• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidrogeologi CAT Batujajar Dengan Pendekatan Kajian Geologi dan Isotop. Studi Kasus : Kota Baru Parahyangan Padalarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hidrogeologi CAT Batujajar Dengan Pendekatan Kajian Geologi dan Isotop. Studi Kasus : Kota Baru Parahyangan Padalarang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Hidrogeologi CAT Batujajar Dengan Pendekatan Kajian Geologi dan Isotop

18

O dan

2

H

Studi Kasus : Kota Baru Parahyangan Padalarang

Andreas B. Suwarto1, Sapari Dwi Hadian2, Hendarmawan2

1

ProgramMagister TeknikGeologiFakultasTeknik Geologi Universitas Padjajaran

2

Lab. Geologi Lingkungan dan Hidrogeologi, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran

absuwarto@yahoo.co.id ; sapari@unpad.ac.id; wawanghendar@yahoo.com

Abstrak

CAT Batujajar merupakan kawasan pertumbuhan baru di sebelah Barat Kota Metropolitan Bandung.Dalam pengembangan Kota Baru Parahyangan dan untuk mendukung kebutuhan penduduk di daerah tersebut dengan luas areal lebih dari 1.250 Ha, memerlukan air dalam jumlah besar. Kondisi saat ini PDAM belum dapat memasok air bersih ke kawasan ini, sedangkan air permukaan dari sungai yang mengalir di daerah ini kualitasnya tidak terjamin karena adanya pencemaran dari limbah domestik maupun industri. Sehingga kebutuhan air saat ini hanya dapat dipenuhi dari sumber air tanah berupa sumur bor. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi airtanah apabila tidak dijaga kesetimbangannya akan menimbulkan masalah airtanah pada daerah urban. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian hidrogeologi secara lebih menyeluruh untuk mengetahui bagaimana hubungan antar akifer, parameter hidrolik akifer dan daerah imbuhan air tanah dengan menggunakan metoda isotop 18 O dan 2 H.Dalam penelitian ini dilakukan pemboran inti hingga 100 m untuk dapat mengkorelasikan data-data pengeboran air tanah yang sudah ada dengan kedalaman rata-rata 150 m. Dari hasil rekonstruksi hidrogeologi diketahui bahwa akifer utama di daerah penelitian yang disadap adalah tuf pasiran yang merupakan bagian distal dari kipas vulkanik yang dapat disebandingkan dengan Formasi Cibeureum. Kisaran nilai keterusan (T) adalah 200 m2/hari – 589 m2/hari. Berdasarkan hasil analisis kimia air tanah menggunakan diagram Piper diketahui bahwa fasies air tanah SD 32 adalah Na K HCO3, sedangkan sampel lainnya tidak ada pasangan kation-anion yang lebih besar dari 50% (NoType). Berdasarkan analisis isotop, dapatdikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok komposisi asal, kelompok I (air tanah yang mengalami sedikit pencampuran), kelompok II (mengalami mixing sedang).

Berdasarkan persamaan linier Elevasi 18O dan2H maka dapat diperkirakan daerah recharge berada pada elevasi antara 1040 m hingga 1241 m (dpl).

Katakunci:Hidrogeologi Batujajar, Isotop, Fasies airtanah

1. Pendahuluan

Pada umumnya penentuan daerah resapan airtanah di Indonesia lebih didasarkan pada pendekatan konvensional seperti tinggi rendahnya topografi dan penampang-penampang tanah dan batuan bawah permukaan saja.Beberapa penelitian memang sudah menambahkan dengan pendekatan isotop airtanah untuk memastikan masuknya air dan mendelineasi daerah resapan (recharge zone) seperti Sunarwan dan Juanda (1998) di

kawasan Cimahi, Geyh (1990) di dataran tinggi pada cekungan Bandung. Bagaimanapun, penelitian-penelitian terdahulu di Indonesia yang menggunakan isotop stabil airtanah masih menimbulkan keraguan, mengingat sampling yang dilakukan tidak periodik dengan musim yang ada di Indonesia. Di pihak lain, posisi dan luas wilayah resapan akan menentukan jumlah air yang masuk ke lapisan tanah/batuan yang mengandung airtanah, sehingga perhitungan kesetimbangan air (water balance)

(2)

dapat overestimate atau underestimate. Tidak mengherankan bila sering terjadi, batas aman pengambilan airtanah suatu wilayah tidak dilewati, namun air mengalami penurunan atau bahkan defisit seperti fenomena-fenomena di beberapa kota besar di Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia yang mempunyai tingkat rata-rata curah hujan cukup tinggi sekitar 2700 mm/tahun (UNESCO, 2003), tetapi kejadian kekurangan air berlangsung di mana-mana.

Cekungan Airtanah Batujajar berbatasan dengan CAT Bandung Soreang di sebelah Timur, dan di sebelah Barat dibatasi oleh Gunung Halimun (972 m), G. Guha (928 m) dan pegunungan gamping Rajamandala. Pada kawasan ini telah berkembang pusat industri dan perumahan dalam skala kota, seperti kawasan industri Cimareme dan perumahan Kota Baru Parahyangan. Kawasan Perumahan Kota Baru Parahyangan dengan luas 1250 Ha diproyeksikan akan dihuni oleh lebih dari 100.000 penduduk. Sampai saat ini kebutuhan air bersih yang bersumber dari air permukaan sulit didapat dan apabila ada kualitas airnya tidak memenuhi syarat sebagai air bersih. Untuk itu harapan akan pemenuhan kebutuhan air bersih tertumpu pada penggunaan sumber airtanah dalam. Sehingga studi hidrogeologi yang menyangkut keterdapatan air tanah, pola aliran air tanah, sumber imbuhan air tanah perlu diidentifikasi secara lengkap.

CAT Batujajar berdasarkan Keputusan Presiden No.26 Tahun 2011 mempunyai luas 89 Km2 atau hanya sekitar 5 % dari luas CAT Bandung Soreang, sehingga umumnya penelitian terdahulu menggabungkan CAT Batujajar ini dalam wilayah CAT Bandung Soreang atau disebut bagian Barat dari CAT Bandung Soreang, sehingga penelitan yang khusus

membahas CAT Batujajar hingga saat ini masih sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dibahas kondisi hidrogeologi CAT Batujajar berdasarkan kajian geologi dan Isotop 18 O dan 2H dengan studi kasus di Kota Baru Parahyangan, Padalarang.

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian yang ermasuk Dalam Wilayah CAT Batujajar.

2. Geologi Daerah Pengukuran

Penelitian geologi yang secara khusus membahas daerah CAT Batujajar masih sangat terbatas.Umumnya peneliti terdahulu memasukkan dataran Batujajar dalam sub cekungan Bandung Soreang (Iwaco, 1990). Penelitian geologi daerah Cekungan Bandung telah dilakukan oleh Kusumadinata (1956), Silitonga (1973), Hartono (1980) , Iwaco (1990), DAM (1997), Sunarwan dan Juanda (1998)dan (2014) meneliti mengenai Hidrostratigrafi Endapan Vulkanik CAT Bandung Soreang.

Cekungan Bandung sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian timur, tengah, dan barat. Cekungan Bandung bagian timur dimulai dari dataran Nagreg sampai dengan Cicalengka; bagian tengah membentang dari Cicalengka hingga Cimahi – kompleks perbukitan Gunung Lagadar, dan cekungan bagian barat terletak di antara Cimahi – Batujajar hingga Cililin dan Waduk Saguling. Peneliti terdahulu (Dam, 1994)

(3)

menyebut Cekungan Bandung hanya untuk kawasan bagian tengah. Bagian barat Cekungan Batujajar dibatasi oleh batuan gunung api berumur Tersier dan batugamping yang termasuk ke dalam Formasi Rajamandala (Sudjatmiko, 1972). Sedangkan bagian timur dibatasi oleh perbukitan Lagadar (897 m dpl), G. Puncaksalam (904 m), G. Padakasih (951 m).

Singkapan tertua formasi batuan di daerah ini adalah Forrnasi Rajamandala, membentuk batas barat Dataran Batujajar.Formasi ini sebagaimana formasi batuan Miosen lainnya yang ditemukan di daerah ini, terbentuk pada lingkungan laut.Secara litologi batuan Tersier ini terdiri dari batugamping, napal, batupasir, batulempung, serpih, tufa-batuapung, breksi dan konglomerat.Pada Miosen Atas dan peralihan Miosen-Pliosen, terjadi pengangkatan dan pensesaran.Dalam hubungannya dengan kegiatan gunungapi, intrusi- intrusi terbentuk yang menembus batuan berumur Tersier.Pada Pleistosen Bawah pengangkatan dan kegiatan gunungapi berlanjut dan kompleks gunungapi terbentuk sepanjang batas utara dan selatan cekungan.Hasil endapan periode ini (endapan gunungapi tua) sekarang masih dapat dilihat dibeberapa tempat.

Dari Awal Pleistosen hingga sub-Resen terbentuk sesar-sesar besar.Pensesaran ini berhubungan dengan kegiatan gunungapi. Sesar Lembang yang merupakan produknya, terletak disebelah utara Kota Bandung, dapat dengan jelas di lihat di lapangan, juga sesar Malabar - Tilu di selatan Dataran Bandung. pada kedua sesar besar tadi blok selatan relatip terangkat terhadap blok utara, menyebabkan suatu depresi di utara sesar.

Di selatan Sesar Lembang terbentuk bentang alan berbentuk kipas, yang saat ini dikenal dengan kipas Bandung dan Cimahi. Kipas ini terdiri dari endapan

gunungapi muda dari Tangkuban Perahu, yang dikenal sebagai Formasi Cibeureun.Suatu aliran bahan rombakan yang besar berasal dari Tangkuban Perahu membendung aliran Sungai Citrarun di Padalarang dan terbentuk danau di Cekungan Bandung.Danau secara berangsur angsur diisi dengan sedimen yang ditunjukkan sebagai Forrnasi Kosambi.Danau mempeloleh material dari letusan gunungapi, sungai-sungai dan aliran bahan rombakan dari pinggiran danau yang menghasilkan variasi material yang besar ditempat pengendapan.Karena kedalaman danau tidak seragam, maka ketebalan sedimen bervariasi.Pada lokasi dimana sungai-sungai mengalir ke danau, seperti di Soreang, Banjaran dan Majalaya terbentuk kipas-kipas vulkanik - aluvial menjemari dengan sedimen danau.

Gambar 2. Peta Geologi Daerah Penelitian (Modifikasi dari Silitonga, 1972 dan Sujatmiko

1973)

Diperkirakan ketebalan maksimum Formasi Kosambi antara 80 dan 125 m. Sedimen lempungan yang paling tebal (lebih dari 80 m) ditemukan dekat Dayeuhkolot. Perbedaan antara sedimen danau muda dan sedimen yang lebih tua (kemungkinan berasal dari gunungapi) tidak terlalu jelas.Dekat tepi danau dan perbukitan, sedimen danau pada umumnya tipis.

Endapan danau (Forrnasi Kosambi) sebagian menjari-jemari dengan Formasi Cibeureum dan lava Cikidang yang lebih muda. Dengan demikian

(4)

Formasi Kosambi diendapkan pada saat yang sama dengan endapan gunungapi, perbedaannya adalah jarak ke pusat letusan dan cara pengendapannya. Bentuk endapan kipas gunungapi dapat dikenali pada berbagai lokasi dekat batas-batas Dataran Bandung yang menerus di bawah endapan danau.Umumnya endapan resen adalah endapan dataran banjir Sungai Citarum yang terdiri dari lempung keras agak pasiran yang rnenutup endapan danau.Endapan dataran banjir ketebalannya 0 – 5 meter (Iwaco, 1990). Menurut Koesoemadinata dan Hartono (1981), Formasi Cibeureum adalah akuifer utama dengan sebaran berbentuk kipas yang bersumber dari Gunung Tangkubanparahu.Formasi ini terutama terdiri atas perulangan breksi dan tuf dengan tingkat konsolidasi rendah serta beberapa sisipan lava basal, dengan umur Plistosen Akhir – Holosen.Breksi dalam formasi ini adalah breksi vulkanik yang disusun oleh fragmen-fragmen skoria batuan beku andesit basal dan batu apung.

3. Hidrogeologi Daerah Penelitian

Secara regional kondisi hidrogeologi daerah penyelidikan yang telah tergambarkan dalam peta hidrogeologi daerah Bandung, dengan skala 1 : 250.000 terbitan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (Soetrisno S, 1983) menyebutkan daerah penyelidikan terletak pada bagian barat laut cekungan airtanah Bandung.

Sistem akifer daerah penyelidikan termasuk dalam akifer dengan aliran airtanah melalui ruang antar butir yang produktifitasnya sedang – besar dengan penyebaran luas. Akifer dengan keterusan sedang, kedalaman muka airtanah beragam sekitar 10 – 18 meter dengan debit sumur umumnya kurang dari 5 liter/detik. Akifer ini secara dominan dibentuk oleh litologi dari

Formasi Kosambi (Ql) dan Formasi

Cibeureum (Qyd).

Sunarwan dan Juanda (1997) membagi daerah Padalarang-Cimahi-Lembang-Bandung dalam 5 unit hidrogeologi berdasarkan sebaran batuan, proses dan kejadian serta sifat hidrogeologinya. Daerah Padalarang termasuk dalam Unit Hidrogeologi IV : Sistem akifer Volkanik yang tersusun oleh perselingan breksi, tufa pasiran, lava andesit dari Formasi Cibeureum.

Hutasoit dan Ramdhan, 2009 telah menganalisi log litologi dari hasil pemboran air tanah. Dari data ini dapat dilihat bahwa di bawah permukaan, Formasi Cibeureum juga terdapat di bawah Formasi Kosambi yang tersingkap di permukaan, terutama di bagian barat dan timur, membentuk sistem akuifer terkekang.

Data litologi terperinci Formasi Cibeureum dari log pemboran, seperti misalnya yang ditunjukkan oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta Hutasoit dan Ramdhan (2006), menunjukkan keberadaan lebih dari satu akuifer dalam formasi tersebut

(multiaquifer system). Secara alamiah

tidak diketahui apakah akuifer-akuifer tersebut berhubungan atau tidak, tetapi dengan adanya pemboran, akuifer-akuifer tersebut pasti berhubungan, sehingga dapat dikatakan bahwa MAT yang diukur pada satu titik pemboran adalah MAT pada formasi tersebut.

Data litologi terperinci Formasi Cibeureum dari log pemboran, seperti misalnya yang ditunjukkan oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta Hutasoit dan Ramdhan (2006), menunjukkan keberadaan lebih dari satu akuifer dalam formasi tersebut

(multiaquifer system). Secara alamiah

tidak diketahui apakah akuifer-akuifer tersebut berhubungan atau tidak, tetapi dengan adanya pemboran, akuifer-akuifer tersebut pasti berhubungan, sehingga dapat dikatakan bahwa MAT

(5)

yang diukur pada satu titik pemboran adalah MAT pada formasi tersebut.

Penelitian hidrogeologi dengan cukup lengkap telah dilakukan oleh Iwaco (1990) yang menyatakan bahwa kebanyakan akifer di cekungan Bandung berhubungan dengan salah satu aliran bahan lepas (debris-flow) dari Gunung Tangkuban Perahu yang membentuk endapan Kipas Bandung dan Cimahi atau dengan endapan "volcano-fluviatile" yang membentuk endapan kipas di pinggiran Danau Bandung. Dalam kaitannya dengan Cekungan Batujajar maka endapan kipas Cimahi menjadi penting sebagai sumber aliran air tanah.

4. Isotop 18O dan Deuterium (2H)

Isotop alam 18O dan 2H merupakan salah satu jenis isotop dari atom oksigen dan hidrogen yang bersifat stabil berada di bumi sejak 5 milyar tahun yang lalu atau seusia dengan umur bumi. Seperti diketahui bahwa unsur oksigen (O) dan hidrogen (H) memiliki 3 (tiga) macam isotop masing-masing 16O, 17O dan 18O dan hidrogen 1H , 2H , 3H. Ketiga isotop oksigen tersebut bersifat stabil sementara isotop hidrogen (1H dan 2H) bersifat stabil tetapi isotop 3H (tritium) bersifat radioaktif. Di alam masing-masing isotop oksigen dan hidrogen tersebut dapat bersenyawa membentuk senyawa air yaitu H216O , HDO , H218O

dan H3HO. Dalam penelitian hidrologi, isotop 18O dan D digunakan sebagai sidik jari (finger print) untuk mengetahui asal-usul air dan dapat membedakan berbagai sumber air seperti air hujan, air tanah, air laut , air magma dan air konat (connate water).

Dalam siklus hidrologi ketiga senyawa air tersebut diatas mengalami proses fraksinasi. evaporasi dan kondensasi. Senyawa yang mempunyai berat molekul besar seperti HDO (deuterium) dan H218O (18O) cenderung

lebih sulit menguap tetapi lebih mudah terkondensasi sehingga pada berbagai

jenis air kandungan isotop 18O dan D mempunyai nilai konsentrasi yang berbeda-beda. Kandungan senyawa isotop 18O dan D yang relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan senyawa utama air (H216O) dapat dianalisis

mengunakan alat spectrometer massa sehingga konsentrasinya pada setiap jenis air dapat diidentifikasi.

Konsentrasi isotop 18O pada air hujan yang turun di pantai dan di gunung mempunyai nilai konsentrasi berbeda.Air hujan di pantai relatif mempunyai konsentrasi lebih kaya

(enrich) bila dibandingkan dengan di

pegunungan. Perbedaan konsentrasi keduanya disebabkan oleh proses kondensasi dan fraksinasi isotop. Demikian pula konsentrasi isotop air laut mempunyai nilai tertinggi yaitu sekitar 0 ‰ bila dibandingkan dengan konsentrasi jenis air yang lainnya, hal tersebut disebabkan oleh proses penguapan

Dengan adanya perbedaan isotop

18

O dan D yang signifikan diantara jenis air tersebut maka kedua isotop tersebut dapat digunakan untuk menentukan asal-usul air. Demikian pula adanya proses intrusi air laut (percampuran air laut dan air tanah) dapat diidentifikasikan dengan perubahan isotop 18O dan D didalam air tanah. Monitoring 18O dan D merupakan alat yang penting untuk menentukan asal recharge dan pencampuran air tanah dalam akifer (Clark, Ian D, 1997).

Secara lebih spesifik, isotop stabil juga telah digunakan untuk mengurai sistem hidrogeologi di CAT-Bandung Soreang yang didalamnya termasuk Batujajar diantaranya oleh Geyh (1990) Sunarwan (1997, 2014) serta Matahelumasi dan Wahyudin (2010).

Hasil analisis isotop18O dandeuterium dihitung dengan membandingkan terhadap standar internasionalSMOW (Standard Mean Ocean Water). Standar ini digunakan sebagai acuan isotop rasio 18O/16O dan

(6)

D/H yang memiliki nilai 0 (zero). Isotop rasio 18O/16O dan D/H dari sampel relatif terhadap standar dinyatakan dengan notasi () dalam sataun permill (o/oo) melalui persamaan berikut.

oo o O O O O dard s sample 1000 tan 16 18 16 18                5. Metodologi

Untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian, pendekatan pemetaan geologi melalui traversing atau suatu kegiatan observasi singkapan (outcrop) dilasanakan di lapangan (Barnes dan Lisle, 2004). Metode ini menggunakan peralatan antara lain kompas geologi, palu batuan beku dan sedimen, loupe

dan peta topografi. Untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan di daerah penelitian dilakukan juga pengeboran coring pada titik SP6. Sementara itu observasi kandungan isotop stabil dan kimia air, teknik pengambilan sampel dilaksanakan secara acak dan periodik dari mata air, sumur bor dan air hujan setiap 2-3 bulan dan khusus air hujan setiap bulan. Karena keterbatasan waktu, pada Penelitian ini pengambilan sampel isotop hanya dilakukan pada satu periode yaitu bulan Mei 2015.

Pengambilan sampel untuk uji kandunganisotop alam18O (oksigen) dan

2

H (deuterium) dilakukan sebanyak 20 mL. Sampel air diuji di laboratorium dengan alat alat spektrometer massa untuk diukur rasio

18

O/

16

O dan rasio D/H (Fritz dan Fontes, 1981; IAEA– Vienna). Pada analisis isotop 18O dan deuterium dilakukan kalibrasi standar menggunakan standar SMOW

(Standard Mean Ocean Water. Selama

pengambilan sampel, pengukuran sifat fisik in situ di lapangan juga dilakukan seperti pengukuran pH, konduktivitas, temperatur dan dissolved oxygen

(oksigen terlarut) ). dengan peralatan portable. Pengujian atas sejumlah

sampel air dari mataair juga dilakukan terutama zat ion yang umum dalam air alami berupa Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, CO3=, HCO3- dan SO4=. Dominasi

kation dan anion akan ditentukan dengan diagram trilinearPiper (1944), sehingga fasies airtanah yang dihasilkan dapat digunakan dalam memverifikasi penafsiran dari geologi dan kepastian berdasar kandungan Isotop stabil airtanah.

6. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pemboran inti dilakukan di lokasi SP6 dengan kedalaman 100 meter dan dilanjutkan pemboran dengan metoda

direct circulation mud flush hingga

kedalaman 150 meter. Berdasarkan data pengeboran inti didapat urut-urutan perlapisan batuan : lempung, breksi vulkanik, tuf, tuf pasiran, tuf.

Dengan acuan data pemboran inti kemudian dilakukan korelasi data pengeboran air tanah dan data logging geofisika berupa nilai

resistivitydanSpontaneous Potential

(SP). Hasil korelasi tersebut memperlihatkan bahwa selang seling tuf dan tuf pasiran berada di bawah breksi vulkanik yang dicirikan dengan nilai Resistivity yang kontras (gambar 4 dan 5).

Gambar 3. Penampang Geologi Barat Daya – Timur Laut

(7)

Gambar 4. Penampang Geologi Barat – Timur

Sifat fisik air tanah diperoleh dari data analisis lab.sumur bor yang sampelnya diambil pada saat pumping test hampir berakhir, kecuali SD 5, SD 10, SD 12, SD 20, SD 25 dan SD26 yang pengambilan sampelnya dilakukan pada bulan Mei 2015. Pengukuran menunjukkan bahwa nilai Daya Hantar Listrik (EC) berkisar antara 219 – 532 µS/cm, TDS 153 – 480 mg/L masih jauh dibawah baku mutu 1500 dan pH berada antara nilai 6,78 – 8,9. Penelitian Iwaco (1990) menunjukkan bahwa pada pinggiran endapan kipas nilai EC semua berada dalam kisaran 375 - 475 µS/cm mencerninkan suatu sistem aliran yang dalam dan waktu tempuh yang lama.

Parameter akifer diperoleh dari hasil analisis pumping test. Muka Air Tanah (MAT) antara 2 m hingga 17 meteratau jika dikorelasikan dengan elevasi pada level 630m – 640m. Setelah dibuat kontur muka air tanah maka terlihat bahwa aliran air tanah secara umum mengalir dari Timur Laut menuju Barat Daya (gambar 5).

Nilai Transmisivity (T) dari akifer yang bersifat multi layers adalah antara 200 m2/hari – 589 m2/hari

Berdasarkan dari contoh air yang berasal dari sumur bor dan air permukaan, hasil yang dianalisadapat dikelompokkan berdasarkan diagram Trilinier Piper (1953) berupa fasies airtanah adalah Na-K HCO3 (SD32 dan

AD3) dan Notype HCO3 (SD3, SD4,

SD12, SD15, SD19, SD27, SD29). Fasies air tanah Notype HCO3 mencirikan bahwa air tanah telah

mengalami pencampuran (mixing)

dengan air permukaan.

Gambar 5. Peta kontur muka air tanah di daerah Kota Baru Parahyangan Tabel 1.Hasil pengukuran major elemen daerah penelitian

Gambar 6. Diagram Trilinier Piper untuk contoh air sumur bor dan air permukaan

7. Kandungan Isotop Air Tanah

Penentuan Local Meteoric Water

Line (LMWL) digunakan dari hasil

penelitian Badan Geologi (Matahalemual dan Wahyudin, 2010) yang melakukan pengamatan isotop dari curah hujan pada periode Januari 2008 – Juli 2009 dilakukan pada 6 (enam) stasiun curah hujan yaitu Balitsa Lembang, Cihideung Lembang, Pusat Lingkungan Geologi (PLG), Safilindo dan Malabar.

Hasil pengukuran isotop alam pada hujan berdasarkan weighted mean value

dari 18O dan 2H untuk masing-masing stasiun curah hujan yang diplot pada

Kode Na+ K+ Ca2+ Mg2+ Cl- SO4- HCO3- Total TotalIONIC BALANCE Sam pel m eq/L m eq/L m eq/L m eq/L m eq/L m eq/L m eq/L Kation Anion ERROR

SD3 2.98 0.17 1.23 0.65 1.19 0.81 2.60 5.03 4.59 4.49 SD4 1.18 0.48 1.53 1.79 0.69 0.00 3.86 4.97 4.55 4.46 SD12 1.49 0.20 1.63 2.30 0.72 0.00 4.74 5.61 5.45 1.44 SD15 1.18 0.17 1.13 2.15 0.52 0.00 4.16 4.63 4.69 -0.60 SD19 1.27 0.11 2.13 1.60 0.42 0.00 4.39 5.12 4.81 3.14 SD27 1.25 0.09 2.20 1.80 0.42 0.00 4.58 5.35 5.00 3.42 SD29 1.25 0.09 2.20 1.80 0.42 0.00 4.58 5.35 5.00 3.42 SD32 2.33 0.11 1.76 0.74 0.66 0.00 4.16 4.94 4.82 1.22 AD1 2.98 0.17 1.23 0.65 1.19 0.81 2.60 5.03 4.59 4.49

(8)

grafik (Gambar 9) menunjukkan nilai persamaan Local Meteoric Water Line

(LMWL) sebagai berikut: δ 2

H (‰) = 7,46 δ 18

O (0/00) + 8,24

Gambar 7. Grafik Hubungan Antara Kandungan 18O dan 2H dari Beberapa Stasiun Hujan di Bandung dan sekitarnya periode Januari 2008- Juli 2009 (Matahelumual dan Wahyudin, 2010)

Hasil analisis isotop 18O dan 2H dari sampel air yang diambil dari beberapa sumur bor dan air permukaan (air danau) di daerah Kota Baru Parahyangan adalah sebagai berikut: Tabel 2. Hasil analisis isotop 18O dan 2H air tanah Padalarang dan air Danau Saguling No. Nama Sampel 18O 2H 1 AD-1 -4.55 -52.1 2 AD-2 -4.87 -49.4 3 AD-3 -4.56 -50.8 4 SD-03 -6.9 -55.2 5 SD-05 -7.49 -54.6 6 SD-10 -8.48 -56.9 7 SD-12 -7.39 -55.5 8 SD-15 -7.02 -56.9 9 SD-17 -6.61 -55.1 10 SD-20 -6.54 -56.8 11 SD-19 -6.67 -52.4 12 SD-25 -8.22 -53.5 13 SD-26 -7.51 -55.5 14 SD-32 -8.37 -55.9 Berdasarkan hasil analisis isotop air tanah di daerah Penelitian yang mengacu pada Local Meteoric Water

Line (LMWL) hasil penelitian Badan

Geologi, maka daerah daerah penelitian

dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi sebagai berikut:

[1].Kelompok Komposisi Asal: air tanah daerah Padalarang diketahui berdasarkan data yang diperoleh sampel: SD-10, SD-25 dan SD-32. [2].Kelompok I: Sampel-sampel air

tanah dengan kode SD-5, SD-12 dan SD-26 mengalami sedikit pencampuran dengan air danau. Ketiga sampel tersebut masih dominan air tanah, namun dalam jangka panjang harus terus dipantau pergerakan mixing-nya.

[3].Kelompok II: Sampel-sampel dengan kode SD-03, SD-15, SD-17, SD-19, SD-20 dan SD-27 mengalami mixing sedang dengan air danau. Sampel-sampel di keenam lokasi ini juga harus terus dipantau pergeseran mixing-nya. [4].Kelompok Air Danau:

sampel-sampel dengan AD-1, AD-2 dan AD-3 merupakan sampel dengan kandungan isotop paling enrich

yang mengindikasikan sebagai air permukaan.

Grafik selengkapnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Grafik Hubungan Antara 18O dan 2H dari Akifer Tertekan dengan Garis Meteorik Air

Lokal

Berdasarkan hasil analisis data isotop hujan di wilayah Bandung menunjukkan suatu garis linier yang merupakan hubungan antara altitude terhadapkan dungan isotop18O dari

(9)

Matahalemual dan Wahyudin (2010 ) , Data hasil analisis isotop 18O dan 2H untuk air hujan berdasarkan pada data Matahalemual dan Wahyudin (2010 ). Jumlah curah hujan pada setiap ketinggian dari 6 stasiun curah hujan pengamatan antara 700 – 1560 mdpldengan jumlah 6 buah stasiun curah hujan, jumlah curah hujan berkisar antara 1.119 – 1659 mm. Variasi besarnya curah hujan sebanding dengan variasi kandungan isotop dalam air hujan. Kandungan isotop umumnya dipengaruhi jumlah curah hujan, daerah dengan curah hujan tinggi mengandung isotop18O dan 2H yang depleted, sementara daerah dengan curah hujan rendah terkandung isotop18O dan2H yang enrich. Fenomena ini disebut

amount effect.

Hasil pengeplotan antara nilai18O dan 2H dari hujan pada masing-masing stasiun tabel tersebut diatas menunjukkan gradien yang berbeda-beda. Hal tersebu tmenunjukkan karakter hujan yang berbeda-beda untuk setiap wilayah.

Analisis persamaan garis meteorik lokal yang menghubungkan antara kandungan 18O dan 2H stasiun curah hujan dapat dilakukandan hasilnya dapat menentukan asal-usul dan daerah resapan (recharge) sumber air.Hubungan antara isotop terhadap elevasi untuk rerata isotop (mean

weight) menunjukan garis hubungan

seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik hubungan 18O dan elevasi rerata air hujan (Matahalemual, et al, 2010 )

Penurunan nilai rasio isotop

18

O dan

2

H (deuterium) untuk setiap kenaikan 100 m elevasi berturut-turut 0,43 ‰ dan 3,45.

Berdasarkan persamaan linier Elevasi (m) = -373.9 (18O) – 2026.6 (gambar 9) dan Persamaan elevasi isotop 2H: Elevasi = -50,652H – 1640,1 meter (dpl) maka perkiraan ketinggian daerah imbuh atau resapanuntuk sumber airtanah lapisan akifer tertekan tersebut diperoleh dengan cara memasukkan nilai kandungan isotop 18O dan 2H ke dalam persamaan hasil hubungkan antara elevasi dan komposisi isotop.

Berdasarkan grafik hubungan 18O dan elevasi rerata air hujan dengan data isotop 18O dan2H air tanah Padalarang dari SD-10, SD-25 dan SD-32, maka elevasi recharge dapat diperkirakan berada pada elevasi antara 1040 m hingga 1241 m (dpl).

Gambar 10. Perkiraan Daerah Recharge Berdasarkan Analisis Isotop dan Kondisi

Geologi.

Daerah Recharge

Sesar Lembang

(10)

8. Kesimpulan

Berdasarkan data geologi bawah permukaan akifer yang terdapat di daerah penelitian merupakan multi akifer sistem.

Pengelompokkan fasies air tanah berdasarkan Diagram Trilinier Piper (1953) adalah fasies Na-K HCO3 dan

fasies air tanah notype HCO3. Hal ini

mencirikan bahwa air tanah telah mengalami mixing dengan air permukaan.

Berdasarkan hasil analisis isotop air tanah di daerah Penelitian yang mengacu pada Local Meteoric Water Line (LMWL) dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi sebagai berikut:

 Kelompok Komposisi Asal:

 Kelompok sampel mengalami sedikit pencampuran dengan air danau.

 Kelompok Sampel yang mengalami mixing sedang dengan air danau.

 Kelompok Air Danau yang mempunyai kandungan isotop paling enrich yang mengindikasikan sebagai air permukaan.

Berdasarkan pendekatan180 dan 2H dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa airtanah yang berasal darisumur bor pada ketinggian 650 – 665 m dpl berasal dari daerah resapan pada ketinggian antara 1040 m hingga 1241 m (dpl). Berdasarkan kondisi geologi yang memungkinkan bertindak sebagai daerah recharge dengan elevasi tersebut adalah daerah di bawah patahan Lembang (elevasi 1200 m dpl).

9. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kota Baru Parahyangan yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di daerah ini dan mengijinkan beberapa data hasil observasi untuk publikasi ini. Secara khusus Penulis juga menghaturkan terimakasih kepada Prof. Dr.Ir Hendarmawan, M.Sc yangtelah membimbing dalam penulisan artikel ini serta tim Batam,

tim Unpad, kawan-kawan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu).

Daftar Pustaka

[1] Barnes J.W dan Lisle R.J., 2004, Basic Geological Mapping, edisi 4, John Wiley and Sons, England, hal 43-49

[2] Clark, I. D., & Fritz, P. (1997).

Environmental isotopes in

hydrogeology. New York: Lewis

Publishers.

[3] Dam, M.A.C, 1997, The Late Quaternary Evolution of The

Bandung Basin, West-Java,

Indonesia, Geological Research

and Development Centre, Bandung.

[4] Delimon, R. M. (2009). Structural geology controls on groundwater flow: Lembang Fault case study,

West Java, Indonesia.

Hydrogeology Journal, 17(4),

1011-1023.http://dx.doi.org/10.1007/s10 040-009-0453-z

[5] Fritz P. and C. H. Fontes. 1981. Handbook of Environmental Isotope Geochemistry, Elsevier Scientific Publisher Co., vol 1 [6] Geyh, M.A., 1990, Isotopic Study

in the Bandung Basin, Indonesia, Project Report No.10, Directorate of Environmental Geology - German Environmental Geology Advisory Team for Indonesia, Bandung

[7] IAEA–Vienna, “Stable Isotope Hydrology, Deuterium and Oxygen-18 in the WaterCycle”. [8] Iwaco, Waseco, 1991, Studi

Hidrologi Bandung, Laporan

Utama Tambahan 2. Sumberdaya

Airtanah,West Java Provincial

Water Sources Master Plan or Water Supply.

[9] Kevin H., 2005, Hydrogeology Principles and Practice, Blackwell Publishing Company, Australia 389 hal.

(11)

[10] Matahelumual, Bethy C, Wahyudin, 2010, Penelitian Hidrogeologi Daerah Imbuhan Air Tanah Dengan Metode Isotop dan Hidrokimia di Cekungan Air

Tanah Bandung- Soreang,

Provinsi Jawa Barat (Tahap III),

Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Bandung.

[11] Piper A.M., 1944, Graphic procedure in the Geochemical interpretation of water analysis, American Geophysical Union 25, 9: 14-23

[12] Sanders, Laura L, 1998, A Manual

of Field Hydrogeology, Prentice

Hall, New Jersey USA

[13] Satrio, dkk, 2012, Groundwater Dynamic and Its Interrelationship with River Water of Bandung

Basin Using Environmental

Isotopes (18O, 2H, 14C),Modern

Applied Science; Vol. 6, No. 11; Published by Canadian Center of Science and Education

[14] Silitonga, P.H., 1973, Peta Geologi Bersistem Jawa, Lembar

Bandung, skala 1 : 100.000,

Direktorat Geologi Bandung [15] Soetrisno, S, 1985, Peta

Hidrogeologi Indonesia 1 :

250.000, Lembar V ; Bandung

(Jawa), Direktorat Geologi Tata

Lingkungan Bandung

[16] Sudjatmiko, 1972, Peta Geologi Bersistem Jawa, Lembar Cianjur,

Skala 1 : 100.000, Direktorat

Geologi Bandung

[17] Sunarwan, B, 1997, Penerapan

Metoda Hidrokimia-Isotop

Oksigen-18 (18O), Deuterium

(2H) dan Tritium (3H) Dalam

Karakterisasi Akifer Airtanah

Pada Sistem Akifer Bahan

Volkanik : Studi Kasus Kawasan Padalarang-Cimahi-Lembang,

Bandung. Tesis Magister Program

Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Tidak dipublikasikan. [18] Sunarwan, B dan Juanda P. D.,

1998, Variasi kandungan isotop stabil 18 Oksigen dan Deuterium dalam air tanah sebagai pelacak alami guna mempelajari perilaku airtanah pada sistem endapan volkanik kawasan Cimahi-Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Prosiding IAGI, Yogyakarta.

[19] Sunarwan, B, 2014,

Hidrostratigrafi Endapan

Volkanik Cekungan Airtanah

Bandung-Soreang Provinsi Jawa

Barat, Disertasi Doktor Institut

Teknologi Bandung, Tidak dipublikasikan.

[20] Sukrisno dan Suyono,

Penyelidikan Hidrogeologi dan Konservasi Air Tanah Cekungan

Bandung, 1990, Direktorat

Geologi Tata Lingkungan, Bandung.

[21] To‟th, J., 1963. A theoretical analysis of groundwater flow in small drainage basin. Jour. Geophys. Research, 68: hal 4795-4812.

[22] UNESCO, 2003, The International Consortium of Investigation Journalists (2003) The Water Barons, Public Integrity Books, 143 hal.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian yang  ermasuk Dalam Wilayah CAT Batujajar.
Gambar 2.  Peta Geologi Daerah Penelitian  (Modifikasi dari Silitonga, 1972 dan Sujatmiko
Gambar 3. Penampang Geologi Barat Daya –  Timur Laut
Gambar 5. Peta kontur muka air tanah  di daerah Kota Baru Parahyangan
+3

Referensi

Dokumen terkait