Oleh: Muhammad Yusuf ∗
Abstrak
Tafsir al-Qur'an dengan judul Tafesere Akorang Mabbasa Ogi yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan merupakan salah satu karya tafsir di Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasa Bugis dengan Aksara Lontarak. Sistematika penulisan tafsir ini meliputi tema pokok di awal setiap surah ditulis, penulisan lafaz-lafaz ayat, diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis, dikemukakan munasabah, penjelasan kandungan ayat, asbab al-nuzul, dan ditafsirkan dengan ayat yang lain atau riwayat (hadis) Nabi s.a.w. disertakan dengan pendapat ulama sebagai rujukan. Langkah-langkah penafsiran meliputi pola penulisan al-Tafsir al-Wadhih yang ditulis oleh Mahmud al-Hijaziy. Akan tetapi pengelompokan ayat adakalanya ditemukan jumlahnya berbeda dengan pengelompokan ayat pada al-Tafsir al-Wadhih. Metode penafsirannya dilihat pada dua aspek; sistematika penulisannya termasuk tafsir tahlili (runtut) berdasarkan mushaf Usmani, sedangkan sistem uraiannya dapat dikelompokkan dalam tafsir ijmali. Dalam uraiannya, tafsir ini menggunakan berbagai pisau analisis dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an. Meski demikian, tafsir ini lebih banyak mengikuti pola pendekatan tafsir otoritatif. Rujukannya mempertemukan dua arus tafsir, yakni tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi al-ra'yi. Uraiannya berusaha untuk tidak menampilkan perbedaan-perbedaan yang dikhawatirkan menjadi sumber pertentangan demi memelihara kesatuan umat Islam.
Kata kunci: tafsir al-Qur'an, bahasa Bugis, Tafesere Akorang Mabbasa Ogi A. Pendahuluan
Al-Qur'an senantiasa siap berdialog dengan zaman dengan segala permasalahan yang muncul. Ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup, semua permasalahan dijawab dan dijelaskan berdasarkan isyarat dan petunjuk al-Qur'an. Oleh karena itu, setelah meninggalnya Rasulullah s.a.w., masalah yang muncul, generasi sesudahnya merujuk pada penjelasan Rasulullah. Permasalahan adalah bahwa ternyata tidak semua permasalahan yang muncul itu juga terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. Permasalahan umat
∗ Dosen UIN Alaudddin Makassar yang diperbantukan pada Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) “Al-Furqan” Makassar. Kini menempuh proses penyelesaian Program Doktor (S3) pada Program Pascasarjana (PPs) UIN Alauddin Makassar konsentrasi Tafsir.
manusia terus bermunculan dengan berbagai ragamnya. Dalam keadaan demikian al-Qur'an semakin dibutuhkan untuk memberikan solusi tuntas terhadap semua persoalan yang muncul dalam bebrbagai ragamnya itu.
Permasalahan yang dihadapi umat adalah bagaimana tatacara menggali jawaban al-Qur'an untuk mendialogkannya dengan masalah yang dihadapi itu? Untuk memperoleh jawaban al-Qur'an dibutuhkan tatacara penggalian al-Qur'an. Tatacara penggalian mutiara jawaban al-Qur'an ini kemudian disebut metode tafsir. Metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan. Sistem merupakan suatu susunan yang berfungsi dan
bergerak; ilmu memiliki objek yang dapat dikaji secara sistematis.1
Tatacara penggalian al-Qur'an tersebut, setidaknya dikenal empat metode; tahlili, muqaran, ijmali, dan mawdhu’i.
Di satu sisi, masyarakat Muslim Sulawesi Selatan secara khusus memiliki masalah-masalah tersendiri. Di sisi lain, penjelasan Rasulullah s.a.w. tersebut tidak semuanya sampai kepada mereka. Berbagai kitab tafsir telah bermunculan dari generasi ke generasi hingga saat ini dan akan terus bermunculan di masa datang sepanjang peradaban manusia. Banyaknya kitab tafsir berbahasa Arab yang muncul menghiasi perjalanan intelektual para ulama tampaknya belum mengakomodir kebutuhan masyarakat Muslim. Kendala tersebut antara lain ternyata tidak semua umat Islam memahami bahasa tersebut. Mereka membutuhkan penjelasan al-Qur'an menurut bahasa yang mereka pahami.
Di Sulawesi Selatan, masyarakat Muslim yang awam mereka lebih memahami bahasa lokal mereka sendiri khususnya suku Bugis. Masyarakat Bugis yang beragama Islam lebih memahami bahasa Bugis. Dengan begitu bahasa Bugis merupakan bahasa yang paling tepat untuk digunakan dalam menjelaskan al-Qur'an. Dengan demikian, muncullah terobosan ulama di Sulawesi Selatan untuk menjelaskan al-Qur'an dalam bahasa Bugis. Sebagai wujudnya, muncul 10 jilid “Tafsir al-Munir Mabbicara Ugi” yang ditulis oleh AG. H. Daud Ismail, seorang ulama kharismatik di Soppeng. Selanjutnya terbit pula tafsir yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan dengan judul “Tafesre Akorang Mabbasa Ogi” yang terdiri dari 11 jilid. Selain itu, muncul pula berbagai karangan ulama Sulawesi Selatan baik dalam bentuk terjemah maupun dalam bentuk tafsir. Setiap karya tersebut tampil dengan berbagai gaya dan metode yang digunakan, sistematika, dan langkah penafsiran yang beragam. Apakah tafsir ini berhasil membangun kontsruksi metodologi atau hanya mengikut pada
1Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian,
pendahulunya, dan apakah ini merupakan penafsiran atau hanya saduran? Hal itu masih perlu dianalisa lebih lanjut dengan melihat produk penafsirannya dalam kaitannya dengan konteks lokal Sulawesi Selatan. B. Sistematika Penulisan dan Rujukannya
AG. H. Abd. Muin Yusuf, sebagai penulis tafsir ini, menyebutkan langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan tafsirnya sebagai berikut:
1. Penulisan tafsir ini mengikuti sistematika atau pola penulisan al-Tafsir
al-Wadhih (ﺢﺿﺍﻮﻟﺍﲑﺴﻔﺘﻟﺍ) yang disusun oleh Muhammad Mahmud Hijaziy
(ﻯﺯﺎﺠﺣ ﺩﻮﻤﳏ ﺪﻤﳏ). dalam hal ini MUI mengungkapkan: “riaokiai ayea
turu rinsusueG aeR gurut ”ﻱﺯﺎﺠﺣﺩﻮﻤﳏﺪﻤﳏ” rillEn kit tpEesern riysEeG
" ﲑﺴﻔﺘﻟﺍ ﺢﺿﺍﻮﻟﺍ
"
2. Ditulis terjemahnya diungkapkan “riaokiai bEtuwn.
3. Ditulis atau diungkapkan hubungan (munasabah) antara ayat yang
ditafsirkan dengan ayat sebelumnya. “riwokiai asisoPuGEn ayearo sibw ay mdiaoloeaGi.
4. Ditulis atau dikemukakan latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul).
“sbn nturu.
5. Penjelasan maksud ayat.” ppkjn erkuwearo ayea”2
Meskipun telah dikemukakan sistematika tersebut, namun penulis mengamati bahwa langkah-langkah penulisan tafsir tersebut dalam kenyataanya tidak hanya itu. Langkah-langkah yang ditulis dalam mukaddimah tafsirnya ternyata hanyalah sebagian dari langkah-langkah yang dikemukakan. Dengan begitu, langkah-langkah yang dikemukakan di atas hanya secara garis besarnya saja. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat teknis lainnya, misalnya penulisan basmalah di awal setiap surah (kecuali awal surah al-Tawbah atau Bara’ah), penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan surah itu, juga dilakukan namun tidak dikemukakan dalam pola teknis penulisannya. Adapun sistematika penyusunannya yang diamati dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Di awal setiap surah ditulis tema pokok yang dibicarakan pada surah itu. 2. Penulisan lafaz-lafaz ayat ditulis, dimulai dengan ayat 1 pada ayat
tersebut kemudian berlanjut ke ayat-ayat berikutnya.
3. Ayat-ayat yang telah ditulis itu diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis.
2Penjelasan tersebut dapat dibaca pada mukaddimah tafsir tersebut. Tim MUI
Sulawesi Selatan, Tafesere Akorang Mabbasa Ogi, Jilid I, (Ujung Pandang: MUI Sulawesi Selatan, 1988), pp. 1-3.
4. Dilakukan interpretasi dengan pendekatan munasabah antara ayat dengan ayat.
5. Disusul dengan penjelasan-penjelasan tentang kandungan ayat.
6. Langkah penafsiran dilakukan dengan pendekatan asbab al-nuzul (sosio-historis).
7. Dilakukan penafsiran ayat tersebut dengan ayat yang lain atau riwayat (hadis) Nabi s.a.w. disertakan dengan pendapat ulama yang dikutip dan dijadikan rujukan.
Jika disederhanakan langkah-langkah tersebut, maka pada dasarnya menggunakan pola yang sederhana. Pola penulisan ini sengaja dilakukan secara sederhana yang intinya; pertama, dituliskan beberapa ayat terlebih dahulu. Kedua, diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis ayat-ayat tersebut, dan ketiga, dijelaskan maksud dan kandungan ayat-ayat tersebut yang didasarkan pada beberapa referensi yang telah ditentukan sebelumnya. Alasan penulisan dengan pola tersebut adalah agar para pembaca khususnya kalangan awam dapat memahami dengan mudah dan sederhana. Menurut Andi Syamsul Bahri, pola tersebut merupakan usulannya kepada AG. H. Abd. Muin Yusuf dan itulah yang diterima. Gurutta’ Muin senantiasa meminta pandangan kepada Andi Syamsul Bahri karena ia
adalah orang yang menjadi murid kepercayaan AG. H. Ambo Dalle.3
Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa MUI dalam melakukan penafsiran al-Qur'an sebenarnya tidak melakukan dengan penafsiran yang keluar dari tradisi penafsir terdahulu tetapi hanya ingin mengikuti apa yang dilakukan oleh pendahulunya. Karena masih sangat menghargai khazanah klasik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika di dalam tafsir ini banyak dari kutipan-kutipan dan terjemah dari kitab tafsir rujukannya yang otoritatif.
Adapun tafsir yang menjadi sumber rujukan adalah: Pertama, Tafsir al-Maragi karya Ahmad Mustafa al-Maragi ditulis pada tahun 1361 H/1941 M. yang terdiri atas 30 juz dalam 10 jilid. Muhammad Husein al-Zahabiy mengkategorikan tafsirnya dalam deretan kitab tafsir bi al-ra’y. Dalam hal kecenderungannya dalam bidang teologi oleh sebagian ulama memasukkan dalam kategori tafsir yang bercorak rasional. Namun demikian, al-Maragi, sebagaimana diakuinya di dalam kitabnya, tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penganut suatu aliran tertentu, bahkan ia sangat menyesalkan dan mencela terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam yang disebabkan
3Andi Syamsul Bahri salah seorang anggota tim penulis tafsir berbahasa Bugis
karya tim MUI Sul-Sel, “Wawancara” di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Nilai Negeri Sembilan Malaysia tanggal 07 Agustus 2008.
adanya berbagai macam aliran dan sekte dalam teologi.4 Sementara dalam bidang hukum menganut mazhab Syafi’i dan Hanafi, bahkan ‘Ali Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, memastikannya sebagai seorang penganut mazhab Syafi’i dan beraliran Asy’ari dalam
bidang teologi.5
Kedua, Tafsir al-Thabariy ditulis oleh Ibn Jarir al-Thabariy (839-923 M/224-310 H). Karya tafsir ini dipandang sebagai rujukan utama (prominent refrence) generasi tafsir berikutnya. Tafsir al-Thabari dikenal sebagai tafsir bi al-ma’tsur yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat, baik dari Nabi, sahabat maupun dari tabi’in.
Ketiga, Tafsir Ibn Katsir, yang juga sering disebutkan Tafsir al-Qur’an ’Adzim ditulis oleh Abu Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Qurasyiy al-Dimisyqi (700-774 H), setebal delapan juz. Namanya lebih dikenal dengan nama Ibn Katsir. Tafsir ini dikategorikan tafsir bi al-ma’tsur (riwayah). Tafsir ini tampaknya menjadi rujukan utama ketika mengungkapkan asbab al-nuzul dalam satu ayat.
Keempat, Tafsir Baidhawi yang dikenal dengan Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ditulis oleh Nashir al-Din Abu al-Khair ‘Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad al-Baidhawi (691 H/1292 M). Kelima, Tafsir Mafatih al-Gaib, yang lebih populer dengan nama Tafsir Fakhr al-Din al-Razi, karya Fahkr al-Din al-Razi. Keenam, Tafsir al-Qurthubi, karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Maliki al-Qurthubi (w.671
H/1273 M).6 Tafsir ini dikenal dengan corak penafsirannya pada corak
hukum.
Ketujuh, Tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh Ta’wil yang lebih populer dengan nama Tafsir Kasysyaf karya al-Zamakhsyari (1074-1143M/467-538 H). Tafsir ini dikenal dengan corak penafsirannya kepada corak teologi Mu’tazilah dengan pendekatan ilmu kebahasan di dalam mengelaborasi ayat-ayat al-Qur'an.
Jika diperhatikan referensi tafsir yang digunakan di atas, maka dapat dinilai bahwa tafsir MUI telah mampu mengakomodir dua arus aliran tafsir, yaitu aliran tafsir yang berdasarkan pada riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) dan tafsir yang berdasarkan logika (rasional/al-ra’yu) serta dua kelompok generasi tafsir, yaitu kelompok generasi tafsir klasik yang diwakili oleh tafsir al-Thabari dan Ibn Katsir dan kelompok generasi tafsir modern yang
4Mushthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Jilid II, Juz IV (Cet. III; t.tp., Dar al-Fikr,
1974 M./1394 H.), p. 20.
5Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran: t.p,
t.t.), p. 357.
6Jalaluddin al-Suyuthi, Thabaqat al-Mufassirin, CD al-Maktabah al-Syamilah edisi
diwakili oleh tafsir al-Maragi. Dengan demikian, di dalam uraian-uraian tafsirnya menggabungkan kedua kelompok di atas, sehingga dalam memperlakukan al-Qur'an tidak kaku. Di sinilah juga MUI dalam panafsirannya—meminjam istilah Mursalim dalam disertasinya—tidak melakukan absolutisasi pemahaman terhadap al-Qur'an, tidak mengatakan inilah satu-satunmya penafsiran yang benar dan yang lainnya salah. Meskipun dalam paparannya hanya menggabung-gabungkan pendapat (penafsiran) dari sumber yang otoritatif, namun MUI tetap memiliki independensi pemahamannya, yakni kebebasan melakukan pilihan redaksi kalimat yang disesuaikan dengan kecenderungannya.
Suatu hal yang perlu dicatat dan diakui di sini adalah adanya kejujuran ilmiah yang dimiliki oleh para penulis tafsir ini, yaitu dengan menyebutkan sumber-sumber yang dikutip dan bahkan tidak pernah menyebutkan dirinya di dalam penafsirannya dengan ungkapan “menurut pendapat saya”. Hal ini pula menunjukkan sifat ketawadhu’an yang dimiliki oleh penulis tafsir ini serta tidak mengabsolutkan penafsirannya dengan suatu prinsip bahwa penafsiran-penafsiran yang lainnya memungkinkan diterima atau benar, sehingga penafsiran-penafsirannya bukanlah satu-satunya penafsiran yang benar.
C. Langkah-Langkah Penafsirannya
Sebagaimana telah dikemukakan di atas tentang latarbelakang penulisannya, maka untuk memudahkan dalam penyusunan tafsir ini dilakukan beberapa langkah yaitu: Pertama, penulisnya menjelaskan nama surah dan jumlah ayatnya. Mengawali pembahasannya MUI menjelaskan tentang tempat turunnya, surah tersebut apakah turun di Mekkah (makkiyyah) atau di Madinah (madaniyyah), kemudian menjelaskan secara singkat penamaan surahnya dan kadang-kadang menjelaskan nama-nama surat tersebut. Misalnya surat al-Fatihah dijelaskan bahwa penamaan surat ini diambil dari kata “fataha” artinya “pembuka”. Jadi al-Fatihah artinya pembuka al-Qur'an, yaitu bilamana pertama kali dibuka al-Qur'an maka surat inilah yang pertama dilihat. Dijadikannya sebagai pembuka al-Qur'an dengan tertib merupakan petunjuk dari Allah kepada nabi Muhammad s.a.w. yang disebut dengan istilah tawqifi.
Kedua, penulisnya mengawali penafsirannya, pertama-tama
mengelompokkan ayat-ayat dengan memberikan topik setiap
pengelompokan ayat-ayat yang akan ditafsirkan sesuai dengan kandungan ayatnya. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah (2): 1-5, pada kelompok ayat ini diberi judul “aoRon akoreG aEREeG tau mtEpEea (Onronna Akorannge
Enrennge tau MateppeE/Kedudukan al-Qur'an dan orang-orang mukmin)”,7 demikian selanjutnya, misalnya pada kelompok ayat 30-33. Kelompok ayat ini diberi judul ”aCjiGEn tauew aEREeG ripklEbin nsb ripCjin psuel rilino” (Ancajingenna Tauwwe EnrengngE Ripakalebbina Nasaba Ripancajinna
Passulle Rilino/Penciptaan dan penghormatan Manusia karena
diciptakannya sebagai khalifah.
Langkah ini ditempuh untuk memudahkan para pembacanya mengetahui apa yang dikandung oleh ayat tersebut dan yang paling penting adalah karena tafsir ini sasaran utamanya adalah masyarakat non-akademis atau masyarakat awam. Akan tetapi, dalam tafsir MUI ini tidak dijelaskan dasar pengelompokan itu, hanya dikemukakan bahwa pengelompokan ayat-ayat tersebut mengikuti pola penafsiran Tafsir
al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud al-Hijazi.8 Ketiga, penulisnya menulis
terjemah ayat dalam bahasa Bugis. Setelah ayat-ayatnya ditulis kemudian diterjemahkanlah ke dalam bahasa Bugis.
Keempat, mengemukakan munasabat al-ayat wa al-surat (hubungan antar ayat dan surat). Sebelum masuk kepada penjelasan atau penafsiran ayat, tafsir MUI menerangkan munâsabat al-ayat (kesesuaian atau hubungan ayat-ayat sebelumnya dengan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, sehingga memberikan suatu penjelasan yang utuh di dalam al-Qur'an. Misalnya, ketika menafsirkan ayat 6-7 surah al-Baqarah sebelumnya dijelaskan hubungan ayat sebelumnya. Dikatakan bahwa ”setelah dijelaskan oleh Allah beberapa sifat orang-orang beriman (orang bertakwa), maka pada ayat selanjutnya menjelaskan tentang sifat-sifat orang kafir. Penyebutan sifat-sifat kedua golongan ini untuk membedakannya, mana yang orang
benar (baik) dan mana orang yang salah.9 Demikian pula dengan
hubungan antar surat, misalnya ketika masuk pada pembahasan surat Ali ‘Imran (surat ke-3), maka diuraikan juga hubungannya dengan surat sebelumnya yaitu surat al-Baqarah. Di sana dijelaskan bahwa hubungan antara surat Ali Imran dengan al-Baqarah ada beberapa hal, di antaranya: a) di dalam surat al-Baqarah disebutkan mengenai penciptaan Adam, sementara di dalam surat Ali ‘Imran menyebutkan mengenai penciptaan ‘Isa as. Proses penciptaan kedua orang ini diluar dari kebiasaan manusia; b) di dalam surat al-Baqarah menguraikan panjang lebar mengenai kaum
7Tim MUI Sul-Sel, Tafesere Akorang, p. 23.
8Tim MUI Sul-Sel, Tafesere Akoaang, p. 3. Di dalam pengelompokan ayat-ayat
yang ditafsirkan tidak 100% mengikuti pola pengelompokan yang pakai oleh Muhammad Mahmud Hijazi di dalam tafsirnya, dari penelusuran penulis sebagimanan Mursalaim terhadap tafsir ada perbedaan dalam jumlah ayat-ayat yang dikelompokkan, adakalanya tafsir MUI dikurangi dari pengelompokan Mahmud Hijazi.
Yahudi, sementara di dalam Ali ‘Imran menguaikan mengenai kesalahan
yang dilakukan oleh kamu Nasrani.10
Kelima, kemudian terakhir adalah penafsiran atau penjelasan ayat. Akan tetapi di dalam penafsirannya, sebagaimana yang telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu, tidak begitu mendalam dan meluas, bahkan kadang-kadang suatu ayat tidak ditafsirkan, hanya diberikan komentar seadanya saja jika ayat tersebut tidak mengandung persoalan yang prinsipil. Hal itu dilakukan demi untuk mempermudah para pembacanya. Akan tetapi di satu sisi, karena bisa saja pembacanya masih perlu memperdalam apa yang dikandung oleh ayat tersbut dan bukan itu saja, menurut pengamatan penulis, penjelasan kadang-kadang belum jelas kandungan hukum yang terdapat dalam suatu ayat. Bisa jadi pembacanya masih bertanya-tanya tentang persoalan yang dibahas dalam ayat yang ditafsirkan. Bahkan hampir semua ayat yang berbicara tentang hukum tidak diberikan suatu kesimpulan, sehingga masih menimbulkan problem bagi masyarakat pembacanya.
Keenam, di akhir setiap juz dibuat daftar isi. Dicantumkannya daftar isi ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam pencarian setiap
pembahasan. Ketujuh, mengemukakan riwayat asbab al-nuzul ayat.11 Tafsir
MUI mengemukakan asbab al-nuzul suatu ayat, jika ayat yang ditafsirkan mempunyai asbab al-nuzul. Meski demikian, tidak semua ayat yang memiliki asbab al-nuzul ditampilkannya. Pengungkapan asbab al-nuzul dalam penafsirannya adalah memberikan kejelasan dan dasar hukum.
Jika diperhatikan langkah yang ditempuh oleh MUI tersebut maka dapat dikatakan bahwa MUI tidak melakukan pembaruan yang signifikan, melainkan lebih banyak mengikut pada tafsir yang menjadi rujukannya kecuali jumlah pengelompokan ayat terkadang ada perbedaan.
D. Analisa Metodologi Penafsiran MUI dalam Tafsir Berbahasa Bugis
Dalam konteks tafsir berbahasa Bugis yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan ini, jika dilihat dari segi pemaparan tafsirnya, sebagaimana dikemukakan oleh Shalah Fattah al-Khalidi memadukan antara atsar dan ra’yu. Hanya saja, sumber ra’yu masih lebih dominan, seperti halnya tafsir-tafsir pendahulunya, misalnya Tafsir
10Ibid., p. 461.
11Para ulama ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan bahwa asbab al-nuzul adalah suatu
peristiwa penyebab diturunkannya satu ayat atau beberapa ayat yang merupakan respon atau jawaban atau penjelasan hukumnya pada masa peristiwa sebab itu terjadi. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan dan Masyarakat, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1992), pp. 88-89.
Jalalayn, Tafsir al-Maragi dan Tafsir Departemen Agama RI.12 Tafsir tersebut unsur-unsur ra’yu-nya masih lebih dominan. Dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa bentuk penafsiran MUI adalah tafsir bi al-ra’yi.
Memang dalam satu karya tafsir, jarang ditemukan kitab tafsir yang menggunakan metode tunggal. Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari meskipun dikenal sebagai tafsir bi al-ra’y yakni dengan pendekatan sastra
dan kebahasaan tetapi terdapat juga di dalamnya sumber al-ma’tsur.13 Tafsir
al-Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli juga dikenal sebagai tafsir berbasis kebahasaan (penterjemahan), di dalamnya juga
terdapat riwayat-riwayat al-ma’tsur.14 Tafsir Nazhm Durar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar karya Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i sangat kental dengan penjelasan-penjelasan munasabah (keserasian) antarayat maupun surat dalam al-Qur'an yang murni bi al-ra’y tetapi dalam uraiannya juga tidak
meninggalkan sama sekali tafsir al-ma’tsur.15
Demikian pula keberadaan Tafsir Bugis karya MUI Sulawesi Selatan, jika ditinjau dari sumbernya, juga menggunakan dua sumber; tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’y karena mufasir bersangkutan tidak menafsirkan ayat semata-mata dengan akal melainkan didasari pula oleh sumber-sumber lainnya, misalnya riwayat para sahabat dan riwayat-riwayat tabi’in serta pendapat-pendapat para ulama. Demikian pula, perangkat-perangkat ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur'an, misalnya sebab nuzul, makiyah-madaniyah dan lainnya. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas, unsur atsar-nya juga tidak sama sekali ditinggalkan, bahkan kadang-kadang
12Menurut penelitian Ahsin Sakho Muhammad bahwa tafsir Depag dikategorikan
sebagai penggabungan kedua bentuk tafsir, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ray, yaitu menampilkan ayat-ayat yang terkait dengan ayat yang sedang dibahas, kemudian menampilkan hadis-hadis, tetapi hal itu dilakukan jika dalam penafsirannya berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan. Ahsin Sakho Muhammad, “Beberapa Aspek Revisi Tafsir Deapartemen Agama, dalam Jurnal “Studi Al-Qur’an”, Vo. I, No. 3, tahun 2006, p. 547.
13Seperti ketika menafsirkan QS. Fatihah: 7. Ia menjelaskan makna
al-maghdhub ‘alaihim yang dimaksud adalah al-yahud dengan merujuk kepada QS. al-Ma’idah: 60 dan al-dhallin adalah al-nashara dengan mengacu kepada QS. al-Ma’idah: 77 . Lihat Abu Qasim Mahmud Jarullah Zamakhsyari, Kasysyaf ‘an Haqaiq Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, tahqiq ‘Abd al-Razzaq al-Mahdi, Jilid I, Cet. I, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi dan Muassasah al-Tarikh al’Arabi, 1997 M/1417 H.), p. 12.
14Seperti ketika menafsirkan QS. al-Kahf: 65 tentang pertemuan Nabi Musa dan
Nabi Khidhr, ia merengutip hadits riwayat al-Bukhari. Lihat Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli,Tafsir, p. 248.
15Seperti ketika menafsirkan QS. al-An’am: 82, ia mengutip tafsir Nabi riwayat
dari ‘Abdullah bin Mas’ud dalam kitab-kitab hadits Bukhari, Imam Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa'i, tentang makna al-zhulm dalam ayat itu adalah al-syirk. Lihat Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Juz III, t.t., p. 79.
suatu ayat ditafsirkan yang berdasarkan dengan atsar lebih besar porsinya dibandingkan aspek logikanya. Ciri-ciri ini dapat dilihat beberapa
penjelasannya, misalnya ketika menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 37,16 Pada
ayat ini dijelaskan bahwa bagaimana Adam menerima suatu do’a dari Allah ketika keduanya merasa bersalah karena mengikuti rayuan iblis untuk memakan buah yang dilarang oleh Allah, kemudian nabi Adam menerima do’a dari Allah. Jadi kata “kalimat” di sini diartikan do’a. Sementara do’a yang dimaksud adalah sebagaimana disebutkan dalam Qs. al-’Araf (7) 23 :
ﺎﹶﻟﺎﹶﻗ
ﺎﻨﺑﺭ
ﺎﻨﻤﹶﻠﹶﻇ
ﺎﻨﺴﹸﻔﻧﹶﺃ
ﹺﺇﻭ
ﹾﻥ
ﻢﹶﻟ
ﺮﻔﻐﺗ
ﺎﻨﹶﻟ
ﺎﻨﻤﺣﺮﺗﻭ
ﻦﻧﻮﹸﻜﻨﹶﻟ
ﻦﻣ
ﻦﻳﹺﺮﺳﺎﺨﹾﻟﺍ
17Bahkan dikemukan salah satu hadis bahwa yang dibaca Adam bersama dengan isterinya setelah tergoda oleh iblis yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abduh bin Hamid dari ‘Abdullah bin Zaid, menurutnya bahwa do’a yang dibaca Adam adalah:
ﻻ
ﻪﻟﺇ
ﻻﺇ
ﺖﻧﺃ
ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ
ﻙﺪﻤﲝﻭ
ﺖﻠﻤﻋ
ﺍﺀﻮﺳ
ﺖﻤﻠﻇﻭ
ﻰﺴﻔﻧ
ﱃﺮﻔﻏﺎﻓ
ﻚﻧﺇ
ﺖﻧﺃ
ﲑﺧ
ﲔﻠﻓﺎﻐﻟﺍ
.
ﻻ
ﻪﻟﺇ
ﻻﺇ
ﺖﻧﺍ
ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ
ﻙﺪﻤﲝﻭ
ﺖﻠﻤﻋ
ﺍﺀﻮﺳ
ﺖﻤﻠﻇﻭ
ﻰﺴﻔﻧ
ﲎﲪﺭﺎﻓ
ﻚﻧﺇ
ﺖﻧﺃ
ﻢﺣﺭﺃ
ﲔﲪﺍﺮﻟﺍ
.
ﻻ
ﻪﻟﺇ
ﻻﺇ
ﺖﻧﺃ
ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ
ﻙﺪﻤﲝﻭ
ﺏﺭ
ﺖﻠﻤﻋ
ﺍﺀﻮﺳ
ﺖﻤﻠﻇﻭ
ﻰﺴﻔﻧ
ﺐﺘﻓ
ﻲﻠﻋ
ﻚﻧﺇ
ﺖﻧﺃ
ﺏﺍﻮﺘﻟﺍ
ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ
18Demikian pula ketika dijelaskan ayat 48 surat al-Baqarah bahwa pada hari akhirat nanti suatu hari dimana harta benda dan anak-anak yang dimiliki oleh manusia di dunia tidak ada lagi gunanya dan tidak ada lagi
saling tolong-menolong di antara mereka.19 Penjelasan ayat dapat dilihat
pada QS. ‘Abasa (80): 34-37.20 “Pada hari ketika manusia lari
meninggalkan saudaranya, ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya, setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya”.
Dalam konteks hermeneutika, cara ini disebut dengan internal relationship, yaitu dimana al-Qur'an memiliki makna yang terkait antara satu ayat dengan ayat lain atau yang sulit dipahami. Jadi seolah MUI ingin
16 ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﺏﺍﻮﺘﻟﺍ ﻮﻫ ﻪﻧﹺﺇ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺏﺎﺘﹶﻓ ﺕﺎﻤﻠﹶﻛ ﻪﺑﺭ ﻦﻣ ﻡﺩﺍَﺀﻰﱠﻘﹶﻠﺘﹶﻓ Artinya: Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat (do’a) dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
17Artinya: Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,
dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
18 Tim MUI Sul-Sel, Tafesere Akoaang, p. 64. 19Ibid., p. 74.
mengatakan bahwa seluruh al-Qur'an adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan yang lain, antara satu dengan yang lainnya saling menjelaskan. Penafsiran ini, dalam kajian ilmu al-Qur'an sering diistilahkan dengan munasabah.
Jadi langkah yang ditempuh oleh MUI dalam tradisi hermeneutika, adalah melakukan general survey (survei umum dan menyeluruh) sebelum menganalisa sebuah teks. Dengan general survey, seorang penelaah teks diharuskan melakukan penelaahan umum tentang komposisi suatu teks secara keseluruhan agar dapat diketahui arah pembicaraan teks. Ia bisa memastikan bahwa suatu kalimat sangat terkait dengan kalimat lain dan
tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan tujuan.21
Ide tentang internal relationship sebenarnya dalam tradisi ‘ulum al-Qur’an dikenal dengan kaidah “al-al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (ayat-ayat al-Qur'an saling manafsirkan satu dengan yang lain). Kaidah ini sudah dipakai sejak Ibn ‘Abbas kemudian diintrodusir oleh ulama tafsir generasi
berikutnya, misalnya Abu Bakr al-Naisaburi (w. 324 H.)22 dan dibuktikan
oleh sekian banyak ulama, di antaranya adalah al-Syathibi (w. 1388 M/790
H.) melalui penafsirannya terhadap surah al-Mu’minun.23 Tokoh utama
diantara para mufasir yang berbicara tentang keserasian ayat-ayat al-Qur'an adalah Ibrahim ‘Umar al-Biqa’i (808 H) dalam bukunya Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, yang terdiri dari dua puluh jilid besar berisi uraian tentang keserasian susunan ayat al-Qur'an.
Untuk melihat lebih jelas bentuk atau sumber penafsirannya, penulis memaparkan contoh-contoh penafsiran MUI berikut ini, sebagaimana di
dalam QS. al-Baqarah (2) 1-5: Pada ayat pertama QS. al-Baqarah, Tafsir
MUI menjelaskan bahwa surah ini dimulai dengan satu hal yang menakjubkan lagi mengherankan dan menggoncangkan pikiran karena susunan tiga huruf hijaiyah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penempatan huruf ini pada awal surat adalah termasuk ayat mutasyabihat, dengan demikian Allah saja yang dapat mengetahui maknanya. Jadi Allah menurunkan kepada Nabi Muhammad agar supaya mempengaruhi orang Arab yang tidak mau mendengarkan al-Qur'an dan mereka memperhatikan untuk mendengar sesuatu yang jarang didengar seperti
21James Hastings (ed. In Chief), Encyclopedia of Relegion and Eyhics, Vol. III (New
York: Scniber’s Sons), p. 394.
22Badr Din Zarkasyi, Burhan fi ‘Ulum Qur’an, Jilid I, Cet. I, (Qahirah:
al-Halabi, 1975), p. 36. Ini hanya istilah lain yang secara substantif sudah ada jauh sebelum dikenal sebelum dikenal istilah hermeneutika. Istilah itu hanya pembaharuan istilah dan bukan pembaharuan substantif.
23Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, Jilid III, Cet. II, (Beirut: Dar al-Ma’arif,
huruf hijaiyah ini yang dimulai dalam beberapa surah sehingga menjadi
peringatan bahwa al-Qur'an adalah mukjizat dari Allah.24
Pada ayat kedua, diuraikan bahwa Allah menjelaskan bahwa al-Qur'an itu hanya kepada Nabi Muhammad diturunkan. Itulah juga kitab al-Qur'an adalah yang paling sempurna yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan penghambaan kepada Allah. Di dalamnya mengandung beberapa kisah menjadi perumpamaan (‘ibrah) dan pengajaran serta beberapa aturan (hukum) yang sesuai dengan tempat dan waktu. Inilah kitab (al-Qur'an) sama sekali tidak bisa diragukan bagi orang yang mempunyai akal karena ia dari Allah bukan Muhammad yang membuat. Allah memaparkan kepada orang Arab yang pintar agar supaya membuat karangan seperti al-Qur'an tetapi mereka tidak mampu.
Setelah Allah menjelaskan sifat-sifat al-Qur'an, pada ayat ini dijelaskan bahwa al-Qur'an itu adalah pokok dari semua petunjuk bagi orang yang mau menjadikan pelindung dari siksaan Allah. Kemudian Allah menjelaskan sifat-sfat orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang meyakini yang gaib, seperi kebangkitan nanti di akhirat, surga, neraka, pembalasan, dan semua yang pernah disebutkan oleh Allah dan Nabi s.a.w. Demikian pula sifat-sifat orang yang bertakwa yaitu mendirikan shalat artinya melaksanakan dengan sempurna syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya, serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Ibn Abbas berkata bahwa yang dimaksud mendirikan shalat adalah menyempurnakan rukuk-sujud, bacaan-bacaannya dan khusyu’.
Di antara sifat orang yang bertaqwa juga yaitu senantiasa membelanjakan sebagian rezki dari Allah seperti harta benda, dibelanjakan ke jalan benar dan baik. Ayat ini mencakup juga zakat dan sedekah demikian pula semua pemberian yang baik. Demikianlah yang dijelaskan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abbas bahwa yang dimaksud pemberian (menafkahkan) adalah zakat harta.
Menurut Ibn Katsir, mengapa Allah menggandengkan shalat dan membelanjakan harta dalam ayat ini. Alasannya adalah karena shalat milik Allah (hubungan hamba dengan Tuhannya) dan mengandung makna ketauhidan, penghormatan, dan puji-pujian atas-Nya. Sementara membelanjakan harta adalah memberikan kebaikan kepada sesama. Jadi termasuk kepunyaan hamba. Oleh karena setiap pemberian yang wajib itu dan zakat masuk dalam kategori ayat ini. Orang yang bertakwa juga adalah orang-orang yang melaksanakan apa yang bawa oleh Nabi Muhammad (ajaran agama) dan apa yang dibawa oleh para Rasul sebelum Muhammad tanpa membedakan-bedakannya. Di antara sifatnya juga adalah meyakini
dengan keyakinan yang teguh tanpa keraguan adanya alam akhirat, yaitu suatu alam yang ada di dalamnya ada kebangkitan, pembalasan, surga, neraka, dan timbangan. Dinamakan alam akhirat karena ia ada setelah kehidupan di dunia.
Dalam ayat kelima, dijelaskan oleh Allah bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat orang bertakwa (yang telah disebutkan di atas) mendapatkan petunjuk dari Tuhannya, artinya mendapat cahaya, penjelasan dan pelajaran. Mereka itulah termasuk orang yang benar-benar beruntung. Mereka mendapatkan beberapa derajat yang tinggi di dalam
surga Allah.25
Dari contoh penafsiran yang dipaparkan di atas jelas bahwa tafsir MUI adalah tafsir yang menggunakan sumber logika sebagai alat analisis dan model tafsir ini dikenal dengan tafsir bi al-ra’y. Hal itu terlihat dengan penggunaan pendapat penulisnya sendiri maupun pendapat-pendapat mufasir lainnya yang dikutip, misalnya pendapat-pendapat Imam al-Razi. Meskipun dikategorikan sebagai tafsir yang lebih kepada penggunaan logika sebagai alat analisisnya namun tidak sampai kepada analisis yang detil, mendalam, dan komprehensif, yaitu dengan berbagai aspeknya (lingusitik-semantik, sosiologis dan antropogis).
Kaitannya dengan pembagian di atas, jika dikategorikan sebagai tafsir bi al-ray maka yang perlu juga dilihat adalah sejauhmana pendekatan tafsirnya dalam memperlakukan ayat-ayat al-Qur'an dengan konteks ra’yunya. Dengan demikian, dalam konteks ini, ulama membagi kepada dua pendekatan, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual.
Pendekatan tekstual atau literalis adalah suatu praktik tafsir yang lebih berorientasi pada teks dalam dirinya. Artinya, dalam memahami sebuah teks, seseorang harus melacak konteks penggunaannya pada masa di mana teks itu muncul. Jadi pendekatan tekstual itu cenderung bersifat kearaban, karena teks al-Qur'an turun pada masyarakat Arab. Ini artinya masyarakat Arab sebagai audiensnya. Dengan demikian, suatu tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual biasanya analisisnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks). Itupun, praksis yang menjadi sasarannya adalah lebih bersifat keraban sehingga pengalaman lokal (sejarah dan budaya) di mana seorang mufasir dengan audiensnya berada tidak menempati posisi yang signifikan atau bahkan sama sekali tdak mempunyai peran.
Pandangan yang sama dikemuakan oleh Imam Suprayogo, pendekatan dengan sikap tektualis adalah suatu pendekatan yang kurang memperhatikan bentuk-bentuk sastra, konteks bagian-bagian dalam
keseluruhan, struktur teks, konteks sosiologis atau sosio-historis baik sewaktu teks diturunkan maupun konteks kekinian dan dalam setting lokasi tertentu, kesempatan dan maskud teks (maqasid al-tasyri’), kondisi subjektif penulis teks, seperti pergumulan hidupnya, kejiwaannya, dan
pengalamannya yang melingkupinya sewaktu menulis teks.26
Sementara pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur'an. Pendekatan ini melihat latar belakang sosio-historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting dan ditarik ke dalam konteks pembaca (penafsir) di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Jadi sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas; dari praksis (konteks) menuju refleksi (teks).
Ketika pengkaji al-Qur'an membahas tradisi hermeneutik, Farid Esack adalah salah satu contoh dalam pendekatan ini. Hermeneutika al-Qur'an menurutnya, ditempatkan dalam ruang sosial di mana dia berada,
sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang bersifat umum.27 Menurutnya,
bahwa tidak ada tafsir dan takwil yang bebas nilai. Penafsiran mengenai al-Qur'an bagaimanapun, adalah eisegesis—memasukkan wacana asing ke
dalam al-Qur'an—sebelum exegesis mengeluarkan wacana dari al-Qur'an.28
Dalam konteks tafsir MUI, jika dilihat dari penafsiran-penafsiran yang ditampilkan termasuk tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual, karena meski tafsir ini ditulis di Indonesia daerah Sulawesi Selatan namun belum menampilkan problem keindonesiaan dan khususnya wacana pemikiran Islam, demikian juga dalam konteks budaya Bugis. Padahal, tafsir ini ditulis pada akhir 1980-an yang pada saat itu Indonesia
mengalami dinamika pemahaman keagamaan yaitu pembaharuan Islam.29
Demikian pula dalam wacana budaya lokal secara eksplisit tidak ditemukan sama sekali di dalamnya. Meski begitu, tidaklah berarti bahwa tafsir ini sama sekali tekstual namun di beberapa penafsirannya juga memasukkan penafsian-penafsiran yang rasional. Bahkan melampaui dari
26Imam Suprayogo dan Tabroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. II,
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003), p. 41.
27Louis Brenner, “Introduction” dalam Louis Brenner (ed), Muslim Identity and
Social Change in Sub-Saharian Afrika, (London: Hurs and Company, 1993), pp. 5-6.
28 Farid Esack, Qura’n Liberation and Pluralsim: An Islamic Perspective of Interrelegious
Solidarity Against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), p. 49.
29Pada tahun 1980-an di Indonesia telah masuk masa di mana wacana pemikiran
keagamaan sudah sangat intens dibicarakan, sehingga memuculkan pemikiran-pemikiran baru, misalnya wacana jender, demokratisasi, HAM, dan beberapa wacana yang lainnya. Dengan demikian, memaksa para intelektual Islam untuk memahami sumber Islam, yaitu al-Qur'an dalam konteks wacana tersebut, sehingga melahirkan arah kecenderungan baru dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an yang dikenal dengan metode tafsir maudhui.
penafsir-penafsir yang lainnya.30 Indikatornya adalah dengan menempatkannya beberapa karya tafsir yang dianggap sebagai karya tafsir yang rasional sebagai sumber rujukan, misalnya Tafsir Razi, Tafsir al-Maragi dan Tafsir al-Kasysysaf.
Secara umum, untuk menentukan metode penafsiran tafsir MUI Sulawesi Selatan jika merujuk pada beberapa metode penafsiran al-Qur'an, maka dapat dikatakan bahwa metode penafsirannya dapat di dibagi pada beberapa kriteria standar penentuan metode yang digunakannya dan terukur.
1. Metode Analitis Runtut (al-tahliliy)
Tahlili 31adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya.32 Atau suatu
sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada dua bentuk, yaitu: 1) urutan surah yang ada dalam mushaf standar; 2) mengacu pada urutan turunnya wahyu. Model pertama, telah umum dipakai para ulama tafsir, misalnya tafsir Jalalain dan beberapa tafsir kontemporer, misalnya Tafsir al-Manar, Tafsir al-Misbah, sedangkan model yang kedua tidak banyak ditempuh oleh para ulama tafsir. Al-Tafsir al-Bayani li al-Qur'an al-Karim, karya Bint al-Syathi’, Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, karya M. Quraish Shihab adalah contok tafsir yang menggunakan penyajian tafsir model kedua.
Ulama tafsir dalam menempuh model ini, mereka menguraikan kosakata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur-unsur
i’jaz dan balaghah,33 serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan
dan hukum. Penafsiran dengan metode ini juga tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzul suatu ayat, munasabah ayat. Demikian pula, dalam pembahasannya tak lepas dari pengambilan sumber penafsirannya dari riwayat-riwayat, baik dari Nabi sendiri, sahabat, tabi’in maupun dari sumber-sumber lainnya, yaitu ungkapan-ungkapan Arab pra Islam
(syair-syair Jahili) dan kisah-kisah israiliyat.34
Upaya para ulama menafsirkan al-Qur'an dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar
rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur'an.35 Menurut
Quraish Shihab, metode ini menghidangkan al-Qur'an seperti hidangan ”prasmanan”, masing-masing tamu memilih sesuai dengan selera serta mengambil kadar yang diingingkan dari meja yang telah ditata. Cara ini tentu saja membutuhkan waktu lama, karena pembahasannya lebih luas
30Analisis tafsir MUI khususnya dalam bidang teologi, yaitu mengenai sifat-sifat
dari tafsir maudhui’. Hal ini bisa saja menimbulkan kebosanan, di samping itu tidak semua orang bisa membaca semuanya.
Selanjutnya M. Quraish Shihab menambahkan, dengan metode ini para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur'an. Selain itu, metode tahlili tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
batas-batas metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufasirnya,36
bahkan menurut Baqir al-Shadr, menghasilkan pandangan-pandangan
yang parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.37
Dengan kerangka metode tafsir di atas, maka dapat dikatakan bahwa metode yang dipakai oleh tafsir karya tim MUI adalah metode tafsir tahlili. Hal itu didasarkan pada penafsiran yang dilakukan oleh MUI dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara runtut sebagaimana yang terdapat dalam mushaf. Hanya saja, metode tahlili yang digunakan di sini tidak sepenuhnya semua kriteria tafsir tahlili didefinisikan oleh Muhammad Baqir al-Shadr misalnya, dengan melihat berbagai pendekatan, misalnya pendekatan linguistiknya. Tafsir ini dari aspek pendekatan linguistiknya
31Metode ini juga dinamai oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy. Lihat
Muhammad Baqir Shadr, Tafsir wa Mawdu’iy wa Tafsir Tajzi’iy fi Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Ta’ruf li al-Mathbu’ah, 1980), p. 10.
32‘Abd Hayy Farmawi, Bidayah fi Tafsir Muwdhu’i, Cet. II, (Kairo:
al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977), p. 23.
33Al-Zamakhsyari mengungkapkan bahwa untuk memahami al-Qur'an tidak
cukup hanya menguasai ilmu ushul fiqh, ilmu kalam, ilmu sejarah, ilmu maw’idah, ilmu nahwu dan ilmu bahasa kecuali juga harus menguasai dua ilmu khusus tentang al-Qur'an yaitu ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Kedua ilmu ini kemudian dikenal dengan ilmu balagah. Lihat Abu al-Qasim Muhammad ibn ‘Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzal wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, tahqiq ‘Abd al-Razzaq al-Mahdi, Jilid I, Cet. I, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi dan Muassasah al-Tarikh al’Arabi, 1997 M/1417 H.), pp. 42-43.
34Israiliyat adalah segala sesuatu yang bersumber dari kebudayaan Yahudi atau
Nasrani, baik hal itu termaktub dalam Taurat/Injil, penafsiran-penafsirannya, maupun pendapat-pendapat orang-orang Yahudi atau Nasrani menyangkut ajaran agama mereka. Lihat Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), p. 116. Oleh karena itu, apa yang yang dikemukakan menyangkut penjelasan tambahan terhadap makna ayat-ayat al-Qur’an melalui ayat-ayat dalam Kitab Perjanjian Baru dan Lama adalah Israiliyat.
35Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Abdussabur Syahin dengan judul al-Zahirah al-Qur’aniyah, (Lebanon: Dar al-Fikr, t.t.), p. 58.
36M. Quraish Shihab, Membumikan, p. 87. 37Muhammad Baqir al-Shadr, Al-Tafsir, p. 10.
hampir tidak dijumpai. Kalau ada penjelasan dari aspek linguistiknya hanya pada kasus-kasus tertentu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat penafsiran-penafsiran yang ada dalam tafsir MUI, sejauhmana diberlakukan kriteria sebuah tafsir tahlili:
QS. al-Baqarah (2): 6-7,38 misalnya, MUI tidak menguraikan makna
kebahasaan kata-kata kafir, hanya diuraikan bahwa orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah dan mengingkari rasul-Nya termasuk kelompok orang yang kafir. Kemudian pada ayat ketujuh sedikit diuraikan
mengenai makna kata “
ﻢﺘﳋﺍ
”, menurutnya bahwa kata ini bisa bermakna“penutup dan cat”. Jadi orang kafir itu dianggap hatinya tertutup suatu cat (dosa) sehingga sama saja diberikan peringatan atau tidak, mereka tetap kafir.39
2. Metode Global (al-ijmali)
Metode ijmaliy adalah salah satu metode tafsir yang menyajikan
penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang sangat singkat dan global.40 Dengan
metode ini, penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dikehendaki oleh ayat tersebut.
Metode ini dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa dan makna al-Qur'an, sehingga dalam batas tertentu memberikan kemudahan bagi para pembacanya yang tidak punya kesempatan waktu banyak untuk belajar tafsir al-Qur'an secara detil, rinci, dan mendalam baik dari aspek tata bahasa, balagah, perubahan makna semantik dari pelbagi kata kunci yang ada dalam al-Qur'an, serta beberapa disiplin keilmuan yang terkait dengan kajian al-Qur'an, karena dengan bentuk penyajian global hanya disajikan kesimpulan dan pokok-pokok pikiran yang dirumuskan dari al-Qur'an. Di lain sisi penyajian tafsir semcam ini pada tingkat lanjutan tidak bisa memenuhi kebutuhan bagi orang yang ingin mendalami makna suatu ayat.
Islah Gusmian mengklasifikasikan gaya bahasa yang digunakan tafsir seperti ini sebagai tafsir yang bergaya bahasa populer, yaitu model gaya bahasa penulisan tafsir yang menempatkan bahasa sebagai medium 38 ﻢﻫﹺﺭﺎﺼﺑﹶﺃﻰﹶﻠﻋﻭﻢﹺﻬﻌﻤﺳﻰﹶﻠﻋﻭﻢﹺﻬﹺﺑﻮﹸﻠﹸﻗﻰﹶﻠﻋﻪﱠﻠﻟﺍﻢﺘﺧﹶﻥﻮﻨﻣﺆﻳ ﺎﹶﻟﻢﻫﺭﺬﻨﺗﻢﹶﻟﻡﹶﺃﻢﻬﺗﺭﹶﺬﻧﹶﺃﹶﺃﻢﹺﻬﻴﹶﻠﻋٌﺀﺍﻮﺳﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛﻦﻳﺬﱠﻟﺍﱠﻥﹺﺇ ﹲﺓﻭﺎﺸﻏ ﻢﻬﹶﻟﻭ ﺏﺍﹶﺬﻋ ﻢﻴﻈﻋ
39Tim MUI Sul-Sel, Tafesere Akoaang, p. 30.
komunikasi dengan karakter kebersahajaan. Kata maupun kalimat yang
digunakan dipilih yang sederhana dan mudah.41
Pada tataran tafsir MUI ini, jika dilihat dari segi uaraian-uraian yang tampilkan termasuk dalam kategori model tafsir global. Meskipun telah diuraikan di atas bahwa tafsir ini dari segi runtutan surat-suratnya termasuk tafsir tahlili, tetapi dari aspek analisisnya atau sistem uraiannya menggunakan metode global. Setelah diterjemahkan setiap kelompok ayatnya, tafsir ini menjelaskan tentang inti kandungan ayat-ayatnya tanpa memberikan penjelasan detil tentang problem kebahasaan dan sosio-historisnya, meskipun dalam tafsir ini dalam menjelaskan satu ayat kadang menampilkan asbab al-nuzul sebagai pisau analisisnya. Di dalam banyak hal, karya tafsir ini bahkan tampak berusaha menghindari perdebatan, baik yang bersifat teologis maupun bersifat fiqhiyah.
Untuk melihat model tafsir ini kaitannya dengan tafsir MUI, maka dipaparkan contoh penafsiran beberapa ayat di dalam QS. al-Baqarah (2): 21-24. Dari pemaparan penjelasan ayat tersebut, metode bisa juga dikatakan sebagai tafsir yang menggunaan metode ijmali, karena ia menggunakan penjelasan ringkas yang mengikuti alur makna ayat al-Qur'an, sehingga terkadang sulit membedakan mana ayat al-Qur'an dan mana penafsirannya. Langkah yang ditempuh dalam karya tafsir MUI yang tampak sangat sederhana, sehingga secara pragmatis cukup bermanfaat bagi orang yang ingin cepat menangkap maksud suatu ayat, tanpa harus dikacaukan dengan sejumlah analisis yang rumit.
Contoh lainnya, misalnya ketika menguraikan ayat pertama surah al-Fatihah. Tafsir ini menguraikan tentang: 1) keutamaan membaca basmalah; 2) kedudukan basmalah apakah termasuk ayat atau tidak dengan mengutip beberapa pendapat ulama. Untuk menguraikan dua masalah ini, tafsir ini hanya membutuhkan empat halaman.
Kemudian pada ayat kedua ﲔﻤﻠﻌﻟﺍ ﺏﺭ ﷲ ﺪﻤﳊﺍ hanya menjelaskan
makna tentang bagaimana seorang hamba bersyukur kepada Allah, yaitu dengan mengucapkan hamdalah tanpa menguraikan secara detil, baik dari sisi konteks kebahasaan maupun aspek lainnya. Bahkan dalam urainnya tentang ayat ini hanya membutuhkan kurang dari ½ halaman. Langkah
41Islah Gusmian memetakan gaya penulisan tafsir dengan empat bentuk: 1) gaya
bahasa penulisan kolom yaitu gaya penulisan tafsir dengan memakai kalimat yang pendek, lugas dan tegas. 2) gaya bahasa penulisan reportase yaitu dengan menggunakan kalimat yang sederhana, ilegan, komunikatif, dan lebih menekankan pada hal yang bersifat pelaporan dan bersifat human interest. 3) gaya penulisan ilmiah yaitu suatu gaya bahasa penulisan yang dalam proses komunikasinya terasa formal dan kering. Model seperti ini kebanyakan suatu karya tafsir adalah karya akademik. 4) gaya bahasa popular, seperi uraian di atas. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia…, pp. 165-170.
yang ditempuh oleh MUI dalam menguraikan ayatnya dengan sangat singkat, yaitu, sebagaimana diuraikan dalam muqaddimah tafsirnya dalam juz I, untuk memudahkan para pembacanya dalam memahami al-Qur'an dengan baik. dan yang paling penting adalah menyesuaikan kondisi masyarakat yang menjadi sasaran pembacanya, yaitu masyarakat non-akademik di mana mereka pengetahuan tentang tafsir masih sangat elementer. Berbeda misalnya dengan Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya M. Quraish Shihab misalnya, dalam kasus ayat yang sama, yaitu surah al-Fatihah, tafsir ini sangat komprehensip dalam uraiannya, bahkan karya tafsir ini membutuhkan 10 halaman lebih untuk menguraikan kalimat
basmalah, dengan detil analisis kebahasaannya.42
Dalam konteks ini pula, kalau boleh penulis memakai pemetaan
Salman Harun ketika meneliti kitab tafsir Nawawi Banten.43 Tafsir ini
tampaknya hanya melakukan tabyin yaitu suatu usaha dengan menjelaskan
makna yang diperoleh melalui dengan tafsir44 dan ta’wil.45 Tafsir menurut
Salman Harun adalah hanya dapat dilakukan oleh pemilik nash yaitu Allah, sementara ta’wil hanya bisa dilakukan oleh ulama yang memiliki kedalaman ilmu atau ilmu yang dibutuhkan dalam memahami ayat, sedangkan tabyin dapat dilakukan oleh siapa saja karena di sini hanya melakukan
pemahaman setelah mendapatkan informasi dari tafsir dan ta’wil.46
Kesimpulan ini adalah diambil dari suatu asumsi bahwa MUI dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an senantiasa merujuk kepada penafsiran-penafsiran pendahulunya dan bahkan kadang-kadang mengutip saja penafsiran dari kitab-kitab tafsir yang rujukannya. Dalam hal ini, dilakukan sebagai sifat kehati-hatian yang dimiliki penulisnya dan untuk menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan sehingga tidak akan khawatir akan masuk dalam kelompok yang dikecam oleh Nabi lantaran berani menafsirkan Qur'an, yaitu hadis Nabi: “siapa yang mengatakan tentang
42M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karîm atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), pp. 8-17.
43Salman Harun, Mutiara Surat al-Fatihah; Analisa Syekh Muhammad Nawawi Banten,
(Jakarta: CV. Kafur , 2000), p. 114.
44Tafsir yang dimakasudkan adalah upaya menemukan makna al-Qur'an yang
hanya diperoleh melalui pelaporan (al-naql) dari sumber-sumber otoritatif seperti hadis atau asbab al-nuzul.
45Ta’wil adalah upaya memahami makna al-Qur'an yang dapat diperoleh melalui
analisis kaidah-kaidah bahasa dan itu berkaitan dengan kognisi/rasio (ra’yu).
46 Salman Harun, Mutiara Surat al-Fatihah, p. 118. Hanya saja, jika Salman
berpendapat bahwa hanya Allah yang dapat menafsirkan dan menakwilkan ayat itu tampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima karena ayat al-Qur'an mengakui bahwa pihak yang dapat mengetahu takwil adalah Allah dan orang yang mendalam ilmunya. itu berarti bahwa ada yang dapat menakwilkan ayat al-Qur'an sebagaimana dapat pula menafsirkan ayat al-Qur'an. Hanya tingkat kebenarannya tentu dalam batas yang relatif.
Qur’an berdasarkan akal pikirannya dan itu benar, ia bersalah” juga hadis Nabi yang mengecam, “Siapa yang mengatakan tentang al-Qur'an berdasarkan
pikirannya, hendaklah mencari tempat duduknya di dalam neraka”.47
Pernyataan di atas didasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh penulisnya di dalam muqaddimah tafsirnya: Selanjutnya, dapat dilihat pada lampiran IV. Dari sini juga dipahami bahwa MUI dalam melakukan penafsiran dengan menggabungkan dengan atsar dan ra’y sebagai pisau analisisnya untuk menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan dalam penafsirannya.
3. Metode Perbandingan (al-Muqaran)
Sesuai dengan namanya, metode ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur'an. Penafsiran yang menggunakan metode ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir
mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka.48 Di samping itu,
penafsir membandingkan ayat-ayat yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topik yang berbeda. Atau sebaliknya, topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Demikian pula, membandingkan antara ayat-ayat al-Qur'an dengan hadis Nabi s.a.w., yang secara eksplisit berbeda dan membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur'an.49 Salah satu kitab tafsir yang termasuk kategori
tafsir muqaran adalah Qur'an and ist Interpreters, karya Mahmud Ayyub dan kitab Durrat al-Tanzil wa Gurrat al-Ta’wil karya al-Iskafi.
Tafesere Akorang Mabbasa Ogi karya tafsir MUI ini jika berdasarkan definisi di atas, secara umum bisa digolongkan sebagai tafsir yang menggunakan metode perbandingan (muqaran). Hal ini dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat yang sering diperdebatkan oleh kalangan mufasir, seringkali dikemukakan perbedaan-perbedaan tersebut dan pada umumnya tidak mentarjih pendapat mana yang benar atau kecenderungan penafsirannya ke pendapat mana, hanya sesekali mengemukakan pendapat jumhur ulama. Sebagai contoh di dalam Qs. al-Baqarah (2) 79.
Pada ayat ini, MUI mengemukakan perbedaan penafsiran ulama tafsir mengenai makna kata “wail”. Dikemukakan bahwa ada beberapa
hadis yang menjelaskan tentang kata ﻞﻳﻭ yang menunjukkan bahwa kata itu
bermakna “siksaan yang besar”.Dari contoh penafsiran di atas, tafsir MUI
47ﹺﺭﺎﻨﻟﺍﻦﻣﻩﺪﻌﹾﻘﻣﹾﺃﻮﺒﺘﻴﹾﻠﹶﻓﹾﻞﹸﻗﹶﺃﻢﹶﻟﺎﻣﻲﹶﻠﻋﹾﻞﹸﻘﻳﻦﻣﹸﻝﻮﹸﻘﻳﻢﱠﻠﺳﻭﻪﻴﹶﻠﻋﻪﱠﻠﻟﺍﻰﱠﻠﺻﻲﹺﺒﻨﻟﺍﺖﻌﻤﺳﹶﻝﺎﹶﻗﹶﺔﻤﹶﻠﺳﻦﻋ Lihat MUI
Sul-Sel, Tafesere Akoaang… Pengantar Jilid I, p. 2.
48Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Tafsir, p. 45.
49 Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka
secara umum termasuk tafsir yang menggunakan analisis perbandingan dalam uraian ayat-ayatnya. Hanya saja frekuensinya tidak sebanyak tafsir yang benar-benar menerapkan kreteria tafsir muqaran. Hal lain yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya, yaitu tidak menetapkan atau mentarjih pendapat-pendapat yang kuat atau yang diikutinya. Selain itu, hal itu bertujuan untuk menghindari potensi konflik agar menjadi pemersatu umat Islam.
4. Metode Tematik (al-Mawdu’i)
Metode tafsir mawdhu’i; yaitu menafsirkan ayat al-Qur'an dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur'an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu, jika mungkin disusun berdasarkan kronologi turunnya dengan memperhatikan sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajah seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga
mufasir dapat menyajikan tema tersebut secara utuh dan sempurna.50
Dalam kaitan ini, tampaknya MUI tidak menerapkannya. Hal ini dapat dilihat dengan tidak didahuluinya mengangkat tema-tema tertentu dalam penafsirannya. Meski demikian, penentuan tema-tema tetap dijumpai dalam tafsir ini. Penetapan tema-tema itu disebutkan ketika MUI mengelompokkan beberapa ayat dalam penulisan tafsirnya. Kelompok ayat-ayat tersebut berbicara mengenai suatu tema dan dan diberikan tema. Akan tetapi, bukanlah ini yang dimaksud sepenuhnya tafsir tematik. E. Penutup
Tafsir al-Qur'an dengan judul Tafesere Akorang Mabbasa Ogi yang ditulis oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan merupakan salah satu karya tafsir di Sulawesi Selatan yang menggunakan bahasa Bugis dengan Aksara Lontarak. Tafsir ini ditulis dalam rangka mengemban tugas MUI sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Hal ini juga bertujuan mendekatkan umat Islam kepada kitab sucinya melalui bahasa yang dapat dipahaminya.
Secara metodologis, tafsir ini dapat dilihat pada beberapa aspek; pertama, sistematika penulisannya termasuk tahlili, yaitu penulisan tafsir secara berurutan berdasarkan mushaf Usmani. Kedua, dilihat dari segi sistem uraiannya lebih dominan menggunakan metode ijmali (global) karena uraiannya terkesan sangat umum. Ketiga, meski demikian, tafsir ini juga tidak mengabaikan analisis ayat-ayat al-Qur'an dengan menampilkan perbandingan (muqaran), termasuk beberapa mufasir otoritatif yang dirujuknya. Hanya saja, MUI tidak menutup atau mengakhiri
perbandingannya dengan tarjih. Hal ini bertujuan untuk menjaga persatuan umat. Keempat, tafsir ini tidak mengangkat tema-tema kontemporer (mawdhu’i) untuk dikaji, melainkan membiarkan al-Qur'an berbicara apa adanya sehingga terkesan kurang “membumi” penafsirannya dalam konteks budaya lokal.
Tafsir al-Qur'an yang ditulis oleh MUI Sulawesi Selatan, pada bagian tertentu secara independen memilih redaksi yang dinginkannya. Akan tetapi, secara umum lebih banyak mengikut pada pendahulunya, khususnya tafsir-tafsir otoritatif yang menjadi rujukannya. Bahkan, pada bagian-bagian tertentu terkesan hanya menyadur dari rujukannya. Oleh karena itu, baik dari segi metodologi penafsirannya maupun sistematika penulisannya serta langkah-langkah penafsirannya masih sangat dipengaruhi oleh tafsir yang menjadi rujukannya. Hal ini diakuinya sendiri dalam dalam pengantar pada jilid pertama tafsirnya.
Penafsiran yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan mempertemukan dua arus tafsir; yaitu tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi al-ra’yi. Keduanya tampak saling bergantian menonjolkan uraiannya. Adakalanya penafsiran MUI lebih menonjolkan ra’yu dalam menjelaskan maksud ayat dan adakalanya menonjolkan aspek riwayat. Meskipun Mursalim dalam disertasinya mengatakan bahwa aspek ra’yu dalam tafsir ini lebih menonjol namun tidak ada standar persentase rasio perbandingan yang jelas ditunjukkan. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa tidak disebutkannya rasio perbandingannya itu berarti belum sampai pada kesimpulan yang valid. Menurut analisa penulis, pada sertiap jilid (dari jilid I sampai Jilid XII) dapat disimpulkan bahwa penafsiran MUI lebih dipengaruhi oleh rujukannya. Kalaupun penafsiran ra’yu dianggap lebih menonjol, itu hanya sampai pada penjelasan yang umum dan tidak sampai pada istimbath atau tarjih.
Daftar Pustaka
Bahri, Andi Syamsul, “Wawancara” di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Nilai Negeri Sembilan Malaysia tanggal 07. 09 Agustus 2008.
Baidan, Nasaruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Baidan, Nasaruddin, “Rekonstruksi Ilmu Tafsir”. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Madya Ilmu Tafsir, Surakarta STAIN Surakarta,
1999.
al-Biqa’i, Ibrahim bin ‘Umar, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Juz III, Tp.: tp., t.t.
Brenner, Louis, “Introduction”. dalam Louis Brenner (ed). Muslim Identity and Social Change in Sub-Saharian Afrika, London: Hurs and Company, 1993.
Djajasudarma, Fatimah, Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, Bandung: Eresco, 1993.
Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralsim: An Islamic Perspective of Interrelegious Solidarity Against Oppression, Oxford: Oneworld, 1997. al-Farmawi, ‘Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Muwdhu’i. Cet. II, Kairo:
al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi. Cet. I, Jakarta: Teraju, 2003.
Harun, Salman, Mutiara Surat al-Fatihah; Analisa Syekh Muhammad Nawawi Banten, Jakarta: CV. Kafur , 2000.
Hastings, James Hastings (ed. in chief), Encyclopedia of Relegion and Eyhics, Vol. III, New York: Scniber’s Sons, t.t.
Iyazi, Muhammad ‘Ali, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran: t.p, t.t.
Khawarizmi, Abu Qasim Muhammad ibn ‘Umar Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzal wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. tahqiq ‘Abd Razzaq Mahdi, Jilid I, Cet. I, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi dan Muassasah al-Tarikh al’Arabi, 1997 M/1417 H. Nabi, Malik bin, Le Phenomena Quranique, terj. Abdussabur Syahin
al-Maragi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maragi. Jilid II, Juz IV, Cet. III, T.tp., Dar al-Fikr, 1974 M./1394 H.
Muhammad, Ahsin Sakho, “Beberapa Aspek Revisi Tafsir Deapartemen Agama" dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vo. I, No. 3, tahun 2006. Mursalim, ”Tafsir Bahasa Bugis/Tafsir al-Qur’an al-Karim Karya Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan; Kajian terhadap Pemikiran-Pemikirannya" Disertasi, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008.
al-Shadr, Muhammad Baqir, al-Tafsir wa al-Mawdu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ta’ruf li al-Mathbu’ah, 1980. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qura’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan dan Masyarakat, Cet. I; Bandung: Mizan, 1992.
Shihab, M. Quraish,Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Cet. I, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Suprayogo, Imam dan Tabroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. II, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003.
al-Suyuthi, Jalal al-Din, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Mesir: Mathba’ah al-Azhar, 1318 H.
Suyuthi, Jalal Din dan Jalal Din Mahalli, Tafsir Qur'an al-‘Adhim/al-Jalalain, Juz I, t.d..
al-Suyuthi, Jalal al-Din, Thabaqat al-Mufassirin, CD al-Maktabah al-Syamilah edisi ke-2.
Syathibi, Abu Ishaq, Muwafaqat, Jilid III, Cet. II, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975.
Tim MUI Sulawesi Selatan, Tafesere Akorang Mabbasa Ogi. Jilid I-XI, Ujung Pandang: MUI Sulawesi Selatan, 1988.
Zamakhsyari, Abu Qasim Mahmud Jarullah, Kasysyaf ‘an Haqaiq Tanzil wa ‘Uyun Aqawil fi Wujuh Ta’wil, tahqiq oleh ‘Abd al-Razzaq al-Mahdi, Jilid I, Cet. I, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi dan Muassasah al-Tarikh al’Arabi, 1997 M/1417 H..
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Asim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an. jilid II, T.tp., Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, t.t.