• Tidak ada hasil yang ditemukan

KHUTBAH JUM’AT (23) Upaya Meraih Rahmat Allah swt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KHUTBAH JUM’AT (23) Upaya Meraih Rahmat Allah swt"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KHOTBAH JUMAT

Upaya Meraih Rahmat Allah swt

ُهَل ْو ُسسس َر َل َسسس ْرَأ ْيِذَلا ل ُدسسْمَحْلَا

َه ِرسسَك ْوسسَل َو ِهِلُك ِنْيِدسسلا ىَلَع ُه َرسسِهْظُيِل ِقسسس َحْلا ِنْيِد َو ىَدسسُهْلاِب

ٍدَم َحُم ىَلَع ِل َسسص مهللالل ُل ْو ُسسس َر اًدَم َحُم َنَأ ُدَه ْسسشَأ َو ل َلِإ هسسلا َل ْنَأ ُدَه ْسسشَأ ، َن ْوُك ِر ْسسشُمْلا

زاسسف دسسقف ل ىوسسقتب ىسسسفنو مكيسسصوأ ل داسسبعايف دسسعب اسسمأ ل َنْيِعَم ْجَأ ِهِباَح ْسسصَأ َو هلأ ىَلَع َو

نوملسم متنأو لأ نتومتلو هتاقت قح ل وقتا ,نوقتملا

Materi khotbah kali ini merupakan penjabaran dari istilah rahmat dalam ayat Az-Zumar 53 yang berbunyi:

ُرسسسِف ْغَي َ َل َنِإ ۚ ِ َل ِةسسسَم ْحَر نِم اوسسسُطَنْقَت َل ْمِه ِسسسسُفنَأ ٰىَلَع اوُف َر ْسسسسَأ َنيِذَلا َيِداسسسَبِع اسسسَي ْلسسسُق

َبوُنّذلا

ُميِح َرلا ُروُفَغْلا َوُه ُهَنِإ ۚ اًعيِم َج

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni

dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .

Bahwasannya kita semua dilarang untuk merasa putus asa atas rahmat Allah swt. Bagaimana kita akan putus asa kalau kita sendiri tidak memahami rahmat itu sendiri. Oleh karena itulah tema khotbah kali ini akan lebih banyak membicarakan hal tersebut.

Sebuah kisah yang berdasarkan pada hadist Rasulullah saw dari cerita Malaikat Jibril “sungguh dahulu pernah ada seorang hamba (‘abid) yang tinggal seorang diri di sebuah gunung paling tinggi di dunia. Begitu tingginya gunung itu, sehingga aku (jibril) sering melaluinya ketika hendak turun dari langit melaksanakan titah dari Yang Maha Kuasa. Gunung itu tidak begitu luas, tetapi cukup lengkap persediaan bahan makanan dan buah-buahan juga air terjun yang menyegarkan. Hal itu mempermudah ‘abid menjaga perut dari kekosongan dan memudahkannya berwudhu sehinga ia selalu dalam keadaan suci.

Di atas gunung yang sangat indah itu, ‘abid hidup selama lima ratus tahun. Ia tidak punya kegiatan, selain beribadah, bermunajat, dan berdo’a, tidak pernah terlintas dibenaknya untuk berbuat dosa dan mendurhkai-Nya. Salah satu do’a yang dikabulkan Allah swt adalah permohonannya setiap saat untuk mati dalam keadaan sujud. Demikianlah, akhirnya ‘abid meninggal dunia dalam usia limaratus tahun.

(2)

berubah mukanya, terkesan tidak terima. Karena ia merasa bahwa amal-ibadahnnya selama lima ratus tahun tanpa dosa lah yang menyebabkannya layak masuk ke surga. Bukan semata karena rahmat-Nya. Demikian protes ‘abid kepada Allah swt.

Mafhum apa yang dimaksud oleh si ’abid. Maka segeralah Allah menugaskan seorang malaikat untuk menghitung dan menimbang seluruh amal-ibadahnya selama lima ratus tahun tanpa dosa yang diandalkannya sebagai modal meraih sorga. Kemudian ditimbangnya amal tersebut dibandingkan dengan rahmat pemberian-Nya. Ternyata rahmat Allah swt yang diberikan kepada ‘abid yang terdapat dalam mata (termasuk di dalamnya kemampuan melihat) saja jauh lebih berat nilainya dibandingkan dengan ibadahnya selama lima ratus tahun. Belum nikmat anggota badan yang lain, otak, kaki, tangan, dan seterusnya.

Maka sesuai dengan protes yang diajukannya, Allahpun memerintahkan malaikat untuk menyeret si ‘abid ke dalam neraka. Karena nilai amal-ibadahnya jauh lebih ringan dari pada rahmat yang terdapat pada mata. Ketika itulah si ‘abid baru sadar ternyata kebergantungannya pada amal tidak dapat menyelamatkannya. Segera ia meminta ampunan dan mengakui akan segala kesalahan dan kesombongannya. Ia terlalu mengandalkan amal ibadahanya dan mengabaikan rahmat-Nya.

Akhirnya Allah mengampuninya dan sekali lagi menanyakan kepada si ‘abid “apakah engkau masuk surga ini karena amalmu?’ si ‘abid menjawab “tidak ya Allah Tuhanku, sungguh ini semua karena rahmat-Mu”.

Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah

Cerita di atas membuktikan betapa hidup manusia ini sangat tergantung pada rahmat Allah swt sebagai pengatur alam jagad raya. Ia-lah yang menentukan semuanya. Ia berhak melakukan apapun kepada makhluk-Nya. Sebagai Sang Pencipta, sebagai Sang Maha Kuasa, Dia bebas menyiksa dan mengganjar siapa saja yang Ia mau. Tidak ada yang dapat membatasi gerak-Nya. Ketundukan atau kedurhakaan kita kepada-Nya tidaklah mampu menggeser kekuasaannya walau sedikitpun. Oleh karena itulah hidup semua makhluk ini sungguh-sungguh tergantung paa rahmatnya, bukan pada kesalehan amal ibadah kita.

Oleh karena itulah kita diajari sebuah do’a yang sangat masyhur:

عسسسوا كسسترفغم نل لاي اسسنل رفغاو ,انلامعأ عيمج نم انل ىجرأ كتمحر نل لاي انمحرا

انبونذ نم

(3)

Ya Allah kasihanilah kami, karena rahmat-Mu lebih kami harapkan dari pada semua amal kami. Dan ampunilah kami, karena pengampuanan-Mu lebih luas dari pada dosa-dosa kami.

Begitulah hendaknya, manusia sebagai hamba yang lemah tidak dibenarkan terlalu merasa aman dengan amal ibadah yang telah kita kerjakan. Karena hal itu tidak serta merta mampu menyelamatkan diri kita. Karena keselamatan dan pertolongan itu terkandung dalam rahmat-Nya.

Dengan kata lain, sungguh merugi jika manusia merasa nyaman dengan tumpukan dan penjumlahan amal yang telah dilakukannya, dengan harapan amal-ibadah itu akan menyelamatkannya dari api neraka. Sebuah kisah masyhur dari kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani tentang al-Ghazali. Diceritakan bahwa Imam Ghazali tampak dalam mimpi, maka ia ditanya “apa yang Allah lakukan kepadamu?” lalu ia menjawab “Allah membiarkanku di hadapan-Nya, kemudian Allah berkata, Kenapa Engkau dihadapkan kepada-Ku, apa yang engkau bawa? Maka aku (al-Ghazali) menyebutkan segala amal-ibadahku. Tapi Allah menjawab “sesungguhnya Aku tidak menerima semua amal-ibadahmu, kecuali satu amal pada suatau hari ketika kamu membiarkan sesekor lalat hinggap di atas tintamu dan meminum tinta itu dari ujung penamu, serta engkau membiarkannya karena kasihan kepada lalat itu”. Kemudia Allah berkata “wahai malaikat, bawalah hambaku ini ke surga”.

Fragmen Al-Ghazali ini menunjukkan kepada kita bahwa posisi rahmat Allah itu sangat rahasia. Ia bisa terdapat bentangan amal kita yang tidak kita ketahui persisnya. Beratus-ratus kitab karya al-Ghazali, bertahun-tahun ibadahnya, tetapi rahmatnya malah terdapat di tinta pada ujung penanya? Bukankah secara logika ratusan karya itu lebih bernilai? Tidak demikian. Rahmat-Nya tidak dapat dikalkulasi, diprediksi dan diperinci karena rahmat itu adalah hak prerogatif milik-Nya.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Oleh karena itulah tidak dibenarkan bagi kita untuk menilai rendah sebuah amal ibadah. Walaupun itu sekedar menghindarkan duri dari tengah jalan. Karena bisa saja amal itu yang dirahmati Allah swt. Kita tidak boleh meremehkan amal walau sekecil apapun siapa tahu itulah yang akan menyelamatkan kiat di akhirat nanti Bukankah Sayyidina Umar masuk surga karena sekedar menyelamatkan burung emprit yang dibelinya dari seorang anak kecil yang menyiksa burung itu? cerita ini kemudian diabadikan dengan sebutan kitab úsfuriyah. Begitu sebaliknya. Kita tidak dibenarkan pula menyombongkan amal ibadah walau sebesar apapun amal tersebut. Karena belum tentu amal itu mengandung rahmat-Nya.

(4)

Dalam konteks kekinian rahmat Allah dapat saja berada dalam amal yang sungguh sepele. Mungkin saja rahmat itu terletak dalam diri anak-anak jalanan yang mengulurkan tangan ke hadapan kita, atau di dalam diri pengamen yang menyanyikan lagu sumbang tak jelas suara dan nadanya. Dan juga mungkin sekali rahmat itu terletak dalam amal kita dalam memberi selembar kertas koran sebagai alas shalat jum’at. wal hasil sekecil apapaun amal itu tidak boleh kita sepelekan.

Hal ini tentunya akan mengajak kita memandang fenomena akan lebih hati-hati dan tidak mudah syu’ud dhann. Janganlah kita mudah buruk sangka dan memandang remeh kepada pekerjaan orang lain. Tukang sayur yang mangkal setiap pagi, tukang loper koran, tukang ojek dan tukang-tukang lain yang sering kita nikmati jasanya tanpa kita kenal profilenya dengan dekat, bahkan seringkali kita jadikan kambing hitam, bisa jadi pekerjaan merekalah yang mengandung rahmat Allah swt dibandingkan pekerjaan kita.

Akhirul kalam, bahwasannya manusia tidak boleh berputus asa untuk terus memburu rahmat Allah, karena sesungguhnya rahmat itu amat luasnya, hanya kebanyakan manusia tidak memahami hikmah dibalik itu semua.

Demikianlah khotbah jum’ah kali ini semoga membawa banyak man’faat. Minimal meyakinkan pada diri kita agar tidak mudah memandang remeh pada amal-amal kecil dan juga amal-amal orang lain.

نيملسسسملا رئاسسسلو مكلو ىل ميظعلا ل رفغتسسسأو اذسسه لوق لوقأ ,نيعمجأ مكاياو ل اناده

ميحرلا روفغلا وه هنإ هورفغتساف تاملسملاو

Khutbah II

(5)

Referensi

Dokumen terkait