Implication of Global
Value Chains for
Indonesia’s International
Negotiation Strategy
Sondang Anggraini
Staf Ahli Bidang Diplomasi Perdagangan
Jakarta, 28 April 2015
VALUE CHAIN
Michael Porter, professor at Harvard Business School, menggunakan rantai
nilai sebagai alat yang sistematis untuk mengkataagorisasikan atau melakukan berbagai aktifitas.
Arti dari rantai nilai adalah setiap tahap dari suatu sistem mulai dari
pemesanan sampai pengiriman memberikan nilai tambah pada produk atau jasa.
Dengan berkembangnya rantai nilai atau produksi global menyebabkan
sebagian besar barang atau jasa diasembling dengan bahan baku dari berbagai negara, namun secara realitas kita selalu berfikir bahwa
perdagangan dilakukan antara 2 negara.
Dengan rantai nilai, tidak lagi menjadi suatu keharusan memiliki daya
saing dalam produksi barang atau jasa tertentu, namun cukup memiliki daya saing untuk memberikan tugas tertentu. Bertumbuhnya porsi dari jasa dalam bisnis utama dari suatu negara dan meningkatnya pencapaian teknologi dan transportasi akan segera mengurangi jarak antara dan
pasar serta menciptakan kesempatan bagi semua negara.
Menurut Pascal Lamy, 20 tahun yang lalu 60% dari perdagangan dunia
dilakukan antara utara-utara, 30% antara negara maju dan berkembang dan 10% selatan-selatan. Tahun 2020, diharapkan akan terjadi perubahan dimana perdagangan secara seimbang terjadi diantara ketiganya.
APA ITU GLOBAL VALUE CHAIN?
A value chain describes the full range of activities that firms and workers carry out to bring a product from its conception to its end use and beyond.
Source: CGGC (http://www.cggc.duke.edu), More Information: Global Value Chains (www.globalvaluechains.org )
TREND PERJANJIAN PERDAGANGAN DUNIA
Pola perdagangan dunia telah
berubah dalam dekade terakhir akibat struktur baru produksi akibat perubahan teknologi serta pola
permintaan termasuk liberalisasi perdagangan serta integrasi ekonomi secara bertahap pada rantai nilai regional dan regional.
Kondisi lingkungan ekonomi yang
berubah menghasilkan peningkatan kesempatan untuk merelokasikan bagian-bagian tertentu dari produksi ke luar batas negara.
Outsourcing internasional mengubah
arus perdagangan yang meyebabkan meningkatnya perdagangan
intermediate goods dibandingkan barang-barang konsumsi (final goods).
Data perdagangan yg ada saat ini
tidak merefleksikan gambaran khusus dari outsourcing,
memperhitungkan intermediate goods beberapakali keluar masuk melewati batas negara.
Intermediate good Sum of categories:
111* Food and beverages, primary, mainly for industry 121* Food and beverages, processed, mainly for industry 21* Industrial supplies not elsewhere specified, primary 22* Industrial supplies not elsewhere specified, processed 31* Fuels and lubricants, primary
322* Fuels and lubricants, processed (other than motor spirit 42* Parts and accessories of capital goods (except transport
equipment)
Studi yang dilakukan oleh WTO memperlihatkan bahwa
intermediate input mencapai 56% lebih dari perdagangan
barang, dan 73% merupakan perdagangan jasa.
Arus perdagangan didominasi oleh produk yang tidak
langsung dikonsumsi namun lebih jauuh digunakan untuk
memproduksi barang atau jasa lainnya.
Dengan terfragmentasinya produksi dan semakin
pentingnya outsourcing, perdagangan barang antara
semakin bertumbuh pesat pada tahun 1995-2006 dengan
pertumbuhan rata-rata 6.2% untuk barang dan 7% untuk
jasa (dalam bentuk volume).
Namun demikian, perdagangan barang-barang jadi dan
jasa telah mengalami peningkatan dengan pertumbuhan
yang sama dan sebagai konsekuensinya pangsa darai
barang-barang antara tetap stabil sedangkan jasa antara
mengalami sedikit peningkatan.
Services’ share in World Exports is higher than understood on a
value-‐added basis -‐ 45%
WTO-‐OECD Value-‐Added Database Structure of World Exports (2008)
Value Added Terms
à
Services embodied in the trade of
TFA telah mengangkat masalah-masalah
akses pasar barang dan administrasi di
pelabuhan, sehingga sebenarnya masalah
yang dihadapi bukan tariff, ijin ekspor/impor,
ROO, persyaratan kandungan lokal,
administrasi kepabeanan, prosedur ekspor
dan impor,
namun
ketersediaan dan kualitas
infrastruktur transportasi dan jasa
transportasi, ketersediaan ICT (khususnya
tracking, komunikasi), kebijakan diektor
investasi, ketenaga kerjaan, keuangan serta
jasa yang memfasilitasi arus barang.
STARTEGI PERDAGANGAN
INTERNASIONAL INDONESIA SAAT INI
DEFENSIVE:
Melindungi produk/jasa yang dianggap
belum mampu untuk bersaing dengan
menutup pasar Indonesia atau waktu
yang lebih lama (grace periode)
OFFENSIVE: Mengupayakan pembukaan
akses pasar bagi produk-produk yang
menjadi kepentingan Indonesia
MASALAH YANG DIHADAPI DALAM
NEGOSIASI
Hampir semua produk/jasa minta untuk
dilindungi
Belum sepenuhnya dapat mengidentifikasi
berapa lama perlindungan bagi produk/jasa
Belum sepenuhnya dapat mengidentifikasi
Produk/jasa apa saja yang perlu dibuka
pasarnya
Menganggap impor adalah hal yang salah
Belum mampu melihat lebih jauh value
Perdagangan Masa Depan
Perundingan Perdagangan Internasional Indonesia pada masa yang akan
datang harus bertujuan untuk mencapai kemakmuran bangsa, oleh sebab itu bukan lagi pendekatan yang klasik yaitu menghapuskan tarif,
membuka pasar atau investasi serta jasa. Namun harus diarahkan pada pencapaian keuntungan maksimum melalui GVC.
Untuk market akses hal yang perlu dicapai bukan sekedar menghapuskan
tarif, namun juga peaks tariff untuk sektor-sektor tertentu yang
menghambat ekspor Indonesia. Selain itu, jasa transportasi juga sangat perlu untuk mendukung konektifitas dan distribusi.
Indonesia juga perlu untuk memperjuangkan penurunan tarif bagi
produk-produk yang akan diekspor khususnya dalam kerangka meningkatkan nilai tambah dari intermediate product saat di re-ekspor.
Services dimasa lalu dapat dikatakan peranannya dalam perdagangan
sangat kecil, namun ternyata services telah meningkatkan VA bagi suatu produk. Bahkan services saat ini merupakan kontributor terbesar dalam perdagangan global, sedangkan pangsa dari industri telah menurun. Oleh sebab itu, dalam perjanjian perdagangan internasional kita harus
mendorong negara partner kita untuk membuka sektor jasanya untuk meningkatkan efisiensi dari intermediate goods yang akan kita ekspor.
IMPLIKASI DARI GVC TERHADAP
STRATEGI NEGOSIASI
Pada waktu yang lalu liberalisasi perdagangan merupakan
cara yg paling optimal untuk memaksimalkan keuntungan
dari perdagangan. Saat ini karena multilateral sulit tercapai
kesepakatan, maka regional dan bilateral trade menjadi
pilihan.
Baldwin, menyampaikan bahwa dengan GVC maka motivsi
untuk melakukan kerja sama perdagangan telah berubah
secara fundamental. GATT berupaya agar perdagangan
dunia dilakukan secara fair. Namun dengan GVC, import
sama pentingnya dengan ekspor menyebabkan setiap
orang berupaya untuk bekerja sama, misalnya membuat
measures yang meningkatkan customs procedure.
Hal ini menyebabkan pendekatan
reciprocal
dalam
perundingan menjadi ketinggalan jaman. Selanjutnya
kebijakan perdagangan satu dan lain negara menjadi saling
tergantung pada saat produk menjadi
made in world.
The Boeing 787 Dreamliner is made in
the world
KESIMPULAN
Pada dasawarsa yang lalu, yang menjadi perdebatan terkait dengan
perdagangan internasional dan kebijakan perdagangan adalah globalisasi. Saat ini yang berkembang adalah globalisasi dalam bentuk Global Value Chain bagaimanaa meningkatkan jasa dalam produksi dan perdagangan (‘servicification’), digitalisasi perdagangan dan model bisnis baru.
Bersamaan dengan trend tersebut terbentuk suatu kekuatan untuk
melakukan perubahan yang mempengaruhi kebijakan perdagangan untuk masa depan.
Isu yang menjadi perhatian dan perlu didiskusikan secara mendalam adalah
apakah perubahan ini akan mempengarugi strategi negosiasi Indonesia? Apakah kita akan bertahan pada posisi untuk memproteksi diri dan
menerapkan kebijakan yang protektif?
Perlu suatu political will untuk kita terkait dengan negosiasi dan GVCs ini.
Pertama kita perlu melihat bahwa fragmentasi perdagangan dan produksi cenderung untuk mengurangi kepentingan akses pasar dari sektor swasta secara menyeluruh (offensive and defensive).
Fragmentasi dari produksi dikaitkan dengan GVC diharapkan dapat
menlarutkan pengaruh baik dari ekspor maupun kepentingan bersaing dengan impor. Hal yang penting adalah bagaimana perkembangan ini mempengaruhi kentingan secara seimbang.
KESIMPULAN
Hal lain yang perlu didiskusikan adalah, bahwa pertumbuhan GVCs
diharapkan dapat menciptakan perdagangan bebas yang lebih berbasis pada stakeholders yang melibatkan bukan hanya eksportir tetapi juga perusahaan-perusahaan yang tergantung pada akses terhadap impor barang dan jasa dalam proses produksinya. Pada gilirannya hal ini akan mengurangi permintaan di dalam negeri untuk diproteksi.
Perundingan berdasarkan pertukaran akses pasar secara resiprokal bisa
terus dilanjutkan untuk kepentingan publik. Namun demikian yang lebih mendalam adalah perlu diangkat isu-isu market akses negosiasi (“at-the-border”) dan negosiasi integrasi yang lebih mendalam
(“behind-the-border”). Hal ini disebabkan bahwa selama ini, isu yang paling sensitif adalah logika politik dan ekonomi yang sering bersebrangan termasuk resistensi dari kementrian terkait terkait leberalisasi.
Dalam perundingan, “distrustism” menjadi isu yang lebih penting
dibandingkan protectionism. Oleh sebab itu, perundingan harus
berdasarkan kepercayaan terhadap sistem dari masing-masing interest dibandingkan upaya untuk mengubah posisi mitra kita dengan kata lain lebih pada pendekatan kerja sama..