• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Libe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Libe"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Probo Darono Yakti*

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga Surabaya

Abstraksi

WTO menjadi rezim perdagangan internasional baru setelah GATT, yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan perdagangan internasional mencakup hingga ke hak kekayaan intelektual dalam persaingan industri dan perdagangan. Jika tarik kembali pada tahun 2001, yakni kesepakatan Doha, di dalamnya terbentuk serangkaian peraturan yang secara khusus mengatur perdagangan produk-produk agraria. Dari sini dapat dikaitkan dengan keberadaan salah satu negara yang merupakan penghasil produk-produk pertanian yakni Indonesia. Peraturan-peraturan ini meski juga atas andil dari Indonesia, namun membuat Indonesia berada di posisi yang rawan dalam menjaga konsekuensi produknya di pasar internasional. Sehingga Indonesia harus mencari celah dalam memperjuangkan kepentingannya di bidang pertanian. Nasib petani yang belum sejahtera dihadapkan dengan realita bahwa produk-produk agraria dalam negeri yang seharusnya dapat diekspor pada akhirnya harus mengalah dengan produk-produk impor yang membanjiri Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan dalam WTO adalah seperti bergabung dalam kelompok negara-negara berkembang yang sama-sama memperjuangkan kebijakan proteksionisme terhadap hasil pertanian mereka, agar akses pasar pertanian dapat dilindungi.

Teori Kepemimpinan dalam Organisasi Internasional

Secara umum kepemimpinan lebih merupakan konsep yang berdasarkan pengalaman. Arti kata-kata ketua atau raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukkan adanya diferensiasi antara kelas-kelas dalam masyarakat. Mengingat terdapat banyak konsep definisi kepemimpinan yang berbeda, maka penulis mengacu pada tulisan Joseph C. Rost (1993) bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling memengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Dari teori ini penulis dapat mengelaborasikannya dalam sebuah ilustrasi. Bahwa pemimpin bertujuan mengumpulkan dan menyamakan kepentingan atau persepsi bersama anggota-anggota yang lain, kemudian berbekal tanggung jawab, niat dan kepercayaan dari elemen yang lain terciptalah perubahan yang diinginkan bersama anggota-anggota yang lain. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan diagram 1 di bawah ini:

(2)

Pemimp

in

Tanggung

Jawab

Niat

Kepercaya

an dari

Anggota

Lain

Tujuan

Bersama

Kepenting

an

Kepemimpinan negara tertentu dalam organisasi internasional krusial keberadaannya. Karena pada dasarnya dunia bergantung pada organisasi-organisasi ini untuk memudahkan kerja sama. Kerja sama yang telah di koordinir oleh hadirnya sekelompok negara ataupun individu yang memiliki otoritas yang sudah diatur dalam ketentuan yang tertulis dalam peraturan organisasi internasional menghasilkan beberapa keuntungan. Seperti penjajakan yang lebih mudah, Agar efektif, tidak hanya kepemimpinan yang diperlukan. Melainkan kepemerintahan yang efektif. Jika dua hal ini dilakukan secara bersamaan, maka satu negara dapat mencapai tujuannya dengan mudah. Kerangka inilah yang sering digunakan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Jerman, dan Tiongkok dalam kepemimpinannya di dalam organisasi-organisasi yang lain seperti G7, G8, G20, CIS, Uni Eropa, dan lain-lainnya.

Pemimpin memengaruhi lembaga mereka operasional dan arah strategisnya. Pemimpin organisasi internasional bekerja dengan negara-negara anggota lainnya untuk mengidentifikasi prioritas dan mengatur strategi, dan menerjemahkannya menjadi tujuan operasional, yang pada gilirannya dipantau dan dievaluasi kemajuan yang dibuat terhadap mereka. Pemimpin mengarahkan birokrasi dan melihat bahwa staf-staf memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bernegosiasi untuk melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan. Sebuah negara yang ditunjuk menjadi pemimpin atau koordinator juga harus berkonsultasi dan bekerja dengan para pemangku kepentingan lainnya (WEF, 2015:6).

Menurut Global Agenda Council on Institutional Governance Systems WEF (2015:7), ada lima indikator yang digunakan dalam mengatur standar keberhasilan kepemimpinan di institusi internasional: (1) Selecting and re-electing leadership on merit; (2) Managing performance; (3) Setting and evaluating ethical standards; (4)

(3)

Developing and retaining talent; (5) Setting strategic priorities; (6) Engaging with a wide range of stakeholders; (7) Evaluating independently and effectively. Dari kriteria-kriteria inilah kemudian kepemimpinan diukur dalam taraf-taraf yang formal. Namun sebenarnya masih banyak lagi aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai kriteria pemimpin. Dalam kerangka ini juga semakin terlihat bahwa dewasa ini dunia memiliki banyak organisasi internasional yang masing-masing memiliki tujuan tersendiri dalam menaungi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kepemimpinan di organisasi-organisasi ini relatif terhadap bentuk dan aturan yang terdapat di dalam masing-masing institusinya.

WTO, Putaran Doha 2001, dan Pilar-Pilar Pertanian

Perdagangan internasional yang menandakan bahwa perdagangan tidak hanya membahas mengenai ihwal domestik saja, namun dengan datangnya era yang dinamakan globalisasi, membuat daya saing semakin mengarah menuju ke arah pasar global yang bersifat liberal. Semua perusahaan multinasional juga bergerak ke arah luar untuk semakin mencaplok pasar luar negeri, dengan cakupan yang semakin luas. Inilah yang dirasakan oleh hampir semua negara di dunia saat ini. World Trade Organization (WTO) didirikan pada 1 Januari 1995, oleh 123 negara yang menjadi peserta Uruguay Round di tahun 1986 hingga 1994. Pengusungan WTO ini diiringi dengan penyesuaian pada GATT yang telah usang, dan membuat aturan-aturan yang baru dan relevan dengan kondisi perdagangan dunia saat ini. Karena pada dasarnya pembentukan WTO yang memiliki prinsip dasar, norma, aturan formal, serta proses pengambilan keputusan yang jelas menggantikan posisi GATT. Teori fungsional ini sejalan dengan pendapat John Gerrard Rugie (1975 dalam Young, 1982), bahwa kultur perdagangan internasional telah menjadi institusi dan membentuk lembaga fasilitator permanen dengan proses pendirian melalui negosiasi dan kesepakatan secara sadar dan eksplisit.

(4)

(dan eliminasi besar-besaran) segala bentuk subsidi ekspor; dan pengurangan substansial dalam mendukung perdagangan tanpa distorsi (WTO).

Dalam poin terakhir yakni akses pasar, dijelaskan bahwa negara-negara berkembang akan dapat menunjuk sejumlah produk sebagai "produk khusus," berdasarkan kriteria "keamanan pangan, keamanan mata pencaharian, dan kebutuhan pembangunan pedesaan." Produk-produk khusus akan memenuhi syarat untuk perawatan yang lebih fleksibel dalam hal akses pasar. Sebuah Special Safeguard Mechanism (SSM) akan dibentuk untuk negara-negara berkembang, sementara Special Safeguard (SSG) untuk melindungi sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan bagi negara maju maupun berkembang. (sebagai saat yang diatur dalam Perjanjian Putaran Uruguay) masih berada di bawah negosiasi (Hanrahan, 2005:4). Inilah yang menjamin bahwa negara-negara berkembang memiliki tempat bersaing dengan mendapat jaminan SSG sebagai alat yang akan memungkinkan negara-negara berkembang untuk menaikkan tarif sementara untuk menangani lonjakan impor atau penurunan harga (WTO, 2015).

Perlu dicatat bahwa nantinya SSG ini yang memengaruhi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang notabene memiliki kekhawatiran besar bahwa produk-produk agrarianya dapat diterima di pasar internasional. Berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay terdapat 39 anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), Switzerland-Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay (2), dan Venezuela (76) (Kemendag RI, 2014). Namun sejauh Putaran Doha diinisiasi pada 2001 telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi.

Kesepakatan Lanjutan pada Juli 2004

(5)

dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang (Kemendag RI, 2012). Berikut ini adalah kesepakatan yang telah resmi diratifikasi pada Juli 2004. Untuk subsidi domestik: (1) Negara maju harus memotong 20% dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian pertanian; (2) Pemberian subsidi untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi pertanian pada tahun pertama implementasi; dan (3) Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam kategori de minimis asalkan subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin (Kemendag RI, 2012).

Yang kedua adalah peraturan subsidi ekspor: (1) Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari; (2) Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang, yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan ketentuan premi minimum; (3) Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibandingkan dengan negara maju; (4) Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjamin stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak harus dihapuskan; (5) Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju; (6) Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara berkembang diperkuat (Kemendag RI, 2012).

Kemudian pada akses pasar, disepakati: (1) Untuk alasan penyeragaman dan karena pertimbangan perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif akan menggunakan tiered formula; (2) Penurunan tarif akan dilakukan terhadap bound rate; (3) Paragraf mengenai special products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi menjamin jumlah produk yang dapat dikategorikan sebagai sensitive product. Negara berkembang dapat menentukan jumlah produk yang dikategorikan sebagai special products berdasarkan kriteria food security, livelihood security, dan rural development (Kemendag RI, 2012).

Kepentingan Indonesia di Bidang Agraria dalam WTO

(6)

pangan dalam negeri tidak hanya ditujukan untuk menyediakan pangan tetapi juga menjamin petani memperoleh pendapatan dan keluarganya untuk membeli pangan, termasuk sebagian pangan dari negara lain. Ketahanan pangan tidak berbicara mengenai makanan pokok rakyat, tetapi juga bahan-bahan pokok yang diperlukan rakyat seperti gula, minyak tanah, dan garam. Di samping itu, ketahanan pangan ini kemudian juga menyangkut pada usaha lain seperti pengembangan industri pangan, dan rantai suplai makanan (Setiawan, 2003:77-9).

Yang kedua, lanjut Setiawan (2003:77-9) adalah penghapusan kemiskinan, yakni tugas kemanusiaan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Penuntasan kemiskinan diakui oleh seluruh dunia, dan merupakan patokan suatu negara yang digolongkan dalam sistem dunia modern (negara maju, berkembang, atau terbelakang). Oleh karena itu, setiap kebijakan dalam pembangunan di bidang pertanian harus mencakup upaya menghapus kemiskinan. Mulai dari proses produksi, distribusi hingga konsumsi. Kemudian yang ketiga adalah sustainability atau keberlangsungan Tekanan penduduk dan pemanfaatan sumber daya alam (terutama tanah, air dan udara) yang meningkat mengharuskan strategi pembangunan pertanian ditata secara baik agar mampu menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian serta manfaatnya bagi manusia. Lalu yang keempat yang merupakan wujud dari rural development atau pembangunan desa. Banyak masalah yang berhubungan dengan ketahanan pangan, kemiskinan di desa dan di kota, dan keberlangsungan kondisi kemajuan wilayah pedesaan. Karena itu, pembangunan pertanian tidak dapat dilepaskan dari pembangunan desa. Dan yang terakhir adalah kemajuan Sosial Ekonomi (Social and Economic Progress) Sebagai negara dengan mayoritas penduduk berada di pedesaan dan menggantungkan hidup pada pertanian, tidak mungkin terjadi kemajuan sosial ekonomi jika tidak tercapai kemajuan di bidang pertanian. Hal ini juga terkait dengan isu universal semisal demokrasi, hak asasi manusia, keamanan dan kedaulatan negara. Pembangunan pertanian memiliki kaitan erat dengan kemajuan sosial ekonomi masyarakat (Setiawan, 2003:77-9).

Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian di dalam WTO

Indonesia sebenarnya sudah sejak lama mengikatkan diri dalam komitmen liberalisasi. Tepatnya sejak masa 1980-an pada masa akhir pertemuan dalam Putaran Uruguay. Saat itu, Indonesia telah mengurangi tarif untuk 6.000 produk industri dan pertanian. Selain itu, Indonesia memangkas 95% dari total tarifnya sebesar rata-rata 40%. Demikian pula dengan hambatan nontarif, seperti hambatan perizinan juga dikurangi lebih dari setengahnya, dari 44% pada 1986 menjadi hanya 23% pada 1995 (Utama, 2010:39).

(7)

itu, Indonesia melakukan ekspor beras bersubsidi rata-rata 299.750 ton dengan nilai subsidi pemerintah sebesar US$ 28,248,230 (Deperindag RI, 2001:6).

Komitmen dalam hal perluasan akses pasar ditandai dengan diterapkannya sistem tarif. Jumlah tarif yang diikat Indonesia sebanyak 1.341 dengan Harmonized System 9 digit. Total tarif untuk seluruh mata tarif turun dari 99.861 menjadi 64.391. Semula tingkat tarif rata-rata sederhana per mata tarif (berdasarkan tahun) sebesar 74,2%, kemudian menjadi 48,05% atau turun sebesar 26,5%. Perlu dicatat, untuk negara berkembang seperti Indonesia, seharusnya cukup menurunkan tarif sebesar rata-rata 24%. Jadi, komitmen Indonesia dalam hal pengurangan tarif sebagai dukungan terhadap perluasan pasar telah melebihi dari beban penurunan tarif yang ditetapkan dalam Perjanjian Pertanian (Utama, 2010:40). Komoditi yang tarifnya dicatat cukup tinggi adalah beras (160%), gula (95%), minuman beralkohol (150%), dan susu (210%). Sebagian dari komoditi-komoditi itu, kecuali minuman beralkohol, dipandang penting dan strategis sehingga harus dilindungi. Di samping itu, Indonesia juga mencatatkan dua komoditas yang mendapat perlakuan akses minimum atau yang dikenal dengan tariff rate quota (TRQ). Komoditas itu adalah beras dengan akses minimum sebesar 70.000 ton dan susu segar sebesar 414.700 ton (Juliantono, 2007:121).

Di samping perluasan akses pasar, pemerintah Indonesia juga menjalankan program dukungan domestik. Pada tahun 2001, besarnya dukungan domestik untuk sektor pertanian meningkat hingga mencapai Rp 6,2 triliun. Peningkatan ini cukup besar bila dibandingkan dengan tahun 1995 yang hanya sekitar Rp 401 miliar. Akan tetapi, peningkatan ini sepertinya tidak dimaksudkan untuk maksud-maksud komersial, seperti mendorong pertumbuhan kapasitas ekonomi para petani Indonesia. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor lain, seperti kemiskinan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 (Utama, 2010:42). Kebijakan dalam kerangka dukungan domestik yang diterapkan Indonesia berada di bawah batas de minimis yang ditetapkan oleh WTO. Tingkat de minimis paling tinggi yang pernah diterapkan Indonesia adalah 7,3% dan selama 1998-2002 rata-rata tingkat de minimis hanya sekitar 6%. Hal tersebut di bawah ketentuan WTO yang menerapkan tingkat de minimis sebesar 10% untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia (Utama, 2010:42). Dengan demikian, rendahnya penerapan tarif, hilangnya subsidi ekspor, serta minimnya dukungan domestik, telah menyebabkan Indonesia rentan terhadap serbuan pangan impor. Harga pangan yang rendah di luar negeri langsung berpengaruh ke dalam negeri, sedangkan di pihak lain biaya produksi semakin tinggi, karena berkurangnya subsidi. Hal ini tentu telah berpengaruh negatif terhadap insentif berusaha tani dan mempersulit introduksi teknologi baru, seperti benih atau bibit bermutu dan lain-lain.

Peluang Indonesia dalam Diplomasi di WTO: Kepemimpinannya dalam G33 Negara Berkembang

(8)

cepat. Salah satu upayanya adalah turut andil dalam pembentukan kelompok G33, aliansi dari kelompok negara-negara berkembang dan negara-negara kurang berkembang yang dibentuk di Indonesia pada 9 September 2003, pada saat menjelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancún, Meksiko. Indonesia awalnya dipercaya menjadi koordinator dengan sokongan dari India, Tiongkok dan Filipina (Utama, 2010:44).

Indonesia (bersama India) memimpin G33 untuk membela kepentingan petani dan buruh, dan kedaulatan pangan dari populasi. G33 berisikan negara-negara berkembang yang terdiri dari Antigua dan Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Botswana, El Salvador, Filipina, Grenada, Guyana, Guatemala, Haiti, Honduras, India, Indonesia, Jamaika, Kenya, Kuba, Laos, Mauritius, Madagaskar, Mongolia, Mozambik, Nikaragua, Nigeria, Pakistan, Panama, Pantai Gading, Peru, Republik Demokratik Kongo, Republik Dominika, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania, Tiongkok, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Venezuela, Zambia, dan Zimbabwe. Negara-negara anggota G33 ini melakukan koordinasi perdagangan dan isu-isu ekonomi. Kelompok yang disebut juga Aliansi SP (Special Product) dan SSM (Special Safeguard Mechanism) ini diciptakan untuk membantu kelompok negara yang menghadapi semua masalah yang sama. G33 telah mengusulkan aturan khusus untuk negara-negara berkembang di negosiasi WTO, seperti yang memungkinkan mereka untuk terus membatasi akses ke pasar pertanian mereka.

Kelompok ini bersatu dalam sikap dan suara secara kritis terhadap dimasukkannya masalah dan isu pertanian pada sistem perjanjian perdagangan global, serta memastikan bahwa masalah ketahanan pangan, mata pencaharian pedesaan dan pembangunan pedesaan menjadi bagian integral dari perundingan pertanian yang merupakan isu sentral dari perundingan Doha Development Agenda (DDA) – WTO (Utama, 2010:44). Isu pertanian menjadi sangat penting bagi negara berkembang karena pada umumnya sebagain besar masyarakat negara berkembang hidup dalam sektor pertanian. Sayangnya menurut UN Millenium Project terdapat sekitar 50% dari total jumlah orang kelaparan di dunia adalah mereka dari golongan petani kecil. Menurut LIPI, pada tahun 2009 sekitar 32,5 juta jiwa rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sementara menurut UN Millenium Project, dari sekitar 80 persen penderita kemiskinan akut berada di wilayah pedesaan. Nilai Tukar Petani (NTP) yang berfluktuasi di kisaran angka yang rendah, menandakan pendapatan petani sudah tidak sebanding dan bahkan jauh dari biaya yang dikeluarkan untuk keperluan hidupnya sehari-hari (Utama, 2010:45).

(9)

disebabkan karena pertanian di negara maju mendapatkan berbagai macam kebijakan dan subsidi yang sangat besar dari pemerintahnya, sehingga hasilnya tentu saja berlimpahnya produk panen mereka akan masuk dan membanjiri pasar negaranegara berkembang. Serbuan hasil panen mereka secara perlahan namun pasti, akan menyudutkan dan kemudian mematikan produk-produk pertanian lokal. Akibat yang lebih buruk lagi, ketika hasil pertanian lokal berada pada titik terendah, maka bahan pangan bagi jutaan rakyat negara berkembang, akan sangat tergantung dari hasil impor produksi pertanian dari negara maju. Hal itulah yang sering disebut sebagai bencana pertanian (Utama, 2010:45).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ketika membuka Pertemuan Tingkat Menteri G-33 pada 20 Maret 2007 di Jakarta menegaskan bahwa sektor pertanian sangat penting artinya bagi arah dan strategi pembangunan Indonesia, karena sektor tersebut tidak hanya mempengaruhi pendapatan masyarakat Indonesia yang sebagian besar merupakan masyarakat pedesaan dan sumber penghidupan bagi sekitar 25 juta petani, akan tetapi sektor pertanian sangat menentukan kelangsungan hidup bagi 50 persen masyarakat miskin yang ada di Indonesia (Utama, 2010:46). Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai pentingnya sektor pertanian bagi negara agraris bukan semata-mata dilihat dari produk yang dihasilkannya saja, namun lebih jauh seperti hilangnya kedaulatan pangan sebuah negara. Pada masa-masa berikutnya, Indonesia bergerak cepat dalam mengambil kursi kepemimpinan itu dengan menjadi tuan rumah pertemuan untuk membahas ketimpangan yang terjadi dalam Putaran Doha 2001 (Davies & Mantiri, 2007). Pertemuan ini adalah buntut dari diadakannya kembali Putaran Doha setelah suspensi 5 tahun imbas dari perbedaan pendapat dengan mitra dagang seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa terkait subsidi pertanian (Davies & Mantiri, 2007). Dalam proposal yang diajukan pada tahun 2013, Indonesia bersama 45 negara berkembang yang tergabung dalam G33 mengusulkan revisi aturan subsidi pemerintah terhadap pangan dari maksimal 10% menjadi 15% dari total produksi nasional untuk kepentingan public stockholding. Indonesia kemudian mengusulkan agar mekanisme yang dipakai mengacu pada harga komoditas tiga tahun terakhir, bukan lagi harga pada tahun 1986 yang sudah tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan zaman (Sari, 2013).

(10)

Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara yang masih bergantung pada hasil produksi pertanian.

Kesimpulan

Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa (salah satu komoditi ekspor) sehingga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan hal itu, perekonomian dunia saat ini kehilangan sekat-sekat geografis kenegaraan oleh sebuah proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Sejalan dengan itu terjadi perubahan mendasar di pasar internasional yaitu liberalisasi perdagangan untuk sektor pertanian dengan terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi melalui perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan. WTO sejak Putaran Doha 2001 mengatur bidang pertanian melalui regulasi yang telah dibuat dengan tiga pilar yang dikenal sebagai akses pasar, dukungan domestik dan subsidi ekspor. Selain itu juga dibuat peraturan seperti Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), Sanitary and Phytosanitary Measures, dan Technical Barriers to Trade (TBT) yang tidak dibahas dalam jurnal ini. Implementasinya pada negara-negara berkembang agraris yang masih mengandalkan sektor industri pertaniannya masih belum terlihat dampak nyatanya.

(11)

Referensi:

Achterbosch, Tom J. dkk. 2004. Indonesian Interests in the Agricultural Negotiations under the Doha Development Agenda: an Analysis of the "July 2004 Package" Thom J. a Budiman Hutaburat,b Nizwar Syafa’at,b and Frank W. van Tongeren a

Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian: Ancaman Atas Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani, Institute for Global Justice, Jakarta, 2003, hal. 77-79.

Chadha, Rajesh. 2000. “Understanding the WTO regime”. Economic and Political Weekly, vol. 35, no. 13, pp. 1084-1086.

Davies, Ed & Johannes Mantiri Reuters. 2007. Indonesia plays down chance of Doha G33 breakthrough dalam Reuters Wednesday March 21, 2007. 3:28am EDT. [Online]. Tersedia dalam: http://www.reuters.com/article/2007/03/21/businesspro-trade-doha-indonesia-dc-idUSJAK19820070321 [Diakses pada 25 Juni 2015].

Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (Deperindag RI). 2001. “Persetujuan di Bidang Pertanian-WTO”, Pidato Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi dalam Rangka Menghadapi Perundingan Perdagangan Internasional, Yogyakarta, 11-12 Oktober 2001, hal. 6.

Hanrahan, Charles E. 2005. “Agriculture in The WTO Doha Round: The Framework Agreement and Next Steps,” dalam CRS Report krom Congress [PDF]. Tersedia dalam: http://file138.cabinbooks.org/teb1e_trade-liberalization-industrial-producti.pdf [Diakses pada 25 Juni 2015].

Juliantono, Ferry J. 2007. Pertanian Indonesia di bawah Rezim WTO. Jakarta: Banana Publisher.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). 2014. Full Report WTO. [PDF]. Tersedia dalam: http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2014/01/06/Full-Report-WTO.pdf [Diakses pada 25 Juni 2015].

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). 2012. F.A.Q. [Online]. Tersedia dalam: http://www.kemendag.go.id/id/faq [Diakses pada 25 Juni 2015].

Pranolo, Tito. 2000. Peran Bulog sebagai lembaga distribusi dan cadangan pangan nasional, Makalah Round Table Kebijakan Harga Gabah, Deptan, Jakarta.

Rost, Joseph C. 1993. Leadership for the Twenty-First Century. New York: Praeger.

Sari, Mas Sri. 2013. RI Akan Pertahankan Proposal G33”, dalam Selasa, 26/11/2013 22:30 WIB. [Online]. Tersedia dalam: http://industri.bisnis.com/read/20131126/12/188993/ri-akan-pertahankan-proposal-g33 [Diakses pada 25 Juni 2015].

Utama, Muhammad N.A.G. 2010. “Persetujuan Bidang Pertanian WTO dan Pembentukan Kelompok G-33”, dalam Diplomasi Indonesia, Tinjauan Literatur. Jakarta: FISIP UI. Hal. 28-52.

(12)

World Trade Organization (WTO). 2001. Doha WTO Ministerial 2001: Ministerial Declaration. [Online]. Tersedia dalam: https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/mindecl_e.htm [Diakses pada 25 Juni 2015].

World Trade Organization (WTO). 2015. Glossary. [Online]. Tersedia dalam: https://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/ssm_e.htm [Diakses pada 25 Juni 2015].

Young, Oran R. 1982. "Regime Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes. International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes (Spring, 1982), hlm. 277-297 [PDF]. Tersedia dalam: http://www.jstor.org/stable/2706523[Diakses pada 25 Juni 2015].

Yusdja Y., R. Sayuti, B. Winarso, I. Sodikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perspektif teori konstruksi sosial, tindakan cerai gugat sebagai tindakan individu yang berkesadaran adalah produk kreativitas yang lahir dari proses

Tabel 2.1 Definisi Operasional Pengembangan Karir Individu ……… 24 Tabel 2.2 Definisi Operasional Pengembangan Karir Organisasi …...……… 26 Tabel 3.1 Komposisi populasi

Pada proses pengujian ini metode enkripsi/dekripsi RC4 digunakan untuk mengirim data dari client yang berbasis J2ME ke server yang berbasis PHP, dimana proses enkripsi

[r]

Setelah diolah dengan menggunakan peralatan statistik dan hasi dari koefisiensi (Coeffciencits) didapat persamaan regresi linier bergand -7,46- 5,07Xi+ 0,95X2 Dari

Perangkat berbasis Arduino untuk membuka pintu dan menyalakan lampu secara otomatis untuk garasi menggunakan sensor PIR (Passive Infared) dan ultrasonik merupakan sebuah tool

Moderating Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan

Kesimpulan yang dapat di tarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa untuk mendapatkan penghawaan alami yang optimal bagi ruangan hunian apartment perlu