• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal a. Definisi Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan komersial adalah laporan yang disusun dengan prinsip akuntansi bersifat netral atau tidak memihak.

Laporan keuangan fiskal adalah laporan yang disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan. Hal – hal yang perlu tercakup dalam laporan keuangan fiskal terdiri dari:

1) neraca fiskal;

2) perhitungan laba rugi dan perubahan laba yang ditahan; 3) penjelasan laporan keuangan fiskal;

4) rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal; 5) ikhtisar kewajiban pajak.

Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang dilampiri oleh laporan keuangan.

b. Hubungan Antara Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal memiliki peraturan atau prinsip masing – masing dalam menentukan biaya. Jika laporan

(2)

keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan untuk memberikan informasi mengenai kinerja perusahaan dalam jangka waktu tertentu, maka laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan pajak yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar perusahaan, sehingga terjadi perbedaan antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.

Untuk mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal maka perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal / koreksi fiskal. Secara umum ada dua cara untuk menyusun laporan keuangan fiskal. Pertama, pendekatan terpisah (separated approach) dimana wajib pajak membukukan segala transaksi atau informasi berdasarkan prinsip pajak untuk penghitungan PPh terutang dan berdasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Tapi pendekatan ini sangat jarang digunakan karena memakan banyak biaya dan tenaga.

Sebagian besar wajib pajak memilih pendekatan kedua, extra-compatible

approach dimana wajib pajak membukukan semua transaksi atau informasi hanya

berdasarkan prinsip akuntansi, kemudian pada akhir tahun wajib pajak melakukan koreksi terhadap laporan keuangan komersial tersebut agar sesuai dengan Undang – Undang Pajak Penghasilan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya PPh terutang. Jadi laporan keuangan komersial terkait erat dengan laporan keuangan fiskal karena laporan keuangan komersial digunakan oleh wajib pajak

(3)

sebagai dasar melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menghasilkan laporan keuangan fiskal.

c. Perbedaan Konsep Laporan Keuangan Komersial dan Laporan Keuangan Fiskal

Perbedaan konsep laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal terdapat pada:

1) Perbedaan mengenai konsep penghasilan atau pendapatan

Penghasilan (Income) menurut IAI (2007:13), adalah ”Kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal”.

Dari sisi fiskal, konsep penghasilan tidak jauh berbeda dengan konsep akuntansi, yaitu: Segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia yang bisa dikonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun. Lebih lanjut fiskal membedakan penghasilan tersebut menjadi tiga kelompok yang sesuai dengan UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu:

a) Penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan b) Penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final

(4)

Pengelompokan penghasilan tersebut akan berakibat adanya perbedaan mengenai konsep penghasilan antara SAK dan Fiskal. Penghasilan yang bukan objek pajak berarti atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak (tidak menambah laba fiskal), lebih jelasnya tentang pengelompokkan penghasilan tersebut diuraikan dalam UU No 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat 1,2 & 3 Tentang Pajak Penghasilan.

2) Perbedaan Konsep Beban (Biaya)

Beban (expense) menurut IAI (2007:13), diartikan sebagai “Penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal”.

Sisi Fiskal sendiri, mengartikan Beban sebagai biaya untuk menagih, memperoleh dan memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung dengan perolehan penghasilan. Perbedaan inilah yang menyebabkan pihak fiskus sering berbeda pendapat dengan wajib pajak dalam hal menentukan beban/biaya yang boleh atau tidak boleh dikurangkan sehingga harus dikeluarkan/tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurangan penghasilan. Misalnya penafsiran atas bunyi undang - undang yang menyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah meliputi biaya untuk menagih, memelihara dan mempertahankan penghasilan.

(5)

Wajib pajak sendiri sering diharuskan untuk memberikan sumbangan baik yang wajib maupun tidak wajib, dan kadang kala tidak disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Kemudian wajib pajak menganggap biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dibiayakan karena dikeluarkan sehubungan dengan kelancaran usaha, sedangkan pihak fiskus menganggap biaya tersebut termasuk hibah, bantuan dan sumbangan yang tidak boleh dikurangkan.

3) Perbedaan dalam konsep Penyusutan dan Nilai Persediaan

Perbedaan dalam konsep antara akuntansi dengan peraturan perpajakan terutama menyangkut konsep penyusutan dan penilaian persediaan barang dagangan.

a) Konsep Penyusutan

Perbedaan utama antara akuntansi dengan undang-undang perpajakan adalah penentuan umur aktiva dan metode penyusutan yang boleh digunakan. Akuntansi menentukan umur aktiva berdasarkan umur sebenarnya walaupun penentuan umur tersebut tidak terlepas dari tafsiran Judgement.

Menurut IAI (2007) Akuntansi memiliki beberapa metode penyusutan yaitu:

1). Metode garis lurus (Straight line method) yaitu, menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika dinilai residunya tidak berubah.

2). Metode Saldo Menurun (diminishing balance method) yaitu,

menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat asset. 3). Metode Jumlah Unit (sum of the unit method), yaitu

(6)

Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat

Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 Ayat 2 I. Bukan Bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen 4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun 20 Tahun 10 Tahun 25% 12.5 % 6.25 % 5% 5% 10% 50% 25% 12.5 % 10% - -

Ketentuan perpajakan hanya menetapkan dua metode penyusutan yang harus dilaksanakan wajib pajak berdasarkan pasal UU No 36 tahun 2008 pasal 11 tentang Pajak Penghasilan yaitu berdasarkan metode garis lurus dan metode saldo menurun yang dilaksanakan secara konsisten, kemudian aktiva (harta berwujud) dikelompokkan berdasarkan jenis harta dan masa manfaat sebagai berikut:

Tabel 2.1

Kelompok Harta Berwujud, Metode, serta Tarif Penyusutan

Sumber : Undang-Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tidak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan juga dengan memakai dua metode yaitu : metode garis lurus dan metode saldo menurun, dengan pengelompokan sebagai berikut :

(7)

No Kelompok harta tidak berwujud Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan Metode Garis Lurus

Tarif Amortisasi Berdasarkan Metode Saldo Menurun 1 2 3 4 Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 4 Tahun 8 Tahun 16 Tahun 20 Tahun 25 % 12.5 % 6.25 % 5 % 50 % 25 % 12.5 % 10 % Tabel 2.2

Kelompok Harta Tak Berwujud, Metode, serta Tarif Amortisasi

Sumber : Undang–Undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Penentuan masa manfaat, jenis harta, metode, serta tarif dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam melakukan penyusutan maupun amortisasi.

b) Konsep Nilai Persediaan

Dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia, persediaan dan pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan (cost) yang dilakukan dengan metode rata-rata (average) atau dengan metode mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama yang dikenal dengan first in first out (FIFO). Penggunaan metode tersebut harus dilakukan secara konsisten.

Apabila kita meninjau secara akuntansi maka ada 3 jenis metode yang dilakukan untuk menilai persediaan yang sesuai dengan SAK No 14 tahun 2007 yaitu dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama

(8)

keluar pertama (MPKP atau FIFO), kemudian rata-rata tertimbang (weight

average cost method) dan masuk terakhir keluar pertama (MTKP atau

LIFO). Kemudian untuk barang yang lazimnya tidak dapat digantikan dengan barang lain (not ordinary interchangeable) dan barang serta jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek khusus harus diperhitungkan berdasarkan identifikasi khusus terhadap biayanya masing-masing.

2. Rekonsiliasi Fiskal

a. Definisi Rekonsiliasi Fiskal

Perbedaan antara laba secara komersial dengan Penghasilan Kena Pajak adalah dilakukannya koreksi fiskal terhadap laba secara komersial. Hampir semua perhitungan laba komersial yang dihasilkan oleh semua perusahaan harus mengalami koreksi fiskal untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak, karena tidak semua ketentuan dalam Standar Akuntansi Keuangan digunakan dalam peraturan perpajakan.

Menurut Agoes dan Trisnawati, ”Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak.” (Agoes dan Trisnawati,2007:177)

Menurut Setiawan dan Musri, mendefinisikan ”Rekonsiliasi fiskal adalah penyesuaian ketentuan menurut pembukuan secara komersial atau akuntansi yang harus disesuaikan menurut ketentuan pajak.” (Setiawan dan Musri, 2006:421)

(9)

Dengan demikian, rekonsiliasi fiskal dapat diartikan sebagai usaha mencocokan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial (yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi) dengan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal (yang disusun berdasarkan prinsip fiskal).

Ada beberapa langkah dalam melakukan rekonsiliasi fiskal adalah sebagai berikut:

1) mengenali penyesuaian pajak yang diperlukan;

2) melakukan analisis terhadap elemen – elemen yang perlu disesuaikan untuk menentukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak;

3) melakukan penyesuaian fiskal dengan cara melakukan koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif;

4) menyusun laporan keuangan fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak penghasilan. (Tjahjono, 2000:567)

b. Jenis – Jenis Rekonsiliasi Fiskal

Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:

1) Beda Tetap

Menurut Muljono (2006), ”Beda tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh wajib pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya dalam akuntansi secara komersial yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK).”

Namun demikian, berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan, atas transaksi tersebut bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya.

(10)

Beda tetap diartikan sebagai perbedaan antara laba kena pajak dan laba akuntansi sebelum pajak yang timbul akibat transaksi yang menurut undang–undang dan peraturan perpajakan yang berlaku, tidak akan dioffset oleh perbedaan yang berkaitan dengannya atau terhapus dengan sendirinya pada periode lain.

2) Beda Waktu

Menurut Muljono (2006), ”beda waktu terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secara fiskal, misalnya dalam ketentuan masa manfaat dari aktiva yang akan dilakukan penyusutan atau amortisasi.”

Menurut Setiawan dan Musri (2006) ”beda waktu adalah biaya atau pembebanan menurut perpajakan dan akuntansi adalah sama, yang membedakan adalah waktu atau masa alokasi biaya.”

Misalnya penyusutan aktiva, PT Semoga Perpajakan Jujur membeli aktiva berupa mobil truk pada tanggal 10 Januari 2004 senilai Rp 100.000.000,00. Maka, menurut akuntansi aktiva tersebut terserah kebijakan manajemen untuk menentukan masa manfaatnya. Jika manajemen menggunakan metode garis lurus dengan masa manfaat 4 tahun, penyusutan tersebut adalah 25% per tahun , namun menurut pajak aktiva tersebut harus dimasukkan dalam kelompok II, di mana penyusutannya adalah 12,5% sehingga masa manfaatnya lebih lama, yakni

(11)

8 tahun. Pada dasarnya biaya tersebut jumlahnya sama, namun timbul perbedaan karena waktu lokasi yang berbeda.

koreksi beda waktu menurut Setiawan dan Musri (2006 : 422) adalah: a) penyusutan;

b) leasing;

c) perbedaan metode penentuan harga pokok; d) selisih kurs;

e) revaluasi aktiva;

f) beban sewa lebih dari satu tahun.

Menurut sifatnya perbedaan waktu ada dua :

a. perbedaan waktu positif, yaitu terjadi apabila pengakuan beban untuk tujuan pajak lebih cepat dari pengakuan beban untuk akuntansi (misalnya penyusutan mulai tahun pengeluaran) atau pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi.

b. perbedaan waktu negatif, yaitu terjadi jika ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari pengakuan beban menurut praktek akuntansi (misalnya penyisihan piutang atau persediaan) dan akuntansi mengakui penghasilan menurut ketentuan perpajakan (misalnya penghasilan kumulatif beberapa tahun seperti tebusan pensiun).

3. Ketentuan Umum Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak menurut Andriani (Ilyas, 2007: 2) menyatakan bahwa

pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan dengan tidak

(12)

mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak menurut Soemitro (Ilyas, 2007: 2) menyatakan bahwa

pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Terdapat 5 (lima) unsur dalam pengertian pajak:

a. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang – undang. b. Sifatnya dapat dipaksakan.

c. Tidak ada kontra prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak.

d. Pemungutan pajak dilakukan oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran pemerintah, baik pembangunan maupun rutin.

Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perseorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengonsumsi dan/atau menimbun serta menambah kekayaan. Menurut pasal 4 ayat 1 UU PPh No. 10 tahun 1994, sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang No. 17 tahun 2000 dan diubah lagi menjadi Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang dimaksud dengan penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Pengertian pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima dan

(13)

diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.

a. Subjek Pajak

Adapun yang menjadi subjek pajak adalah sebagai berikut : Yang menjadi subjek pajak adalah

1) a) orang pribadi;

b) warisan yang belum terbagi 2) badan;

3) bentuk usaha tetap;

Subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah :

1) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

2) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia

3) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;

(14)

Yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 pasal 2 (4) adalah :

1) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2) orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 (sararus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

1) tempat kedudukan manajemen; 2) cabang perusahaan;

3) kantor perwakilan; 4) gedung kantor; 5) pabrik;

6) bengkel;

(15)

yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

8) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 9) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

10) pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

11) orang atau badan yang bertindak selaku agen yang berkedudukan tidak bebas;

12) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirkan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah: 1) badan perwakilan negara asing;

2) pejabat - pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing;

3) organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat :

a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada

(16)

pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

4) pejabat - pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

b. Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. termasuk:

1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya;

2) hadiah dan penghargaan; 3) laba usaha;

4) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;

5) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

(17)

6) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

7) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

8) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

9) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

11) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

12) keuntungan selisih kurs mata uang asing; 13) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14) premi asuransi;

15) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

17) penghasilan dari usaha berbasis syariah;

18) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

(18)

Penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final adalah sebagi berikut: 1) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi

dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

2) penghasilan berupa hadiah undian;

3) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

4) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

5) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur Peraturan Pemerintah.

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh zakat yang berhak atau sumbangan yang bersifat wajib bagi pemeluk agama diakui di Indonesia, yang diterima oleh keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh sumbangan yang berhak, yang diatur dengan atau berdasarkan pemerintah; dan

(19)

2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

3) warisan;

4) harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan;

5) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak;

6) pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

7) dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

(20)

b) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

8) iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

9) penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun;

10) bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

11) penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

12) beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

(21)

13) sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya; dan

14) bantuan atau santuna yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

c. Tarif Pajak

Unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak bagi wajib pajak adalah tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang – undang pajak. Besarnya tarif dalam undang – undang pajak tidak selalu ditentukan secara nilai persentase tetapi bisa dengan nilai nominal. Menurut Undang-undang PPh pasal 36 tahun 2008, tarif pajak untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen) berlaku untuk tahun 2009. Sedangkan untuk tahun 2010 dan selanjutnya tarif yang berlaku adalah 25%.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan koreksi fiskal dan pajak penghasilan (PPh) dapat dilihat didalam tabel berikut ini :

(22)

Tabel 2.3 :

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Rumusan Masalah

Metode

Penelitian Hasil Penelitian Hendy Ady Pinem (2004) Perbedaan Penentuan Laba Secara Komersial dan Fiskal pada PT Perkebunan Nusantara II (Persero) Tanjung Morawa Apakah penentuan laba yang ditetapkan perusahaan mengikuti SAK atau mengikuti peraturan perpajakan yang ditetapkan pemerintah, dan bagaimana pengaruhnya terhadap laporan keuangan yang disiapkan? Apakah penyebab perbedaan perhitungan laba tersebut? Tindakan – tindakan apa saja yang dilakukan manajemen dalam mengoreksi laba akibat perhitungan laba tersebut? Penelitian Deskriptif Perusahaan telah menggunakan prinsip akuntansi yang lazim diterima atau telah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Untuk perpajakan, perusahaan belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga laporan keuangan perlu dikoreksi sesuai dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan disebabkan dua perbedaan yakni: 1. Perbedaan waktu meliputi biaya penyusutan, amortisasi, bunga deposito, dan jasa giro

2 perbedaan tetap Meliputi imbalan dalam bentuk natura, biaya iklan, dan lain – lain.

(23)

Mindo S. Sianipar (2008) Analisis Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Pasal 25 Berdasarkan Laba Komersial dengan Laba Fiskal pada PT Indograha Nusa Sarana Medan Apakah penyebab terjadinya perbedaan antara laba komersial dengan laba fiskal? bagaimana cara melakukan koreksi fiskal untuk membuat laporan keuangan fiskal? bagaimana cara untuk menentukan besarnya pajak penghasilan terhutang sesuai dengan undang – undang perpajakan? Penelitian deskriptif Pengakuan pendapatan yang dilakukan telah sesuai dengan prinsip akuntansi maupun Undang – Undang Pajak No. 17 Tahun 2000, metode penyusutan yang diterapkan perusahaan sama dengan UU Pajak No. 17 Tahun 2000, dan perbedaan antara laba komersial dan laba fiskal disebabkan oleh perbedaan tarif penyusutan menurut akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal serta adanya perbedaan pengakuan biaya. Gindo M. Sigalingging (2010) Rekonsiliasi Laporan Keuangan Untuk Menghitung PPh Terhutang pada PT. Jamsostek (Persero) Cabang Medan Bagaimanakah pengaruh koreksi fiskal dalam menghitung PPh badan yang terutang? Penelitian deskriptif Secara umum perusahaan telah melakukan koreksi fiskal dengan baik. Pengelompokan terhadap biaya dan pendapatan yang akan dikoreksi memudahkan koreksi pada akhir tahun, sehingga tidak perlu lagi dihitung mana

(24)

biaya yang dapat dikurangkan atau yang tidak bisa dikurangkan.

C. Kerangka Konseptual

Menurut Sekaran (Hasan, 2002:48), ”kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah didefinisikan sebagai masalah yang penting.” Adapun kerangka konseptual untuk penelitian yang akan dilakukan adalah seperti berikut:

Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual Sumber : Penulis, 2010

Rekonsiliasi Fiskal berdasarkan UU Pajak

PT Perkebunan Nusantara III (persero)

Pendapatan, beban, dan Laba

Laporan Keuangan Komersial Laporan Keuangan Fiskal

(25)

PT Perkebunan Nusantara III (persero) menjalankan kegiatan operasi seperti mencakup usaha budidaya dan pengolahan tanaman kelapa sawit dan karet. Produk utama Perseroan adalah Minyak Sawit (CPO) dan Inti Sawit (Kernel) dan produk hilir karet. Pada akhir periode akuntansi Perseroan membuat laporan keuangan komersial, kemudian disesuaikan berdasarkan Undang – Undang pajak menjadi laporan keuangan fiskal untuk menentukan Pajak Penghasilan (PPh) terhutang.

Gambar

Gambar 2.1 :  Kerangka Konseptual  Sumber : Penulis, 2010

Referensi

Dokumen terkait

SAKSI DARI PEMOHON: THAMRIN PATORO (PJ BUPATI) Tidak pernah Yang Mulia. HAKIM

203 Ruangan yang luas dapat mempengaruhi akan psikologi anak dalam tumbuh dan berkembang dikarenakan ruang luas memiliki fleksibilitas yang tinggi dengan dilihat

Lain halnya dengan para pemikir lainnya yang hanya berkutat pada seruan pentingnya pembaharuan fiqh, Jamal al-Banna melakukan pembaharuan fiqh dimulai dari dasar-dasar

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

-> KONDISI BAWAH = SUHU DIDffl CAMPURAN HASIL BAWAH MENARA = ( SUHU, TEKANAN, KOMPOSISI HASIL BAWAH) Sebagai seorang designer, komposisi hasil bawah tidak perlu

Diskriminatif gender terhadap perempuan yang terdapat dalam huruf Tionghoa sebenarnya ada beberapa kata yang awalnya mengandung makna baik terhadap perempuan, tetapi berubah

Pola sebaran silikat pada lapisan di bawah termoklin di perairan sebelah selatan Selat Flores, Selat Boling, dan Selat Alor (> 15,00 µgA/L) (Gambar 6) lebih tinggi

Jika Anda tidak tahu jenis kain atau bahannya terbuat dari apa, tentukan suhu penyetrikaan yang benar dengan cara menyetrika pada bagian yang tak terlihat apabila Anda