• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah SAstra Masa Pergerakan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah SAstra Masa Pergerakan Nasional"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi dunia ketiga, abad ke-20 merupakan abad Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu yang dalam sejarahnya menyaksikan pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Perkembangan nasionalisme pada umumnya merupakan reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme yang merajalela dalam abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20. Ekspansi Barat sejak akhir abad ke-15 memunculkan Belanda beserta VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik di kawasan Nusantara, kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana. Berbeda sekali dengan sifat perlwanan itu, gerakan nasionalisme mewujudkan corak dan bentuk jawaban yang disesuaikan dengan struktur serta masyarakat kolonial, maka pada periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa sebelumnya. Gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan Pergerakan Nasional.

Pada masa Pergerakan Nasional inilah orientasi perlawanan dan perjuangan menuju kemerdekaan mengalami perubahan. Kondisi ini dikarenakan munculnya kalangan terpelajar yang telah mengenyam pendidikan. Kalangan terpelajar inilah yang menggugah kesadaran identitas kebangsaan dan pola perjuangan melawan penjajah. Hal ini tentunya tidak lepas dari adanya politik etis yang pada masa itu telah diterapkan. Dalam kondisi yang demikian, salah satu sarana perjuangan melawan penjajah menuju ke gerbang kemerdekaan adalah melalui pers yang pada masa itu sudah berkembang dengan surat kabar sebagai sarananya.

(2)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional? 2. Bagaimana kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional? 3. Bagaimana peran pers dalam Pergerakan Nasional?

4. Bagaimana Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers?

5. Apa saja surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Naional? 6. Siapa saja Tokoh-tokoh pers pada masa Pergerakan Nasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

a. Gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional; b. Kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional; c. Peran pers dalam Pergerakan Nasional;

d. Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers; e. Surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Nasional;

f. Tokoh-tokoh pers pada Masa Pergerakan Nasional. 2. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami hal-hal sebagai berikut:

a. Gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional; b. Kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional; c. Peran pers dalam Pergerakan Nasional;

d. Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers; e. Surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Nasional;

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Munculnya Pergerakan Nasional

Sistem kolonial beserta sistem eksploitasinya membawa dampak luas seperti terwujud sebagai proses komersialisasi, industrialisasi pertanian, birokratisasi. Pendeknya, modernisasi di segala bidang, termasuk bidang komunikasi, transportasi, dan edukasi. Suatu hal yang tidak disengaja terjadi adalah timbulnya mobilisasi sosial yang lebih tinggi serta munculnya golongan intelegensia. Mendirikan sekolah-sekolah dapat diibaratkan seperti membuka kotak pandora. Segala macam kekuatan sosial terlepas dan sukar dikendalikan, atau seperti apa yang diucapkan oleh Kennedy, “Pendidikan merupakan dinamit bagi sistem kolonial” (Kartodirdjo, 1999: ix).

Akar dari hal tersebut dapat terjadi adalah adanya politik etis yang dicetuskan oleh Van de Venter yang salah satu slogan dari pelaksanaan politik etis tersebut adalah edukasi atau pendidikan. Meskipun dalam pelaksanaannya, adanya pendidikan ini dimaksudkan untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik yang muerah dan banyak menguntungkan pemerintah kolonial, akan tetapi, setidaknya dengan dibukanya berbagai sekolah menjadikan akses rakyat pribumi ke dalam bidang pendidikan menjadi terbuka. Dengan demikian, rakyat pribumi bisa mengenyam pendidikan dan terbebas dari buta huruf. Lebih dari hal itu, sebagian di antaranya dapat terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi sehingga dari merekalah lahir kaum intelegensia atau kalangan terpelajar yang nantinya mengubah pola perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah (Duliman, 2012:65).

(4)

Proses adaptasi itu sekaligus mencakup proses inovasi dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, poltik, dan kultural. Berbagai unsur kebudayaan Barat, baik berupa nilai ataupun sistem, diserap dan dilembagakan, antara lain teknologi, pengetahuan, sistem organisasi, administrasi pengajaran, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan hal itu perlu ditambahkan bahwa berbagai perlawanan terhadap kolonialsime dalam abad ke-19 dan sebelumnya lebih tepat disebut protonasionalisme. Perlawanan bersenjata secara tradisional dapat dipadamkan oleh kekuatan militer penguasa kolonial dengan teknologi perang modern.

Gerakan nasionlaisme membangun kekuatan sosial dengan membentuk organisasi gaya modern serta memobilisasi pendukung berdasarkan kesadaran sosial pada awalnya dan kemudian nasional. Kesadaran itu tidak terpisah dari perkembangan ideologi modern, yaitu nasionalisme (Kartodirdjo, 1999: x).

Adalah sangat wajar bilamana dalam menghadapi kolonial yang penuh dengan pengingkaran hak-hak manusia, antara lain ketidaksamaan, ketidakadilan, kontras antara berkedudukan istimewa dan yang tak berkedudukan, kontradiksi dan konflik, kaum cendekiawanlah yang ada dalam posisi serta berpengetahuan untuk mendefinisikan situasi, menidentifikasi permasalahan, serta menyusun perumusan siasat dan cara bagaimana mengatasi situasi itu. Golongan elite baru itulah yang mempunyai kemampuan untuk menentukan identitas mereka, semula yang negatif yang dipengaruhi oleh stigma-stigma, baru kemudian lambat-laun secara positif, yaitu identitas nasionalisme.

Fase pertama gerakan nasionalis yang diawali oleh berdirinya Budi Utomo, Sarekat Islam, Jong Sumatera, dan lain sebagainya yang kesemuanya menunjukkan gejala penemuan kembali identitasnya, yang logis sekalipun masih terikat kebudayaan etnik masing-masing (Kartodirdjo, 1999: x).

(5)

rangka program perjuangan nasional tercantum prinsip non-kooperatif terhadap penguasa kolonial. Inilah suatu fase yang kemudian dikenal dengan fase Pergerakan Nasional (Kartodirdjo, 1999: xi).

Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa, fase atau masa Pergerakan Nasional digawangi oleh para kaum intelegensia atau kalangan terpelajar yang bermula dari adanya politik etis dalam bidang pendidikan. Dari bidang pendidikan itulah yang kemudian melahirkan kaum terpelajar tersebut. Merekalah yag mengubah pola perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui ideologi dan semangat nasionalisme. Ide-ide yang mereka keluarkan, dibubuhkan melalui berbagai sarana, diantaranya dengan mendirikan berbagai organisasi ataupun partai. Di samping itu, ide-ide dan gagasan tersebut mereka tuangkan dalam berbagai bentuk tulisan, diantaranya melalui surat kabar. Inilah fungsi dan peranan pers dalam surat kabar sebagai salah satu media perjuangan untuk mencapai kemerdekaan pada masa Pergerakan Nasional.

B. Kondisi Pers Pada Masa Pergerakan Nasional 1. Sebelum Pergerakan Nasional

Pers di Indonesia dalam sejarah kemunculannya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu pers Kolonial, Pers Cina dan Pers Nasional. Pers Kolonial diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat kabar, majalah-majalah dalam bahasa Belanda, daerah atau Indonesia dan bertujuan membela kaum kolonialis Belanda, di samping membantu usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda dan kadangkala mengkritik pemerintah jika terdapat tindakan-tindakan pemerintah yang dirasakan merugikan pemilik modal serta kedudukan kaum kapitalis Belanda (Taufiq, 1977:17).

(6)

akan tetapi kemudian muatan dalam koran-koran tersebut semakin beragam mencakup berbagai bidang, termasuk di dalamnya yang bermuatan politik.

Sementara yang dimaksud Pers Cina adalah koran-koran, majalah-majalah dalam bahasa Cina, Indonesia dan ada juga bahasa Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk Cina yang ada di Hindia Belanda saat itu. Dalam perkembangannya, pers Cina ini telah menerbitkan berbagai jenis koran di antaranya Li Po, Siang Po, Bin Seng, dan lain sebagainya (Taufiq, 1977:18). Koran-koran tersebut diterbitkan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.

Sedangkan Pers nasional yang dimaksud adalah surat-surat kabar, majalah-majalah yang diterbitkan dalam bahasa Indoneisa atau daerah, malahan ada juga yang berbahasa Belanda dan diperuntukan terutama bagi kepentingan bangsa Indoneisa. Pers nasional ini diusahakan oleh orang-orang Indonesia, biasanya oleh kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini kaum perintis kemerdekaan dan bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.

Jadi, kondisi pers Indonesia di masa penjajahan, memang sesuai dengan keadaan masyarakat di mana ketiga golongan penduduk tersebut mencerminkan situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Dengan sendirinya di masa penjajahan ini, pers nasional dapat dikatakan yang paling menderita sebagai akibat dari pendirian dan cita-citanya terutama dalam pertentangannya dengan pers kolonial (Taufiq, 1977:18).

2. Masa Pergerakan Nasional

Menguraikan tentang sejarah pers Nasional di zaman penjajahan Belanda merupakan sebuah perjalanan panjang karena bertaut dengan sejarah pergerakan bangsa Indoneisa. Seperti yang diungkapkan oleh Saruhum dalam tulisannya “Perjuangan Surat kabar Indonesia”, dia berkata, “Tumbuhnya perusahaan-perusahaan surat kabar Indonesia, sebenarnya sebagian besar adalah sejalan dengan tumbuhnya kebangkitan nasional Indonesia, yaitu sesudah tahun 1908” (Taufiq, 1977:23).

(7)

dan merupakan alat perjuangan untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional adalah setelah berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan para karyawanpun, baik para wartawannya, maupun para pengusahanya, pada umumnya adalah orang-orang yang tegolong orang pergerakan di masa itu.

Pada umumnya surat-surat kabar yang muncul di waktu itu merupakan terompet dari partai-partai politik yang turut muncul setelah tanggal 20 Mei 1908. Di antaranya dapat dikemukakan harian “Sedio Tomo” di Yogyakarta yang sebenarnya adalah lanjutan dari Harian “Budi Oetomo” dalam tiga edisi, bahasa Jawa, Indonesia dan Belanda. Harian ini didirikan bulan Juni 1920. Harian “Darmo Kondo” di Solo yang antara lain dipimpin oleh Sudaryo Cokrosiswo, sedangkan salah satu anggota direksinya adalah Wongsonegoro S.H. dan di Surabaya ada harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, harian “Fadjar Asia” di Jakarta, antara lain dipimpin oleh Haji Agus Salim. Demikianlah beberapa diantara harian yang diterbitkan oleh kaum pergerakan pada masa itu (Taufiq, 1977:24).

Di samping harian-harian tersebut juga ada majalah-majalah mingguan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno sebagai suaranya Partai Nasional Indonesia, yaitu “Daulat Rakyat” dan “Kedaulatan Rakyat”. Dari pendidikan Nasional Hindia yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir, “Persatuan Indonesia” dari Partindo yang antara lain dipimpin oleh Amir Sjafrudin, Moh. Yamin dan Sartono, dan masih banyak lagi harian-harian serta berkala yang terbitkan oleh partai-partai politik. Ada juga yang diusahakan di luar partai politik, tetapi pada hakikatnya bertujuan juga untuk membela kepentingan bangsa Indonesia, diantaranya “Bintang Timoer” di Jakarta yang dipimpin oleh Parada Harahap (Taufiq, 1977:24).

(8)

Jika “Aneta” menyiarkan berita-berita yang sifatnya membela segala prestasi serta kebaikan hati kolonialisme dan kapitalisme Belanda, maka berdirinya “Antara” dimaksudkan tidak hanya untuk sekedar sebagai suatu ikhtiar menandingi Kantor Berita “Aneta” saja, melainkan juga sebagai suatu ikhtiar untuk mengoordinasikan dan mempersatukan kekuatan-kekuatan pers nasional dalam suatu bentuk penyuimberan berita-berita yang tidak kolonial dan tidak nasional. Malahan dalam suatu bentuk penyumberan berita-berita yang sesuai dengan jiwa serta gerak irama pergerakan nasional di waktu itu.

Tokoh-tokoh yang mendirikan “Antara” adalah Albert Manumpak Sipahutar dan Adam Malik yang pada tanggal 13 Desember 1937 tersebut bersepakat mendirikan suatu Kantor Berita Nasional yang dinamakan berdasarkan majalah “Perantaraan” yang terbit di Bogor dan diusahakan oleh Sumanang. Dengan berdirinya “Antara” ini, Adam Malik didapuk sebagai direkturnya dan sebagai pendukung ide politiknya, sedangkan A.M. Sipahutar sebagai pemimpin redaksi dan pendukung ide jurnalistiknya. Modal “Antara” yang pertama adalah cita-cita yang tinggi serta kemauan yang keras. “Antara” didirikan ketika sedang menghebatnya hantaman yang dilancarkan oleh kolonialis Belanda terhadap pergerakan Nasional, sedangkan keadaan di luar negeripun sedang bergolak karena menghadapi perubahan-perubahan besar dengan tindakan-tindakan Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler (Taufiq, 1977:28).

C. Peran Pers pada Masa Pergerakan Nasional

(9)

Pers dan wartawan pergerakan Indonesia berbeda dengan pers milik Belanda dan Cina di masa ini dilihat dari dua aspek. Pers Belanda dan Cina umumnya lebih unggul secara material dibanding pers pribumi. Dari segi ideal, perbedaan tersebut lebih tajam. Wartawan pergerakan Indonesia yang berperan sejak awal kebangkitan nasional memenuhi dua syarat pokok. Pertama, memperjuangkan cita rasa kebangsaan dengan motivasi dasar menegakkan kemerdekaan guna mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera. Dan kedua, mengusahakan pengadaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pers dalam kerangka perjuangan kebangsaan tersebut.

Dilihat dari kelahiran pers nasional pertama dan peningkatan jumlahnya bersamaan dengan kelahiran dan dampak keberadaan Budi Utomo, maka wartawan dan pers pergerakan Indonesia bermula tahun 1908. Pada gilirannya, dengan berpedoman pada pertumbuhan pers nasional sejak itu, juga tercatat bahwa wawasan peranan pers pergerakan di masa pra-1945 berkembang dalam bobot maupun penampilan seiring dengan tahap-tahap perjuangan bangsa. Secara spesifik, wawasan dan peranan tersebut selaras dengan, pertama, tahap kebangkitan nasional (periode 1908 ke atas); kedua, tahap penegasan perjuangan kebangsaan menuju Indonesia merdeka (sejak sumpah Pemuda tahun 1928 ke atas); dan ketiga, rahap persiapan kemerdekaan (masa pendudukan militer jepang hingga menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia) (Said, 1988:23-24).

Sejarah perkembangan pers di Indonesia dimulai dengan terbitnya surat kabar belanda seperti De Bataviasche Nouvelles di Batavia tahun 1744 dan De Locomotief di Semarang sejak tahun 1852 serta Bataviaasche Nieuwsblad di Batavia sejak tahun 1885.

(10)

ataupun empati terhadap dunia luar, batas-batas kekerabatan, kesukuan, subkultur, dan tempat tinggal (Adam, 2003:28).

Dipandang dari sudut penglihatan saat itu, pers telah membuat revolusi komunikasi antara lain mengubah pola komunikasi tradisional yang terutama oral (lisan) sifatnya menjadi tertulis sehingga menjadi lebih mantap dalam arti bahwa tidak berubah-ubah dalam proses penerusannya. Yang lebih penting ialah bahwa pers menciptakan sistem komunikasi yang terbuka, dimana informasi dapat diperoleh oleh golongan sosial manapun. Sirkulasi informasi yang terbuka mau tak mau mengurangi keketatan hierarki menurut usia dan kedudukan, posisi monopolistis golongan yang berstatus tinggi dan lain sebagainya.

Aliran informasi lewat pers sangat meningkatkan intensitas komunikasi. Meskipun aliran itu lebih bersifat satu arah, namun pers mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif, antara lain mengenai kepentingan umum, seperti keamanan, kesejahteraan, kemasyarakatan dan ketatanegaraan, dan lain sebagainya. Berita-berita mengenai luar negeri secara tidak langsung tidak hanya menambah pengetahuan politik dunia, tetapi juga menambah kesadaran politik pembaca. Satu langkah lebih lanjut akan membangkitkan kecenderungan untuk membandingkan situasi politik luar negeri dengan dalam negeri sehingga akhirnya tidak dapat dielakkan lagi adanya pemikiran dan pemandangan kritis terhadap lingkungan politik di dalam negeri yang dalam segala-galanya masih didominasi oleh penguasa kolonial dengan sistem dualisme ekonomi dan diskriminasi rasialnya. Sudah barang tetntu berbagai pola kehidupan tradisional juga mendapat sorotan; jadi, mulai dibicarakan secara umum dan dipersoalkan. Lewat tulisan, orang mungkin lebih berani melontarkan permasalahan dan melancarkan kritik terhadap tradisi-tradisi yang dirasakan tidak lagi sesuai dengan zamannya. Oleh pers diciptakan forum yang cukup bebas untuk mengajukan pendapat, pikiran, kritik sosial, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1999:113).

(11)

mengherankan bila kemudian berbagai aliran dan gerakan mempunyai persnya sendiri yang berperan sebagai juru bicaranya.

Kesadaran akan keterbelakangan beserta perasaan inferior menyertai krisis tradisi tersebut. Aspirasi-aspirasi untuk mencapai kemajuan meluap, terpaparnya gagasan lewat media massa dengan cepat dan secara luas menggalakkan pensosialisasiannya sehingga tumbuhlah kesadaran yang semakin meluas di kalangan masyarakat. Dengan demikian, kondisi sudah masak bagi suatu gerakan akan mencapai “kemajuan” sebagai bentuk reaksi kolektif terhadap tantangan modernisasi (Kartodirdjo, 1999:114).

Dalam proses itu tidak ternilai peranan yang dipegang oleh media massa, khususnya surat kabar. Jalur komunikasi tidak hanya terbatas pada hubungan tatap muka, tetapi mampu melampaui batas golongan sosial, subkultur, dan kedaerahan sehingga dapat mengatasi kungkungan segmentasi.

Meskipun jumlah surat kabar yang berhaluan radikal sangat terbatas, namun proses politisasi masyarakat berlangsung semakin gencar juga, tidak lain karena surat-surat kabar yang moderat pun banyak mengkomunikasikan faktor politik. Keradikalan lebih berwujud sikap antikolonilisme dan antikapitalisme.

Pada umumnya surat kabar sudah memakai bahasa melayu sebagai bahasa perantara seperti Pemberita Betawi, Sinar di Jawa, Oetoesan Hindia, meskipun daerah peredarannya tidak memakai bahasa tersebut sebagai lingua franca-nya. Ini sangat besar artinya bagi demokratisasi dan sekaligus Indonesiasasi. Komunikasi atas-bawah, antargolongan, dan antaretnik. Dengan demikian, sangat dipermudah. Kerangka pemikiran tradisional mau tak mau mengalami perombakan seperti munculnya konsep baru, berubah dan bertambahnya perbendaharaan kata-kata. Yang paling penting ialah timbulnya pikiran skeptis terhadap banyak aspek kehidupan tradisional serta kebebasan berpikir mengekspresikannya. (Adam, 2003:25)

(12)

seluruh penjuru tanah air, namun setiap pejuang dan nasionais di waktu itu sadar dan mengerti bahwa yang dimaksud oleh “Antara” dengan istilah objektif dalam penberitaan adalah berita-berita yang sejiwa dengan Pergerakan nasional dan seirama dengan usaha-usaha kaum pergerakan dalam membela kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia. Sungguhlah tepat jika dikatakan bahwa dengan lahirnya kantor berita nasinal pertama ini tersediualah saluran bagi kaum pergerakan Indonesia yang pada waktu itu sedang menuntut suatu parlemen dari pemerintah Hindia Belanda (Taufiq, 1977:27-28). Dengan demikian, adanya Kantor Berita nasional “Antara” berjasa besar dalam menegakkan pers nasional pada masa itu.

Bahwasanya pers merupakan ancaman bagi penguasa kolonial tidak dapat diragukan lagi. Kesempatan mengeluarkan pendapat menjadi fasilitas untuk mengecam sistem kolonial serta unsur-unsur prakteknya. Agitasi poitik juga berbahaya sekali bagi “ketentraman dan ketertiban” masyarakat. Lagi pula secara langsung membuat pemerintah kolonial sebagai target kritik. Tidak mengherankan apabila beberapa surat kabar berkali-kali terkena “pemberangusan” (persbreidel). Hanya pers yang moderat saja dapat mengalami hidup cukup panjang.

(13)

Kesadaran, dengan demikian bertambah dengan dimensi politik yang menunjukan tujuan yang lebih kongkrit daripada kesadaran akan beremansipasi. Memang, ide emansipasi mencakup langkah liberasi dari kungkungan tradisi, kemudian fase mengejar ketertinggalan atau mengurangi kondisi serba terbelakang yang langsung disusul oleh gerakan meningkatkan taraf hidup dalam berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial, kultural, dan religius. Kesemuanya itu tercakup dalam ruang lingkup wawasan pers. Adalah perkembangan yang wajar sekali apabila kesadaran politik akhirnya menjadi dominan serta menjadi titik konvergensi aspirasi di kalangan luas (Kartodirdjo, 1999:115).

Sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam memperbesar volume informasi, meningkatkan intensitas komunikasi, atau mempercepat sirkulasi ide, serta membuka alam pikiran rakyat. Itu semuanya secara komulatif mendukung mobilisasi, gerakan kemajuan, dan akhirnya gerakan nasional dalam berbagai warna/alirannya. Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat didibaratkan sebagai kembar siam, dua bidang kegiatan bangsa Indonesia yang hidup berdampingan secara simbolik; ada saling ketergantungan secara organik, yang satu sukar mempertahankan eksistensinya tanpa yang lain.

(14)

Proses pengintegrasian kaum terpelajar lewat pers ditingkatkan, baik secara regional maupun nasional, tetapi sekaligus terjadi segmentasi menurut aliran pokitik, kepentingan golongan, serta kelompok sosial lainnya. Memang diferensiasi semacam itu secara wajar timbul dalam proses modernisasi. Mengingat peranan strategis pers dalam perkembangan politik itu, maka pemerintah kolonial tidak segan-segan melakukan pemberangusan pers (persbreidel). Penerapan artikel 155 dan 157 secara leluasa dilakukan oleh gubernurmen (Kartodirdjo, 1999:116).

Sebagai media massa, pers Indonesia dapat menciptakan forum yang jauh melampaui batas-batas arena politik pada waktu itu terbatas pada organisasi pergerakan saja. Yang menjadi sasaran penindasan adalah apa yang terkenal sebagai haatzaai artikel, karangan penyebar kebencian. Terhadap pesanan politik yang tidak langsung atau terselubung penguasa kolonial tidak berdaya sama sekali. Bagaimanapun juga arus informasi mengenai kejadian-kejadian politik semakin meluas dan deras dengan akibat bahwa kesadaran pembaca semakin membesar.

D. Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers Banyak rintangan yang di hadapi pers nasional di masa Hindia Belanda, terutama dari pihak pemerintah Belanda dengan ancaman “persbreidel ordonantie”. Walaupun banyak rintangan dan kesulitan yang aharus dihadapi pers nasional, namun semakin lama semakin kuat kedudukannya dalam kalangan masyarakat bangsa Indonesia di waktu itu karena rakyat yang merasa dibela kepentingannya oleh surat-surat kabar bangsanya, selalu berikhtiar untuk terus menghidupkannya. Yang menyebabkan pers Indonesia di zaman penjajahan Belanda mendapat kedudukan kuat ialah karena baik para pengusahanya, maupun para wartawannya berani berkorban untuk kepentingan bangsa (Taufiq, 1977:24-25).

(15)

suatu parlemen masyarakat atau parlemen bangsa Indonesia yang terjajah, di mana semua hasrat dan hal-hal yang ditentang oleh masyarakat Indonesia dikemukakan. Isi surat kabar di masa itu merupakan refleksi dari isi hati masyarakat, malahan jadi pendorong bagi Pergerakan Nasional dalam perjuangan memperbaiki nasib serta kedudukan rakyat Indonesia. Tajamnya pers sebagai alat perjuangan sungguh-sungguh disadari, maka tidaklah mengherankan jika di masa penjajahan Belanda, kaum pergerakan senantiasa berikhtiar suatu surat kabar atau mempengaruhi sesuatu surat kabar (Taufiq, 1977:25).

Pemerintah Hindia Belanda yang melihat bawha pers Indonesia adalah alat yang ampuh di tangan kaum pergerakan, tidak henti-hentinya menimbulkan rintangan-rintangan dalam usaha pers kita, tidak saja dengan mengancam akan menggunakan undang-undang yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang di dalamnya terdapat beberapa pasal yang melarang penyebaran tulisan-tulisan tajam, terutama tulisan-tulisan yang menyebarkan bibit permusuhan dan kebencian. Padal-pasal itu disebut dengan pasal-pasal tentang “penyebaran kebencian” (Duijs: 1985:79-80).

Namun pada praktiknya adalah bahwa pemerintah Hindia Belanda melalui persnya setiap saat malah dengan bebas menyebarluaskan pernyataan dan ucapan yang menghina dan merendahkan rakyat Indonesia dengan cara yang bagaimanapun tanpa dtegur atau dihukum. Mereka seolah merdeka membakar dan menghidupkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap bangsa Indonesia tanpa diganggu pelaksana undang-undang.

(16)

Sungguhlah tepat jika dikatakan bahwa pers Indoneisa merupakan momok yang ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda (Taufiq, 1977:25).

Jikalau kita namakan periode zaman penjajahan Belanda ketika mulai timbulnya pers nasional, sebagai suatu periode pergerakan nasional adalah tepat, karena banyak wartawan-wartawan nasional yang tanpa memandang berbagai ancaman yang datang dari pihak pemerintah kolonial atau ancaman pembuangan ke Boven Digul dan lain sebagainya, dengan memegang semboyann ”lebih dahulu menegakkan Indonesia Merdeka, baru kemudian wartawan.” Demikianlah yang menjadi tekad para wartawan nasional pada masa itu.

(17)

Adapun hantaman dan respon dari pemerintah Hinda Belanda terhadap pers nasional tidak hanya terjadi pada surat kabar dan majalah saja. Akan tetapi, hal ini juga terjadi pada kantor bertia Nasional “Antara”. Pihak kolonial menuduh “Antara” tidak menyiarkan berita yang objektif karana dalam berita-beritanya jelas tersirat usaha-usaha kaum kolonialis yang merugikan rakyat (Taufiq, 1977:27).

Gangguan-gangguan yang dilakukan Belanda tidak henti-hentinya, seperti berbagai penggeldahan, penangkapan dan penahanan terus dialami oleh para karyawan “Antara” dan ketika perang Pasifik meletus, Adam Malik, Sipahutar dan Pandu Kartawiguna serta A. Hakim bersama sejumlah pemimpin-pemimpin pergerakan nasiaonal, ditangkap dan dimasukan dalam kamp tawanan di Sukabumi.

Namun, meskipun mengalami berbagai macam rintangan, “Antara” dapat berjalan terus dan melakukan tugasnya seperti yang diharapkan oleh bangsa Indoneisa yang terjajah. Hal ini dapat terjadi, karena bantuan yang sadar dari masyarakat Indoneisa yang berjuang sehingga dalam tahun 1941, “Antara yang semual berkantor di Buitentijgerstraat 30 di Jakarta-kota dalam suatu ruangan yang kecil, dapt pindah ke tanah Abang Barat 90 Jakarta dengan memperoleh ruangan-ruangan kerja yang lebih luas, walaupun masih jauh dari cukup untuk sebuah kantor berita (Taufiq, 1977:30).

Dari uraian di atas dapat dirangkum secara umum bahwa upaya-upaya yang diakukan pemerintah Hinda Belanda dalam menekan dan menghantam pers Nasional di antaranya sebagai berikut:

1. Larangan memasukan barang cetakan dari luar negeri; 2. Pembatasan masuknya barang cetakan dari negeri Belanda;

3. Memonopoli kabar dari radio yang dikhawatirkan menyuiplai informasi terhadap pers nasional;

(18)

E. Surat Kabar yang Terbit pada Masa Pergerakan Nasional

Perkembangan kuantitatif dan kualitatif pers di Indonesia, termasuk pers pergerakan, sebelum budi Utomo, majalah Medan Prijaji yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1907 oleh RM. Tirtoadisujo, merupakan pers nasional pertama. Barulah setelah kelahiran Budi Utomo, jumlah pers nasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Pada bulan Juli, 1909, di Jakarta terbit mingguan Boemipoetra di bawah pimpinan Sutan Mohammad Salim dengan penampilan wajah dan warna nasional Indonesia. Di kota Medan, pada tahun 1910 terbit pula surat kabar nasional bernama Pewarta Deli di bawah pimpinan Dja (Radja) Endar Muda, yang sebelumnya adalah pemimpin redaksi surat kabar Padang, Pertja Barat, pada tahun 1903. Pewarta Deli diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan percetakan pribumi bernama Serikat Tapanuli di Medan. Pengusaha Pribumi pertama yang memiliki mesin cetak adalah Kemas Mohammad Asahari di Palembang pada tahun 1830, tetapi berbeda dengan Tirtoadisurjo di Bandung atau Serikat Tapanoeli di Medan, Asahari tidak menerbitkan surat kabar. Setelah Muda keluar dari Pewarta Deli, pimpinan radaksinya beralih ke tangan Djamaludin Adinegoro (Said, 1988:26-28).

Masih di Medan, pada bulan Nopember 1916 terbit koran pertama yang memakai kara ‘Merdeka’, yaitu Benih Merdeka, di bawah peimpinan redaksi Mohammad Samin, tokoh Sarekat Islam setempat. Direktur surat kabar tersebut adalah T. Radja Sabarudin, ketua Sarekat Islam cabang Medan. Diterbitkan oleh perusahan percetakan Setia Bangsa, Benih Merdeka menampilkan semboyan: “Organ oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan”. Dan dalam daftar redakturnya tercantum nama-nama seperti Mohammad Yunus, R.K. Mangunatmodjo, Abdoel Moeis (anggota pimpinan Sarekat Islam Pusat), A. Ramli, Parada Harahap, dan lain-lain.

(19)

perkebunan bernama De Cranie dengan dibantu redaktur-redaktur wanita seperti T.A. Sabariah, Butet Sutijah, Siti Rohana, dan istrinya sendiri Setiaman.

Seiring dengan peningkatan gerakan-gerakan politik radikal di Indonesia, jumlah surat kabar nasional naik pesat sejak tahun 1920. Di kota Bandung terbit Sora Merdeka (1920), di Tasikmalaya mingguan Sipatahoenan (1924), di Padang Soematera Bergerak (1922), di Sibolga Soeara Tapanoeli (1925), di Malang Soeara Kita (1921), di Purworejo Soeara Kaoem Boeroeh (1921), di Banjarmasin Soeara Borneo (1926), dan di Pontianak dengan nama sama (1923) dan lain-lain di sejumlah kota di seluruh Indonesia. Di kota Garut terbit Sora Ra’jat Merdika (1931) dalam bahasa Sunda. Pemimpin redaksinya adalah tokoh politik Arudji Kartawinata dibantu penulis-penulis seperti Oemar Said Tjokroaminoto, S.M. Kartosoewirjo, Oerjopranoto (tokoh buruh Sarekat islam pusat yang dijuluki ‘Raja Mogok’) dan Sjamsuridjal (Said, 1988:33).

Penerbitan-penerbitan pers lainnya antara lain di medan terbit Matahari Indonesia dengan pimpinan redaksi Iwa Kusumasumantri (1929) dan Sinar Deli di bawah pimpinban Mangaradja Ihutan dan Hassan Noel Arifin, dengan dibantuwartawan B.M. Diah, Ani Idrus, dan lain-lain. Hamka dan M. Yunan nasution mengasuh Pedoman Masjarakat di Medan, yang semula dipimpin oleh H. Asbirah Ya’kub (1935). Sebelumnya terbit majalah Pandji Islam (1934) di bawah pimpinan redaksi Zainal Abidin Ahmad.

Di Banjarmasin terbit antara lain surat kabar Soeara Kalimantan (1930), pertama kali nama “Kalimantan”; digunakan untuk suatu surat kabar dengan pimpinan radaksi Adnan Abdul Hamidhan.

Di Palembang tercatat Pertja Selatan di bawah Asuhan Mas Arga dan Bratanata; Langkah Pemoeda dengan radaktur Hambali Usman dan Obor Rakjat yang dipimpin oleh Adnan Kapau (A.K) Gani (Said, 1988:33-34).

(20)

pada nasionalisme Cina atau yang merupakan pendukung pemerintahan Kolonial Belanda.

Di kota Samarinda pada tahun 1928 terbit koran bernama Prasaan Kita yang diasuh oleh seorang tokoh Sarekat Islam setempat, R.S. Maradja Sajuthy. Sajuthy kemudian pindah ke Jawa dan memimpin organisasi partai Islam Indonesia bernama Islam Bergerak. Pada tahun 1923, nama Sajuthy tercantum dalam susunan rdaksi mingguan Ra’jat bergerak yang terbit di Yogyakarta dengan direktur dan penasihat H. Misbach, waktu itu dalam tahanan preventif kolonial Belanda. Di Ponianak tercatat surat kabar bernama Borneo Barat Bergerak.

Di Jakarta tercatat beberapa penerbitan pers, seperti Bintang Timoer (1926) di bawah pimpinan Prada Harahap; Pemandangan (1933); Kebangoenan (1938), organisasi Gerakan Rakjat Indonesia dengan redaktur Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan Amir Sjarifudin, di samping koran-koran yang sudah lebih dulu terbit seperti Neratja yang dipimpin Abdul Muis dan H. Agus Salim (Said, 1988:33-36).

Surat kabar Pemandangan pada mulanya terbit sebagai mingguan di bawah asuhan Saerun. Beberapa bulan kemudian, Saerun bergabung dengan RHO. Djunaidi untuk meningkatkan surat kabar tersebut menjadi harian. Wartawan-wartawan yang pernah menjadi pemimpin redaksi Pemandangan adalah M. Tabrani, Sumanang, Anwar Tjokroaminoto, A. Hamid, dan Asa Bafagih.

(21)

penguasa kolonial Belanda. Karena kedua tokoh ini masing-masing mempunyai pengikut atau pendukung, baik dalam jajaran organisasi yang mereka pimpin maupun di lingkungan masyarakat dalam arti luas, maka dampak dan pengaruh dari polemik mereka tidak boleh diremehkan (Said, 1988:36).

Di samping berupa harian surat kabar, majalah dan pers tertulis lainnya yang telah diterbitkan pada masa pergerakan, pada tanggal 13 Desember 1937 berdirilah Kantor Berita nasional “Antara” yang dalam sejarah pers kita memegang peranan penting yang telah berjasa besar dalam menegakkan pers nasional walaupun secara terus-menerus menadapat tekanan dan hantaman dari pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, meskipun hal tersebut tersu dilakukan, aksistensi Kantor Berita Nasional tersebut dapat mengatasinya dengan semangat perjuangan yang tak kunjung padam dan tekad yang sedalam-dalamnya untuk memperjuangkan kemerdekaan nusa dan bangsa (Taufiq:1977:27).

F. Tokoh-Tokoh Pers pada Masa Pergerakan Nasional 1. Dr. Abdul Rivai

Dr. Abdul Rivai lahir pada tahun 1871. Dia adalah seorang dokter, namun dia mengabdikan dirinya dalam dunia kewartawanan. Tulisannya berisi anjuran-anjuran politik untuk kemajuan bangsa Indonesia saat itu. Bahkan ada salah satu surat kabar Pewarta Deli (9 Oktober 1930) menyebutnya sebagai “bapak dalam golongan jurnalistik”. Cita-citanya adalah ingin bersekolah di sekolah dokter. Sampai pada saatnya beliau berangkat ke Jawa dan mendaftarkan diri sebagai murid di STOVIA. Beliau lulus pada tahun 1895 lalu ditempatkan sebagai dokter di Medan.

(22)

Bandung. Namun tak lama tinggal di Bandung, tanggal 16 Oktober 1933 beliau meninggal dunia dalam usia 62 tahun (http://afrianties.blogspot.co.id/-2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

2. R. Bakrie Soeraatmadja

Bakrie Soeraatmadja dilahirkan tanggal 26 Juni 1895 dan mempunyai istri bernama Nyi Iyar Widarsih serta mempunyai anak sebanyak 12 orang. Beliau pernah menjabat sebagai ketua PERDI (Persatuan Djurnalis Indonesia) Bandung dan anggota pengurus besar PERDI di Solo. Selain beliau menulis di Sipatahoenan, beliau juga membantu surat kabar Perbintjangan, Berita Periangan, dan yang lainnya. Namun itu semua tidak berlangsung lama. Tahun 1949 dia menjadi Kepala Japen Tasikmalaya, dan tahun 1950 di karesidenan Priangan. Pada tahun 1955 beliau menjalani hak pensiun sebagai pegawai Jawatan Sosial Kotamadya Bandung. Tahun 1964, beliau menerima Satyalencana Perintis Kemerdekaan. Pada tanggal 1 Juni 1971, beliau dikabarkan wafat di rumahnya di Jalan Pajajaran No. 100 Bandung, dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra, Bandung (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.-htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

3. R. M. Bintarti

R. M. Bintarti adalah seoranga anak dari abdi dalem keraton Yogya, yaitu Raden Mas Kartodirdjo, seorang priyayi yang suka mengarang dan menulis buku yang kemudian diterbitkan di Balai Pustaka. Sebelum beliau benar-benar terjun dalam dunia jurnalistik. Sebelumnya beliau juga pernah menjalankan beberapa profesi. Sampai pada akhirnya beliau pergi ke Bandung dan berguru kepada R. M. Tirtohadisoerjo yang memimpin majalah Medan Prijaji. Kemudian beliau mendapat julukan sebagai “wartawan Jawa yang pertama”. Namun, dia tidak lama tinggal di Bandung.

(23)

Pewarta, lalu beliau mengemudikan Tjahaja Timoer, sebuah majalah yang terbit tiga minggu sekali di Malang. Pada tahun 1923, bersama Raden Pandji Soeroso, beliau menerbitkan harian Kemadjoean Hindia, sebuah harian yang dirintis olehnya. Tanggal 1 Agustus 1942, Beliau ditunjuk sebagai kepala redaksi Domei bagian Indonesia di Surabaya. Lalu beliau bergabung di kantor berita Antara Yogya. Di kantor pusat Antara, beliau ditugaskan untuk mengurusi wartawan-wartawan dan segala urusan yang ada hubungannya dengan daerah. Tahun 1950, beliau pindah ke Surabaya, menjadi redaktur harian bahasa Jawa Express dan setelah keluar dari situ pindah lagi ke Surabaya Post. Meski sudah pensiun, beliau masih mengirim tulisannya mengenai cerita wayang (http://afrianties.-blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

4. Dr. Danudirdja Setiabudhi (Ernest Francuis Eugene Douwes Dekker)

Douwes Dekker alias Setiabudhi lahir di Pasuruan pada tanggal 8 Oktober 1879. Beliau dikenal sebagai pemimpin Ksatriaan Institut di Bandung yang memiliki berbagai ragam sekolah. Pada tahun 1947-an, beliau ditempatkan di Gedung Agung “Istana RI” di Yogya. Di Indonesia, Douwes Dekker melamar sebgai wartawan di Bataviaasch Nieuwsblad. Mulanya beliau menjadi seorang reporter, kemudian karirnya menanjak sampai menjadi redaktur pertama. Suatu ketika, tulisannya dikutip oleh surat kabar Perniagaan yang juga terbit di Jakarta. Kemudian Douwes Dekker berhenti di Bataviaasch Nieuwsblad, tetapi masih terus menyumbangkan tulisan-tulisannya ke berbagai surat kabar. Pada saat di Bandung, beliau bekerja menjadi freelance journalist. Di situ menulis di majalah Het Tijdshrift yang isinya revolusioner dan cukup berpengaruh di kalangan bangsa Belanda.

(24)

menghembuskan nafas terakhirnya di kota Bandung (http://afrianties.-blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

5. R. Darmosoegito

Darmosoegito berasal dari Demak, lahir pada tanggal 5 Juni 1892, dan masih keturunan Sunan Kali Jaga. Di sekitar tahun 1937-an, dalam harian Pemandangan Jakarta dimuat tulisan bersambung dari seorang penulis yang berinisialkan D. Pada hakekatnya D (Darmosoegito) membuat tulisannya yang cukup pedas terhadap para pengganggu keamanan dan penyelewengan ketidakadilan. Jauh sebelumnya, pada decade abad ini, beliau sudah berani menulis artikel yang menentang hal-hal yang dianggapnya kurang tepat. Berbagai Koran dan majalah dibantu oleh Darmosoegito. Beberapa tulisannya dimuat dalam harian Bramartani, Djawi Kando, Djawi Hiswara, Pasopati, Madjapahit, Darmo Kondo, Taman Pewarta, Taman Sari, Selompret Melajoe, Sinar Djawa, Berita Betawi, dan Pewarta Soerabaja. Beliau meninggal pada tanggal 9 Oktober 1972 dalam usia 80 tahun lebih. Setelah beberapa waktu menderita sakit hingga akhir hayatnya. (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

6. Djokomono Alias R. M. Tirtohadisoerjo

(25)

(http://afrianties.-blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

7. Djamaluddin Adinegoro Gelar Datuk Maradjo Sutan

Nama aslinya adalah Djamaluddin. Tapi, karena tulisannya yang bersifat ilmiah beliau terus menerus menggunakan nama Adinegoro, sehingga nama itu lebih terkenal. Nama Adinegoro adalah nama yang disarankan oleh seorang wartawan yang mempunyai nama samaran Nitinegoro. Nama yang sebenarnya adalah Landjumin Datuk Tumenggung, seorang wartawan Bintang Timoer, anggota volksraad dan juga menjadi patih di Betawi.

Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatra Barat. Karena dia gemar menulis maka dia dijadikan pembantu tetap di majalah Tjahaja Hindia. Selama perjalanannya di berbagai Negara bagian Eropa, beliau rajin mengirimkan artikel-artikelnya ke majalah Pandji Poestaka, Pewarta Deli (Medan), dan Bintang Timoer (Jakarta). Sepulangnya dari Eropa, beliau diangkat menjadi pemred Pandji Poestaka. Selain itu, setelah berhenti pada Pandji Poestaka, beliau memimpin harian Pewarta Deli.

Pada masa penjajahan Jepang, Pewarta Deli terpaksa diberhentikan. Lalu muncullah Sumatera Shimbun yang dipimpin oleh Adinegoro. Dari Sumatera, beliau pindah ke Jawa dan mendirikan majalah Mimbar Indonesia. Majalah tersebut adalah majalah perjuangan yang isinya padat dan bermutu. Setelah proklamasi, Adinegoro diangkat menjadi presiden menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera. Kemudian beliau mendirikan harian Kedaulatan Rakjat di Bukittinggi. Pada tahun 1951, beliau memimpin Yayasan Persbiro Indonesia dan mendirikan Perguruan Tingi Publisistik serta Fakultas Publisistik dan Jurnalistik di UNPAD Bandung (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

8. Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie

(26)

selama 4 bulan penjara. Sewaktu Jepang datang ke Indonesia, Dr. Sam masih berada di Jawa sampai tahun 1943. Dr. Sam ditunjuk sebagai gubernur untuk propinsi di Sulawesi. Beliau meninggal di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1949 yang pada saat itu rekan-rekannya sedang menjadi tawanan Belanda di Bangka dan di Prapat (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

9. R. M. Soedardjo Tjokrosisworo

Sejak kecil Soedardjo sudah bergelut dengan dunia Koran dan majalah. Karena itu, beliau tergugah hatinya untuk ikut serta menjadi penulis. Soedardjo menulis karangannya pada surat kabar Oetoesan Hindia, Penggoegah, Persatoean Hindia, Sri Djojobojo, De Assistant, Islam Bergerak, Warna Warta dan Sin Po. Dari tahun 1922, selama empat tahun beliau magang di surat kabar Darmo Kondo. Beliau adalah seorang pelopor bersatunya wartawan seluruh Indonesia. Kemudian beliau mendirikan Badan Moesjawarah Djoernalistiek (BMD) yang merupakan pelopor dari berdirinya PERDI yang sekarang menjadi Persatuan wartawan Indonesia. Sekitar tahun 1960-an beliau menderita sakit dan dirawat di RSUP Jakarta, sampai pada akhirnya beliau tutup usia pada tahun itu. (http://afrianties.-blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50)

10. Soetopo Wonobojo

Tahun 1912, Soetopo masuk ke Boedi Oetomo dan mulai menginjakan kaki dalam bidang jurnalistik. Beliau memegang jabatan sebagai pemimpin redaksi edisi Belanda dan kemudian beliau pindah menjadi pemimpin Darmo Kondo. Beliau menjadi ketua pertama yang menjabat di PERDI. Setalah beliau tidak aktif lagi di dunia jurnalistik pada jaman Jepang, beliau memilih untuk berdiam diri dan memulai kegiatannya dalam Pakempalan Kawoela Surakarta sebelum beliau kemudian disekap di Penjara Sukamiskin Bandung oleh pemerintah kolonial Belanda (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.-htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

(27)

R. Taher Tjindarboemi adalah seorang pemimpin redaksi dari suratkabar Soeara Oemoem di Surabaya. Karena beliau memahami psikologi sidang pembacanya, maka Soeara Oemoem lalu menjadi laris dan mempunyai banyak pelanggan. Menurut Soebagijo (1976) Nama beliau tidak akan lepas dari pemberontakan kapal perang Belanda “De Zeven Provincian” yang dilakukan oleh matrus-matrus Belanda sendiri maupun awak kapal Indonesia, yang menyebabkan beliau mendekam di penjara selama 18 bulan. Beliau juga mendapat pengakuan sebagai Perintis Kemerdekaan (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50). Sementara itu sebelumnya, salah satu tokoh pers pada masa awal abad 19 yaitu Dr. Wahidin Sudirohusodo, ia menjadi redaktur majalah Retnodhoemilah Yogyakarta sejak tahun 1901. Beliau juga merupakan pencetus gagasan pembentukan Budi Utomo. Dan lahirnya Budi Utomo pada tranggal 20 mei 1908 yang merupakan awal kebangkitan nasional, yang merangsang ide-ide modern demi pergerakan nasional. Dengan tulisan-tulisanya, beliau telah menghidupkan kembali semangat pergerakan nasional, maka tidak salah jika dr. Wahidin Sudirohusodo kita sebut sebagai salah satu tokoh pers di Indonesia. Seperti yang kita tahu surat kabar atau majalah jelas merupakan sarana komunikasi yang utama dalam menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan kebangkitan nasional (Maters, 2003:209).

Di kota padang, seorang pria bernama Parade Harahap menerbitkan Koran bernama Sinar Merdeka, di kota Padang Sidempuan, Sumatra Utara bagian selatan pada tahun 1919. Satu tahun sebelumnya, beliau pernah menjadi pemimpin majalah karyawan/pegawai perkebunan bernama De cranie dengan dibantu beberapa redaktur wanita, bahkan istrinya pun yang bernama Setiaman ikut membantunya. Paradi Harahap menulis pikirannya di atas dalam masa Perang Dunia I baru berakhir dan suasana politik di Eropa diliputi kemelut, terutama di Jerman dan Rusia (Soebagijo, 1977:27).

(28)

beliau sudah aktif menjadi seorang wartawan majalah Pesat di semarang yang kemudian menjadi surat kabar harian di Yogyakarta. Sejak tahun 1972, beliau akhirnya menjadi pemimpin umum/pimpinan redaksi majalah mawas diri di Jakarta (http://www.patikab.go.id/2013/04/01/peranan-pers-dalam-pergerakan-nasional-indonesia/ diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).

Sedangkan wartawan wanita dari sebrang, berasal dari Medan, bernama Ani Idrus. Beliau menjadi seorang wartawan surat kabar Sinar Deli di Medan pada tahun 1936 dan majalah politik Seruan Kita pada tahun 1938. Kemudian sejak tahun 1947, beliau menjadi wartawan dan terakhir menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi Waspada, Medan.

(29)

BAB III PENUTUP

Masa Pergerakan Nasional digawangi oleh para kaum intelegensia atau kalangan terpelajar yang bermula dari adanya politik etis dalam bidang pendidikan. Merekalah yang mengubah pola perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui ideologi dan semangat nasionalisme yang mereka keluarkan melalui organisasi ataupun partai. Di samping itu, ide-ide dan gagasan tersebut mereka tuangkan dalam berbagai bentuk tulisan, diantaranya melalui surat kabar. Inilah fungsi dan peranan pers dalam surat kabar sebagai salah satu media perjuangan untuk mencapai kemerdekaan pada masa Pergerakan Nasional.

Pers di Indonesia dalam sejarah kemunculannya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu pers Kolonial, Pers Cina dan Pers Nasional. kondisi pers Indonesia di masa penjajahan mencerminkan situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Dengan sendirinya di masa penjajahan ini, pers nasional paling menderita sebagai akibat dari pendirian dan cita-citanya terutama dalam pertentangannya dengan pers kolonial.

Sejarah pers Nasional di zaman penjajahan Belanda merupakan sebuah perjalanan panjang karena bertaut dengan sejarah pergerakan bangsa Indoneisa. Seperti yang diungkapkan oleh Saruhum dalam tulisannya “Perjuangan Surat kabar Indonesia”, dia berkata, “Tumbuhnya perusahaan-perusahaan surat kabar Indonesia, sebenarnya sebagian besar adalah sejalan dengan tumbuhnya kebangkitan nasional Indonesia, yaitu sesudah tahun 1908.”

(30)

Banyak rintangan yang di hadapi pers nasional di masa Hindia Belanda, terutama dari pihak pemerintah Belanda dengan ancaman “persbreidel ordonantie”. Walaupun banyak rintangan dan kesulitan yang aharus dihadapi pers nasional, namun semakin lama semakin kuat kedudukannya dalam kalangan masyarakat bangsa Indonesia di waktu itu karena rakyat yang merasa dibela kepentingannya oleh surat-surat kabar bangsanya, selalu berikhtiar untuk terus menghidupkannya. Yang menyebabkan pers Indonesia di zaman penjajahan Belanda mendapat kedudukan kuat ialah karena baik para pengusahanya, maupun para wartawannya berani berkorban untuk kepentingan bangsa.

Perkembangan kuantitatif dan kualitatif pers di Indonesia, termasuk pers pergerakan, sebelum budi Utomo, majalah Medan Prijaji yang diterbitkan di Bandung pada tahun 1907 oleh RM. Tirtoadisujo, merupakan pers nasional pertama. Barulah setelah kelahiran Budi Utomo, jumlah pers nasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Ahmad. 1995. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.

Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesian Abad XIX dan awal Abad XX: Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maters, Mirjam. 2003. Dari Tindakan Halus Ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial antara Kebebasan dan Pembangunan, 1906-1942. Terjemah Mien Joebhaar. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.

Said, Tribuana. 1988. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Haji Magasung.

Soebagijo. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers.

Taufiq, I. 1977. Sejarah dan perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Triyinto Tobing, KML. 1985. Membela Mahasiswa Indonesia di Depan Pengadilan

Belanda. Jakarta: Gunung Agung.

http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50

(32)

LAMPIRAN 1. nama koran : Tjaja Hindia

edisi : 30 April 1930

redaktur : Soetan Toemenggung identitas : No. 20 tahun ke-10

deskripsi : koran ini secara garis besar memberitakan tentang OS. Tjokroaminoto sebagai pimpinan Syarikat Islam. Koran ini menggunakan teks berbahasa Indonesia

Gambar 2. Koran Tjaja Hindia tahun 1922

2. Nama koran: Tong-Pao Edisi: 12 Januari 1928

Deskripsi: memberitakan mengenai bangsa tionghoa dan pengetahuan

Gambar 4. Koran Tong- Pao tahun 1928

3. nama koran : fadjar Asia

(33)

kota terbit : Pasar Senen 125, Weltervreden direksi : Os Tjokroaminoto dan Agus Salim

deskripsi : koran ini menggunakan teks berbahasa Indonesia. Salah satu yang di beritakan dalam koran ini adalah mengenai suasana pasar malam Toemboek Dalem Soerakarta

Gambar 5. Koran Fadjar Asia 1928

4. Nama koran : Fadjar Kemadjoean Edisi : tahun ke-2, 1 Januari 1925 Kota terbit : Minahasa

Deskripsi : dari salahsatu headline beritanya adalah menceritakan muhasabah tahun 1924 menuju pergantian tahun 1925

Gam

Gambar

Gambar 2. Koran Tjaja Hindia tahun 1922
Gambar 5. Koran Fadjar Asia 1928

Referensi

Dokumen terkait