• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II CENTRAAL WERKPLAATS NIS PADA MASA KOLONIAL. raya dan jalan militer yang dibuat guna memadamkan Perang Jawa banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II CENTRAAL WERKPLAATS NIS PADA MASA KOLONIAL. raya dan jalan militer yang dibuat guna memadamkan Perang Jawa banyak"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

CENTRAAL WERKPLAATS NIS PADA MASA KOLONIAL

A. NIS Pelopor Perkeretaapian di Indonesia

Selesainya Perang Jawa pada 1830 menyebabkan permasalahan di bidang transportasi. Akses jalan dari dan menuju Yogyakarta mengalami kerusakan. Jalan raya dan jalan militer yang dibuat guna memadamkan Perang Jawa banyak mengalami kerusakan.terlebih setelah perang selesai kondisi jalan tersebut menjadi

tidak terurus.1

Perbaikan jalan mulai dilakukan pada jalur yang menuju Semarang serta yang mengarah ke timur menuju Surakarta dengan melewati Klaten. Perbaikan jalan juga dilakukan di daerah selatan Yogyakarta, tepatnya di daerah pegunungan selatan menuju Pacitan untuk memperlancar akses perdagangan sarang burung di Rongkop, Gunung Kidul. Selain itu, dibangun juga jalan yang menuju Bagelen melewati Brosot dan Semangi menuju Purworejo pada tahun 1832.

Pembangunan fasilitas tersebut memang bertujuan mempercepat laju transportasi komoditas ekspor. Hanya saja, ada empat faktor yang masih memperlambat arus transportasi komoditas ekspor tersebut, yaitu faktor cuaca, faktor keamanan, faktor alat transportasi yang dipakai, dan faktor harga. Selain jalan yang tidak memadai akibat kerusakan pasca perang, alat angkut pun masih mengalami hambatan. Hasil perkebunan dari perbukitan biasanya diangkut dengan cara dipikul. Untuk mengangkut ke pabrik atau menuju ke sungai, diangkut dengan

1Abdurahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe, Sejarah

(2)

pedati. Dari sungai dengan menggunakan perahu, hasil perkebunan diangkut ke pelabuhan. Kapal yang akan mengekspor, menunggu di pelabuhan. Kendala penggunaan alat angkut tradisional tersebut seperti pedati sangat lambat dan daya angkut yang sangat terbatas. Begitu pula pengangkutan perahu, air pasang dari laut yang masuk ke sungai dapat menghambat.

Pada masa itu, untuk mengangkut hasil bumi dipakai gerobak yang masih ditarik sapi atau kerbau. Ketersediaan sapi dan kerbau yang terbatas serta masih

diharuskannya para pengusaha perkebunan untuk mengusahakan alat

transportasinya sendiri membuat pihak pengusaha harus membuat perjanjian kerja dengan para petani yang memiliki gerobak untuk disewa baik selama proses pengangkutan dari ladang menuju pabrik maupun dari pabrik menuju daerah pelabuhan.

Kelemahan lain dari alat angkut tradisional tersebut adalah membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk sampai di pelabuhan. Penggunaan alat angkut dengan hewan penarik seperti kerbau, sapi, dan kuda memiliki resiko yang cukup berat. Hewan penarik tersebut dapat terserang penyakit bahkan sampai mati. Kapal-kapal di pelabuhan menunggu lama. Lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di

gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut.2

Cuaca menyebabkan pengiriman komoditas menjadi tidak tepat waktu yang menyebabkan kapal-kapal di pelabuhan hilir harus menunggu lama karena barang

2Iman Subarkah, Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867-1992, (Bandung:

(3)

muatan yang tak kunjung datang. Terlambatnya pengiriman komoditas ekspor tersebut dikarenakan kondisi jalan yang berupa tanah sehingga bila hujan turun dapat berubah menjadi genangan lumpur. Tentu saja ini menyulitkan gerobak yang ditarik oleh sapi atau kerbau untuk melewatinya.

Faktor selanjutnya yaitu pengiriman lewat darat dalam jumlah besar menarik perhatian banyak orang dan tak jarang menarik perhatian banyak orang. Tidak hanya barang bawaannya saja yang memiliki resiko dicuri, resiko sapi atau kerbau yang menarik gerobak untuk dicuri atau mati dalam perjalanan juga sangat tinggi.

Selanjutnya faktor harga. Walaupun dengan banyaknya permintaan akan gerobak mengakibatkan keberadaan gerobak menjadi sangat banyak, bahkan pemilik gerobak boleh dikatakan menjadi pekerjaan semi professional, harga yang ditawarkan selalu naik karena persaingan antara perusahaan satu dan yang lainnya yang berani menyewa dengan harga tinggi. Sebagai gambaran, harga biaya angkut gerobak dengan muatan satu pikul kopi dari Kedu (Magelang) menuju Semarang saja pada tahun 1840 seharga f 3.30. Harga itu naik dari harga tahun 1833 yang

sekitar f 1.36.3

Sebagai gambaran tentang penggunaan gerobak sebagai sarana pengangkutan di Yogyakarta pada masa itu, daya jelajah gerobak tidak hanya terbatas di lingkungan Yogyakarta saja tetapi sampai wilayah diluar Yogyakarta. Biasanya gerobak tersebut dikontrak oleh pabrik gula guna mengangkut barang pada masa penanaman dan pemeliharaan tebu (untuk mengangkut bibit tebu, pupuk dan obat

3Susanto Zuhdi, Cilacap 1830-1942, Bangkit dan Runtuhnya Suatu

(4)

tanaman dari pabrik ke lahan penanaman), hingga pada masa panen tebu (untuk

mengangkut hasil panen ke pabrik).4

Untuk menjaga efektifitas pengiriman barang komoditas ekspor tersebut, Belanda mulai memikirkan skenario-skenario yang cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, impian masyarakat dan pemerintah akan kehadiran sebuah alat transportasi yang aman, cepat, dan tepat waktu semakin nyata.

Kesulitan prasarana dan sarana transportasi di pulau Jawa baik ditinjau dari sudut ekonomi serta keamanan dan pertahanan sudah dirasakan sejak awal abad-19. Pada tanggal 15 agustus 1840, munculah usul dari seorang militer ialah Kolonel Jhr. Van Der Wijk agar di pulau Jawa dibangun alat transportasi baru yakni kereta api. Seperti yang telah dilaksanakan di Eropa dan negeri Belanda yang berhasil cukup baik mengatasi masalah transportasi ini. Yang diusulkannya ialah jalur rel yang membentang dari Batavia ke Surabaya melalui Bandung, Yogyakarta, dan Surakarta.

Atas usulan ini, ada pihak yang menentang dan ada pihak lainnya yang

mendukung.5 Yang menentang umumnya dari kalangan pemerintahan, mereka

berpendapat bahwa pembangunan jalur rel ini akan membuka kesempatan masuknya modal asing. Sedang negeri Belanda sendiri akan terbebani hutang dari biaya pembangunannya dan akan terancam kehilangan daerah jajahannya. Mereka

4Edi Wikanto, “Gerobak Sebagai Sarana Transportasi Di Yogyakarta Antara

Tahun 1942-1972: Kaitannya Dengan Kondisi Sosial Ekonomi”, Skripsi, (Yogyakarta: UGM, 1986), hlm. 19.

5Oerip Simeon, Kissah kereta api Indonesia:

(5)

yang menentang usulan ini lebih menyukai perbaikan cara-cara pengangkutan tradisional dengan menambah dengan menambah jumlah hewan untuk menarik gerobag, jika perlu mendatangkan kuda, unta dan gajah dari luar negeri.

Sementara itu usulan Van Der Wijk didukung oleh J. Trom seorang insinyur kepala pada bagian pengairan dan bangunan yang mengusulkan sebaiknya jalur rel ini menghubungkan Surabaya dengan Cilacap. Karena usulan Van Dijk ini dianggap baik oleh pemerintah Kerajaan Belanda maka dikeluarkanlah Koninkijk Besluit 6 tertanggal 28 Mei 1842 yang menetapkan agar membangun jalur rel dari

Semarang ke Kedu dan Yogyakarta ke Surakarta. Keputusan ini dibuat untuk meningkatkan sarana transportasi tradisional yang masih berupa gerobag yang

ditarik oleh sapi atau kerbau.7

Pertimbangan keputusan ini selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, juga faktor keamanan dan pertahanan mengingat perang Diponegoro yang terjadi di daerah ini baru reda 12 tahun silam. Sayang keputusan ini ternyata tidak terlaksana diwujudkan, mungkin kondisi saat itu belum menunjang dan mengingat di negeri Belanda sendiri kehadiran kereta api baru berjalan selama tiga tahun.

Pada tahun 1846 Gubernur Hindia Belanda J.J. Rochussen mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda agar menolak permohonan konsesi dari pihak swasta yang tertarik menanamkan modalnya di bidang transportasi. Ia berpendapat

6Koninkijk Besluit yaitu Peraturan pusat berupa keputusan yang berasal dari

raja, Pada masa kolonial, raja Belanda berkuasa secara mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan, termasuk membuat peraturan yg berlaku umum di Hindia Belanda.

7Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I.

(6)

agar pengadaan alat transportasi kereta api dilakukan oleh pemerintah.8 Bertolak

belakang dengan usulan Rochussen, Gubernur Jenderal penggantinya A.J. Duymaer Van Twist (1851-1856) justru mengajukan usul agar Pemerintah Kerajaan Belanda mempertimbangkan usulan konsesi pihak swasta. Usul Twist disetujui Parlemen Belanda yang memang saat itu sedang bergema keras suara kaum liberal yang mendukung kehadiran pihak swasta. Sebagai jawaban atas usul-usul ini, Pemerintah Kerajaan Belanda pada tanggal 31 Oktober 1852 mengeluarkan keputusan yang menetapkan pemberian kemudahan-kemudahan bagi kalangan pengusaha swasta yang bermaksud untuk mendapat konsesi atau ijin permbukaan jalur rel atau usaha alat transportasi kereta api di pulau Jawa.

Berdasarkan keputusan tanggal 31 Oktober 1852 ini, banyak kalangan swasta mengajukan permohonan konsesi untuk membuka perusahaan kereta api dan beberapa permohonan ini berasal dari perusahaan perkebunan swasta yang sudah mulai bermunculan. Maksud mereka agar supaya perusahaan mereka dapat mampu mengangkut hasil produksi perkebunannya yang mulai melimpah.

Tetapi sampai tahun 1860 permohonan konsesi kalangan pengusaha swasta ini satupun belum ada yang diterima pemeritah dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor-faktor ini berasal dari pemerintah kolonial Belanda yang merasa belum memiliki kesiapan dalam pembangunan jalur kereta api di Hindia-Belanda. Faktor-faktor itu sebagai berikut:

8Oerip Simeon, op.cit., hlm. 42. Untuk itu J.J. Rochussen mengajukan agar

pemerintah menyediakan dana sebesar f. 2.500.000,00 untuk biaya pemasangan jalan rel antara Batavia dan Buitenzorg. Perdagangan di Hindia Belanda dirasa cukup menguntungkan bagi Kolonial, sehingga perlu dikelola oleh pemerintah Belanda.

(7)

1. Belum adanya kesepakatan di antara kalangan pemerintah perihal pengusahaan perkereta apian ini akan diserahkan kepada swasta atau dikerjakan sendiri oleh pemerintah.

2. Kesulitan lapangan karena belum ada peta yang dapat dipercaya sehingga dibutuhkan penelitian dan pemetaan lapangan terlebih dahulu.

3. Anggaran biaya yang diajukan oleh para pemohon konsesi masih merupakan perkiraan saja, belum merupakan anggaran yang nyata.

4. Tidak adanya data mengenai sarana transportasi sebagai pembanding, sehingga sulit untuk menghitung keuntungan yang akan diperoleh.

5. Sulit untuk menentukan tenaga kerja dan upahnya yang diperlukan dalam

pekerjaan.9

Selain itu masih diragukan pendapatan yang diperoleh dari mobilitas penduduk mengingat penduduk asli (orang Jawa) tidak bisa diharapkan karena budayanya tidak biasa berpergian jauh, sedang orang Eropa hanya sedikit. Sebaliknya, ada faktor obyektif lain yang menjadi dorongan pemerintah kerajaan Belanda mewujudkan pembukaan alat transportasi kereta api di Hindia Belanda. Faktor obyektif itu telah diopersikannya kereta api di India pada tanggal 16 April 1853 sebagai daerah jajahan Kerajaan Inggris.

Berhubung dengan masih terjadinya kesimpang-siuran pendapat mengenai masalah pembangunan perkeretaapian ini, Raja Belanda Willem III menugaskan T.J. Stieltjes orang kepercayaannya dan penasehat Menteri Urusan Jajahan pada tahun 1860 untuk mengadakan penelitian. Penelitian tersebut meliputi penilaian

(8)

sarana angkutan yang ada serta saran pemikiran baru untuk pemecahan masalah transportasi di Pulau Jawa yang semakin mendesak.

Saran dari Steiltjes, agar pembangunan jalur rel dari Semarang melalui Ungaran dan Salatiga. Sarannya didasarkan kepada pertimbangan agar jalur rel dapat menghubungkan pusat-pusat kedudukan tentara kolonial Belanda di Ungaran, Ambarawa dan Salatiga. Selain dari itu pemerintahan Belanda bermaksud akan menempatkan 10.000 kepala keluarga orang Belanda di daeerah pegunugan sekitar Ungaran, Bawen, Salatiga, Merbabu. Mereka akan diperuntukkan sebagai tenaga inti di perkebunan dan keturunan mereka kelak akan dijadikan tentara cadangan.

Melihat kesempatan ini, W. Poolman, Alex Fraser dan E.H. Kol pendiri dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) mengusulkan agar pembangunan jalur rel kereta api dari Semarang melalui Solo terus ke Yogyakarta. Mereka dan pemilik perkebuan menentang rencana yang diusulkan oleh Steiltjes, karenna pembangunan melalui Ungaran, Bawen, dan salatiga akan sangat mahal dan memakan waktu lama karena jalur itu terletak di daerah pegunungan yang berdekatan dengan gunung Ungaran, gunung Merbabu dan gunung Merapi.

Gubernur Jendral Belanda saat itu Mr. Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele (1861-1866) akhirnya bersedia mengabulkan usulan tersebut diatas dengan beberapa syarat. Persyaratan yang dimaksud antara lain jalur rel itu disesuaikan dengan pengarahan Menteri Urusan Jajahan Fransen van De Putte yang menginginnkan agar jalur rel kereta api antara Semarang, Surakarta, dan

Yogyakarta diperluas dengan lintas cabang dari Kedungjati ke Amabarawa.10

(9)

Dengan demikian NIS membeli konsesi itu kepada Gubernur Jendral Mr. Baron Sloot Van De Beele selaku pengawas pembangunan, dengan syarat jaminan 4.5 %

atas jumlah maksimum f. 14.000.000.11Kecuali untuk lintas cabang Kedungjati ke

Amabarawa. Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi adalah spoorwijdte12 sama

dengan standar Eropa yakni 1.435 mm.

Akhirnya dengan adanya kebutuhan yang mendesak pemerintah memberikan konsesi untuk pertama kalinya kepada beberapa orang pengusaha swasta yang kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta Nederladsch-Indische Spoorweg-Maatschappij (NIS) yang dipimpin oleh Ir. J.P. de Bordes. Pada hari Jumat tanggal 17 Juni tahun 1864, diadakan pencangkulan pertama yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele di daerah Pengapon, desa Kemijen, Semarang. Hal ini menandai masuknya transportasi kereta api pertama kali di Hindia Belanda.

Peristiwa ini menandakan dimulainya pembangunan jalur rel kereta api di pulau Jawa untuk pertama kalinya. Jalur ini menghubungkan Semarang ke Tanggung. Jalur rel sepanjang 26 km dengan spoorwijdte 1.435 mm sesuai dengan standar Eropa saat itu. Pada hari Sabtu tanggal 10 Agustus tahun 1867, jalur ini diresmikan untuk melayani angkutan umum. Stasiun pertama milik NIS ini disebut stasiun Samarang NIS. Selain Stasiun, NIS juga membangun bengkel kereta api,

11Eddy Supangkat, Ambarawa Kota Lokomotif Tua, (Salatiga: Griya media,

2008), hlm. 6.

12Spoorwijdte adalah lebar antara sisi dalam kepala rel pada lebar sepur

kereta api. Hampir enam puluh persen trek kereta api di seluruh dunia menggunakan

trek yang lebarnya 1.435 mm.Di beberapa negara ada yang menggunakan lebar trek

(10)

gudang, dan kantor administrasi pertama di Pengapon, berdekatan dengan stasiun Samarang NIS.

Pembuatan jalan kereta api Semarang-Surakarta menggunakan tenaga upah yang berasal dari daerah Blora, Rembang dan Jepara. Pekerjaan yang berat seperti mengangkut dan meratakan tanah dikerjakan oleh kuli Jawa. Kuli-kuli Cina juga diperkerjakan dengan upah harian yang lebih tinggi. Menurut Bordes, penangung jawab pemasangan seksi pertama, antara Semarang-Tanggung memerlukan sekitar 9.000 kuli, dengan upah antara 30 sen sampai f.1 dalam sehari pada tahun 1864 dan

naik menjadi 40 sen sampai f.1,50 sehari pada tahun 1867.13

Konsesi pembangunan jalur rel Batavia–Buitenzorg juga diperoleh NIS berdasarkan surat keputusan Gubernur Hindia Belanda nomor 1 tanggal 27 Maret 1864 dan nomor 1 tanggal 19 Juni 1865, serta surat keputusan Raja Belanda tangal

22 Juli 1868.14Jalur lintas dari Batavia sampai Buitenzorg ini menggunakan lebar

spoor 1.067 mm. Konsesi ini diberikan karena jalur jalan rel Batavia–Buitenzorg itu dipandang:

1. Mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, sebab bertalian erat dengan pengangkutan hasil produksi tanaman ekspor dari wilayah Priyangan, seperti kopi, teh, kina.

13Suhartono, Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta

1830-1920, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991), hlm. 131.

14Sesungguhnya rencana pembangunan jalur rel Jakarta-Bogor telah

diusulkan oleh Gubernur Jendral J.J. Rochussen yang menginginkan agar pembangunan jalur rel diserahkan kepada pemerintah Belanda bukan swasta, seperti yang sudah dijelaskan diatas. Namun usulan Rochussen waktu itu tidak disetujui Belanda, mengingat pada waktu itu keuangan negara belum memungkinkan.

(11)

2. Penting ditinjau dari sudut pandang politik dan komunikasi pemerintahan, sebab Bogor menjadi tempat kedudukan Gubernur Jendral dan pusat

administrasi pemerintahan.15

Dengan demikian pembangunan jalan kereta api Semarang-Surakarta-Yogyakarta dan Batavia–Buitenzorg ini dimaksudkan untuk membuka daerah

pedalaman Jawa yang dihubungkan dengan kota pelabuhan.16

Era Liberalisme yang sedang berlangsung di Hindia-Belanda, ternyata menarik minat pemerintah Belanda untuk membangun jaringan kereta api milik perusahaan pemerintah Belanda. Melihat peluang dari dibukanya jalur kereta api oleh NIS, maka dibentuklah badan usaha milik pemerintah Belanda yang bergerak dibidang transportasi kereta api. Staatsspoor-en Tramwegen (SS) akhirnya dibentuk oleh

pemerintah Belanda pada tahun 1878. 17 Jalur kereta api SS yang ada di Yogyakarta

berawal dari stasiun Tugu yang berdiri pada tahun 1887 dan terhubung dengan pelabuhan di Cilacap di sebelah barat Yogyakarta.

Sebagai sebuah perusahaan swasta yang pertama kali dipercaya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengeksploitasi jaringan kereta api di Jawa, NIS telah memiliki organisasi yang baik menurut standar pemerintah kolonial

15Begitu pentingnya kedudukan jalan rel ini sehingga pinjaman modal

diberikan untuk jangka waktu 99 tahun, dihitung dari dioprasikannya kereta api untuk umum. Lihat Oma Sutarma, Studi Tentang Pembangunan dan Perkembangan Kota 1868-1900. Skripsi, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1988), hlm. 43-44.

16Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 114.

17Rechardus Deaz Prabowo, “Sejarah Dan Perkembangan Stasiun Kereta

Api Tugu Di Yogyakarta 1887-1930”, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2013), hlm. 34.

(12)

Belanda pada waktu itu. Perusahaan perkeretaapian dimasa kolonial Hindia Belanda itu harus memiliki organisasi kerja sebagai berikut:

Tabel 1

Susunan Organisasi NIS No Sistem Organisasi Dinas

NIS

Keterangan

1 Dinas Administrasi Berhubungan dengan urusan personil,

keuangan dan urusan umum.

2 Dinas Jalan dan Bangunan

Kereta Api

Bertangung jawab terhadap jalan-jalan dan bangunan kereta api. Pembuatan jalan-jalan kereta api dan bangunan-bangunan, kesemuanya ditentukan oleh Gubernur Jendral yang juga menentukan pula lintasan rel yang dipasang.

3 Dinas Traksi dan Material Bertugas mengurusi lokomotif, kereta api

dan gerbong-gerbong serta semua alat maupun barang material yang digunakan oleh kereta api, serta pemeliharannya.

Perawatan lokomotif milik NIS

dilakukan di Bengkel Kereta Api Pengok.

4 Dinas Lalu Lintas dan

Angkutan

Bertugas mengurusi pengangkutan

barang maupun penumpang. Sebagai angkutan penumpang kereta api dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik.

Sumber: Auditya Martin N.R, Transportasi Kereta Api Dalam Pembangunan Kota Solo, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010), hlm. 99.

Secara keseluruhan semuanya saling berhubungan membentuk suatu struktur keorganisasian. Susunan keorganisasian pada waktu itu untuk jabatan-jabatan kepala-kepala dinas dan pembantu pembantunya yang diutamakan dari pegawai-pegawai golongan menengah seperti juru tulis sampai stasiun diduduki mayoritas orang Eropa. Pegawai-pegawai golongan menengah seperti juru tulis sampai kepala stasiun diduduki oleh orang-orang Eropa yang terlahir di Indonesia. Adapun pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga seperti kuli-kuli, tukang batu, tukang

(13)

kayu, pandai besi dan lain lain hampir seluruhnya digunakan tenaga kerja dari penduduk pribumi.

Perusahaan NIS ini, sesuai dengan disyaratkan dalam perjanjian konsesi, membangun juga rel cabang cabang dari Kedungjati ke Amabarawa, sebagai pusat kedudukan tentara kolonial Belanda semenjak perang Diponegoro (1825-1830) sepanjang 37 km yang dibuka 21 Mei 1873. Proses pembangunan jalur rel dan dioperasikannya kereta api dari Semarang sampai Yogyakarta, perusahaan NIS yang dipimpin oleh Ir. J. P. de Bordes ini merupakan pelopor Perkeretaapian di

Hindia Belanda.18

B. Bengkel Kereta Api NIS

Sekitar 1869 dan 1870 adalah tahun tahun kemunduran NIS. Walau rencana pembuatan jalur antara Semarang–Surakarta-Yogyakarta sudah di depan mata Pollman, tetapi berbagai masalah silih berganti dalam proses pembangunan jalur

kereta api dari Semarang-Surakarta seperti kekurangan modal secara keuangan19,

juga kecelakaan pekerja yang disebabkan bencana alam. Keadaan inilah yang membawa NIS terancam gulung tikar dan pengerjaan pembuatan jalur ini sering sekali terhentikan. Bahkan tidak lama kemudian pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappij voor Handel en Nijverheld Amsterdam, pemegang

18Tim Telaga Bakti, Op.Cit, hlm. 53.

19Kekurangan dalam bidang keuangan salah satunya disebabkan karena

biaya untuk pemasangan rel 1.435 mm dengan bantalan kayu jati ternyata menghabiskan lebih banyak uang. Sehingga setelah jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta, pembangunan jalur rel di pulau Jawa selanjutnya menggunakan lebar rel 1.067 mm

(14)

saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut. Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman lunak. Dengan campur tangan pemerintah tersebut, ruas jalan rel kereta api dari kedungjati hingga Solo akhirnya dapat terselesaikan dan dibuka mulai tanggal 10 Februari 1870.

Pembangunan jalan rel dari Solo ke Yogyakarta, NIS kembali mengajukan permintaan pinjam uang kepada pemerintah dengan pembebasan kewajiban pembayaran bunga. Disamping itu, kepada pemilik perkebunan calon pelanggan angkutan, NIS minta pembayaran uang muka angkutan. Pembayaran uang muka angkutan itu ditujukan kepada tuan-tuan tanah yang menggunakan jasa transportasi kereta api untuk mengangkut gula maupun hasil bumi lainnya menuju ke pusat

perdagangan maupun pelabuhan-pelabuhan untuk dijadikan barang ekspor.20

Pembayaran uang dimuka oleh para tuan-tuan tanah digunakan oleh NIS untuk melanjutkan pembangunan jalan rel Solo-Yogyakarta.

Setelah pinjaman uang dari pemerintah diberikan, pembangunan jalur kereta api di Yogyakarta mulai dilanjutkan. Solo-Ceper dibuka tanggal 27 Maret 1871, Ceper-Klaten dibuka 9 Juli 1871, dan seterusnya sampai Yogyakarta (Stasiun

Lempuyangan) dibuka pada 1 Januari tahun 1873.21 Pembuatan jalur dari Solo

menuju Yogyakarta, melewati sawah-sawah irigasi dan desa-desa yang padat

20Pembayaran dimuka ini digunakan dahulu oleh NIS untuk pembangunan

jalur rel. Lihat Auditya Martin N.R, “Transportasi Kereta Api dalam Pembangunan Kota Solo Tahun 1900-1940”, Skripsi, (Surakarta, UNS, 2010), hlm. 33.

21Sri Agus, “Perjuangan Pegawai Kereta Api di Lintas Solo-Semarang Pada

(15)

penduduknya. Bagian ini yang melewati jurang-jurang sepanjang 56,7 kilometer. Juga dibangun jalur cabang dari Solo menuju Sungai Solo, yaitu sekitar 4,5

kilometer. Bagian ini diselesaikan juga pada tahun 1873.22

Dibangunnya stasiun Lempuyangan menandai kehadiran kereta api pertama di wilayah ini yang melayani rute Yogyakarta-Semarang. Selain stasiun, Ada alasan kuat dari NIS dalam membangun stasiun disebelah timur sungai code yang lahannya luas, yakni NIS memiliki pemikiran jangka panjang bahwa stasiun ini dapat dilengkapi dengan berbagai sarana pendukung mulai dari emplasemen, bengkel perbaikan lokomotif, garasi lokomotif, dan perumahan pegawai kereta

yang tentu saja membutuhkan area yang luas.23

Pada awalnya, pembangunan kereta api swasta oleh NIS berpusat pada profit, maka pembangunan tersebut lebih ditujukan pada daerah-daerah yang memiliki potensi atau kegiatan ekonomi, seperti perkebunan, perhutanan, maupun pertambangan. Surakarta-Yogyakarta dianggap memilik profit yang tinggi bagi perkembangan NIS di pulau jawa, sehingga target awal pembangunan jalur rel

kereta diawali di daerah Semarang-Surakarta-Yogyakarta.24

Pembukaan akses jalan kereta api Semarang-Surakarta-Yogyakarta membuat pengangkutan komoditi pertanian dan hasil perkebunan menuju pelabuhan menjadi semakin cepat. Selain produksi agraris, tercatat berbagai barang dan bahan

22Djoko Suryo, Suryo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang

1830-1900, (Yogyakarta: UGM, 1989), hlm. 113.

23Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai

Revolusi, (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 165.

(16)

bangunan yang dikirim ke Stasiun-stasiun yang berdekatan dengan perkebunan. Antara tahun 1874-1883, produksi agraris yang diangkut dengan kereta api yaitu gula, kopi, tembakau, dan indigo. Sedangkan barang-barang lain dalam jumlah kecil yaitu kulit, beras, sayur-sayuran, bambu, dan kayu bakar. Bahan bangunan seperti krikil dan batu diangkut dalam jumlah besar. Barang-barang yang diangkut ke pedalaman adalah minuman keras, dan bahan-bahan bangunan, yaitu besi, mesin, dan rel.

Antara Kedungjati-Solo dan Solo-Yogyakarta yang sebagian besar terdiri atas sawah dan desa dapat dipastikan bahwa penggunaan kerja upah tidak terlalu mutlak karena di daerah ini kerja wajib dapat dilakukan dengan perantaraan para Bekel. Para Bekel mengunakan tenaga petani yang ada di sekitar jalur rel kereta api yang semula bekerja di sawah dialih fungsikan menjadi kuli-kuli pada proyek pembuatan

jalur kereta api.25

Selain jalur dan stasiun kereta api, perlengkapan lain seperti gudang mulai dibangun bersamaan dengan awal pembangunan stasiun sebagai tempat penyimpanan barang perkeretaapian dan tempat singgahnya kereta, serta dibangun juga kantor administrasi sebagai tempat kerja para pegawai NIS. Setelahnya dibangun pula bengkel kereta api sebagai tempat perawatan lokomotif dan gerbong serta rumah dinas para pegawai. NIS sebagai perusahaan swasta pertama yang membangun perkeretaapian di Hindia Belanda pada 1864, membangun Bengkel Kereta Api pertama mereka di daerah Pengapon, Semarang. Stasiun Kemijen milik

25Pembangunan jalur kereta api memerlukan biaya yang besar, sehingga hal

(17)

NIS berdekatan dengan Bengkel Kereta Api ini, karena desa Kemijen termasuk wilayah administratif Pengapon. Pada awalnya NIS membangun bengkel lokomotif di Pengapon sebagai sarana operasional saja, sehingga baik ukuran luas maupun geografis lokasi tidak terlalu diperhitungkan. Faktor pembangunan awal oleh NIS

di Pengapon26 ini selain strategis karena dekat dengan pelabuhan Tanjung Mas, juga

mempermudah untuk pekerjaan bongkar muat barang ekspor impor.

Setelah lima belas tahun NIS berdiri, perkeretaapian semakin berkembang dan Bengkel Kereta Api di Pengapon semakin lama tidak mampu menampung jumlah lokomotif yang semakin banyak. Selain itu debit air yang semakin naik di Semarang utara terutama sekitar daerah Pengapon, mengancam keberlangsungan perkeretaapian. Air laut dapat semakin naik seiring dengan menurunnya permukaan

tanah di Pengapon.27 Para petinggi NIS memprediksi bahwa daerah Pengapon ini

dalam 20 tahun mendatang akan terkena rob air laut. Akhirnya para dewan direksi NIS mencari lokasi yang tepat guna memindahkan stasiun Samarang NIS, kantor administrasi dan Bengkel Kereta Api ke tempat yang lebih besar dan lebih aman.

Para dewan direksi NIS pun akhirnya sepakat bahwa bengkel lokomotif akan dipindahkan dari Semarang menuju Yogyakarta, sedangkan stasiun Samarang NIS dipindahkan ke daerah Tawang dengan membangun stassiun baru, serta

26Bengkel kereta api di Pengapon ini disebut juga Spoorland karena

banyaknya lokomotif dan jalur rel di daerah tersebut. Bengkel kereta api ini masi berupa bangunan sederhana, dengan konstruksi dari kayu. Lihat Lampiran 2.

27Daerah di Pengapon termasuk tanah basah, karena berdekatan dengan

pelabuhan. Sehingga dalam perkembangannya tidak mampu menahan beban berat dari bangunan di atasnya, seperti stasiun, rel, dan lokomotif yang semakin banyak tiap tahunnya. Lihat Lampiran 3.

(18)

membangun kantor administrasi baru di Bodjongweg (Sekarang Jl. Pemuda) Semarang. Lempuyangan yang pada waktu itu baru dibangun stasiun kereta api dan memiliki lahan yang cukup luas akhirnya dipilih sebagai tempat dibangunnya balai yasa pengganti dari NIS. Dipilihnya wilayah ini selain memiliki daerah yang luas, juga jauh dari ancaman bencana alam. Daerah Lempuyangan ini berada jauh dari laut dan gunung berapi, sehingga ancaman kerusakan akibat bencana alam dapat dihindari. Alasan lain pembangunan balai yasa di Yogyakarta yaitu juga dijadikan kantor cabang pengawas kereta api di daerah Surakarta-Yogyakarta, sehingga dalam berdirinya Bengkel Kereta Api juga terdapat kantor cabang para pegawai NIS.

Bengkel Kereta Api Pengok berdiri pada tahun 1914 oleh NIS. Pembangunan Bengkel Kereta Api ini merupakan perpindahan dari bengkel kereta api pertama NIS di Pengapon, Semarang. Pembangunan Bengkel Kereta Api ini di ketuai oleh Insinyur F. A. Yepes, P. Binkhorst dan W. A. Slinkers, dan diawasi pembangunanya

oleh Dinas Bangunan dan Jalan NIS.28 Peresmian Bengkel Kereta Api Pengok

hampir bersamaan dengan dibukanya stasiun Tawang di Semarang yang juga merupakan perpindahan dari stasiun Samarang NIS. Nama awal bengkel kereta api

ini pada masa kolonial yaitu Centraal Werkplaats.29

28Auditya Martin N.R, “Transportasi Kereta Api dalam Pembangunan Kota

Solo Tahun 1900-1940”, Skripsi, (Surakarta, UNS, 2010), hlm. 88. Dfdsfdfdf

29Central Werkplaats pada masa kolonial berarti bengkel pusat. Nama ini

merujuk pada posisi dan fungsi dari bengkel tersebut yang dijadikan sebagai bengkel pusat perbaikan lokomotif oleh NIS. Seluruh lokomotif NIS baik yang berdinas di daerah Yogyakarta maupun di luar kota, diperbaiki di Bengkel Kereta Api Pengok ini.

(19)

Bengkel Kereta Api NIS di Yogyakarta dibangun diatas tanah seluas 128.800

m2 serta dengan luas bangunan 43.700 m2 yang terletak di daerah Pengok, sebelah

timur stasiun Lempuyangan. Bangunan balai yasa terdiri dari bangunan utama seperti bengkel kereta api, serta bangunan umum seperti kantor administrasi NIS. Dengan perpindahan lokasi bengkel lokomotif ini, praktis Bengkel Kereta Api NIS di Pengapon mulai ditinggalkan dan segala kegiatan perbaikan lokomotif uap dipusatkan di Pengok Yogyakarta.

Bangunan Bengkel Kereta Api Pengok hampir sama dengan milik NIS lainnya, yaitu masih bergaya Indisch Empire dengan penyesuaian terhadap iklim lokal

tropis30. Bangunan Indisch ini biasanya menggunakan atap pelana serta banyak

bukaan untuk penghawaan. Pintu dan jendela yang besar pada bangunan balai yasa berguna untuk sirkulasi udara dan pencahayaan dari sinar matahari. Perhatian terhadap iklim tropis lembab seperti di Hindia Belanda tetap mendapat perhatian utama dalam desain-desain bangunan Kolonial.

Bangunan atap bengkel berupa struktur ringan dengan kolom-kolom besi profil yang mendukung atap pelana lebar dengan penutup seng. Penggunaan seng sebagai penutup atap bengkel memberikan kesan ringan dan luas dalam kegiatan

memperbaiki lokomotif.31 Dalam finishing ruangan kantor, dominasi warna putih

menutup hampir semua tembok bagian dalam. Dari penelitian para arsitek pencinta

30Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indische Empire

sebagai standar dalam pembangunan gedung-gedung seperti stasiun kereta api, kantor pos, gedung-gedung perkumpulan, pertokoan, dan lain-lain, baik milik pemerintah maupun swasta.

31Konstruksi dari Bengkel Kereta Api Pengok masih sederhana, belum

(20)

bangunan bersejarah, material dasar bangunan Bengkel Kereta Api ini pada waktu didirikan berasal dari batu yang dilapisi semen tumbukan bata merah dan kapur.

Cat yang digunakan juga masih sederhana, hanya kapur.32

Bengkel Kereta Api Pengok termasuk dalam Dinas Traksi dan Material yang diketuai oleh W. Corver, serta Wakil Ketua J. C. W. Herweyar. Dikantor Balai Yasa Pengok juga terdapat Insinyur Bangunan A. I. Vanleer, serta Ahli Mekanik G. T. H. Kroese. Insinyur bangunan dan ahli Mekanik bertugas menjadi pimpinan dalam memelihara seluruh lokomotif serta bangunan milik NIS, sementara para pekerja

kasar mekanik dan kuli bangunan menggunakan penduduk pribumi.33

Empat tahun setelah Bengkel Kereta Api Pengok berdiri, pada tahun 1918 NIS telah memperkerjakan 2814 pegawai tinggi, menengah dan rendah, dengan perincian sebagai berikut: 179 orang adalah pegawai tinggi yang diduduki orang-orang Belanda yang lahir di Eropa, 564 orang-orang pegawai menengah yaitu orang-orang Belanda yang lahir di Hindia Belanda atau orang pribumi yang berstatus kebangsaanya disamakan dengan orang Eropa, dan 2071 orang pegawai rendah yang seluruhnya terdiri dari para penduduk pribumi. Pegawai rendah yang diperuntukkan bangsa pribumi adalah pekerjaan yang bersifat kasar atau disebut juga sebagai kuli kereta api serta pekerja bengkel lokomotif. Pegawai pribumi di Bengkel Kereta api Pengok berjumlah 600 orang yang terbagi kedalam beberapa

32Nurhikmah Budi Hartanti, dkk, Stasiun Kereta Api Di Pulau Jawa

Indonesia, (Jakarta: PT. Kereta Api Pusat Pelestarian Benda Dan Bangunan, 2010), hlm. 92.

33Status masyarakat pribumi di birokrasi Belanda menduduki tingkatan

(21)

divisi bagian yaitu: Divisi Kayu, Divisi Logam, Divisi Rangka dan Roda, serta Divisi Mesin. Jumlah tenaga ahli di Bengkel Kereta Api Pengok berjumlah 200 orang, yang merupakan campuran dari tenaga ahli Belanda dan tenaga ahli Pribumi. Gaji perbulan di Bengkel Kereta Api Pengok sekitar f 60 untuk tenaga ahli dan f 20-40 untuk pekerja rendah dan pribumi. Ahli-ahli pribumi yang berpendidikan seperti teknik mesin dapat bekerja di Bengkel Kereta Api Pengok, namun

jabatannya masih dibawah orang-orang Belanda.34

C. Peran Centraal Werkplaats Masa Kolonial

Perawatan berkala merupakan syarat mutlak bagi peralatan kereta api. Untuk keperluan tersebut maka dibangunlah Bengkel Kereta Api dengan peralatan yang memadai. Didekat Bengkel Kereta Api Pengok juga dibangun gudang guna menyimpan suku cadang dan berbagai peralatan lainnya serta sebagai toko yang berisi peralatan bagi keperluan kereta api. Peralatan tersebut dipelihara dan dirawat sehingga bila bengkel memerlukannya, peralatan tersebut selalu dalam keadaan siap pakai.

Setiap lokomotif yang hendak mengalami perbaikan di Bengkel Kereta Api Pengok sebelumnya dibongkar agar tiap-tiap komponennya dapat dilakukan pengujian satu per satu. Komponen-komponen yang telah dibongkar kemudian dilakukan pengujian di stasiun-stasiun pengujian tertentu. Setelah dilakukan pengujian masing-masing komponen selanjutnya dirangkai kembali dalam bentuk

34Sri Retna Astuti, Kereta Ambarawa – Jogjakarta Suatu Kajian Sejarah

Sosial Ekonomi Pada Abad Ke-19, (Yogyakarta: Laporan Penelitian Jurahnitra, 1994), hlm. 13.

(22)

utuh lokomotif kereta api. Pada masa Kolonial, semua lokomotif milik NIS diperbaiki di Bengkel Kereta Api Pengok. Bengkel Kereta Api Pengok tidak melayani perbaikan lokomotif maskapai lain, sehingga sudah pasti setiap perusahaan kereta api memiliki bengkel kereta api mereka sendiri.

Tabel 2

Lokomotif NIS 1.435 mm Yang Diperbaiki Di Bengkel Kereta Api Pengok Pada Masa Kolonial.

Seri Lokomotif Tahun Kedatangan

Pabrik Tahun

Perawatan

NIS 3-6 1866 Beyer Peacock 1916, 1921, 1926,

1931, 1936, 1941

NIS 7 1881 Borsig 1916, 1921, 1926,

1931, 1936, 1941

NIS 13-14 1870 Borsig 1915, 1920, 1925,

1930, 1935, 1940

NIS 15-16 1870 Beyer Peacock 1915, 1920, 1925,

1930, 1935, 1940

NIS 17-19 1872 Beyer Peacock 1917, 1922, 1927,

1932, 1937, 1942

NIS 20-21 1875 Beyer Peacock 1915, 1920, 1925,

1930, 1935, 1940

NIS 22-23 1880 Beyer Peacock 1915, 1920, 1925,

1930, 1935, 1940

NIS 24-25 1884 Beyer Peacock 1914, 1919, 1924,

1929, 1931, 1939

NIS 26-27 1885 Beyer Peacock 1915, 1920, 1925,

1930, 1935, 1940

NIS 28-29 1893 Beyer Peacock 1918, 1923, 1928,

1933, 1938

NIS 30-31 1898 Beyer Peacock 1918, 1923, 1928,

1933, 1938

NIS 32-33 1901 Beyer Peacock 1916, 1921, 1926,

1931, 1936, 1941 NIS 51-53 1903 Werkspoor 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 54-57 1905-6 Werkspoor 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 61-64 1912 Hartmann 1917, 1922, 1927, 1932, 1937, 1942 NIS 65-68 1922-3 Hartmann 1928, 1933, 1938

(23)

NIS 81-86 1902 Hartmann 1917, 1922, 1927, 1932, 1937, 1942 NIS 87-88 1906 Hartmann 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 89-90 1910 Hartmann 1915, 1920, 1925, 1930, 1935, 1940 NIS 91-94 1914 Hartmann 1919, 1924, 1929, 1934, 1939

NIS 101-104 1894 Backer & Rueb 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939 NIS 105 1885 Hanomag 1915, 1920, 1925, 1930, 1935, 1940 NIS 106 1895 Hanomag 1915, 1920, 1925, 1930, 1935, 1940 NIS 107 1901 Hanomag 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 121-124 1923 Hartmann 1928, 1933, 1938 NIS 151-156 1910 Werkspoor 1915, 1920, 1925, 1930, 1935, 1940 NIS 157-160 1912 Werkspoor 1917, 1922, 1927, 1932, 1937, 1942 Sumber: De Stoomtractie op Java en Sumatra by J.J.G. Oegema PNKA Power

Parade by A. E. Durrant, reproduced with corrections in Incredible Indonesia, by Rob Dickinson, 1972.

Data di atas merupakan daftar lokomotif NIS yang memiliki lebar rel 1.435 mm. Semua lokomotif NIS yang berdinas di Hindia Belanda diperbaiki di balai yasa

Pengok, baik yang berdinas di Yogyakarta maupun dari luar daerah.35 Selain

lokomotif dengan lebar rel 1.435 mm, NIS juga memiliki lokomotif dengan lebar rel 1067 mm yang juga diperbaiki di Bengkel Kereta Api Pengok. Lokomotif 1.435 mm ini semuanya berdinas di Semarang-Surakarta-Yogyakarta, ini berdasarkan hak konsesi yang sudah diterima NIS bahwa pembangunan Surakarta-Yogyakarta menggunakan lebar rel 1.435 mm. NIS 3-7 berdinas di rute Semarang-Tanggung, lalu NIS 13-14, 15-16, 17-19, 20-21, 22-23, 24-25, 26-27, 28-29, 30-31,

35Seluruh lokomotif milik NIS mengalami perbaikan dan perawatan di

(24)

NIS 151-156, serta NIS 157-160 menggunakan rute Semarang-Solo-Yogyakarta ataupun sebaliknya. NIS juga memiliki lokomotif yang berdinas khusus di daerah Yogyakarta yaitu NIS 101-104, 106 dan NIS 107.

Pada tahun 1895, NIS berhasil membangun jalan rel rute Yogyakarta– Srandakan (23 km, gauge 1.435 mm) kemudian dilanjutkan rute Srandakan– Ngabean–Palbapang–Brossot–Sewugalur (5 km, gauge 1.435 mm) mulai beroperasi tahun 1916 dan rute Ngabean – Pasargedeh – Pundong (27 km, gauge 1435 mm) mulai beroperasi tahun 1919. Untuk melayani rute tersebut, NIS mendatangkan 2 lokomotif uap tipe C2-Lt yang kemudian diberi nomor NIS 106 – 107, lokomotif tipe C2-Lt ini didatangkan dari pabrik Hanomag (Jerman).

Setelah jalan rel (dengan gauge 1435 mm) di kota Yogyakarta bagian selatan selesai dibangun kemudian NIS 106 didatangkan pada tahun 1895 dan NIS 107 didatangkan pada tahun 1901. NIS 106 dan NIS 107 dirancang untuk beroperasi di jalan rel dengan gauge 1435 mm. Lokomotif tipe C2-Lt (NIS 105 – 107) ini digunakan untuk menarik rangkaian kereta campuran yang terdiri dari kereta penumpang dan gerbong barang pada rute jarak dekat.

Lokomotif tipe C2-Lt dengan susunan roda 0-6-0T merupakan lokomotif yang memiliki silinder berdimensi 285 mm X 440 mm dengan roda penggerak berdiameter 931 mm. Berat keseluruhan 16,5 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 40 km/jam. Lokomotif tipe C2 menggunakan bahan

bakar kayu jati atau batubara.36

36Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 40 km/jam. Lihat

Yoga Bagus Prayogo. dkk, Kereta Api Di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap, (Yogyakarta: Jogja Bangkit, 2017), hlm. 30.

(25)

Pada masyarakat Srandakan, mobilitas sosial yang terjadi di daerah ini meningkat seiring jalur kereta api Jogja-Brosot dibuka untuk umum. Pihak perkebunan yang berada diwilayah Srandakan juga membutuhkan buruh-buruh untuk menggarap perkebunan didatangkan dari luar wilayah Srandakan. Interaksi ini menjadi tidak dapat dihindarkan seiring meningkatnya jumlah penumpang di jalur ini. Pertumbuhan penduduk di daerah pemberhentian kereta api begitu pesat,

sejalan dengan majunya transportasi.37

Munculnya jalur kereta api Jogja-Srandakan membawa dampak baik bagi masyarakat disekitar jalur kereta api. Berkembangnya daerah yang dulunya terpencil yang mulai berubah ramai dengan kedatangan orang-orang dari wilayah lain membuat daerah di sepanjang jalur ini menjadi terkenal. Hasilnya pertumbuhan ekonomi daerah tersebut juga naik seiring ramainya lalu lintas kereta api dijalur

ini.38 Tingginya mobilitas juga menyebabkan adanya kecenderungan beberapa

kaum urban untuk mengelompok dan membentuk pemukiman disepanjang pinggiran rel kereta api, kolong jembatan, serta tanah-tanah yang belum digunakan sebagai tempat tinggal, termasuk bantaran kali.

Selain dari masyarakat pedesaan Yogyakarta penduduk dari luar kota juga banyak yang datang ke Yogyakarta untuk menjadi buruh pabrik perkebunan. Akibat yang ditimbulkan sangat banyak, dari membanjirnya buruh-buruh di daerah

37Eko Anshari, Jalur Kereta Api Yogyakarta-Srandakan: Kajian Tentang

Perkembangan Dan Pengaruhnya Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Srandakan Tahun 1895-1930, Skripsi, (Yogyakarta: UNY, 2014), hlm. 93.

38Wilayah-wilayah yang berkembang meliputi Ngabean, Dongkelan, Cepit,

Winongo, Bantul, Palbapang, Bajang, Bathikan, Pekodjo, Mangiran, Srandakan, Brosot, dan Sewu Galur. Lihat Lampiran 14,15,dan 16.

(26)

perkebunan, semakin ramainya daerah pedesaan yang dilewati kereta api, dan mudahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daerah-daerah di pedalaman, menyebabkan mudahnya masyarakat pendatang dengan penduduk asli.39

Selain jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta yang menggunakan lebar rel 1.435 mm, NIS membangun jalur kereta api di daerah barat dan timur pulau Jawa dengan lebar rel 1.067 mm. Jalur Batavia-Buitenzorg (Bogor) merupakan jalur pertama dengan lebar rel 1.067 mm milik NIS.

Tabel 3

Lokomotif NIS 1.067 mm Yang Diperbaiki Di Bengkel Kereta Api Pengok Pada Masa Kolonial.

Seri Lokomotif Tahun Pembuatan

Pabrik Tahun

Perawatan

NIS 331-332 1871 Beyer Peacock 1916, 1921, 1926,

1931, 1936, 1941

NIS 336 1884 Beyer Peacock 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939

NIS 337-339 1898-9 Beyer Peacock 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939 NIS 306-314 1898 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 315-325 1900-1 Hartmann 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 231-233 1902 Esslingen 1917, 1922, 1927, 1933, 1938 NIS 234-235 1906 Esslingen 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 250 1899 Hartmann 1914, 1919, 1924, 1929, 1934, 1939

39Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995) hlm. 20. Para pekerja pabrik gula dapat menggunakan sarana transportasi kereta api untuk menuju ke perkebunan tebu. Biasanya perkebunan tebu pada zaman ini muncul berdekatan dengan pabrik gula. Hal ini dikarenakan pabrik gula tersebut menyewa lahan pertanian penduduk sekitar untuk ditanami tanaman tebu. Pabrik gula yang dilalui oleh jalur Stasiun Tugu adalah pabrik gula di daerah Rewulu, Klaci, Sedayu, dan Sewugalur (Kulon Progo)

(27)

NIS 252, 254 1901 Hartmann 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 258 1908 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 260-262 1908 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 251 1899 Hartmann 1914, 1919, 1924, 1929, 1934, 1939 NIS 253, 255 1901 Hartmann 1916, 1921, 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 256-257 1902 Hartmann 1917, 1922, 1927, 1933, 1938 NIS 259 1908 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 351-356 1903 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 357-360 1912 Hartmann 1917, 1922, 1927, 1933, 1938 NIS 263 1908 Hartmann 1918, 1923, 1928, 1933, 1938 NIS 271-280 1909 Werkspoor 1914, 1919, 1924, 1929, 1934, 1939 NIS 281-285 1911-2 Werkspoor 1917, 1922, 1927, 1933, 1938

NIS 301-303 1872 Beyer Peacock 1917, 1922, 1927,

1932, 1937, 1942

NIS 304-305 1879 Beyer Peacock 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939

NIS 333-335 1879 Beyer Peacock 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939

NIS 209 1919 Backer & Rueb 1924, 1929, 1934,

1939

NIS 201-202 1897 Backer & Rueb 1914, 1919, 1924,

1929, 1934, 1939

NIS 203-206 1898 Backer & Rueb 1918, 1923, 1928,

1933, 1938 NIS 381-385 1919 Werkspoor 1924, 1929, 1934, 1939 NIS 386-390 1921 Henschel 1926, 1931, 1936, 1941 NIS 391-395 1923 Werkspoor 1928, 1933, 1938

NIS 396-400 1922 Beyer Peacock 1927, 1932, 1937

Sumber: De Stoomtractie op Java en Sumatra by J.J.G. Oegema PNKA Power Parade by A. E. Durrant, reproduced with corrections in Incredible Indonesia, by Rob Dickinson, 1972.

(28)

Lokomotif NIS dengan lebar rel 1.067 mm kebanyakan berdinas di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan ada beberapa lokomotif yang berdinas di Batavia-Buitenzorg. NIS merasa pembangunan awal jalur kereta api dengan lebar rel 1.435 mm lebih memakan biaya dan tenaga kerja yang besar, sehingga selain lintas Semarang-Surakarta-Yogyakarta, NIS menggunakan lebar rel 1.067 mm.

Jalur Batavia-Buitenzorg NIS menggunakan lokomotif dengan seri NIS 331-332 serta NIS 336. Jalur Solo-Yogyakarta, NIS menggunakan lokomotif NIS 306-314. Untuk jalur Semarang-Bedono-Ambarawa, NIS menggunakan lokomotif NIS 231-233 dan NIS 234-235 buatan dari pabrik Esslingen, dari Jerman. Rute ini menggunakan rel khusus bergerigi. Kontur daerahnya yang berbukit dan cukup tinggi tingkat kemiringannya, sehingga NIS membangun jalur ini mmenggunakan gerigi ditengah-tengah rel agar lokomotif serta gerbong tidak tergelincir dan jatuh saat memasuki rute menanjak maupun menurun. Untuk jalur Semarang Tawang-Pasar Turi Surabaya, NIS menggunakan lokomotif NIS 371-380.

Ada juga beberapa lokomotif NIS yang berdinas di lintas Yogyakarta-Jawa Tengah. Beberapa diantaranya NIS 250 yang bertugas di lintas Yogyakarta-Magelang. Jalur ini menjadi semakin ramai dengan adanya kereta api, NIS akhirnya menambah 7 lokomotif pada tahun 1900-1908. Pada tahun 1924-1931 tercatat semua lokomotif di jalur ini dikonservasi dan dilengkapi dengan teknologi Superheater.40 Penambahan teknologi Superheater ini dilakukan di Bengkel Kereta

40Teknologi Superheater ini langsung populer pada tahun 1920 an.

Superheater berfungsi untuk menaikkan suhu uap sehingga bisa dihasilkan uap yang lebih kering. Hal ini akan mengurangi pemakaian dan lebih menghemat bahan

bakar.namun di sisi lain ada biaya tambahan yang diperlukan untuk perawatan yang

(29)

Api Pengok sesuai dengan jadwal perawatan lokomotif masing-masing. NIS 271 berdinas di jalur Yogyakarta-Magelang-Parakan. Mulai bertugas pada tahun 1914, Lokomotif ini bertugas menarik kereta ekspres.

Selain pekerjaan perbaikan di bengkel-bengkel, ada lagi tugas perawatan harian berbagai armada kereta api yang pekerjaannya di depo-depo. Depo berada pada lintas yang dilalui kereta api yang bersangkutan. Selain perawatan, depo juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai armada kereta api. Depo lokomotif di stasiun Lempuyangan berada di Los bunder, berdekatan dengan Bengkel Kereta Api Pengok. Ditempat ini juga disediakan bahan bakar, bahan pelumas, dan pengaturan tugas gilir para karyawan kereta api. Hal ini terlihat dari keteraturan jadwal kerja para pegawai untuk mengoperasikan lokomotif, pengatur rumah sinyal dan rel untuk menghindari kecelakaan dan mengatur keluar masuknya kereta dari dan menuju stasiun, penjaga loket, kondektur di atas gerbong, sampai para pegawai

yang melakukan bongkar muat di gudang penyimpanan.41

Perawatan di depo bersifat pengecekan fisik, artinya hanya melakukan perbaikan bagian luar dari lokomotif atau gerbong kereta. Sementara di Bengkel Kereta Api memperbaiki bagian mesin dan komponen dalam lokomotif. Kereta api yang diperbaiki di Bengkel Kereta Api biasanya sudah mengalami kerusakan mesin, maupun kecelakaan sehingga diperlukan perawatan secara besar-besaran.

41Departemen Perhubungan Jawatan Kereta Api, Sejarah Perkeretaapian

Indonesia I, (Bandung: Departemen Perhubungan Perusahaan Jawatan Kereta Api,

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini akan dapat menjadi terobosan baru dalam hal pengolahan terong yang ternyata memiliki gizi tinggi, serta dapat menambah nilai jual dari terong itu sendiri sehingga

Hasil analisis ragam interaksi periode simpan dan formula coating menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot 1,000 butir benih, daya berkecambah, keserempakan tumbuh (K

Penelitian mengenai teknik relaksasi benson telah dilakukan oleh Masoume Rambod, dkk (2013) dengan judul “The Effect of Benson’s Relaxation Technique on the Quality of

Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan (1) wujud penanda wujud penanda referensi dalam wacana tajuk rencana pada surat kabar Republika

Bergegaslah menjalankan usaha sederhana dengan menjadi penyuplai maupun agen resmi dari Surga Bisnis Group ﴾Surga Pewangi Laundry﴿. BERIKUT INI TARGET MARKET 

Willem Iskandar Pasar V Medan Estate Medan 20221 Telp... PANITIA SERTIFIKASI GURU RAYON 102 UNIVERSITAS

Untuk kontraktor dengan kualifikasi usaha gred 2, faktor utama yang mempengaruhi kualitas pekerjaan proyek konstruksi di Kabupaten Manggarai Timur adalah frekuensi pembayaran