• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pandangan Dunia Orang Indonesia Ba (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Pandangan Dunia Orang Indonesia Ba (1)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PERAN PANDANGAN DUNIA ORANG INDONESIA BAGIAN BARAT DALAM MERAMALKAN PRASANGKA TERHADAP ORANG PAPUA

Idhamsyah Eka Putra

Lembaga Penelitian Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok, Jawa Barat 16424

idhamsyah.ekaputra@gmail.com

Juneman

Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta 11480

juneman@binus.ac.id

Abstrak

Kesulitan memahami gerakan sosial orang Papua dan pergolakan situasi di Papua, serta persoalan psikososial terkait, memunculkan urgensi bahwa psikologi (khususnya psikologi sosial prasangka) perlu memberikan sumbangsih pemahamannya. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengungkap tema-tema perseptual yang dimiliki oleh orang Indonesia bagian Barat mengenai orang Papua (survei representasi sosial), 2) konstruksi alat ukur prasangka terhadap orang Papua (uji reliabilitas), serta 3) menguji model hubungan antara variabel pandangan dunia dengan prasangka terhadap orang Papua. Partisipan berjumlah 100 mahasiswa Universitas Indonesia, 48% laki-laki, 52% perempuan. Hasil penelitian dengan alat ukur yang teruji reliabilitasnya (α > 0,7) menunjukkan bahwa pandangan dunia kompetitif—yaitu penggambaran bahwa hidup di dunia tidak ubahnya seperti hidup di alam liar—menjadi faktor pembentuk prasangka terhadap orang Papua (γ = 0,49; t > 1,95, dalam model struktural dengan χ2 = 71,48; p > 0,05; RMSEA < 0,05). Temuan ini senada dengan persepsi sosial orang Indonesia Barat yang melihat orang Papua sebagai kelompok yang primitif, rendah dalam kemampuan berpikir, dan tidak berperadaban. Persepsi yang sifatnya meremehkan tersebut khas muncul dari orang yang memiliki pandangan dunia kompetitif. Solusi untuk mengurangi prasangka terhadap orang Papua adalah dengan membentuk perkenalan dan perjumpaan yang menempatkan orang Papua setara dengan orang Indonesia lainnya dalam segi kemampuan.

(4)

Abstract

It has been considered that social psychology, particularly the field of prejudice, needs to take part in understanding the social movement and social turmoil in Papua. The goals of this research were to: 1) discover the perceptual themes of the people living in Western Indonesia, about the Papua people (social representation survey), 2) construct scale of measurement of prejudice toward the Papua people (reliability test), 3) examine the relation between two variables which are the worldview and the prejudice toward the Papua people. The participants of this research were 100 students of the University of Indonesia. They were 48% men and the rest were females. Using the reliability proven scale of measurement (α > 0,7 ) it was showed that competitive view of world—that is a description that living in this world is the same as living in the jungle—was one of the determinant factors of prejudice toward the Papua people (γ = 0,49; t > 1,95, in the structural model, where χ2 = 71,48; p > 0,05; RMSEA < 0,05). This finding is not very much different from the social perception of the people living in Western Indonesia about the Papua people. They perceived the Papua people are primitive, having low level of thinking ability, and lack of civilization. This undervalued social perception is typically held by those with competitive view of the world. It is suggested that acquaintanceship and assembly programs will reduce the level of prejudice and will put the Papua people equal with the Indonesians regarding the capability.

(5)

Pada Agustus 2011 di Papua dan Jakarta terjadi demonstrasi rakyat Papua yang menuntut diselenggarakannya referendum agar rakyat Papua dapat menentukan jalan hidupnya: tetap berintegrasi dengan Indonesia atau memisahkan diri (“Demonstrasi menuntut”, 2011; Lestari, 2011). Peristiwa ini bukanlah pertama kali, melainkan telah terjadi berulang-ulang. Penyebabnya dapat diduga, sebagaimana sering terdengar, yakni karena perlakukan diskriminatif, tindak kekerasan, dan merendahkan yang diterima orang Papua. Leo Imbiri, Sekretaris umum Dewan Rakyat Papua, bahkan berkomentar bahwa orang Papua tidak hanya belum menikmati hasil dari kekayaan negerinya tetapi juga terus terpinggirkan (Amri & Adam, 2011). Hamah (2009) meringkasnya sebagai fenomena diskriminasi rasial terhadap orang Papua.

Dalam tinjauan psikologi sosial, perlakuan negatif yang diterima oleh orang Papua dapat disebabkan karena wujud keyakinan buta (yang cenderung bias dalam menjustifikasi) (Volkan, 2005) dan antagonisme kelompok (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Orang yang memiliki keyakinan buta akan menegasikan informasi-informasi baru mengenai orang atau kelompok lain yang bersifat bertentangan dengan persepsinya saat ini. Sementara itu, pertentangan antar kelompok akan menempatkan kelompok lain sebagai suatu kelompok jahat yang sama sekali berbeda dengan kelompoknya. Sears, Freedman, dan Peplau (1985) menyebutkan ada tiga komponen antagonisme kelompok, yakni stereotip (komponen kognitif), prasangka (komponen afektif atau evaluatif), dan diskriminasi (komponen tingkah laku). Penelitian ini hendak menyelidiki prasangka orang Indonesia bagian Barat terhadap Papua, dengan fokus tiga hal, yakni (1) mengungkap tema-tema perseptual utama yang dimiliki oleh orang Indonesia bagian Barat mengenai orang Papua, (2) konstruksi alat ukur prasangka rasial terhadap orang Papua, serta (3) menguji model hubungan antar variabel pandangan dunia dengan prasangka terhadap orang Papua

Prasangka, Ideologi, dan Pandangan Dunia

Penyebab prasangka telah banyak dijelaskan oleh para ahli, baik dari perspektif kepribadian, psikoanalisis, individu, antar-individu, kelompok, dan antar-kelompok (lihat Nelson, 2010; dan lihat juga Putra & Pitaloka, 2012). Kompleksitas penjelasan terjadi bilamana keseluruhan faktor penyebab yang berasal dari bermacam pendekatan dan perspektif prasangka ini dimasukkan dalam satu model pengukuran. Garis-garis maupun busur relasi antar variabelnya yang terbentuk akan seperti benang kusut.

(6)

Kedua keyakinan ideologis tersebut berasal dari dua proses kausal yang berbeda. Keyakinan ideologis RWA berasal dari motif atau tujuan penciptaan kendali sosial atau keamanan. Keyakinan tersebut terbentuk oleh pandangan bahwa dunia ini penuh dengan ancaman atau bahaya. Orang yang memiliki pandangan dunia ini memiliki kepribadian yang cenderung konformis. Sementara itu, pembentukan keyakinan ideologis SDO lebih disebabkan oleh motif atau tujuan menjadi orang yang unggul, superior, atau agung. Motif ini terbentuk oleh pandangan dunia bahwa dunia ini penuh dengan kehidupan yang kompetitif, tidak ubahnya seperti hidup di alam liar. Sebagian besar orang yang memiliki pandangan dunia ini berkepribadian keras dan kurang memiliki empati.

Guna membuktikan tesisnya itu, sejumlah penelitian telah dilakukan oleh Duckitt dan koleganya (lihat Asbrock, Sibley, & Duckitt, 2010; Cohrs & Asbrock, 2009; Duckitt, 2006; Duckitt & Sibley, 2007; Jugert & Duckitt, 2009; Lehmiller & Schmitt, 2007; Sibley & Duckitt, 2009). DPM terbukti menjadi model penyebab prasangka dengan hasil-hasil yang variatif. Misalnya saja, prasangka terhadap kelompok gay dan lesbian lebih memiliki hubungan yang kuat dengan RWA dibandingkan dengan SDO (Cohrs & Asbrock, 2009; Duckitt, 2001). Namun, prasangka terhadap orang kulit hitam dan perempuan lebih memiliki hubungan yang kuat dengan SDO dibandingkan dengan RWA (Sibley & Duckitt, 2007).

Temuan-temuan tersebut memperlihatkan bahwa ketika sebuah kelompok dipahami sebagai suatu ancaman (entah simbolik maupun langsung), maka serangan paling keras akan muncul dari orang yang memiliki ideologi RWA. Namun, jika sebuah kelompok dipandang sebagai kompetitor atau pun kelompok yang berderajat rendah, maka serangan tehadap kelompok tersebut akan lebih kuat muncul dari orang yang memiliki ideologi SDO.

Temuan lain juga menujukkan bahwa keterkaitan antar-faktor pada DPM sangat ditentukan oleh konteks. Ada kelompok yang dipandang sebagai ancaman dan kompetitor, sehingga membentuk hubungan yang kuat antara persepsi ancaman dengan persepsi kompetitif (Duckitt, 2006). Suatu konteks tertentu juga dapat menunjukkan aktivasi RWA dan SDO muncul dalam orang yang sama (Liu, Huang, & McFedries, 2008). Misalnya saja dalam kehidupan politik, kelompok yang telah berkuasa cukup lama terbukti memiliki kecenderungan yang tinggi pada SDO dan RWA. Liu, Huang, dan McFedries (2008) menemukan bahwa SDO dan RWA merupakan fungsi dari kekuatan politik dan perubahan sosial.

Duckitt (2006) menemukan bahwa pandangan terhadap dunia (worldview) yang dimiliki seseorang merupakan prediktor tak langsung terhadap prasangka, sedangkan pandangan dunia itu sendiri dibentuk oleh konteks sosial dan kepribadian (lihat Gambar 1). Sesuai dengan Gambar 1, pandangan dunia yang dimaksud Duckitt ada dua, yakni (1) pandangan mengenai dunia yang penuh bahaya atau ancaman (selanjutnya disingkat: PDA), dan (2) pandangan dunia mengenai dunia yang tidak setara dan kompetitif (selanjutnya disingkat: PDK).

(7)

asumsi yang dibangun dalam penelitian saat ini. Salah satu dasar berpijak fundamentalisme agama adalah pola pandang terhadap dunia (worldview). Para fundamentalis agama memahami dunia tidaklah berdasarkan pengalamannya tetapi bagaimana kitab suci memandang dunia. Melalui pola pandang yang seperti itu, orang yang memiliki keyakinan berbeda dan orang yang dianggap merusak keteraturan dunia dipandang sebagai musuh. Berkenaan dengan itu, penelitian ini menduga bahwa di samping memiliki pengaruh tidak langsung terhadap prasangka, pandangan dunia ancaman dan kompetitif juga memiliki pengaruh langsung, sebagaimana nampak pada Gambar 2.

Bentuk hubungan dan pengaruhnya akan sangat ditentukan oleh konteks. Ini tergantung pada pandangan umum suatu masyarakat mengenai kelompok, apakah dipandang sebagai ancaman atau bahaya, atau dipandang sebagai kompetitor atau kelompok rendah. Sebagai penelitian awal, kami akan mencoba pengujian modelnya pada orang Papua sebagai kelompok target prasangka. Di samping masih sedikitnya penelitian mengenai prasangka terhadap Papua, penelitian ini juga berupaya untuk mengungkapkan problematika yang terjadi antara orang Papua dengan NKRI.

Gambar 1. Hubungan antara konteks, kepribadian, pandangan dunia, ideologi, dan sikap negatif terhadap kelompok luar (Duckitt, 2006)

Pandangan tentang dunia

yang penuh ancaman (PDA) Prasangka (sikap negatif) terhadap orang Papua yang dipandang sebagai ancaman atauberderajat rendah Pandangan tentang dunia

yang kompetitif (PDK)

(8)

Papua dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Saat Gerakan Pemuda pada tahun 1928 yang mengikrarkan dirinya sebagai satu negara bangsa, tanah air, dan bahasa, Papua memang belum dimasukkan sebagai bagian Indonesia. Para pemuda Papua juga tidak terlibat dalam revolusi pergerakan kemerdekaan dan pembentukan Negara (Bertrand, 2004; Chauvel, 2006). Saat itu, sebagai bagian wilayah jajahan Belanda, Papua sangat terisolasi dibandingkan dengan wilayah jajahan Belanda lainnya. Papua baru menjadi pembicaraan pada 1950 ketika Presiden Soekarno berpidato menjelaskan posisi Papua Barat (istilah yang digunakan saat itu). Soekarno mengemukakan bahwa jika Papua Barat merupakan bagian dari koloni Belanda, maka Papua Barat adalah bagian dari Indonesia. Sejak saat itu, perundingan dan negosiasi dilakukan antara Belanda dan Indonesia mengenai posisi tanah Papua. Saat perundingan antara Belanda dengan Indonesia mengenai wilayah Papua, penduduk asli sama sekali tidak dilibatkan dan diajak untuk menentukan dirinya. Alasannya adalah karena sebagian besar penduduk Papua masih hidup dalam budaya primitif atau terbelakang (Bertrand, 2004). Penduduk Papua dianggap belum dapat atau mampu memberikan pilihan yang tepat atas masa depan mereka sendiri.

Hingga saat ini, pandangan sebagian besar orang Indonesia, khususnya yang tinggal wilayah Barat, terhadap orang Papua masih belum banyak berubah (lihat Hamah, 2009). Edo Kondologit, seorang penyanyi asal Papua, misalnya, merasakan bahwa Pemerintah Indonesia masih memandang orang Papua sebagai orang yang bodoh (Santosa, 2011). Padahal, faktanya, anak-anak dari pedalaman-pedalaman papua yang dilatih oleh Prof Yohanes Surya berhasil memenangi 4 medali emas, 5 perak, dan 3 perunggu dalam Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School pada November 2011 (”Anak Papua”, 2011). Secara genetis, kemampuan bernalar dan berpikir orang Papua tidaklah berbeda dengan kemampuan orang Indonesia lainnya (lihat Diamond, 1997).

Agar dapat memahami pola pemahaman orang Indonesia mengenai orang Papua, penelitian ini akan mencoba menskemakan tema-tema yang keluar ketika orang Indonesia dimintakan pendapat mengenai orang Papua. Tema-tema yang menonjol, merupakan tema yang paling sering digunakan dan menetap di dalam pemahaman orang Indonesia. Tema ini dapat diartikan sebagai tema yang telah menjadi inti dasar (atau central core) (Putra & Pitaloka, 2012; Putra, Satriyanto, & Meinarno, in press; Abric 2001). Temuan tema-tema ini akan menentukan arah hubungan antara pandangan dunia ancaman dan kompetitif dengan prasangka terhadap orang Papua. Jika temuan ini menjelaskan bahwa orang Papua berada di dalam stratifikasi bawah dan dianggap lebih bodoh dengan orang Indonesia lainnya, maka pandangan dunia kompetitif (PDK) akan lebih memberikan kontribusi yang kuat. Demikian pun sebaliknya, jika orang Papua sangat dekat tema-tema kelompok yang mengancam atau kelompok yang mengganggu kestabilan, maka pandangan dunia penuh ancaman (PDA) akan memberikan kontribusi yang kuat.

Penelitian Saat Ini

(9)

mendapatkan jawaban empirik mengenai pandangan terhadap orang Papua yang telah melalui proses perhitungan saintifik.

Kemudian, pada kegiatan pengolahan kedua, kami melakukan adaptasi alat ukur pandangan dunia ancaman dan kompetitif ke dalam bahasa Indonesia yang didapat dari Dangerous/Threatening Social Worldview Scale dan Competitive-jungle Social Worldview Scale (Duckitt, 2001). Selanjutnya, kami juga membuat alat ukur skala prasangka terhadap Papua yang dikembangkan dari Modern Racism scale (MRS) (McConahay, Hardee, & Batts, 1981).

Terakhir, kami akan melakukan uji model hubungan antara pandangan dunia ancaman dan kompetitif dengan prasangka terhadap Papua. Hasil ini akan sangat ditentukan oleh pola pandangan orang Indonesia mengenai orang Papua.

METODE

Partisipan. Data penelitian ini berasal dari sampel 100 mahasiswa Universitas Indonesia (48 laki-laki, 52 perempuan; Musia = 20,23 tahun; SDusia = 1,43 tahun), dengan metode penyampelan

insidental.

Prosedur. Penelitian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan terbuka yang diajukan kepada partisipan, yakni "Bagaimanakah Anda mempersepsikan orang Papua?". Selanjutnya, partisipan diminta untuk mengisi tiga buah kuesioner sebagaimana diuraikan berikut ini.

Instrumen.

Skala “Prasangka Terhadap Orang Papua” (POP) diadaptasi dan dikembangkan dari Modern Racism Scale (McConahay, Hardee, & Batts, 1981, dalam Davis & Engel, 2010, h. 129) yang berjumlah 8 butir. Skala “Pandangan tentang Dunia yang Berbahaya/Penuh Ancaman” (PDA) dan “Pandangan tentang Dunia yang Kompetitif” (PDK) diadaptasi dari Dangerous/threatening World Scale (10 butir) dan Competitive-jungle Worldview Scale (14 butir) yang dikonstruksi oleh John Duckitt (2001, h. 69). Seluruh skala memiliki rentang respons, sebagai berikut: “Sangat Tidak Setuju” (1), “Tidak Setuju” (2), “Agak Tidak Setuju” (3), “Agak Setuju” (4), “Setuju” (5), dan “Sangat Setuju” (6).

Metode Analisis Data. Pertama, peneliti melakukan analisis tematik terhadap data jawaban terhadap pertanyaan terbuka mengenai persepsi partisipan terhadap orang Papua. Jawaban partisipan atas pertanyaan ini akan dikelompokkan berdasarkan distribusi frekuensi dalam sejumlah tema perseptual empirik dari Indonesia bagian Barat mengenai orang Papua. Tema-tema yang salien (menonjol) merupakan Tema-tema yang paling sering digunakan dan menetap di dalam pemahaman mahasiswa Indonesia. Tema ini dapat diartikan sebagai tema yang telah menjadi inti dasar (atau central core) (Abric, 2001; Putra & Pitaloka, 2012; Putra, Satriyanto, & Meinarno, 2011), yang akan menentukan pandangan dunia manakah yang lebih kuat, apakah PDA ataukah PDK.

(10)

Terakhir, peneliti melakukan uji model hubungan antara PDA dan PDK dengan POP, berdasarkan Gambar 2, dengan analisis structural equation model. Menurut Seniati (2009), kriteria untuk menentukan apakah model fit (kesesuaian antara model penelitian atau model pengukuran dengan data empiris) adalah (1) Chi-square: Chi-square valid jika asumsi normalitas terpenuhi dan ukuran sampel adalah besar; Model fit jika p > 0,05; (2) Goodness of Fit Indices (GFI): Model fit jika GFI > 0,90; (3) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA): Model fit jika RMSEA < 0,05.

HASIL

Deskripsi demografis partisipan disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa mayoritas partisipan (1) beretnis Jawa (29%), Batak (15%), dan Tionghoa (11%); (2) tinggal di kota Depok (52%), Jakarta (24%), dan Tangerang (9%); dan (3) lahir di propinsi DKI Jakarta (58%), Jawa Barat (11%), dan Sumatera Utara (9%). Dengan demikian, partisipan dapat dianggap sebagai representasi mahasiswa Indonesia Bagian Barat (selanjutnya disebut “Indonesia Barat”), khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.

(11)

Tabel 1. Deskripsi Demografis Partisipan

Jawa-Tionghoa 1 Tempat Lahir (Propinsi)

Jawa-Sunda-Tionghoa

1 DKI Jakarta 58

Sunda 4 Lampung (Bandar Lampung) 1

Jawa-Aceh 1 Sumatera Barat (Padang, Solok) 2 Jawa-Minang 1 Nusa Tenggara Barat (Mataram) 1

Ambon 1 Kalimantan Timur (Bontang) 1

Minang 4 Sumatera Utara (Samosir, Medan, Tobasa)

9

Batak 15 Sumatera Selatan (Palembang,

Muara Enim)

2

Batak Toba 3 Bangka-Belitung (Pangkal Pinang) 2

(12)

Tabel 2. Persepsi Partisipan Tentang Orang Papua

Tema Persepsi

Rincian respons partisipan Jumlah

Respons

Frekuensi Tema

Persepsi 1

Orang Papua merupakan korban perlakuan tidak adil oleh penguasa Indonesia, rakyat Indonesia yang lain, dan pengusaha asing (dieksploitasi oleh pengusaha asing, tidak memperoleh pembagian keuntungan oleh perusahaan asing, sasaran kekerasan struktural oleh perusahaan asing, tenaganya diperas habis-habisan oleh perusahaan asing, dinomorduakan oleh Pemerintah, perjuangan memperoleh hak dan perlakuan sama, belum memperoleh keadilan perekonomian dan hukum, terabaikan, tertindas, dianaktirikan, dicurangi, dianggap remeh, terpinggirkan, didiskriminasi, dikesampingkan, cukup dirugikan oleh Pemerintah, kurang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di Indonesia, kurang diperhitungkan oleh masyarakat di luar Papua, serba kekurangan, miskin, belum sejahtera di tanahnya sendiri, diciderai pride-nya oleh bangsa Melayu Indonesia, dipandang sebelah mata oleh rakyat Indonesia yang lain, saudara yang dianggap seperti saudara tiri, terzhalimi, diperalat, orang Papua diadu domba oleh pihak asing dengan Pemerintah Indonesia)

40 28,8%

Tema Persepsi 2

Orang Papua kurang/tidak berperadaban manusia modern (cara hidup primitif, penuh agresivitas, pemberontakan, kurang/tidak berpendidikan, kurang berpikir panjang, kurang/tidak/masih berkembang, barbar, terbelakang, taraf hidup rendah, polos, tertinggal, terisolasi dari dunia modern seperti suku-suku tradisional lain di Indonesia, kehidupannya belum secanggih orang-orang di kota-kota besar seperti di Jakarta, kehidupannya tidak aman karena penembakan dan penculikan, memiliki kemampuan-kemampuan yang menonjol namun kurang diketahui, diasah dan dilatih; kuat memegang nilai dan adat tradisional sehingga sulit diterapkan civilization yang modern, sulit dijamah, tidak dikenal, sering bermasalah, hanya sebagian kecil yang sudah maju, inferioritas)

38 27,3%

Tema Persepsi 3

Aspirasi dan kondisi ideal yang seharusnya dari orang Papua (ingin kemerdekaan yang sesungguhnya dalam hal hak asasi, pendapatan, kebebasan, persamaan; tidak adanya perbedaan/diskriminasi antara warga asli Papua dengan yang bukan Papua; perlu pemimpin yang terjun langsung, bukan utusan-utusan saja; tidak ingin pertikaian

(13)

dan anarkisme; sasaran seharusnya pemerataan pembangunan; punya hak dan tanggungjawab yang sama dengan orang Jawa, Sumatera, dan seluruh daerah di Indonesia; punya hak atas wilayahnya sendiri; potensi pembangunan; seharusnya kaya secara finansial; akan berhasil jika nanti menjadi suatu negara)

Tema Persepsi 4

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri geografis dan demografis (bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagian tanah air Indonesia, Warga Negara Indonesia, jauh wilayahnya, terpencil, ada tambang emas, tanah kaya, biaya hidup sangat tinggi, bangsa Melanesia, salah satu suku di Indonesia)

19 13,7%

Tema Persepsi 5

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri psikologis-kultural (keras, teguh, tegas, kasar, kaku, otoriter, pintar menyanyi, rasa seni tinggi, keunikan potensi, kemampuan sepakbola yang baik pada anak hingga dewasa madya, pintar matematika, sangat reaktif, ramah, cerdas, pekerja keras, hura-hura, menjunjung tinggi persaudaraan dan gotong royong, kekerabatan yang erat, "temperamen tinggi", punya semangat dan kemauan)

15 10,8%

Tema Persepsi 6

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri fisik (kulit hitam, fisik kuat, suara besar karena pengaruh lingkungan)

5 3,6%

Adaptasi Alat Ukur

Hasil uji coba skala PDA, PDK, dan POP dengan program IBM SPSS Statistics 19 menunjukkan reliabilitas yang tinggi untuk ketiga skala, sebagaimana Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Hasil uji reliabilitas alat ukur

Skala Indeks Alfa

(14)

Berikut ini adalah butir-butir selengkapnya untuk masing-masing skala:

Pandangan tentang Dunia yang Penuh Ancaman (PDA)

1. Saat ini semua tanda mengarah kepada kekacauan dan kebrutalan, yang dapat pecah kapan saja di sekitar kita.

2. Banyak orang "berbahaya" di sekitar kita yang bahkan bisa menyerang tanpa alasan.

3. Terlepas dari apa yang telah orang dengar tentang "kejahatan di jalan", rasanya saat ini hal-hal tersebut sudah tidak ada lagi.

4. Kondisi masyarakat yang setiap hari semakin tanpa hukum dan semakin bernaluri binatang membuat kemungkinan untuk dirampok, diserang, dan bahkan dibunuh kian meningkat. 5. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, sebenarnya dunia kita saat ini merupakan tempat

yang aman dan stabil karena pada dasarnya manusia itu baik.

6. Sepertinya, setiap tahun jumlah orang terhormat semakin berkurang. Namun, jumlah orang yang tidak bermoral dan menjadi ancaman bagi banyak orang justru kian bertambah

7. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, dunia yang kita pijaki saat ini pada dasarnya sangat berbahaya dan tidak dapat diduga, di mana nilai-nilai moral dan kebaikan telah diacak-acak oleh orang-orang tidak berbudi.

Pandangan tentang Dunia yang Kompetitif (PDK)

1. Menang bukan hal yang utama, tetapi merupakan hal satu-satunya.

2. Jika memang sangat dibutuhkan untuk berdarah dingin dan penuh dendam guna mendapatkan suatu tujuan, maka lakukanlah.

3. Hidup tidak dikendalikan oleh konsep "yang kuat yang selamat." Kita perlu menjadikan welas asih dan moral sebagai petunjuk kita.

4. Uang, kekayaan, dan kemewahan adalah hal-hal yang diperhitungkan dalam hidup. 5. Dunia ini seperti "teman makan teman", di mana Anda harus kejam setiap waktu.

6. Berderma kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun adalah hal yang mengagumkan, dan bukan suatu hal yang bodoh.

7. Setiap orang ingin menjatuhkan atau menghancurkan Anda, sehingga Anda perlu bergerak lebih dahulu selagi masih ada kesempatan.

8. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, dunia tempat kita hidup seperti hutan belantara, di mana orang yang kuat yang akan menang dan berhasil; kekuasaan, kekayaan, dan kemenangan adalah segalanya.

9. Seseorang harus memiliki azas praduga tak bersalah mengenai orang lain. Kebanyakan orang dapat dipercaya jika Anda meyakininya.

10. Kita dapat menciptakan sebuah masyarakat yang didasarkan oleh kerjasama, saling berbagi, serta suka membantu, dan bukan berdasarkan pada persaingan maupun ketamakan.

11. Jika Anda memiliki kekuasaan, Anda harus menggunakannya, sehingga Anda dapat melakukan sesuatu berdasarkan keinginan Anda.

Prasangka terhadap Orang Papua (POP)

1. Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah dan berita media telah menunjukkan rasa hormat pada orang-orang Papua daripada yang seharusnya mereka peroleh.

2. Diskriminasi terhadap orang-orang Papua sudah tidak lagi menjadi masalah di Indonesia. 3. Beberapa tahun belakangan, orang-orang Papua telah menerima pendapatan ekonomi lebih

(15)

4. Orang-orang Papua telah memberikan intervensi yang terlalu banyak pada kebijakan-kebijakan Pemerintahan mengenai wilayahnya daripada yang seharusnya.

5. Orang-orang Papua terlalu banyak menuntut pada kesamaan hak.

6. Orang-orang Papua seharusnya tidak mendesakkan suatu hal di mana sebenarnya mereka tidak diinginkan.

Uji Model Struktural

Data 100 partisipan yang mengisi ketiga skala tersebut dianalisis dengan structural equation model untuk menguji hubungan kausal antara PDA, PDK, dan POP secara lebih seksama dan terperinci. Untuk mendapatkan pengujian model yang fit dan baik, beberapa butir-butir skala yang dijadikan bagian pengukuran dipilih secara acak (mengenai prosedur pengacakan ini, lihat lebih lanjut pada Duckitt, 2001). Untuk skala PDA dan PDK, ada 4 butir yang dimasukkan sebagai bagian skala, dan ada 5 butir yang dimasukkan sebagai bagian skala POP. Hasil analisis structural equation model (SEM) dengan menggunakan LISREL 8.8 menunjukkan bahwa model penelitian sebagaimana Gambar 2 adalah fit atau sesuai dengan kenyataan empiris (χ2 = 71,48; p > 0,05; GFI = 0,90; RMSEA < 0,05). Rincian selengkapnya tersaji pada Gambar 3.

PDK

Gambar 3. Hasil analisis SEM

Ket: PDA = Pandangan dunia ancaman, PDK = Pandangan dunia kompetitif, POP = Prasangka terhadap orang Papua. Chi-Square = 71.48, df = 58, P-value = .10, RMSEA = .04, NFI = .75, CFI = .91, GFI = .90

(16)

mereka memiliki pandangan dunia yang penuh ancaman. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah mahasiswa Indonesia bagian Barat memandang bahwa dunia ini penuh ancaman, semakin rendah mereka memandang dunia ini penuh persaingan.

PEMBAHASAN Hubungan PDA dengan PDK

Adanya korelasi positif antara Pandangan Dunia yang penuh Ancaman (PDA) dengan Pandangan Dunia yang Kompetitif (PDK) merupakan sebuah fakta empiris menarik yang perlu dijelaskan. Hal ini pertama dapat diartikan bahwa rasa ketidakamanan (insecurity) di Indonesia Barat berhubungan dengan perasaan bahwa hidup di dunia ini begitu berat dan butuh perjuangan yang kuat. Bila orang memandang dunia ini aman, maka kecil kecenderungannya memandang dunia penuh ancaman. Pun bila dunia ini dipandang penuh dengan harmoni dan kooperatif, orang tidak perlu berhasrat menyaingi orang lain, karena semua manusia dianggap pasti memperoleh bagiannya masing-masing secara adil. Setiap orang dipandang setara dan saling bekerjasama. Dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendapat umum masyarakat Indonesia Barat mengenai hidup yang semakin tidak aman dan berat serta penuh persaingan diperkuat oleh temuan dari hasil penelitian ini.

Rasa tidak aman yang membentuk pandangan dunia yang penuh ancaman dapat dilukiskan dengan satu ungkapan ekstrim, "Untuk mendapatkan rasa aman, orang Indonesia harus mencarinya di negeri orang" (Heryanto, 1998). Beragam ancaman berada di sekitar orang Indonesia, baik itu ancaman nyata maupun ancaman simbolik, yang seringkali tidak jelas dan tegas penyelesaiannya oleh aparat penegak hukum dan pelindung masyarakat. Sebagai salah satu contoh, Zaki (2012) mengungkapkan bahwa sejak kelahiran Front Pembela Islam (FPI) sejak 1998, belum ada upaya tegas dari pemerintah untuk menindaklanjuti kajian selama ini mengenai perlakuan keras para anggota FPI terhadap ormas lain di lingkungan masyarakat. Di ibukota Indonesia, Jakarta (tempat mayoritas partisipan penelitian ini berdomisili), menurut Yayat Supriyatna (“Pengamat: Aparat Gagal”, 2012), di samping bentrokan, tawuran dan kerusuhan kerap terjadi, premanisme baik yang berwajah seram maupun yang berkerah putih sama-sama meresahkan masyarakat. Bahkan, menurut amatan Edison (2012), para pelaku kejahatan tidak lagi memilih waktu dan tempat, seakan-akan para pelaku tak lagi berpikir kalau polisi akan menangkap mereka.

Hidup yang semakin berat dan penuh dengan rasa ketidakpedulian dilukiskan dengan sangat baik oleh Handayani (2008, h. 142) dalam Jurnal Masyarakat Indonesia yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebagai berikut:

(17)

Ketidakadilan distribusi sumber daya di bidang ekonomi dan akses di bidang politik menimbulkan perasaan deprivasi yang mendorong orang Indonesia “terpaksa” berperilaku seperti “homo homini lupus” dalam ungkapan Thomas Hobbes, yakni manusia merupakan serigala bagi sesamanya, yang tamak dan selalu ingin menguasai sesamanya terutama yang dipandang berstatus atau berderajat lebih rendah sehingga dapat dieksploitasi. Kasus GKI Yasmin, dalam hal mana Walikota Bogor menolak melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (Liu & Djumena, 2012), bahkan jemaatnya harus mengalami penyerangan saat melaksanakan ibadah bukan di gerejanya sendiri, merupakan contoh konkret baru-baru ini mengenai ketidakpastian di bidang hukum yang diperlihatkan oleh Pemerintah. Tidak mengherankan bahwa mahasiswa Indonesia Barat, pada saat yang bersamaan dengan pandangannya mengenai dunia yang penuh ancaman, juga memandang dunia ini dalam berbagai bidang kehidupan sebagai alam kehidupan yang menyerupai belantara liar, anomik, tanpa norma yang dapat dipegang.

Hal-hal tersebut di atas lah yang menjelaskan mengapa PDA dan PDK berkorelasi positif pada realitas psikologis pada kehidupan di Indonesia Barat. Temuan ini pun menjelaskan bahwa kekuatan hubungan PDA dan PDK yang ditawarkan Duckitt (2001; 2006) sangat ditentukan oleh konteks (Lehmiller & Schmitt, 2007).

Tema-tema dan Model Struktural Pandangan Dunia dan Prasangka terhadap Orang Papua

Dalam model struktural yang telah teruji terlihat bahwa pandangan dunia memang dapat memberikan efek langsung terhadap prasangka. Ini berbeda dengan temuan Duckitt (2001; 2006) serta Duckitt dan Sibley (2007) yang menempatkan pandangan dunia, PDK dan PDA sebagai faktor yang cenderung lebih memiliki relasi atau efek tidak langsung terhadap prasangka.

Dalam temuan saat ini, nampak bahwa pandangan dunia yang kompetitif (PDK) terbukti menjadi faktor penyebab terbentuknya prasangka orang Indonesia Barat terhadap orang Papua (POP). Seperti dijelaskan sebelumnya, pandangan dunia ini menekankan bahwa hidup di dunia begitu berat, penuh dengan perjuangan. Pandangan dunia ini juga membagi manusia menjadi dua golongan, yakni yang kuat dan yang lemah. Pandangan dunia yang demikian menjadikan orang Papua sebagai target prasangka yang pas, yaitu orang yang dapat direndahkan dan diremehkan. Hal ini dikukuhkan lagi dengan data representasi sosial mahasiswa Indonesia Barat mengenai orang Papua. Berdasarkan analisis respons ganda, tema-tema perseptual yang paling sering muncul dan paling mendasar (Abric, 2001) dari orang Indonesia bagian Barat mengenai orang Papua adalah bahwa orang Papua memperoleh perlakuan berbeda, hidup primitif, tidak terjamah sivilisasi (peradaban), dan terbelakang. Temuan ini memperlihatkan bahwa pandangan stereotipik masyarakat Indonesia Barat terhadap orang Papua selama ini, bahwa orang Papua itu kurang terpelajar, malas mengasah kemampuan, primitif, berpenampilan kurang menarik, dan sebagainya, yang juga dipaparkan oleh Hamah (2009), terkonfirmasi secara empirik. Artinya, pandangan tersebut memang hidup dalam realitas psikis orang Indonesia Barat.

(18)

keyakinan yang nyata dan sesungguhnya. Tampak nyata sekali bahwa keyakinan mengenai orang Papua yang primitif dan tidak berperadaban yang telah muncul dari puluhan tahun lalu masih saja diyakini kebenarannya, dan seolah-olah tidak ada perubahan. Di sisi lain, temuan mengenai tema-tema persepsi terhadap orang papua ini pun memiliki kompatibilitas (kecocokan, kesesuaian) antara pandangan dunia yang kompetitif dengan pandangan tentang orang Papua yang dianggap memiliki derajat atau kedudukan yang lebih rendah daripada orang Indonesia di bagian Barat.

Hasil penelitian yang penting juga adalah bahwa pandangan dunia mahasiswa Indonesia Barat yang penuh ancaman (PDA) tidak memiliki relasi yang signifikan dengan prasangka terhadap orang Papua. Hal ini mengartikan bahwa orang Papua tidak dianggap sebagai ancaman atau pun bahaya bagi orang Indonesia bagian Barat. Orang Papua tidak dipandang sebagai orang atau kelompok orang yang akan melakukan kejahatan, tindak kriminal, dan sebagainya, terhadap orang Indonesia bagian Barat. Mereka bukanlah orang-orang yang akan mengacaukan kestabilan negara atau kehidupan. Apabila dikaitkan dengan temuan sebelumnya sebagaimana dipaparkan di atas, hal ini berarti bahwa memang mahasiswa Indonesia bagian Barat memiliki sikap negatif yang mengerdilkan, meremehkan, merendahkan orang Papua. Namun, sikap-sikap yang demikian itu tidak serta merta merupakan upaya untuk melakukan kontrol sosial terhadap orang Papua, karena orang Papua tidak disikapi sebagai bahaya laten maupun terbuka, ancaman nyata maupun simbolik, terhadap orang Indonesia bagian Barat. Temuan ini pun senada dengan tema-tema yang muncul pada mahasiswa Indonesia Barat. Bentuk pandangan bahwa orang Papua merupakan kelompok yang menakutkan, menyeramkan, kasar, dan pengacau kestabilan tidak menjadi fokus utama di dalam tema-tema perseptual yang muncul.

Temuan bahwa PDA tidak berkorelasi dengan prasangka, sementara PDK berkontribusi positif terhadap prasangka bersifat sangat kontekstual. Artinya temuan relasi antar variabel ini sangat boleh jadi berbeda jika tema-tema persepsi terhadap kelompok target berbeda pula. Misalnya, jika kelompok targetnya orang Flores, atau orang Makasar, atau kelompok gay, atau kelompok pekerja seksual komersial, maka dapat diduga bahwa model hubungan antara pandangan dunia dengan prasangka akan berbeda dari temuan ini, baik dalam kekuatan maupun arah hubungan atau korelasi. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut disarankan untuk menyelidiki hubungan tersebut pada kelompok-kelompok lainnya di Indonesia.

Implikasi Temuan Dalam Menyelesaikan Permasalahan Papua

(19)

Jika memang Papua ingin tetap dipertahankan sebagai bagian Indonesia, maka solusinya adalah dengan memandang mereka setara dengan kelompok Indonesia lainnya. Bukti temuan dari Diamond (1997) dapat memberikan dukungan tersebut. Diamond meneliti sebab dari pengembangan teknologi yang diraih secara berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Sebab utamanya adalah kondisi geografi. Perkembangan teknologi modern yang dikembangkan dan dimiliki orang Eropa didukung oleh kondisi geografisnya. Sementara itu, kondisi geografis di Papua ikut mendorong orang-orang Papua untuk memiliki kemampuan mengenali dan mengetahui tumbuh-tumbuhan dengan amat baik. Hasil pendayagunaan alam sekitarnya lah yang membuat tiap-tiap masyarakat berbeda-beda, dan bukan karena perbedaan kemampuan inteligensi.

Pembentukan program berdasarkan pengembangan dari hipotesis kontak antar kelompok (Allport, 1954; Pettigrew, 1998), yaitu dengan program perkenalan dengan fokus pemberian kepercayaan pada kemampuan, merupakan hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi prasangka dan perasaan merendahkan. Hal ini pun dapat mengurangi ancaman pandangan stereotipik (Aronson & McGlone, 2010) bagi orang Papua. Pandangan peremehan dan pengerdilan orang Papua secara sistemik dan konstruktif juga dapat menggiring orang Papua membenarkan stereotip tersebut sehingga memblokir kemampuan intelektualnya. Pengembangan model kegiatan untuk mengurangi prasangka terhadap orang Papua tentu saja memerlukan suatu kegiatan yang sangat serius dan terfokus. Temuan saat ini menjelaskan jenis problematika yang bagaimanakah yang sesungguhnya perlu diselesaikan. Program perkenalan yang dilakukan bisa saja berupa saling bertukar kemampuan atau berbagi kemampuan atau kerjasama antar kelompok, dalam mana masing-masing peserta memiliki tanggung jawab yang sama. Intinya adalah bagaimana menyejajarkan orang Papua dengan orang Indonesia lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN

Perihal orang Papua, secara umum dapat dikatakan bahwa orang Indonesia Barat tetap memandang orang Papua sebagai bagian dari Indonesia namun mereka ditempatkan pada tingkat yang berbeda. Orang Papua merupakan orang Indonesia tetapi posisinya dipandang tidak setara dengan orang Indonesia lainnya. Ini dapat diamati dengan amat jelas dari pelabelan orang Papua sebagai kelompok yang primitif, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki kemampuan. Hal ini pun juga dapat dilihat dari aktivasi PDK yang terbukti secara signifikan membentuk prasangka terhadap Papua. Ciri khas dari orang yang kuat PDK-nya adalah mereka yang melihat dunia sosial terkategorikan secara hierarkis.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Abric, J. C. (2001). A structural approach to social representation research. Dalam K. Deaux, & G. Philogene (Eds.), Representations of the social. Massachusetts: Blackwell.

Allport, G. W. (1954). The nature of prejudice. Boston, Massachusetts: The Beacon Press Altemeyer, B. (1981). Right-wing authoritarianism. Canada: University of Manitoba Press. Altemeyer, B. (2003). Why do religious fundamentalists tend to be prejudiced? The International

Journal for the Psychology of Religion, 13(1),17-28.

Amri, A. B., & Adam, M. (2011, 23 November). Orang Papua terancam punah. Vivanews.com. Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://nasional.vivanews.com/news/read/266673

Anak Papua berjaya di Olimpiade ASMOPS (2011). Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://www.yohanessurya.com/news.php?pid=1&id=213

Aronson, J., & McGlone, M. S. (2010). Stereotype and social identity threat. Dalam T. Nelson (Ed.), Handbook of prejudice, stereotyping, and discrimination. New York: Psychology Press.

Asbrock, F., Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2010) Right-wing authoritarianism and social dominance orientation and the dimensions of generalized prejudice: A longitudinal test. European Journal of Personality, 24, 324-340.

Bertrand, J. (2004) Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Chauvel, R. (2006). Violence and governance in West Papua. Dalam C. A. Coppel (Ed.), Violent conflicts in Indonesia: Analysis, representation, resolution. London: Routledge.

Cohrs, J. C., & Asbrock, F. (2009). Right-wing authoritarianism, social dominance orientation and prejudice against threatening and competitive ethnic groups. European Journal of Social Psychology 39, 270-289.

Darman, W., Sarwono, S. W., & Novianti, A. (2006, Mei). Prasangka suku Amungme terhadap PT Freeport Indonesia dan karyawan pendatangnya. Jurnal Psikologi Sosial, 12(3).

Davis, L. E. & Engel, R. J. (2010) Measuring race and ethnicity. New York: Springer.

Demonstrasi menuntut Papua merdeka di Port Numbay, Manukeri dan Jakarta hari ini. (2011, 3 Agustus). PapuaPost.com. Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://papuapost.com/?p=3905

Diamond, J. (1997). Guns, germs, and steel: The fates of human societies. New York: W.W. Norton.

Duckitt, J. (2001). A dual-process cognitive-motivational theory of ideology and prejudice. Advances in Experimental Social Psychology, 33, 41-113.

Duckitt, J. (2006). Differential effects of right wing authoritarianism and social dominance orientation on outgroup attitudes and their mediation by threat from competitiveness to outgroups. Personality and Social Psychology Bulletin, 32(5), 684-696.

Duckitt, J., & Sibley, C. G. (2007). Right wing authoritarianism, social dominance orientation and the dimensions of generalized prejudice. European Journal of Personality, 21, 113-130. Edison. (2012, 19 Maret). Tak ada lagi keamanan. BeritaBatavia.com. Diunduh pada Maret 20,

2012, dari

(21)

Hamah, S. F. (2009) Segala bentuk diskriminasi rasial di papua, menguak tabir diskriminasi rasial dan impunity di Papua: Realitas politik diskriminasi rasial terhadap orang Papua. Papua Emergence’s Website. Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://safcompost.blogspot.com/2009/05/jeneva-foce-for-papua-political-freedom.html

Handayani, T. (2008) Kebangkitan nasional dan pembangunan manusia: Sebuah catatan kritis. Masyarakat Indonesia, 34(2), 125-148.

Heryanto, A. (1998, 12 Juni). Kapok jadi nonpri. Kompas. Rubrik Opini.

Hogg, M. A., & Abrams, D. (1990). Social identifications: A social psychology of intergroup relations and group process (Edisi ke-2). London: Routledge.

Hood, R. W., Hill, P. C., & Williamson, P. (2005). The psychology of religious fundamentalism. New York-London: The Guilford Press.

Jugert, P., & Duckitt, J. (2009). A motivational model of authoritarianism: Integrating personal and situational determinants. Poltical Psychology, 30(5), 693-715.

Lehmiller, J. J., & Schmitt, M. T. (2007). Group domination and inequality in context: Evidence for the unstable meanings of social dominance and authoritarianism. European Journal of Social Psychology 37:704-724.

Lestari, S. (2011, 2 Agustus) Ribuan pengunjuk rasa tuntut kemerdekaan Papua Barat. Diunduh

pada Februari 1, 2012, dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/08/110802_papua_demo.shtml

Liu, H., & Djumena, E. (2012, 14 Februari) Presiden instruksikan penuntasan kasus GKI

Yasmin. Kompas.com. Diunduh pada Februari 1, 2012, dari

http://nasional.kompas.com/read/2012/02/14/00480474/Presiden.Instruksikan.Penuntasan.Ka sus.GKI.Yasmin

Liu, J. H., Huang, L. L., & McFedries, C. (2008). Cross-sectional and longitudinal differences in social dominance orientation and right wing authoritarianism as a function of political power and societal change. Asian Journal of Social Psychology, 11, 116-126.

Nelson, T. D. (Ed.). (2010). Handbook of prejudice, steretotyping, and discrimination. New York: Psychology Press.

Pengamat: Aparat gagal ciptakan rasa aman di Jakarta. (2012). Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://teraspolitik.com/berita/2143/pengamat-aparat-gagal-ciptakan-rasa-aman-di-jakarta Pettigrew, T. F. (1998). Intergroup contact theory. Annual Review of Psychology, 49, 65-85. Pratto, F., Sidanius, J., Stallworth, L. M., & Malle, B. F. (1994). Social dominance orientation: A

personality variable predicting social and political attitudes. Journal of Personality and Social Psychology, 67(3), 741-763.

Putra, I. E., & Pitaloka, A. (2012). Psikologi prasangka: Sebab, dampak, dan solusi. (A. Rufaedah, Ed.). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Putra, I. E., & Wongkaren, Z. A. (2010) Konstruksi skala fundamentalisme di Indonesia. Psikobuana, 1(3), 151-161.

Putra, I. E., Satriyanto, T., & Meinarno, E. A. (in press). Ingatan sejarah dan figur pemimpin pada pribumi ‘Jawa’ dan non-pribumi ‘Tionghoa’. Jurnal Ilmiah Psikologi.

Santosa, B. (2011, 1 November). Apa Papua harus merdeka? Okezone.com, 1 November 2011.

Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://news.okezone.com/read/2011/11/01/339/523363/apa-papua-harus-merdeka.

(22)

Seniati, L. (2009). Path analysis dan structural equation model. Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://staff.ui.ac.id/internal/131998622/material/PATHANALYSIS.pdf

Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2009). Big-five personality, social worldviews, and ideological attitudes: Further tests of a dual process cognitive-motivational model. The Journal of Social Psychology, 149(5), 545-561.

Sidanius, J., & Pratto, F. (2001). Social dominance. Cambridge: University Press.

Volkan, V. (2005) Blind trust: Large groups and their leaders in times of crisis and terror. Virginia: Pitchstone Publishing.

Gambar

Gambar 2. Hipotesis hubungan antara pandangan dunia dan prasangka terhadap kelompok luar
Tabel 1. Deskripsi Demografis Partisipan
Tabel 3. Hasil uji reliabilitas alat ukur
Gambar 3. Hasil analisis SEM

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada grafik kecepatan sudut terhadap waktu dan grafik sudut rotor terhadap waktu, kurva warna merah menunjukkan lintasan gangguan, warna biru untuk kondisi stabil

Dalam pencapaian percepatan penanganan lingkungan kumuh, pemerintah pusat membuat program KOTAKU dimana program ini merupakan program turunan dari pemerintah pusat kepada

22 This research differs in that it tries to improve entrepreneurship motivation through training of knowledge and skills in waste handling into charcoal briquets, liquid

Tahap ini mencari dan mengumpulkan data untuk keperluan pelatihan dalam pembuatan program aplikasi rumah sakit pada mahasiswa/I prodi teknologi rekam medis STIKes

Berdasarkan Keputusan Sirkuler Pemegang Saham Perseroan yang ditandatangani para pemegang saham pada tanggal 2 dan 3 Desember 2010, para pemegang saham Perseroan telah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran inkuiri berbasis kearifan lokal terhadap kemampuan berpikir kritis siswa pada materi kalor

kadar beta karoten, total asam, dan sifat sensorik yoghurt labu kuning. Mengukur dan menganalisis kadar beta karoten dan total

Suatu perpustakaan elektronik, divisi atau bagman yang harus ada minimal adalah bagian yang mengurus tentang hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak),