan membangun hubungan secara lintas sektoral.56

Melalui Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2013 mengenai Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ dimana disebutkan dalam pasal 9 bahwa Satgas Kelembagaan REDD+ paling lambat menyelesaikan tugasnya pada Juni 2013.

Pokja REDD+ yang dibentuk tersebut bertugas mendukung pembentukan kelembagaan REDD+ di Indonesia dan mengusung pendekatan baru. Pendekatan itu akan memadukan secara sinergis hasil kerja lembaga-lembaga perumus kebijakan di tingkat nasional dengan mengakomodasi pengetahuan dan aspirasi di tingkat lokal dengan harapan menjadi lembaga yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Hal ini selaras dengan tata kelola yang baik yang sifatnya otoritatif, responsif, dan adaptif terhadap perkembangan dunia yang terus bergerak cepat.

56

16.30 WIB.

(29)

Satgas REDD+ ketiga kemudia dibentuk dan mempersiapkan pembentukan lembaga REDD+ hingga masa tugasnya berakhir.57

Berakhirnya masa tugas Satgas REDD+ ketiga kemdian berhasil membentuk Badan Pengelola (BP) REDD+ yang tugas dan fungsinya diatur

dalam

langsung kepada presiden dan dibentuk berdasarkan lintas disiplin ilmu. Badan Pengelola ini setara dengan menteri dan bertugas mengawal turunnya laju deforestasi, memperbaharui tata kelola dan transparansi pengelolaan sumber daya alam Indonesia. BP REDD+ bertugas membantu Presiden dalam koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. BP REDD+ bekerja secara sinergis dengan seluruh pemangku kepentingan hutan dan lingkungan, melakukan pendekatan secara holistik untuk membenahi tata kelola hutan. BP REDD+ memastikan bahwa mekanisme REDD+, baik di tingkat global maupun nasional, dapat diterjemahkan menjadi aksi di tingkat tapak untuk menjawab tantangan deforestasi.58

Gambar

Gambar 2.1 Peta Perjalanan dan Negoisasi REDD+
Tabel 2.1 Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan 5 Pilar Utama
Tabel 2.2 Tingkat Efektivitas, Efisiensi, Kesetaraan dan Keuntungan  Tambahan dari  Tiga Pendekatan
Tabel 2.3 Tahapan Perencanaan dan Pelaksanaan REDD+ di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Adapun judul skripsi ini adalah ”JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UNDAN-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.” Judul ini berangkat dari keprihatinan penulis

Laporan keuangan menunjukan hasil pertanggung jawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.Laporan keuangan berisikan informasi

Asas konsensualisme dapat disimpulkan terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat

The Relationship between Premenstrual Symptoms, Menstrual Pain, Irregular Menstrual Cycles, and Psychosocial Stress among Japanese College Students. Journal of

Begitu juga hasil dari penelitian yang dilakukan Ramdhani (2017) menyatakan bahwa kinerja karyawan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas

Untuk 100% tandan kosong jedah waktu untuk mendapatkan flame berikutnya lebih lama hal ini diakibatkan oleh fluktuasi temperatur pada daerah pembakaran dan reduksi sangat tinggi

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pola penggunaan antibiotika pada pasien GBS dengan infeksi yang paling banyak digunakan adalah pola antibiotika tunggal sebanyak 19

tingkat kota Bogor menjadikan dana wakaf sebuah solusi ditengah permasalahan umat saat ini. Dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari tahun ke tahun dapat