• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Nusantara Bugis Toraja Minahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arsitektur Nusantara Bugis Toraja Minahasa"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, sudah banyak terjadinya perubahan – perubahan gaya hidup khususnya di bidang arsitektur. Berbagai jenis arsitektur berkembang disetiap masing-masing suatu wilayah dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing. Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan dan bentuk dari arsitekturnya tersebut, salah satunya adalah faktor adat istiadat dan kebiasaan hidup setiap manusia di masing-masing wilayah yang dia huni. Di Indonesia sendiri memiliki sangat banyak keanekaragaman adat istiadat dan suku budaya di masing-masing wilayah. Dari setiap suku budaya itu tersebut mempunyai cara untuk bertahan hidup yang berbeda - beda pula. Banyak hal yang memperngaruhi mulai dari iklim keadaan topografi dan yang lainnya. Dari sana lah lahir keanekaragaman bentuk arsitektural bangunan dari masing - masing suku budaya dengan dasar-dasar filosofi dan pemikiran yang berbeda - beda pula. Banyak hal dapat dipelajari dari warisan peninggalan nenek moyang yang wajib untuk dilestarikan ini. Disini bahan yang dipilih dalam penulisan disini adalah arsitektur bugis, minahasa, dan tana toraja yang dikenal unik dan mempunyai yang baik untuk di pelajari dengan sistem anti gempanya.

1.2 Rumusan Masalah

~ Bagaimana perkembangan prinsip arsitektur bugis, minahasa dan tana toraja ? ~ Seperti apa arsitektur tradisional bugis, minahasa, dan tana toraja ?

~ Apa yang dapat kita pelajari dari arsitektur bugis, minahasa, dan tana toraja ?

1.3 Tujuan

~ Mengetahui perkembangan prinsip arsitektur bugis, minahasa, dan tana toraja. ~ Mengetahui bentuk dan ragam hias arsitektur tradisional bugis, minahasa, dan tana

toraja.

~ Mengetahui local genius dari arsitektur tradisioanl bugis, minahasa, dan tana toraja.

1.4 Manfaat

~ Sebagai suatu sarana edukasi dan media sosialisasi efektif terkait dengan keberadaan Arsitektur Nusantara.

(2)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 2

1.5 Metode Penulisan

~ Metode Literatur/Pustaka

Mengambil beberapa teori dari kajian pustaka yang memiliki sangkut paut dengan isi makalah, sebagai dasar pembanding kebenaran antara teori dan fakta di lapangan.

1.6 Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup dalam penyusunan makalah ini adalah kajian tentang upaya dalam mengetahui konsep arsitektur Nusantara, khususnya arsitektur tradisioanl bugis, minahasa, dan tana toraja .

(3)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 3 Gambar 1 : Denah Sulawesi

Selatan

BAB II

ISI

2.1 SUKU BUGIS

2.1.1 ADAT ISTIADAT

Suku Bugis adalah salah satu suku yang berdomisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga bisa dikategorikan sebagai orang Bugis. Diperkirakan populasi orang Bugis mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke mancanegara seperti di Malaysia, India, dan Australia.

Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.

Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk

(4)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 4 sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta‟at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut „Tau Lautang‟ yang berarti „Orang Selatan‟. Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo‟. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade‟e De‟nakkeambo, de‟to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo‟ ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara‟ La Toa, Nenek Mallomo‟ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo‟ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara‟ (ahli mengenai buku Lontara‟) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu‟mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.

Adat panen:

Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla,

(5)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 5 sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.

Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional.

Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai „bibit unggul‟ itu wajib ditanam.

Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas „unggul‟ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.

Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak pula

(6)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 6 kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.

Mapadendang itu tradisi menumbuk padi. Dulu merontokkan padi itu dengan menumbuk. Sekarang sudah pakai mesin giling. Makanya mapadendang pun semakin jarang dilakukan. Padahal dalam ritual itulah rasa kebersamaan para petani muncul. Bahkan mappadendang menjadi tempat pertemuan muda-mudi yang ingin mencari pasangan hidup. Dalam ritual itu setiap pasangan mulai saling mengenal calon pasangannya, memperhatikan sikap dan tingkah lakunya.

Kini penghargaan terhadap padi sebagai sumber kehidupan sudah pudar. Orang-orang sekarang hanya berpikir bagaimana bibit itu bisa cepat tumbuh dan cepat panen. Meski demikian, tidak berarti program pembangunan pertanian masa pemerintahan Suharto yang berhasil mengubah kultur masyarakat pedesaan ini tanpa menuai reaksi dan protes. Di Sidrap, misalnya. Puluhan petani enggan beralih bibit padi baru. Di Kindang yang masuk wilayah Bulukumba, seorang petani bernama Karaeng Haji menantang seorang penyuluh pertanian yang mendatanginya. Cerita yang dituturkan Massewali ini justeru membuktikan hasil panen Karaeng Haji jauh lebih besar ketimbang hasil panen yang dijanjikan para penyuluh pertanian dari Bimas. Di banyak tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di daerah-daerah pertanian, kasus-kasus serupa tak sedikit jumlahnya.

Alasannya pun bermacam-macam. Dikatakan, misalnya varietas bibit baru unggulan itu kenyataannya cuma unggul sekali panen atau paling banter dua kali panen. Adapun untuk masa tanam berikutnya mereka harus mengganti bibit dengan cara membeli bibit baru melalui unit koperasi yang masih dijalankan secara „top-dawn‟ pula. Tentu saja ini menyulitkan para petani yang harus bergonta-ganti bibit baru setiap musim tanam.

Respon yang lain juga diperlihatkan oleh komunitas Pakalu. Seperti dituturkan Mustari dan Halima, mereka menerima varietas bibit baru untuk sebagian persawahan mereka. Di pihak lain mereka juga tidak meninggalkan varietas padi lama yang lebih terbukti hasilnya. Dengan cara itu selain memperoleh hasil produksi yang melimpah, mereka pun masih bisa menjalani mappadendang. Ritual yang menjadi bagian dari penghayatan hidup mereka sehari-hari.

Di Kabupaten Sidrap dewasa ini, tradisi mappadendang digelar dengan acara makan bersama di balai desa yang dihadiri oleh tetua-tetua, pemuka adat, pemuka agama, tokoh

(7)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 7 masyarakat, dan semua petani-petani. Acara ini dimaksudkan untuk mensyukuri hasil panen mereka. Mereka mensyukuri rejeki yang dilimpahkan oleh Allah SWT kepada mereka.

Adat pernikahan:

Pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan pesta perkawinan merupakan hal yang membahagiakan bagi semua orang terutama bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Di Sulawesi Selatan terdapat banyak adat perkawinan sesuai dengan suku dan kepercayaan masyarakat. Bagi orang Bugis-Makassar, pernikahan/perkawinan diawali dengan proses melamar atau “Assuro” (Makassar) dan “Madduta” (Bugis). Jika lamaran diterima, dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta perkawinan oleh pihak wanita ini disebut dengan “Mappenre dui” (bugis) atau “Appanai leko caddi” (Makassar). Pada saat mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar” mappaci (bugis) atau “akkorontigi” (Makassar), calon pengantin baik pria maupun wanita (biasanya sdh mengenakan pakaian adat daerah masing-masing) duduk bersila menunggu keluarga atau kerabat lainnya datang mengoleskan daun pacar ke tangan mereka sambil diiringi do‟a-do‟a untuk kebahagiaan mereka. Keesokan harinya (Hari “H”), para kerabat datang untuk membantu mempersiapkan acara pesta mulai dari lokasi, dekoasi, konsumsi, transportasi dan hal-hal lainnya demi kelancaran acara. Pengantin pria diberangkatkan dari rumahnya (Mappenre Botting = Bugis / Appanai leko lompo = Makassar) diiringi oleh kerabat dalam pakaian pengantin lengkap dengan barang seserahan „erang-erang‟ menuju rumah mempelai wanita. Setibanya di rumah mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan organ tunggal atau kesenian daerah lainnya. Keesokan harinya, sepasang pengantin selanjutnya diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan yang tak kalah meriahnya. Selanjutnya, rumah mempelai pria berlangsung acara yang sama, bahasa Bugis disebut „mapparola‟.

(8)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 8

2.1.2 FILOSOFI & LATAR BELAKANG RUMAH ADAT BUGIS

Rumah panggung kayu adalah salah satu rumah tradisional yang berbentuk persegi empat yang memanjang kebelakang . Kontruksi bangunan rumah ini dibuat lepas – pasang (knock down )sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini bermula dari pandangan masyarakat bugis tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah sulapa eppa yang berarti persegi empat , yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia. Menurut mereka,segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki sulapa eppa. Demikian juga pandangan mereka dengan rumah,yaitu sebuah akan dikatakan bola genne atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat,yang berarti memiliki kesempurnaan. Orang bugis juga mengenal tingkatan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk rumah mereka ,yang ditandai dengan simbol – simbol khusus berdasarkan pelapisan sosial tersebut,maka bentuk rumah tradisional orang bugis dikenal saoraja(sallasa) dan bola. Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah satu arah mata angin. Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu. Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih dahulu, menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan. Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara “universal”. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya untuk “menyempurnakan diri”. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk “Segi Empat”. Filosofiyang bersumber dari “mitos” asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air, api, dan angin.

Bagi masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: “Struktur kosmos” dimana alam terbagi atas tiga bagian yaitu “alam atas” , “alam tengah”, dan “alam bawah”,. Abu

(9)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 9 Hamid (1978:30-31) dalam “Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan” menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk “segi empat”, dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau “banua atas”, alam tengah “banua tengah” dan alam bawah “banua bawah” . Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut “Dewata Seuwae” (dewa tunggal), bersemayam di “Botting-Langik” (langit tertinggi). Benua tengah adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut “Uriliyu” (tempat yang paling dalam) dianggap berada di bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan rumah harus berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.

2.1.3 STRUKTUR

Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar, memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis Makassar terbagi atas : Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar), “Pattolo” (Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain. “Palangga” (Makassar), “Arateng” (Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari

Gambar 2 : Rumah Tradisional Bugis

(10)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 10 panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain. Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang. Pondasi/ “Umpak”, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Struktur badan rumah, komponen komponen utama bagian ini adalah :

1. Lantai,berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “Arung”, lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.

2. Dindinguntuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok anak, merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.

Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya. Komponennya terdiri atas : Balok makelar “soddu” atau “suddu”. Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung” = ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan “Tosama” = ½ lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan “Ata” = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.

Kaki Kuda – kuda “Pasolle”. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok “suddu”, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen, dimensi balok ± 4/12 cm.

Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat, tiang

(11)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 11 dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander “Bare” atau “Panjakkala”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai “Rakkeang” atau “Pammakkang”.

Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan. Sistem konstruksinya, jepit dan ikat.

“Sambulayang” atau “Timpalaja”, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok “Pattikkeng”.

Les plank “Ciring”, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan sistem sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap, bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga 40°.

Gambar 4 : Potongan Memendek

(12)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 12 Gambar 5 : Rangka Rumah Tradisional Bugis

2.1.4 ORNAMEN

DAN

RAGAM HIAS

Ragam hias “Ornamen” pada rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis-Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari corak alam, flora dan fauna.Ornamen corak alam; Umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan islam.Ornamen flora corak tumbuhan , Umumnya bermotifkan bunga/ kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, disamping motif yang lainnya. Ornamen fauna corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah : Kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.

(13)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 13

2.2. SUKU MINAHASA

2.2.1 ADAT ISTIADAT

Dari pendapat, Tandean seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno, 1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu. Namun aneh juga seperti diketahui Dinasti Ming bukanlah orang Mongolia justru Dinasti Ming adalah yang mengganti Dinasti Yuan yang dipimpin bangsa Mongol, oleh Kubilai Khan.

Berdasarkan pendapat para ahli diantaranya A.L.C Baekman dan M.B Van Der Jack yaitu berasal dari ras Mongolscheplooi yang sama dengan pertalian Jepang dan Mongol ialah memiki lipit Mongolia. Memang bangsa mongol terkenal dengan dengan gaya hidup berperang dengan menguasai 1/2 dunia saat dipimpin oleh Genghis Khan, dan bangsa Mongol menyebar tidak terkecuali pergi ke Manado. Persamaan dengan Mongol dalam sistem kepercayaan dapat dilihat pada agama asli Minahasa Shamanisme sama seperti Mongol. Dan juga dipimpin oleh Walian yang langsung dimasuki oleh opo. Agama Shamanisme ini memang dipegang teguh secara turun temurun oleh suku Mongol. Dapat dilihat juga di Kalimantan Dayak, dan Korea.

Namun memang orang Minahasa sudah tidak murni dari Mongol saja, namun sudah campuran Spanyol, Portugis, dan Belanda yang diketahui keturunan Yahudi, namun lebih dipengaruhi oleh Kristen. Sebenarnya aslinya Suku Minahasa dari Mongol yang terkenal dengan kehebatan perang, dan Yahudi yang terkenal dengan kecerdasannya. Memang Belanda sebagi Yahudi yang masuk ke Indonesia hanya mendirikan 1 tempat ibadah di

Indonesia silahkan lihat Sinagog di Tondano

Seperti kita tahu Manado dalam prosesnya oleh Indonesia dibilang bangsa asing karena sangat dimanja oleh Belanda dan Sekutu. Serta sangat berbeda dengan ciri orang

Indonesia pada umumnya.

Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:

1. Babontehu 2. Bantik

(14)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 14 3. Pasan Ratahan (Tounpakewa)

4. Ponosakan 5. Tonsea 6. Tontemboan 7. Toulour 8. Tonsawang 9. Tombulu

Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).

Jadi walaupun orang Minahasa ada di mana saja pada akhirnya akan kembali dan bersatu, waktu itu akan terjadi pada akhir jaman, yang tidak seorangpun yang tau. Seperti Opo Karema pernah kasih amanat "Keturunan kalian akan hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”

2.2.2 FILOSOFI & LATAR BELAKANG RUMAH TRADISIONAL

MINAHASA

Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala. Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis (berambut keriting),Kaum Lawangirung (berhidung pesek) dan Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Bantik (sekitartahun 1590).

Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran Cina.Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll. Arsitektur rumah tradisional

(15)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 15 Minahasa dapat dibagi dalam periode sebelum gempa bumi tahun 1845 dan periode pasca gempa bumi 1845-1945.

-Tingkatan atau status social

Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan Maka telupitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu‟ anatau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawaldesadisebutWaranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)

Golongan Makasiow Telu 9 x 9

Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toar lumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan PasiyowanTelu (rakyat).

Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah paedonTu‟aatauPatu‟an yang sekarang kita kenal dengan sebutan HukumTua.

-Sistem kekerabatan suku minahasa (kota Manado)

Kota Manado secara hokum adat merupakan wilayah dari Tanah Minahasa, dimana masyarakatnya sebagian besar berasal dari Suku Minahasa yakni Sub SukuTombulu, Tonsea, Tontemboanatau Tompakewa, Toulour, Tonsawang, PasanatauRatahan, Ponosakan, dan Bantik. Ada juga masyarakat pendatang dari luar negeri, seperti Bangsa Cina yang telah kawin mawin dengan orang Manado –Minahasa dan keturunannya disebut Cina Manado, Bangsa Portugis dan Spanyol yang keturunannya disebut Orang Borgo Manado, Bangsa Belanda yang keturunannya disebut Endo Manado serta Bangsa Arab, Jepang, dan India dimana perkawinan mereka bersifat endogam.

Disamping itu, ada pula penduduk Kota Manado yang berasal dari Suku Sangihe Talaud, Bolaang Mongondouw, Gorontal oserta daerah lainnya dari seluruh Indonesia yang telah sekian lama menetap.

-Sistem mata pencaharian

Seperti perikanan darat dan laut, pertanian, peternakan, dan kerajinan.Namun rata-rata masyarakat Kota Manado mempunyai profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota TNI dan POLRI, Pengusaha dan Karyawan, Buruh, Sopir, Tukang, dan Pembantu.

-SistemKepercayaan

Masyarakat Kota Manado masih memiliki kepercayaan lama, yakni kepercayaan kepada dewa-dewa yang menghuni alam, seperti Opo Empung (Tuhan), Opo nenek moyang, Opo

(16)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 16 kerabat, mahluk-mahluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, bawah tanah, pantai dan laut, hujan, dan mata angin.

Selain itu ada juga kepercayaan yang berhubungan dengan mahluk halus lainnya, seperti mukur, pontianak, setang sekitar mangiung-ngiung, pok-pok, panunggu, jin, dan lulu.

-Perkampungan

Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah Kota Manado pada umumnya terletak diatas tanah dataran, baik dataran tinggi mau pun dataran rendah secara berkelompok padat.Kelurahan yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambung-menyambung menjadi satu kesatuan mengikuti jalan raya maupun memanjang mengikuti jalan-jalan kecil dan juga lorong-lorong.

-Letak&Orientasi

Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai kemuara sungai Ranoya poke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoya podan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow. Terletak di jazirah semenanjung utara Sulawesi kabupaten Minahasa Termasuk kawasan vulkanik dengan sejumlah gungng berapi yang masih aktif seperti gunung Klabat(tertinggi),Soputan,Lokon dan Mahawu. Orientasi rumah menghadap ke arah yang ditentukan oleh tonaas pemberi petunjuk.

-Pengaruh system kekerabatan & kepercayaan pada rumah adat minahasa

Rumah tradisional Minahasa berbentuk rumah panggung atau rumah kolong. -Rumah tradisional Minahasa berbentuk rumah panggung atau rumah kolong.

Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah bila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya. Bentuk kelompok keluarga ialah kerabat (patuari) warganya bejumlah 20-40 orang. Sosio-kultural tertua suku minahasa yaitu pranata mapalus (azas gotong-royong).

-Karakteristik ruang dalam rumah,

Hanya terdapat satu ruang bangsal untuk semua kegiatan penghuninya.Pembatas territorial adalah dengan merentangkan rotan atau tali ijuk dan menggantungkan tikar.Orientasi rumah menghadap kearah yang ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan).Karakteristik ruang dalamrumah masa 1845-1945 berbeda dengan sebelumnya, karena sudah terdapat beberapa kamar, seperti badan rumah terdepan berfungsi sebagai ruangtamu/ ruang setup emperan, ruangtengah/ pores difungsikan untuk menerima kerabat dekat, dan ruang tidur untuk orang tua dan anak perempuan, ruang tengah belakang

(17)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 17 Gambar 7 : Peta Wilayah Suku Minahasa

tempat lumbung padi (sangkor). Ruang masak terpisah pada bangunan lainnya . Fungsi loteng/ soldor adalah sama dengan masa sebelumnya yang diperuntukkan menyimpan hasil panen.

Keadaan Penduduk

• Terdapat 8 suku anak suku yaitu : 1. Tontemboan 2. Tombulu 3. Tonsea 4. Tondano 5. Tonsawang 6. Ratahan 7. Ponosakan 8. Bantik

• Kemudian kedatangan penduduk asli sehingga melahirkan 4 anak suku yaitu : 1. Tombulu

2. Tonsea 3. Tontemboan 4. Tondano

• Suku Minahasa disebut Orang Manado,Tou,Wenang,atau Kawanua. Sistem Kekerabatan

(18)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 18 • Sosio-kultural tertua suku minahasa yaitu pranata mapalus (azas gotong-royong).

- Pola Perkampungan

Pola perkampungan di desa Pinabetengan bersifat menetap, dalam arti bahwa suatu desa cenderung tidak berkurang penduduknya atau lengkap ditinggalkan akibat ladang-ladang yang makin jauh. Desa ini merupakan pusat aktifitas sosial dari para penduduknya. Aspek lain dari pola desa di Pinabetengan ialah bahwa kelompok rumah-rumah itu mempunyai bentuk memanjang mengikuti arah jalan. Desa yang mulai menjadi besar, pada sebelah menyebelah jalan dihubungkan dengan jalan-jalan samping untuk masuk lebih ke dalam. Pusat-pusat aktifitas desa seperti aktifitas-aktifitas Gereja, balai pertemuan, puskesmas, sekolah-sekolah (tiga SD, satu SMP dan satu SMA ) dan lainnya tidak terletak pada suatu deretan memanjang pada jalan utama tetapi menyebar.

Susunan Ruang •Loteng

1. Berfungsi sebagai kamar tidur anak laki-laki,tempat menyimpan hasil kebun,menjemur pakaian,menyimpan barang-barang atau gudang.

2. Terletak di bawah atap • Serambi (setup)

1. Berfungsi sebagai tempat menerima tamu resmi 2. Terletak paling depan bangunan

3. Tempat bersandarnya tangga • Ruang Tamu (leloangan)

1. Berfungsi sebagai tempat menerima tamu 2. Terletak di bagian depan bangunan • Ruang Tengah (pores)

1. Berfungsi sebagai ruangan menerima kerabat dekat 2. Terletak di bagian tengah bangunan.

• Kamar Tidur Orang Tua dan Anak

1. Terletak di kanan-kirinya bangunan ruang tengah 2. Berfungsi sebagai ruang tidur

• Dapur

1. Berfungsi sebagai ruang memasak,tempat menyimpan peralatan dapur,tempat ruang makan.

2. Terletak di bagian belakang bangunan. • Ruang Tengah Belakang

(19)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 19 Gambar 8 : Rumah Tradisional Minahasa Gambar 9 : Rumah Tradisional Minahasa

Gambar 10 : Denah Rumah Tradisional Minahasa

1. Berfungsi sebagai tempat menyimpan padi (sangkor). Gambar-gambar nya :

(20)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 20 Gambar 11 : Rumah Tradisional Minahasa

2.2.3 STRUKTUR

Karakteristik konstruksinya: Atap:

* Rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas.

* Atapnya berupa konstruksi kayu/ bambu batangan yang diikat dengan tali ijuk pada usuk dari bambu.

* Badan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan system sambungan pen. Tiang:

* Kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga.

* Ukuran∅80-200 cm (ukuran dapat dipeluk oleh dua orang dewasa). * Tinggi tiangnya 3-5 cm.

* Tiang tangga terbuat dari akar pohon besar atau bambu. Tiang (thn 1845-1945)

* Tiang penyangga berukuran lebih kecil dan lebih pendek, , yaitu sebesar 30/30 cm atau 40/40 cm.

* Tinggi 1,5-2,5 meter

* Perubahan Fisik Rumah Tradisional Minahasa

Perubahan fisik rumah tradisional Minahasa Nampak pada perubahan konstruksi dan material, sebagai berikut:

(21)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 21 1) Perubahan konstruksi atap kasau di DesaTonse alam menjadi konstruksi atap peran dengan kuda – kuda berdiri, perubahan dilakukan setelah 30-40 tahun pembangunan ( pada waktu daya tahan kayu menurun sesuaidengan umur konstruksi kayu).Di desa Rurukan, masyarakat tetap mempertahankan konstruksi atap rumahnya, baik dalam bentuk konstruksi atap kasau atau pun atap peran.

2)Rangka badan rumah tetap, tetapi perubahan Nampak pada pengisi konstruksi dinding dan konstruksi jendela.Perubahan konstruksi dinding terjadi setelah bangunan rumah berumur 70 tahun. Material konstruksi dinding terpasang horizontal dirubah dengan memasang secara vertical.(khususnya di DesaTonsealama). Konstruksi jendela 2 sayap diubah menjadi jendela kaca nako/ jalusi (di DesaTonsea lama dan Desa Rurukan).Material konstruksi atap rumbia diganti dengan atap seng. Perubahan material konstruksi atap di DesaTonsealama, dilakukan sejak tahun 1920 sampai saat ini, dan di Desa Rurukan perubahan dilakukan sejak 1932 sampai saat ini. Sesuai penuturan penghuni rumah, umur atap rumbia adalah 10-15 tahun, dan saat ini material atap rumbia sulit diperoleh dan kualitasnya menurun karena masa pakainya hanya 1-3 tahun.

* Dinding (badan rumah)

1. Material dinding dari papan atau anyaman bambu.

2. Material dinding penyekat dari kayu lunak (kayu cempaka,kayu merah). 3. Mengunakan system sambungan pen.

* Bagian kaki rumah (pondasi) 1.Disebut godong

2.Berupa tiang-tiang kayu

3.Bertumpu diatas batu atau umpak * Jendela

1. Konstruksi jendela 2 sayap

2. Terdapat banyak jendela di kiri-kanan. 3. Material jendela dari kaca nako/jalusi * Pintu

1. Tinggi pintu sekitar 1 m

2. Melambangkan penghrmatan pada tuan rumah 3. Material terbuat dari kayu keras

-Konsep ruang dalam arsitektur tradisional

Bahan material yang dipergunakan umumnya adalah kayu dari jenis pohon yang diambil dari hutan, yaitu kayu besi, linggua, jenis kayu cempaka utanatau pohon wasian, jenis kayu nantu,

(22)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 22 Gambar 12 : Ornamen Rumah Tradisional

Minahasa

Gambar 13 : Ornamen Rumah Tradisional Minahasa

dan kayu maumbi.Kayu besi digunakan untuk tiang, kayu cempaka untuk dindingdanlantairumah, kayu nantu untuk rangka atap.Bagi masyarakat strata ekonomi rendah menggunakan bambu petung/ bulu jawa untuk tiang, rangka atap dan nibong untuk lantai rumah, untuk dinding dipakai bambu yang dipecah

2.2.4 ORNAMEN

 Ornamen hiasan banyak sekali menggunakan warna merah yang mengartikan bahwa keberanian.

 Ornamen ada yang berbentuk naga di samping kanan dan kiri rumah,mengartikan arti tak gentar tidak takut.

 Ornamen Naga berasal dari negara Cina begitu pun warana merah yang identik dengan Cina.

(23)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 23

2.3 SUKU TANA TORAJA

Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.

Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja. Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas :

1. M a k a l e 2. Sangala 3.Rantepao 4. Mengkendek 5. Toraja Barat.

Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGI, sedangkan .dae rah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA. Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam

perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG,. sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.

Kepercayaan.

Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA

ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali. Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat) :

(24)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 24 1. Kasta Tana' Bulaan

2. Kasta Tana' Bassi1.

3. Kasta Tana‟Karurung

4. Kasta Tana' Kua-kua

2.3.1 ADAT ISTIADAT

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi

Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili‟na Lapongan Bulan Tana Matari‟allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

Upacara adat

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo‟ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu‟, serta Ma‟nene‟, dan upacara adat Rambu Tuka (upacara pernikahan). Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka‟ maupun Rambu Solo‟ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Tingkatan Upacara Rambu Solo

(25)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 25 Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

 Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.

 Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

 Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

 Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma‟tundan, Ma‟balun (membungkus jenazah), Ma‟roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma‟Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma‟Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Upacara Adat Rambu Tuka

Upacara adat Rambu Tuka‟ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma‟Bua‟, Meroek, atau Mangrara Banua Sura‟.

Untuk upacara adat Rambu Tuka‟ diikuti oleh seni tari : Pa‟ Gellu, Pa‟ Boneballa, Gellu Tungga‟, Ondo Samalele, Pa‟Dao Bulan, Pa‟Burake, Memanna, Maluya, Pa‟Tirra‟, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa‟pompang, pa‟Barrung, Pa‟pelle‟. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo‟ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka‟.

(26)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 26

Pemakaman

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa‟tane).

Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :

 Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia.  Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang

dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa‟. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.

 Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla‟ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla‟ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.  Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di

wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.

 To‟Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.

 Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne‟Babu‟ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.

(27)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 27  Ta‟pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta‟pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi‟. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta‟pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.

 Sipore‟ yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat

Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.

Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

Tau-tau

Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.

(28)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 28 Gambar 14 : Denah Rumah Tradisional Tana

Toraja

2.3.2 FILOSOFOFI & LATAR BELAKANG RUMAH TRADISIONAL TANA TORAJA

Perkembangan Arsitektur Tradisional Perkembangan Arsitektur Tradisional. Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata „tongkon„ yang berarti „duduk bersama-sama„. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli

Sulawesi Selatan.

Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi. Kabupaten Tana Toraja terletak di pedalaman Provinsi Sulawesi Selatan, 340 km ke arah utara dari Makasar, dengan ibukotanya Makale.Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam, diselingi dengan ladang dan hutan, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari perkembangan kebudayaan Toraja. Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan.Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut.Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C.Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaan Aluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.

(29)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 29 Gambar 15 & 16 : Rumah Tradisional Tana Toraja

Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal.Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah. Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :

 Konsep „pusar‟ atau „pusat rumah‟ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme  Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan

mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos.

 Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky

Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”.Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, “Egocentrum”. Hal ini

yang tercermin pada konsep

arsitektur rumah mereka dengan

ruang- ruang agak tertutup

dengan “bukaan” yang sempit.

Selain itu konsep arsitektur

tradisional toraja,

banyak dipengaruhi oleh ethos

budaya “simuane tallang” atau

filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.

(30)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 30 Berikut merupakan pola perkembangan rumah tradisional tana toraja :

Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22

(31)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 31 Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses perkembangan. Sekalipun begitu, sejak asalnya rumah adat ini sudah punya ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan karena bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku

Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.

1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing (gambar 17).

2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas (gambar 18) .

Gambar 23

Gambar 24

(32)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 32 3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa (gambar 19).

4. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung. (gambar 20) .

5. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. tiang-tiang dibuat sedemikian ru pa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal (gambar 21).

6. Lama sesudah itu terjadi perobahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi, (Gambar 22).

7. Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon (Gambar 23). Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.

8. Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan (gambar 24).

9. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai (gambar 25)

10. Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang).

(33)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 33 11. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua. Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyak

karena persoalan kebutuhan

akan ruang dan konstruksi. Bagitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.

Struktur Ruang

Struktur dasar tongkonan

terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan atas disebut rattiang banua, lapisan tengah disebut kale banua, dan lapisan bawah disebut sullu banua.

1) Rattiang Banua Bagian Atas

Digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sakral.

2) Kale Banua Bagian Tengah

digunakan untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang merupakanbadan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama.Dindingnya disusun dengan sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding yang memikulbeban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi.Bagian tengah ini dibagi pula menjadi tiga bilik, yaitu :

a) Bilik bagian depan disebut Tangdo

Berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur nenek, kakak dan anak laki-lakiserta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara.

b) Bilik bagian tengah disebut Sali Dibagi lagimenjadi dua bagian, yakni

Bagian timur

Tempat kegiatan sehari-hari serta sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi.

Bagian barat

Digunakan sebagai tempat persemayaman jenazah pada waktu diadakan upacara kematian.

(34)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 34 c) Bilik bagian belakang disebut Sumbung

Digunakan sebagai tempat pengabdian dan tempat tidur kepala keluargabersama anak-anak, khususnya anak gadis, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan pertandabahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi. Sumbung ini berada di bagian selatan,maksudnya anak-anak gadis dan anak-anak kecil memerlukan pengawasan ketat, dengan perlindungan dari anak-anak laki-lakiyang bertempat di ruang

Tangdo.

3) Sullu BanuaBagian Bawah

Merupakan kolong rumah merupakan tempat hewan peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan gunung,diletakkan bebas di bawah Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolong dan fondasi itu sendiri.

2.3.3 STRUKTUR

Rumah tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja. Bayangkan bahwa rumah

adat ini dibangun dengan konstruksi yang terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam sama sekali seperti paku. Ada kepercayaam, kebanggaan, tradisi kuno, dan peradaban dari setiap detail rumah tongkonan yang dibangun masyarakat Toraja, Jadi tidak bisa sembarangan membangunnya.

Rumah tradisional atau rumah adat yang disebut Tongkonan harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru, yaitu:

1. Bagian utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia.

2. Bagian timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.

3. Bagian barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.

4. Bagian selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.

(35)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 35 Bertolak pada falsafah kehidupan yang diambil dari ajaran Aluk Todolo, bangunan rumah adat mempunyai makna dan arti dalam semua proses kehidupan masyarakata Toraja, antara lain:

1. Letak bangunan rumah yang membujur utara-selatan, dengan pintu terletak di sebelah utara.

2. Pembagian ruangan yang mempunyai peranan dan fungsi tertentu. 3. Perletakan jendela yang mempunyai makna dan fungsi masing-masing.

4. Perletakan balok-balok kayu dengan arah tertentu, yaitu pokok di sebelah utara dan timur, ujungnya disebelah selatan atau utara.

Pembangunan rumah tradisional Toraja dilakukan secara gotong royong, sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga, yang terdiri dari 4 macam, yaitu:

1. Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.

2. Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.

3. Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.

4. Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A‟riri.

(36)

Arsitektur Nusantara Bugis, Minahasa dan Tana Toraja 36 Gambar 26 : Rumah Tradisional Tana Toraja

Struktur rumah terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan yang kaku dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Konstruksi bangunan ini adalah tahan gempa & angin dalam arti kata tidak runtuh. Sebab seluruh bagian merupakan satu kesatuan yang diletakkan diatas batu begitu saja.

Untuk bangunan yang ditinjau ini tiangnya 9 buah termasuk Tulak Somba. Selebihnya adalah tiang pembantu yang dihubungkan dengan kasta-kasta ( menggambarkan struktur sosial Tana Toraja) Adapun stratifikasi sosial Tana Toraja yang berhubungan

dengan rumah adat ialah :

- Tana Bulaan ( bulaan = emas ) jumlah tiang rumah 29 buah

- Tana Besi Jumlah tiang rumah 27 buah

- Tana Karuru ( Karuru = ijuk ) jumlah tiang rumah 25 buah - Tana Kua-Kua ( Kua = tebu )) jumlah tiang rumah 23 buah.

Hampir keseluruhan menggunakan bahan kayu. dimulai dari balok tiang, papan untuk dinding dan lantai. Untuk alas runah (pondasi) digunakan batu. Jenis kayu yang digunakan tergantung dari persediaan. Jenis itu umumnya kayu Bunga, kayu Buangin (cemara) , kayu Kalapi/ Nangka, Cendana, kayu Beringin. Untuk atap menggunakan sistim ikat (dengan rotan) dan jepit. Untuk balok-balok

banyak menggunakan sistim pen.

Bahan dari bambu yang dibelah dan dirangkai menjadi bidang-bidang. Pengikat menggunakan rotan dan diantara lapisan bambu diberi ijuk. Untuk hubungan dipakai

bambu belah-belah.

Menggunakan bahan papan yang biasanya penyelesaiannya diukir dibagian luarnya. Dari balok yang masih berupa pohon yang hanya diperhalus sedikit, lalu ditaruh

begitu saja diatas batu.

Untuk ukir-ukiran dicat yang dipakai ialah tanah merah + tuak, arang + cuka + air. Lanta dari papan, balok kecil yang dipasang saling bersilangan ditambah anyaman kayu.

Gambar

Gambar 1 : Denah Sulawesi  Selatan
Gambar 3 : Rumah Tradisional Bugis
Gambar 4 : Potongan Memendek  Rumah Tradisional Bugis
Gambar 6 : Ragam Hias Bentuk Ayam Jantan
+6

Referensi

Dokumen terkait

9 Maka, Gedung Komersial dengan Pendekatan Arsitektur Neo-Vernakuler adalah sebuah wujud fisik yang merupakan hasil dari kegiatan konstruksi sebagai tempat manusia