PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN
(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan
Sosiologis)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi, Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan
DOSEN :
PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd
Oleh :
ASEP WAHYU
NIM. 4103810413003
DENNY KODRAT
NIM. 4103810413007
SLAMET
NIM. 4103810413018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena
keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan
lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari
misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki
kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup
sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu
pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh
lembaga dan orang-orang yang berkompeten.
Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan
yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum,
penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan
tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang
menjadi standar nasional pendidikan. Hal ini penting, sehingga
penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.
Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen
sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis
depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan
proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran
dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya
proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan
budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan
terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya,
pemahaman pengelola pendidikan terhadap tujuan dan fungsi
pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang
Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi
besar terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.
Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah
(kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan
kewenangan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan
kabupaten/kota berada dalam kewenangan pemerintah provinsi.
Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar
penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi
lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di
Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas pendidikan, meski pada
kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung
jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga,
kebudayaan, bahkan pariwisata. Oleh karenanya, dalam
penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi
penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai
dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di
satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan aspek
kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place
perlu secara konsisten diimplementasikan.
Pimpinan dinas yang menyelenggarakan pendidikan di
kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni
mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada
kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam
mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa
dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan
pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk
mengarahkan agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai
dengan tujuan-tujuan organisasi.
Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini,
kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan
permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama
adanya kenyataan bahwa penggantian pemimpin (suksesi
kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau
organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan
menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan
organisasi, namun pada kenyataannya dipandang tidak penting.
Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala
namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil
penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti
kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang
kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang
bekerja.
Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa
setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri,
hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :
Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang
kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).
Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia sebagai
seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Adapula
manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah
diperlukan pengetahuan dan keilmuan tentang kepemimpinan,
sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap
dan bingung dengan jabatannya sehingga dapat menunaikan
amanahnya.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang
menandai kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen.
Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan
bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan
dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit
mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan
kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya
dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia
pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur
dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya,
kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.
Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan
Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan
pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar,
banyak membaca, dan memiliki pengetahuan mutakhir serta
pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan
orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki
kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai
macam kondisi yang cepat berubah, serta melanjutkan misi
kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin
tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun
sejarah di kelak kemudian hari.
Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah
dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul
dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah
bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan,
materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang
pemimpin dalam mengambil keputusan. Pemimpin harus berani
mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang ada.
Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan
kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari
keputusan tetap berada di level pemimpin. Stoner (2003:205)
memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu
arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah
tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan
sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai
dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan
beberapa aspek, diantaranya: pertama, pembuat keputusan
(pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya.
Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan
dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan
dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,
pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang
hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil
proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang
sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran
leadership itu diperlukan.
Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan Kajian dari Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan
masalah sebagai berikut ini.
1. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif agama?
2. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?
3. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?
4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?
C. Tujuan
Secara umum makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
2. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .
3. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.
4. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan
pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi. Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk
1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup
messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis,
psikologis dan sosiologis.
2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi,
psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.
5. Manfaat
Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan
keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori
pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif
agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.
Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya
dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal
pengambilan keputusan sebagai pengelola maupun sebagai
penyelenggara organisasi pendidikan.
6. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui
metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau
pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan
BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN A. Kepemimpinan Pendidikan
Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam
teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori
kepemimpinan, tipe kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari
aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.
1. Pengertian Kepemimpinan
Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli
mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya
masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel &
Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai
pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga
mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan
dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to
Executive Command menulis bahwa “Leadership is capatibilty of
persuading others to work together undertheir direction as a team to
accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah
kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah
pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu
tujuan tertentu).
Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh
kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan
mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana
dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan
manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas
Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan
pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya
Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan
kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan
paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat
bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang
lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang
tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003)
kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan
pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk
berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki
kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan
pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists)
cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk
membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.
Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua
pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain
orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan
pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada
sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang
mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada
pemimpin tersebut".
Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau
menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang
hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka
pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus.
Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold
Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:
a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya. b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh. c. Mantap dalam kelancaran berbicara.
d. Mantap berpikir dan emosi.
e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang
untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar
dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia
mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan
bersama.
2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang
kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu:
pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional
(Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia
a. Pendekatan Sifat.
Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para
pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori
pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki
ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para
pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang
dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai
sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3)
kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.
Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang
mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi,
yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,
(3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap
hubungan manusiawi.
b. Pendekatan Perilaku.
Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat.
Menurut pendekatan perilaku, pendekatan sifat tidak dapat
menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh
karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat
seorang pemimpin melainkan mencoba menentukan apa yang
dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka
mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan
memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan
sebagainya.
Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan
fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau
pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(Group-maintenance) atau sosial.
Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,
informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang
dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, memperoleh
persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan
sebagainya.
Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya
pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi
gaya kepemimpinan yakni:
(1) gaya orientasi tugas (task oriented);
(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).
Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan
berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai
dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari
pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara
manusiawi, sehingga mereka akan selalu memberikan motivasi,
melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan
persahabatan dan saling menghormati.
c. Pendekatan Situasional.
Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai
kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini
didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan,
Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan
sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,
organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al,
(1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich
(1990:158-259) mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang
mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang
ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka
hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi
utama dalam situasi kepemimpinan yang mempengaruhi gaya
pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas
dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko
(2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa
dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak
menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau
pekerjaan adalah sangat efektif. Akan tetapi bila situasi yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin
hubungan manusiawi akan sangat efektif.
Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori
Hersey-Blanchard. Menurut Siagian (2003:139) pada intinya teori ini
menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung
pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)
yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori
ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas
kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron – client.
Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat hubungan
dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual,
mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian.
3. Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya
kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki
gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian
tentang gaya kepemimpinan seseorang.
Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa
setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin
bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu
lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.
Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan
Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan
Schmidt seperti dikutip oleh Wahjosumidjo (2001:40) semuanya
berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan
masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi
tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan
Otokratis, Demokratis, Laissez faire.
a. Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin
sebagai sumber kebijakan. Pemimpin merupakan segala-galanya.
Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh
karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak
diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.
keorganisasian. Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya
ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak
pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang
berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat
apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap
pemimpinnya.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan
wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif
dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul
serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan
ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan
organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai
tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan
mengevaluasi serta mengkoordinasi.
Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi
bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena
itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya
kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan
kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan
wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan
pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai
pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan
yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai
pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran
Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan
mengambil keputusan dari bawahannya sehingga pikiran-pikiran
mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya
juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan
menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih
“supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi
bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam
pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi
anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan
memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire
Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan
mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan
tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam
hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh
kepemimpinan (Purwanto,1992:48)
Pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil
keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada
prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus
saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya,
asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini
tersebut kepada para bawahannya. Dalam konteks pimpinan
menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka
sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan
membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut
dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian
yang tinggi.
Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai
tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang
mempengaruhi perilaku pemimpin. Seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik
yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal
dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang
demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan
mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan
ditafsirkan bahwa kepemimpinan demokratis selalu meminta
pertimbangan bawahan untuk semua hal.
4. Kepemimpinan Partisipatif
Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa
teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang
kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori
ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku
pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan
kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku
kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-prestasi
(Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko,
2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah
pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi
masih membuat keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi
menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan
lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang
non partisipatif.
Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh
seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang
lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat
tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini
mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung
kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi
yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku
kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan
saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan
keputusan dan pendelegasian kekuasaan.
B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis 1. Landasan Agama
Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila
pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin
apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus
patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah
ini.
"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159)
Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok,
bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar
sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang
ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi
dalam pengambilan keputusan.
Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang
amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga
dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang
bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka
hadapi.
Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan
petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara
mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana
seharusnya relasi suami- istri saat mengambil keputusan yang
berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam
menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus
mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan
tanpa ada musyawarah. Seandainya salah dari keduanya tidak
menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut
dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an
memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk
persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena
musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan
sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana
untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,
baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara
khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai
sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi
kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu
hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah
keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah
yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan
persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah
Rasulullah, beliau Saw tidak pernah memberikan contoh
memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.
Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis
penyergapan musuh dalam perang Badar.
Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang
sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa
melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut,
misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik.
Namun musyawarah dilakukan untuk persoalan-persoalan dalam
domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh
karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum
mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya
dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat
pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila
pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa
atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat
banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw.
Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan
suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang
mendalam hingga diperhitungkan benar-benar sisi negatif dan
positifnya. Bila dikaitkan dengan pengambilan keputusan, maka
pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara
berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang
keliru.
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani
“Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti
suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah,
atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan”
atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari
kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu.
Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan
sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran.
Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu.
Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi
semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan
sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain
saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.
Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh
terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme,
idealisme, perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme,
materialisme, dan eksistensialisme.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap
disebut sebagai instrumentalisme, eksperimentalisme, dan
enviomentalisme.
instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan
manusia.
eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori.
environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah
William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan
Georges Santayana.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat
progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah
adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat
mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan
sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.
Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan
program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak
didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk
belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata
lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.
Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga
berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value) sehingga
anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.
b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme.
Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individu dengan menitikberatkan pada Aku. Menurut
esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami
akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala
pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan
waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda,
tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat
didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan
menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan
filosof, menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini
berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah
ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru
yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan
c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini
diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan
menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama
dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat
berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan
dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran
dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,
orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan
problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan
penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak
memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah,
arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan
tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak
dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang
yang telah mendidik dan mengajarkan.
d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.
Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut
memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual
dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi
bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur
dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang
dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang
kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid
Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang
semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.
Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu
dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak
dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan
lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang
tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam
lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan
ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran
yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli,
kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari
yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi
merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme
menjadi dua :
1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata
dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme
klasik dan realisme religi.
2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati
bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana
adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam
merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme
rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain
mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis.
Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat
pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip
demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan
realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang
mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan
rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme
dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.
g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi
yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia,
termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai
perilaku.
h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles
menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx
(1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen
Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.
Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,
seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun
pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi
masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,
getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah
kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak
terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran.
It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena
kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat
yang mendukung bisnis dan politik Amerika.
i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat
pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana
yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,
khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan
keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar
akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari
eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke
berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah,
apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan
sendiri.
3. Landasan Psikologis
Agar memperoleh pemahaman yang utuh, maka akan dibahas berbagai
aliran dan bentuk dalam psikologi yang berhubungan dengan
pendidikan.
a. Aliran Psikologi
Aliran psikolgi terbagi dalam 2 (dua) aliran besar, yakni aliran
psikologi tingkahlaku dan aliran psikologi kognitif.
1) Aliran psikologi tingkah laku
Aliran psikologi tingkah laku menekankan pada perilaku manusia
sebagai objeknya. Aliran ini terdiri dari teori pengaitan, penguatan dan
hirarki belajar.
a) Teori Pengaitan.
Teori pengaitan dipelopori oleh Edward L. Thorndike dengan
percobaannya yang menggunakan beberapa jenis hewan., ia
mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori
“pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan belajar pada
hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut prinsip yang
sam taitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi)
yang diberikan atas stimulus tersebut (Orton, 1991:39; Resnick dan
Ford, 1981:13).
Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick dan
Ford, 1981:13;Hudojo,1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya
asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum
berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law
of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect).
b) Teori Penguatan B.F. Skinner
Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil
percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner
menyimpulkan bahwa kita dapat membentuk tingkah laku manusia
melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant conditioning) dan
penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan
positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,
apabila penyajiannya mengiringi suatu tingkah laku siswa yang
cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku
itu, dalam hal ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat. Sedangkan
penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena
cenderung menguatkan tingkah laku.
c) Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne
Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh Behaviorism
gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam mengembangkan teorinya,
Gagne memperhatikan objek-objek dalam mempelajari matematika
adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak
langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki,
kemampuan memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap positif
terhadap matematika.
Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan
tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki
kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh karena itu teori
belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori hirarki
belajar” Gagne membagi belajar dalam delapan tipe secara berurtan,
yaitu: belajar sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak,
rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan
pemecahan masalah. Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada
setiap tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan
yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan
kembali.
Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada
pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara operasional
yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic matematika guru perlu: (a)
memperhatikan kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk
mempelajari topic tersebut, (b) menyusun dan mendaftar
langkah-langkah kegiatan belajar serta membedakan karakteristik belajar yang
tersusun secara hirarkis yang dapat didemonstrasikan oleh peserta
didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya. (2) guru
dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar
Perkembangan kemampuan belajar menurut Gagne
(McNeil,1977) Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan
stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d.
Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti
huruf hidup, hurup mati, dsb.
Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau
aturan-aturan konsep.
2) Aliran psikologi kognitif
a) Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget
Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar belakang
pendidikan formalnya adalah falsafah dan biologi. Piaget
mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual (kognitif) Menurut
Piaget ada empat tingkat perkembangan Intelektual. (Mulyani 1988,
Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983):
1) Periode Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun
2) Periode Praoperasional pada umur 2 – 7 tahun
3) Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun
4) Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun b) Teori Belajar dari Jerome Bruner
Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti Soekamto,
1994) ada tiga tahap, yaitu:
1) Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan
2) Tahap Ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya mengenai
kegiatan belajar-mengajar matematika Bruner merumuskan empat
teori umum tentang belajar matematika yaitu:
1) Teorema penyusunan (contruction theorem)
2) Teorema pelambangan (notation theorem)
3) Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (contrast and
variation theorem)
4) Teorema pengaitan (connectivity theorem)
Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk
Landasan Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif.
Landasan psikologis sangat penting karena manusia memiliki
karakter yang berbeda-beda, sehinggap membutuhkan teori yang
berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan.
Mengingat dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan
pendidikan, maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan
mengaplikasikannya dalam kelas.
b. Bentuk psikologis pendidikan
Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk psikologi pendidikan yang penting
untuk diketahui, yakni psikologi perkembangan, psikologi belajar,dan
psikologi sosial.
1) Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan.
Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih,
a) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki
ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada
tahap-tahap yang lain.
b) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat
kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan
dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok
berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras,
status sosial ekonomi, dan sebagainya.
c) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai
pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang
secara individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah
pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu
bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan
mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang
diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan,
sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu
saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak,
misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa
perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
b) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif. c) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan
perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang. d) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual
menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah
mulai belajar berbudaya. 2) Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku
yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil
perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa
melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu
mengomunikasikannya kepada orang lain.
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu
usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan
lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna.
Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan
tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk
mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar,
sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil
belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal
yaitu proses belajar dan hasil belajar.
Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola
belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori
Belajar.
a) Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin
Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar
sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
b) Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak
berkelahi dan sebagainya.
c) Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk
memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta,
2007:218). 3) Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi
yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang
mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk
mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar
individu (Pidarta, 2007:219).
4. Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan sesunggnya rekayasa sosial yang
memungkinkan terjadinya interaksi antara orang yang dewasa dengan
orang yang belum dewasa sehingga orang yang belum dewasa itu
menjadi dewasa. Proses rekayasa sosial itu disusun secara terencana
dan sistematis melalui tahapan-tahapan tertentu, sehingga dapat
terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin intensif.
Dengan meningkatkan perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan
tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Untuk terciptanya
kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai
sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang
mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh
masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma
yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham
kolektivisme, (3) paham integralistik.
a. Faham Individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja
menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu
keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara
pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas
kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk
mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu
dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan
dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat
sajalah yang dapat eksis.
b. Faham Kolektivisme merupakan faham yang berlawanan dengan faham individualisasi. Faham kolektivisme memberikan kedudukan
yang berlebihan kepada masyarakat dan individu secara
dianut oleh negara-negara sosialis yang umumnya merupakan
negara totaliter.
c. Faham Integralistik merupakan faham yang merupakan paduan dari faham individualistic dan faham kolektivisme. Dalam
masyarakat yang menganut Faham integralistik, masing-masing
anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara
organis dan membentuk masyarakat. Pengakuan secara seimbang
terhadap hak-hak individu dan hak-hak masyarakat. Negara
Indonesia merupakan negara yang dibentuk beradasarkan faham
integralistik.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham
integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1)
kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah
untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup
bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, (4)
selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu,
pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia
orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
C. Pengambilan Keputusan
1. Pengertian Pengambilan Keputusan
Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai
proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan
sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan
keputusan sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari
berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Salusu (1996:47)