• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN DALAM KONTE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN DALAM KONTE"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN KOMUNITAS NELAYAN DALAM KONTEKS PERUBAHAN IKLIM: STUDI KASUS DI PULAU AMBON, MALUKU

Subair

bairbone1976@gmail.com Jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon

(Makalah dipresentasikan pada Kongres II APSSI dan Konferensi Nasional Nasional Sosiologi IV, Manado 20-23 Mei 2015)

Abstract

This paper is an analysis of the vulnerability of the fishing communities which are driven by climate change. Analysis of vulnerability refers to the IPCC’s vulnerability assessment by reviewing three components: exposure, sensitivity, and adaptability. The study was conducted by using the method of historical cases in the north coast of the island of Ambon. Data collection method by hermeunetik and dialectic through participant observation, focus group discussions, in-depth interviews, and literature. Informants purposively selected to represent information about the socio-political-economic-ecological communities and the process of change from time to time (last 10 years) as well as the diversity of characteristics of fishing communities. The study found that climate change has reduced fishing productivity significantly. In addition, the pressure of climate change also have an impact on socio-cultural aspects of the community include aspects of knowledge systems, belief systems, social structure and social position of the fishermen. This means that the communities in the study site is very 'hit' by the negative impacts of climate change. Natural pressure has significantly into the factors that can disrupt or even detrimental to their lives so that implications for the vulnerability of communities. If no adaptation measures then the fishermen will be dropped on livelihood crisis. Fortunately, despite having limited resources in the face of climate change impacts, the community has aspects that strengthen its ability to adapt. The adaptive capacity of communities to provide the ability to adapt (adjust) to climate change, including the condition of the socio-economic, livelihood and institutional.

Keyword:vulnerability, climate change,Fishermen community, coastal area Pendahuluan

Hasil kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dari tahun 2010-2011 di berbagai wilayah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum hampir semua elemen masyarakat di Indonesia telah mengetahui adanya perubahan yang terjadi pada iklim saat ini (DNPI 2012). Masyarakat mengetahui dan merasakan adanya perubahan iklim itu sejak sepuluh tahun terakhir. Fenomena perubahan iklim diketahui melalui indikator suhu udara yang semakin panas, curah hujan yang tinggi di waktu tertentu namun di waktu lain sangat jarang, musim kemarau yang lebih panjang, pergeseran masa tanam dan masa panen sehingga menggeser pula produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan sektor lainnya. Kesimpulan dari kajian DNPI itu termasuk penilaian bahwa berbagai wilayah di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim.

(2)

sebelumnya dan telah diterapkan secara turun-temurun secara perlahan mulai sering tidak relevan lagi, misalnya dalam hal kalender musim.

Tulisan ini merupakan analisis kerentanan yang diakibatkan oleh dampak negatif perubahan iklim menggunakan perspektif sosiologis. Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas dan upaya dalam menyikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Dengan kata lain dapat menguatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

Metode Penelitian

Studi ini merupakan studi berparadigma konstruktivis (Denzin dan Lincoln ed. 2000) atau paradigma subjektif (Burrel dan Morgan (1979), yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action, melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan mengelola dunia sosial mereka. Dengan demikian studi ini memusatkan perhatian pada yang disebutkan Guba dan Lincoln (1994: 109) sebagai upaya "pemahamann tentang suatu realitas sosial tertentu” yang terbentuk dalam konteks kesejarahan (realisme historis), dalam konteks sosial suatu ajang sosial tertentu (relativisme), dan hanya mungkin dipahami secara terbatas (realisme kritis). Metode yang digunakan adalah metode studi kasus historis. Predikat ‘historis’ menekankan bahwa pokok kajian studi bukan suatu kejadian sosial pada suatu waktu tertentu, melainkan suatu gejala atau proses sosial dalam suatu rentang waktu tertentu (Kartodirdjo 1992). Istilah ‘kasus’" sendiri memberi pembatasan bahwa proses sosial yang dikaji tidak berada dalam cakupan sejarah non-kontemporer (klasik), melainkan dalam cakupan sejarah kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup.

Lokasi penelitian di Desa Asilulu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Asilulu merupakan wilayah di pesisir utara Pulau Ambon dan salah salah satu sentra produksi ikan tuna di Kabupaten Maluku Tengah. Usaha penangkapan tuna di Asilulu sudah dimulai sejak tahun 1990-an. Secara geografis Asilulu berada di semenanjung Pulau Ambon yang langsung berhadapan dengan laut Banda dan laut Seram sekaligus sehingga secara teoritis sangat terbuka atas paparan dampak perubahan iklim. Waktu pengambilan data dari tahun 2011 sampai 2012.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengamatan berperan serta (participant-observation), Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam secara langsung pada subjek penelitian. Untuk mendukung validitas data yang dikumpulkan, dilakukan pula studi pustaka, terutama terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu serta dokumen-dokumen terkait lainnya. Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, observasi dan FGD dianalisis menggunakan analisa kualitatif.

Pedoman Analisa Data

(3)

perubahan iklim setelah dilakukan upaya adaptasi (Jones et al. 2004). Analisis kerentanan dibuat dalam skema penilaian kerentanan pada gambar 1.

Gambar 1. Skema Analisis Kerentanan Perubahan Iklim

Analisis kerentanan pada penelitian ini merujuk pada penilaian kerentanan berdasarkan IPCC (2007) mengkaji tiga komponen: paparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). Komponen kajian kerentanan dan metode yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komponen dan Metode Analisis Kerentanan No Komponen Kajian

Kerentanan Metode yang Digunakan

1 Paparan Kalender musiman, sejarah waktu, Pengalaman iklim, dampak fisik

2 Kepekaan Pemetaan bahaya, analisis kecenderungan bahaya, peringkat jenis/tingkatan bahaya, peringkat risiko bahaya, model mental, pengembangan skenario secara partisipatif untuk potensi risiko 3 Kemampuan

adaptasi

Pemetaan sumberdaya masyarakat, kajian kerentanan sumberdaya terkait kesejahteraan, matriks kerentanan dan kemampuan, matriks kajian strategi mengatasi dan beradaptasi terhadap perubahan, strategi efektifitas daptasi

Sumber: IPCC (2007).

(4)

Gambar 2. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan perubahan iklim (Sumber: Jones et al. 2004).

Analisis Potensi Risiko

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkat paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Risiko adalah dampak terpendam yang merupakan gabungan dari paparan dan kepekaan. Dampak risiko menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Pengertian ‘potensi dampak’ menggambarkan gabungan luasan, intensitas dan frekuensi dampak perubahan kondisi iklim pada suatu wilayah.

IPCC (2007) mendefinisikan paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem. Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan. Paparan keragaman iklim pada dasarnya adalah fungsi ruang (wilayah). Masyarakat pesisir dan dataran tinggi akan mengalami paparan yang berbeda terhadap perubahan kondisi iklim tertentu. Masyarakat dataran tinggi tidak terpapar kenaikan muka laut.

Analisis paparan ditujukan untuk menampilkan pandangan masyarakat atas kondisi iklim di desa dalam beberapa tahun terakhir, khususnya yang berhubungan dengan penghidupan (mata pencarian utama, sumberdaya alam dan sarana infrastruktur) dan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu diuraikan terlebih dahulu komponen perubahan kondisi iklim yang menjadi permasalahan. Misalkan, paparan kenaikan muka laut yang mungkin akan dialami berbeda oleh anggota masyarakat pada suatu desa. Sementara pada paparan iklim yang dialami merata oleh tiap anggota masyarakat sama (atas pola musim atau curah hujan), perbedaan terletak pada pengaruhnya atas sumber penghidupan yang berbeda.

IPCC (2007) mendefinisikan kepekaan sebagai dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim. Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di pesisir memiliki kepekaan tinggi terhadap kenaikan permukaan laut dibandingkan pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama. Dengan pengertian ini, kepekaan merupakan sebuah asumsi dampak berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki.

Analisis kepekaan ditujukan untuk mengetahui dampak dari kondisi pola iklim (pola musim) yang berubah dan cuaca buruk terhadap sumberdaya (sumberdaya alam, harta milik, dan infrastruktur) serta terhadap masyarakat (pada kesehatan, dan kehidupan sosial lainnya). Analisis Kemampuan Adaptasi

(5)

baik melalui tindakan yang direncanakan atau melalui memungkinkan dan mendorong tanggapan kreatif dari masyarakat baik ex ante dan ex post (Gupta et al. 2008). Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi (1) Karakteristik-karakteristik institusi (aturan formal dan informal; norma dan keyakinan) yang memungkinkan masyarakat (individu, organisasi dan jaringan) untuk mengatasi perubahan iklim, dan, (2) tingkat dimana lembaga-lembaga tersebut memungkinkan dan mendorong aktor mengubah lembaga-lembaga untuk mengatasi perubahan iklim.

Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial-ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah kemampuan masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi perubahan iklim pada saat ini dan di masa datang. Penilaian kemampuan adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim. Tujuan analisis kemampuan adaptasi ialah untuk menilai tingkatan kemampuan (kemampuan) masyarakat saat ini dalam menghadapi dan mengatasi masalah iklim yang berubah atau cuaca buruk.

Potensi Risiko Perubahan Iklim di Lokasi Penelitian

Tahap pertama analisis kerentanan adalah menilai potensi risiko (potencial impact) dengan melihat tingkatan paparan dan kepekaan. Potensi risiko adalah risiko ancaman dampak perubahan iklim yang merupakan gabungan dari paparan (exposure) dan kepekaan (sensitivity), menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah.

Tingkat Paparan Komunitas

Paparan adalah sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem (IPCC 2007). Faktor penentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan.

Paparan di sini adalah paparan pada level komunitas, bukan pada level rumah tangga atau individu. Kolopaking (2011) merumuskan terdapat dua indikator menilai keterpaparan rumat tangga atas dampak perubahan iklim yakni pertama, kedekatan properti atau sumber mata pencaharian keluarga (meliputi rumah, lahan pertanian, sumber mata pencaharian dan properti lainnya) terhadap pusat bencana (banjir, bahaya longsor, kekeringan); dan kedua, upaya atau langkah-langkah penanganan bencana yang sudah dilakukan dan efektivitas/ tingkat keberhasilan upaya yang dilakukan dalam mengurangi besar dampak.

Kedua indikator tersebut kurang tepat diaplikasikan pada wilayah pesisir dan komunitas nelayan dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya properti keluarga di wilayah pesisir hampir secara semuanya dekat dengan sumber bencana jika bencana perubahan iklim pad sektor ini adalah gelombang pasang, abrasi pantai dan intrusi air laut ke darat. Sumber mata pencaharian komunitas nelayan adalah lautan bebas yang dengan demikian juga secara keseluruhan terpapar secara langsung oleh dampak perubahan iklim. Itulah mengapa unit analisis yang digunakan dalam disertasi ini adalah analisis komunitas, bukan rumah tangga atau komunitas. Selain itu, apabila indikator kedua digunakan untuk menilai keterpaparan, penilaian hanya bisa dilakukan apabila bencana sudah terjadi dan sudah dilaksanakan upaya atau langkah-langkah penanganannya. Oleh karena itu, dalam disertasi ini disusun indikator penilaian paparan perubahan iklim meliputi aspek-aspek sosial ekonomi budaya dan dilakukan secara deduktif dengan memprediksi tingkat kerentanan berdasarkan skenario yang telah dibuat. Penilaian dilakukan pada level komunitas desa dengan berpedoman pada definisi kerentanan IPCC (2007). Indikator tersebut dapat dilihat pada Bab 3 tabel 3.2. Di situ tingkat paparan dibagi atas tiga kategori dengan indikator dan karakteristik masing-masing.

(6)

persen (86,2 persen) dari penduduk usia kerja bekerja sebagai nelayan atau bergantung kepada sumberdaya pesisir dan laut, meliputi pekerjaan sebagai nelayan, pengusaha perikanan dan buruh perikanan. Ini berarti bahwa hampir seluruh sumber penghidupan/mata pencaharian masyarakat bergantung pada kondisi iklim. Kerentanan ini semakin dikuatkan oleh budaya setempat yang memaknai pekerjaan nelayan sebagai mata pencaharian hidup pokok yang sudah dijalani sejak leluhur dari dahulu kala, warisan nenek moyang yang harus dipertahankan.

Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka dapat dideskripsikan bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu ini telah mengalami beberapa hal terkait perubahan iklim sebagai berikut:

1) Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan masyarakat untuk menduga musim tidak lagi dapat diandalkan.

2) Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap tahun.

3) Luasan wilayah yang tergenang air laut karena pasang tertinggi atau kenaikan permukaan laut menunjukkan pertambahan setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir.

Mengingat bahwa hampir seluruh nelayan bergantung pada sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh nelayan di Asilulu memiliki risiko yang tinggi terpapar dampak dan risko negatif dari perubahan iklim.

Tingkat Kepekaan Komunitas

Kepekaan adalah dampak dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC 2007). Lapisan masyarakat tertentu memiliki kepekaan yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan. Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja.

Hasil analisis kepekaan komunitas nelayan di lokasi penelitian digambarkan sebagai berikut. Pertama, perubahan kondisi iklim dirasakan pengaruhnya sangat pada kegiatan penghidupan (mata pencaharian) masyarakat karena ketergantungan yang begitu tinggi terhadap “keramahan” sumberdaya alam. Kedua, dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat, nelayan mengalami hambatan satu musim dan bahkan lebih. Hambatan yang dihadapi terutama badai yang tidak bisa diprediksi, musim paceklik ikan yang lebih lama dan fishing ground yang bergeser jauh ke tengah melampaui daya jelajah nelayan. Ketiga, pengaruh perubahan kondisi iklim pada ketenangan jiwa masyarakat dirasakan sangat besar terkait dengan kekhawatiran risiko melaut yang tinggi dan susah diprediksi. Bukan hanya kekhawatiran nelayan, tetapi juga kekhawatiran keluarga di rumah karena banyaknya informasi kecelakaan di laut yang menelan korban jiwa karena cuaca ekstrim. Keempat, pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumberdaya alam perikanan sangat besar meliputi pola pergerakan ikan yang semakin sudah diprediksi, perkiraan jenis umpan yang disukai ikan yang sering salah karena ikan lebih menyukai jenis umpan yang lain, dan ditambah angin kencang serta gelombang tinggi yang membahayakan kalaupun mereka mengetahui posisi dan jenis umpan yang disukai ikan. Kelima, kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir.

(7)

kenaikan permukaan air laut akan menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan udang di seluruh negeri (World Bank 2010). Oleh karenanya, World Bank memprediksi, resiliensi pangan menjadi hal signifikan yang akan terjadi seiring dengan perubahan iklim yang terus terjadi.

Di Maluku, meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor ini belum terpapar oleh perubahan iklim, tetapi bagaimana sektor ini berkontribusi terhadap kerentanan komunitas penting untuk dikemukakan. Faktor ini tidak dimasukkan ke dalam tabel karena faktor ini pada satu sisi bisa juga menjadi faktor yang meningkatkan kemampuan adaptasi komunitas. Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan.

Di Asilulu, sebagaimana wilayah lain di Pulau Ambon, tidak ada sawah untuk menanam padi, ladang jagung pun bukan hal yang umum dijumpai. Kebun-kebun masyarakat kebanyakan berbatu karang, bukan tanah. Masyarakat Asilulu tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Pulau Lain dan Pulau Kasuari. Profesi utama mereka tentu saja sebagai pencari ikan atau nelayan. Sementara kondisi geografis daratan yang ditempati sangat kering dan lebih cocok dengan tanaman semacam ketela pohon atau singkong (bahasa lokal: kasbi). Itu makanya mereka sesungguhnya lebih akrab dengan dua komoditas ini sebagai bahan pangan utamanya.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya sistem pangan yang bergantung kepada sagu dan singkong itu tercipta karena adaptasi masyarakat dengan kondisi geografis dan sumberdaya alam yang tersedia. Bukan hanya dari segi budaya, namun juga pola konsumsi masyarakat sebagai wujud adaptasi terhadap alam yang melingkupi. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, dahulu masyarakat Maluku memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia sangat melimpah. Sagu, Singkong dan ikan merupakan sumber bahan pangan yang menjadi sumber kecukupan kalori masyarakat Maluku.

Perubahan pola komsumsi pangan dari sagu dan singkong ke beras mulai terjadi seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tentang revolusi hijau yang menggenjot produksi padi secara massal, sehingga harga beras menjadi begitu murah, posisi sagu dan singkong sebagai makanan pokok masyarakat pun mulai tergeser oleh beras. Walaupun produksi padi dan luas lahannya terus meningkat, tapi berdasarkan peta kerawanan pangan nasional (2009) yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan, Provinsi Maluku termasuk daerah yang mengalami kerawanan pangan parah dengan kategori defisit tinggi yang merupakan indikator terparah. Hal ini dikarenakan rasio antara tingkat produksi dan konsumsi tidak seimbang. Berdasarkan hasil diskusi pada kajian ketahanan pangan wilayah kepulauan yang diselenggarakan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku di Ambon, 13 Mei 2011, di mana penulis menjadi salah satu fasilitator, Maluku masuk dalam kategori rawan pangan sesungguhnya bukan karena rawan pangan melainkan variabel pangan yang digunakan utamanya adalah beras dan sereal serta umbi-umbian dan tidak mengakomodasi pangan lokal yang sudah secara turun temurun menjadi makanan pokok penduduk lokal Maluku yaitu sagu dengan berbagai makanan olahannya.

(8)

sebesar 68.082 ton /tahun. Kebutuhan ini setara dengan Rp 375 Mlilyar. Untuk langkah antisipasi kebutuhan pangan masyarakat Maluku, sudah saatnya diberdayakan potensi pangan lokal sagu, umbi-umbian dan hotong sebagai konsumsi pangan pokok (Basir Wattiheluw, BKP Provinsi Maluku, presentasi oral pada Pertemuan Konsolidasi Kegiatan Desa Mandiri Pangan untuk wilayah Propinsi Maluku,13 Mei 2011 di Ambon). Beras sejak awal memang bukan merupakan makanan lokal Maluku. Selain daerah geografisnya yang memang tidak cocok, beras juga bukan hasil kearifan lokal Maluku yang bersahabat dengan alam. Memaksakan beras menjadi makanan pokok dan meninggalkan sagu serta singkong dari masyarakat Maluku telah menghasilkan keadaan yang justru menjadikan Maluku sebagai daerah dengan kerawanan pangan tinggi. Padahal melalui sagu dan singkonglah itulah masyarakat Maluku sejak dulu mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Tidak perlu menunggu atau mendatangkan pasokan pangan dari luar seperti sekarang ini.

Kebiasaan masyarakat Maluku, termasuk penduduk di lokasi penelitian mengkomsumsi beras dan relatif tidak lagi menjadikan sagu sebagai makanan pokok tentu saja membawa dampak kerentanan pada ketahanan pangan masyarakat. Di Pulau Ambon sama sekali tidak ada sawah. Jika terjadi kekacauan produksi di Jawa dan Sulawesi dan/atau ganguan transportasi akibat cuaca ekstrim tentu akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan di daerah ini. Akses dari kota provinsi ke kabupaten dan pulau-pulau di sekitarnya sangat sulit karena harus menggunakan transportasi laut yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Pada musim-musim tertentu, cuaca ekstrim dengan intensitas yang tinggi sangat membahayakan pelayaran sehingga jarang ada kapal perintis yang berani berlayar. Jika di pulau terjadi kegagalan panen maka dapat dipastikan penduduk setempat akan mengalami krisis pangan. Kerawanan pangan di Maluku berpotensi disebabkan oleh banyak faktor tetapi faktor utama adalah ketersediaan dan distribusi. Tentu saja ceritanya akan berbeda seandainya penduduk lokal masih mempertahankan makanan lokal yang tersedia melimpah seperti sagu, singkong dan ikan.

Kepekaan lainnya adalah pada aspek kepercayaan dan keyakinan. Nelayan masih meyakini bahwa rezeki adalah urusan Allah sehingga tugas mereka hanyalah mencari. Banyaknya rezeki yang diperoleh diyakini sebagai bentuk kemurahan Allah kepada mereka sedang kekurangannya dipahami sebagai ujian untuk bekerja dan berusaha lebih giat lagi. Apapun, semua harus dilakukan dengan berbuat baik kepada sesama manusia dan alam sekitar serta tidak menyakiti manusia atau makhluk lainnya karena akan mendatangkan ketidaksukaan Allah kepada mereka. Secara turun temurun, bentuk keyakinan seperti itu diimplikasikan kepada pada praktek melaut misalnya pantang melaut pada hari Jumat. Menurut keterangan beberapa informan, dulu, biarpun ikan sedang banyak-banyaknya, tidak seorang pun nelayan yang berani melaut pada hari Jumat. Meskipun mungkin beberapa nelayan tidak melaksanakan shalat Jumat, tetapi mereka tetap menghormati hari Jumat dengan tidak melaut pada hari tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa nelayan mulai melanggar pantangan tersebut. Pernah sekali waktu, FGD yang dijadwalkan di desa induk Asilulu batal karena nelayan semua ke laut pada hari itu. Katanya ikan sedang panen, setelah hampir 6 bulan paceklik. Nelayan khawatir panen hanya berlangsung sebentar sehingga harus melaut setiap hari. Meskipun di dusun Batu Lubang, tradisi pantangan itu masih dipertahankan sampai sekarang. Tampaknya memang tidak menentunya musim ikan dan perubahan-perubahan ekologi lainnya telah mengikis sistem kepercayaan dan keyakinan dari nelayan sedikit demi sedikit.

(9)

hampir semua komunitas nelayan. Sementara laju perubahan lingkungan yang melampaui pengetahuan dan keterampilan nelayan yang bersumber dari pengalaman dan pengetahuan turun temurun membuat nelayan sangat peka terhadap dampak perubahan iklim.

Kemampuan Adaptasi

Kemampuan adaptasi menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the consequences) (Jones et al. 2004). Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial-ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi ancaman perubahan iklim.

Hasil analisis kemampuan adaptasi komunitas nelayan di lokasi penelitian digambarkan sebagai berikut. Pertama, komunitas memiliki jaringan sosial yang kuat yang menjadi sumber dukungan sosial. Penduduk Asilulu adalah orang-orang yang terikat secara kekerabatan yang sangat kuat. Setiap orang merupakan bagian dari satu marga dan setiap marga menempati posisi tersendiri dalam sistem sosial kemasyarakat dan pemerintahan yang diwariskan secara turun temurun. Dalam sistem sosial masyarakat Asilulu, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah. Oleh karena itu, di dalam masyarakat adat, setiap marga/famili atau mata rumah telah mengetahui posisi dan jabatannya dalam struktur pemerentah negeri sehingga setiap orang yang ditentukan dan terpilih dalam jabatannya pada struktur pemerintah negeri sangat ditokohkan oleh masyarakat. Sementara penduduk pendatang yang secara ekslusif mendiami wilayah petuanan juga terikat sangat kuat dengan dasar kekerabatan pula.

Kenyataan bahwa seluruh penduduk beragama Islam menjadi faktor kuat pembentukan jaringan sosial yang ada. Ajaran Islam tentang kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian merupakan faktor eksternal yang mendorong terciptanya ikatan antar anggota komunitas yang sangat erat. Umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila satu bagian merasa sakit yang lain pun akan merasakan. Saling memberi baik secara material dan moral membawa kebahagiaan yang akan membantu manusia untuk menikmati hidup dan memberikan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan.

Pada dasarnya desa di Pulau Ambon terkonstruksi secara homogen berdasarkan agama yang dianut warga. Geo-sosial yang bercorak genealogis itu telah pula terpola menjadi sebuah geo-religius, setiap warga di salah satu desa menganut agama yang sama. Desa yang penduduknya beragama Islam disebut Negeri Salam dan desa yang penduduknya beragama Kristen disebut Negeri Sarani (Subair dkk. 2008). Dalam hal ini, Asilulu adalah sebuah negeri salam. Pembentukan negeri seperti itu memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok. Karena itu dengan menyebut seseorang sebagai anak negeri tertentu, akan jelas diketahui agama yang dianutnya. Demikian pun “fam” atau “marga” akan menunjuk langsung pada aliansi agama seseorang. Secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat, yang mencakup sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dan lain-lain.

(10)

jawab tertinggi atas seluruh hubungan dan kelembagaan tradisional itu berada di tangan raja dan secara operasional, pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Soa. Raja sebagai pemimpin masyarakat bersikap tegas dalam memberi hukuman dan sanksi terhadap warga masyarakat yang tidak mematuhi aturan pemerintah negeri. Oleh karena ketegasan dan kewibawaan Raja, maka semua warga masyarakat tanpa memandang bulu, semuanya tunduk dan patuh terhadap segala perintah Raja. Itulah yang dapat dilihat dari peranan Raja dan staf pemerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan.

Ketiga, komunitas memiliki platform pengelolaan sumberdaya yang berdasar pada pandangan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Salah satu hal yang menunjukkan hal ini adalah sistem perlindungan alam (sasi, pemeliharaan, pelestarian). Selain itu dikenal istilah ‘tiga tungku’ yang terdiri atas lembaga pemerintah (raja adalah pemangku adat di desa/negeri), lembaga pendidikan (dalam hal ini adalah guru) dan lembaga agama (kelembagaan masjid). Keterkaitan hubungan platform tiga tungku memberikan makna bahwa peran serta menjadi dasar bagi pengembangan masyarakat.

Keempat, kerukunan komunitas yang tinggi. Indikator ini berhubungan dengan keadaan kerukunan di antara nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan. Kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan lebih baik karena hampir semua nelayan tidak ada perbedaan dalam kepemilikkan alat tangkap seperti perahu, jaring dan pancing dimana kondisi semua nelayan hampir sama. Selain itu, karena potensi sumberdaya perikanan juga masih baik sehingga tidak ada rasa persaingan yang dapat memicu konflik antar nelayan.

Kelima, penduduk memiliki banyak kearifan dalam hal pangan yang telah membuat masyarakat Asilulu tidak pernah menderita kelaparan atau gizi buruk. Pangan lokal yang “pro iklim” bersumber dari bahan pangan yang melimpah di lokasi penelitian dan di Pulau Ambon secara umum yaitu sagu, ikan dan singkong (bahasa lokal: kasbi). Pohon sagu di Maluku tumbuh secara alami tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat. Apalagi sebagian besar lahan di Maluku yang potensial adalah berupa rawa, maka sagu merupakam sumber pangan melimpah bagi masyarakat. Selain sagu, singkong juga merupakan komoditas penting di Maluku karena merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di pedalaman. Selain itu, singkong secara ekologis adalah tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik dengan menggunakan teknologi sederhana.

Beberapa jenis pangan lokal yang diolah dari kedua komoditas di atas antara lain berbagai pangan olahan sagu dan olahan singkong yang disebut kasuami atau ‘suami’. Sagu dikomsumsi sebagai makanan pokok. Sagu dapat diolah dalam berbagai hal mulai dari makan ringan, sampai makanan pokok. Salah satu bahan olahan yang berbahan dasar sagu adalah “Papeda”. Papeda di buat dari sagu mentah, yang bentuknya seperti tanah liat berwarna putih. Kemudian di campur dengan air panas sambil diaduk-aduk, sampai bentuknya kenyal-kenyal seperti lem. Cara makannya sangat sederhana. tanpa menggunakan sendok, dan langsung disedot menggunakan mulut. Papeda dapat di hidangkan dengan kuah sayur ataupun kuah ikan. Bentuk hasil olahan sagu yang lain adalah embal, sagu lempeng, sagu bakar, sagu gula, sagu tumbu, dan bagea. Beberapa bahan olahan pangan dari sagu tersebut memang disiapkan bertahan selama satu tahun untuk mempersiapkan diri agar bisa bertahan pada situasi krisis seperti itu cuaca ekstrim yang memutus transportasi laut.

(11)

keseharian orang Ambon. ‘Suami’ dibuat dari singkong yang diparut, diperas airnya, lalu dikukus dan selanjutnya dibentuk menggunakan cetakan berbentuk tumpeng dari daun kelapa. Umumnya suami dimakan bersama ikan asap (bakar asap) dengan sambal colo-colo khas Maluku. Jika tidak kena air, panganan suami bisa tahan sampai sebulan sehingga cocok sebagai bekal melaut nelayan. Hanya suami atau kasuami yang bisa bertahan selama itu melebihi usia nasi atau jagung.

Keenam, nelayan memiliki kegigihan bekerja dan daya juang yang tinggi dalam mempertahankan dan mengembangkan usaha penangkapan ikan. Nilai-nilai adat dan agama menjadi basis dari etos kerja dan daya juang tersebut. Pekerjaan nelayan diyakini sebagai pekerjaan warisan nenek moyang sehingga harus dipertahankan dengan segala cara. Bekerja sebagai nelayan, oleh karenanya bukan hanya sekedar mencari nafkah untuk keluarga tetapi juga sekaligus melaksanakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang nelayan.

Bagi nelayan di lokasi penelitian, bekerja merupakan ibadah yang dilakukan berdasarkan tuntunan agama. Bekerja bagi mereka adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat Allah swt. dengan berpedoman kepada Al-Qur’an QS. Saba’ [34]: 13. Nelayan memahami bahwa dengan bekerja berarti mereka merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang nelayan menjadi pekerja yang sangat gigih dan merupakan salah satu faktor yang menguatkan kemampuan adaptasinya.

Ketujuh, nelayan memiliki keahlian, kemampuan, dan kerjasama serta motivasi kuat untuk mengatasi masalah perubahan kondisi iklim terhadap sumber penghidupan. Di Maluku, nelayan di Asilulu dikenal sebagai nelayan yang ahli dalam mengarungi lautan secara turun temurun. Penduduk Asilulu juga dikenal sebagai pembuat perahu tradisional yang handal. Selain keterampilan melaut, umumnya nelayan juga memiliki keterampilan hidup yang lain terutama keterampilan pertukangan baik tukang kayu atau batu, dan berkebun. Hampir semua laki-laki dewasa di Asilulu memiliki keterampilan pertukangan sehingga bisa membuat atau memperbaiki rumah sendiri. Tampaknya, tradisi masohi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya membentuk laki-laki di wilayah ini merasa wajib mempelajari keterampilan pertukangan.

Kedelapan, lingkungan tempat bermukim yang sehat, sumberdaya alam yang beragam, dan sumber air yang sehat dan cukup. Pemukiman di Asilulu tertata rapi mengikuti garis pantai dengan hutan yang masih terawat di belakangnya. Sarana air bersih di Asilulu meliputi sumur pompa, sumur gali dan hidran umum yakni pelayanan air bersih komunal melalui sistem perpipaan, dimana unit terdiri dari bak penampung air yang dilengkapi kran.

Kesembilan, nelayan memiliki pengetahuan dan pengalaman menghadapi perubahan lingkungan sebelumnya. Nelayan di Asilulu mewarisi secara turun temurun pengetahuan melaut dari generasi ke generasi. Perubahan-perubahan ekologi lautan yang terjadi secara sangat perlahan dalam waktu yang cukup lama “memberi kesempatan” kepada nelayan untuk mengembangkan teknologi mengadaptasi perubahan yang terjadi. Nelayan di Asilulu relatif terbuka terhadap inovasi teknologi yang baru dan selalu melakukan pembaruan pengetahuan tentang melaut sehingga pengetahuan yang ada sekarang ini merupakan hasil dari akumulasi pengalaman dan adopsi pengetahuan dari pihak luar yang dimodifikasi ulang sesuai dengan karakter adat dan sistem sosial mereka.

(12)

Tabel 2. Hasil analisis potensi risiko perubahan iklim pada komunitas nelayan

Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan masyarakat untuk menduga musim tidak lagi dapat diandalkan.

Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap tahun.

Luasan wilayah yang tergenang air laut sekitar 3 meter karena pasang tertinggi atau kenaikan permukaan laut dalam 10 tahun terakhir.

Perubahan kondisi iklim sangat dirasakan pengaruhnya pada kegiatan penghidupan (mata pencaharian)

Dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat, nelayan mengalami hambatan satu musim dan bahkan lebih. Pengaruh perubahan kondisi iklim pada ketenangan jiwa masyarakat dirasakan sangat besar

Pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumberdaya alam perikanan sangat besar

Kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir

Ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya laut yang mencakup lebih dari 90 persen anggota masyarakat membuat dimensi paparan meliputi hampir semua komunitas nelayan. Laju perubahan lingkungan yang melampaui pengetahuan dan keterampilan nelayan yang bersumber dari pengalaman dan pengetahuan turun temurun membuat nelayan sangat peka terhadap dampak perubahan iklim.

Menilai Kerentanan Komunitas

(13)

Kesimpulan ini sesuai dengan penjelasan nelayan yang diperoleh dari wawancara dan FGD serta pengamatan langsung penulis pada kegiatan dan kehidupan nelayan di lokasi penelitian. Penulis menampilkan beberapa hasil wawancara yang menggambarkan kerentanan nelayan sebagai dampak dari paparan dan kepekaan nelayan terhadap perubahan iklim tetapi pada akhirnya mampu dikurangi melalui kemampuan adaptasi yang dimiliki.

“Sekarang jangkauan melaut su paling jauh bahkan sampai di Buru (Pulau Buru). Untungnya, akses di laut itu bebas dan terbuka” (Arif,wawancara 16 September 2012).

“Biasanyakatong mulai star itu akhir bulan tiga atau awal bulan empat, itu menghadapi pancaroba timur, di laut Buru tidak bisa. Desember sampai akhir Maret itu, atau pancaroba timur, mancari di selatan pulau Ambon boleh. Basecam itu di biasanya di Tial. Di sebelah barat pulau Ambon itu tidak ada ikan. Tapi kalau September sampai awal Desember, itu semua. Semua arah mata angin itu semua ikan makan. Laut pada waktu itu juga tenang, ada angin tapi tidak terlalu. Itu katong mancari di mana saja ada. Hitungan itu masih katong pake sampai sekarang, sejak ikan tuna secara resmi katong tangkap di sini sejak tahun 1992”(Musa, wawancara 13 Maret 2011).

Ungkapan dua orang informan di atas menggambarkan bahwa pergeseran fishing ground yang relatif menjadi lebih jauh dari biasanya disikapi secara positif dan didukung oleh sistem kepemilikan sumberdaya laut yang terbuka (open access). Selanjutnya dukungan kelembagaan yang memungkinkan nelayan mengembangkan luasan jangkauan produksi akan dijelaskan pada bab berikutnya. Strategi adaptasi yang memanfaatkan potensi kemampuan adaptasi yang tinggi akan dijelaskan lebih lengkap selanjutnya dan peran lembaga lokal “pengumpul” akan diulas pada bab selanjutnya.

Sebagian nelayan mengakui bahwa “perubahan iklim” menekan sistem penghidupan mereka tetapi hal itu tidak lantas membuat mereka menyerah atau keluar dari bidang pekerjaan perikanan. Nelayan melakukan beberapa strategi menghindari cuaca ekstrim yang membahayakan jiwa diantaranya dengan cara yang sederhana yakni menunggu.

“….yang jalan sekarang ini kan nelayan yang untung-untungan saja. Nelayan yang lain menonton saja. Kalau pas ada yang pulang bawa hasil banyak, ya sudah, mereka baru turun juga. Jadi kalau empat atau lima bodi yang bajalan hanya ada satu yang menarik (membawa hasil), itu dianggap ikan belum makan. Tetapi tetap saja ada nelayan yang turun mencoba. Baru kalau dong lihat tangkapan su banyak, dong baru rame-rame turun”(Tin, wawancara 16 Maret 2011).

Sebagian lainnya melakukan kegiatan off fishing sementara sambil menunggu laut menjadi “ramah” lagi. Hal itu terungkap dari penjelasan Sekdes Asilulu berikut ini.

“Kalau bulan Desember sampai bulan Maret seperti yang nelayan bilang itu, tidak ada nelayan satu pun yang berani ke laut. Nelayan pi ke kebun. Semua nelayan di sini itu punya dusung yang berisi tanaman cengkeh dan pala. Kalau nelayan dari Buton di Batu Lubang itu bakebun kasbi (singkong) dan patatas (ubi jalar), barang dong seng ada dusung. Orang Buton di bawah (Batu Lubang) itu bilang, bulan Desember sampai Maret itu kegiatan memperbaiki pagar. Kalau nelayan di Asilulu itu seng tanam kebun untuk tanaman-tanaman pendek, tapi dong ada tanaman cengkeh dan pala. Waktu itu kesempatan untuk perawatan pohon cengkeh sama pohon pala. Kalau yang punya motor, kerja sambilan jadi tukang ojek” (Ali Mahulete, Sekdes Asilulu, wawancara 16 Maret 2011).

(14)

menanti akibat dari suatu keadaan.Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

“… Kalau sudah begitu, katong iman harus kuat. Jangan Cuma karena hari ini dan kemarin tidak dapat lalu katong mengeluh. Katong seng boleh berhenti hanya karena belum dapat hasil. Kalau sudah begitu, katong kembali katong koreksi dulu. ….Jadi harus ada punya iman karena Allah itu Maha Adil” (Ali, wawancara 19 Maret 2011).

Dari hasil wawancara dengan informan penelitian di atas, terlihat bahwa nelayan benar-benar telah terpapar dampak perubahan iklim sebagaiman tertulis dalam keilmuan perubahan iklim. Paparan tersebut menekan sistem penghidupan nelayan sampai pada tingkat menghambat kegiatan pencarian nafkah. Tetapi dengan kemampuan adaptasi yang dimiliki maka sampai saat ini, paparan dan tekanan dampak perubahan iklim tersebut dapat dikurangi sehingga nelayan masih mampu menjalankan sistem nafkahnya, meskipun dengan cara dan sistem yang sudah mengalami perubahan sebagai bagian dari tindakan adaptasi. Hal itu kemudian berimplikasi pada pengurangan kerentanan secara keseluruhan. Adaptasi perubahan iklim secara lebih lengkap akan dibahas pada bab selanjutnya.

Penutup

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji pengaruh perubahan iklim adalah tingkat kerentanan. Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak bahaya. Dalam konteks sosial, kerentanan merupakan fungsi dari paparan (exposure), kemampuan adaptasi (adaptive capacity) dan sensitifitas (sensitivity). Paparan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem sosial secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitifitas merupakan tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran ekstrim. Dampak tersebut dapat merugikan ataupun menguntungkan. Efek-efek tersebut dapat secara langsung (seperti perubahan hasil panen karena perubahan iklim atau variabilitas temperatur) atau secara tidak-langsung (seperti kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan frekuensi banjir di pesisir sebagai akibat dari kenaikan muka air-laut).

Kerentanan nelayan di lokasi penelitian terkait dengan ekologi dan mata pencaharian mereka di mana kawasan pesisir secara teori adalah daerah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Selain itu penduduk yang bergantung kepada keramahan alam adalah kelompok yang juga paling rentan dan peka terhadap dampak perubahan iklim. Hasil penelitian menemukan bahwa ketergantungan komunitas terhadap sumberdaya laut yang mencakup hampir dari 90 persen anggota masyarakat membuat dimensi paparan meliputi hampir semua komunitas nelayan. Laju perubahan lingkungan yang melampaui pengetahuan dan keterampilan nelayan yang bersumber dari pengalaman dan pengetahuan turun temurun membuat nelayan sangat peka terhadap dampak perubahan iklim.

(15)

mengkomsumsi beras dan makanan jadi olahan pabrik menjadikan penduduk bergantung pada makanan dari luar pulau, dan kedua posisi geografis pulau Ambon dan pulau-pulau kecil di sekitarnya berpotensi terisolasi apabila benar-benar perubahan iklim berakibat pada terputusnya jalur transportasi ari dan ke pulau-pulau ini. Apalagi dari berbagai fakta di lapangan dan hasil prediksi berbagai model fisis, terbangun sebuah asumsi bahwa perubahan sifat fisis perairan pesisir akan berlangsung secara bertahap dan bersifat moderat. Dengan demikian ketergantungan pada makanan terutama beras yang ‘diimpor’ membuat mereka terancam.

Hal ini berarti bahwa komunitas di lokasi penelitian sudah sangat ‘terpukul’ oleh dampak negatif perubahan iklim. Tekanan alam telah secara nyata menjadi yang menjadi faktor yang dapat mengganggu atau bahkan merugikan kehidupan mereka sehingga berimplikasi pada kerentanan komunitas. Apabila tidak dilakukan langkah-langkah adaptasi maka nelayan akan terpuruk pada krisis penghidupan. Untungnya, meskipun memiliki sumber daya terbatas dalam menghadapi dampak perubahan iklim, komunitas memiliki aspek-aspek yang menguatkan kemampuan adaptasinya. Kemampuan adaptasi yang dimiliki memberi kemampuan kepada komunitas untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim, meliputi kondisi pada aspek sosial-ekonomi, penghidupan dan kelembagaan.

Referensi

Abidin, H.Z., H. Andreas, R. Djaja, M.Gamal, T. Deguchi dan Y. Maruyama. 2008. “Penurunan Tanah di Wilayah Jakarta: Karakteristik, Penyebab dan Dampaknya”. Dalam Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Kenaikan Muka Laut Relatif dan Kerentanan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia: Status Report Hasil-hasil Penelitian (hlm. 66-91). Jakarta: BRKP.

Agrawal, A. 2008. The Role of Local Governance and Institutions in Livelihoods Adaptation to Climate Change, Paper Prepared For The Social Dimensions of Climate Change, Social Development Department, The World Bank, Washington DC, March 5-6, 2008. Carpenter, S., B. Walker, J. Anderies, and N. Abel. 2001. “From Metaphor to Measurement:

Resilience of What to What?”.Ecosystems 4(8): 765-781.

Church, J.A. and J.A. White. 2006. “A 20th Century Acceleration in Global Sea-Level Rise”, Geophysical Research Letter, Vol. 33, L01602.

Denzin, N.K. and Y.S. Lincoln (eds.). 2000. Handbook of Qualitative Research (Second Edition), Thousand Oaks: Sage Publication Inc.

DKP Provinsi Maluku, 2007. Laporan Tahunan 2006. Ambon: DKP Maluku.

DNPI. 2011. Pemetaan Kerentanan di Daerah Provinsi serta Inventarisasi Kebijakan dan Kelembagaan dalam Rangka Antisipasi Dampak Perubahan Iklim. Jakarta: DNPI. Eakin, H. 2005. “Institutional Change, Climate Risk, and Rural Vulnerability: Cases from

Central Mexico”.World Development 33(11): 1923-38.

Folke, C. 2006. “Resilience: the emergence of a perspective for social-ecological systems analyses”.Global Environmental Change 16: 253-67.

Gornitz, V. 1995. “Sea level rise: A Review Of Recent Past and Near-Future Trends”. Earth Surf. Proc. Landforms 20: 7-20.

Hadi, S, I.M. Radjawane, R. Widiaratih, E. Riawan. 2008. “Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut”. Dalam Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Kenaikan Muka Laut Relatif dan Kerentanan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia: Status Report Hasil-hasil Penelitian (hlm. 110-124). Jakarta: BRKP.

Howden, S. M., J.F. Soussana, and F.N. Tubiello. 2007. “Adapting Agriculture to Climate Change”.Proceedings of the National Academy of Sciences 104(50): 19691-96.

(16)

www.iied.org/mediaroom/releases/070328coastal.html.

IPCC. 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Contribution of Working Group II to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, J.J. McCarthy, O. F. Canziani, N. A. Leary, D. J. Dokken, K. S. White (eds.). Cambridge University Press: Cambridge.

IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.

Jones, R., R. Boer, L. Mearns, and S. Magezi. 2004. “Assessing Current Climate Risks”. In Bo Lim, Erika Spanger-Siegfried, Ian Burton, Eizabeth Malone and Saleemul Huq (eds.). Adaptation Policy Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies and Measures (pp: 91-117). Cambridge University Press. Available on line at http://www.undp.org/gef/05/kmanagement/pub_practitioner.html

KNLH. 2007. Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.

Kurniadi, 2008. “Kerentanan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Akibat Naiknya Paras Muka Air Laut di Kabupaten Tulang Bawang”. Dalam Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Kenaikan Muka Laut Relatif dan Kerentanan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia: Status Report Hasil-hasil Penelitian (hlm. 57-65). Jakarta: BRKP.

Kurnio, H. 2008. “Isu Perubahan Permukaan Laut dalam Perspektif Geologi Kelautan melalui Kajian Coastal Vulnerabilit Indeks (CVI) Beberapa Pesisir Terpilih Pulau Jawa”. Dalam Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Kenaikan Muka Laut Relatif dan Kerentanan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia: Status Report Hasil-hasil Penelitian (hlm. 170-190). Jakarta: BRKP.

Maguire, B. and S. Cartwright. 2008. Assessing a Community’s Capacity to Manage Change: A Resilience Approach to Social Aassessment. Australia: Bureau of Rural Sciences. Manyena, S.B. 2006. “The Concept of Resilience Revisited”,Disasters 30(4): 433−50.

Marfirani, R dan I, Adiatma. 2012. “Pergeseran Mata Pencaharian Nelayan Tangkap Menjadi Nelayan Apung di Desa Batu Belubang. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Semarang, 11 September 2012.

Marr C. 2009. Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan. Bogor: Down to Earth International Campaign for Ecological Justice in Indonesia.

Marshall, N.A., P.A. Marshall, J. Tamelander, D. Obura, D. Malleret-King, and J.E. Cinner. 2010. A Framework for Social Adaptation to Climate Change; Sustaining Tropical Coastal Communities and Industries. Gland, Switzerland: IUCN.

Meliana, T. 2005. Studi Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan Paras Muka Laut dan Penurunan Muka Tanah di Jakarta Utara. Tugas Akhir. Jurusan Oseanografi, ITB. Nelson, D.R., W.N. Adger, and K. Brown. 2007. “Adaptation to Environmental Change:

Contributions of a Resilience Framework”. Annual Review of Environment and Resources 32: 395-419.

Nicholls, R.J. and Frank M.J.H. 2000. Global Vulnerability Analysis. Encyclopedia of Coastal Science. Kluwer: Academic Publisher.

Patriana, R. 2011, Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Pranowo, M.B. 2009. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alfabet.

Priyambodo, B. 2005. Banjir di Daerah Pantai yang Mengalami Penurunan Tanah dan Dipengaruhi oleh Peningkatan Muka Air Laut. Disertasi. Jurusan Teknik Sipil, ITB. Rahmasari, L. 2011. “Strategi Adaptasi Perubahan Iklim bagi Masyarakat Pesisir”. Jurnal

(17)

Resilience Alliance. 2009. Resilience, 25 December, www. resalliance.org/576.php

Rosenzweig, C., and M. Parry. 1994. “Potential impact of climate change on world food supply”.Nature 367: 133–38.

Salim, E. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Smit, B. and J. Wandel. 2006. “Adaptation, Adaptive Capacity and Vulnerability”. Global Environmental Change 16: 282-92.

Subair, M.Y. Rumra, dan S. Amal. 2008. Segregasi Pemukiman Berdasar Agama: Solusi atau Ancaman? Pendekatan Sosiologis-Filosofis atas Interaksi Orang Islam dan Orang Kristen Pasca Konflik 1999-2004 di Kota Ambon, Yogyakarta: Grha Guru.

Sutisna, S. 2002. Monitoring Permukaan Laut Akibat Pemanasan Global dan Dampaknya pada Daerah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Bakosurtanal.

Tahir, A. 2010. Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kanu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Disertasi, Sekolah Pascarajana IPB, Bogor.

Tauli-Corpuz, V., R. Chavez, E. Baldo-Soriano, M.C. Magata, Golocan, M.V. Bugtong, L. Enkiwe-Abayao dan J. Cariño. 2009. Panduan tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat, Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Down to Earth. Jakarta: Tebtebba Foundation.

Tompkins, E.L. and W.N. Adger. 2004. “Does Adaptive Management of Natural Resources Enhance Resilience to Climate Change?”. Ecology and Society 9(2): 10. [online] URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art10.

UNDP. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim : Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. Keen Media (Thailand) Co., Ltd. http://www.adb.org/documents/translations/indonesian/climate-change-highlights-id.pdf UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P. McMullen, Jason Jabbour, Eds. http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009/ cc_ScienceCompendium-2009_full_en.pdf.

Walker, B.S., J. Carpenter, A.N. Anderies, G. Cumming, M. Janssen, L. Lebel, J. Norberg, G. Peterson, and R. Pritchard. 2002. “Resilience Management in Socio-Ecological Ssystems: A Working Hypothesis for A Participatory Approach”. Conservation Ecology, 6(1): 14, at http:// www.consecol.org/vol16/iss1/art14.

Gambar

Tabel 1. Komponen dan Metode Analisis KerentananKomponen Kajian
Gambar 2. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan perubahan iklim(Sumber: Jones et al
Tabel 2. Hasil analisis potensi risiko perubahan iklim pada komunitas nelayanNoAspekUraian lebih lanjut

Referensi

Dokumen terkait

Informasi keuangan di atas diambil dari laporan keuangan konsolidasian PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk ("Bank") dan entitas anak tanggal 30 September 2017 dan

Perawatan dini terhadap kasus maloklusi Klas III pada usia tumbuh kembang dapat mencegah keparahan yang lebih lanjut2. Kata kunci : maloklusi Klas III, usia

Uji persentase daya hambat dilakukan pada media agar dengan cara menginokulasikan isolat bakteri dan patogen yang ada secara berpasangan dalam cawan petri berdiameter 9 cm..

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai Banjir Kanal Barat Semarang tanggal 26 Mei 2014 saat

Menghitung dan analisa nilai bobot pada 5 indikator Data Pengecer resmi Data Penebusan pupuk bersubsidi dari distributor Rekapitulasi pupuk bersubsidi tingkat kecamatan

pengujian Hasil yang diharapkan Hasil yang diperoleh Kesimpulan Melakukan aktivitas pada aplikasi IbuKreatif dengan mengumpulkan lebih dari 3000 poin dan mencantumkan

Berdasarkan hasil uji Duncan 5% diketahui bahwa perlakuan konsentrasi Kinetin memberi pengaruh berbeda nyata terhadap tinggi tunas pisang abaka, tetapi memberi pengaruh berbeda

Variabel bebas yang digunakan untuk menjelaskan variabel terikat tersebut adalah PDRB Non Migas Per Kapita, Kontribusi PDRB Non Migas Kabupaten / Kota terhadap Propinsi