• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Tradisional untuk menentukan jenis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengetahuan Tradisional untuk menentukan jenis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pengetahuan Tradisional untuk menentukan Musim Tanam yang Berubah Studi kasus : Forum Iklim Lintas Aktor di 8 Desa di Kabupaten Kupang dan Timor

Tengah Selatan Provinsi NTT1

Torry Kuswardono2

Jan Pieter Dj Windy3

Abstrak

Salah satu topik utama dalam perubahan iklim untuk kelompok petani adalah perubahan pola cuaca terutama sekali terkait dengan menetapkan awal musim hujan. Bagi petani-petani lahan kering, kemampuan menetapkan awal musim hujan adalah hal yang sangat vital. Kegagalan menduga awal musim hujan bisa berakibat pada gagal tanam yang berujung pula pada gagal panen dan kerentanan pangan.

Petani-petani tradisional lahan kering yang musim tanamnya sangat tergantung pada musim penghujan. Umumnya hanya menanam satu kali dalam satu tahun, terutama sekali untuk jenis tanaman pangan utama seperti jagung dan padi ladang. Biasanya, petani tradisional memiliki kemampuan menduga awal musim hujan dan perkiraan intensitas hujan, bukan hanya untuk menentukan kapan harus menanam, tetapi jenis tanaman pangn apa yang sebaiknya di tanam sesuai dengan perkiraan intensitas hujan.

Dalam wacana perubahan iklim, di banyak tulisan, film dokumenter, maupun juga keterangan-keterangan dari pihak petani di berbagai belahan dunia, disebutkan bahwa tanda-tanda alam tidak dapat lagi diandalkan untuk menentukan waktu tanam ataupun jenis tanaman pangan. Hal ini berbeda dengan temuan program Partners for Resilience, kerja sama Perkumpulan Pikul dan Care International Indonesia.

Melalui kegiatan forum iklim lintas aktor (FILA) yang merupakan forum diskusi iklim antara petani, Badan Meteorologi Klimat dan Geofisika, Badan Penyuluh Pertanian Perkebunan Perikanan dan Kehutanan (BP4K), serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 8 desa di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan, ditemukan bahwa pengetahuan tradisional petani Timor dalam menentukan awal musim hujan maupun intensitas hujan diyakini masih bermanfaat bahkan ketika sedang terjadi perubahan iklim. Kegiatan FILA sendiri baru berlangsung selama 1 tahun, dan menemukan hal-hal menarik terkait dengan pengetahuan tradisional dan iklim.

Makalah ini menjelaskan temuan-temuan dan hasil-hasil diskusi dalam FILA yang mengungkap pengalaman positif pemanfaatan pengetahuan tradisional oleh petani dalam menentukan waktu tanam. Pengalaman dalam FILA diharapkan dapat berguna untuk mengembangkan ketahanan petani tradisional dalam situasi iklim yang sedang berubah. Dalam diskusi dan praktek FILA, disimpulkan bahwa tidak selamanya pengetahuan tradisional tidak lagi bermanfaat. Sebaliknya, bagi petani tradisional pengetahuan saintifik yang dimiliki BMKG dapat berkontribusi pada penguatan pengetahuan tradisional terkait dengan pendugaan waktu tanam.

Kata kunci: Adaptasi Perubahan Iklim, pengetahuan tradisional, Timor, waktu tanam

1 Disampaikan pada Workshop Praktek Adaptasi Masyarakat, diselenggarakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim tanggal 23-24 Oktober 2013

(2)

Pendahuluan

Salah satu topik utama dalam perubahan iklim untuk kelompok petani adalah perubahan pola cuaca terutama sekali terkait dengan menetapkan awal musim hujan. Bagi petani-petani lahan kering, kemampuan menetapkan awal musim hujan adalah hal yang sangat vital. Kegagalan menduga awal musim hujan bisa berakibat pada gagal tanam yang berujung pula pada gagal panen dan kerentanan pangan

Kepulauan Nusa Tenggara Timur sudah sejak lama dikenal sebagai propinsi yang memiliki kerentanan tinggi. Dalam 10 tahun terakhir, hampir setiap tahun media meliput kejadian gagal tanam, gagal panen, kekeringan, dan juga kerusakan panen akibat banjir, puting beliung, maupun bencana lain terkait iklim. Menurut data BNPB, tercatat 8 kali kejadian kekeringan di seluruh Timor Barat sepanjang periode 2003-2013. Menurut temuan baseline program Partners for Resilience Pikul dan Care International Indonesia4,

sepanjang sejak tahun 2006 – 2010 sejumlah desa di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, terutama di pesisir selatan didera gagal tanam yang berujung pada gagal panen.

Warga desa kebanyakan, menceritakan peristiwa gagal tanam disebabkan oleh musim hujan yang tidak lagi dapat diduga kapan akan terjadi. Kebanyakan warga desa tertipu oleh hujan awal yang ternyata bukan awal musim hujan. Hujan sempat terjadi beberapa kali pada bulan Oktober – November di tahun 2006 hingga tahun 2009, namun ternyata setelah itu kering beberapa minggu hingga musim hujan sesungguhnya.

Pada kondisi demikian, kebanyakan petani seringkali terburu-buru menanam tanaman pangan utama (jagung) padahal musim hujan belum terjadi. Akibatnya, pada masa perbenihan, tanaman muda mati karena akibat kekurangan air.

Petani lahan kering di Timor Barat, umumnya hanya menanam tanaman pangan satu kali satu tahun. Kegagalan tanam, berakibat pada kekurangan cadangan pangan yang biasanya hanya cukup untuk 1 tahun. Implikasi dari peristiwa ini cukup fatal yaitu rawan pangan, migrasi, dan pada kelompok-kelompok balita berujung pada gizi kurang dan gizi buruk.

Di sisi yang lain, sejumlah petani justru terlambat melakukan penanaman akibat salah menduga awal musim hujan. Pola hujan awal yang terkadang menipu, membuat petani tidak segera menyiapkan lahan pertanian. Saat musim hujan datang, lahan belum sungguh-sungguh siap, dan masa perbenihan pun terlewati.

4 Program Partners for Resilience adalah sebuah program global yang diprakarsai oleh konsorsium LSM-LSM Belanda yaitu Cordaid, CARE Netherlands, Wetlands International, dan Netherlands Red-Cross di 9 negara. Di Indonesia, program ini bermitra antara lain dengan CARE International Indonesia dan Perkumpulan Pikul. Program ini dimulai pada tahun 2011 yang bertujuan memperkuat

(3)

Berangkat dari peristiwa-peristiwa gagal tanam akibat kesalahan menduga musim hujan, program Partners for Resilience mencoba mengajak petani-petani lahan kering di 8 desa di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan untuk belajar dan berlatih bersama menyiapkan diri lewat informasi iklim agar petani tidak salah menentukan kapan waktu tanam dimulai.

Proses Forum Iklim Lintas Aktor

Forum Iklim Lintas Aktor (FILA) merupakan sebuah forum belajar yang bertugas mengembangkan pengetahuan bersama tentang situasi cuaca dan klimatik. Forum ini merupakan media pertukaran informasi antar aktor-aktor yang memiliki pengetahuan menerus atas iklim dan cuaca serta hal-hal yang terkait. Konstituen utama lintas aktor adalah mereka yang memiliki pengetahuan atas situasi iklim dan cuaca, mereka yang kesehariannya kerjanya terkait dengan cuaca maupun pengamat, serta mereka yang memiliki keahlian mendiseminasi informasi terkait iklim yang dapat digunakan oleh petani untuk memutuskan waktu tanam dan jenis tanaman pada satu musim tanam.

Mengingat salah satu ukuran dari FILA adalah akurasi informasi dan rekomendasi, maka proses ini dimulai dengan melakukan assessment keahlian dan informasi dari berbagai berbagai pihak tentang trend cuaca dan klimatik dari berbagai bidang serta dampaknya. Salah satu kelompok aktor yang paling penting adalah kelompok petani yang masuk pada kriteria, pimpinan kelompok tani atau orang yang mampu dipercayai dan dapat mempengaruhi orang lain baik laki-laki maupun perempuan. Yang kedua, adalah petani yang memiliki pengetahuan membaca tanda-tanda alam dan mempraktekkan pengetahuan tersebut dalam kegiatannya sebagai petani, baik laki-laki maupun perempuan.

Pimpinan petani merupakan aktor penting karena mereka adalah para penghubung sekaligus agen yang dapat menjadi corong maupun simpul kelompok-kelompok tani. Sedangkan para petani yang masih memegang pengetahuan tradisional merupakan kelompok yang menurut masyarakat tani paling jarang mengalami gagal panen atau gagal tanam karena mengikuti secara utuh tanda-tanda alam yang biasa digunakan untuk menduga awal musim hujan, karakteristik musim hujan, dan pilihan jenis tanaman. Total jumlah petani yang terlibat sekitar 40 orang dari 8 desa di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan.

Dari sisi keahlian dan kecakapan teknis serta dalam rangka membangun kerja sama dengan pihak pemerintah, secara sengaja, FILA melibatkan ahli dari stasiun klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Pihak lain yang juga dilibatkan adalah Badan Penyuluh Pertanian Perkebunan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) yang merupakan ujung tombak pemberdayaan petani dari sisi teknis.

(4)

Pertemuan FILA, dilakukan secara periodik dengan pemberitahuan untuk jangka waktu yang cukup sehingga para ahli dapat menyiapkan bahan yang memadai. Hingga saat ini sudah dilakukan 5 kali pertemuan, pada 2 kali musim tanam, yaitu tahun 2012-2013 dan 2013-2014. Pada setiap kali proses pertemuan FILA, para pihak yaitu; BMKG, BP4K, dan petani melakukan sharing pengetahuan atas bacaan iklim 3 – 6 bulanan dan strategi-strategi yang dapat menjadi pilihan petani dalam mengantisipasi musim tanam berikutnya.

Dalam pertemuan FILA, BMKG mensosialisasikan proyeksi musim hujan, karakteristik curah hujan, serta potensi cuaca ekstrem pada para petani. Sebaliknya petani, terutama mereka yang masih menguasai pengetahuan tradisional membagikan bacaan mereka atas tanda-tanda alam yang biasa digunakan, kapan biasanya muncul, dan dimana biasanya tanda-tanda tersebut muncul. Selain itu BP4K memberikan masukan dan mendiskusikan strategi-strategi praktis mengantisipasi musim serta mempertahankan produksi pada cuaca ekstrem.

Pengetahuan Masyarakat Lokal dalam menduga iklim

Pada dasarnya, pengetahuan masyarakat lokal selalu didasarkan pada ekosistem, iklim serta peristiwa-peristiwa bencana maupun musibah yang terkait erat pada hubungan alam dan manusia. Dengan pemahaman ini, kemudian terjadi interaksi antara manusia dengan Uis Neno dan Uis Pah, yang melahirkan berbagai kearifan serta pengetahuan lokal dalam menghadapi kondisi-kondisi sulit/ ancaman-ancaman yang ada. Kearifan / Pengetahuan lokal yang ada berupa ritual, tindakan pencegahan, tindakan penanganan kejadian sulit/ ancaman yang terjadi serta kemampuan memprediksi, mitigasi serta penanggulangan kondisi sulit/ ancaman yang terjadi di daerahnya.

(5)

diwariskan secara melalui tutur dari satu generasi ke generasi lainnya berdasarkan garis keturunan. Bangunan dasar pengetahuan lokal tidak semata-mata mistis atau magis, tetapi juga berangkat dari dengan fenomena alam disekitar mereka. Melalui hasil pengamatan dari pengalaman yang panjang inilah yang kemudian diserap sebagai pembelajaran dan pengetahuan dan digunakan sebagai acuan dalam memperkirakan fenomena sejenis yang terjadi pada lingkungan sekitar.

Secara umum, pengetahuan masyarakat atas perubahan cuaca, iklim, dan fenomena alam lainnya berangkat dari pengamatan terhadap perilaku mahluk hidup, dinamika cuaca, dan pergerakan benda-benda langit. Pengamatan ini pun sifatnya saling mendukung dan khusus untuk wilayah Timor Barat, sejumlah perilaku mahluk hidup, dinamika cuaca, dan pergerakan benda langit bersifat saling melengkapi, dan sekuensial.

Masyarakat mengamati bintang sebagai penanda musim pertanian serta peramalan kondisi alam dalam satu musim. Masyarakat mengenal astronomi dengan cara dan bahasa tradisional misalnya Maklafu (Bintang Tujuh), Ha Nua (Bintang 4 dan 2), Tanda Jagung dan Tanda Padi (Nautus), Cincin Bulan (Hallo), dan pergerakan planet dan bintang lainnya. Selain astronomi tradisional, pengamatan terhadap perilaku binatang juga dilakukan, misalnya perilaku burung “Kol Totiu”, “Bulbulz” dan perubahan lingkungan sekitar, misalnya pergerakan awan, suhu, perubahan pada tumbuhan, dan lain sebagainya. (tanda jagung dan tanda padi), 4) Pergerakan Bintang 4 (Ha/ crux) dan Bintang 2 ( Nua/ Hadar dan Rigil Kent), 5) Maklafu (Bintang Tujuh) dan 6) bulan dengan cincin awan.

Suara burung Kol totiu dan Bulbulz sudah mulai terdengar sekitar Bulan September. Pilihan nama Kol Totiu karena bunyi kicauan burung tersebut yang terdengar nyaring seperti mengatakan “totiu”.

Menarik dari ceritera Kol Totiu adalah, kebanyakan masyarakat lokal petani, mengetahui dan pernah mendengar suara burung ini, namun jarang ada yang pernah melihat wujud dari burung ini, bahkan beberapa yang mengaku pernah melihat burung ini, menggambarkan wujud burung ini dalam beberapa wujud burung atau belum berani memastikan seperti apa wujud burung ini sebenarnya. Bila kedua burung ini mulai berkicau, tandanya musim hujan akan segera datang, dan masyarakat harus segera menyiapkan lahan.

(6)

panen. Masyarakat menyakini, sekitar tanggal 15 Oktober atau waktu berdekatan, pasti terdengar bunyi halilintar. Terdapat syair lokal yang dahulunya akan selalu diucapkan memasuki bulan oktober, yaitu “kaneno bolnem nanapa kit” yang mengandung arti : guntur (halilintar) berbunyi kita bersiap.

Pada pertengahan Bulan Oktober, akan terlihat 2 gugusan bintang pada langit bagian tenggara, yang disebut masyarakat dengan “Nautus” (tanda jagung dan tanda padi). Kedua tanda tersebut akan terlihat jelas pada wilayah yang gelap (minim cahaya), apabila tanda jagung yang lebih terang maka pada musim tanam tahun tersebut akan lebih baik dari padi, demikian pula sebaliknya. Kedua gugus bintang ini akan terlihat jelas sekitar Pukul 19.00 WITA.

Kemunculan “Nautus” (tanda jagung dan tanda padi) kemudian diikuti dengan pergerakan Ha Nua (Crux, Hadar dan Rigil Kent) pada Bulan Oktober, namun pengamatan pergerakan bintang ini sudah dilakukan masyarakat lokal sejak memasuki Bulan September.

Pada pertengahan dan akhir Bulan September, masyarakat mulai melakukan pembakaran tumbuhan dan belukar pada lahan (menggunakan mekanisme lokal untuk mengatur luasan lahan yang dibakar). Sisa pembakaran, diyakini masyarakat akan menyuburkan lahan (sebagai pupuk).

Tumbuhnya tunas baru pada setiap pohon akan tumbuh lebih awal/banyak pada bagian barat pohon, tandanya sudah mendekati musim hujan. (secara logika, sebelum hujan ada angin dingin datang dari arah barat). Hujan datang dari arah barat dan utara saat hujan awal, sesekali, untuk daerah pantai hujan akan datang dari arah selatan (sangat jarang terjadi).

Menjelang bulan November, masyarakat lokal mulai mengamati langit bagian timur, untuk mengamati gugus bintang yang dinamai “maklafu” (bintang tujuh) atau“fafi mone” yang artinya babi jantan, yang sejak dahulu kala diamati untuk memproyeksi musim penghujan. Apabila gugus bintang Maklafu muncul disebelah Timur paling lambat pukul 00.00 WITA, pertanda bahwa petani sudah harus menyiapkan lahan. Semakin lama, kemunculan gugus bintang Maklafu akan semakin awal, dan apabila pada pukul 20.00 WITA gugus bintang Maklafu sudah muncul di langit bagian Timur, pertanda bahwa akan segera terjadi pergantian musim dari musim kemrau ke musim hujan, sehingga lahan-lahan sudah harus siap untuk ditanami. Musim penghujan ditandai dengan kemunculan gugus bintang ini sekitar Pukul 04.00 WITA dan Pukul 18.00 WITA, dimana waktu ini sering dipergunakan masyarakat untuk memberi makan pada babi peliharaan, hal inilah yang kemudian membuat gugus bintang ini selalu dihubungkan dengan ternak babi.

(7)

Diskusi

Salah satu hal yang menarik dalam proses FILA adalah meskipun petani kebanyakan mengaku sulit menduga awal musim hujan dan sifat hujan pada saat baseline survey tahun 2011, namun pernyataan yang berbeda diungkapkan oleh para petani yang masih menggunakan pengetahuan tradisional dalam menduga iklim. Para petani yang masih menggunakan secara utuh pengetahuan tradisional mengungkapkan bahwa meskipun musim hujan bergeser, namun tanda-tanda alam masih dapat digunakan dalam menduga iklim.

Hal yang menarik lagi adalah pada musim hujan 2012-2013, dalam diskusi di desa Batnun TTS, bulan November 2012, masyarakat menyatakan bahwa awal musim hujan akan jatuh pada minggu-minggu terakhir di bulan Desember 2012. Sementara BMKG memproyeksikan bahwa awal musim hujan pada awal Desember 2012. Faktanya, hujan berturut-turut selama lebih dari 1 minggu di bagian di bagian selatan kabupaten TTS berawal pada tanggal 24 Desember 2012.

Di wilayah Kabupaten Kupang, masyarakat desa Nunsaen secara berani menggunakan pengetahuan tradisional dalam menduga awal musim hujan. Selain itu, petunjuk bintang bahwa tahun tersebut adalah tahun jagung juga diikuti oleh warga dengan menanam jagung dan kacang5. Pada peroide musim tanam ini penduduk desa Nunsaen mengalami

kelimpahan panen jagung dan kacang pada musim panen awal tahun 2013 seperti yang diakui oleh ibu Pendeta dan anggota kelompok petani Nekmese dari Desa Nunsaen, Kabupaten Kupang pada pertemuan FILA bulan Agustus 2013.

Meskipun demikian, dalam diskusi, masyarakat melihat bahwa informasi dari BMKG bermanfaat sebagai pembanding. Tetapi, masyarakat juga melihat bahwa amatan yang mereka lakukan dan rasakan sendiri tidak dapat diabaikan dalam menentukan awal musim hujan maupun jenis tanaman yang dapat dipanen pada musim tanam. Selain itu, masyarakat menyadari bahwa penting untuk terus menerus melakukan pencatatan, pengamatan, dan review atas fakta-fakta yang terjadi pada satu musim tanam untuk memastikan relevansi pengetahuan masyarakat dalam menduga awal musim hujan.

Pada periode 2013-2014 ini, anggota FILA di desa-desa diminta untuk mulai menandai kalender, mencatat waktu pengamatan, dan juga saat mereka melihat gejala-gejala yang menjadi tanda datangnya musim hujan. Pencatatan ini dilakukan untuk membandingkan data-data faktual pengamatan dari berbagai pihak termasuk BMKG yang tercatat pada periode 2013-2014.

Kesimpulan

Banyak pihak termasuk BMKG sendiri menyatakan bahwa kondisi klimatik menjadi sulit diprediksi, namun masyarakat lokal di komunitas dampigan PfR masih meyakini bahwa metode proyeksi klimatik dengan menggunakan pengetahuan lokal masih bisa digunakan serta memiliki keakuratan yang dapat diandalkan. Hal ini dilandaskan pada

(8)

pemikiran bahwa pengamatan terhadap tanda-tanda tersebut dilakukan pada skala lingkungan yang lebih kecil. Namun kini memang menjadi sulit dilakukan karena jumlah petani yang memiliki kapasitas tersebut sangat terbatas karena pengetahuan yang ada tidak teregenerasi secara baik.

Beberapa tanda alam berkaitan erat dengan kondisi ekosistem yang utuh. Keberadaan spesies burung yang berbunyi menjelang musim hujan mensyaratkan habitat yang tetap terjaga. Demikian pula dengan beberapa jenis pepohonan alami yang memiliki perubahan perilaku terhadap perubahan cuaca. Pengetahuan lokal tidak dapat dipisahkan dari sistem pengelolaan alam yang dikembangkan oleh nenek moyang. Perubahan bentang alam yang memunahkan spesies-spesies penanda akan menghilangkan kapasitas lokal dalam mengantisipasi musim.

Faktor yang lain adalah perubahan sosial di masyarakat. Pergerakan menuju pengetahuan modern adalah tantangan tersendiri dalam mengembangkan pengetahuan lokal. Keengganan generasi muda memahami kompleksitas pengetahuan lokal mengancam perkembangan pengetahuan lokal tentang iklim. Kerja sama yang baik antara sains modern dan pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk saling melengkapi.

Akhir kata, proses FILA adalah proses riset aksi pada tahapan awal. Pengamatan dan praktek sistematik untuk menentukan awal musim hujan dan musim tanam tidak dapat dilakukan secara snapshot. Perlu sebuah proses menerus yang panjang dan multi-disiplin untuk mengembangkan pengetahuan klimatik tradisional yang dikombinasikan dengan pengetahuan modern. Syarat penting dalam pengembangan pengetahuan ini adalah pengetahuan tersebut harus terletak dan diletakkan kembali pada masyarakat lokal sebagai pemilik, pencipta, sekaligus pengguna.

Daftar Pustaka

Anandaraja, N, T Rathakrishnan, M Ramasubramanian, P Saravanan, and N S Suganthi. 2008. “Indigenous Weather and Forecast Practices of Coimbatore District Farmers of Tamil Nadu” 7 (October): 630–633.

Anonim. “Prakiraan Musim Hujan 2012-2013”. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2012

Anonim. “Prakiraan Musim Hujan 2013-2014”. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2013

Anonim. 2012, “Laporan Baseline Program Partners for Resilience Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan”. Perkumpulan Pikul, CARE International Indonesia, . Tidak dipublikasikan

Chang, Ladislaus B, Pius Z Yanda, and James Ngana. 2010. “Indigenous Knowledge in Seasonal Rainfall Prediction in Tanzania : A Case of the South-Western Highland of 

Tanzania” 3 (April): 66–72.

(9)

Griggs, Dave, Lee Joachim, and Tahl Kestin. 2013. “National Workshop on Indigenous Knowledge for Climate Change Adaptation” (November 2012).

Maposa, Richard Shadreck, and M Ed. “Indigenous Weather Forecasting : A  

Phenomenological Study Engaging the Shona of Zimbabwe By” 4 (9): 102–113.

Meg Parsons. 2012. “Climate Change Adaptation for Indigenous Community.” National Climate Change Research Facility.

Pelling, Mark. 2011. Adaptation to Climate Change From Resilience to Transformation. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Peterson, Nicole, and Kenneth Broad. 2010. “Climate and Weather Discourse in Anthropology: From Determinism to Uncertain Futures.” In Climate and Culture, 70–86.

Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor I,”. Perkumpulan Pikul, CARE International Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor II,”. Perkumpulan Pikul, CARE International Indonesia, 2013. Tidak dipublikasikan.

Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor III,”. Perkumpulan Pikul, CARE International Indonesia, 2013. Tidak dipublikasikan.

(10)
(11)

Lampiran 2.

(12)
(13)

Referensi

Dokumen terkait

Penulis melakukan penelitian di Program Studi MRL yang terletak di Gedung FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia Lt. Alasan penulis melakukan penelitian di Prodi MRL

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Skrining fitokimia dari ekstrak tanaman menunjukkan terdapatnya kandungan alkaloid, flavonoid, kuinon, triterpenoid, dan tannin pada kedua sampel.. Sandoricum

Karena Perusahaan tidak dapat mengontrol metode, volume, atau kondisi aktual penggunaan, Perusahaan tidak bertanggung jawab atas bahaya atau kehilangan yang disebabkan dari

Kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan memberikan sumbangan/andil inflasi tertinggi dengan sumbangan/andil sebesar 0,64 persen, sedangkan kelompok yang

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan hambat bakar dengan penambahan senyawa penghambat bakar antara lain : Gilman (2000) yang

Untuk mengetahui besar daya zona hambat pada pertumbuhan bakteri maka dilakukan pengujian antibakteri dengan menggunakan metode difusi cakram, dengan cara

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan