PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON DAN HAMA
CABUK LILIN PADA PINUS
Oleh :
Illa Anggraeni
(Peneliti Perlindungan Hutan)
I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu kegiatan penting untuk memenuhi
berbagai fungsi produksi dan perlindungan, dan apabila direncanakan dengan baik dari hutan
tanaman dapat diperoleh pula kestabilan lingkungan. Pembangunan hutan tanaman umumnya
dilakukan dengan pola tanam satu jenis (monokultur), sehingga hutan tanaman merupakan suatu
ekologi binaan dengan budidaya pohon hutan, dan menerapkan silvikultur intensif. Kesengajaan
menyederhanakan ekosistem alam menjadi ekosistem rekayasa seperti pola pertanaman
monokultur tersebut sangatlah rentan terhadap kerusakan hutan yang disebabkan faktor biotik dan
abiotik. Upaya mengurangi dan menghindarkan hutan tanaman dari kerusakan menjadi bagian dari
substansi strategi silvikultur yang diletakkan sejak awal. Oleh karena itu tindakan perlindungan
hutan tidak dapat dianggap sebagai satu penyelesaian masalah kerusakan sesaat, atau hanya
merupakan tindakan darurat, melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi
semua sumber kerusakan yang potensial, agar kerusakan yang besar dapat dihindari.
Perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau perkembangan
suatu kerusakan hutan melalui perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik. Apabila dapat
diwujudkan maka prosedur itu akan lebih efektif daripada pengendalian langsung setelah
kerusakan yang besar terjadi. Oleh karena itu teknik pencegahan dan pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) di sektor kehutanan perlu segera mendapat perhatian khusus,
karena masalah OPT sektor kehutanan di Indonesia masih kurang mendapat perhatian
dibandingkan dengan kegiatan perlindungan hutan yang lain. Upaya ini harus ditempuh karena
masalah OPT merupakan bagian integral dari kegiatan pengelolaan hutan. Para ahli kehutanan
mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan kerusakan hutan, baik yang berasal
dari luar hutan maupun faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan hutan itu sendiri.
Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dapat terdiri dari organisme hidup (biotik) atau
faktor-faktor lingkungan fisik (abiotik). Penyebab kerusakan hutan dari organisme hidup salah satunya
adalah penyakit hutan. Penyakit hutan dapat menimbulkan kerugian antara lain mengurangi
kuantitas dan kualitas hasil dan meningkatnya biaya produksi.
Sejak tahun 2003 sampai sekarang, telah terjadi serangan penyakit karat tumor pada
tanaman sengon, di hampir seluruh areal pertanaman sengon di Pulau Jawa. Serangan penyakit
ini telah mencapai tingkat epidemik dan belum dapat teratasi. Pada tanaman muda, penyakit ini
penurunan kualitas kayu sehingga harga jual kayu sengon dapat menurun. Beberapa laporan telah
menyebutkan kerugian akibat serangan penyakit karat tumor. Dalam sebuah wawancaranya
dengan salah satu media masa, Kepala Badan Litbang Kehutanan telah menyebutkan bahwa di
Propinsi Jawa Timur sendiri, potensi kerugian akibat serangan penyakit ini dapat mencapai 24
trilyun rupiah. Kondisi ini, jika dibiarkan akan berdampak pada ketersediaan dan kesinambungan
bahan baku untuk industri kayu berbasis sengon.
Selain penyakit karat tumor pada sengon, telah terjadi serangan hama cabuk lilin (Pienus
boerneri) pada pinus. Hama ini mulai menyerang tanaman pinus di Baturaden sekitar tahun 1990,
kemudian di Bandung Utara sekitar tahun 1994. Selanjutnya diketahui menyebar luas pada tahun
2003 yang menyerang di sebagian besar hutan pinus di Jawa antara lain di Sumedang, Banyumas
Timur, Kedu selatan, Pekalongan Timur, Surakarta, Lawu Das, Pasuruan, Kediri dan Probolinggo.
II. HAMA DAN PENYAKIT HUTAN
Agar diperoleh pengertian yang sama tentang hama-penyakit hutan, maka terlebih dahulu
kita jabarkan apa yang disebut hama dan apa yang disebut penyakit.
Hama adalah semua binatang yang menimbulkan kerugian pada pohon hutan dan hasil hutan
seperti serangga, bajing, tikus, babi, rusa dan lain-lain. Tetapi kenyataan di lapangan hama yang
potensial dan eksplosif menimbulkan kerugian adalah dari golongan serangga. Sehingga
masyarakat umumnya mengidentikan hama sama dengan serangga.
Penyakit adalah adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotik /abiotik) yang mengakibatkan
aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk patologi yang khas yang
disebut gejala/tanda. Gejala/tanda inilah yang memberikan petunjuk apakah pohon di dalam hutan
sehat atau sakit.
Ada empat faktor utama yang memungkinkan hama dan penyakit dapat berkembang
dengan baik, yaitu adanya tanaman inang (tanaman hutan) yang rentan dalam jumlah cukup,
adanya hama dan patogen yang ganas, kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan
hama dan penyakit tersebut, dan manusia yang ikut mendukung timbul atau tidaknya suatu
dari akar, batang, sampai pada daun. Perlindungan terhadap hama-penyakit akan mulai dirasakan
pentingnya apabila sudah terjadi serangan yang sangat hebat (outbreak/eksplosif/wabah), yang
sebenarnya keberadaan hama-penyakit tersebut telah lama, tetapi karena akibatnya belum
dirasakan atau masih sedikit jadi tidak dipedulikannya atau dibiarkan saja. Akibatnya lagi
hama-penyakit makin merajalela sampai akhirnya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Penyakit karat tumor pada sengon
Penyebab penyakit karat tumor pada sengon ialah jenis fungi Uromycladium tepperianum
(Sacc.) McAlpine. Jenis fungi karat umumnya masuk dalam divisi Basidiomycotina, kelas
Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Seperti patogen karat yang lain maka
Uromycladium juga bersifat parasit obligat yang hanya dapat hidup apabila memarasit jaringan
hidup. Pada U. tepperianum, spora yang memegang peran penting dalam pembiakan dan
pemencarannya adalah teliospora yang dibentuk dalam jumlah besar.
Fungi karat ini hanya memerlukan satu inang saja yaitu tanaman sengon sehingga fungi ini daur
hidupnya pendek (mycrocyclus). U. tepperianum yang berdaur pendek adalah sebagai berikut :
Penularan penyakit dapat terjadi melalui penyebaran teliospora dengan bantuan air (embun),
angin, serangga dan manusia. Untuk perkecambahan teliospora diperlukan air, dan lamanya
waktu berkecambah sangat tergantung pada suhu dan kondisi berkabut/gelap juga
mempercepat perkecambahan teliospora. Teliospora sendiri tidak dapat menginfeksi inang.
Teliospora harus berkecambah membentuk basidiospora, yang terbentuk kurang lebih 10 jam
setelah inokulasi. Basidiospora inilah yang dapat secara langsung melakukan penetrasi
menembus epidermis dan membentuk hifa di dalam ataupun di antara sel-sel epidermis, xilem
Telia
(Menghasilkan teliospora)
Basidiospora (menginfeksi tanaman) Piknia
dan floem. Setelah tujuh hari inokulasi, hifa vegetatif karat tumor ini berkembang menjadi piknia
sebagai pustul coklat yang memecah epidermis. Infeksi dapat terjadi pada biji, semai maupun
tanaman dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk daun, daun, tangkai daun,
cabang, batang, bunga dan biji dapat terinfeksi oleh fungi patogen tersebut. Pada semai sengon,
batanglah yang merupakan bagian tanaman yang paling rentan terhadap serangan fungi karat.
Fungi karat masih bisa tetap hidup di musim kemarau/kering pada bagian tanaman yang
terserang. Pada waktu mulai musim hujan serangan akan bertambah dan terus tersebar selama
musim hujan.
Pengendalian Penyakit Karat Tumor Secara Kimiawi :
Uji coba pengendalian karat tumor telah dilakukan di beberapa tempat, diantaranya di Kediri dan
Ciamis. Di Kediri uji coba dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2008, pada
tegakan sengon umur 1 tahun dengan jarak tanam 2 m x 3 m yang terletak di petak 110a. Petak
percobaan masuk ke dalam wilayah Resor Polisi Hutan (RPH) Pandantoyo, Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Pare, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri, Perum Perhutani
Unit II Jawa Timur. Secara administratif RPH Pandantoyo berada di Kecamatan Ngancar,
Kabupaten Kediri. Lokasi penelitian ini terletak pada ketinggian 381 meter – 561 meter di atas
permukaan laut, bertopografi datar sampai bergelombang dengan kimiringan di bawah 10
persen. Jenis tanah regosol vulkan dengan tekstur berpasir dan lempung berdebu. Struktur
tanah lepas, remah dan mudah tererosi. Iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk
tipe C dengan curah hujan rata-rata 2000 – 2200 mm per tahun. Kelembaban berkisar antara
56%–82,5% dengan suhu minimum 20º C dan suhu maksimum 32º C.
Di Ciamis, percobaan pengendalian penyakit karat tumor pada sengon dilaksanakan pada bulan
April sampai dengan bulan Oktober 2009. Percobaan dilakukan di kebun sengon milik rakyat di
Desa Sandingtaman Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Kecamatan Panjalu
berada di wilayah Ciamis bagian Utara yang secara geografis berada pada posisi 8◦ Lintang
Utara dan 11◦ lintang Selatan, di bawah kaki Gunung Sawal. Tinggi tempat 750 – 1000 m di atas
permukaan laut, dengan kelerangan 45%. Jenis tanah podsolik merah kuning dan sebagian
Dari hasil uji coba tersebut maka pengendalian karat tumor dapat menggunakan bahan-bahan
sebagai berikut:
kapur : belerang (1:1)
belerang : garam (10:1)
kapur : garam (10:1)
Pengendalian karat tumor dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Setiap tanaman (pohon uji) dibersihkan dari karat tumor dengan cara pemangkasan (wiwil),
2. Karat tumor dikumpulkan dan dimasukkan dalam lubang kemudian lubang ditutup.
3. Pemberian perlakuan di atas dengan cara melabur pada seluruh permukaan batang utama
dan penyemprotan pada seluruh permukaan pohon.
4. Perlakuan dilakukan setiap dua minggu sekali, penghitungan jumlah karat tumor pada setiap
pohon dilakukan satu bulan sekali.
Cabuk lilin
Hama ini menyerang pohon pinus muda dan tua. Gejala serangan dapat terlihat jelas pada
bagian ranting yang terserang tertutup lilin yang berwarna putih seperti tepung akibat dari
benang-benang lilin yang dikeluarkan oleh serangga tersebut untuk melindungi dirinya yang
lemah. Akibat serangan hama ini beberapa tanaman muda mengalami kematian atau
pertumbuhannya terhambat. Tanaman tahun 2000 yang berkali-kali diserang kutu lilin tingginya
sekitar 0,5 – 1 m, padahal tanaman yang sehat tingginya sekitar 3 – 4 m. Tanaman tua yang
diserang hama ini produksi getahnya menurun. Serangan ini polifag, terdapat di daerah tropis
dan sub tropis. Di Jawa umumnya menyerang tanaman di dataran tinggi. Penyebarannya
dilakukan oleh angin, hujan, binatang lain seperti semut gramang. Populasinya tinggi pada
musim kemarau terutama jika kelembaban pada siang hari dibawah 75 % dan berlangsung terus
selama 3 - 4 bulan dengan curah hujan kurang dari 10 hari / bulan.
Pengendalian hama cabuk lilin yang menyerang tanaman pinus muda agar dilakukan pada
waktu serangan hama masih ringan / mulai terjadi serangan agar dapat sembuh kembali dengan
cepat. Pengendalian menggunakan pestisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis (4
gram/liter air) yang dicampur dengan cuka kayu (40 cc/liter air). Perbandingan pestisida hayati
B. thuringiensis : cuka kayu bila dicampur dengan air 10 liter adalah = 20% : 80% atau 8 gram
B. thuringiensis + 320 cc cuka kayu. Perlakuan diulang setiap 1 – 2 bulan sekali dengan cara
Akibat serangan hama cabuk lilin pada pohon pinus di KPH Bandung Utara (Foto koleksi S.E. Intari dan Illa Anggraeni)
III. PENGENDALIAN HAMA/PENYAKIT SECARA UMUM
Maksud dari pengendalian hama/ penyakit adalah untuk memperbaiki kuantitas dan
kualitas hasil produksi tanaman yang diusahakan. Sedangkan tujuan dari pengendalian
hama/penyakit adalah untuk mencegah terjadinya kerugian ekonomis serta menaikkan nilai
produksi dari tanaman yang diusahakan. Jelaslah maksud dan tujuan dari pengendalian hama/
penyakit adalah untuk mempertahankan tingkat produksi yang tinggi, mantap dan
berkesinambungan, tetapi secara ekologis dan ekonomis dapat dipertanggungjawabkan, bahkan
sekarang ini dikaitkan dengan kelestarian lingkungan. Jadi hama/penyakit haruslah ditekan atau
dikurangi dan ditiadakan sampai di bawah ambang ekonomis. Usaha pengendalian dilakukan
apabila biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan
hama/penyakit. Dalam prakteknya pengendalian hama/penyakit dapat berupa :
- Pencegahan (preventive) artinya kita melakukan suatu tindakan atau usaha agar tanaman yang masih sehat terhindar dari hama/penyakit (sebelum adanya hama dan penyakit).
- Pemberantasan (control) artinya kita mengusahakan atau melakukan tindakan-tindakan terhadap tanaman yang sudah terserang hama/penyakit, dengan harapan agar tanaman
itu akan sembuh dan normal kembali.
Hadi (1990) mengatakan bahwa konsepsi dasar perlindungan hutan dari serangan
hama/penyakit sedikit berbeda dengan yang biasa digunakan untuk perlindungan tanaman
a. Hasil utama yang dipanen dari hutan adalah kayu, meskipun ada beberapa perkecualian
seperti biji pada hutan tengkawang (Shorea stenoptera), dan hasil hutan non-kayu seperti
rotan, bahan obat-obatan yang terkandung dalam rhizom, daun dan sebagainya.
b. Di dalam hutan, jenis-jenis pohon yang tumbuh tidak dikelola secara intensif seperti pada
pertanaman pertanian, walau di beberapa negara pengelolaan hutan tanaman mulai
dilakukan secara intensif, namun demikian pada umumnya masih belum seintensif pada
pertanaman pertanian.
c. Bagian pohon yang dikeluarkan dari hutan adalah batangnya apabila hutan tersebut
adalah hutan produksi kayu pertukangan, dan batang beserta seluruh percabangannya
apabila untuk produksi serat dan energi.
d. Daur hutan dapat mencapai puluhan tahun kecuali untuk produksi serat dan produksi
energi, yang lebih pendek.
e. Hutan dapat mempunyai fungsi lain disamping untuk produksi, antara lain untuk
melindungi tanah dari penghanyutan oleh air hujan, tata air, perlindungan marga satwa
dan sebagainya.
f. Banyak hutan terletak di tempat-tempat yang terpencil, tidak mudah dicapai, dan tidak
banyak dihuni manusia yang dapat membatasi kemungkinan untuk pengelolaannya secara
intensif termasuk dalam upaya perlindungannya terhadap gangguan hama/penyakit.
g. Siklus hidup jenis-jenis pohon yang biasanya panjang, menyebabkan pemuliaan dalam
upaya untuk memperoleh varietas unggul yang resisten terhadap hama/penyakit, menjadi
lebih sulit dan memerlukan program jangka panjang.
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan selama ini telah berhasil melakukan pengendalian
hama dan penyakit pada sengon, jabon dan gmelina antara lain sebagai berikut :
HAMA PENGENDALIAN
1. Eurema sp. (kupu kuning) - insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis
dengan dosis 0,5 – 2 gram per liter air dengan cara semprot langsung pada tubuh larva.
- parasitoid Apanteles sp. (Hymenoptera).
- pestisida nabati dari daun suren yang direndam 24 jam kemudian diperas, air perasan tersebut disemprotkan.
2. Boktor/ Xystrocera festiva
(penggerek batang sengon),
- insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis
dengan dosis 0,5 – 2 gram per liter air dengan cara semprot langsung pada tubuh larva.
3. Ulat kantong - jamur Beauveria bassiana diperoleh dengan cara memblender 200 gram inokulum cendawan kemudian ditambahkan 8 liter air (25gram/liter air). - insektisida nabati perasan umbi gadung 125 gr/l air,
perasan biji mahoni 150 gr/l air dengan cara semprot, bacok oles dan infus
- Insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis - Insektisida sistemik berbahan aktif imidakloprid
Confidor), metamidofos + boron/boraks (1 : 10) 4. Uret - Menggunakan jamur entomopatogenik Metarrhizium
- Insektisida berbahan aktif fipronil (Reagent) 5. Ulat grayak - Insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis,
BPMC (Baycarp) dan imidakloprid
6. Ulat pemakan daun - Insektisida berbahan aktif BPMC dan imidakloprid 7.. Belalang - Insektisida berbahan aktif BPMC dan imidakloprid 8. Kutu putih - Menggunakan cuka kayu + Bacillus thuringiensis,
9. Hama kepik renda - Insektisida berbahan aktiff imidakloprid
PENYAKIT PENGENDALIAN dahulu, sedangkan bahan untuk labur lebih kental) Sebelum di lakukan penyemprotan dan pelaburan terlebih dahulu menghilangkan puru pada tanaman sengon yang terserang, puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah puru dihilangkan batang dilabur dan disemprot 2. Penyakit Bercak daun - Menggunakan cuka kayu 40cc per liter air
- Fungisida berbahan aktif benomil dan berbahan aktif belerang
3. Penyakit busuk akar, rebah kecambah dan layu
- Menggunakan fungisida antagonis Trichoderma dan
Gliocladium
RESEP PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SECARA UMUM (Kardinan, 1999; Pracaya, 2008)
I. PENGENDALIAN HAMA
1. INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF Bacillus thuringiensis (Nama dagang Bactospeine) 1 g insektisida + 1 liter air, diaduk dengan rata, masukan dalam alat semprot. Cairan harus mengenai larva/ulat.
2. FUNGI ENTOMOPATOGENIK Beauveria bassiana
25 g biakan masal fungi (media jagung) ditumbuk/diblender tambahkan 1 liter air, diaduk hingga rata. Disaring kemudian dimasukkan dalam alat semprot. Cairan harus mengenai larva/ulat, bila ulat berada dalam lobang maka digunakan alat suntik.
3. INSEKTISIDA NABATI
A. Daun mimba 4 ons, lengkuas 3 ons, serai 3 ons dan deterjen/sabun colek seujung sendok (1 g). Daun mimba + lengkuas + serai ditumbuk halus kemudian ditambahkan 1 liter air biarkan semalam (24 jam). Setelah semalam direndam tambahkan 3 liter air dan sabun colek (diaduk), disaring dan siap disemprotkan.
B. Daun mindi sebanyak 500 gram ditumbuk halus kemudian tambahkan 5 liter air, direndam semalam (24 jam). Setelah direndam tambahkan sabun 1 g, disaring dan siap untuk disemprotkan.
C. Bawang putih 2 siung ditumbuk halus tambahkan merica halus 2 sendok kemudian tambahkan 4 liter air dan sabun 1 g, disaring dan siap untuk disemprotkan (kumbang)
D. Rawit 24 buah ditumbuk halus, masukkan 120 g kapur dan 120 g garam tambahkan 16 liter air dan diaduk hingga merata. Campuran didiamkan selama 2 jam, kemudian disaring dan siap untuk disemprotkan (semut, kutu, siput, ulat, virus).
E. Daun pepaya 1 kg ditumbuk halus tambahkan 10 liter air biarkan 2 jam. Setelah dua jam tambahkan sabun 1 gr diaduk hingga merata, disaring dan siap untuk disemprotkan.
F. Abu ½ cangkir + kapur ½ cangkir + 4 liter air, diaduk hingga rata dan dibiarkan 2 jam. Apabila digunakan langsung pada perakaran tidak perlu disaring, dilakukan penyaringan apabila perlakuannya disemprot (uret dan kumbang).
G. Daun bintaro 1 kg ditumbuk halus ditambah 5 liter air, direndam semalam tambahkan sabun, disaring dan siap untuk digunakan.
II. PENGENDALIAN PENYAKIT
A. Karat tumor : 1 kg belerang + 1 kg kapur + 1 ons garam, ditambah 5 – 10 liter air diaduk hingga rata. Larutan untuk labur lebih pekat, sedangkan larutan untuk semprot lebih encer dan harus disaring terlebih dahulu.
B. Fungi antagonis Trichoderma sp dan Gliocladium sp. yang dibiakan massal pada campuran = sekam : dedak : pupuk kandang : kompos : pasir = 2 : 2 : 1 : 1 : 1 (barangnya dah jadi, diperagakan saja karena harus di laboratorium ada sterilisasi, isolasi dll.). Biakan massal dicampurkan pada media semai untuk mencegah penyakit akar.
C. Cuka kayu : 20 – 40 cc yang dicampur dengan 1 liter air, disemprotkan pada daun yang terkena penyakit bercak daun.
D. Jahe 1 0ns + Lengkuas 1 ons + labu siam 1 0ns ditumbuk halus/diparut airnya diperas, setiap 20 cc air perasan tadi dicampur 1 liter air diaduk dan disaring kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang cendawan.
JENIS TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PESTISIDA NABATI 1. Babadotan (A. conyzoides)
2. Serai (A. nardus)
3. Sirsak (Annona muricata) 4. Suren (T. sureni)
5. Gadung (Dioscorea hispida) 6. Tuba (Derris eliptica) 7. Mimba (Azadirachta indica) 8. Mindi (Melia azedarach) 9. Tembakau (Nicotiana tabacum) 10.Jarak (Ricinus communis L.) 11. Kecubung (Datura patula)
PENUTUP
Sebelum melakukan langkah pengendalian terhadap hama dan penyakit terlebih dahulu
melakukan identifikasi jenis hama dan jenis penyebab penyakit, mengetahui ekobiologi hama dan
jenis penyebab penyakit, barulah kemudian menetapkan strategi pengendaliannya.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat berguna dan sebagai pedoman bagi para pengelola hutan.
Bila ada yang kurang jelas atau apapun masalah hama dan penyakit dapat menghubungi Illa
Anggraeni (08129980410) E-mail : illa_anggraeni@yahoo.co.id, Neo Endra Lelana, Wida Darwiati,
Ujang W. D. di Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Academic Press, Inc. London.
Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.
Anggraeni, I. dan E. Santoso. 2003. Penyakit karat puru pada sengon (paraserianthes falcataria) di Pulau Seram. Buletin Penelitian Hutan No. 636/2003. Edisi khusus, Mycorrhiza. Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.
Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011.Penyakit Karat Tumor Pada Sengon. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan> Jakarta.
Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.
Hadi, S. 1986. Pengelolaan HTI dengan penekanan pada masalah upaya perlindungan terhadap penyakit. Prosiding Seminar Nasional Fmipa-UI. Jakarta.
Kalshoven,L.G.E. 1953. Important out breaks of insect pest in the forest of Indonesia. Tran(X/TH.Intern.Congress.Entomol).
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati : Ramuan dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Notoatmodjo,S.1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera festiva Pascoe pada tegakan Albizia falcata.Laporan LLPH.No.92.
Old, K. 2002. Misi penelitian penyakit madre cacao. Laporan untuk klien, No. 1119, Juni 2002. Klien : Dinas Ppembangunan Internasional Australia.
Pracaya, 2008. Hama dan Penyakit Tanaman: edisi revisi. Penerbit Swadaya, Jakarta
Rahayu, S. 1999. Penyakit tanaman hutan di Indonesia (Gejala, penyebab, dan teknik pengendaliannya). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeratmo, F.G. 1979. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan. Fahutan IPB. Bogor.
Suharti,M. Ragil B. Irianto dan Sugeng S. 1994. Perilaku Hama Penggerek Batang Sengon dan Teknik Pengendalian Secara Terpadu. Bull. Pen Hutan.No.558
Suharti, M., Irnayuli R. Sitepu, Wida Darwiati dan Illa Anggraeni. 2000. Uji Efikasi Beberapa Agens Pengendali Biologi, Nabati dan Kimia terhadap Hama Ulat Kantong. Buletin Penelitian Hutan No. 624/2000. Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.
Suharti, M. 2002. Beberapa Hama dan Penyakit pada Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Teknik Pengendaliannya. Buletin Penelitian Hutan No. 632/2002. Puslitbang Hutan dan KA. Bogor.