II.1 Paradigma Penelitian
II.1.1 Paradigma Konstruktivis Kritis
Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada
dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya
terhadap dunia. Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).
Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu:
positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan
Hermawan, 2011: 9). Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis
kritis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.
Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,
Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme
memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi
hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah
menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan
cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).
Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang
membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga. Pertama, dunia fisik atau
keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.
Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,
puitis dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik
melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian
mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan
pengetahuan manusia.
Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi
merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang
dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.
Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan
bukan dari reproduksi kenyataan.
Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujukkan
pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun
konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi
melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang
memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi
perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal,
konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto, 2007: 156-157).
Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang
menjadi objek dalam penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar
belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Dalam penelitian ini, akan digunakan dua paradigma sebagai arah bagi
penelitian yang akan dilakukan, yaitu paradigma konstruktivis dan paradigma
kritis. Seperti yang telah dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma
konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut
dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma kritis
membantu peneliti untuk mengungkap lebih dalam dan lebih radikal mengenai
segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian.
Salah satu sifat dasar dari paradigma kritis adalah selalu curiga dan
mempertanyakan. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan
konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna
yang terjadi secara historis maupun institusional.
Paradigma kritis tidak bisa terhindar dari unsur subjektivitas peneliti.
Paradigma kritis memungkinkan penafsiran yang berbeda dari peneliti lain tentang
gejala sosial yang sama.
II.2 Uraian Teoritis
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah
penelitian akan disorot (Nawawi, 2001: 39). Maka, teori yang relevan untuk
penelitian ini adalah:
II.2.1 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang
berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang–atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras
meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).
Secara garis besar, teori tentang tanda, manusia, dan makna dapat dibagi
atas tiga kelompok besar, yakni struktural, pragmatis, dan gabungan keduanya.
Peneliti telah merangkumnya lewat penjelasan berikut (dalam Hoed, 2014: 5-13):
1. Semiotik Pragmatis
Tokoh semiotik pragmatis yang terkenal adalah Charles Sanders Peirce
(Amerika), dengan konsep “pan-semiotik” miliknya (1839–1914). Pan-semiotik
adalah pandangan Peirce tentang tanda yang merupakan segala hal, baik fisik
maupun mental, baik di dunia maupun jagat raya semesta, baik di dalam kognisi
manusia maupun sistem biologi manusia dan hewan, yang diberi makna oleh
manusia. Bagi Peirce, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.
Bagi Peirce, tanda dan pemaknaannya bukanlah struktur melainkan suatu
proses kognitif yang disebutnya sebagai proses pemaknaan dan penafsiran tanda,
tahap, yaitu tahap penyerapan representamen, tahap object, dan tahap
interpretant.
Tahap pertama adalah penyerapan aspek representamen tanda (melalui
pancaindra manusia), tahap kedua kemudian mengaitkan representamen secara
spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memaknai
representamen, yaitu object. Tahap ketiga yaitu interpretant, menafsirkan object
sesuai keinginannya. Cara pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen
dengan object didasari oleh pemikiran bahwa object tidak selalu sama dengan
kenyataan yang diberikan oleh representamen, namun object timbul karena
pengalaman memberi makna pada tanda. Proses inilah yang disebut semiosis.
Karena ada tiga tahap dalam memaknai tanda, maka teori Peirce disebut bersifat
trikotomis (tripihak).
Semiosis dapat berlanjut melalui interpretant yang menjadi representamen
baru dan kemudian menghasilkan interpretant yang menjadi representamen baru.
Representamen pada tahap lanjutan ini merupakan sesuatu yang terdapat dalam
pikiran manusia. Menurut Peirce semiosis dapat terus berlanjut terus tanpa akhir,
ia menyebutnya sebagai “unlimited semiosis,” Namun Umberto Eco telah
membantahnya. Menurutnya, proses semiosis yang berlanjut itu dapat terhenti
ketika seseorang dibatasi oleh aturan budaya (prinsip-prinsip supra-individual)
yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk melakukan proses semiosis
lanjutan.
Proses semiosis ini bertolak pada hal yang konkret (representamen;
melalui pancaindra), maka semiosis ini disebut semiotik pragmatik. Teori
semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represents
something else,” atau tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili
objek. Kata mewakili di sini berkaitan secara kognitif, atau secara sederhana dapat
dikatakan sebagai proses pemaknaan. Terdapat kaitan antara “realitas” dan “apa
yang berada dalam kognisi manusia.” Pengertian ini menjadi lebih jelas ketika
kita memasuki tiga kategori tanda (unsur makna) berdasarkan sifat hubungan
antara representamen dan object menurut Peirce.
Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara
icon, kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas
dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Kategori
ketiga adalah symbol, tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan
konvensi sosial.
Setelah Peirce, dalam semiotik pragmatik juga ada Danesi dan Perron yang
mengembangkan teori Peirce tentang semiosis melalui proses pemaknaan tanda
pada manusia. Semiosis berlanjut tidak terjadi dalam diri seseorang semata, tetapi
dapat terjadi pada tataran sosial sebagai suatu proses “getok tular.” Ketika tanda
memasuki ranah sosial budaya, tanda menjadi bagian dari apa yang oleh Danesi
dan Perron sebut sebagai “the signifying orders.” Fenomena ini juga dikenal
dengan nama “dari mulut ke mulut.”
2. Semiotik Struktural
Strukturalisme lahir dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857–1913)
melalui kuliah-kuliahnya di Universitas Jenewa, Swiss, dan juga melalui buku
anumerta Cours de linguistique générale (terbit 1917)–buku kumpulan kuliah de
Saussure–yang dibukukan oleh dua mantan mahasiswanya, yaitu Charles Bally
dan Albert Sechehaye. Menurut Dosse (1991: 12) dalam Hoed (2014: 65), hanya
ditemukan tiga kata structure dalam buku anumerta Cours de linguistique
générale. Namun, kaidah struktural yang dikemukakan de Saussure dalam konsep
sintagmatik dan asosiatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan sebuah
struktur dan sistem. De Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji
dengan teori mandiri yang disebutnya ”linguistique.” De Saussure
memperkenalkan empat konsep penting yang masing-masing ditampilkan secara
dikotomis (dwipihak; menggunakan model dua pihak), yaitu (1) langue vs. parole,
(2) sintagmatik vs. paradigmatik, (3) sinkroni vs. diakroni, (4) signifiant vs.
signifié.
(1) Secara sederhana, langue adalah langage dikurangi parole. Langue
adalahaspek sosial dari langage (bahasa sebagai gejala sosial), sedangkan parole
adalah tataran praktik berbahasa dalam masyarakat, manifestasi langue. (2)
Konsep sintagmatik dan paradigmatik menyangkut sifat relasi (hubungan)
antarkomponen di dalam struktur yang sama (in praesentia), sedangkan relasi
paradigmatik adalah relasi antarkomponen dalam suatu struktur dan komponen
lain di luar struktur itu, bersifat asosiatif (in absentia). (3) Sinkroni dan diakroni
merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan.
Sinkroni yaitu pada lapisan ruang dan waktu tertentu, sedangkan diakronis yaitu
melihat perkembangannya dari satu lapisan waktu ke lapisan waktu yang lain.
Sinkroni merupakan dasar analisis diakronis. (4) De Saussure mengatakan bahwa
tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam
kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.
Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan
diidentifikasikan sebagai signifiant (penanda) dan signifié (petanda).
Gambar II.1
Elemen-Elemen Makna Saussure
Sign
Composedof
Signification
Signifier Signified Externalrealityofmeaning
(PhysycalExistence) (MentalConcept)
Sumber: John Fsiske, IntroductiontoCommunicationStudies, 1990, hlm. 44 (Sobur, 2004: 125)
De Saussure mengutamakan bahasa lisan sebagai sumber bahasa yang
sesungguhnya. Sama seperti konsep humanistik yang dikemukakan Husserl bahwa
bahasa bersumber dari “Suara” manusia, sedangkan de Saussure menempatkan
mengatakan bahwa bahasa tulisan merupakan derivat/representasi dari bahasa
lisan, sehingga bahasa lisan itulah objek kajian utama linguistik.
Bagi de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas
(arbitrer), yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan
alamiah dengan petanda (Sobur, 2004: 31-32). Pada dasarnya apa yang disebut
sebagai penanda dan petanda merupakan produk kebudayaan yang hubungan di
antara keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan pada konvensi,
kesepakatan atau peraturan dari budaya pemakai bahasa tersebut.
Hubungan antara penanda dengan petanda secara bersamaan membentuk
tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain. Keduanya membentuk satu
kesatuan yang sering kali disebut sebagai struktur. Begitu pula hubungan antara
“langue” dan “parole,” keduanya tak terpisahkan sehingga membentuk sebuah
struktur, yakni “langage.” Hierarki oposisi biner dalam pemaknaan de Saussure
(pertinensi dan komutasi dalam kaidah analisis struktural) inilah yang menjadikan
semiotika ini disebut semiotik struktural.
Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik terbagi dua, yakni yang
sifatnya melanjutkan, yakni kontinuitas (Hjemslev, Barthes), dan yang sifatnya
mulai meninggalkan tapi masih memperlihatkan dasar strukturalismenya, yakni
evolusi (Foucault, Lacan, Ricœur, Derrida). Dalam perkembangan selanjutnya,
Barthes misalnya, tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural (Hoed,
2014: 44).
II.2.2 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika struktural
sampai pascastruktural. Sebagai penerus de Saussure, Barthes setuju dengan
konsep oposisi biner penanda dan petanda milik de Saussure. Barthes dan de
Saussure sama-sama menganut teori tanda yang dikotomis atau diadik, yaitu tanda
terdiri dari dua komponen yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain seperti
dua sisi selembar kertas. Konsep oposisi biner dan hubungannya (sintagmatik dan
paradigmatik) yang dikembangkan de Saussure inilah yang kemudian menjadi
Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk
“semiologi literer” di Collegede France. Barthes telah banyak menulis buku dan
mencipta karya, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di
Bidang Menulis” (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree
Zero, 1977), Michelet (1954), Mythologies (1957), Criticial Essays (1964),
Eléments de sémiologie (1964), Criticism and Truth (1966), The Fashion System
(1967), S / Z (1970), The Empire of Sign (1970), Sade, Fourier, Loyola (1971),
The Pleasure of the Text (1973), Roland Barthes by Roland Barthes (1975), The
Death of Author (1977), A Lover’s Discourse: Fragments (1977), Camera Lucida:
Reflections on Photography (1980), The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980
(1981), The Responsibility of Forms (1982), L’aventure Sémiologique (1985), dan
banyak lagi karya serta tulisan Barthes lainnya (Sobur, 2004: 63-67).
Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi
tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit
bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada
tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia
menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh
dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang
dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan
sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).
Teori semiologi Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa
menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yakni
konsep langue-parole, signifiant-signifié, sintagmatik-paradigmatik, dan
sinkroni-diakroni. Empat konsep dasar ini digunakan dan dikembangkan oleh Barthes
dalam bukunya Eléments de sémiologie (1964) yang terbit di Paris (Penerbit
Seuil). Dua dari beberapa konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yaitu
sintagmatik dan paradigmatik, denotasi dan konotasi.
Barthes mengembangkan pandangan sintagmatik dan paradigmatik dengan
berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala
hubungan sintagmatik, sintagme berbeda dari sistem. Barthes menjelaskannya
lewat pengamatannya terhadap mode busana. Secara singkat, sintagme merupakan
gatra (ruang kosong) yang memiliki “fungsi” masing-masing. Keseluruhan urutan
sintagme tersebut membentuk sebuah struktur. Dalam hal mode busana, terdapat
proses diferensiasi (memiliki tempat sendiri serta masing-masing saling
membedakan) antar sintagme sehingga membentuk makna masing-masing, dan
karenanya sintagme-sintagme itu berada dalam suatu relasi paradigmatik.
Sementara itu, dalam hal praktik busana, sintagme-sintagme tersusun sesuai
dengan tempatnya pada tubuh manusia, terjukstaposisi dalam suatu susunan.
Susunan tersebut disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2014: 23).
Dalam sistem busana kita, terdapat (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh
bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, (d) alas kaki. Dalam kebudayaan
busana di dunia, masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda dan diberi
nama khusus. Misalnya untuk (a) topi, peci, lobe, kerudung; (b) baju, blus, blazer,
tank top, t-shirt, kaftan, jas; (c) celana panjang, celana pendek, jeans, kain sarung;
(d) sepatu, sendal, terompah, geta. Urutan (a) sampai (d) merupakan urutan
sintagmatis, setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme,
sintagme-sintagme tersebut berada dalam relasi paradigmatik karena setiap sintagme-sintagme sudah
memiliki tempatnya sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk makna
masing-masing (Hoed, 2014: 23-24).
Barthes kemudian mengembangkan model dikotomis penanda-petanda de
Saussure menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan
sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda ada “isi”
(dalam bahasa Prancis contenu [C]), dan tanda adalah “relasi” R antara E dan C.
model tersebut dikenal dengan E-R-C (Hoed, 2014: 25)
Model E-R-C disebut juga sebagai pemaknaan sistem “pertama”
(denotasi). Biasanya pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua
arah, ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” (metabahasa dan
konotasi). Metabahasa adalah pengembangan makna pada segi E, dan membentuk
“kesinoniman.” Segi ini merupakan segi “retorika bahasa” (bahasa dalam arti
pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan segi “ideologi”
tanda. Berikut adalah peta tanda metabahasa dan konotasi Roland Barthes:
Gambar II.2
Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes
E2 R2 C2 sistem sekunder
METABAHASA
E1 R1 C1 sistem primer
Orang yang pandai DENOTASI
mengobati secara
spiritual
sistem sekunder E2 R2 C2
KONOTASI orang jahat, kaki tangan
setan, syirik dan
musyrik
Sumber: Barthes, 1957, 1964 (dalam Hoed, 2014: 97-98) (dengan sedikit penambahan interpretasi dari peneliti)
Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai
dengan keinginan latar belakang pengetahuan serta konvensi sosial yang ada di
dalam masyarakatnya. Dalam teori linguistik, konotasi tidak dijelaskan sebagai
makna dalam rangka E dan C, tetapi merupakan reaksi (pemberian nilai) terhadap Tanda
orang pintar paranormal dukun
suatu tanda. Misalnya pada kata mati, meninggal, tutup usia, pemilihan kata
tersebut berdasarkan penilaian atas setiap kata itu (reaksi emosional): kasar, halus,
pantas, tidak pantas, positif atau negatif.
Barthes menggunakan konsep konotasi untuk membahas makna gejala
budaya. Dalam bukunya Mythologies (1957), Barthes menggunakan konotasi
untuk melakukan kritik budaya. Seperti konotasi le vin (minuman anggur) sebagai
“minuman totem” (boisson-totem), yakni minuman yang berkonotasi
“keprancisan” (Frenchness).
Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman
beralkohol, melainkan minuman yang dirasakan sebagai pemameran (étalement,
display; sebagai ajang unjuk gigi dan prestise) kesenangan (étalement d’un
plaisir), bukan sekadar minuman memabukkan yang membawa pada tindakan
bercinta (philtre), melainkan suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang
dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya memiliki nilai retoris.
Menurut Barthes, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis
selama berabad-abad sehingga menjadi mitos (Hoed, 2014: 25-26).
Barthes berbicara tentang mitos melalui proses konotasi (pengembangan
model penanda-petanda de Saussure) yang hidup dalam masyarakat tertentu. Bila
konotasi menjadi tetap, maka akan menjadi mitos. Bila mitos menjadi mantap
akan menjadi ideologi. Penekanan teori tentang tanda Barthes adalah pada
konotasi dan mitos.
Model konotasi Barthes dapat diterapkan pada kebudayaan nonbahasa.
Modelnya dapat diterapkan pada simbol atau ikon suatu hal. Misalnya pada
masyarakat tertentu, bendera Nabi Muhammad SAW bukan sekedar bendera
perang dan persatuan umat Muslim. Relasi [R] antara E (konsep bendera Nabi
Muhammad SAW) dan C (Salah satu lambang yang mewakili umat Muslim dan
bendera perang Nabi Muhammad SAW) pada sistem primernya memang
demikian. Akan tetapi untuk kalangan tertentu, terjadi perkembangan C dalam
sistem sekundernya, yakni ‘lambang teroris,’ ‘bendera ISIS.’ Relasi antara E dan
C berubah dalam sistem sekundernya. Ini adalah suatu gejala konotasi yang
mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur
Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah.
Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya
masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal
de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi
Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos
dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk
pada golongan awal pascastrukturalis.
II.2.3 Evolusi Pascastruktural
Dalam perkembangannya, strukturalisme bersifat kontinuitas dan evolusi.
Bersifat kontinuitas yaitu berangkat dari oposisi biner dan kaidah semiotik
struktural de Saussure. Perkembangan strukturalisme juga mengalami apa yang
disebut Nöth sebut “evolusi.” Terdapat perubahan evolusioner dari kaidah-kaidah
strukturalis dalam pemikiran sejumlah tokoh (Lacan, Ricœur, Barthes, Kristeva,
Derrida).
Pada awalnya, Barthes masih sangat “dekat” dengan de Saussure seperti
halnya Louis Hjelmslev (1899-1965; Hjelmslev merupakan pendiri aliran
strukturalis dalam linguistik yang dikenal dengan nama glossematics atau aliran
linguistik Kopenhagen). Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure
masih berada pada tanda yang berlaku umum dan terkendali secara sosial, ia
menyebutnya “denotasi” atau sistem tanda “sistem pertama” yang ia kembangkan
menjadi “metabahasa dan konotasi” atau “sistem kedua.”
Barthes kemudian mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar untuk
mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan, yaitu teori tentang
mitos. Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa: “le mythe est une
parole,” dalam pengertian khusus ini Barthes mengemukakan bahwa mitos
merupakan perkembangan dari konotasi.
Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, mitos adalah kata benda yang
memiliki arti: dongeng, kepercayaan, keyakinan, mite (Departemen Pendidikan
Nasional, 2009). Sobur (2004: 209) mengatakan bahwa mitos adalah uraian
luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari dalam wujud
dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu studi
tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore). Namun menurut
Hoed (2014: 78), definisi Webster’s Dictionary lebih mendekati pengertian umum
untuk menjelaskan mitos pada Barthes, yaitu: a popular belief or tradition that
has grown up around something or someone (Webster’s Dictionary 1991; salah
satu definisi).
Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (sistem
tanda-tanda yang dimaknai manusia) yang bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk
berbagai kemungkinan. Namun dalam kebudayaan massa (la culture de masse),
konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan
konotasi tertentu pada suatu hal sehingga lama-kelamaan menjadi mitos (Hoed,
2014: 79).
Mitos juga merupakan wahana dimana suatu ideologi berwujud. Satu
tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan ataupun dari
mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama. Pendekatan
Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial, budaya,
politis dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray, 2003: 13).
Salah satu kekuatan mayoritas dan kekuasaan tersebut adalah media
massa. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi lewat konotasi,
sebagaimana kritik budaya Barthes tentang sistem busana masyarakat Prancis
dalam tulisannya Systéme de la Mode. Dalam Image, Music, Text (1977) Barthes
bahkan membahas fotografi, musik dan teks sebagai bahasa (Hoed, 2014: 83).
Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
menunjukkan perhatiannya pada teks sebagai manifestasi parole dan
pemaknaannya. Baginya, teks dimaknai oleh pembacanya sehingga dalam hal ini
pembaca memainkan peran penting.
Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil
yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19
kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam
retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004:
65-66), yaitu:
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Dalam buku The Death of Author (1977), Barthes banyak memaparkan
tentang peran pengarang, buku dan teksnya. “Kita tahu bahwa suatu teks terdiri
bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna teologis”
(artinya, pesan dari Tuhan-Pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana
telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli
darinya: teks adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya”
(Sobur, 2004: 67). Barthes juga mengemukakan bahwa teks adalah sesuatu yang
dinikmati secara badaniah, le plaisir du texte atau “nikmatnya teks” yang didasari
Berdasarkan pemahaman dan diskusi mendalam dengan beberapa dosen
semiotika, peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek intertekstualitas terlihat jelas
dalam buku The Death of Author milik Barthes tersebut. Intertekstualitas
maksudnya adalah produksi teks tidak bersumber pada satu subjek saja, tetapi
melalui subjek itu terjadi proses yang berasal dari berbagai teks lain yang
diketahuinya. Konsep yang dipopulerkan oleh Kristeva ini mirip dengan konsep
yang diusung Barthes dalam buku The Death of Author. Bedanya, dalam konsep
intertekstual milik Kristeva kajian ini lebih condong ke arah bahasa sastra,
sedangkan Barthes pada teks seluruhnya.
Barthes sudah pergi jauh dari konsep de Saussure dan strukturalisme,
namun bukan berarti lepas dari strukturalisme sepenuhnya. Konsep-konsep dasar
de Saussure dan strukturalis masih terlihat, dan alat analisisnya juga masih
menggunakan sebagian dari tujuh kaidah analisis struktural.
Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak
disadari. Sehingga, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan
metode analisis dan kerangka berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading).
Konotasi yang sudah mantap akan menjadi mitos, mitos yang sudah mengakar
akan menjadi ideologi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya
dalam buku S / Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi
budaya.
II.2.4 Komunikasi Massa
Pada bulan April 2007, Pew Research Center for the People and the Press
merilis hasil penelitiannya mengenai pengetahuan masyarakat Amerika terhadap
national public affairs. Sebagian besar hasil temuannya bersifat logis–mereka
yang berpendidikan tinggi lebih mengetahui public affairs daripada yang
berpendidikan rendah; mereka yang berpendapatan tinggi, terdaftar sebagai
pemilih pemilu, mereka yang senang mengikuti berita, dan mereka yang memiliki
berbagai macam sumber informasi, memiliki kelebihan daripada yang lain.
Semenjak akhir tahun 1980-an, kebiasaan publik Amerika telah berubah
sejak kemunculan program berita televisi 24 jam sebagai sumber berita yang
berasumsi mengenai hubungan antara banyaknya jumlah media yang ada dengan
kemauan masyarakat dan kemampuan mereka untuk terus mengikuti
perkembangan permasalahan publik.
Banyak asumsi yang terbentuk akibat penelitian tersebut, seperti
banyaknya sumber berita, tempat survei dilaksanakan, keadaan sosial politik yang
memanas karena pemilihan Presiden tahun 2008, perang di Irak yang semakin
kontroversial dan asumsi-asumsi lain. Ide dan asumsi ini dapat–dan sering–
menjadi basis teori yang lebih formal dan lebih sistematis, yang berasal dari ilmu
pengetahuan sosial. Ketika teori ilmiah sosial ini melibatkan hubungan antara
media dan manusia serta masyarakat yang menggunakan media, inilah yang
disebut dengan teori komunikasi massa (Baran, 2009: 3-4).
Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah
medium massa untuk mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan
memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Definisi
komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain,
yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967):
“Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4).
Pada dasarnya, komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa
(cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan
kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang
dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern, menunjuk pada
hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa
(Nurudin, 2007: 4).
Perkembangan komunikasi massa, lebih spesifiknya media massa, begitu
menakjubkan sejak penggunaan internet meningkat dan kajian mengenai new
media semakin banyak. Dunia sudah menjadi global village, sebuah desa yang
Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, surat
kabar pertama di Amerika Public Occurrences terbit tahun 1690, Samuel Morse
menciptakan telegraf pada tahun 1844, Pulitzer menganugerahi penghargaan yang
diambil dari namanya pada tahun 1915, munculnya warna pada semua jaringan
TV komersial di tahun 1965, Steve Jobs dan Stephen Wozniak menyempurnakan
Apple II pada tahun 1977, IBM memperkenalkan PC di tahun 1981, Journal of
Communication mencurahkan keseluruhan temanya mengenai melek media di
tahun 1998, dan menerbitkan edisi khusus mengenai framing, agenda setting dan
priming pada tahun 2007; komunikasi massa terus berkembang hingga sekarang.
Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail menjelaskan beberapa
efek komunikasi massa (McQuail, 2011: 225):
1. Stimulus-Respons
Tiga elemen utama dalam teori ini adalah pesan (sebagai stimulus),
seorang penerima atau receiver (manusia) dan efek (respons). Teori ini
menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap
stimulus tertentu. Efeknya bersifat individualistis, pragmatis dan berjangka
pendek.
2. Difusi-Inovasi
Proses penyebaran segala jenis alat teknis, ide atau informasi berguna yang
baru. Dalam Komunikasi Pembangunan Sosial, difusi inovasi juga
diartikan sebagai penyerapan ide inovatif untuk kepentingan dan
pembangunan masyarakat. Terdapat empat tingkat difusi informasi yang
terjadi pada teori ini dimulai dari informasi, persuasi, keputusan dan
adopsi, dan konfirmasi.
3. Agenda Setting
Agenda Setting diperkenalkan pertama kali oleh McCombs dan DL Shaw
pada 1972. Teori ini menjelaskan bahwa media berita mengindikasikan
kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin
dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Semakin banyak
perhatian media diberikan kepada suatu topik, semakin besar kepentingan
4. Uses and Gratification
Teori yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap
informasi dari media. Asumsi dasar dari teori ini adalah, media dan pilihan
konten secara umum rasional dan diarahkan kepada tujuan dan kepuasan
spesifik tertentu.
II.2.4.1 Media Massa
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, media adalah
sarana atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan
pesan kepada masyarakat luas. Dalam dunia komunikasi, media dapat diartikan
sebagai sebuah wadah/saluran/alat untuk menyampaikan suatu pesan dari
komunikator kepada komunikan.
Secara singkat, media massa adalah sebuah wadah/saluran/alat yang
digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada audiens
secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas. Keuntungan
komunikasi dengan menggunakan media massa adalah, bahwa media massa
menimbulkan keserempakan, artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan
yang jumlahnya relatif banyak. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis
komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan
media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang sama.
Media massa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu
media massa cetak (1), media massa broadcast (2), dan media massa online (3).
Kelompok media massa tersebut mempunyai industri mereka masing-masing,
berikut adalah daftarnya:
1. Buku
2. Surat Kabar
3. Majalah
4. Rekaman
5. Radio
6. Film
8. Internet
Buku, surat kabar, dan majalah merupakan media massa Amerika yang
tersedia selama 250 tahun sejak buku Amerika pertama kali diterbitkan pada tahun
1640. Tengah pertama abad ke-20 membawa empat jenis media baru–rekaman,
radio, film, dan TV–dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Akhir abad ke-20
terdapat tambahan dalam campuran media, tentu saja, Internet (Biagi, 2010: 11).
Perkembangannya yang begitu pesat ini layaknya jamur di musim
penghujan (sporadis). Pertarungan antar media massa kerap terjadi, berbagai
strategi dijalankan untuk meraih perhatian pembaca dan audiens. Tak dapat
dipungkiri juga bahwa terkadang media massa memainkan peranan penting
terhadap suatu perubahan, atau menjadi tunggangan bagi para penguasa dan
pemilik modal.
Secara umum, fungsi media massa terbagi dua, yaitu fungsi nyata
(manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function ialah fungsi
tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Namun secara
khusus, media massa memiliki lima fungsi (Bungin, 2006: 78-79), yaitu:
1. Fungsi Pengawasan
Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan
hal-hal yang tidak diinginkan. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol
sosial serta kegiatan persuasif.
2. Fungsi Pembelajaran Sosial (Social Learning)
Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, sebagai
media pendidikan sosial.
3. Fungsi Penyampaian Informasi
Media massa memungkinkan penyampaian suatu pesan dari komunikator
kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang
4. Fungsi Transformasi Budaya
Semakin berkembangnya teknologi, tidak dapat dipungkiri nilai-nilai
budaya kemudian menjadi perhatian utama oleh banyak orang.
Perubahan-perubahan budaya tersebut penting ditransmisikan melalui media massa
sebab menyangkut bidang lain seperti politik, agama, hukum dan lain-lain.
5. Hiburan
Setiap orang butuh hiburan sebagai selingan dan relaksasi pikiran dari
tayangan-tayangan, hidangan berita dan artikel yang berat-berat. Fungsi ini
bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ringan.
Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan
makna-makna dalam materinya. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak,
kajian semiotika ini, juga kebanyakan, adalah mengusut ideologi yang melatari
pemberitaan (Sobur, 2004: 110). Skripsi yang berjudul “Konstruksi Media Massa
dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah
Time)” ini berfokus pada kajian semiotika yang hasilnya akan digunakan untuk
melihat konstruksi media massa.
II.2.4.2 Konstruksi Media Massa
Konstruksi media massa memainkan peranan penting dalam opini publik
dan konstruksi realitas sosial. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa
lepas dari konstruksi realitas sosial. Menurut Berger dan Luckmann (Wibowo,
2011: 125), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang
hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana
publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Media massa sebagai saluran komunikasi masif dan kekuatan serta
pengaruhnya yang besar di tengah masyarakat, telah menjadi entitas yang
dipercaya mengisi gatra antara publik dan kenyataan yang terjadi. Akibatnya, tak
jarang apa yang diberitakan oleh media massa menjadi suatu kebenaran di mata
publik, menjadi suatu realitas yang pada awalnya hanya eksis pada rangkaian kata
Realitas berita hadir dalam keadaan subjektif. Walter Lippmann pernah
menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia di luar
dengan gambarannya di pemikiran kita). Secara singkat, manusialah yang
membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita dipandang sebagai konstruksi
atas realitas. Karena pada hakikatnya, isi media adalah hasil konstruksi realitas
dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Realitas yang ditampilkan media
adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality).
Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk
konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan
alat konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125). Khalayak membentuk citra tentang
lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi
melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran konstruksi; tahap
pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2001: 188-189), yaitu:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Tiga hal penting dalam tahapan ini adalah: keberpihakan media massa
kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan
kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi
Prinsip dasarnya adalah semua informasi harus sampai pada khalayak
secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dianggap penting oleh
media dianggap penting juga oleh masyarakat.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: konstruksi realitas
pembenaran; kesediaan dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan
yang konsumtif.
4. Tahap konfirmasi
Ini adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi
argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam
Konstruksi media massa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang
dijelaskan dalam teori hierarki media. Teori ini dibagi menjadi lima tingkatan
kekuasaan dan otoritas berbeda yang mempengaruhi pemberitaan, yaitu (1)
ideological level, (2) extramedia level, (3) organization level, (4) media routines
level, dan (5) individuallevel.
Gambar II.3 Model hierarki media
Sumber: Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating the message: Theories of influences on mass media content (2nd ed.). White Plains, N.Y.: Longman.(dengan sedikit perubahan dari peneliti).
Bagan di atas adalah model hierarki media yang mempengaruhi
pemberitaan media mulai dari tingkat paling rendah sampai tertinggi, berikut
adalah penjelasannya:
1. Individual level atau tingkatan individu adalah tingkat yang menjelaskan
peran seorang jurnalis dalam proses pemberitaan. Walaupun tidak
karakter, sikap, dan nilai supra-individual tetap mempengaruhi konten
media.
2. Media routines level atau tingkatan rutinitas media adalah tingkat yang
menjelaskan tentang pengaruh rutinitas, keseharian media dalam
pemberitaan. Level ini juga menyangkut tentang target pembaca dari
media itu sendiri dan kebijakan dari media itu sendiri untuk memilih mana
yang akan menjadi berita dan tidak. Kebijakan tersebut berhubungan
dengan ideologi media dan keputusan rapat redaksi sehari-hari.
3. Organizational level atau tingkatan organisasi adalah tingkat yang
menjelaskan pengaruh pemberitaan dari para pemilik modal, tujuan,
hukum-hukum yang berlaku. Pengaruh dari para pemilik modal
(stakeholder) berperan dalam organizational level.
4. Extramedia level atau tingkatan di luar media adalah tingkat yang
menjelaskan pengaruh pemberitaan dari entitas di luar media. Seperti
organisasi kemasyarakatan, keagamaan, media massa lain, buruh tani,
pemerintah, dan sebagainya.
5. Ideological level atau tingkatan ideologi adalah tingkat yang menjelaskan
pengaruh pemberitaan dari ideologi negara tempat media itu beroperasi.
Budaya masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, menjadi tingkat
tertinggi dalam faktor yang mempengaruhi pemberitaan media.
II.2.5 Fotografi
II.2.5.1 Fotografi Jurnalistik
Fotojurnalistik merupakan produk dari jurnalistik foto. Sementara itu,
jurnalistik foto adalah cabang ilmu dari jurnalistik (komunikasi/publisistik),
sedangkan fotografi jurnalistik adalah keilmuan dari fotojurnalistik itu sendiri.
Jurnalistik merupakan produk dari para jurnalis, suatu pengelolaan laporan
harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya
kepada masyarakat. Kegiatan ini bermula pada masa kekaisaran Romawi. Saat itu,
para kaum borjuis yang malas pergi ke plaza (tengah kota) untuk mendengar
mencatatkan pengumuman tersebut. Lambat laun, hal tersebut berkembang dan
para budak mulai menulis acta diurna (laporan harian) untuk kemudian dijual
kepada yang menginginkan. Hal tersebut semakin berkembang sejak Johannes
Guttenberg menemukan alat cetak pertama pada tahun 1455, dan terus
berkembang sampai sekarang.
Tidak hanya terbatas pada berita tulis saja, namun perkembangan
jurnalistik juga merambah ke bidang fotografi. Embrio fotojurnalistik di media
massa hadir pertama kali pada hari Senin, 16 April 1877, saat surat kabar harian
The Daily Graphic di New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran
hotel dan salon pada halaman satu. Gambar tersebut masih merupakan merupakan
sketsa, namun semakin berkembang pada tahun 1891 saat surat kabar harian
NewYork Morning Journal memelopori terbitan surat kabar dengan foto yang
dicetak menggunakan halftone screen, perangkat yang mampu memindai titik-titik
gambar ke dalam plat cetakan hingga mampu dicetak dengan cepat secara massal.
Fotografi yang baik berarti foto-foto yang dapat digunakan oleh pers dan
yang mencerminkan keuntungan dari klien/pengusaha (Bland, 2001: 66). Pada
surat kabar, foto merupakan pelengkap dari berita tulis. Fotojurnalistik menambah
kesan dan memberi variasi lebih dari penggambaran berita tulis. Fotojurnalistik
dituntut memuat informasi atau pesan, bisa sekedar sekuen penting dari sebuah
peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sebuah pesan yang sengaja
diciptakan fotografer dari cerita di balik sebuah peristiwa (feature).
II.2.5.2 Kategori Fotojurnalistik
Pada tahun 2007, Badan Fotojurnalistik Dunia (World Press Photo
Foundation;
http://www.idseducation.com/2014/12/24/aliran-fotografi-menurut-world-press-photo-foundation/) memberikan beberapa kategori fotojurnalistik,
yaitu:
1. Spot Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak
2. GeneralNews Photo
Adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan
biasa. Temanya dapat dari peristiwa politik maupun ekonomi.
3. People in the News Photo
Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang
ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.
Tokoh-tokoh pada foto people in the news bisa tokoh populer atau bisa
tidak, tetapi kemudian menjadi populer setelah foto itu dipublikasikan.
4. Daily Life Photo
Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi
kemanusiawiannya (human interest).
5. Portrait
Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close
up/“mejeng.” Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
6. Sport Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga
berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan
fotografer, dalam pembuatan foto olahraga dibutuhkan perlengkapan yang
memadai.
7. Science and Technology Photo
Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannnya
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
8. Art and Culture Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.
9. Social and Environmet
Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya.
Setiap karakteristik fotojurnalistik ini memiliki maksud dan tujuannya
masing-masing, dan memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Sadar atau tidak
II.2.5.3 Nilai Berita Fotojurnalistik
Karya-karya jurnalistik memiliki nilai-nilai tertentu agar dapat dikatakan
layak dan dapat disiarkan, peneliti merangkumnya dari materi-materi kuliah dan
berikut adalah nilai-nilai berita tersebut:
1. Magnitude
Nilai ini menunjukkan bobot dari sebuah peristiwa, apakah dalam skala
yang besar. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk
dijadikan berita.
2. Timeliness
Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum
diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak
orang.
3. Proximity
Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting
(geografis dan psiko-grafis). Psiko-grafis berhubungan dengan kejiwaan,
psikologis, politik, kebudayaan dan lain-lain.
4. Prominence
Menyangkut ketokohan, dan orang-orang yang terkenal atau public figure.
Sesuatu yang menonjol, misalnya melekat pada seorang tokoh,
menyangkut prestasi, gaya hidup, dan lain-lain.
5. Importance
Sesuatu yang mempunyai nilai kepentingan bagi seseorang. Misalnya,
pembukaan pendaftaran beasiswa S2 menjadi hal yang penting bagi
mahasiswa, akademisi, dan orang-orang yang ingin melanjutkan
pendidikannya.
6. Impact/Consequence
Akibat atau konsekuensi yang mempunyai pengaruh luas kepada
masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM
memiliki akibat dan konsekuensi terhadap jalannya roda kehidupan
7. Conflict/Controversy
Informasi yang mengandung nilai konflik dan kontroversi.
8. Sensation
Peristiwa-peristiwa menggemparkan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Peristiwa yang besar (mengandung juga nilai magnitude)
biasa disebut scoope.
9. Noveity, oddity, unusual
Hal-hal yang aneh, baru, dan tidak lazim di antara masyarakat. Misalnya
pohon pisang yang menangis dan memiliki dua buah jantung, batu ponari
yang dapat menyembuhkan.
10.Human Interest
Merupakan nilai berita yang menyangkut ketertarikan terhadap manusia
dan interaksinya, keadaan sosial yang kontras, dan kepentingan
manusiawi. Misalnya potret seorang tukang sampah yang sedang berdiri
tegak di atas tumpukan sampah sambil memandang jauh komplek
perkotaan di ujungnya.
11.Unique
Semua hal yang dianggap unik.
12.Sex
Nilai-nilai berita yang berbau seks pada lawan jenis. Misalnya seperti saat
seorang bintang film porno asal jepang ikut membintangi film di
Indonesia, foto wanita seksi dan pria berdada bidang, atau perceraian dan
perselingkuhan public figure.
13.Crime
Peristiwa kriminal yang terjadi di tengah masyarakat memiliki nilai berita
yang cukup besar. Contohnya seperti berita penjambretan ibu-ibu yang
baru pulang belanja dari pasar, akan mendapatkan atensi yang cukup besar
II.2.3.4 Teknik Pengambilan Gambar Fotojurnalistik
Dalam prakteknya, fotografi secara luas dan fotojurnalistik secara sempit
memiliki perbedaan yang mendasar. Saat fotografi–seperti contohnya foto model,
foto produk, foto lansekap–lebih mementingkan hasil yang bagus (komposisi,
pencahayaan, warna), fotojurnalistik lebih mementingkan momen. Berikut ada
beberapa teknik pengambilan gambar dalam fotografi yang juga sering
diaplikasikan dalam fotojurnalistik
(http://lensafotografi.com/teknik-pengambilan-gambar/), yaitu:
1. Extreme Long Shoot
Teknik ini biasa digunakan dan sangat cocok untuk objek yang berjumlah
banyak dan sering dipakai untuk jenis foto lansekap. Pada pengambilan
gambar ini, hal-hal yang ingin ditunjukkan selain objek utama adalah
situasi dan kondisi dari keadaan sekitar.
2. Long Shoot
Teknik ini hampir mirip dengan teknik extreme long shoot, hanya saja
teknik ini lebih banyak digunakan untuk menangkap figur seseorang
secara keseluruhan, di mana seluruh badan objek akan terlihat.
3. Medium Long Shoot
Ruang yang tersedia bagi objek pada teknik ini semakin sempit
dibandingkan dengan long shoot. Teknik ini biasa mengambil gambar dari
bagian sekitar lutut sampai dengan batas kepala. Teknik ini berfungsi
untuk menyampaikan aktifitas objek dan mencerminkan kehidupan
sehari-hari.
4. Medium Shoot
Merupakan teknik pengambilan gambar jarak menengah, di mana batas
pemotongan objek adalah dari bagian pinggang ke atas. Teknik ini baik
untuk bahasa tubuh dan ekspresi wajah.
5. Medium Close Up
Pengambilan gambar dengan batas dari bagian dada ke atas. Sangat bagus
digunakan untuk foto candid. Teknik ini digunakan untuk menangkap
6. Close Up
Bagian tubuh yang difoto adalah dari batas bahu ke atas sampai dengan
batas kepala. Berguna untuk menangkap ekspresi wajah seseorang dan
detail objek yang membuat foto terlihat dramatis tapi tetap natural.
7. BigClose Up
Batas ruang gambar pada teknik ini adalah dari bagian dagu dan dahi.
Teknik pengambilan gambar seperti ini benar-benar menekankan detail
ekspresi objek lebih dalam daripada teknik close up.
8. Extreme Close Up
Teknik ini memperlihatkan bagian tubuh yang unik atau bagian yang
menjadi ciri khas seseorang, misalnya pada bagian mata atau bibir. Teknik
ini mengajak pemirsa untuk bervisualisasi, karena jenis foto ini akan
membangkitkan rasa penasaran yang melihat.
II.2.3.5 Camera Angle
Sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dapat membentuk
kedalaman gambar/dimensi dan membangun kesan psikologis gambar
(Fachruddin, 2012: 151-152), seperti:
1. High Angle (HA)
Kamera diletakkan tinggi di atas objek/garis mata orang. Kesan psikologis
yang ingin disampaikan, objek tampak seperti tertekan.
2. Eye Level (normal)
Kamera diletakkan sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan
psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat.
3. Low Angle (LA)
Kamera diletakkan di bawah objek/garis mata orang. Kesan psikologis
yang ingin disajikan adalah kewibawaan dan kekuasaan, objek tampak
II.2.6 Desain Komunikasi Visual
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep
komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media
komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar
(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada
target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009: 24). Pada dasarnya, desain
komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah
satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku
pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009: 6).
Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui
metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis.
Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya
industrialisasi.
Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan
seni grafis murni. Menurut Suyanto desain grafis didefinisikan sebagai aplikasi
dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri.
Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni
komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam
menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014: 11-12).
Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan
elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi
sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni:
Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan
elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan
Warna (Sitepu, 2004: 6-7):
II.2.6.1 Elemen-Elemen Desain Grafis
Keindahan sebagai kebutuhan setiap orang, mengandung nilai-nilai
subjektifisme. Pemahaman yang baik pada elemen-elemen atau unsur-unsur
desain grafis adalah wajib. Dalam penciptaan sebuah pesan komunikasi visual,
banyak elemen penting yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah Garis,
Bentuk, Ruang, Tekstur, dan Warna. Berikut adalah penjelasannya:
1. Garis
Dalam desain grafis, garis dibagi menjadi 4, yaitu: vertikal, horisontal,
diagonal dan kurva. Selain digunakan sebagai penunjuk bagian-bagian
tertentu dengan tujuan sebagai penjelas kepada pembaca, garis juga
digunakan untuk memisahkan posisi antara elemen grafis lainnya, atau
garis bisa diterapkan untuk menunjukkan arah mata pembaca.
Model dan tingkat ketebalan garis juga mempengaruhi psikologi
komunikan. Penekanan pada sebuah karya visual juga dapat menggunakan
garis sebagai alatnya. Misalnya, sebuah garis putus-putus digunakan untuk
menunjukkan alur, dan perpaduan garis horisontal diagonal bisa digunakan
untuk penekanan.
2. Bentuk
Menurut Sony Kartika, bentuk adalah suatu bidang yang terjadi karena
dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna
yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya
tekstur. Bentuk bisa berupa wujud alam (figur) yang tidak sama sekali
menyerupai wujud alam (non figur). Bentuk memiliki perubahan wujud
berupa stilisasi, distorsi dan transformasi. Makna ini dikonstruksi dalam
grafis dua dimensi. Lazim juga disebut area. Sedangkan dalam grafis 3
dimensi bentuk disamaartikan dengan massa.
3. Ruang
Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa
jauh dan dekat, tinggi dan rendah, tampak melalui indra penglihatan
(Kusmiati, 1999). Dalam beberapa praktiknya dikenal ruang kosong (white
bukan berarti tidak berarti apa-apa, hal tersebut juga merupakan suatu
pesan yang mendukung keseluruhan isi pesan komunikasi visual.
4. Tekstur
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan
(material), yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk
mencapai bentuk rupa, baik dalam bentuk nyata ataupun semu. Tekstur
memperkuat dan mempertegas rasa dari karya desain grafis.
5. Warna
Warna merupakan nuansa visual yang direfleksikan oleh cahaya yang
jatuh pada objek dan dipantulkan ke mata, cahaya memiliki spektrum
(rangkaian sistematis) warna yang membantu kita mengenali warna. Pada
saat kita melihat warna, sebenarnya kita melihat gelombang cahaya yang
dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek yang kita lihat. Permasalahan
mendasar dari warna diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation
(nilai kepekatan) dan Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).
Menurut Brewster dalam teori warna miliknya (1831), warna
dikelompokkan menjadi 4 kelompok warna, yaitu: warna primer,
sekunder, tersier dan warna netral. Warna primer adalah warna dasar yang
digunakan untuk menciptakan warna sekunder. Warna juga dapat
menciptakan persepsi psikologis bagi pembacanya. Leatrice Eiseman,
seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Color,
memberi arti dari warna-warna tersebut, yaitu:
Biru memiliki arti kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa
diandalkan. Keabu-abuan memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil.
Merah Muda memiliki arti cinta, kasing sayang, kelembutan dan feminin.
Merah memiliki arti kuat, berani, percaya diri dan bergairah. Kuning
memiliki arti muda, gembira dan imajinasi. Hitam memiliki arti elegan,
kuat dan dewasa. Hijau memiliki arti kesejukan, keberuntungan dan
kesehatan. Sementara itu, Barker (1984: 86, dalam Mulyana, 2005: 377)
1) Merah
Warna merah melambangkan rangsangan/merangsang, warna yang
menggambarkan perlindungan dan sifat mempertahankan. Warna ini
mengesankan tantangan, perlawanan dan permusuhan. Merah adalah
energi yang kuat, menunjukkan erotisme, keberanian, simbol dari api.
Warna ini dapat menjadi stopping point suatu pesan pada suatu desain.
2) Biru
Warna biru memberikan kesan aman dan nyaman, lembut dan
menenangkan, perlindungan dan pertahanan, kalem, damai dan tentram.
Warna biru juga mengesankan persahabatan, harmoni, kasih sayang dan
dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang.
3) Oranye
Warna oranye menunjukkan suasana hati yang tertekan, terganggu dan
bising. Namun juga merepresentasikan keceriaan jika dipadu dengan
warna lain.
4) Coklat
Warna coklat menunjukkan perlindungan dan pertahanan, kesedihan,
kemurungan. Warna coklat juga menunjukkan persahabatan, pengalaman
yang panjang dan ‘dalam,’ bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas,
produktivitas dan kerja keras.
5) Putih
Warna putih menunjukkan kedamaian, kesucian, kemurnian, permohonan
maaf, kejelasan, spiritualitas, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan,
cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih menekankan dan
menguatkan warna lain serta memberi kesan.
6) Hitam
Warna hitam melambangkan perlindungan, pertahanan, pengusiran,
sesuatu yang negatif, kesedihan mendalam, kemurungan,
ketidakbahagiaan, pertentangan dan permusuhan. Warna hitam
mengesankan kemisteriusan dan berbahaya, kekayaan, ketakutan,
kejahatan, perasaan yang dalam. Latar belakang warna hitam dapat
7) Hijau
Warna hijau menunjukkan warna yang tenang, kalem, damai dan tenteram.
Menggambarkan bumi, kesuburan, pertumbuhan, umur yang masih muda.
8) Kuning
Warna kuning merupakan warna yang menyenangkan, keceriaan, riang,
gembira dan harapan. Warna yang merujuk pada matahari ini, dapat
merangsang dan menarik perhatian.
9) Ungu
Warna ungu menunjukkan keagungan dan kewibawaan, perlindungan dan
pertahanan. Juga memberikan kesan tentang kekuatan spiritual,
keagungan, kebangsawanan, misterius dan kepercayaan yang dalam.
Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang
digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia.
II.2.6.2 Tipografi
Tipografi adalah sebuah disiplin khusus dalam desain grafis yang
mempelajari mengenai seluk beluk huruf (font). Tipografi dalam konteks desain
komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik
penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial
atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2009: 25)
Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau
Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya
merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2009:
26):
1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.
4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96, dalam Tinarbuko, 2009: 26)
mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya:
1. Old Style, jenis huruf ini meliputi: Bembo, Caslon, Galliard, Garamond.
2. Transitional, jenis huruf ini meliputi: Baskerville, Perpetua, Times New Roman.
3. Modern, jenis huruf ini meliputi: Bodoni
4. Egyptian atau SlabSerif, jenis huruf ini meliputi: Bookman, Serifa.
5. Sans Serif, jenis huruf ini meliputi: Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah-tidaknya ketersampaian
sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, di
antaranya (Tinarbuko, 2009: 27):
Pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur kertas yang
digunakan. Teks akan terlihat jelas manakala keberadaan warna latar dan hurufnya
cukup kontras.
Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6
sampai 10 point, juga disesuaikan dengan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.
Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk
pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular dan bold. (2)
Kelompok proporsi condesed, regular dan extended. (3) kelompok kemiringan
yaitu italic.
Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat,
faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika
membaca.
Dalam praktik desain grafis, pemilihan, pengolahan dan penerapan huruf
sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Pemilihan warna dan elemen-elemen
desain grafis dalam desain komunikasi visual memiliki maksud dan tujuan, yang
II.3 Model Teoritik
Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi
dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal
ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena
penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif.
Gambar II.4
Bagan Model Teoritik Penelitian Analisis Semiotika Konstruksi Majalah TIME Atas Joko Widodo dan Barack Obama
Objek Penelitian
Sampul Depan Majalah TIME Yang Memuat Foto Joko Widodo dan Barack Obama
1. Makna dan Mitos dalam sampul depan
majalah TIME
2. Konstruksi Majalah TIME atas Joko
Widodo dan Barack Obama Semiologi Roland Barthes Level Teks:
1. Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan
Level Konteks:
1. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah sampul depan majalah TIME yang memuat
foto Joko Widodo dan Barack Obama pada edisi 27 Oktober 2014 dan 1
September 2008.
2. Semiologi Roland Barthes
Peneliti ingin mengkaji objek penelitian melalui analisis leksia dan lima
kode pembacaan Barthes. Penelitian ini tak hanya sampai pada level teks,
namun juga level konteks.
3. Hasil
Bagian terakhir dari kerangka pemikiran ini adalah hasil yang telah dicapai