BERAGAMA DALAM SEMESTA BUDAYA POPULER
Oleh: M. Agus Noorbani, S.Psi.
(akubaca@yahoo.com)
Peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
Judul : Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi Penulis : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Mizan Publika, Bandung Cet. I : Mei, 2011
Bagaimana kita menjelaskan seseorang yang dalam kesehariannya kita kenal sebagai individu yang shaleh, santun dalam bicara, rajin menyumbang kegiatan sosial dan keagamaan, kemudian kita dapati menjadi tersangka dalam kasus korupsi? Atau tetangga yang kita kenal taat ibadah, rajin ke masjid kemudian menjadi tersangka kasus terorisme? Banyak pendekatan yang telah diberikan untuk menjelaskan perilaku-perilaku keberagamaan kontemporer ini. Yasraf Amir Piliang, seorang doktor di bidang filsafat dan salah satu ahli terkemuka di bidang kajian budaya
(cultural studies) di Indonesia, memberikan alternatif segar dalam menjelaskan perilaku
keberagamaan terkini melalui karyanya yang terbaru, Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi. Buku ini membahas mulai dari perilaku keberagamaan yang telah terkooptasi budaya popular hingga kejumudan dalam beragama yang pada akhirnya melahirkan sikap dan perilaku ekslusif dalam beragama. Buku ini dengan cair, dinamis, imajinatif, dan inovatif berupaya
melukiskan wacana agama dan realitas keberagamaan kontemporer menggunakan pisau analisis a la cultural studies.
Agama dan Imajinasi
Agama selama ini selalu diidentikkan dengan kepatuhan, kebiasaan, repetisi, tradisi, common
sense, atau sesuatu yang taken for granted. Sehingga seakan-akan tak ada celah di dalam agama
bagi daya pikir kritis, penafsiran, dan kreativitas; terobosan, kebaruan, dan inovasi. Namun, benarkah tak ada ruang di dalam agama untuk itu semua? Padahal, dalam sejarah perkembangan agama Islam misalnya, imajinasi bahkan hidup dalam tingkat keseharian, terutama pada masa-masa kegemilangan kekhalifahan Islam. Saat itu, imajinasi tentang jagat raya, kosmos, fisika, bahkan metafisika mewarnai kesadaran kolektif umat sehingga mampu menghasilkan banyak gagasan dan penemuan besar di bidang pemikiran, filsafat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Imajinasi semacam ini menjadi semacam penggerak kemajuan Islam selama beberapa abad. Hal ini juga terjadi pada sejarah perkembangan agama lainnya seperti Hindu dan Budha di Asia, dan Kristen di Eropa.
Namun, diyakini oleh penulis buku ini, telah terjadi semacam degradasi imajinasi dalam sejarah peradaban Islam – bahkan juga beberapa agama besar lain. Pada awal perkembangannya,
imajinasi profetik menjadi elan vital kehidupan beragama kaum muslim, kemudian imajinasi
kosmologis mewarnai kehidupan di zaman kekhalifahan, kemudian menjadi imajinasi populer di
masa ini. Jika pada zaman-zaman sebelumnya imajinasi bersifat substantif atau fundamental, namun pada masa kini cenderung bersifat permukaan yang menghasilkan pendangkalan dan bahkan merusak citra Islam itu sendiri. Hal ini dapat kita temukan pada imajinasi khilafah demi menegakkan pemerintahan dengan sistem politik teokrasi, atau pada imajinasi populer yang menampilkan keberagamaan melalui tanda dan simbol-simbol populer.
tentang Tuhan bersifat dualistik; ada Tuhan dunia atas yang dipenuhi dengan kebaikan dan ada Tuhan dunia bawah yang dipenuhi keburukan. Sementara dalam Islam sendiri, imajinasi tidak digunakan untuk meniru citra Tuhan, tetapi sebagai bagian dari proses meniru sifat-sifat
kesempurnaan Tuhan. Hal itu dilakukan untuk mengembangkan dan memanifestasikan imajinasi akan manusia sempurna. Dalam pemikiran Islam, kekuatan imajinasi selalu dikaitkan dengan kesadaran kenabian (prophetic conciousness), yaitu kesadaran untuk menerima nubuat. (h. xxii)
Karena itu, orisinalitas sangat diagungkan dan dihargai dalam Islam. Orisinalitas ini hanya mampu dihasilkan oleh individu-individu orisinil, bukan pribadi peniru, pengikut, dan pengekor. Pribadi-pribadi orisinil adalah individu yang memiliki imajinasi luar biasa, dan tak terkungkung dalam kejumudan. Imajinasi memainkan peranan besar dalam kemajuan peradaban Islam pada Abad Pertengahan seperti telah dijelaskan di atas.
Fetisisme dalam Beragama
Agama serta aktivitas manusia di dalamnya tidak dapat dipisahkan dari dunia objek atau artefak. Objek atau artefak tersebut merupakan sarana komunikasi, ritual, ibadah, dan tindakan sosio-religius lainnya. Melalui objek-objek demikian, yang semuanya buatan manusia, imajinasi
mengenai ketuhanan, kesucian, kesakralan, dan spiritualitas dibangun. Objek atau artefak buatan manusia tersebut dalam konteks tertentu hanya berfungsi sebagai kendaraan imanen dalam menghadirkan kesadaran nilai atau makna keagamaan transendental. Objek pada konteks tersebut hanya merupakan cara mediasi spiritual, bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhannya. Contohnya adalah penggunaan tasbih, sajadah, serban, dan sebagainya.
Namun dalam konteks tertentu, objek keagamaan ini bisa berhenti berfungsi sebagai mediasi
(mediation) dan perannya berubah menjadi menghadirkan (presentation). Objek-objek ini
dipercayai memiliki kekuatan metafisik atau ketuhanan. Alih-alih menjadi mediasi, objek tersebut malah menjadi sesembahan. Dalam lingkungan cultural studies objek ini disebut sebagai objek fetis (fetish object). Istilah fetish menunjuk pada kekuatan, pesona, atau daya pikat yang dimiliki suatu benda atau objek dan mampu memberikan rasa kekuatan atau kepercayaan diri pada orang yang memilikinya. Karena kekuatan yang dihasilkan oleh sebuah objek tak dapat dibuktikan substansinya, maka kesadaran subjek akan kekuatan itu pada dasarnya juga palsu.
Fetisisme berkembang hampir di dalam setiap agama. Di balik objek fetis terdapat imajinasi-imajinasi ketuhanan dan transendensi yang merupakan motif pemujaan. Objek memberi manusia kekuatan, daya pesona, dan daya mistik tertentu. Fetisisme di dalam agama, dijelaskan Piliang mengutip hasil studi Annemarie Schimmel mengenai kesucian dalam agama-agama, berkaitan dengan penggunaan objek atau artefak tertentu sebagai objek pemujaan, karena hal itu dianggap memiliki daya pesona atau kekuatan ilahiah tertentu. Bahkan teks-teks keagamaan yang suci, yang berisikan pesan atau ajaran-ajaran ketuhanan, dapat berubah hanya menjadi objek fetis ketika kandungan pesan dan ajarannya dikosongkan, diganti dengan semacam kekuatan keramat tertentu sehingga ia menjadi objek dikeramatkan, yang dipercaya dapat menyembuhkan
penyakit, menolak bala, atau mendapatkan kekuasaan. (h. xxv - xxviii)
Imajinasi dan Otentisitas Beragama
ini sering kita jumpai orang-orang mengenakan pakaian atau menunjukkan lelaku yang dahulu hanya dilakukan dalam ruang-ruang privat ke dalam ruang sosial untuk menunjukkan tanda-tanda keshalehan. Betapa saat ini, puasa Ramadhan, Hari Raya agama apa pun, menjadi begitu riuh rendah. Dahulu orang bershalawat atau berzikir hanya di ruang pribadi kini dapat kita jumpai di mana-mana, bahkan di wall Facebook atau timeline jejaring Twitter.
Imaji akan keshalehan, sebuah bentuk pribadi tertinggi dalam beragama atau pribadi insan kamil dalam terminologi Muhammad Iqbal, tentunya menjadi imajinasi kelompok umat beragama apa pun. Karena keshalehan merupakan imajinasi akan citra Tuhan yang sempurna, yang
penggambarannya dicontohkan dalam sosok setiap Nabi. Namun, Tuhan menciptakan manusia bukan seperti sebuah mesin yang hanya dipenuhi aturan, rumus, kode, pembatasan, standard, dan ukuran. Melalui agama, Tuhan seseungguhnya memberi ruang kepada manusia untuk mengembangkan kebebasan, imajinasi, fantasi, dan inovasi yang tentunya masih berada dalam bingkai aturan dan kode. Tujuan ini semua adalah agar manusia dapat memahami, menghayati, dan memaknai dunianya. Karenanya, menjadi kewajiban setiap individu beragama untuk