• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUMPUR PANAS LAPINDO: LAHIRNYA SUBYEK DAN PERUBAHAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LUMPUR PANAS LAPINDO: LAHIRNYA SUBYEK DAN PERUBAHAN SOSIAL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

LUMPUR PANAS LAPINDO: LAHIRNYA SUBYEK DAN

PERUBAHAN SOSIAL

Muchamad Zaenal Arifin1), Wahyu Budi Nugroho2), Gede Kamajaya3)

1,2,3)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Email: Arifin_m64@ymail.com1, Wahyubudinug@unud.ac.id2, Kamajaya@unud.ac.id3

ABSTRACT

The purpose of this study to describe the social change at lapindo hot mud victims in Porong, Sidoarjo. The method of this research is descriptive qualitative to understand how lapindo hot mud victims make a social change as social subject. To collect the data this research use interview, observation, and documents. The results of this study found that many of lapindo hot mud victims started their life from beginning with built a new social construction as a separated subject from their old social form. Through the reform as a subject, lapindo hot mud victims were capable to build social change within social, economic, and cultural aspects.

Keyword : Lapindo Hot Mud, Subject, Social Change

1. PENDAHULUAN

Tragedi lumpur panas lapindo, Porong, Sidoarjo, merupakan bencana alam sekaligus tragedi kemanusiaan era modern. Lumpur panas lapindo, pada mulanya muncul pada kurun tahun 2006 yang diakibatkan oleh human error ketika dilakukannya eksplorasi minyak dan gas oleh PT. Minarak Lapindo Brantas. Menurut data yang dihimpun dari perpustakaan Bappenas, total kerugian dari aspek ekonomi mencapai Rp. 78,4 trilliun dan secara sosial menyebabkan hilangnya pemukiman penduduk, lapangan pekerjaan, sekaligus struktur sosial masyarakat.

Dalam kurun waktu 2006-2016, pemerintah serta pihak swasta dalam hal ini PT. Minarak Lapindo Brantas telah memberikan berbagai solusi untuk menanggulangi dampak masif kepada korban di area terdampak lumpur panas lapindo. Bantuan tersebut kemudian secara resmi dilaksanakan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan PT. Minarak Lapindo Brantas. Adapun bantuan yang didistribusikan oleh BPLS antara lain ganti rugi lahan pada area terdampak baik berupa uang tunai ataupun rumah siap huni. Akan tetapi, bantuan yang dialokasikan oleh BPLS tidak serta merta menyelesaikan berbagai masyarakat korban

lumpur panas lapindo. Hal tersebut didasarkan pada faktor-faktor sosiologis, dimana dampak luapan lumpur lapindo turut menghilangkan interaksi sosial, struktur sosial, dan fungsi sosial dalam masyarakat. Dalam upaya membentuk kembali pola sosial, korban lumpur panas lapindo memilih untuk tingggal di pemukiman baru baik tinggal di sekitar wilayah Sidoarjo atau kembali ke daerah asal. Hal yang patut diperhatikan, secara sosial individu-individu diharuskan untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan baru serta diharuskan untuk membangun kembali keadaan ekonomi dan budayanya sebagai makhluk sosial.

2. KAJIAN PUSTAKA

2.1

LUMPUR PANAS LAPINDO

Tragedi lumpur panas terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa tersebut terjadi ketika banji lumpur panas menggenangi dan menyebar di area persawahan milik warga, pemukiman penduduk, dan area industri yang berada di sekitar pusat semburan. Menurut investigasi yang dilakukan, luapan lumpur panas lapindo diakibatkan oleh bocornya dinding sumur pengeboran yang dilakuakn oleh PT. Minarak Lapindo Brantas.

(2)

2

Sejak kemunculannya pada tahun 2006 hingga tahun 2010, setidaknya luapan lumpur telah menggenangi dua kecamatan yaitu Porong dan Tanggulangin serta puluhan desa di dua kecamatan tersebut.

2.2 SUBYEK

Menurut (Žižek, 1993: 21-22) subyek dijelaskan sebagai ketiadaan, kekosongan formal murni yang tertinggal dari keutuhan subtansialnya setelah dilempar pada determinasi predikatnya. Subyek dengan potensi tindakan, berupaya bergerak melawan subyektivikasi serta berupaya membentuk pengaruh sosial dalam lingkungannya secara positif. Secara sosiologis, subyek merupakan pelaku tindakan yang potensinya dimiliki oleh setiap individu dalam membentuk sekaligus mempengaruhi struktur sosial yang ada disekitarnya. Pandangan sosiologis tentang subyek memiliki definisi bahwa manusia merupakan makhluk sosial di mana secara sosial dan individual memiliki korelasi yang saling membentuk satu sama lain (Barker, 2004: 178). Dalam (Robet, 2010: 81) kemampuan subyek dalam pola tindakan dapat dikatakan sebagai subyek otonom, apabila subyek tidak terikat pada belenggu simbolik dan struktur. Secara lugas, subyek membentuk dirinya sebagai aktor sosial yang mampu menciptakan perubahan sosial.

2.3 PERUBAHAN SOSIAL

Menurut Macionis, dalam (Sztompka, 2004: 5) perubahan sosial dijelaskan sebagai transformasi dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan dalam tata perilaku pada waktu tertentu. Perubahan sosial dalam hal ini terjadi pada tingkat hubungan sosial, lembaga, dan struktur sosial yang berkaitan dengan sistem mikro, mezzo, dan makro yang turut dihubungkan pula dengan lahirnya subyek aktor sosial dalam mendorong dan menciptakan perubahan sosial. Subyek yang menjadi aktor sosial dikatakan memiliki motif dan pilihan individual dalam menjalin hubungan atau interaksi pada tataran makro. Dapat dijelaskan pula, perubahan sosial memiliki tiga ciri yang menandai perkembangan kondisi tersebut, yaitu: a. Menuju ke arah tertentu dalam arti

keadaan yang berubah menuju pada

kondisi yang berbeda dan tidak kembali pada posisi sebelumnya.

b. Perubahan sosial mencerminkan perubahan pada tingkatan yang lebih baik atau positif, melampaui keadaan pada pola sebelumnya.

c. Perubahan yang terjadi dipicu oleh faktor-faktot internal di dalam masyarakat.

Perkembangan dalam perubahan sosial, diartikan sebagai bagian dari dinamika-dinamika yang bertujuan dalam mencapai sebuah status kemajuan sosial baik.

3. METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini turut menjelaskan, menyelidiki dan mendeskripsikan guna memahami secara holistik upaya-upaya yang dilakukan masyarakat korban luapan lumpur lapindo sebagai subyek sosial dalam menciptakan perubahan sosial guna mewujudkan tata sosial baru sebagai makhluk sosial. Sumber data yang digunakan dalam peelitian ini adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen.

Locus penelitian ini berada di wilayah

Sidoarjo, Jawa Timur.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan sosial meliputi tingkat terkecil dinamika sosial, perkembangan sistem sosial, serta aspek-aspek sosial lainnya. Dalam sebuah perubahan sosial, tingkat terpenting sebagai prasyarat terciptanya perubahan sosial adalah keseimbangan dan kemajuan proses sosial dalam masyarakat yang di inisiasi oleh subyek-subyek sosial yang di dalamnya. Luapan lumpur panas lapindo yang telah berjalan sekitar sepuluh tahun, telah menciptakan berbagai fenomena sosial yang tentunya berkorelasi dengan fenomena lain baik secara ekonomi, budaya, dan politik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, secara garis besar dapat ditarik benang merah bahwa masyarakat korban luapan lumpur lapindo terkategori secara sosial mereka membentuk kehidupan baru serta berupaya untuk mengembalikan modal

(3)

3

ekonomi, dan modal budaya. Akan tetapi, hal yang menarik dari perubahan sosial akibat alam berupa luapan lumpur, mampu menciptakan perubahan sosial baru. Masyarakat pun turut berpartisipasi secara aktif sebagai aktivis lingkungan yang berjuang untuk membantu masyarakat korban lain luapan lumpur lapindo untuk memperoleh haknya serta berupaya menolak pengeboran sumur baru yang berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan.

Menilik fakta tersebut, hal tersebut secara teoritis mampu dijelaskan sebagai bentuk-bentuk orientasi subyek terhadap struktur sosial (Basrowi & Soenyono, 2004: 128-129) yang dapat dijelaskan sebagai berikut,

Pertama, orientasi rutin-praktis,

yaitu subyek secara psikologis hanya mencari keadaan aman dan berusaha menjauhi berbagai akibat dari tindakan-tindakan yang sifatnya tidak disadari dan secara simultan terjadi. Dalam kaitan dengan fenomena luapan lumpur lapindo, subyek dalam tipe ini tergolong sebagai subyek-obyek yang menerima dan penanggung dari struktur sosial yang ada. Subyek pada tipe ini memiliki kecenderungan untuk tidak mempersoalkan bahkan merubah struktur sosial yang ada. Fokus perubahan yang ada pada tipe subyek-obyek adalah perubahan hanya berfokus pada tingkat mikro dan perubahan tercipta sebagai pengaruh struktur yang diterimanya. Hal ini tergambar pada masyarakat lumpur lapindo yang cenderung pasif dalam tindakan, hanya menerima bantuan dari pihak pemerintah ataupun swasta.

Kedua, orientasi yang bersifat

teoritik. Pada tipe ini dijelaskan subyek memiliki kemampuan dalam menjaga hubungan dirinya dengan struktur masyarakat. Dapat dijelaskan, subyek pada tipe ini memiliki pemahaman jelas akan struktur serta mampu memberikan respon terhadap berbagai pengaruh yang ditimpakan oleh struktur terhadap dirinya. Dalam tipe ini, golongan masyarakat yang mampu dikategorikan sebagai golongan kelas menengah, kalangan terdidik, dan orang-orang yang telah memiliki suatu wacana dari pengalaman masa lalu akan struktur. Hal ini tercermin pada masyarakat

korban lapindo yang memiliki kecenderungan untuk mengedepankan tindakan dalam upaya menciptakan perubahan sosial baru baik dengan cara membentuk konstruksi sosial baru di wilayah lain maupun golongan masyarakat yang memilih untuk kembali ke daerah asal sebagai konsekuensi rasional dari struktur. Respon yang diberikan adalah tindakan aktif yang ditujukan pada struktur dalam membentuk sebuah perubahan sosial baru.

Ketiga, orientasi yang bersifat

strategic-pemantauan. Pada tipe ini subyek tidak hanya mampu menjaga hubungan sosial dengan struktur, tetapi juga memiliki kepentingan atas apa yang dihasilkan baik berupa pengaruh material atau immaterial oleh struktur, sehingga pada tipe ini subyek cenderung memantau secara terus-menerus struktur yang ada. Dalam tipe ini, golongan yang termasuk adalah kelompok kepentingan seperti organisasi sosial, LSM, atau yang biasa didefinisikan sebagai kelompok aktivis. Dalam tipe ini, bentuk yang tercipta adalah keadaan mampu memelihara jarak antara dirinya sebagai subyek dengan struktur sebagai obyek, sehingga dapat disimpulkan bahwa orientasi yang terbentuk adalah terciptanya dualism subyek-obyek. Apabila kita hubungkan dengan kasus lumpur lapindo, muncul berbagai organisasi sosial dan aktivis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat korban luapan lumpur lapindo sekaligus menjadi motor penggerak dan pengawas kinerja BPLS ataupun pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan luapan lumpur lapindo.

Ketiga orientasi subyek secara sosial tentu memiliki konsekuensi baik dalam tataran mikro maupun makro (Schoorl, 1980: 240) yaitu perubahan-perubahan sosial dalam keadaan fisik yang disaksikan oleh anggota-anggota masyarakat menyebabkan adanya perubahan sosial tidak mungkin lagi kembali dalam posisi lama dan perubahan sosial pada tingkat mikro menimbulkan adanya perubahan yang berbeda pada anggota-anggota masyarakat karena kontak atau modal baik dari segi modal sosial, ekonomi, dan budaya masing-masing memiliki perbedaan.

Perubahan sosial yang terjadi pada fenomena luapan lumpur lapindo kemudian

(4)

4

mampu mendorong lahirnya subyek-subyek yang mampu menciptakan perubahan sosial baik pada tataran mikro maupun makro. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh subyek-subyek korban luapan lumpur lapindo dapat diakumulasikan sebagai bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan kelas. Menurut Marx (Situmorang, 2013:17-18) masyarakat selalu terdiri dan terpisah dalam dua kelompok besar, yang pertama kelompok yang masuk dalam golongan penindas dan kedua tergolong sebagai kelompok masyarakat yang ditindas. Hubungan tersebut terwujud dalam realitas sosial seperti hubungan orang bebas dengan budak, bangsawan dengan pribumi, pemilik alat poduksi dengan buruh, atau koorporasi dengan masyarakat. Subyek-subyek yang lahir dan mencipatakn perubahan sosial dengan berbagai motif dan potensi tindakan merupakan upaya yang akan terus menerus diwujudkan dalam mejaga kestabilan proses sosial dan meminimalisir konflik sosial.

Hal yang lain mampu dijelaskan dalam lahirnya subyek sebagai pendorong perubahan sosial adalah adanya mobilisasi sumber daya sebagai bentuk penguatan status mikrososial dan makrososial. Mobilisasi sumber daya, terwujud pada tipe kedua dan ketiga tipe-tipe orientasi subyek terhadap struktur. Proses tersebut dapat menghasilkan keadaan bahwa hubungan formal dan informal dalam masyarakat mampu mendorong terciptanya sumber solidaritas serta mampu menjadi jembatan komunikasi bagi subyek dalam mengidentifikasi dan merespon setiap keputusan yang dihasilkan pemangku kebijakan. Tentunya, hubungan antara subyek dan mobilisasi sumber daya adalah hubungan yang saling berkaitan dan secara sosial tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan pula, bahwa hubungan subyek dan mobilisasi sumber daya adalah sebuah infrastruktur sosial yang memiliki korelasi positif dalam memainkan peranan penting untuk menciptakan sebuah perubahan sosial. Dalam konteks permasalahan bencana lumpur lapindo, perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah konsensus dalam menciptakan keteraturan sosial. Akan tetapi, konsensus tersebut tidak serta merta memberikan jawaban atau penyelesaian masalah secara holistik karena fenomena tersebut telah beralih

pada masalah perampasan kultural dimana identitas secara sosial masyarakat korban luapan lumpur lapindo dapat dikatakan telah hilang. Justifikasi fundamental dan terpenting dalam perspektif sosiologi lingkungan adalah pada dasarnya masalah lingkungan merupakan masalah sosial atau dapat diartikan bahwa masalah-malah yang muncul disebabkan oleh umat manusia dan menimbulkan dampak terhadap manusia (Ritzer, 2012: 856)Sehingga, dengan adanya keadaan tersebut, masyarakat korban luapan lumpur lapindo sebagai subyek sosial harus mampu menjaga dan menghasilkan berbagai tindakan dalam mewujudkan perubahan sosial.

5. KESIMPULAN

Poses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat korban luapan lumpur lapindo merupakan sebuah revolusi sosial sebagai konskuensi dari bencana luapan lumpur yang menenggelamkan dua kecamatan yaitu Porong dan Tanggulangin beserta puluhan desa di dalamnya. Selain menenggeamkan wilayah pemukiman, bencana tersebut turut menghilangkan pola sosial beserta berbagai aspek di dalamnya baik aspek ekonomi, budaya, dan politik masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa, petama dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak terjadinya luapan lumpur pada tahun 2006, proses revolusi sosial hingga terciptanya perubahan sosial diciptakan oleh subyek-subyek sosial yang ada dalam bagian masyarakat. Berbagai motif tindakan yang dilakukan oleh subyek-subyek tersebut merupakan upaya dalam melanjutkan proses sosial yang telah hilang akibat hilangnya tempat hidup sebagai pusat terciptanya interaksi sosial. Melalui berbagai upaya, baik dengan melakukan eksodus di sekitar wilayah Sidorjo ataupun kembali pada daerah asal, perubahan sosial yang tercipta adalah terbentuknya gerakan sosial sebagai akumulasi tindakan subyek dengan mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada.

Kedua, hal yang menjadi hasil temuan penelitian ini, turut memberikan sebuah gambaran dimana struktur sosial bukanlah sebuah struktur yang konstan tetapi memiliki dinamika. Dinamika yang dimaksud pada pola tersebut adalah adanya

(5)

5

tindakan-tindakan aktif dari subyek-subyek sosial yang dipaparkan dalam orientasi individu terhadap struktur sosial. Subyek sebagai bagian dari masyarakat mampu mendorong terciptanya berbagai kebijakan yang tentunya berpihak dengan masyarakat korban lumpur lapindo.

6.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies. Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Perpustakaan Bappenas. 2010. Konten

Perencanaan Pembangunan.

http://perpustakaan.bappenas.go.id /. Diakses pada tanggal 17 Juli 2016.

Ritzer, George. 2013. The Wiley Blackwell

Companion to Sociology. Blackwell

Publishing Ltd: Sussex.

Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik:

Subyek Radikal dan Politik

Emansipasi di Era Kapitalisme Global. Marjin Kiri: Jakarta.

Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar

Sosiologi Pembangunan

Negara-Negara sedang Berkembang.

Gramedia Pustaka: Jakarta.

Situmorang, Abdul Wahab. 2013. Gerakan

Sosial: Teori dan Parktik. Pustaka

Pelajar: Yogyakarta.

Sztompka, Piotr. 2014. Sosiologi Perubahan

Referensi

Dokumen terkait