• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan kepala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan kepala"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

(Kajian dari Perspektif Agama, Filosofis, Psikologis, dan

Sosiologis)

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Agama, Filosofi, Psikologi, dan Sosiologi dari Kepemimpinan Pendidikan

DOSEN :

PROF. DR. H. ISHAK ABDULHAK PROF. DR. H. SOFYAN SAURI, M.Pd

Oleh :

ASEP WAHYU

NIM. 4103810413003

DENNY KODRAT

NIM. 4103810413007

SLAMET

NIM. 4103810413018

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

2014

(2)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Organisasi pendidikan merupakan organisasi yang unik. Karena

keunikannya, lembaga pendidikan tidak dapat disejajarkan dengan

lembaga-lembaga atau organisasi lainnya. Keunikannya terletak dari

misinya sebagai lembaga pencetak manusia-manusia yang memiliki

kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan tertentu agar dapat hidup

sebagai manusia yang produktif dan beradab. Karena keunikannya itu

pulalah, lembaga pendidikan harus diselenggarakan dan dikelola oleh

lembaga dan orang-orang yang berkompeten.

Penyelenggara pendidikan, baik pemerintah, pemerintah daerah

maupun komunitas masyarakat (yayasan) harus memiliki kemampuan

yang handal dalam hal penyusunan dan pengembangan kurikulum,

penyediaan sarana dan prasarana, pengadaan tenaga pendidikan dan

tenaga kependidikan, kemampuan pendanaan dan berbagai hal yang

menjadi standar nasional pendidikan. Hal ini penting, sehingga

penyelenggaraan pendidikan tidak mengabaikan kualitas.

Selain penyelenggara, unsur pengelola pendidikan (manajemen

sekolah) memiliki peran yang tidak kalah penting. Ia berada pada garis

depan (front office line) yang bertanggungjawab menyelenggarakan

proses pembelajaran. Di bawah kewenangannya, proses pembelajaran

dan bagaimana kualitas dari proses tersebut terjadi. Disinilah sejatinya

proses tranfer nilai (transfer of values) melalui proses imitasi, pewarisan

budaya, hingga proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan

terjadi dengan memadai ataukah tidak memadai. Oleh karenanya,

pemahaman pengelola pendidikan terhadap tujuan dan fungsi

pendidikan akan sangat menentukan kualitas lembaga pendidikan yang

(3)

Era desentralisasi dan otonomi daerah telah membawa implikasi

besar terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.

Kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah

(kecuali madrasah) berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 didelegasikan

kewenangan penyelenggaraannya kepada pemerintah daerah

kabupaten/kota. Hanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah pada

jenjang pendidikan dasar dan menengah yang berada pada perbatasan

kabupaten/kota berada dalam kewenangan pemerintah provinsi.

Sementara itu, pemerintah pusat berperan dalam menetapkan standar

penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi : standar kompetensi

lulusan (SKL), standar isi, standar penilaian, standar pendidik dan

tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar sarana dan

prasarana, standar pengelolaan, serta standar proses di jenjang

pendidikan dasar dan menengah.

Penyelenggara pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) di

Kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas pendidikan, meski pada

kenyataannya, dinas pengelola pendidikan ini diberi pula tanggung

jawab mengelola urusan lain, seperti urusan pemuda, olah raga,

kebudayaan, bahkan pariwisata. Oleh karenanya, dalam

penyelenggaran pendidikan di tingkat messo, dibutuhkan pula birokrasi

penyelenggara pendidikan yang kompeten. Penempatan personil, mulai

dari pimpinan hingga pelaksana dan pengelola pendidikan di

satuan-satuan pendidikan, harus benar-benar memperhatikan aspek

kompetensi. Prinsip merit system dan the right man on the right place

perlu secara konsisten diimplementasikan.

Pimpinan dinas yang menyelenggarakan pendidikan di

kabupaten/kota dan pimpinan satuan pendidikan harus memiliki jiwa

(4)

menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni

mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada

kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam

mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Itu berarti bahwa

dalam diri seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dibandingkan

pengikutnya, kelebihan yang utama adalah kemampuannya untuk

mengarahkan agar pengikutnya tetap melaksanakan kegiatan sesuai

dengan tujuan-tujuan organisasi.

Dari sudut pandang penyelenggaraan pendidikan dewasa ini,

kepemimpinan menjadi sangat penting dan cenderung menyisakan

permasalahan, terutama bila dipandang dari 2 (dua) hal, pertama

adanya kenyataan bahwa penggantian pemimpin (suksesi

kepemimipinan) seringkali mengubah kinerja suatu unit, instansi atau

organisasi; kedua, hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan

menjadi salah satu faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan

organisasi, namun pada kenyataannya dipandang tidak penting.

Sehingga yang terjadi adalah organisasi memiliki pemimpin/kepala

namun gagal dalam menghadirkan leadership (Yukl, 1989). Hasil

penelitian tersebut membuktikan adanya jargon “ganti pimpinan, ganti

kebijakan”, bahkan sampai hal-hal teknis seperti ganti tata ruang

kantor, ganti kursi, atau ganti warna dinding, bukan sistem yang

bekerja.

Dalam perspektif religi, Rasulullah Saw mengingatkan bahwa

setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri,

hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits :

(5)

Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a ia berkata: bersabda Rasulullah saw

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang

kepemimpinan kalian… al-hadits” (HR.Mutafaq `alaih).

Namun, terkadang manusia lupa tentang peranan dia sebagai

seorang pemimpin dan terkadang dia tidak tahu bahwa kelak dia akan

dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Adapula

manusia yang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin tapi ia tidak tahu

apa yang harus diperbuat sebagai seorang pemimpin. Disinilah

diperlukan pengetahuan dan keilmuan tentang kepemimpinan,

sehingga seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin tidak gagap

dan bingung dengan jabatannya sehingga dapat menunaikan

amanahnya.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga masalah mendasar yang

menandai kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen.

Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab

untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah kemaslahatan

bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan

dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit

mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan

kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya

dengan kemampuan untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia

pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur

dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya,

kuat iman dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang.

Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan

(6)

Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan

pada bakat atau keturunan. Pemimpin zaman sekarang harus belajar,

banyak membaca, dan memiliki pengetahuan mutakhir serta

pemahaman mengenai berbagai soal yang menyangkut kepentingan

orang-orang yang dipimpin. Selain itu, pemimpin harus memiliki

kredibilitas dan integritas, mampu bertahan (survive) dalam berbagai

macam kondisi yang cepat berubah, serta melanjutkan misi

kepemimpinannya. Jika tidak memiliki kemampuan tersebut, pemimpin

tersebut hanya akan menjadi karikatur dan tertawaan dalam kurun

sejarah di kelak kemudian hari.

Sementara itu, permasalahan lain dalam kepemimpinan adalah

dalam proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang muncul

dalam pengambilan keputusan menjadi persoalan yang tidak mudah

bagi seorang pemimpin. Persoalan ego, kepentingan, kondisi bawahan,

materi keputusan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi seorang

pemimpin dalam mengambil keputusan. Pemimpin harus berani

mengambil keputusan terhadap kebijakan tertentu sesuai dengan

mekanisme dan ketentuan yang ada.

Pengambilan keputusan pada dasarnya tidak dapat didelegasikan

kepada pengikut atau pegawai di bawahnya. Sebab konsekuensi dari

keputusan tetap berada di level pemimpin. Stoner (2003:205)

memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu

arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah

tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan

sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai

(7)

dapat muncul dalam proses pengambilan keputusan ini disebabkan

beberapa aspek, diantaranya: pertama, pembuat keputusan

(pemimpin) merupakan manusia dengan kompleksitas karakteristiknya.

Kedua, pembuat keputusan dalam organisasi pendidikan berhadapan

dengan manusia, mengurusi urusan manusia, bukan berhubungan

dengan mesin yang hanya berhubungan secara mekanis. Ketiga,

pembuat keputusan dihadapkan pula dengan sistem nilai (values) yang

hidup dalam organisasi tersebut serta dalam masyarakat. Walhasil

proses pengambilan keputusan itu sejatinya bukanlah hal yang

sederhana, melainkan hal yang komplek dan rumit. Disinilah kehadiran

leadership itu diperlukan.

Dalam makalah singkat ini, akan dibahas “Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Pendidikan Kajian dari Presfektif Agama, Filosofis, Psikologis,dan Sosiologis”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditetapkan perumusan

masalah sebagai berikut ini.

1. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif agama?

2. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat?

3. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis?

4. Bagaimanakah pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi?

C. Tujuan

Secara umum makalah ini bertujuan untuk

1. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

(8)

2. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dari perspektif filsafat .

3. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif psikologis.

4. mengetahui pengambilan keputusan dalam kepemimpinan

pendidikan ditinjau dalam perspektif sosiologi. Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan untuk

1. mengetahui penerapan pengambilan keputusan dalam lingkup

messo dan mikro pendidikan menurut perspektif agama, filosofis,

psikologis dan sosiologis.

2. memenuhi salah satu tugas perkuliahan landasan agama, filosofi,

psikologi dan sosiologi dari kepemimpinan pendidikan.

5. Manfaat

Secara teoritis makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu

manajemen khususnya menyangkut kepemimpinan dan pengambilan

keputusan. Selain itu, makalah ini menelaah berbagai macam teori

pengambilan keputusan dalam kepemimpinan ditinjau dari perspektif

agama, filosofis, psikologis dan sosiologi.

Adapun secara praktis, makalah ini bermanfaat bagi pembacanya

dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan terutama dalam hal

pengambilan keputusan sebagai pengelola maupun sebagai

penyelenggara organisasi pendidikan.

6. Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan pendekatan deduktif yakni melalui

metode studi kepustakaan, baik pada buku-buku, artikel jurnal, atau

pada online yang membahas mengenai kepemimpinan, pengambilan

(9)

BAB II

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN A. Kepemimpinan Pendidikan

Secara berturut-turut pada bagian ini akan dibahas berbagai macam

teori dan pendapat berkenaan dengan pengertian kepemimpinan, teori

kepemimpinan, tipe kepemimpinan, kepemimpinan partisipatif dari

aspek agama, filosofis, psikologis dan sosiologis.

1. Pengertian Kepemimpinan

Pengertian kepemimpinan sangat beragam. Setiap ahli

mengemukakan pengertiannya berdasarkan cara pandangnya

masing-masing. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koontz, O’Donnel &

Weihrich (1990:147) yang mendefinisikan kepemimpinan sebagai

pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga

mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan

dan antusias. James. M Black dalam bukunya Management, A guide to

Executive Command menulis bahwa “Leadership is capatibilty of

persuading others to work together undertheir direction as a team to

accomplish certain designated objectives” (kepemimpinan adalah

kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah

pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu

tujuan tertentu).

Demikian pula, Kartono (2005:187) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh

kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan

mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan

bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana

dikemukakan oleh Kambey (2003:125) mendefinisikan kepemimpinan

manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas

(10)

Rost (dalam Safira, 2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai

sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan

pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang

mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432)

mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya

Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan

paksaan untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu. Adapun Tead, Terry, Hoyt (dalam Kartono, 2003) berpendapat

bahwa kepemimpinan adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang

lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang

tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan

yang diinginkan kelompok. Menurut Young (dalam Kartono, 2003)

kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan

pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk

berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan

memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.

Moejiono (2002) memandang bahwa leadership sebenarnya

sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki

kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan

pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorists)

cenderung memandang leadership sebagai pemaksaan atau

pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk

membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin.

Abdulrachman (2004:16) berpendapat bahwa: "tidak semua

pemimpin akan dapat mempengaruhi dan menggerakkan orang lain

(11)

orang lain baru dapat dipengaruhi/digerakkan jika: (1) Ada kemampuan

pada pemimpin untuk menggunakan teknik kepemimpinan; (2) Ada

sifat-sifat khusus pada pemimpin yaitu sifat-sifat kepemimpinan yang

mempengaruhi jiwa orang-orang sehingga kagum dan tertarik pada

pemimpin tersebut".

Dengan demikian, untuk mampu mempengaruhi atau

menggerakkan orang lain agar dengan penuh kesadaran dan senang

hati bersedia melakukan dan mengikuti kehendak pemimpin, maka

pemimpin harus memiliki kemampuan dan memiliki sifat-sifat khusus.

Sedangkan sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin menurut Harold

Koontz dan Cyrill O’Donnell (1990:21), yaitu:

a. Memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya. b. Mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh. c. Mantap dalam kelancaran berbicara.

d. Mantap berpikir dan emosi.

e. Mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin f. Memahami kepentingan tentang kerjasama.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang

untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang lain agar

dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia

mengikuti kehendaknya tersebut untuk mewujudkan suatu tujuan

bersama.

2. Teori-Teori tentang Kepemimpinan

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa teori tentang

kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu:

pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional

(Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia

(12)

a. Pendekatan Sifat.

Teori pendekatan sifat memusatkan perhatian pada diri para

pemimpin itu sendiri, oleh karena itu teori ini lebih dikenal sebagai teori

pembawaan. Dalam teori ini disebutkan bahwa pemimpin memiliki

ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan ia dapat memimpin para

pengikutnya. Sifat-sifat tertentu itu menurut Ghiseli (1971) seperti yang

dikutip oleh Handoko (2001:297) antara lain: (1) kemampuan sebagai

sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3)

kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif.

Sedangkan Davis menyimpulkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang

mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi,

yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,

(3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap

hubungan manusiawi.

b. Pendekatan Perilaku.

Pendekatan perilaku mencoba mengoreksi pendekatan sifat.

Menurut pendekatan perilaku, pendekatan sifat tidak dapat

menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif. Oleh

karenanya, pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat

seorang pemimpin melainkan mencoba menentukan apa yang

dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka

mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan

memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan

sebagainya.

Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang

dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan

(13)

fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau

pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok

(Group-maintenance) atau sosial.

Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian,

informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang

dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, memperoleh

persetujuan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan

sebagainya.

Selain itu, perilaku kepemimpinan juga dapat dilihat dari gaya

pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi

gaya kepemimpinan yakni:

(1) gaya orientasi tugas (task oriented);

(2) gaya orientasi karyawan (employe-oriented).

Seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan

berusaha mendorong bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai

dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari

pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin

yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara

manusiawi, sehingga mereka akan selalu memberikan motivasi,

melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan

persahabatan dan saling menghormati.

c. Pendekatan Situasional.

Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun

gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin untuk berbagai

kondisi. Oleh karenanya, lahirlah pendekatan situasional. Pendekatan ini

didasarkan pada keyakinan bahwa para pemimpin dalam menjalankan

kepemimpinannya, terutama pada aktifitas pengambilan keputusan,

(14)

Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya kepemimpinan

sangat bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,

organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Stogdill et.al,

(1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich

(1990:158-259) mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang

mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang

ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka

hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi

utama dalam situasi kepemimpinan yang mempengaruhi gaya

pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktur tugas

dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko

(2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa

dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak

menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau

pekerjaan adalah sangat efektif. Akan tetapi bila situasi yang

menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin

hubungan manusiawi akan sangat efektif.

Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori

Hersey-Blanchard. Menurut Siagian (2003:139) pada intinya teori ini

menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung

pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk

menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan)

yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori

ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas

kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan atau patron – client.

Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat hubungan

(15)

dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual,

mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian.

3. Gaya Kepemimpinan

Perilaku pemimpin dalam memimpin organisasi disebut juga gaya

kepemimpinan (Style of Leadership ). Setiap pemimpin memiliki

gayanya sendiri dalam memimpin. Oleh karenanya banyak penelitian

tentang gaya kepemimpinan seseorang.

Berbagai gaya kepemimpinan telah diteliti dan ditemukan bahwa

setiap pemimpin telah diteliti dan ditemukan bahwa setiap pemimpin

bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu

dengan yang lain, dan tidak mesti suatu gaya kepemimpinan yang satu

lebih baik atau lebih jelek daripada gaya kepemimpinan yang lainya.

Studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan

Universitas Michigan maupun yang dilakukan oleh Tannenbaum dan

Schmidt seperti dikutip oleh Wahjosumidjo (2001:40) semuanya

berusaha mencari gaya kepemimpinan yang efektif. Berkaitan dengan

masalah gaya kepemimpinan, Ngalim Purwanto (1992, 48-50) membagi

tiga gaya kepemimpinan yang pokok yaitu gaya kepemimpinan

Otokratis, Demokratis, Laissez faire.

a. Gaya Kepemimpinan Otokratis

Gaya kepemimpinan Otokratis ini meletakkan seorang pemimpin

sebagai sumber kebijakan. Pemimpin merupakan segala-galanya.

Bawahan dipandang sebagai orang yang melaksanakan perintah. Oleh

karena itu bawahan-bawahan hanya menerima instruksi saja dan tidak

diperkenankan membantah maupun mengeluarkan ide atau pendapat.

(16)

keorganisasian. Pada tipe kepemimpinan ini segala sesuatunya

ditentukan oleh pemimpin sehingga keberhasilan organisasi terletak

pada pemimpin. Pada gaya kepemimpinan ini terjadi dominasi yang

berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat

apatis, atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap

pemimpinnya.

b. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan ini memberikan tanggung jawab dan

wewenang kepada semua pihak, sehingga mereka ikut terlibat aktif

dalam organisasi. Anggota diberi kesempatan untuk memberikan usul

serta saran dan kritik demi kemajuan organisasi. Gaya kepemimpinan

ini memandang bawahan sebagai bagian dari keseluruhan

organisasinya, sehingga bawahan mendapat tempat sesuai dengan

harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemimpin mempunyai

tanggung jawab dan tugas untuk mengarahkan, mengontrol dan

mengevaluasi serta mengkoordinasi.

Kepemimpinan demokratis senantiasa melibatkan partisipasi

bawahan atau pengikutnya untuk mengambil keputusan. Oleh karena

itu, gaya kepemimpinan demokratis kerap disebut dengan gaya

kepemimpinan partisipatif. Pemimpin tipe seperti ini kerap menjalankan

kepemimpinan dengan konsultasi. Ia tidak mendelegasikan

wewenangnya untuk membuat keputusan akhir dan untuk memberikan

pengarahan tertentu kepada bawahanya. Tetapi ia mencari berbagai

pendapat dan pemikiran dari pada bawahanya mengenai keputusan

yang akan diambil. Ia akan secara serius mendengarkan dan menilai

pikiran-pikiran para bawahanya dan menerima sumbangan pikiran

(17)

Pemimpin dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan

mengambil keputusan dari bawahannya sehingga pikiran-pikiran

mereka akan selalu meningkat dan makin matang. Para bawahannya

juga didorong agar meningkatkan kemampuan mengendalikan diri dan

menerima tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin akan lebih

supportive” dalam kontak dengan para bawahan dan bukan menjadi

bersikap diktator. Meskipun tentu saja, wewenang terakhir dalam

pengambilan keputusan terletak pada pimpinan.

Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi

anggota-angotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai

tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu

berpangkal pada kepentingaan dan kebutuhan kelompoknya, dan

memperimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.

c. Gaya Kepemimpinan Laissez faire

Pada prinsipnya, gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan

mutlak kepada para bawahan. Semua keputusan dalam pelaksanaan

tugas dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Dalam

hal ini pemimpin bersifat pasif dan tidak memberikan contoh-contoh

kepemimpinan (Purwanto,1992:48)

Pemimpin mendelegasikan wewenang untuk mengambil

keputusan kepada para bawahannya dengan agak lengkap. Pada

prinsipnya pimpinan akan mengatakan “inilah pekerjaan yang harus

saudara lakukan. Saya tidak peduli bagaimana kalau mengerjakannya,

asalkan pekerjaan tersebut bisa diselesaikan dengan baik “. Disini

(18)

tersebut kepada para bawahannya. Dalam konteks pimpinan

menginginkan agar para bawahannya bisa mengendalikan diri mereka

sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan tidak akan

membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan tersebut

dan hanya para bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian

yang tinggi.

Dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut akan mempunyai

tingkat efektivitas yang berbeda-beda, tergantung pada faktor yang

mempengaruhi perilaku pemimpin. Seorang pemimpin dalam

menjalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh faktor, baik

yang berasal dari dalam diri pribadinya maupun faktor yang berasal

dari luar individu pemimpin tersebut. Sifat dasar kepemimpinan yang

harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan yang

demokratis atau kepemimpinan partisipatif. Pemimpin demokratis akan

mampu mengambil keputusan sendiri dalam situasi tertentu. Jangan

ditafsirkan bahwa kepemimpinan demokratis selalu meminta

pertimbangan bawahan untuk semua hal.

4. Kepemimpinan Partisipatif

Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa

teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang

kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori

ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku

pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan

kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku

(19)

kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-prestasi

(Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko,

2001:289-290). Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah

pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi

masih membuat keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi

menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan

lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang

non partisipatif.

Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh

seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang

lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat

tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998:132). Kepemimpinan ini

mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung

kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi

yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku

kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk

berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan

saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan

keputusan dan pendelegasian kekuasaan.

B. Landasan Agama, Filosofis, Psikologis, dan Sosiologis 1. Landasan Agama

Secara teologis, agama Islam telah menggariskan bahwa apabila

pemimpin akan mengambil keputusan diusahakan sejauh mungkin

(20)

apabila keputusan telah diambil maka terhadap keputusan itu harus

patuh sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Imran ayat 159 di bawah

ini.

"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku

lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu

maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila

kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal

kepada-Nya." (QS Ali-Imran: 159)

Musyawarah merupakan jalan yang baik untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan yang pelik, baik persoalan keluarga, kelompok,

bangsa atau persoalan apapun yang perlu segera dicarikan jalan keluar

sebagai pemecahannya. Dengan musyawarah maka orang-orang yang

ikut bermusyawarah merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Maka musyawarah sesungguhnya bentuk partisipatif anggota organisasi

dalam pengambilan keputusan.

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang

amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga

dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian Al-Qur’an dan Hadist yang

(21)

bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka

hadapi.

Dalam hal menyelesaikan urusan rumah tangga, Islam memberikan

petunjuk senagaimana tersurat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233.

Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka

(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara

mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

Sesungguhnya makna ayat ini membicarakan bagaimana

seharusnya relasi suami- istri saat mengambil keputusan yang

berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak dilakukan. Di dalam

menyapih anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus

mengadakan musyawarah. Menyapih anak itu tidak boleh dilakukan

tanpa ada musyawarah. Seandainya salah dari keduanya tidak

menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut

dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an

memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk

persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.

Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena

musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersatukan

sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana

untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.

Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan,

baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara

khusus. Oleh karena itu sistem permusyawaratan yang akan dipakai

sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai dengan cara yang mereka

(22)

Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi

kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu

hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah

keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah

yang dianjurkan atau diperintahkan dalam Islam itu khusus dalam

masalah-masalah yang diperbolehkan untuk dimusyawarahkan bukan

persoalan-persoalan yang sudah jelas hukumnya. Dalam sejarah

Rasulullah, beliau Saw tidak pernah memberikan contoh

memusyawarahkan status hukum khamar yang sudah jelas haram.

Tetapi Rasulullah Saw memberikan contoh memusyawarahkan teknis

penyergapan musuh dalam perang Badar.

Dengan kata lain, untuk persoalan-persoalan pokok (ushul) yang

sudah jelas hukum halal dan haramnya, umat Islam tidak bisa

melakukan musyawarah untuk mengubah status hukum tersebut,

misalnya dari status hukum halal berubah menjadi halal, dan sebalik.

Namun musyawarah dilakukan untuk persoalan-persoalan dalam

domain teknis atau untuk mencari pendapat dan saran yang kuat. Oleh

karenanya, dalam konteks ini, para sahabat Rasulullah Saw sebelum

mereka mengeluarkan pendapat kepada beliau Saw selalu bertanya

dulu apakah pendapat Rasulullah itu merupakan wahyu atau pendapat

pribadi beliau yang masih memungkinkan untuk diberi saran. Bila

pendapat tersebut adalah wahyu, para shahabat melakukan sami’na wa

atha’na. Namun, bila pendapat tersebut bukan wahyu, para shahabat

banyak memberikan pendapat kepada Nabi Muhammad Saw.

(23)

Landasan filosifis mengandung makna bahwa dalam melakukan

suatu pekerjaan atau tindasan didasari oleh cara berpikir yang

mendalam hingga diperhitungkan benar-benar sisi negatif dan

positifnya. Bila dikaitkan dengan pengambilan keputusan, maka

pemimpin dalam mengambil keputusan harus menggunakan cara

berpikir yang benar, hingga terhindar dari keputusan-keputusan yang

keliru.

Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani

Philosophia” yang terdiri dari dua kata, yaitu philos/philein yang berarti

suka, cinta, mencintai dan shophia yang berarti kebijaksanaan, hikmah,

atau kependaian ilmu. Philosophia berarti “cinta kepada kebijaksanaan”

atau “ cinta kepada ilmu”. Dalam bahasa Belanda, filsafat berasal dari

kata “wijsbegeerte” yang berarti keingingan untuk pandai atau berilmu.

Berfilsafat berarti berfikir secara mendalam (radikal) atau dengan

sungguh-sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran.

Dengan kata lain, berfilsafat berarti mencari kebenaran atas sesuatu.

Mengingat filsafat telah lama lahir dan menjadi landasan bagi

semua ilmu yang ada, maka ilmu pendidikan pun dalam perkembangan

sejarahnya diwarnai oleh berbagai aliran filsafat yang satu sama lain

saling melengkapi atau terkadang saling bertentangan.

Setidaknya ada 9 (sembilan) aliran filsafat yang berpengaruh

terhadap ilmu pendidikan, yakni filsafat progresivisme, esensiaisme,

idealisme, perenialisme, progresivisme,rekontruksionisme, realisme,

materialisme, dan eksistensialisme.

(24)

Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan

asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa

survive menghadapi semua tantangan hidup. Progresivisme kerap

disebut sebagai instrumentalisme, eksperimentalisme, dan

enviomentalisme.

instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk

kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan

manusia.

eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu

teori.

environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadiaan.

Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah

William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller dan

Georges Santayana.

Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di

dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar

kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan

kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan

bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat

oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat

progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan

sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat

(25)

Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu

dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.

Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi

pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar, karena sekolah

adalah bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, sekolah harus dapat

mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan

sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada.

Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan

program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak

didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah

itu. Fisafat progresivisme menghendaki sisi pendidikan dengan bentuk

belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing. Dengan kata

lain, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik.

Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai

pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan juga

berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value) sehingga

anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun

psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus

dihilangkan.

b. Aliran Filsafat pendidikan Esensialisme

Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang

didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal

peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman

Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme.

Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan,

(26)

Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada

nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan

kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.

Esensialisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai

pribadi individu dengan menitikberatkan pada Aku. Menurut

esensialisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami

akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari

mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala

pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsur

apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang

berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah

mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan

waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu

pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi pada benda,

tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan

mengatur dalam ruang dan waktu.

Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat

didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan

menciptakan diri sendiri. Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan

filosof, menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental.

Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini

berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah

ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Jadi, belajar adalah menerima

dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru

yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan

(27)

c. Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme

Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau

proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan

sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi

kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Dari pendapat ini

diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang

memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan

lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan

menemukan arah arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama

dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.

Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat

yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat

berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan

dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip

pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran

dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup,

orang akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan

problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan

penyelesaian masalahnya.

Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan

karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.

Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.

Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol

seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,

ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak

memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu. Sekolah,

(28)

arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan

tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran

(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak

dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang

yang telah mendidik dan mengajarkan.

d. Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme

Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,

yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,

rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak

tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.

Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan

aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern.

Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut

memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang

mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,

kebingungan, dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionisme

berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas

semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual

dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina

kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi

generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam

pengawasan umat manusia.Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi

bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur

dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang

dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang

(29)

kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan,

kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa

membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama

(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.

e. Aliran Filsafat pendidikan Idealisme

Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid

Socrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang

mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang

semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli

(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera.

Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu

dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata

hanyalah ide. Dalam hal ini, ide sendiri selalu tetap atau tidak

mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak

dikategorikan ideal. Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah,

tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.

Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan

lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang

tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam

lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan

ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang

merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ide), gagasan dan pikiran

yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli,

kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari

yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.

(30)

Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi

merupakan hakikat yang asli dan abadi. Kneller membagi realisme

menjadi dua :

1) Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata

dan berada di luar pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme

klasik dan realisme religi.

2) Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati

bukan hasil kreasi akal manusia, melainkan dunia sebagaimana

adanya, dan substansialitas,sebab akibat, serta aturan-aturan alam

merupakan suatu penampakan dari dunia itu sendiri. Selain realisme

rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain

mengenai realisme, yaitu neo-realisme dan realisme kritis.

Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed mengenai filsafat

pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip

demokrasi, yaitu menghormati hak-hak individu. Sedangkan

realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant yang

mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan

rasionalisme, skeptimisme dan absolutisme, serta eudaemonisme

dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat.

g. Aliran Filsafat Pendidikan Behaviorisme

Behaviorisme atau aliran perilaku merupakan filosoi dalam psikologi

yang berdasar pada proporsi bahwa semua yang dilakukan manusia,

termasuk tindakan, pikiran dan perasaan, dapat dianggap sebagai

perilaku.

h. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles

(31)

menghasilkan tokoh-tokoh pemikir, diantaranya ialah Karl Marx

(1818-1883) di kontinen Eropa dan William James (1842-1910) di kontinen

Amerika. Kedua pemikir itu mengklaim telah menemukan kebenaran.

Marx, yang terpengaruh positivisme, melahirkan sosialisme dan James,

seorang relativis, melahirkan pragmatisme. Baik sosialisme maupun

pragmatisme dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi

masalah besar, yaitu industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.

Arti umum dari pragmatisme ialah kegunaan, kepraktisan,

getting things done. Menjadikan sesuatu dapat dikerjakan adalah

kriteria bagi kebenaran. James berpendapat bahwa kebenaran itu tidak

terletak di luar dirinya, tetapi manusialah yang menciptakan kebenaran.

It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena

kriteria kebenaran itulah, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat

yang mendukung bisnis dan politik Amerika.

i. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat

pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang

bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana

yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang

benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar

bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing

individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat,

khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan

keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.

Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah

(32)

Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar

akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari

eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke

berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan

sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah,

apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan

sendiri.

3. Landasan Psikologis

Agar memperoleh pemahaman yang utuh, maka akan dibahas berbagai

aliran dan bentuk dalam psikologi yang berhubungan dengan

pendidikan.

a. Aliran Psikologi

Aliran psikolgi terbagi dalam 2 (dua) aliran besar, yakni aliran

psikologi tingkahlaku dan aliran psikologi kognitif.

1) Aliran psikologi tingkah laku

Aliran psikologi tingkah laku menekankan pada perilaku manusia

sebagai objeknya. Aliran ini terdiri dari teori pengaitan, penguatan dan

hirarki belajar.

a) Teori Pengaitan.

Teori pengaitan dipelopori oleh Edward L. Thorndike dengan

percobaannya yang menggunakan beberapa jenis hewan., ia

mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori

“pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan belajar pada

hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut prinsip yang

sam taitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi)

(33)

yang diberikan atas stimulus tersebut (Orton, 1991:39; Resnick dan

Ford, 1981:13).

Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick dan

Ford, 1981:13;Hudojo,1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya

asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum

berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law

of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect).

b) Teori Penguatan B.F. Skinner

Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil

percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner

menyimpulkan bahwa kita dapat membentuk tingkah laku manusia

melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant conditioning) dan

penguatan.

Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan

positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,

apabila penyajiannya mengiringi suatu tingkah laku siswa yang

cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku

itu, dalam hal ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat. Sedangkan

penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena

cenderung menguatkan tingkah laku.

c) Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne

Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh Behaviorism

gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam mengembangkan teorinya,

Gagne memperhatikan objek-objek dalam mempelajari matematika

(34)

adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak

langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki,

kemampuan memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap positif

terhadap matematika.

Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan

tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki

kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh karena itu teori

belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori hirarki

belajar” Gagne membagi belajar dalam delapan tipe secara berurtan,

yaitu: belajar sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak,

rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan

pemecahan masalah. Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada

setiap tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan

yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan

kembali.

Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada

pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara operasional

yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic matematika guru perlu: (a)

memperhatikan kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk

mempelajari topic tersebut, (b) menyusun dan mendaftar

langkah-langkah kegiatan belajar serta membedakan karakteristik belajar yang

tersusun secara hirarkis yang dapat didemonstrasikan oleh peserta

didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya. (2) guru

dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar

(35)

 Perkembangan kemampuan belajar menurut Gagne

(McNeil,1977) Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan

stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d.

 Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti

huruf hidup, hurup mati, dsb.

 Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau

aturan-aturan konsep.

2) Aliran psikologi kognitif

a) Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget

Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar belakang

pendidikan formalnya adalah falsafah dan biologi. Piaget

mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual (kognitif) Menurut

Piaget ada empat tingkat perkembangan Intelektual. (Mulyani 1988,

Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983):

1) Periode Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun

2) Periode Praoperasional pada umur 2 – 7 tahun

3) Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun

4) Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun b) Teori Belajar dari Jerome Bruner

Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti Soekamto,

1994) ada tiga tahap, yaitu:

1) Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan

2) Tahap Ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.

(36)

Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya mengenai

kegiatan belajar-mengajar matematika Bruner merumuskan empat

teori umum tentang belajar matematika yaitu:

1) Teorema penyusunan (contruction theorem)

2) Teorema pelambangan (notation theorem)

3) Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (contrast and

variation theorem)

4) Teorema pengaitan (connectivity theorem)

Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk

Landasan Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif.

Landasan psikologis sangat penting karena manusia memiliki

karakter yang berbeda-beda, sehinggap membutuhkan teori yang

berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan.

Mengingat dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan

pendidikan, maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan

mengaplikasikannya dalam kelas.

b. Bentuk psikologis pendidikan

Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk psikologi pendidikan yang penting

untuk diketahui, yakni psikologi perkembangan, psikologi belajar,dan

psikologi sosial.

1) Psikologis Perkembangan

Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan.

Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih,

(37)

a) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki

ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada

tahap-tahap yang lain.

b) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan

perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat

kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan

dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok

berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras,

status sosial ekonomi, dan sebagainya.

c) Pendekatan Ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai

pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang

secara individual.

Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah

pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu

bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan

mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang

diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan,

sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu

saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak,

misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa

perkembangan anak atas empat tahap yaitu :

(38)

b) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif. c) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan

perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang. d) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual

menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah

mulai belajar berbudaya. 2) Psikologi Belajar

Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku

yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil

perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa

melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu

mengomunikasikannya kepada orang lain.

Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu

usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan

lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna.

Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan

tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua,

perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.

Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk

mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar,

sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil

belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal

yaitu proses belajar dan hasil belajar.

Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola

(39)

belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori

Belajar.

a) Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin

Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar

sekolah terutama pendidikan seumur hidup.

b) Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak

berkelahi dan sebagainya.

c) Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk

memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta,

2007:218). 3) Psikologi Sosial

Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi

yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang

mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk

mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar

individu (Pidarta, 2007:219).

4. Landasan Sosiologis

Kegiatan pendidikan sesunggnya rekayasa sosial yang

memungkinkan terjadinya interaksi antara orang yang dewasa dengan

orang yang belum dewasa sehingga orang yang belum dewasa itu

menjadi dewasa. Proses rekayasa sosial itu disusun secara terencana

dan sistematis melalui tahapan-tahapan tertentu, sehingga dapat

(40)

terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh

pemerintah maupun masyarakat.

Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin intensif.

Dengan meningkatkan perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan

tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Untuk terciptanya

kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai

sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang

mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh

masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma

yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham

kolektivisme, (3) paham integralistik.

a. Faham Individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja

menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu

keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara

pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas

kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk

mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu

dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan

dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat

sajalah yang dapat eksis.

b. Faham Kolektivisme merupakan faham yang berlawanan dengan faham individualisasi. Faham kolektivisme memberikan kedudukan

yang berlebihan kepada masyarakat dan individu secara

(41)

dianut oleh negara-negara sosialis yang umumnya merupakan

negara totaliter.

c. Faham Integralistik merupakan faham yang merupakan paduan dari faham individualistic dan faham kolektivisme. Dalam

masyarakat yang menganut Faham integralistik, masing-masing

anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara

organis dan membentuk masyarakat. Pengakuan secara seimbang

terhadap hak-hak individu dan hak-hak masyarakat. Negara

Indonesia merupakan negara yang dibentuk beradasarkan faham

integralistik.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham

integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1)

kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah

untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup

bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, (4)

selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu,

pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia

orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

C. Pengambilan Keputusan

1. Pengertian Pengambilan Keputusan

Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai

proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan

sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan

keputusan sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari

berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Salusu (1996:47)

Referensi

Dokumen terkait

Air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi, salah satunya oleh logam berat yang terlarut dalam limbah tekstil

Argumentasi adalah kumpulan beberapa proposisi yang saling berkaitan dimana salah satu proposisi disebut sebagai kesimpulan atau konklusi sedangkan proposisi-proposisi yang

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum yang diformulasi dengan suplementasi vitamin A (2000 IU) dan E (20 IU) tidak mengganggu

xi Gambar 4.8 Kurva waktu dalam pembebanan suhu sebesar 176.7 °C 56 Gambar 4.9 Sisi fix pada wellhead body 56 Gambar 4.10 Sisi on flat face pada metal annulus seal 57 Gambar

Dari banyaknya film horor yang beredar di Indonesia, peneliti memilih film “Hantu Budeg” karena di dalam film ini banyak adegan yang vulgar, bahkan di dalam

Algoritma ini adalah pengembangan dari Algoritma C4.5 dengan menggunakan beberapa decision tree, dimana training data telah dilakukan pada setiap decision tree dengan

mempergunakan berbagai upaya yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Keberhasilan seorang guru dalam pembelajaran, ini merupakan hasil dari tepatnya strategi pembelajaran