• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Etik Dalam Pendekatan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Definisi Etik Dalam Pendekatan Konseling"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A.

Definisi Etin Dalan Pendeenatan

Konseling Lintas Budeaya

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendeenatan

enin berusaha memahami perilaku individu atau masyarakat dari sudut pandang si pelaku sendiri (individu tersebut atau anggota masyarakat yang bersangkutan).

Sedangkan Pendeenatan Etin menganalisa perilaku atau gejala sosial dari pandangan orang luar serta membandingkannya dengan budaya lain. Dengan demikian maka pendekatan etik bersifat lebih objektif, dapat diukur dengan ukuran dan indikator tertentu, sedangkan pendekatan emik relatif lebih subjektif dan banyak menggunakan kata-kata atau bahasa dalam menggambarkan perasaan individu yang menjadi obyek studi.

Studei enin bersifat lebih unik, sukar untuk digeneralisasikan secara luas (Pelto, 1970). Ditambahkan oleh Foster bahwa pendekatan emik mencakup upaya untuk mengkomunikasikan keadaan diri-dalam (inner psychological states) dan perasaan individu yang berkaitan dengan suatu perilaku.

Asumsi dari pendekatan emik ini adalah bahwa pelaku atau aktor suatu tindakan itu lebih tahu tentang proses-proses yang terjadi dalam dirinya daripada orang lain. Dan pengetahuan tentang proses mental ini diperlukan untuk memahami mengapa seseorang melakukan suatu tindakan atau mengapa dia menolak untuk melakukan tindakan tersebut (Foster, 1978). Kedua pendekatan ini dapat digunakan untuk studi antar budaya, hanya etik memberikan perbandingan dan generalisasi sedangkan emik menggambarkan keunikan penghayatan masing-masing individu atau kelompok. Studi-studi sosiologi biasanya menggunakan kedua pendekatan ini guna memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang gejala yang diselidiki. Jika studi itu menggunakan informan untuk memperoleh infornasi yang bersifat etin misalnya siapa saja yang datang dalam gotong royong, maupun emik misalnya apa makna upacara kremasi bagi penganut agama Hindu-Bali.

PENGERTIANBUDAYA

Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikuta Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

(2)

atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta

masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun

kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitua

1. merupakan produk budidaya manusia, 2. menentukan ciri seseorang,

3. manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.

PENGERTIAN KONSELING

Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai

perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk

mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitua

1. adanya hubungan,

2. adanya dua individu atau lebih, 3. adanya proses,

4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.

KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYAIsu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997a41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.

(3)

berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,

keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994).

Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti

karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan

karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua

pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia

(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989a37).

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara

(4)

Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain

sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.

Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang

berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".

Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.

Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitua

1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien; 2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan

3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalaha

1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, 2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,

(5)

4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.

5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitua 6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku

manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.

7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral

8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok

9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup 10. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan

keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

B.

Definisi Enin Dalan Pendeenatan

Konseling Lintas Budeaya

Kehidupan masyarakat tidaklah pernah dapat dihindari keyataan bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Shiraf dan Levi (dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan sebuah defenisi budaya ialah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbol-simbol yang dimilki bersam oleh manusia dan biasanya dikomikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa didalam masyarakat sebuah budaya menempatkan posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat suatu perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain. Didalam penelitian para ahli dalam psikologi lintas budaya di kemukakan ada dua jenis ragam budaya yang ada dalam masyarakat yaitu etik dan emik.

(6)

etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten tetap diberbagai budaya ; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada sebuah kebenaran atau prinsip –prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (cultur specific).

Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran yang bersifat khas budaya. Etik dan emik merupakan konsep-konsep yang kuat (power full). Kalau kita tahu sesuatu tantang perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (universal) maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran bagi semua orang dari budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenara itu ternyata adalah suatu emik (bersifat khas budaya), maka apa yang kita angggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Bahkan kebenaran itu bisa sangat berbeda, kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relative. Defenisi kebenaran yang memperhitungkan etik dan emik ini memaksa kita semua untuk mempertimbangkan kebenaran hal-hal yang kita yakini.

Etik dan Emik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat.

(7)

setemapat dan tidak berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.

Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas budaya, sepakat bahwa jumlah etik dan emik sama, atau bahkan lebih banyak emik dari pada etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang menemukan cara-cara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Kalau dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya berevolusi dengan cara khasnya masing-masing untuk menangani perilakun manusia dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantug kepadatan penduduk, ketersediaan makanan, dan sumber-sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan yang berbeda dengan lingkunganya, setiap kebudayaan akan mengembangkan perbedaan-perbedan yang kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada didalam budaya tersebut.

Adanya emik atau perbedaan cultural, bukan sesuatu yang problematic dalam diri individu/ kelompok masyarakat. Namun permasalahnya secara potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya bebagai perbedaan itu. Karena kita berada dlam budaya kita masing-masing, dengan latar belakang kultur kita sendiri, kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata latar belakng tersebut. dengan kata lain, budaya bertindak sebagai suatu filter (penyaring), tidak hanya ketika kita memperesepsikan seseorang, tetapi juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan suatu kejadian . kita bisa menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang cultural kita sendiri dan menarik beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut berdasarkan keyakinan kita tentang perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi penafsiran kita bisa salah bila perilaku yang sedang kita nilai berasal dari suatu orientasi cultural yang berbeda dari budaya kita

(8)

Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specifc).

Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.

Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.

Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.

Contoh nasus:

(9)

melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.

Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.

Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Secara sangat sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses konseling.

Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan(Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).

Ada banyak contoh etik dan emik dalm psikologi lintas budaya. Bahkan barangkali bias dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin adalah untyk memeriksa mana aspek-aspek perilaku manusia yang etik dan mana manusia yang emik. Salah satu tujuan utama adalah untuk menyajikan berbagai contoh etik dan emik yang diperoleh dari penelitian lintas budaya.

(10)

D.

pendeenatan etin dean enin dealan

nonseling lintas budeaya

Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya,mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.

Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik.

Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specifc).

(11)

kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.

Contoh kasusapada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan, maka berlaku sebutana pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.

Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.

B. Etnosentris dan Stereotype

Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri. etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok. etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing.etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyanaa2000;70).

(12)

sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konfik di antaranya. Contoh konfik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementara yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

(13)

kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat caraa

1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.

2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.

3. Stereotip dapat menimbulkan kambing hitam.

(14)

pada stereotip bisa menyesatkan. lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.

Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitua

 Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.

 Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.

Referensi

Dokumen terkait