• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Sosial Moralis Guru dan Murid Stu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relasi Sosial Moralis Guru dan Murid Stu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 RELASI SOSIAL MORALIS GURU DAN MURID SEBAGAI

PIJAKAN SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA (Studi Pemikiran Pendidikan Az-Zarnuji)

Oleh: Fatoni Ihsan1

Abstrak

Pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan dan keterampilan, yang terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Relasi sosial guru dan murid dalam pandangan kitab ta’limul muta’allim terutama yang telah dipelajari kalangan pesantren yang ditulis oleh Az-Zarnuji, berisi sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai seorang murid yang baik. Menurutnya, pendidikan tentang etika dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran, adalah kunci pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi bermanfaat. Guru yang menyadari statusnya sebagai orang yang dijadikan teladan, dan murid menghormati guru karena kharismanya serta kepentingan untuk mendapatkan sebuah ilmu dari guru tersebut. Dengan itu, pendidikan moralis akan menjadi air segar bagi kegersangan sistem pendidikan Indonesia yang hampa makna. Sebagaimana pendidikan etika menandai periode keemasan di Cina pada permulaan tahun 1.500 S. M.

Pendahuluan

Perkembangan suatu masyarakat berjalan lurus dengan perkembangan tingkat pendidikan. Sebabnya ialah kebudayaan dalam suatu peradaban masyarakat tercipta atas proses pendidikan. Melihat secara khusus lembaga pendidikan di Indonesia saat ini amatlah bervariasi. Wujudnya yaitu tersebarnya sekolah negeri, swasta, pondok pesantren, sekolah minggu, PKBM, maupun sekolah yang didirikan

oleh community development. Namun pada tahun 2014, media sering

mempublikasikan beberapa kasus amoral yang mencoreng wajah pendidikan di Indonesia terutama dilakukan oleh aktor pendidikan. Mulai dari kasus pencubitan anak oleh teman dari semua kelas atas perintah guru di Jawa Timur (20/11/2014),

1 Mahamurid Pendidikan Sosiologi Reguler 2012, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.

(2)

2 skandal pesta sabu dosen UNHAS dan mahasiswi (16/11/2014), dan pelanggaran HAM di JIS (18/04/2014).

Indonesia di abad 21 berada di ambang modernisasi dan globalisasi. Arus informasi, cara hidup masa kini, maupun kebudayaan yang notabene nya adalah impor dari negara lain, mempunyai dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Menjadi hal yang positif bila masyarakat Indonesia berhasil mengadopsi kebaikan dari arus yang ditimbulkan modernisasi dan globalisasi seperti kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun akan menjadi malapetaka bila ketiga arus tersebut tidak bisa dikendalikan dan bebas memasuki sendi kehidupan yang kemudian merusak konformitas. Beberapa masalah tersebut akan muncul sebagai refleksi atas: Pertama, kegagalan dunia pendidikan mentransformasikan kebudayaan. Kedua, terciptanya identitas aktor pendidikan yang tidak bijak dalam bersikap dan beradab. Kedua masalah tersebut bila dibiarkan berkembang, akan menjadi ancaman yang menandai keruntuhan sistem pendidikan Indonesia.

Kasus-kasus serupa pada umumnya terjadi di sekolah-sekolah umum yang kontrol sosialnya berdasarkan aturan tertulis dari pemerintah. Jika sekolah-sekolah umum dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, terdapat beberapa paradigma pembelajaran yang berbeda. Sementara itu, ketika santri baru memasuki dunia pesantren, maka buku yang diperkenalkan sebagai bimbingan belajar adalah kitab ta’limul muta’allim (bimbingan bagi penuntut ilmu pengetahuan). Buku tersebut menjadi pegangan wajib santri sebagai pedoman belajar, baik ketika masih menjadi santri maupun telah lulus dan menempuh pendidikan lanjut. Buku ini hanya terkenal di kalangan pesantren, sedangkan di sekolah negeri tidak pernah diperkenalkan. Kondisi demikian menghasilkan hipothesa dengan kenyataan adanya perbedaan sikap moral dan keilmuan yang dimiliki oleh para alumni pesantren dengan alumni non pesantren.2 Sumber perbedaannya ialah karakteristik kitab ta’limul muta’allim yang ajarannya sarat dengan nilai moral spiritual, yang kemudian mengkonstruksi sikap keilmuan para

2 Az Zarnuji, 2007. Ta’li ul Muta’alli , terje aha Aliy As ad. Kudus: Me ara Kudus, sampul

(3)

3 alumni pesantren. Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap proses belajar. Dalam kitab ta’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan pendidikan tentang etika dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam. Dari perbedaan itulah dapat ditarik kesimpulan bahwa, apapun lembaga pendidikannya – baik formal maupun nonformal, namun terdapat kesamaan pijakan dasar dalam mengukur keberhasilan sebuah sistem pendidikan, yakni relasi sosial antara guru dan murid yang merupakan lingkup terkecil berjalannya sistem pendidikan.

Untuk mendeskripsikan relasi sosial moralis antara guru dan murid dalam studi pemikiran Zarnuji tersebut, sistematika tulisan ini meliputi pembahasan tentang (1) Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid. (2) Relasi Sosial Moralis dalam Kitab Ta’limul Muta’allim. (3) Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan Sistem Pendidikan. Dan (4), Simpulan.

Relasi Sosial Normatif Guru dan Murid

(4)

4 Pasal 1, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyatakan bahwa:3 “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.” Sedangkan murid (peserta didik), menurut UU RI No. 3 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa:4 “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tertentu.”

Kajian terhadap pendidikan, dimulai dari ranah dasar terjadinya proses pendidikan yaitu kegiatan transformasi pengetahuan antara guru dengan murid. Guru mempunyai status dan peran yang dipandang penting memiliki pengaruh besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Karena guru berada diposisi terdepan yang berinteraksi langsung dengan murid sebagai subyek pendidikan. Sementara itu, murid sebagai subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki potensi untuk ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai dalam hidupnya. Maka dibutuhkan sebuah aktor pendidikan yang bertugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan murid untuk menemukan solusi atas permasalahan hidupnya. Relasi sosial guru dan murid juga mempunyai tujuan dalam pendidikan nasional, yaitu: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.5

Relasi Sosial Moralis dalam Kitab Ta’limul Muta’allim

Sejarah dan konteks sosial

3 Eman Surachman dan Devi Septiandini, 2013. Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta,

hal. 96.

4Ibid, hal. 86.

(5)

5 Kitab ta’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, pokok-pokok bahasannya berisi sikap ideal bagi para penuntut ilmu (murid) mengenai tata aturan sebagai seorang murid yang baik. Selain itu dalam kitab tersebut diatur bagaimana seharusnya sikap guru baik saat proses pembelajaran, maupun diluar konteks pembelajaran. Ada suatu pasal yang mengatur secara khusus pola interaksi dan umumnya relasi sosial yang ideal antara guru dan murid. Relasi sosial yang dilandasi atas penghormatan seorang murid kepada guru karena kharismanya yang mempunyai status sosial ahli ilmu. Sebagaimana yang terukir dalam syair dalam kitabnya ta’limul muta’allim yang berbunyi:

“esu gguh ya guru da dokter, kedua-duanya tidak bakalan mendiagnosa jika tidak dihormati. Jika kau abaikan dokter,

sabarkanlah penyakitmu. Jika kau abaikan guru, terimalah

ke odoha u. 6

Sebuah kitab yang syarat akan nilai moral tersebut disusun oleh Burhanuddin Az-Zarnuji, yang hidup sekitar abad ke-12 dan awal abad ke-13 M pada masa Bani Abbasiyah. Seorang tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap proses belajar. Sekilas mengenai tokoh tersebut, Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj.7 Dalam kitab ta’limul muta’allim nya itu, dia mengedepankan pendidikan tentang etika dan cara berhubungan dengan aktor pendidikan ketika proses pembelajaran. Zarnuji mengisyaratkan proses pendidikan yang penekanannya pada kesadaran peran antara guru dan murid sebagai asas sentral terutama dalam gaya pendidikan Islam.

Konteks sosial Az-Zarnuji yang melatarbelakangi penyusunan kitab ta’limul muta’allim nya yaitu diawali karena banyaknya para pencari ilmu (murid) yang dia nilai tidak mendapat ilmu. Atau yang mendapat ilmu, tapi tidak mendapat

kemanfaatan dari ilmu yang dipelajari murid tersebut. Penyebab

ketidakbermanfaatan ilmu tersebut menurutnya atas faktor kurangnya etika mencari ilmu, dan etika berkomunikasi dengan guru. Jika dikaitkan dengan konteks kekinian

6 Az-Zarnuji, op, cit., hal. 42.

(6)

6 permasalahan pendidikan di Indonesia yang kasusnya meliputi skandal pesta sabu dosen UNHAS dan mahasiswi, pelanggaran HAM di JIS, dan lain sebagainya, maka Zarnuji menawarkan pemecahan masalah bahwa fenomena demikian akibat dekadensi moral para murid dan pendidik yang kita rasakan saat ini.

Kandungan Kitab pada Relasi Sosial Moralis

Kitab talimul muta’allim merupakan satu-satunya sumber primer yang ditulis oleh Zarnuji. Secara keseluruhan, kitab ini berisi etika-etika dan moral – bagi guru dan murid – agar tercipta hasil pembelajaran yang ideal menurutnya. Yaitu dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi bermanfaat. Dalam menjabarkan pemikiran pendidikannya yang moralis, kitab ini disusun dengan berisi 13 pasal: 1. Pengertian ilmu, fiqih, dan keutamaannya. 2. Niat dalam belajar. 3. Memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. 4. Penghormatan terhadap ilmu dan ulama. 5. Ketekunan, kontinuitas, dan minat. 6. Permulaan belajar, kuantitas, dan tata tertib belajar. 7. Tawakkal. 8. Keberhasilan. 9. Kasih sayang, dan nasihat. 10. Istifadah. 11. Waro’ ketika belajar. 12. Penyebab hafal dan penyebab lupa. 13. Sumber dan penghambat rizki, penambah dan pemotong usia. Tulisan ini akan memfokuskan pada relasi sosial yang moralis antara guru dan murid, dengan menganalisis pasal-pasal tersebut dari sudut pandang sosiologi.

Mendeskripsikan mengenai isi kandungan kitab tersebut yang fokus pada relasi sosial moralis guru dan murid, secara khusus tertera dalam pasal 3 – memilih ilmu, guru, teman, dan tentang ketabahan. Dalam pasal tersebut, awalnya akan dibahas pada subpasal ‘Memilih Guru’. Pada sistem pendidikan Indonesia, profesi guru dipegang oleh seseorang yang memenuhi indikator-indikator tertentu yang telah distandardisasi. Indikator-indikator tersebut menyangkut kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan professionalitas yang semuanya sudah tersusun dalam stadar pendidik dan tenaga kependidikan. Namun berbeda dengan model pendidikan (lebih khususnya pendidikan Islam) yang ditawarkan dalam kitab ta’limul muta’allim karangan Az-Zarnuji. Seseorang yang menjadi guru8, atau

(7)

7 memilih seorang guru mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Seperti pernyataan Az-Zarnuji berikut:

Dala hal e ilih guru, he daklah e ilih siapa ya g le ih ali , le ih waro’, da le ih erusia, seperti hal ya I a A u Ha ifah

menjatuhkan pilihannya pada Hammad bin Sulaiman setelah terlebih

dahulu erfikir da e perti a gka .9

Juga dilanjutkan dalam pernyataan berikutnya:

Kata eliau; saya e e uka eliau seora g guru ya g luhur,

santun, dan penyabar disegala urusan .10

Berdasarkan pernyataan di atas, kriteria guru dan memilih seorang guru dapat dirumuskan yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar. Apabila kriteria-kriteria demikian dimiliki oleh seorang guru, maka akan menjadikan guru tersebut berwibawa di mata muridnya. Melihat dari perspektif mikrososiologi, dalam konsep tindakan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber dapat dideskripsikan. Bahwa pandangan demikian terhadap seorang guru, akan berpengaruh pada relasi sosial terutama dengan muridnya, yakni saat menjalankan perannya di dalam proses pembelajaran. Tindakan sosial yang dilakukannya memiliki makna subyektif dan tergolong tipe tindakan rasional nilai yang secara konseptual didasari oleh kesadaran atas keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama, dan nilai-nilai lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Contohnya adalah kontekstual kitab ini yang diterapkan di pondok pesantren, maka seorang guru menunjuk pada sebutan kyai, ustadz, atau ‘ulama yang mengajar di pondok pesantren. Guru yang mengajar di pondok pesantren tersebut dapat dikatakan telah memiliki beberapa kriteria guru dalam kitab ta’limul muta’allim, dan kegiatan pembelajaran mereka selalu dipertimbangkan atas keyakinan-keyakinan agama. Karena buktinya posisi mereka sebagai guru masih dipertahankan.

(8)

8 Selain guru, kitab ta’limul muta’allim ini juga membahas bagaimana relasi sosial murid terhadap guru yang telah diatur sedemikian rupa dalam pasal 4, subpasal ‘Menghormati Guru’. Sebagaimana pesan Az-Zarnuji dalam kitab tersebut:

“alah satu ara e uliaka il u adalah e uliaka sa g Guru

sebagaimana Sy. Ali, kw, berkata: Saya menjadi hamba, bagi orang yang mengajariku satu huruf ilmu; terserah ia mau menjualku, memerdekakan atau tetap menjadikan aku se agai ha a .11

Az-Zarnuji mengisyaratkan kepada murid yang ingin belajar, agar mendapat ilmunya maka salah satu tindakan sosial terhadap gurunya yaitu dengan memposisikan dirinya sebagai hamba bagi gurunya. Jelas bahwa murid atau santri yang mengaplikasikan pesan Zarnuji tersebut, tindakan sosialnya bertipe rasionalitas nilai. Karena tindakan yang didasari oleh kesadaran atas keyakinan mengenai nilai-nilai moral yang baik sebagai seorang murid yang menuntut ilmu kepada guru. Sehingga kesadaran terhadap nilai itulah yang mempengaruhi tingkah lakunya saat berelasi dengan guru. Mengenai sikap ini, Zarnuji menambahkan pernyataannya:

“aya erpe dapat ahwa hak sa g Guru adalah hak ya g pali g

hakiki, yang wajib terjaga oleh setiap muslim. Demi memuliakan, perlu dihadiahkan kepadanya seribu dirham untuk satu huruf

pelajara ya .12

Guru yang dipandang telah memenuhi kriteria yang telah disebutkan dalam kitab ta’limul muta’allim, yakni seorang guru ideal bersyarat ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar, telah melegalisasinya secara langsung maupun tidak langsung kepada sebuah otoritas dalam relasi sosialnya terutama dengan murid. Otoritas yang dimiliki guru ini bertipe kharismatik, yaitu wewenang seseorang yang diberikan oleh para murid dan pengikut dalam kepercayaan bahwa kekuasaan guru itu mengalir dari berkah yang luar biasa, sebuah istilah teologis analisis Weber. Kharisma guru yang telah

(9)

9 terkonstruksi itu, direspon dengan sikap murid yang bersedia seolah memposisikan dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar. Zarnuji mendefinisikan

kebutuhan murid yaitu mengatasi urusannya kepada seorang guru,

“Musyawarahkanlah urusanmu dengan mereka yang takut kepada Allah”.13 Sedangkan mengacu pada Syarah ta’limul muta’allim bahwa yang dimaksud orang yang takut kepada Allah, adalah ‘Ulama, ahli ilmu, atau guru. Saat proses pembelajaran dan berinteraksi dengan guru, murid melakukan tindakan rasional nilai, yang mendefinisikan guru sebagai seseorang yang berkarisma karena memiliki pribadi luhur, sopan, santun, dan penyabar. Sehingga sosok guru cenderung berkarisma dengan ciri-ciri yang menonjol tersebut. Terlebih atas pesan moral untuk murid, yang telah diutarakan Zarnuji dalam bersikap menghargai guru.

Relasi Sosial Moralis sebagai Pijakan Keberhasilan Sistem Pendidikan

Menurut perspektif mikrososiologi, masyarakat dipahami sebagai kesatuan unit yang saling berinteraksi. Proses interaksi yang dilakukan oleh para aktor baik dalam bentuk antar individu, antar kelompok, maupun individu dengan kelompok, di dalamnya terkandung maksud mempengaruhi tindakan sosial dan cara berpikir. Pola berpikir dan pola bertindak masyarakat yang mereka peroleh dengan belajar, menghasilkan suatu bentuk kebudayaan. Itulah hal ihwal mengapa setiap manusia bersifat unik, karena setiap manusia mempunyai tipe kebudayaan idealnya.

Kebudayaan masyarakat diperoleh dengan cara belajar, dengan demikian pendidikan merupakan keniscayaan dalam suatu masyarakat, karena perkembangan kebudayaan berjalan lurus dengan perkembangan pendidikan suatu masyarakat. Lihatlah perbedaan pendidikan masyarakat maju dengan masyarakat berkembang. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “hanya di dalam realitas masyarakat yang memiliki kesadaran akan pentingnya

(10)

10 perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan, maka peradaban dan nilai-nilai budaya konstruktif dapat ditegakan.”14

Dalam konteks ke-Indonesia-an, pendidikan telah dimanajemen sebagai sebuah sistem. Secara normatif, berikut struktur pendidikan sebagai sebuah sistem (di Indonesia):15

Kontribusi seorang guru sebagai tenaga fungsional yang memiliki peran fundamental dalam proses pembelajaran, menopang amanah negara demi menjadikan manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kesadaran akan peran guru bukan hanya sebagai pengajar, melainkan pendidik untuk memanusiakan manusia. Tanpa kesadaran itu maka pendidikan menjadi hampa, kosong, dan tak bermakna. Subyek pembelajaran yaitu peserta didik, motivasi mereka ketika datang ke sekolah tentu berbeda. Ada yang sekadar

14 Irwandar, dalam jurnal komunitas UNJ Ahmad Tarmiji. Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu Khaldun: Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Jakarta, hal. 51.

15 Eman Surachman, 2014. Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta, hal. 2.

(11)

11 menggugurkan kewajiban, namun ada juga yang memiliki motivasi meraih ilmu. Motivasi pendidik dan peserta didik sangat menentukan arah dan hasil pembelajaran, apakah hidup sebagai manusia yang sekadar menggugurkan kewajiban, ataukah menjadi manusia seutuhnya yang berakal.

Berjalannya sistem pendidikan Indonesia, ditentukan oleh pola relasi pembelajaran antara aktor-aktor pendidikan, yaitu relasi sosial guru dan murid. Secara keseluruhan, Zarnuji melihat etika-etika dan moral – bagi guru dan murid – di sekolah maupun di luar sekolah – adalah kunci hasil pembelajaran yang ideal. Yaitu murid dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkannya menjadi bermanfaat. Untuk menciptakan pola relasi sosial yang dimaksudnya Zarnuji, ada beberapa syarat dan sikap yang harus dipenuhi bagi seorang guru, yaitu: ‘Alim (ahli ilmu), wara (menjaga diri), lebih tua, pribadi luhur, pribadi santun, dan penyabar. Sedangkan sikap murid adalah bersedia seolah memposisikan dirinya sebagai hamba yang mempunyai kebutuhan atas guru tersebut, yaitu kebutuhan mendapatkan ilmu dari proses belajar dengan cara bermusyawarah dengan guru.

(12)

12 Tradisi pendidikan yang moralis telah terbukti memberikan basis ideologi yang mengakar, dan mampu menopang sistem pendidikan suatu negara dengan jangka waktu berabad-abad. Saksi sejarahnya adalah negara Cina. Sejarah Cina sekitar 5.000 tahun yang lalu memposisikannya sebagai salah satu negara yang memiliki peradaban maju tertua di dunia. Penemuan-penemuan arkeologi telah mengungkapkan kecermelangan dan kemajuan kebudayaan Cina pada permulaan tahun 1.500 S. M.16 Sebagai salah satu periode paling kreatif di Cina dalam bidang seni, kesusastraan, dan filsafat. Tokoh-tokoh ahli pikir Cina sepanjang masa yang menandai periode keemasan ini adalah – Lao Tze, Konfusius (nama Latin untuk K’ung-fu-tze), Mo Tze, dan Mensius (nama Latin untuk Meng-Tze) – beserta ajaran mereka.17

Cina mewariskan dua kontribusi yang penting dan kekal bagi kebudayaan Asia Timur. Pertama adalah sistem etika yang mencakup segala hal; prinsip-prinsip dalam sistem etika itu bahkan mempengaruhi unsur-unsur kehidupan sehari-hari. Kedua adalah bahasa tulisan yang menjadi sarana untuk mempelajari sistem etika tersebut.18

Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa. Pendidikan dalam perspektif global, merupakan proses transformasi pengetahuan dan keterampilan yang terjadi dalam relasi sosial para aktor pendidikan yakni guru dan murid. Guru dipandang mempunyai status dan peran yang pandang penting memiliki pengaruh besar terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Sedangkan murid sebagai subyek didik memiliki pribadi yang otonom, memiliki potensi untuk ditumbuhkembangkan, serta memiliki permasalahan yang dijumpai dalam hidupnya. Secara khusus relasi sosial guru dan murid tersebut dalam pandangan kitab ta’limul muta’allim yang telah dipelajari kalangan pesantren, berisi sikap ideal

16 I. N. Thut dan Don Adams, 2005. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 375.

(13)
(14)

14 Daftar Pustaka

Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. (D. NoviyanI, E. Adinugraha, & R. Widada, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Az-Zarnuji. (2007). Terjemah Ta'limul Muta'allim. (A. As'ad, Penerj.) Kudus: Menara Kudus.

Ibrahim bin Ismail. (t.thn.). Syarah Ta'limul Muta'allim. Darul 'Ilm.

Muztaba. (2014). Skripsi: Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh Az-Zarnuji dalam Kitab Ta'limul Muta'allim). Jakarta.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2012). TEORI SOSIOLOGI Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Nurhadi, Penerj.) Bantul: Kreasi Wacana.

Surachman, E. (2014). Bahan Ajar Manajemen Pendidikan. Jakarta.

Surachman, E., & Septiandini, D. (2012). Bahan Ajar Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta. Tarmiji, A. (t.thn.). Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu Khaldun: Antara Pendidikan

Karakter dan Pendidikan Nasionalisme. Komunitas, 45-49.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengkaji konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organic dan protein kasar) ransum prekursor nitrogen tinggi (PDIN) dan prekursor energi

Sesuai dengan periodisasi dan siklus perkembangan dinamika organisasi dan perubahan lingkungan baik internal maupun ekstemal organisasi Lembaga Sandi Negara maka perlu untuk

Adapun faktor- faktor yang diduga sebagai penyebab tingginya tingkat memilih masyarakat di Desa Balam Jaya yaitu adanya mobilisasi politik yang dilakukan oleh beberapa

Adanya aktivitas penghambatan Propionibacterium acnes oleh ekstrak etil asetat pelepah pisang ambon diduga disebabkan oleh adanya pengaruh senyawa bioaktif atau

Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) ditentukan bahwa: “Kekuasaan ke- hakiman dilakukan oleh

Menurut hasil penelitian, dalam pelaksanaan adat pembac aan do’a Tojolota’ ini masyarakat yang masih melakukan atau melakoni adat ini tidak diharuskan menyembelih hewan

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya