• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

II.1 Paradigma Penelitian

II.1.1 Paradigma Konstruktivis Kritis

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada

dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya

terhadap dunia. Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian

keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan

dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan

dunia (worldview) yang menentukan (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).

Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu:

positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel

membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan

Hermawan, 2011: 9). Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis

kritis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.

Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif,

Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme

memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi

hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah

menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan

cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).

Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang

membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga. Pertama, dunia fisik atau

keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,

puitis dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik

melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian

(2)

mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan

pengetahuan manusia.

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi

merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang

dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material.

Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan

bukan dari reproduksi kenyataan.

Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujukkan

pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun

konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi

melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang

memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi

perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal,

konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto, 2007: 156-157).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang

menjadi objek dalam penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar

belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua paradigma sebagai arah bagi

penelitian yang akan dilakukan, yaitu paradigma konstruktivis dan paradigma

kritis. Seperti yang telah dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma

konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut

dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma kritis

membantu peneliti untuk mengungkap lebih dalam dan lebih radikal mengenai

segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian.

Salah satu sifat dasar dari paradigma kritis adalah selalu curiga dan

mempertanyakan. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan

konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna

yang terjadi secara historis maupun institusional.

(3)

Paradigma kritis tidak bisa terhindar dari unsur subjektivitas peneliti.

Paradigma kritis memungkinkan penafsiran yang berbeda dari peneliti lain tentang

gejala sosial yang sama.

II.2 Uraian Teoritis

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir

dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang

memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah

penelitian akan disorot (Nawawi, 2001: 39). Maka, teori yang relevan untuk

penelitian ini adalah:

II.2.1 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang

berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang–atas dasar

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu

yang lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras

meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

Secara garis besar, teori tentang tanda, manusia, dan makna dapat dibagi

atas tiga kelompok besar, yakni struktural, pragmatis, dan gabungan keduanya.

Peneliti telah merangkumnya lewat penjelasan berikut (dalam Hoed, 2014: 5-13):

1. Semiotik Pragmatis

Tokoh semiotik pragmatis yang terkenal adalah Charles Sanders Peirce

(Amerika), dengan konsep “pan-semiotik” miliknya (1839–1914). Pan-semiotik

adalah pandangan Peirce tentang tanda yang merupakan segala hal, baik fisik

maupun mental, baik di dunia maupun jagat raya semesta, baik di dalam kognisi

manusia maupun sistem biologi manusia dan hewan, yang diberi makna oleh

manusia. Bagi Peirce, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.

Bagi Peirce, tanda dan pemaknaannya bukanlah struktur melainkan suatu

proses kognitif yang disebutnya sebagai proses pemaknaan dan penafsiran tanda,

(4)

tahap, yaitu tahap penyerapan representamen, tahap object, dan tahap

interpretant.

Tahap pertama adalah penyerapan aspek representamen tanda (melalui

pancaindra manusia), tahap kedua kemudian mengaitkan representamen secara

spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memaknai

representamen, yaitu object. Tahap ketiga yaitu interpretant, menafsirkan object

sesuai keinginannya. Cara pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen

dengan object didasari oleh pemikiran bahwa object tidak selalu sama dengan

kenyataan yang diberikan oleh representamen, namun object timbul karena

pengalaman memberi makna pada tanda. Proses inilah yang disebut semiosis.

Karena ada tiga tahap dalam memaknai tanda, maka teori Peirce disebut bersifat

trikotomis (tripihak).

Semiosis dapat berlanjut melalui interpretant yang menjadi representamen

baru dan kemudian menghasilkan interpretant yang menjadi representamen baru.

Representamen pada tahap lanjutan ini merupakan sesuatu yang terdapat dalam

pikiran manusia. Menurut Peirce semiosis dapat terus berlanjut terus tanpa akhir,

ia menyebutnya sebagai “unlimited semiosis,” Namun Umberto Eco telah

membantahnya. Menurutnya, proses semiosis yang berlanjut itu dapat terhenti

ketika seseorang dibatasi oleh aturan budaya (prinsip-prinsip supra-individual)

yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk melakukan proses semiosis

lanjutan.

Proses semiosis ini bertolak pada hal yang konkret (representamen;

melalui pancaindra), maka semiosis ini disebut semiotik pragmatik. Teori

semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represents

something else,” atau tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili

objek. Kata mewakili di sini berkaitan secara kognitif, atau secara sederhana dapat

dikatakan sebagai proses pemaknaan. Terdapat kaitan antara “realitas” dan “apa

yang berada dalam kognisi manusia.” Pengertian ini menjadi lebih jelas ketika

kita memasuki tiga kategori tanda (unsur makna) berdasarkan sifat hubungan

antara representamen dan object menurut Peirce.

Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara

(5)

icon, kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas

dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Kategori

ketiga adalah symbol, tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan

konvensi sosial.

Setelah Peirce, dalam semiotik pragmatik juga ada Danesi dan Perron yang

mengembangkan teori Peirce tentang semiosis melalui proses pemaknaan tanda

pada manusia. Semiosis berlanjut tidak terjadi dalam diri seseorang semata, tetapi

dapat terjadi pada tataran sosial sebagai suatu proses “getok tular.” Ketika tanda

memasuki ranah sosial budaya, tanda menjadi bagian dari apa yang oleh Danesi

dan Perron sebut sebagai “the signifying orders.” Fenomena ini juga dikenal

dengan nama “dari mulut ke mulut.”

2. Semiotik Struktural

Strukturalisme lahir dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857–1913)

melalui kuliah-kuliahnya di Universitas Jenewa, Swiss, dan juga melalui buku

anumerta Cours de linguistique générale (terbit 1917)–buku kumpulan kuliah de

Saussure–yang dibukukan oleh dua mantan mahasiswanya, yaitu Charles Bally

dan Albert Sechehaye. Menurut Dosse (1991: 12) dalam Hoed (2014: 65), hanya

ditemukan tiga kata structure dalam buku anumerta Cours de linguistique

générale. Namun, kaidah struktural yang dikemukakan de Saussure dalam konsep

sintagmatik dan asosiatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan sebuah

struktur dan sistem. De Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji

dengan teori mandiri yang disebutnya ”linguistique.” De Saussure

memperkenalkan empat konsep penting yang masing-masing ditampilkan secara

dikotomis (dwipihak; menggunakan model dua pihak), yaitu (1) langue vs. parole,

(2) sintagmatik vs. paradigmatik, (3) sinkroni vs. diakroni, (4) signifiant vs.

signifié.

(1) Secara sederhana, langue adalah langage dikurangi parole. Langue

adalahaspek sosial dari langage (bahasa sebagai gejala sosial), sedangkan parole

adalah tataran praktik berbahasa dalam masyarakat, manifestasi langue. (2)

Konsep sintagmatik dan paradigmatik menyangkut sifat relasi (hubungan)

(6)

antarkomponen di dalam struktur yang sama (in praesentia), sedangkan relasi

paradigmatik adalah relasi antarkomponen dalam suatu struktur dan komponen

lain di luar struktur itu, bersifat asosiatif (in absentia). (3) Sinkroni dan diakroni

merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan.

Sinkroni yaitu pada lapisan ruang dan waktu tertentu, sedangkan diakronis yaitu

melihat perkembangannya dari satu lapisan waktu ke lapisan waktu yang lain.

Sinkroni merupakan dasar analisis diakronis. (4) De Saussure mengatakan bahwa

tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam

kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan.

Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan

diidentifikasikan sebagai signifiant (penanda) dan signifié (petanda).

Gambar II.1

Elemen-Elemen Makna Saussure

Sign

Composedof

Signification

Signifier Signified Externalrealityofmeaning

(PhysycalExistence) (MentalConcept)

Sumber: John Fsiske, IntroductiontoCommunicationStudies, 1990, hlm. 44 (Sobur, 2004: 125)

De Saussure mengutamakan bahasa lisan sebagai sumber bahasa yang

sesungguhnya. Sama seperti konsep humanistik yang dikemukakan Husserl bahwa

bahasa bersumber dari “Suara” manusia, sedangkan de Saussure menempatkan

(7)

mengatakan bahwa bahasa tulisan merupakan derivat/representasi dari bahasa

lisan, sehingga bahasa lisan itulah objek kajian utama linguistik.

Bagi de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas

(arbitrer), yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan

alamiah dengan petanda (Sobur, 2004: 31-32). Pada dasarnya apa yang disebut

sebagai penanda dan petanda merupakan produk kebudayaan yang hubungan di

antara keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan pada konvensi,

kesepakatan atau peraturan dari budaya pemakai bahasa tersebut.

Hubungan antara penanda dengan petanda secara bersamaan membentuk

tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain. Keduanya membentuk satu

kesatuan yang sering kali disebut sebagai struktur. Begitu pula hubungan antara

langue” dan “parole,” keduanya tak terpisahkan sehingga membentuk sebuah

struktur, yakni “langage.” Hierarki oposisi biner dalam pemaknaan de Saussure

(pertinensi dan komutasi dalam kaidah analisis struktural) inilah yang menjadikan

semiotika ini disebut semiotik struktural.

Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik terbagi dua, yakni yang

sifatnya melanjutkan, yakni kontinuitas (Hjemslev, Barthes), dan yang sifatnya

mulai meninggalkan tapi masih memperlihatkan dasar strukturalismenya, yakni

evolusi (Foucault, Lacan, Ricœur, Derrida). Dalam perkembangan selanjutnya,

Barthes misalnya, tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural (Hoed,

2014: 44).

II.2.2 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika struktural

sampai pascastruktural. Sebagai penerus de Saussure, Barthes setuju dengan

konsep oposisi biner penanda dan petanda milik de Saussure. Barthes dan de

Saussure sama-sama menganut teori tanda yang dikotomis atau diadik, yaitu tanda

terdiri dari dua komponen yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain seperti

dua sisi selembar kertas. Konsep oposisi biner dan hubungannya (sintagmatik dan

paradigmatik) yang dikembangkan de Saussure inilah yang kemudian menjadi

(8)

Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di

Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah

barat daya Prancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk

“semiologi literer” di Collegede France. Barthes telah banyak menulis buku dan

mencipta karya, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di

Bidang Menulis” (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree

Zero, 1977), Michelet (1954), Mythologies (1957), Criticial Essays (1964),

Eléments de sémiologie (1964), Criticism and Truth (1966), The Fashion System

(1967), S / Z (1970), The Empire of Sign (1970), Sade, Fourier, Loyola (1971),

The Pleasure of the Text (1973), Roland Barthes by Roland Barthes (1975), The

Death of Author (1977), A Lover’s Discourse: Fragments (1977), Camera Lucida:

Reflections on Photography (1980), The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980

(1981), The Responsibility of Forms (1982), L’aventure Sémiologique (1985), dan

banyak lagi karya serta tulisan Barthes lainnya (Sobur, 2004: 63-67).

Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi

tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit

bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada

tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia

menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh

dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang

dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan

sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).

Teori semiologi Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa

menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yakni

konsep langue-parole, signifiant-signifié, sintagmatik-paradigmatik, dan

sinkroni-diakroni. Empat konsep dasar ini digunakan dan dikembangkan oleh Barthes

dalam bukunya Eléments de sémiologie (1964) yang terbit di Paris (Penerbit

Seuil). Dua dari beberapa konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yaitu

sintagmatik dan paradigmatik, denotasi dan konotasi.

Barthes mengembangkan pandangan sintagmatik dan paradigmatik dengan

berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala

(9)

hubungan sintagmatik, sintagme berbeda dari sistem. Barthes menjelaskannya

lewat pengamatannya terhadap mode busana. Secara singkat, sintagme merupakan

gatra (ruang kosong) yang memiliki “fungsi” masing-masing. Keseluruhan urutan

sintagme tersebut membentuk sebuah struktur. Dalam hal mode busana, terdapat

proses diferensiasi (memiliki tempat sendiri serta masing-masing saling

membedakan) antar sintagme sehingga membentuk makna masing-masing, dan

karenanya sintagme-sintagme itu berada dalam suatu relasi paradigmatik.

Sementara itu, dalam hal praktik busana, sintagme-sintagme tersusun sesuai

dengan tempatnya pada tubuh manusia, terjukstaposisi dalam suatu susunan.

Susunan tersebut disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2014: 23).

Dalam sistem busana kita, terdapat (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh

bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, (d) alas kaki. Dalam kebudayaan

busana di dunia, masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda dan diberi

nama khusus. Misalnya untuk (a) topi, peci, lobe, kerudung; (b) baju, blus, blazer,

tank top, t-shirt, kaftan, jas; (c) celana panjang, celana pendek, jeans, kain sarung;

(d) sepatu, sendal, terompah, geta. Urutan (a) sampai (d) merupakan urutan

sintagmatis, setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme,

sintagme-sintagme tersebut berada dalam relasi paradigmatik karena setiap sintagme-sintagme sudah

memiliki tempatnya sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk makna

masing-masing (Hoed, 2014: 23-24).

Barthes kemudian mengembangkan model dikotomis penanda-petanda de

Saussure menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan

sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda ada “isi”

(dalam bahasa Prancis contenu [C]), dan tanda adalah “relasi” R antara E dan C.

model tersebut dikenal dengan E-R-C (Hoed, 2014: 25)

Model E-R-C disebut juga sebagai pemaknaan sistem “pertama”

(denotasi). Biasanya pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua

arah, ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” (metabahasa dan

konotasi). Metabahasa adalah pengembangan makna pada segi E, dan membentuk

“kesinoniman.” Segi ini merupakan segi “retorika bahasa” (bahasa dalam arti

(10)

pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan segi “ideologi”

tanda. Berikut adalah peta tanda metabahasa dan konotasi Roland Barthes:

Gambar II.2

Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes

E2 R2 C2 sistem sekunder

METABAHASA

E1 R1 C1 sistem primer

Orang yang pandai DENOTASI

mengobati secara

spiritual

sistem sekunder E2 R2 C2

KONOTASI orang jahat, kaki tangan

setan, syirik dan

musyrik

Sumber: Barthes, 1957, 1964 (dalam Hoed, 2014: 97-98) (dengan sedikit penambahan interpretasi dari peneliti)

Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai

dengan keinginan latar belakang pengetahuan serta konvensi sosial yang ada di

dalam masyarakatnya. Dalam teori linguistik, konotasi tidak dijelaskan sebagai

makna dalam rangka E dan C, tetapi merupakan reaksi (pemberian nilai) terhadap Tanda

orang pintar paranormal dukun

(11)

suatu tanda. Misalnya pada kata mati, meninggal, tutup usia, pemilihan kata

tersebut berdasarkan penilaian atas setiap kata itu (reaksi emosional): kasar, halus,

pantas, tidak pantas, positif atau negatif.

Barthes menggunakan konsep konotasi untuk membahas makna gejala

budaya. Dalam bukunya Mythologies (1957), Barthes menggunakan konotasi

untuk melakukan kritik budaya. Seperti konotasi le vin (minuman anggur) sebagai

“minuman totem” (boisson-totem), yakni minuman yang berkonotasi

“keprancisan” (Frenchness).

Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman

beralkohol, melainkan minuman yang dirasakan sebagai pemameran (étalement,

display; sebagai ajang unjuk gigi dan prestise) kesenangan (étalement d’un

plaisir), bukan sekadar minuman memabukkan yang membawa pada tindakan

bercinta (philtre), melainkan suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang

dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya memiliki nilai retoris.

Menurut Barthes, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis

selama berabad-abad sehingga menjadi mitos (Hoed, 2014: 25-26).

Barthes berbicara tentang mitos melalui proses konotasi (pengembangan

model penanda-petanda de Saussure) yang hidup dalam masyarakat tertentu. Bila

konotasi menjadi tetap, maka akan menjadi mitos. Bila mitos menjadi mantap

akan menjadi ideologi. Penekanan teori tentang tanda Barthes adalah pada

konotasi dan mitos.

Model konotasi Barthes dapat diterapkan pada kebudayaan nonbahasa.

Modelnya dapat diterapkan pada simbol atau ikon suatu hal. Misalnya pada

masyarakat tertentu, bendera Nabi Muhammad SAW bukan sekedar bendera

perang dan persatuan umat Muslim. Relasi [R] antara E (konsep bendera Nabi

Muhammad SAW) dan C (Salah satu lambang yang mewakili umat Muslim dan

bendera perang Nabi Muhammad SAW) pada sistem primernya memang

demikian. Akan tetapi untuk kalangan tertentu, terjadi perkembangan C dalam

sistem sekundernya, yakni ‘lambang teroris,’ ‘bendera ISIS.’ Relasi antara E dan

C berubah dalam sistem sekundernya. Ini adalah suatu gejala konotasi yang

(12)

mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur

Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah.

Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya

masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal

de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi

Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos

dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk

pada golongan awal pascastrukturalis.

II.2.3 Evolusi Pascastruktural

Dalam perkembangannya, strukturalisme bersifat kontinuitas dan evolusi.

Bersifat kontinuitas yaitu berangkat dari oposisi biner dan kaidah semiotik

struktural de Saussure. Perkembangan strukturalisme juga mengalami apa yang

disebut Nöth sebut “evolusi.” Terdapat perubahan evolusioner dari kaidah-kaidah

strukturalis dalam pemikiran sejumlah tokoh (Lacan, Ricœur, Barthes, Kristeva,

Derrida).

Pada awalnya, Barthes masih sangat “dekat” dengan de Saussure seperti

halnya Louis Hjelmslev (1899-1965; Hjelmslev merupakan pendiri aliran

strukturalis dalam linguistik yang dikenal dengan nama glossematics atau aliran

linguistik Kopenhagen). Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure

masih berada pada tanda yang berlaku umum dan terkendali secara sosial, ia

menyebutnya “denotasi” atau sistem tanda “sistem pertama” yang ia kembangkan

menjadi “metabahasa dan konotasi” atau “sistem kedua.”

Barthes kemudian mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar untuk

mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan, yaitu teori tentang

mitos. Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa: “le mythe est une

parole,” dalam pengertian khusus ini Barthes mengemukakan bahwa mitos

merupakan perkembangan dari konotasi.

Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, mitos adalah kata benda yang

memiliki arti: dongeng, kepercayaan, keyakinan, mite (Departemen Pendidikan

Nasional, 2009). Sobur (2004: 209) mengatakan bahwa mitos adalah uraian

(13)

luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari dalam wujud

dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu studi

tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore). Namun menurut

Hoed (2014: 78), definisi Webster’s Dictionary lebih mendekati pengertian umum

untuk menjelaskan mitos pada Barthes, yaitu: a popular belief or tradition that

has grown up around something or someone (Webster’s Dictionary 1991; salah

satu definisi).

Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (sistem

tanda-tanda yang dimaknai manusia) yang bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk

berbagai kemungkinan. Namun dalam kebudayaan massa (la culture de masse),

konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan

konotasi tertentu pada suatu hal sehingga lama-kelamaan menjadi mitos (Hoed,

2014: 79).

Mitos juga merupakan wahana dimana suatu ideologi berwujud. Satu

tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan ataupun dari

mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama. Pendekatan

Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial, budaya,

politis dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray, 2003: 13).

Salah satu kekuatan mayoritas dan kekuasaan tersebut adalah media

massa. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi lewat konotasi,

sebagaimana kritik budaya Barthes tentang sistem busana masyarakat Prancis

dalam tulisannya Systéme de la Mode. Dalam Image, Music, Text (1977) Barthes

bahkan membahas fotografi, musik dan teks sebagai bahasa (Hoed, 2014: 83).

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes

menunjukkan perhatiannya pada teks sebagai manifestasi parole dan

pemaknaannya. Baginya, teks dimaknai oleh pembacanya sehingga dalam hal ini

pembaca memainkan peran penting.

Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil

yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19

(14)

kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam

retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004:

65-66), yaitu:

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

Dalam buku The Death of Author (1977), Barthes banyak memaparkan

tentang peran pengarang, buku dan teksnya. “Kita tahu bahwa suatu teks terdiri

bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna teologis”

(artinya, pesan dari Tuhan-Pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana

telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli

darinya: teks adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya”

(Sobur, 2004: 67). Barthes juga mengemukakan bahwa teks adalah sesuatu yang

dinikmati secara badaniah, le plaisir du texte atau “nikmatnya teks” yang didasari

(15)

Berdasarkan pemahaman dan diskusi mendalam dengan beberapa dosen

semiotika, peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek intertekstualitas terlihat jelas

dalam buku The Death of Author milik Barthes tersebut. Intertekstualitas

maksudnya adalah produksi teks tidak bersumber pada satu subjek saja, tetapi

melalui subjek itu terjadi proses yang berasal dari berbagai teks lain yang

diketahuinya. Konsep yang dipopulerkan oleh Kristeva ini mirip dengan konsep

yang diusung Barthes dalam buku The Death of Author. Bedanya, dalam konsep

intertekstual milik Kristeva kajian ini lebih condong ke arah bahasa sastra,

sedangkan Barthes pada teks seluruhnya.

Barthes sudah pergi jauh dari konsep de Saussure dan strukturalisme,

namun bukan berarti lepas dari strukturalisme sepenuhnya. Konsep-konsep dasar

de Saussure dan strukturalis masih terlihat, dan alat analisisnya juga masih

menggunakan sebagian dari tujuh kaidah analisis struktural.

Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak

disadari. Sehingga, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan

metode analisis dan kerangka berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading).

Konotasi yang sudah mantap akan menjadi mitos, mitos yang sudah mengakar

akan menjadi ideologi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya

dalam buku S / Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi

budaya.

II.2.4 Komunikasi Massa

Pada bulan April 2007, Pew Research Center for the People and the Press

merilis hasil penelitiannya mengenai pengetahuan masyarakat Amerika terhadap

national public affairs. Sebagian besar hasil temuannya bersifat logis–mereka

yang berpendidikan tinggi lebih mengetahui public affairs daripada yang

berpendidikan rendah; mereka yang berpendapatan tinggi, terdaftar sebagai

pemilih pemilu, mereka yang senang mengikuti berita, dan mereka yang memiliki

berbagai macam sumber informasi, memiliki kelebihan daripada yang lain.

Semenjak akhir tahun 1980-an, kebiasaan publik Amerika telah berubah

sejak kemunculan program berita televisi 24 jam sebagai sumber berita yang

(16)

berasumsi mengenai hubungan antara banyaknya jumlah media yang ada dengan

kemauan masyarakat dan kemampuan mereka untuk terus mengikuti

perkembangan permasalahan publik.

Banyak asumsi yang terbentuk akibat penelitian tersebut, seperti

banyaknya sumber berita, tempat survei dilaksanakan, keadaan sosial politik yang

memanas karena pemilihan Presiden tahun 2008, perang di Irak yang semakin

kontroversial dan asumsi-asumsi lain. Ide dan asumsi ini dapat–dan sering–

menjadi basis teori yang lebih formal dan lebih sistematis, yang berasal dari ilmu

pengetahuan sosial. Ketika teori ilmiah sosial ini melibatkan hubungan antara

media dan manusia serta masyarakat yang menggunakan media, inilah yang

disebut dengan teori komunikasi massa (Baran, 2009: 3-4).

Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah

medium massa untuk mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan

memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Definisi

komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain,

yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967):

Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4).

Pada dasarnya, komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa

(cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan

kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang

dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern, menunjuk pada

hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa

(Nurudin, 2007: 4).

Perkembangan komunikasi massa, lebih spesifiknya media massa, begitu

menakjubkan sejak penggunaan internet meningkat dan kajian mengenai new

media semakin banyak. Dunia sudah menjadi global village, sebuah desa yang

(17)

Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, surat

kabar pertama di Amerika Public Occurrences terbit tahun 1690, Samuel Morse

menciptakan telegraf pada tahun 1844, Pulitzer menganugerahi penghargaan yang

diambil dari namanya pada tahun 1915, munculnya warna pada semua jaringan

TV komersial di tahun 1965, Steve Jobs dan Stephen Wozniak menyempurnakan

Apple II pada tahun 1977, IBM memperkenalkan PC di tahun 1981, Journal of

Communication mencurahkan keseluruhan temanya mengenai melek media di

tahun 1998, dan menerbitkan edisi khusus mengenai framing, agenda setting dan

priming pada tahun 2007; komunikasi massa terus berkembang hingga sekarang.

Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail menjelaskan beberapa

efek komunikasi massa (McQuail, 2011: 225):

1. Stimulus-Respons

Tiga elemen utama dalam teori ini adalah pesan (sebagai stimulus),

seorang penerima atau receiver (manusia) dan efek (respons). Teori ini

menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap

stimulus tertentu. Efeknya bersifat individualistis, pragmatis dan berjangka

pendek.

2. Difusi-Inovasi

Proses penyebaran segala jenis alat teknis, ide atau informasi berguna yang

baru. Dalam Komunikasi Pembangunan Sosial, difusi inovasi juga

diartikan sebagai penyerapan ide inovatif untuk kepentingan dan

pembangunan masyarakat. Terdapat empat tingkat difusi informasi yang

terjadi pada teori ini dimulai dari informasi, persuasi, keputusan dan

adopsi, dan konfirmasi.

3. Agenda Setting

Agenda Setting diperkenalkan pertama kali oleh McCombs dan DL Shaw

pada 1972. Teori ini menjelaskan bahwa media berita mengindikasikan

kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin

dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Semakin banyak

perhatian media diberikan kepada suatu topik, semakin besar kepentingan

(18)

4. Uses and Gratification

Teori yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap

informasi dari media. Asumsi dasar dari teori ini adalah, media dan pilihan

konten secara umum rasional dan diarahkan kepada tujuan dan kepuasan

spesifik tertentu.

II.2.4.1 Media Massa

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, media adalah

sarana atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan

pesan kepada masyarakat luas. Dalam dunia komunikasi, media dapat diartikan

sebagai sebuah wadah/saluran/alat untuk menyampaikan suatu pesan dari

komunikator kepada komunikan.

Secara singkat, media massa adalah sebuah wadah/saluran/alat yang

digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada audiens

secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas. Keuntungan

komunikasi dengan menggunakan media massa adalah, bahwa media massa

menimbulkan keserempakan, artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan

yang jumlahnya relatif banyak. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis

komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan

media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang sama.

Media massa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu

media massa cetak (1), media massa broadcast (2), dan media massa online (3).

Kelompok media massa tersebut mempunyai industri mereka masing-masing,

berikut adalah daftarnya:

1. Buku

2. Surat Kabar

3. Majalah

4. Rekaman

5. Radio

6. Film

(19)

8. Internet

Buku, surat kabar, dan majalah merupakan media massa Amerika yang

tersedia selama 250 tahun sejak buku Amerika pertama kali diterbitkan pada tahun

1640. Tengah pertama abad ke-20 membawa empat jenis media baru–rekaman,

radio, film, dan TV–dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Akhir abad ke-20

terdapat tambahan dalam campuran media, tentu saja, Internet (Biagi, 2010: 11).

Perkembangannya yang begitu pesat ini layaknya jamur di musim

penghujan (sporadis). Pertarungan antar media massa kerap terjadi, berbagai

strategi dijalankan untuk meraih perhatian pembaca dan audiens. Tak dapat

dipungkiri juga bahwa terkadang media massa memainkan peranan penting

terhadap suatu perubahan, atau menjadi tunggangan bagi para penguasa dan

pemilik modal.

Secara umum, fungsi media massa terbagi dua, yaitu fungsi nyata

(manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function ialah fungsi

tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Namun secara

khusus, media massa memiliki lima fungsi (Bungin, 2006: 78-79), yaitu:

1. Fungsi Pengawasan

Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan

hal-hal yang tidak diinginkan. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol

sosial serta kegiatan persuasif.

2. Fungsi Pembelajaran Sosial (Social Learning)

Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, sebagai

media pendidikan sosial.

3. Fungsi Penyampaian Informasi

Media massa memungkinkan penyampaian suatu pesan dari komunikator

kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang

(20)

4. Fungsi Transformasi Budaya

Semakin berkembangnya teknologi, tidak dapat dipungkiri nilai-nilai

budaya kemudian menjadi perhatian utama oleh banyak orang.

Perubahan-perubahan budaya tersebut penting ditransmisikan melalui media massa

sebab menyangkut bidang lain seperti politik, agama, hukum dan lain-lain.

5. Hiburan

Setiap orang butuh hiburan sebagai selingan dan relaksasi pikiran dari

tayangan-tayangan, hidangan berita dan artikel yang berat-berat. Fungsi ini

bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ringan.

Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan

makna-makna dalam materinya. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak,

kajian semiotika ini, juga kebanyakan, adalah mengusut ideologi yang melatari

pemberitaan (Sobur, 2004: 110). Skripsi yang berjudul “Konstruksi Media Massa

dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah

Time)” ini berfokus pada kajian semiotika yang hasilnya akan digunakan untuk

melihat konstruksi media massa.

II.2.4.2 Konstruksi Media Massa

Konstruksi media massa memainkan peranan penting dalam opini publik

dan konstruksi realitas sosial. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa

lepas dari konstruksi realitas sosial. Menurut Berger dan Luckmann (Wibowo,

2011: 125), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang

hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana

publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Media massa sebagai saluran komunikasi masif dan kekuatan serta

pengaruhnya yang besar di tengah masyarakat, telah menjadi entitas yang

dipercaya mengisi gatra antara publik dan kenyataan yang terjadi. Akibatnya, tak

jarang apa yang diberitakan oleh media massa menjadi suatu kebenaran di mata

publik, menjadi suatu realitas yang pada awalnya hanya eksis pada rangkaian kata

(21)

Realitas berita hadir dalam keadaan subjektif. Walter Lippmann pernah

menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia di luar

dengan gambarannya di pemikiran kita). Secara singkat, manusialah yang

membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita dipandang sebagai konstruksi

atas realitas. Karena pada hakikatnya, isi media adalah hasil konstruksi realitas

dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Realitas yang ditampilkan media

adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality).

Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk

konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan

alat konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125). Khalayak membentuk citra tentang

lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi

melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran konstruksi; tahap

pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2001: 188-189), yaitu:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Tiga hal penting dalam tahapan ini adalah: keberpihakan media massa

kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan

kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi

Prinsip dasarnya adalah semua informasi harus sampai pada khalayak

secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dianggap penting oleh

media dianggap penting juga oleh masyarakat.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas

Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: konstruksi realitas

pembenaran; kesediaan dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan

yang konsumtif.

4. Tahap konfirmasi

Ini adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi

argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam

(22)

Konstruksi media massa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang

dijelaskan dalam teori hierarki media. Teori ini dibagi menjadi lima tingkatan

kekuasaan dan otoritas berbeda yang mempengaruhi pemberitaan, yaitu (1)

ideological level, (2) extramedia level, (3) organization level, (4) media routines

level, dan (5) individuallevel.

Gambar II.3 Model hierarki media

Sumber: Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating the message: Theories of influences on mass media content (2nd ed.). White Plains, N.Y.: Longman.(dengan sedikit perubahan dari peneliti).

Bagan di atas adalah model hierarki media yang mempengaruhi

pemberitaan media mulai dari tingkat paling rendah sampai tertinggi, berikut

adalah penjelasannya:

1. Individual level atau tingkatan individu adalah tingkat yang menjelaskan

peran seorang jurnalis dalam proses pemberitaan. Walaupun tidak

(23)

karakter, sikap, dan nilai supra-individual tetap mempengaruhi konten

media.

2. Media routines level atau tingkatan rutinitas media adalah tingkat yang

menjelaskan tentang pengaruh rutinitas, keseharian media dalam

pemberitaan. Level ini juga menyangkut tentang target pembaca dari

media itu sendiri dan kebijakan dari media itu sendiri untuk memilih mana

yang akan menjadi berita dan tidak. Kebijakan tersebut berhubungan

dengan ideologi media dan keputusan rapat redaksi sehari-hari.

3. Organizational level atau tingkatan organisasi adalah tingkat yang

menjelaskan pengaruh pemberitaan dari para pemilik modal, tujuan,

hukum-hukum yang berlaku. Pengaruh dari para pemilik modal

(stakeholder) berperan dalam organizational level.

4. Extramedia level atau tingkatan di luar media adalah tingkat yang

menjelaskan pengaruh pemberitaan dari entitas di luar media. Seperti

organisasi kemasyarakatan, keagamaan, media massa lain, buruh tani,

pemerintah, dan sebagainya.

5. Ideological level atau tingkatan ideologi adalah tingkat yang menjelaskan

pengaruh pemberitaan dari ideologi negara tempat media itu beroperasi.

Budaya masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, menjadi tingkat

tertinggi dalam faktor yang mempengaruhi pemberitaan media.

II.2.5 Fotografi

II.2.5.1 Fotografi Jurnalistik

Fotojurnalistik merupakan produk dari jurnalistik foto. Sementara itu,

jurnalistik foto adalah cabang ilmu dari jurnalistik (komunikasi/publisistik),

sedangkan fotografi jurnalistik adalah keilmuan dari fotojurnalistik itu sendiri.

Jurnalistik merupakan produk dari para jurnalis, suatu pengelolaan laporan

harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya

kepada masyarakat. Kegiatan ini bermula pada masa kekaisaran Romawi. Saat itu,

para kaum borjuis yang malas pergi ke plaza (tengah kota) untuk mendengar

(24)

mencatatkan pengumuman tersebut. Lambat laun, hal tersebut berkembang dan

para budak mulai menulis acta diurna (laporan harian) untuk kemudian dijual

kepada yang menginginkan. Hal tersebut semakin berkembang sejak Johannes

Guttenberg menemukan alat cetak pertama pada tahun 1455, dan terus

berkembang sampai sekarang.

Tidak hanya terbatas pada berita tulis saja, namun perkembangan

jurnalistik juga merambah ke bidang fotografi. Embrio fotojurnalistik di media

massa hadir pertama kali pada hari Senin, 16 April 1877, saat surat kabar harian

The Daily Graphic di New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran

hotel dan salon pada halaman satu. Gambar tersebut masih merupakan merupakan

sketsa, namun semakin berkembang pada tahun 1891 saat surat kabar harian

NewYork Morning Journal memelopori terbitan surat kabar dengan foto yang

dicetak menggunakan halftone screen, perangkat yang mampu memindai titik-titik

gambar ke dalam plat cetakan hingga mampu dicetak dengan cepat secara massal.

Fotografi yang baik berarti foto-foto yang dapat digunakan oleh pers dan

yang mencerminkan keuntungan dari klien/pengusaha (Bland, 2001: 66). Pada

surat kabar, foto merupakan pelengkap dari berita tulis. Fotojurnalistik menambah

kesan dan memberi variasi lebih dari penggambaran berita tulis. Fotojurnalistik

dituntut memuat informasi atau pesan, bisa sekedar sekuen penting dari sebuah

peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sebuah pesan yang sengaja

diciptakan fotografer dari cerita di balik sebuah peristiwa (feature).

II.2.5.2 Kategori Fotojurnalistik

Pada tahun 2007, Badan Fotojurnalistik Dunia (World Press Photo

Foundation;

http://www.idseducation.com/2014/12/24/aliran-fotografi-menurut-world-press-photo-foundation/) memberikan beberapa kategori fotojurnalistik,

yaitu:

1. Spot Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak

(25)

2. GeneralNews Photo

Adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan

biasa. Temanya dapat dari peristiwa politik maupun ekonomi.

3. People in the News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang

ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.

Tokoh-tokoh pada foto people in the news bisa tokoh populer atau bisa

tidak, tetapi kemudian menjadi populer setelah foto itu dipublikasikan.

4. Daily Life Photo

Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi

kemanusiawiannya (human interest).

5. Portrait

Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close

up/“mejeng.” Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang

dimiliki atau kekhasan lainnya.

6. Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga

berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan

fotografer, dalam pembuatan foto olahraga dibutuhkan perlengkapan yang

memadai.

7. Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannnya

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

8. Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.

9. Social and Environmet

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan

hidupnya.

Setiap karakteristik fotojurnalistik ini memiliki maksud dan tujuannya

masing-masing, dan memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Sadar atau tidak

(26)

II.2.5.3 Nilai Berita Fotojurnalistik

Karya-karya jurnalistik memiliki nilai-nilai tertentu agar dapat dikatakan

layak dan dapat disiarkan, peneliti merangkumnya dari materi-materi kuliah dan

berikut adalah nilai-nilai berita tersebut:

1. Magnitude

Nilai ini menunjukkan bobot dari sebuah peristiwa, apakah dalam skala

yang besar. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk

dijadikan berita.

2. Timeliness

Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum

diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak

orang.

3. Proximity

Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting

(geografis dan psiko-grafis). Psiko-grafis berhubungan dengan kejiwaan,

psikologis, politik, kebudayaan dan lain-lain.

4. Prominence

Menyangkut ketokohan, dan orang-orang yang terkenal atau public figure.

Sesuatu yang menonjol, misalnya melekat pada seorang tokoh,

menyangkut prestasi, gaya hidup, dan lain-lain.

5. Importance

Sesuatu yang mempunyai nilai kepentingan bagi seseorang. Misalnya,

pembukaan pendaftaran beasiswa S2 menjadi hal yang penting bagi

mahasiswa, akademisi, dan orang-orang yang ingin melanjutkan

pendidikannya.

6. Impact/Consequence

Akibat atau konsekuensi yang mempunyai pengaruh luas kepada

masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM

memiliki akibat dan konsekuensi terhadap jalannya roda kehidupan

(27)

7. Conflict/Controversy

Informasi yang mengandung nilai konflik dan kontroversi.

8. Sensation

Peristiwa-peristiwa menggemparkan yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat. Peristiwa yang besar (mengandung juga nilai magnitude)

biasa disebut scoope.

9. Noveity, oddity, unusual

Hal-hal yang aneh, baru, dan tidak lazim di antara masyarakat. Misalnya

pohon pisang yang menangis dan memiliki dua buah jantung, batu ponari

yang dapat menyembuhkan.

10.Human Interest

Merupakan nilai berita yang menyangkut ketertarikan terhadap manusia

dan interaksinya, keadaan sosial yang kontras, dan kepentingan

manusiawi. Misalnya potret seorang tukang sampah yang sedang berdiri

tegak di atas tumpukan sampah sambil memandang jauh komplek

perkotaan di ujungnya.

11.Unique

Semua hal yang dianggap unik.

12.Sex

Nilai-nilai berita yang berbau seks pada lawan jenis. Misalnya seperti saat

seorang bintang film porno asal jepang ikut membintangi film di

Indonesia, foto wanita seksi dan pria berdada bidang, atau perceraian dan

perselingkuhan public figure.

13.Crime

Peristiwa kriminal yang terjadi di tengah masyarakat memiliki nilai berita

yang cukup besar. Contohnya seperti berita penjambretan ibu-ibu yang

baru pulang belanja dari pasar, akan mendapatkan atensi yang cukup besar

(28)

II.2.3.4 Teknik Pengambilan Gambar Fotojurnalistik

Dalam prakteknya, fotografi secara luas dan fotojurnalistik secara sempit

memiliki perbedaan yang mendasar. Saat fotografi–seperti contohnya foto model,

foto produk, foto lansekap–lebih mementingkan hasil yang bagus (komposisi,

pencahayaan, warna), fotojurnalistik lebih mementingkan momen. Berikut ada

beberapa teknik pengambilan gambar dalam fotografi yang juga sering

diaplikasikan dalam fotojurnalistik

(http://lensafotografi.com/teknik-pengambilan-gambar/), yaitu:

1. Extreme Long Shoot

Teknik ini biasa digunakan dan sangat cocok untuk objek yang berjumlah

banyak dan sering dipakai untuk jenis foto lansekap. Pada pengambilan

gambar ini, hal-hal yang ingin ditunjukkan selain objek utama adalah

situasi dan kondisi dari keadaan sekitar.

2. Long Shoot

Teknik ini hampir mirip dengan teknik extreme long shoot, hanya saja

teknik ini lebih banyak digunakan untuk menangkap figur seseorang

secara keseluruhan, di mana seluruh badan objek akan terlihat.

3. Medium Long Shoot

Ruang yang tersedia bagi objek pada teknik ini semakin sempit

dibandingkan dengan long shoot. Teknik ini biasa mengambil gambar dari

bagian sekitar lutut sampai dengan batas kepala. Teknik ini berfungsi

untuk menyampaikan aktifitas objek dan mencerminkan kehidupan

sehari-hari.

4. Medium Shoot

Merupakan teknik pengambilan gambar jarak menengah, di mana batas

pemotongan objek adalah dari bagian pinggang ke atas. Teknik ini baik

untuk bahasa tubuh dan ekspresi wajah.

5. Medium Close Up

Pengambilan gambar dengan batas dari bagian dada ke atas. Sangat bagus

digunakan untuk foto candid. Teknik ini digunakan untuk menangkap

(29)

6. Close Up

Bagian tubuh yang difoto adalah dari batas bahu ke atas sampai dengan

batas kepala. Berguna untuk menangkap ekspresi wajah seseorang dan

detail objek yang membuat foto terlihat dramatis tapi tetap natural.

7. BigClose Up

Batas ruang gambar pada teknik ini adalah dari bagian dagu dan dahi.

Teknik pengambilan gambar seperti ini benar-benar menekankan detail

ekspresi objek lebih dalam daripada teknik close up.

8. Extreme Close Up

Teknik ini memperlihatkan bagian tubuh yang unik atau bagian yang

menjadi ciri khas seseorang, misalnya pada bagian mata atau bibir. Teknik

ini mengajak pemirsa untuk bervisualisasi, karena jenis foto ini akan

membangkitkan rasa penasaran yang melihat.

II.2.3.5 Camera Angle

Sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dapat membentuk

kedalaman gambar/dimensi dan membangun kesan psikologis gambar

(Fachruddin, 2012: 151-152), seperti:

1. High Angle (HA)

Kamera diletakkan tinggi di atas objek/garis mata orang. Kesan psikologis

yang ingin disampaikan, objek tampak seperti tertekan.

2. Eye Level (normal)

Kamera diletakkan sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan

psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat.

3. Low Angle (LA)

Kamera diletakkan di bawah objek/garis mata orang. Kesan psikologis

yang ingin disajikan adalah kewibawaan dan kekuasaan, objek tampak

(30)

II.2.6 Desain Komunikasi Visual

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep

komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media

komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar

(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan

guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada

target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009: 24). Pada dasarnya, desain

komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah

satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku

pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009: 6).

Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui

metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis.

Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya

industrialisasi.

Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan

seni grafis murni. Menurut Suyanto desain grafis didefinisikan sebagai aplikasi

dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri.

Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni

komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam

menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014: 11-12).

Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan

elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi

sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni:

Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan

elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan

Warna (Sitepu, 2004: 6-7):

(31)

II.2.6.1 Elemen-Elemen Desain Grafis

Keindahan sebagai kebutuhan setiap orang, mengandung nilai-nilai

subjektifisme. Pemahaman yang baik pada elemen-elemen atau unsur-unsur

desain grafis adalah wajib. Dalam penciptaan sebuah pesan komunikasi visual,

banyak elemen penting yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah Garis,

Bentuk, Ruang, Tekstur, dan Warna. Berikut adalah penjelasannya:

1. Garis

Dalam desain grafis, garis dibagi menjadi 4, yaitu: vertikal, horisontal,

diagonal dan kurva. Selain digunakan sebagai penunjuk bagian-bagian

tertentu dengan tujuan sebagai penjelas kepada pembaca, garis juga

digunakan untuk memisahkan posisi antara elemen grafis lainnya, atau

garis bisa diterapkan untuk menunjukkan arah mata pembaca.

Model dan tingkat ketebalan garis juga mempengaruhi psikologi

komunikan. Penekanan pada sebuah karya visual juga dapat menggunakan

garis sebagai alatnya. Misalnya, sebuah garis putus-putus digunakan untuk

menunjukkan alur, dan perpaduan garis horisontal diagonal bisa digunakan

untuk penekanan.

2. Bentuk

Menurut Sony Kartika, bentuk adalah suatu bidang yang terjadi karena

dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna

yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya

tekstur. Bentuk bisa berupa wujud alam (figur) yang tidak sama sekali

menyerupai wujud alam (non figur). Bentuk memiliki perubahan wujud

berupa stilisasi, distorsi dan transformasi. Makna ini dikonstruksi dalam

grafis dua dimensi. Lazim juga disebut area. Sedangkan dalam grafis 3

dimensi bentuk disamaartikan dengan massa.

3. Ruang

Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga terasa

jauh dan dekat, tinggi dan rendah, tampak melalui indra penglihatan

(Kusmiati, 1999). Dalam beberapa praktiknya dikenal ruang kosong (white

(32)

bukan berarti tidak berarti apa-apa, hal tersebut juga merupakan suatu

pesan yang mendukung keseluruhan isi pesan komunikasi visual.

4. Tekstur

Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan

(material), yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk

mencapai bentuk rupa, baik dalam bentuk nyata ataupun semu. Tekstur

memperkuat dan mempertegas rasa dari karya desain grafis.

5. Warna

Warna merupakan nuansa visual yang direfleksikan oleh cahaya yang

jatuh pada objek dan dipantulkan ke mata, cahaya memiliki spektrum

(rangkaian sistematis) warna yang membantu kita mengenali warna. Pada

saat kita melihat warna, sebenarnya kita melihat gelombang cahaya yang

dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek yang kita lihat. Permasalahan

mendasar dari warna diantaranya adalah Hue (spektrum warna), Saturation

(nilai kepekatan) dan Lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang).

Menurut Brewster dalam teori warna miliknya (1831), warna

dikelompokkan menjadi 4 kelompok warna, yaitu: warna primer,

sekunder, tersier dan warna netral. Warna primer adalah warna dasar yang

digunakan untuk menciptakan warna sekunder. Warna juga dapat

menciptakan persepsi psikologis bagi pembacanya. Leatrice Eiseman,

seorang konsultan warna dan penulis buku More Alive With Color,

memberi arti dari warna-warna tersebut, yaitu:

Biru memiliki arti kesetiaan, ketenangan, sensitif dan bisa

diandalkan. Keabu-abuan memiliki arti serius, bisa diandalkan dan stabil.

Merah Muda memiliki arti cinta, kasing sayang, kelembutan dan feminin.

Merah memiliki arti kuat, berani, percaya diri dan bergairah. Kuning

memiliki arti muda, gembira dan imajinasi. Hitam memiliki arti elegan,

kuat dan dewasa. Hijau memiliki arti kesejukan, keberuntungan dan

kesehatan. Sementara itu, Barker (1984: 86, dalam Mulyana, 2005: 377)

(33)

1) Merah

Warna merah melambangkan rangsangan/merangsang, warna yang

menggambarkan perlindungan dan sifat mempertahankan. Warna ini

mengesankan tantangan, perlawanan dan permusuhan. Merah adalah

energi yang kuat, menunjukkan erotisme, keberanian, simbol dari api.

Warna ini dapat menjadi stopping point suatu pesan pada suatu desain.

2) Biru

Warna biru memberikan kesan aman dan nyaman, lembut dan

menenangkan, perlindungan dan pertahanan, kalem, damai dan tentram.

Warna biru juga mengesankan persahabatan, harmoni, kasih sayang dan

dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang.

3) Oranye

Warna oranye menunjukkan suasana hati yang tertekan, terganggu dan

bising. Namun juga merepresentasikan keceriaan jika dipadu dengan

warna lain.

4) Coklat

Warna coklat menunjukkan perlindungan dan pertahanan, kesedihan,

kemurungan. Warna coklat juga menunjukkan persahabatan, pengalaman

yang panjang dan ‘dalam,’ bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas,

produktivitas dan kerja keras.

5) Putih

Warna putih menunjukkan kedamaian, kesucian, kemurnian, permohonan

maaf, kejelasan, spiritualitas, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan,

cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih menekankan dan

menguatkan warna lain serta memberi kesan.

6) Hitam

Warna hitam melambangkan perlindungan, pertahanan, pengusiran,

sesuatu yang negatif, kesedihan mendalam, kemurungan,

ketidakbahagiaan, pertentangan dan permusuhan. Warna hitam

mengesankan kemisteriusan dan berbahaya, kekayaan, ketakutan,

kejahatan, perasaan yang dalam. Latar belakang warna hitam dapat

(34)

7) Hijau

Warna hijau menunjukkan warna yang tenang, kalem, damai dan tenteram.

Menggambarkan bumi, kesuburan, pertumbuhan, umur yang masih muda.

8) Kuning

Warna kuning merupakan warna yang menyenangkan, keceriaan, riang,

gembira dan harapan. Warna yang merujuk pada matahari ini, dapat

merangsang dan menarik perhatian.

9) Ungu

Warna ungu menunjukkan keagungan dan kewibawaan, perlindungan dan

pertahanan. Juga memberikan kesan tentang kekuatan spiritual,

keagungan, kebangsawanan, misterius dan kepercayaan yang dalam.

Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang

digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia.

II.2.6.2 Tipografi

Tipografi adalah sebuah disiplin khusus dalam desain grafis yang

mempelajari mengenai seluk beluk huruf (font). Tipografi dalam konteks desain

komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik

penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial

atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2009: 25)

Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau

Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya

merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2009:

26):

1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.

(35)

4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.

5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.

Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96, dalam Tinarbuko, 2009: 26)

mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya:

1. Old Style, jenis huruf ini meliputi: Bembo, Caslon, Galliard, Garamond.

2. Transitional, jenis huruf ini meliputi: Baskerville, Perpetua, Times New Roman.

3. Modern, jenis huruf ini meliputi: Bodoni

4. Egyptian atau SlabSerif, jenis huruf ini meliputi: Bookman, Serifa.

5. Sans Serif, jenis huruf ini meliputi: Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah-tidaknya ketersampaian

sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, di

antaranya (Tinarbuko, 2009: 27):

Pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur kertas yang

digunakan. Teks akan terlihat jelas manakala keberadaan warna latar dan hurufnya

cukup kontras.

Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6

sampai 10 point, juga disesuaikan dengan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.

Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk

pengembangan: (1) kelompok berat terdiri atas light, regular dan bold. (2)

Kelompok proporsi condesed, regular dan extended. (3) kelompok kemiringan

yaitu italic.

Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat,

faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika

membaca.

Dalam praktik desain grafis, pemilihan, pengolahan dan penerapan huruf

sebaiknya tidak dilakukan sembarangan. Pemilihan warna dan elemen-elemen

desain grafis dalam desain komunikasi visual memiliki maksud dan tujuan, yang

(36)

II.3 Model Teoritik

Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi

dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal

ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena

penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif.

Gambar II.4

Bagan Model Teoritik Penelitian Analisis Semiotika Konstruksi Majalah TIME Atas Joko Widodo dan Barack Obama

Objek Penelitian

Sampul Depan Majalah TIME Yang Memuat Foto Joko Widodo dan Barack Obama

1. Makna dan Mitos dalam sampul depan

majalah TIME

2. Konstruksi Majalah TIME atas Joko

Widodo dan Barack Obama Semiologi Roland Barthes Level Teks:

1. Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan

Level Konteks:

(37)

1. Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah sampul depan majalah TIME yang memuat

foto Joko Widodo dan Barack Obama pada edisi 27 Oktober 2014 dan 1

September 2008.

2. Semiologi Roland Barthes

Peneliti ingin mengkaji objek penelitian melalui analisis leksia dan lima

kode pembacaan Barthes. Penelitian ini tak hanya sampai pada level teks,

namun juga level konteks.

3. Hasil

Bagian terakhir dari kerangka pemikiran ini adalah hasil yang telah dicapai

Gambar

Gambar II.2
Gambar II.3
Gambar II.4

Referensi

Dokumen terkait

DINAS BINA MARGA DAN CIPTA KARYA (Satu Milyar Enam Ratus Delapan Puluh Empat Juta Seratus Enam Puluh Ribu Rupiah). (Satu Milyar Enam Ratus Delapan Puluh Lima Juta Lima Ratus

Dampak yang paling terlihat dari permasalahan tersebut adalah kurangnya jumlah anggota UKM sepakbola di Universitas Mulawarman, sehingga dibutuhkan sebuah sistem

Hambatan yang masih menjadi persoalan sampai dengan saat ini adalah sistem kesehatan dari pemerintah yang berbenturan dengan sistem didalam rumah sakit, menjadikan rumah sakit

Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu pedang si pemuda

termasuk tanaman hias yang cukup berhasil dalam menurunkan kadar CO, Oleh karena itu kali ini peneliti akan mencoba enam kultivar dari S. trifasciata yang biasanya

verbal. Karakteristik dari penggunaan representasi tersebut adalah dengan menunjukkan.. bahwa penyelesaian SPLDV merupakan pasangan bilangan yang memenuhi kedua. persamaan. 2)

Hasil penelitian implementasi penilaian autentik kurikulum 2013 pada mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMP Negeri 1 Karangmonol menerapkan penilaian autentik

Dalam fungsi biologi otot, mioglobin berperan untuk menyimpan oksegen yang diperlukan oleh mitikondria, sebenarnya lebih efektif dari hemoglobin karena daya ikatnya yang