• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIT PELAKSANA TEKNIS. MONITORING DAN EVALUASI Direktorat Pengawasan Alkes dan PKRT. Menyongsong keberadaan UPT di Ditjen Farmalkes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIT PELAKSANA TEKNIS. MONITORING DAN EVALUASI Direktorat Pengawasan Alkes dan PKRT. Menyongsong keberadaan UPT di Ditjen Farmalkes"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Edisi III Mei - Juni 2016

UNIT PELAKSANA TEKNIS

Menyongsong keberadaan UPT

di Ditjen Farmalkes

MONITORING DAN EVALUASI

(2)

PENASIHAT

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

PENANGGUNG JAWAB

Sekretaris Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan

KETUA REDAKSI

Kepala Bagian Hukum, Organisasi, Dan Hubungan Masyarakat

SEKRETARIS REDAKSI

Kepala Subbagian Advokasi Hukum dan Hubungan Masyarakat

ANGGOTA REDAKSI

Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Beluh Mabasa Ginting, ST. M.Si Tian Nugraheni, S.Farm., Apt Nasa Milta Sahara, S.Farm., Apt Rivo Yolandra, SH

Mariani Sipayung, SH Adityo Nugroho, S.IK Radiman, S.E

ALAMAT REDAKSI

Jln. H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4 - 9, Jakarta Selatan Kementerian Kesehatan RI Setditjen Kefarmasian dan Alkes, Subbagian Advokasi Hukum & Humas Lt. 8 R.802 (021) 5214869 / 5201590 Ext. 8009 SUSUNAN REDAKTUR PENGANTAR DARI REDAKSI Gambar Sampul: Adnan Ansori

Di era perdagangan bebas saat ini, Indonesia menjadi salah satu pasar alat kesehatan dan PKRT yang menjanjikan karena besarnya penduduk Indonesia. Namun demikian, hal itu menimbulkan peningkatan produk alat kesehatan & PKRT sub standar dan produk illegal/ tidak teregistrasi di pasaran. Ditambah lagi, petugas daerah masih belum memiliki kompetensi dalam hal sistem manajemen mutu alat kesehatan dan produk PKRT yang baik (CPAKB, CDAKB dan CPPKRTB). Oleh karena itu, sangat diperlukan pembagian peran dalam hal pengawasan peredaran alat kesehatan dan PKRT antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT).

Pada Infarkes kali ini, juga diangkat mengenai proses sampling, monitoring, dan evaluasi alat kesehatan dan PKRT yang dilakukan Direktorat Pengawasan dan Alat Kesehatan. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka mengawasi peredaran alat kesehatan dan PKRT yang tidak memenuhi syarat. Selain itu, ada juga berita mengenai kegiatan sosialisasi formularium nasional regional timur, sosialisasi penggunaan antibiotik yang bijak, workshop usaha jamu gendong dan jamu racikan, serta pertemuan pembinaan perbendaharaan tahun 2016.

Akhir kata, semoga informasi yang kami sampaikan dalam Buletin yang kami sajikan ini bisa dinikmati oleh pembaca semua.

Salam Sehat!

DAFTAR ISI

TOPIK UTAMA

Menyongsong Keberadaan UPT di Ditjen Farmalkes Monev Direktorat Pengawasan Alkes dan PKRT Sampling Alkes dan PKRT

LIPUTAN

Sosialisasi Formularium Nasional Regional Timur Penggunaan Antimikroba Secara Bijak

Sosialisai P4TO

Workshop Pembinaan UJG dan UJR

Menuju Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Pengawasan Alkes dan PKRT

Pelaksanaan Bimtek Setditjen farmalkes Kemenkes Jamin Keamanan Vaksin

SELAYANG PANDANG

Sertifikasi CPAKB dan Sertifikasi SNI ISO13485

...3

...6 ...8 ...10 ...12 ...14 ...17 ...20 ...22 ...25 ...27 ...29

(3)

TOPIK UTAMA

MENYONGSONG KEBERADAAN

UPT DI DITJEN FARMALKES

D

i dalam struktur organisasi Kementerian Kesehatan, terdapat 166 Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang terdiri dari 3 UPT di bawah Ditjen Kesmas, 49 UPT di bawah Ditjen Yankes, 59 UPT di bawah Ditjen P2P, 11 UPT di bawah Badan Litbangkes, dan 44 UPT di bawah Badan PPSDM Kesehatan. Di dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) No. 88 tahun 2008, Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah satuan kerja yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu dan/ atau tugas teknis penunjang tertentu dari organisasi induknya. Sedangkan organisasi atau

satuan kerja yang bersifat mandiri adalah satuan kerja yang diberikan kewenangan mengelola kepegawaian, keuangan, dan perlengkapan sendiri serta tempat kedudukannya terpisah dari organisasi induk.

UPT memiliki tugas teknis operasional dan penunjang. Tugas teknis operasional adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis tertentu yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Tugas teknis penunjang adalah tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis tertentu dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas organisasi induknya. UPT

pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusan dan penetapan kebijakan publik. Oleh karena itu, UPT tidak mengenal batas wilayah administrasi pemerintahan tertentu dan tidak membawahi UPT lainnya. UPT Kementerian berada di bawah Direktorat Jenderal/ Deputi/ Direktorat/ Badan/Pusat/ sesuai dengan ruang lingkup pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penetapan kedudukan UPT ditentukan berdasarkan kesesuaian ruang lingkup tugas dan fungsi UPT dalam melaksanakan tugas unit organisasi induknya, hubungan pertanggungjawaban antara UPT yang bersangutan dengan

(4)

TOPIK UTAMA

organisasi induknya, serta efektifitas, kebutuhan koordinasi, dan hubungan kerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsi UPT.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2015 Pasal 89, Kepala Unit Pelaksana Teknis adalah jabatan struktural setinggi-tingginya eselon III.a. Unit Pelaksana Teknis yang pada saat berlakunya Peraturan Presiden ini telah ditetapkan sebagai jabatan struktural eselon II.a atau eselon II.b tetap berlaku sampai dengan dilakukan penyesuaian berdasarkan hasil evaluasi kelembagaan.

Satu-satunya unit kerja eselon I yang saat ini tidak memiliki UPT adalah Ditjen Farmalkes. Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes memberikan arahan, untuk mengakomodir Ditjen Farmalkes, pembentukan UPT baru dapat dilakukan dengan melakukan kajian yang komprehensif dan akurat. Sekretaris Jenderal juga menjelaskan, sesuai rekomendasi Kemen PAN-RB dalam penataan organisasi UPT, penataan UPT didasarkan pada karakteristik tugas dan fungsi, dan kedudukan, dengan mengedepankan efisiensi dan efektivitas.

Konsep Penataan UPT

Kondisi UPT saat ini dan kondisi UPT yang diinginkan sesuai mandat tugas-tugas tertentu yang bersifat teknis harus dilaksanakan oleh unit teknis dalam pencapaian visi dan misi Kementerian. Oleh karena itu dibutuhkan penentuan

sasaran kebutuhan UPT di unit eselon 1 sesuai mandat yang diemban. Karakterisitik, tugas, dan fungsi UPT yang dikembangkan harus meliputi sasaran yang harus dicapai UPT, tugas dan fungsi spesifik UPT, maupun tugas lain yang diemban UPT.

Ketentuan dan peraturan yang menjadi acuan penataan organisasi yaitu ketentuan yang mendasari pembentukan dan pengubahan serta ketentuan sektor lain yang mempengaruhi. Karenanya, harus diperhatikan juga tata hubungan kerja dalam bentuk hubungan pertanggungjawaban antara UPT yang bersangkutan dengan unit organisasi induknya yang meliputi tata hubungan kerja UPT dengan unit pembina dan tata hubungan kerja antara UPT dengan lintas program dan lintas sektor.

Usulan Dinas Kesehatan

Dalam hal penataan organisasi UPT Pusat, dinas kesehatan juga memberikan beberapa masukan. Pertama, keberadaan UPT Pusat yang seharusnya menitikberatkan pada usaha kesehatan masyarakat, mengingat program UKM-nya juga sangat kecil. Sebagai konsekuensinya, UKM di Puskesmas perlu penguatan. Kedua, Rumah Sakit Khusus (RSK) saat ini telah memberikan pelayanan kesehatan umum, yang lebih besar dari fungsi layanan khususnya. Dengan demikian penataan UPT dengan alih fungsi dari Balai hendaknya langsung menjadi Rumah Sakit Umum dengan unggulan sesuai fungsi Balai sebelumnya.

Ketiga, penataan UPT hendaknya bukan didasarkan atas sejarah pembentukannya. Keempat, usulan pengembangan UPT dengan kekhususan yang sejenis hendaknya tidak dilakukan pada satu lokasi (provinsi dan kabupaten/kota). Dan kelima, agar terdapat pengembangan jenis layanan UPT, misalnya litbang GAKI agar dikembangkan menjadi ke arah yang lebih besar misalkan litbang Gizi, bahkan lebih luas menjadi Litbangkesmas.

Rencana UPT Ditjen Farmalkes Di era perdagangan bebas seperti saat ini, kemudahan keluar masuk barang menjadikan Indonesia menjadi salah satu pasar yang menjanjikan karena besarnya penduduk Indonesia. Di antaranya adalah produk-produk alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT). Namun demikian, hal itu menimbulkan peningkatan produk alat kesehatan dan PKRT sub standar dan produk illegal/ tidak teregistrasi di pasaran. Kebutuhan alat kesehatan dan PKRT untuk hajat hidup orang banyak baik dari sisi jumlah dan teknologi yang semakin meningkat juga menimbulkan banyaknya produk alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan dapat berbahaya bagi kesehatan. Hal itu diperparah dengan tidak adanya laboratorium uji produk terhadap alat kesehatan dan PKRT. Selain itu, dalam melakukan pengawasan terhadap alat kesehatan yang beredar di tengah masyarakat, petugas daerah masih belum memiliki kompetensi dalam hal sistem manajemen mutu alat

(5)

TOPIK UTAMA

kesehatan dan produk PKRT yang baik (CPAKB, CDAKB dan CPPKRTB). Oleh karena itu, sangat diperlukan pembagian peran dalam hal pengawasan peredaran alat kesehatan dan PKRT antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selama ini, perizinan dan pengawasan terhadap pre

market dan post market

produk-produk alat kesehatan dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT.

Berdasarkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak tertuang fungsi pengawasan

post market alat kesehatan dan

PKRT. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota, tidak disebutkan bahwa pengawasan

alat kesehatan dan PKRT menjadi kewenangan provinsi/kabupaten/ kota. Oleh karena itu dibutuhkan pembentukan kelembagaan yang menangani fungsi pengawasan alkes dan PKRT di provinsi/ kabupaten/kota.

Apabila UPT pengawasan alkes dan PKRT sudah dibentuk, pemerintah pusat berfungsi sebagai pembuat regulasi dan pelaksanaan pengawasan dan pembinaan alkes dan PKRT pada skala Nasional. Sedangkan UPT regional berfungsi pelaksanaan

pengawasan dan pembinaan Alkes dan PKRT skala regional.

Sebagai gambaran, tugas Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan yakni melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan produk alat kesehatan dan PKRT (adanya PPNS dan auditor); Memberikan pembinaan kepada sarana produksi dan distribusi;

Melakukan sampling produk; Penyusunan rencana dan program pengawasan alat kesehatan dan PKRT; Pembinaan sarana produksi dan distribusi alkes dan PKRT dalam pemenuhan CPAKB, CDAKB, dan CPPKRTB;

Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium pengujian dan penilaian mutu Produk alat kesehatan dan PKRT; Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi; Pelaksanaan penyelidikan

dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum; Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian alat kesehatan PKRT; Koordinasi dengan fasilitas kesehatan dalam laporan terkait dengan kejadian yang tidak di inginkan (KTD); Pelaksanaan urusan tatausaha dan kerumahtanggaan; dan Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Dirjen Farmalkes, sesuai dengan bidang tugasnya.

(6)

TOPIK UTAMA

Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan

Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

MONITORING DAN EVALUASI

D

irektorat Pengawasan Alat Kesehatan dan Perbekalan

Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pengawasan alat kesehatan dan PKRT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain tugas pokok dan fungsi, pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (monev) ini untuk melihat bagaimana sesungguhnya sarana produksi/distribusi alat kesehatan dan PKRT yang ada di indonesia dan nantinya bisa digunakan sebagai bahan acuan dalam perbaikan ataupun aturan

baru dalam Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) ataupun CPPKRT.

Tahapan dalam pelaksanaan monev ini antara lain adalah:

a. Persiapan

Menyiapkan instrumen monitoring yang diperlukan,

seperti daftar pertanyaan, data awal perusahaan yang akan di sampling, dan lain sebagainya;

b.Pengawasan (Pemberian bimbingan teknis dan supervisi) sarana produksi/distribusi

Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan dan analisa data baik administrasi maupun teknis produksi mulai dari pengumpulan bahan baku sampai dengan distribusi dengan melakukan pengecekan langsung ke tempat sesuai alur produksi;

c. Pengolahan data

Tahapan ini mengevaluasi kesesuaian penilaian yang hasilnya akan di feedback kepada perusahaan dan juga ditembuskan kepada Dinas Kesehatan Provinsi untuk improve kelanjutannya bilamana ada hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan ataupun tindak lanjut.

Pelaksanaan kegiatan monev sarana produksi/distribusi alat kesehatan dan PKRT tidak terlepas pada ketentuan peraturan perundangan yang tertera dalam kerangka acuan kerja/kegiatan yang telah dibuat serta alur yang telah ditentukan guna menjamin pelaksanaan kegiatan ini tepat sasaran dan juga dapat dipertanggungjawabkan.

Direktorat Pengawasan Alkes dan

Monitoring dan Evaluasi Sarana Produksi Alat Kesehatan dan PKRT di Sumatera Utara

(7)

TOPIK UTAMA

PKRT juga telah mempersiapkan sistem pengawasan secara

online dalam rangka pelaksanaan

sampling dan monitoring melalui aplikasi e-report dan e-watch yang

bisa di akses http://e-report.alkes. kemkes.go.id/ dan http://e-watch. alkes.kemkes.go.id/.

Aplikasi e-report alat kesehatan dan PKRT ini dibangun untuk memfasilitasi pelaporan hasil produksi dan penyaluran alat kesehatan oleh produsen atau penyalur alat kesehatan, serta pelaporan hasil produksi atau impor Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) oleh produsen atau importir PKRT. Aplikasi ini merupakan rekapitulasi peredaran alat kesehatan dan PKRT di dalam / luar negeri serta diharapkan mampu telusur apabila terjadi komplain terhadap penggunaan alat kesehatan dan atau PKRT.

Untuk melindungi masyarakat terhadap beredarnya alat

kesehatan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan manfaat maka perlu dilakukan peningkatan pengawasan alat kesehatan yang harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dan yang beredar di masyarakat.

Untuk mempermudah tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat melakukan pelaporan terhadap alat kesehatan yang tidak memenuhi syarat maka dibuat e-watch alat kesehatan (e-watch Alkes) yaitu sistem pengawasan nasional alat kesehatan yang tidak memenuhi syarat. Sistem ini juga merupakan

alert system yaitu informasi

terbuka terhadap alat kesehatan yang dapat menyebabkan hal hal yang merugikan pasien, tenaga kesehatan dan atau masyarakat dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Aplikasi e-Watch alat kesehatan diharapkan mampu mendeteksi kewaspadaan dini berupa penanganan komplain dari masyarakat/pengguna, pelaporan

KTD oleh produsen dan penyalur alat kesehatan, serta tindakan korektif terhadap Keselamatan di lapangan atau Field Safety

Corrective Action (FSCA).

Peningkatan pengawasan alat kesehatan di pre-market dan

post-market yang dilaksanakan oleh

Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan merupakan sistem pengawasan alkes nasional dimana setiap KTD dari penggunaan alat kesehatan dapat dilaporkan oleh petugas di fasyankes agar dapat dievaluasi oleh Tim Pengawas Alat Kesehatan Nasional untuk ditindaklanjuti dan juga bertujuan untuk mendorong industri alat kesehatan dalam negeri yang bermutu sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan, yang nantinya akan mendorong masyarakat untuk menggunakan alat kesehatan dalam negeri.

Dasar dalam pelaksanan monev ini seperti termaktub dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5063) yaitu: pasal 98 “sedian farmasi dan alat kesehatan

harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau” serta pasal

106 “sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapatkan izin edar” Dan juga didukung oleh beberapa peraturan Menteri

Kesehatan yaitu Permenkes Nomor 1189/Menkes/Per/VIII/2010 tentang

Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 399); Permenkes Nomor 1190/

Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan Perbekalan

Kesehatan jumah Tangga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010

Nomor 400); dan Permenkes Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010 tentang

Penyaluran Alat Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010

(8)

TOPIK UTAMA

Komponen Pelaksanaan Sampling untuk

pengawasan dilakukan dengan cara :

a. Pengambilan alat kesehatan dan PKRT yang telah

beredar secara acak

b.Pengiriman sampel dari provinsi

c. Pengiriman sampel di laboratorium terakreditasi dan ditunjuk

d.Pengujian sampel di laboratorium terakreditasi dan di tunjuk

S

ebagai bagian dari program pengawasan alat kesehatan dan PKRT yang beredar di masyarakat, Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT melaksanakan kegiatan sampling di Provinsi Sumatera Utara tanggal 15-17 Juni 2016. Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teksis dan supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang pengawasan alat kesehatan dan PKRT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sampling adalah kegiatan pengambilan sampel produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran untuk selanjutnya

SAMPLING ALAT KESEHATAN DAN PKRT

dilakukan pengujian terhadap konsistensi keamanan mutu dan manfaat produk. Pengujian adalah kegiatan pemeriksaan produk alat kesehatan dan PKRT dilaboratorium yang terakreditasi dan ditunjuk untuk memastikan pemenuhan kesesuain produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar sesuai dengan yang didaftarkan pada saat mendapat izin edar. Dengan adanya sampling alat

kesehatan dan PKRT tersebut maka dapat menjamin keamanan, mutu, dan manfaat dari produk alat kesehatan dan PKRT untuk meningkatkan patient safety.

Melalui kegiatan sampling ini nanti dapat diidentidikasi produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Data ini dipakai untuk menganalisa capaian indikator

Sampling Alat Kesehatan dan PKRT di Medan, Sumatera Utara

(9)

TOPIK UTAMA

kinerja Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT yaitu persentase produk alat kesehatan dan PKRT diperedaran yang memenuhi syarat sebesar 77 % pada tahun 2016.

Kegiatan sampling alat kesehatan

dan PKRT dimaksudkan untuk

memastikan pemenuhan kesesuaian produk alat kesehatan

dan PKRT yang beredar sesuai dengan yang didaftarkan pada saat mendapat izin edar.

Sampling alat

kesehatan dan PKRT

mempertimbangkan

kriteria

a. Produk yang banyak dipakai oleh tenaga kesehatan dan

masyarakat

b. Produk yang banyak beredar dan memiliki dampak yang cukup luas

pada masyarakat

c. Produk yang berdasarkan data tahun

sebelumnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS)

Alat kesehatan dan/atau PKRT yang mendapat izin edar

harus memenuhi kriteria sebagai berikut

a. Keamanan dan kemanfaatan alat kesehatan, yang dibuktikan dengan melakukan uji klinis dan/atau bukti-bukti

lain yang diperlukan

b. Keamanan dan kemanfaatan PKRT dibuktikan dengan menggunakan bahan yang tidak dilarang dan tidak melebihi batas kadar yang telah ditentukan sesuai peraturan

dan/atau data klinis atau data lain yang diperlukan; dan c. Mutu, yang dinilai dari cara pembuatan yang baik dan menggunakan bahan dengan spesifikasi yang sesuai dan

memenuhi persyaratan yang ditentukan.

(10)

LIPUTAN

S

etelah menyelenggarakan sosialisasi Formularium Nasional (Fornas) regional barat pada awal Mei lalu, Direktorat Pelayanan Kefarmasian Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan sosialisasi Formularium Nasional Regional Timur di Novotel Makassar pada 26-28 Mei 2016. Kegiatan ini dihadiri oleh petugas instalasi farmasi dari Dinas Kesehatan dan rumah sakit yang ada di Indonesia timur. Narasumber yang memberikan paparan dalam kegiatan ini antara lain ialah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD (Seleksi Fornas Berbasis EBM), Direktur Pelayanan BPJS (Mekanisme Pelayanan Program Rujuk Balik Pada Penyakit Kronis), dan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Kebijakan JKN Dan Pembiayaan Yankes di

FORMULARIUM NASIONAL

SOSIALISASI FORMULARIUM NASIONAL REGIONAL TIMUR

“Penggunaan obat yang mengacu pada Fornas tidak hanya untuk

menjamin penggunaan obat secara rasional,

namun juga dapat meningkatkan efisiensi

biaya obat dan pada akhirnya akan berdampak

pada efisiensi biaya pelayanan kesehatan

secara menyeluruh. Untuk mengoptimalkan

implementasi Fornas dalam penggunaan obat, agar mencapai tujuan penetapannya, diperlukan upaya untuk

melakukan sosialisasi agar penggunaan obat

sesuai Fornas tersebut dapat diterapkan secara

optimal”

Dirjen Farmalkes dan Direktur Pelayanan Kefarmasian

(11)

LIPUTAN

FKTP Dan FKRTL) . Formularium N a s i o n a l ( F o r n a s ) d i g u n a k a n s e b a g a i acuan wajib bagi tenaga medis untuk m e n e t a p k a n pilihan obat yang tepat, paling manjur, dan aman, d e n g a n harga yang

terjangkau serta mendorong penggunaan obat secara rasional untuk mewujudkan patient safety dalam pelaksanaan program JKN. Dengan Penerapan Fornas sebagai kendali mutu dan kendali biaya maka pelayanan kesehatan menjadi lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali (cost

effective); pelayanan kesehatan

kepada masyarakat makin efektif dan efisien; dan memudahkan perencanaan dan penyediaan obat di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Dalam rangka menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat telah ditetapkan regulasi yang terkait di bidang obat yaitu : 1. Formularium Nasional (Fornas), yang merupakan penetapan jenis item obat yang dijamin oleh BPJS berdasarkan kriteria pemilihan obat. Kriteria pemilihan obat dalam Fornas adalah obat yang

memiliki khasiat dan keamanan berdasarkan bukti ilmiah mutakhir dan valid, memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan, memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh Badan POM, memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi, dalam kriteria ini tidak termasuk obat tradisional dan suplemen makanan.

2. Kebijakan e-katalog yang merupakan penetapan harga obat berdasarkan hasil lelang dan negosiasi.

Hal tersebut ditetapkan sebagai salah satu upaya dalam menjamin kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan pada era JKN untuk mencapai patient

safety dimana masyarakat dapat

memperoleh obat yang aman, bermutu, berkhasiat dan

cost-effectiveness.

Fornas disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional,didasarkan

pada bukti ilmiah terkini, berkhasiat, aman, dan dengan harga terjangkau. Pada tanggal 31 Desember 2015 telah ditetapkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/

Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional yang terdiri dari 562 item obat/zat aktif dalam 983 kekuatan dan bentuk sediaan.

Untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan yang optimal dan keberlangsungan pelayanan obat di Fasilitas Kesehatan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, maka Fornas harus selalu dapat mengakomodir dinamika yang terjadi dalam perkembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan pasien. Oleh karena itu review obat dalam Fornas secara berkala perlu dilakukan dan apabila dibutuhkan perubahan dalam Fornas maka ditetapkanlah Adendum Perubahan Fornas.

(12)

LIPUTAN

LIPUTAN

S

ambutan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tjetjep Yudiana mengawali kegiatan workshop tersebut dilanjutkan pembacaan arahan Direktur Pelayanan Kefarmasian yang disampaikan oleh Kasubdit Penggunaan Obat Rasional – Heru Sunaryo; sebagai bahan pemikiran awal disampaikan paparan mengenai “Penggunaan antibiotika secara bijak dalam menunjang Peningkatan Penggunaan Obat secara Rasional” oleh Kasubdit POR mewakili Direktur Pelayanan Kefarmasian. Dilanjutkan dengan pemaparan ”Mekanisme Kerja Antibiotika dan mekanisme terjadinya Resistensi” dan “Penggunaan Antibiotika berbasis Bukti Ilmiah (EBM) untuk meningkatkan patien

safety;

Workshop ini adalah bagian dari rangkaian kampanye berkelanjutan guna menghindari melemahnya manfaat antibiotika dan meluasnya resistensi atau kekebalan terhadap antimikroba termasuk antibiotika. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian Drs Bayu Teja Muliawan M.Pharm, MM, Apt, bahwa Kementerian Kesehatan RI telah melaksanakan beberapa hal untuk pengendalian resistensi antibiotika. Dari sisi kebijakan, pada tahun 2011 Kemenkes mengeluarkan Permenkes No. 2046 mengenai Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika, diikuti dengan Kepmen tahun 2014 mengenai pembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA). Dan juga pencanangan Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan

Obat (GeMa CerMat) pada tanggal 13 November 2015. GeMa CerMat bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan perubahan perilaku masyarakat dalam memilih, mendapatkan, menggunakan, menyimpan, dan membuang obat secara benar. GeMa CerMat melibatkan lintas sektor dan lintas program, organisasi profesi kesehatan, perguruan tinggi, tokoh agama, tokoh masyarakat, media, serta elemen-elemen lain di masyarakat.

Workshop Penggunaan Antimikroba kepada para petugas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Wilayah Barat ini dimaksudkan agar dapat kembali mengedukasi masyarakat dan juga memberikan bahaya mengkhawatirkan terjadinya era

post antibiotic, dimana penyakit

sederhanya yang sebenarnya bisa

PENGGUNAAN ANTIMIKROBA SECARA BIJAK

Hotel da Vienna-Batam pada tanggal 19 – 22 April 2016

(13)

LIPUTAN

disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya. Tidak hanya mengancam manusia, resistensi antibiotika juga mengancam hewan dan tanaman.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan one health yang melibatkan sektor kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan), serta lingkungan karena masih ditemukan perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotik yang menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya: peresepan antibiotika secara berlebihan oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa antibiotik merupakan

obat dari segala penyakit; dan lalai dalam menghabiskan atau menyelesaikan pengobatan dengan antibiotik.

Menutup kegiatan workshop tersebut dr. Hari Paraton, Sp.OG(K) dan Mariatul Qibtiyah, S.Si, Apt., Ap.FRS selaku pembicara dan mentor dari KPRA menyatakan bahwa dibutuhkan perubahan pola pikir masyarakat dan tenaga kesehatan agar tidak sembarangan dalam menggunakan antibiotik. Selain itu, dikemukakan bahwa hasil berbagai riset terkait resistensi antimikroba yang tengah dilakukan menjadi dasar bagi KPRA untuk mengajukan pedoman

kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak serta membuat peraturan terkait pembatasan penggunaaan antibiotik di Indonesia. Antara lain mencakup pelarangan apotek untuk menjual antibiotik tanpa resep dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter.

Jika masalah resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal karena resistensi antibiotik.

(14)

LIPUTAN

LIPUTAN

P

emanfaatan tanaman

obat untuk kesehatan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Saat ini, pemanfaatan tanaman obat sudah sangat berkembang seiring dengan peningkatan trend konsumsi masyarakat back to nature.

Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan untuk mendukung kemandirian bahan baku obat adalah Fasilitasi Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) yang akan memanfaatkan bahan alam Indonesia. Dalam prosesnya, kebijakan tersebut akan dilaksanakan secara selaras dan sinergis dengan kementerian/badan/lembaga

lain dan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemda kabupaten/ kota, serta dengan anggota masyarakat lain yang terkait secara dinamis. Melalui fasilitasi P4TO ini diharapkan dapat mendukung upaya kemandirian bahan baku obat dan obat tradisional sehingga dapat membantu dalam mengurangi ketergantungan impor. Untuk itu, Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah mengadakan acara Soalisasi dan Koordinasi Dalam Rangka Fasilitasi Peralatan Pusat Pengolahan pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) pada 30 Mei – 1 Juni 2016 di Grand Mega Resort Bali.

Dalam sambutannya, Dirjen Farmalkes Dra. Maura Linda

Sitanggang Ph.D mengatakan “Dengan adanya fasilitas P4TO, dapat mendorong pengembangan tumbuhan obat khas daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah-daerah di seluruh pelosok tanah air memiliki tanaman obat khas tertentu yang telah digunakan secara turun temurun, maupun yang telah didukung dengan riset”, ujar Dirjen Farmalkes. Kebijakan obat tradisional nasional (Kotranas) yang dituangkan dalam Kepmenkes No. 381/ MENKES/SK/III/2007 bertujuan mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan, menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar memiliki daya saing, tersedianya obat tradisional yang terjamin

SOSIALISASI P4TO

Sosialisasi dan Koordinasi Fasilitasi Pusat Pengolahan Pasca Panen

Tanaman Obat (P4TO)

(15)

LIPUTAN

mutu, khasiat dan keamanannya, menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memberikan multi manfaat.

Kegiatan pengembangan obat bahan alam/tradisional Indonesia merupakan rangkaian proses yang panjang, menyangkut proses produksi, perdagangan dan penggunaan obat-obat herbal, mulai dari sektor hulu berupa kegiatan pengumpulan tanaman, pengolahan pasca panen, pengolahan bahan baku, produksi ekstrak dan produk jadi, sampai pada proses pemasaran dan penggunaannya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pengobatan penyakit.

Salah satu kebijakan teknis yang dibangun oleh Kementerian Kesehatan ialah kebijakan untuk mendukung kemandirian di bidang obat dan bahan baku obat. Dalam prosesnya, kebijakan tersebut akan dilaksanakan secara selaras dan sinergis dengan

kementerian/badan/lembaga lain dan pemerintah daerah baik pemda provinsi maupun pemda kabupaten/ kota, serta dengan stakeholder lain yang terkait secara dinamis melalui pengadaan barang/jasa, instalasi peralatan/mesin, pembangunan fasilitas fisik gedung/bangunan serta operasionalisasi fasilitas dalam pembangunan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO). Kegiatan pembangunan P4TO dalam rangka mendukung kemandirian obat dan bahan baku obat pada dasarnya dilaksanakan secara simultan melalui pembentukan komitmen bersama melalui Nota Kesepahaman Bersama ataupun Perjanjian Kerjasama dengan para pihak dalam hal pengadaan alat sampai operasionalisasi fasilitas. Pembangunan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat diharapkan dapat mendukung pengolahan yang terstandar sehingga produk pasca panen tanaman obat Indonesia dapat

memenuhi persyaratan kualitas serta keamanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing. Melalui pembangunan P4TO ini diharapkan kemandirian bahan baku obat dan obat tradisional dapat berjalan secara terarah, komprehensif serta terintegrasi, sehingga dapat membantu dalam mengurangi ketergantungan akan impor bahan baku obat terutama bahan baku obat tradisional.

Pada tahun 2016, Kementerian Kesehatan akan memfasilitasi 3 P4TO untuk Pemerintah daerah/ instansi yang memiliki minat dan potensi dalam pemanfaatan tanaman obat sebagai BBOT. Kementerian Kesehatan akan memberikan fasilitasi berupa peralatan, sementara lokasi, bangunan, fasilitas pendukung dan sumberdaya manusia merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakannya. Pelaksanaan fasilitasi tahun 2016 hanya sampai dengan

penandatanganan MoU. Pengadaan peralatan P4TO akan

Tujuan pembangunan P4TO

:

1. Penyediaan bahan baku obat tradisional (BBOT) berupa simplisia

yang memenuhi standar sebagai bahan baku obat tradisional.

2. Penyediaan simplisia yang terstandar dan memenuhi persyaratan

untuk digunakan pada program pemerintah seperti Saintifikasi Jamu

atau kepentingan masyarakat.

3. Penguatan kelembagaan di daerah agar mampu membangun,

menyediakan dan membentuk jejaring kerjasama dalam

(16)

LIPUTAN

LIPUTAN

dilakukan pada tahun 2017.

Ada enam strategi yang harus dilakukan untuk pengembangan obat tradisional. Pertama, peningkatan ketersediaan bahan baku obat tradisional yang terstandar. Kedua, membangun networking. Ketiga, meningkatkan penelitian dan inovasi teknologi. Keempat, pengintegrasian obat tradisional ke dalam pelayanan kesehatan, Kelima, pengembangan Laboratorium Sertifikasi untuk bahan baku obat tradisional. Keenam, meningkatkan daya saing industri obat tradisional.

P4TO dikembangkan bertujuan sebagai penyediaan bahan baku obat tradisional (BBOT) berupa simplisia yang memenuhi standar sebagai bahan baku obat tradisional. Penyediaan simplisia yang terstandar dan memenuhi persyaratan untuk digunakan pada program pemerintah seperti Saintifikasi Jamu atau

kepentingan masyarakat. Penguatan kelembagaan di daerah agar mampu membangun,

menyediakan dan membentuk jejaring kerjasama dalam pengembangan obat tradisional.

Untuk menghasilkan simplisia yang memenuhi persyaratan kualitas, keamanan dan manfaat maka fasilitas P4TO hendaknya didukung oleh personalia yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai. Personalia tersebut harus memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman, kemampuan yang sesuai dalam pengelolaan pasca panen tanaman obat serta ditempatkan dalam struktur organisasi dengan uraian tugas yang jelas. Seluruh personalia yang akan dilibatkan hendaklah memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan termasuk aspek hygiene dan sanitasi. SDM yang harus disiapkan untuk mendukung pengelolaan P4TO adalah tenaga teknis kefarmasian/ analis/laboran dan didukung oleh tenaga operator.

Sehubungan dengan fasilitasi ini, Kementerian Kesehatan akan

memberikan fasilitasi berupa peralatan, sementara bangunan beserta kelengkapannya dan sumberdaya manusia merupakan kewajiban pemerintah daerah

untuk menyediakannya. Kementerian Kesehatan khususnya Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian akan terus membantu dalam peningkatan kapasitas kemampuan sumber daya manusia yang ada.

Kegiatan ini juga menghadirkan pengalaman P4TO Kabupaten Kaur, Bengkulu, dalam mengelola fasilitas P4TO mulai dari proses permohonan melalui proposal hingga pemasaran produk. Selain itu, dalam kegiatan ini dipaparkan mengenai syarat-syarat pengajuan dan pengembangan P4TO kepada dinas kesehatan. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari beberapa dinas kesehatan yang dipilih untuk pengambangan fasilitas P4TO, akademisi, dan juga peneliti.

KESIMPULAN

“Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam pengembangan

OT maupun BBOT. Kementerian Kesehatan senantiasa mendorong

dan berkomitmen penuh dalam pengembangan BBOT di Indonesia.

Perlu adanya kerjasama dan komitmen daerah

dalam melakukan pengembangan obat tradisional.

P4TO diharapkan dapat membantu seluruh pihak yang

memerlukan simplisia sebagai BBOT. Dimasa yang akan datang,

P4TO dapat berkontribusi dalam upaya kemandirian

(17)

LIPUTAN

WORKSHOP JAMU

Workshop Usaha Jamu Gendong dan Jamu Racikan Yang Aman dan

Berkhasiat

K

eanekaragaman hayati Indonesia bisa dikatakan sangatlah lengkap. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang sangat potensial bagi pengobatan herbal terbaik di dunia, dimana berbagai jenis tanaman herbal bisa tumbuh dengan subur di Indonesia. Tanaman herbal adalah bahan utama dalam pembuatan jamu dan semua orang Indonesia pastilah mengenal jamu.

Untuk meningkatkan pemahaman mengenai keamanan industri jamu pada Usaha Jamu Gendong (UJG) dan Usaha Jamu Racikan (UJR), Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan menggelar acara workshop pembinaan Usaha Jamu Gendong dan Usaha Jamu

Racikan. Workshop dilaksanakan di beberapa kota yaitu Kediri, Mojokerto, Demak, dan Magelang. Dalam workshop ini, selain mendapatkan pengetahuan dari paparan narasumber, peserta juga berkesempatan berdialog dengan anggota DPR-RI komisi IX (bidang kesehatan) mengenai permasalahan seputar pengembangan UJG dan UJR yang mereka jalani dan berdialog dengan Ibu Lasmi, seorang penjual jamu gendong yang sukses memasarkan jamu hingga pejabat-pejabat Negara.

Di dalam data yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, Tahun 2012, nilai perdagangan jamu mencapai Rp. 13 trilyun, diperkirakan 10% nya adalah hasil penjualan jamu gendong yakni

JAMU

adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia,

khususnya masyarakat Jawa. Jamu sering disebut sebagai ramuan tradisional

karena jamu memang sudah dikenal sejak jaman

nenek moyang sebelum ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

obat-obatan modern masuk ke Indonesia. Kebanyakan resep racikan jamu berumur

puluhan atau bahkan ratusan tahun dan terus

digunakan secara turun temurun sampai saat ini.

(18)

LIPUTAN

LIPUTAN

sekitar 1,3 Trilyun. Oleh karena itu, jamu tidak hanya bermanfaat dalam bidang kesehatan saja, tapi juga bisa meningkatkan kehidupan ekonomi rakyat, menyerap tenaga kerja, sebagai bagian dari nilai budaya dan pariwisata, dan juga ikut berpartisipasi dalam memelihara lingkungan hidup. Karena nilai jamu yang sangat

bermanfaat, pemerintah diharapkan memberikan pelatihan,

pembinaan, pendampingan, dan penghargaan kepada para pengusaha jamu, khususnya pengusaha jamu gendong dan jamu racikan. Pada UJG dan UJR, persyaratan yang dibutuhkan supaya terjamin mutunya ialah bahan baku benar dan bermutu,

komposisi/formula benar, tatacara penyiapan terjamin kebersihannya, pengolahan bahan baku yang benar , pengemasan yang benar, serta pemasaran yang benar.

Proses Pembuatan Jamu yang Benar

Dalam usaha pembuatan jamu, sangat perlu mengenali dan menyiapkan bahan baku yang segar dan bermutu. Bahan yang paling sering digunakan dalam pembuatan jamu adalah jahe, temulawak, kunyit, dan kencur. Dalam memilih bahan baku yang bermutu, yang harus diperhatikan adalah jenisnya benar (botani); Bagian tanaman yang dibutuhkan tepat; cukup umurnya (tua) seperti contohnya jahe yaitu terlihat mengkilat, keras, tidak berkerut, segar; bebas dari hama penyakit; terjamin kemurniannya (tidak

dicampur bahan lain yang sejenis). Setelah bahan baku, hal kedua yang harus diperhatikan adalah peralatan pembuatan jamu. Peralatan yang digunakan harus selalu dalam keadaaan bersih. Peralatan harus selalu dicuci bersih dengan sabun dan harus segera dikeringkan setelah selesai digunakan. Peralatan yang digunakan harus aman digunakan (food grade). Lingkungan pembuatan jamu harus bersih, jauh dari cemaran (jamban, tempat sampah, binatang). Peralatan penyajian harus bersih. Sebaiknya dilakukan pemisahan antara ember untuk alat kotor dan yang sudah dicuci. Penampilan penjual jamu juga harus diperhatikan, yaitu harus bersih rapi sehingga menarik minat masyarakat agar membeli jamu yang dijual.

Jamu yang baik adalah jamu yang benar-benar berasal dari bahan alami dan tanpa campuran bahan kimia obat (BKO). Kasubdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Dra. Nur Ratih Purnama, Apt, M.Si., mengungkapkan, alasan masih ditemukannya penggunaan BKO dalam produk jamu adalah karena masih rendahnya kepatuhan produsen terhadap ketentuan yang berlaku di bidang obat tradisional, ada kompetisi tidak sehat untuk lebih meningkatkan penjualan produknya, dan tipikal masyarakat yang ingin cepat merasakan kesembuhan. Contoh jamu yang sering ditambahkan BKO adalah jamu pelangsing, penambah nafsu makan, pegal linu/encok/ rematik / asam urat,

dan jamu menghilangkan rasa sakit.

Penggunaan BKO pada jamu bisa menyebabkan berbagai penyakit dari yang ringan hingga menyebabkan kematian. Hal ini bergantung pada jenis BKO, lama konsumsi, dan cara pemakaian. Penggunaan BKO dalam produk jamu dan obat tradisional juga melanggar UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, pada Pasal 196 yang berbunyi : “setiap orang yang sengaja memproduksi/ mengedarkan obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan mendapat hukuman Pidana 10 tahun dan denda paling banyak 1 milyar Rupiah. Di dalam Pasal 197 yang berbunyi : “setiap orang yang sengaja memproduksi/ mengedarkan sediaan farmasi / alkes tidak memiliki izin edar mendapat hukuman Pidana 15 tahun dan denda paling banyak 1 ,5 miliar Rupiah.

Berbagi Pengalaman Usaha Jamu Para peserta workshop tidak hanya mendapatkan pengetahuan seputar pembuatan jamu yang baik dan benar sesuai standar, namun juga berkesempatan berdialog dengan salah satu pengusaha jamu gendong yang sukses mengangkat derajat jamu menjadi minuman bisa dinikmati semua kalangan. Ibu Lasmi, 46 tahun, Di 1982, Lasmi dan orangtua memutuskan pindah ke Jakarta untuk mencoba peruntungan dan akhirnya mengikuti kompetisi pencarian Ratu Jamu Gendong 2010 dan berhasil menang berkat resep jamu keluarga.

(19)

LIPUTAN

Beberapa resep jamu Lasmi yang terkenal adalah Sanapis yaitu campuran sawi, nanas, dan jeruk nipis, berkhasiat untuk melancarkan pencernaan,

mencegah osteoporosis, menurunkan kadar kolesterol,

dan bisa meredakan batuk. Selain itu ada pula jeniper yang merupakan jeruk nipis peras. Resep-resep tersebut rupanya menjadi populer dan disukai oleh masyarakat Indonesia. Jika dulu hanya berjualan sendiri ditemani sang suami, Didik, kini Lasmi sudah memiliki lima karyawan yang membantunya dalam memproduksi jamu.

Lasmi berharap usaha jamu miliknya semakin populer dan suatu hari bisa mendirikan kafe jamu terkenal di Jakarta. “Semoga saya punya kafe jamu yang layak dan semoga jamu menjadi semakin populer karena jika diolah dengan benar jamu sangat berkhasiat,” ujarnya.

Lasmi mendirikan “Paguyuban Jamu Gendong Lestari” sejak 1988. Ibu tiga anak ini mengaku awalnya merasa kesulitan untuk mencari anggota karena para penjual jamu gendong lainnya meragukan kemampuan Lasmi untuk bisa bangkit dan sukses. Semenjak membentuk Paguyuban Jamu Gendong Lestari, Lasmi kerap mendapatkan pelatihan ataupun keterampilan dari berbagai instansi yang bertujuan meningkatkan mutu Jamu. Mereka juga dipacu untuk mengembangkan inovasi produk agar bisa nampak beda dengan penjual jamu gendong lainnya. Selain jamu siap saji, UP2K Lestari kini juga membuat sejumlah varian jamu bubuk dalam kemasan yang mampu bertahan bulanan. Kendati berkelas usaha rumahan, produk ini sudah dapat mengantongi sertifikat produksi industri rumah tangga (PIRT)

Produk jamu gendong siap saji Lestari diantaranya jamu beras kencur, jamu kunyit asam, jamu temulawak, jamu instan , wedang jahe dan wedang sereh. Seiring berjalannya waktu, usaha jamu Lestari semakin mendapat tempat di masyarakat yang menjadi menjadi langganan setianya .

Beberapa instasi pemerintah dan swasta juga kerap memesan jamu Lestari untuk disajikan sebagai minuman saat penyelenggaraan acara. Banyak pula anggota yang dulu sering mengambil jamu botolan dari wanita kelahiran 7 September 1970 itu saat ini sudah menjadi produsen jamu mandiri dan memproduksi hingga ratusan botol per hari. Hal tersebut tentu membuat Lasmi merasa bangga karena ia berhasil menularkan ilmu yang bermanfaat kepada banyak orang, sekaligus melestarikan tradisi dari nenek moyangnya.

(20)

LIPUTAN

LIPUTAN

D

irektorat Jenderal

Kefarmasian dan Alat Kesehatan selaku pembina Satuan Kerja Pusat dan Daerah (DK-07), menyelenggarakan acara Pertemuan Pembinaan

Perbendaharaan Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Tahun 2016 pada tanggal 24 sampai dengan 27 Mei 2016 di Bekasi. Pertemuan dihadiri oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kepala Seksi Kefarmasian dan Bendahara Pengeluaran (BP) di lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan dari 6 Satker Pusat dan 34 Satker DK-07 Dinas Kesehatan Provinsi.

Pertemuan Pembinaan Perbendaharaan ini merupakan

rangkaian kegiatan yang bertujuan meningkatkan standardisasi, harmonisasi, kualitas dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di lingkungan Direktorat Jenderal Kefarmasian

dan Alat Kesehatan untuk menghasilkan proses pengelolaan keuangan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pertemuan dibuka secara resmi oleh Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt, Ph. D. Dalam sambutannya menggarisbawahi beberapa hal diantaranya, “Peraturan Direktur

Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-3/PB/2014 mengamanatkan bahwa setiap

pengelola keuangan khususnya Bendahara harus memahami isi dari Petunjuk Teknis Penatausahaan, Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola APBN serta verifikasi laporan pertanggungjawaban Bendahara” ujarnya.

Dalam paparannya, Inspektur

Jenderal Kemenkes Drs. Purwadi, Apt, MM menjelaskan Dalam pengawasan program yang dilakukan kepada satker, Itjen telah mengalami perubahan paradigma pengawasan dimana pada awalnya pengawasan dikenal dengan istilah watchdog. Pengawasan model ini menggunakan pendekatan birokrasi, berorientasi menghukum, bersifat instruktif, kurang memberikan solusi dan kurang memberikan kesempatan kepada auditi untuk menjelaskan sesuatu.

Perubahan yang diharapkan dari pengawasan model tersebut adalah ke arah Counseling

partner dan Quality Assurance.

“Pengawasan yang bersifat

Counseling partner dilakukan

melalui kegiatan yang bersifat koordinatif, partisipatif dan konsultatif. ,” ujar Irjen.

MENUJU AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN

(21)

LIPUTAN

LIPUTAN

Melalui langkah-langkah termaksud, secara ideal pengawasan dapat memberikan input bagi pimpinan dalam :

1.. Menghentikan, mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, pemborosan;

2. Mencegah terulangnya kembali hal-hal tersebut;

3. Memperoleh cara-cara yang lebih baik / mencari solusi terbaik bagi auditan dalam melaksaakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam upaya mencapai visi / akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat guna mendukung pencapaian Visi Kemenkes.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan dalam hal keuangan untuk Pencapaian Program/Kegiatan Prioritas Bidang Kesehatan Tahun 2016. Diantaranya adalah,

PERENCANAAN

a. Meneliti kembali DIPA yang telah diterima, yakni memeriksa kesesuaian dengan Renja KL; Memeriksa apakah terdapat kesalahan administratif (kantor bayar, kode lokasi, akun, dll.) pada DIPA yang akan mempengaruhi proses pembayaran; memeriksa kegiatan yang ada dalam DIPA dengan perkembangan yang ada perlu

b. Segera mengajukan usulan revisi DIPA dalam hal hasil penelitian

yang dilakukan memerlukan penyesuaian/perbaikan dalam DIPA.

c. Dalam hal masih terdapat anggaran yang diberikan catatan dalam DIPA (a.l. blokir), segera mempersiapkan dokumen (TOR, RAB,dll) yang diperlukan untuk menyelesaikan catatan dalam DIPA tersebut;

PENGADAAN BARANG DAN JASA

a. Menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, diantaranya: Menyelesaikan rencana umum pengadaan dan menyiapkan jadwal pengadaan barang dan jasa sesuai dengan rencana kegiatan; Menyelesaikan proses pen

gadaan barang/jasa (pelelangan) paling lambat bulan Maret 2016; Melaksanakan seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa melalui e-procurement.

b. Melakukan identifikasi pengadaan barang/jasa yang nilai paket pekerjaannya dibawah 200 juta pada seluruh Satker.

c. Apabila memungkinkan, jajaran di Kementerian/Lembaga untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa yang nilai paket pekerjannya dibawah 200 juta paling lambat triwulan I tahun

2016 dan membuat pengawasan khusus untuk pelaksanaannya;

d. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara rutin dan menginventarisir permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan barang/jasa

PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

a. Meningkatkan peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) K/L dalam proses perencanaan anggaran; proses pelaksanaan anggaran; dan proses pertanggungjawaban anggaran.

b. Menjadikan APIP K/L sebagai mitra dalam proses pelaksanaan anggaran untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan anggaran sehingga tidak berdampak pada pertanggungjawaban.

Petemuan ini menghadirkan nara sumber dari Inspektorat Jenderal Kemenkes, Biro Keuangan dan BMN Kemenkes, Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi DKI Jakarta, KPP Jakarta Setiabudi IV, dan KPPN Jakarta VII yang menyampaikan materi dengan metode penyampaian paparan dan diskusi aktif.

(22)

LIPUTAN

LIPUTAN

LIPUTAN

PENGAWASAN ALAT KESEHATAN DAN PKRT

D

alam rangka peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang alat kesehatan, Direktorat Pengawasan Alat Kesehatan dan PKRT menyelenggarakan kegiatan Peningkatan Kapasitas di Hotel Merylin Jakarta. Acara yang diikuti perwakilan dinas kesehatan dan tenaga kefarmasian dibuka oleh Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitanggang Ph.D. Dalam sambutannya, Dirjen Farmalkes menuturkan, alat kesehatan merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan sangat terkait dengan tekhnologi dan ekonomi. Selain itu, alat kesehatan merupakan komoditi perdagangan dan sosial. Oleh karena itu, penting sekali para tenaga kesehatan mengetahui tentang bagaimana cara distribusi dan memproduksi alat kesehatan dan PKRT yang baik.

Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik (CDAKB) adalah pedoman yang digunakan dalam rangkaian kegiatan distribusi dan pengendalian mutu yang bertujuan untuk menjamin agar produk alat kesehatan yang didistribusikan senantiasa memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai tujuan penggunaannya. Tujuannya adalah menjaga keamanan, mutu dan manfaat alat kesehatan yang akan didistribusikan. CPAKB/ CPPKRTB (cara pembuatan alat kesehatan dan PKRT yang baik) merupakan pedoman yang digunakan untuk produsen alat kesehatan dalam mengembangkan sistem manajemen mutu dalam rangka menjamin produk yang diproduksi aman, bermutu, dan bermanfaat.

Ada 13 aspek yang harus diperhatikan dalam CDAKB, yaitu mulai dari sistem manajemen

mutu, SDM, bangunan dan fasilitas, penyimpanan dan penanganan persediaan, traceability, keluhan pelanggan, CAPA, Return, pemusnahan, Ilegal dan TMS, audit Internal, kajian manajemen, sampai aktifitas pihak ketiga.

Sistem manajemen mutu yang meliputi struktur organisasi perusahaan (lengkap dengan uraian tugas setiap karyawan), tenaga yang kompeten yang memiliki wewenang & tanggung jawab, memiliki teknisi utk yg menyalurkan alkes EL & instrumen IVD, memiliki prosedur keamanan dalam kegiatan distribusi, keamanan produk dan peralatan, memiliki SOP untuk pengembangan, kontrol, distribusi dan pemeriksaan semua dokumen, dokumen harus disimpan untuk jangka waktu tertentu, dokumen peraturan terkini (baik terkait alkes maupun peraturan lain),

(23)

LIPUTAN

rekaman harus mudah diperoleh kembali, pelaporan distribusi dilakukan minimal 1 tahun sekali sesuai ketentuan berlaku.

Pengelolaan sumber daya yang terdiri dari personil yang harus memiliki keterampilan dan pengalaman yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Ada seorang wakil manajemen yang bertugas di luar dari tugas pokok dan fungsi utama. Pegawai harus mengenakan atribut pengaman yang sesuai dengan sifat produk. Pegawai harus melaksanakan prosedur terkait hygiene. Rekaman data pegawai harus disimpan dan dipelihara. Harus ada program pelatihan untuk pegawai, yaitu pelatihan terkait CDAKB, SOP dan keselamatan kerja. Harus ada pelatihan khusus untuk pegawai yg berhubungan dengan alkes berisiko tinggi. Evaluasi pelaksanaan pelatihan dan rekaman pelatihan.

Bangunan dan fasilitas yang memenuhi syarat seperti alamat harus tetap dan sesuai yang tercantum pada izin PAK. Bangunan harus dapat menyimpan dan melindungi produk alkes. Bangunan harus memiliki ruang penerimaan dan pengiriman. Desain bangunan sedemikian rupa agar tidak campur baur dan ruang penyimpanan harus memadai sehingga mutu produk dapat terjaga. Bangunan memiliki penerangan dan ventilasi yang cukup, tersedia fasilitas bengkel/ workshop untuk yg menyalurkan alkes EL atau instrumen IVD. Bangunan harus dilengkapi alat

pemadam kebakaran dan alarm kebakaran/asap, penempatan alat pemadam kebakaran harus terlihat jelas, tidak terhalang, sedekat mungkin dgn pintu keluar. Forklift dan peralatan gudang yang menggunakan BBM/BBG tidak boleh beroperasi di dalam gudang, hanya boleh di luar serta troli tidak boleh memiliki bagian tajam.

Penyimpanan dan Penanganan Persediaan Alkes yang ideal harus memenuhi ketentuan berikut yaitu hanya boleh menyalurkan alkes berizin edar dan sesuai dengan kelompok produk yang diizinkan untuk disalurkan (yang tertera pada izin PAK). Penerimaan barang harus diperiksa kesesuaiannya dengan surat pesanan/PO. Peralatan atau fasilitas penyimpanan dan distribusi yang digunakan untuk pengukuran harus terkalibrasi. Ruangan dengan kondisi penyimpanan khusus harus dimonitor dan ada catatan rutin. Transportasi dalam proses pengiriman harus menjamin produk tetap aman, bermutu dan bermanfaat. Perusahaan harus menjamin instalasi dan pengujian yang dilakukan sesuai dengan petunjuk dan prosedur dari pabrik; serta harus menyediakan layanan purna jual (after sales service).

Dalam hal penanganan keluhan pelanggan, harus ada prosedur penanganan keluhan untuk memastikan keluhan yang diterima akan ditindaklanjuti, selain itu juga harus ada personil yg ditunjuk untuk menangani

keluhan dan melaksanakan investigasi. Investigasi harus mempertimbangkan kondisi dan lingkungan dimana produk didistribusikan, disimpan, dan digunakan. Laporan investigasi harus dinyatakan dengan jelas, meliputi semua tindakan

korektif dan preventif (CAPA – Corrective Action & Preventif

Action).

Apabila ditemukan alat kesehatan ilegal dan tidak memenuhi syarat, harus dipisahkan dari alkes lain dan diberi label yang jelas. Kemudian penemuan produk ilegal dan tidak memenuhi syarat tersebut harus dilaporkan kepada instansi berwenang dan menginformasikan kepada pemilik izin edar. Alat-alat kesehatan yang ilegal dan tidak memenuhi syarat, bisa saja dilakukan pemusnahan. Pemusnahan alkes dilakukan terhadap produk yang diproduksi tanpa memenuhi persyaratan yg berlaku, telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat utk digunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau dicabut izin edarnya. produk yg akan dimusnahkan harus ditempatkan terpisah dan diberi tanda serta harus ada BAP dan dilaporkan ke instansi berwenang (Dinkes & Kemenkes).

CPAKB dan CPPKRTB

Cara Pembuatan Alat Kesehatan Yang Baik ( CPAKB ) merupakan pedoman yang digunakan untuk produsen alat kesehatan dalam mengembangkan sistem manajemen mutu

(24)

LIPUTAN

LIPUTAN

dalam rangka menjamin produk yang diproduksi/ dibuat aman, bermutu dan bermanfaat. Cara Pembuatan PKRT yang Baik ( CPPKRTB) merupakan pedoman yang digunakan untuk produsen PKRT dalam m e n g e m b a n g k a n sistem manajemen mutu dalam rangka menjamin produk yang diproduksi/ dibuat aman, bermutu dan bermanfaat. Persyaratan CPAKB/ CPPKRTB meliputi hal-hal seperti persyaratan umum

dan dokumentasi, realisasi produk, tanggung jawab manajemen, proses produksi, pengukuran, analisis, dan peningkatan. Dalam hal persyaratan umum, perusahaan harus memiliki struktur organisasi, bagan alur kerja, mekanisme kerja, dan uraian tugas. Dalam aspek dokumentasi dan pengendalian, yang harus diperhatikan adalah kebijakan dan sasaran mutu, pedoman / manual mutu, prosedur wajib dan rekaman dokumen teknis terkait produk yang diproduksi, dokumen terkait regulasi yang berlaku, pengendalian dokumen, serta pengendalian rekaman.

Untuk aspek tanggung jawab manajemen, yang harus dimiliki perusahaan alkes dan PKRT ialah visi dan misi perusahaan untuk memastikan kepuasan pelanggan,

komitmen memelihara sistem manajemen mutu, perencanaan yang terukur dan konsisten, uraian tugas yang jelas dan dikomunikasikan serta tinjauan manajemen untuk mengevaluasi sistem manajemen mutu yg telah berjalan.

Proses produksi CPAKB yang sesuai dengan standar meliputi pengendalian produksi

(ketersediaan prosedur, pemeriksaan alat dan material,

dokumentasi), kebersihan produk dan kendali kontaminasi, aktivitas instalasi, aktivitas layanan purna jual (perbaikan dan pemeliharaan), persyaratan khusus untuk alat kesehatan non elektromedik steril, validasi proses produksi dan penyediaan jasa, persyaratan khusus untuk alat kesehatan steril, identifikasi dan mampu telusur, milik pelanggan, preservasi

produk, pengendalian alat pengujian mutu dan alat ukur.

Pengukuran, analisis dan perbaikan adalah rencana dan implementasi pemantauan, pengukuran, analisis dan perbaikan proses yang diperlukan untuk perbaikan terus menerus yang terdiri dari manajemen perusahaan yang menetapkan rencana dan implementasi, secara kontinyu melalui audit internal, pemantauan pengukuran produk, pemantauan mutu analisa data untuk menunjukkan kesesuaian dan keefektivan sistem manajemen mutu, serta tindakan perbaikan dan pencegahan yang terpadu.

(25)

LIPUTAN

P

eningkatan pelayanan dapat terealisasi secara maksimal apabila didukung dengan produk hukum yang secara penuh dan menyeluruh mengatur sarana, komoditi, pelayanan dan tenaga dibidang kesehatan khususnya pada bagian kefarmasian dan alat kesehatan, sekaligus akan mampu melahirkan perlindungan bagi

masyarakat selaku penerima pelayanan dan tenaga kefarmasian selaku pemberi pelayanan. Kegiatan dilakukan dalam bentuk bimbingan teknis melalui penyampaian instrumen isian, wawancara dan tanya jawab untuk selanjutnya akan dilakukan dan pengolahan data untuk mengetahui kondisi, hambatan dan kendala terkait pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian dan alat kesehatan sekaligus untuk memperoleh masukan yang bersifat responsif dan korektif.

Bimbingan teknis peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian ini diberikan kepada dinas-dinas kesehatan provinsi/kabupaten/ kota. Berikut hasil analisa bimbingan teknik

peraturan perundang-undangan di Provinsi Bengkulu, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Utara. 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan

Praktik kefarmasian di sebagian besar Provinsi telah sesuai dengan UU 36/2009, karena peraturan pelaksana dibawahnya seperti PP dan Permenkes sudah cukup jelas untuk digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan praktik kefarmasian di daerah. Kendala masih terjadi dalam implementasinya khususnya terkait keterbatasan tenaga kefarmasian terutama di puskesmas.

2. PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Hasil monitoring di 5 Provinsi, dinyatakan bahwa PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian masih sesuai dengan perkembangan dan memenuhi kebutuhan praktik kefarmasian.

3. Permenkes No. 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, sebagaimana telah diubah dengan Permenkes No. 34 Tahun 2014

Sebagian besar Provinsi masih memiliki kendala dalam implementasi Permenkes PBF, khususnya di Provinsi yang jumlah PBFnya cukup banyak yaitu Provinsi Bengkulu, Bali dan Kepulauan Riau, sesuai dengan data jumlah sarana PBF dibawah ini (pemutakhiran data kefarmasian dan alkes tahun 2015):

Permasalahan yang terjadi dilapangan antara lain terkait: prosedur pemberian sanksi, pembaharuan izin dan kesediaan apoteker pengganti.

4. Permenkes No. 1175/Menkes/Per/III/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika, sebagaimana telah diubah dengan Permenkes No. 63 Tahun 2013

Implementasi Permenkes 1175/Menkes/Per/ III/2010 tentang izin Produksi Kosmetika berjalan dengan baik karena sebagian besar provinsi ini tidak memiliki sarana produksi kosmetika. Sesuai dengan hasil Pemutakhiran data kefarmasian dan alat kesehatan tahun 2015, jumlah sarana produksi kosmetika di 5 Provinsi tersebut terlihat pada grafik:

Pelaksanaan Bimbingan

Teknis Peraturan

Perundang - Undangan

(26)

LIPUTAN

LIPUTAN

5. Permenkes No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi, sebagaimana telah diubah dengan Permenkes No. 16 Tahun 2013. Tidak ada hambatan dalam implementasi Permenkes Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi, karena sebagian besar Provinsi belum memiliki sarana industri farmasi. Di Provinsi DIY baru ada 1 Industri Farmasi sehingga pembinaan dapat dilaksanakan dengan mudah.

6. Permenkes No. 1191/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan

Sebagian besar Provinsi tidak mengalami kendala dalam implementasi Permenkes 1191/ Menkes/Per/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan, namun terdapat 2 provinsi yang memiliki kendala yaitu Provinsi Bengkulu dan Bali dalam hal persyaratan yang belum jelas dan ketersediaan penanggung jawab teknis.

7. Permenkes No. 1189/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan dan

Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga

Sebagian besar Provinsi tidak mengalami kendala dalam implementasi Permenkes 1189/Menkes/ Per/VII/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan dan PKRT, karena sarana produksi alkes dan PKRT di 5 Provinsi tersebut masih belum banyak. Jumlah sarana produksi alat kesehatan dan PKRT terlihat pada grafik dibawah ini (pemutakhiran data kefarmasian dan alat kesehatan tahun 2015): 8. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Rumah Sakit, Puskesmas dan Apotek Hampir seluruh provinsi belum memenuhi standar pelayanan kefarmasian karena permasalahan kurangnya SDM

9. Pengelolaan Instalasi Farmasi Pemerintah Seluruh instalasi farmasi yang ada di 5 Provinsi tersebut kedudukannya masih berada di bawah seksi kefarmasian Dinas Kesehatan Provinsi, sehingga SDM yang bertugas menjadi pengelola obat sekaligus melaksanakan tugas di seksi kefarmasian, sementara jumlah SDMnya masih terbatas.

N0. PROVINSI/KAB/KOTADINKES

TENAGA KESEHATAN Apoteker FarmasiD3 Apoteker Asisten

(AA) LAINNYA

1. Dinkes Kepulauan Riau 2 1 1 13

2. Dinkes Bengkulu 6 2 3 2

3. Dinkes Bali 1 1 2 2

4. Dinkes Kalimantan Utara 1 - - 1

(27)

LIPUTAN

LIPUTAN

KEMENKES JAMIN KEAMANAN VAKSIN

K

ementerian Kesehatan menyampaikan rasa prihatin atas pemalsuan vaksin yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terkait dengan ditangkapnya pelaku pembuat vaksin palsu di beberapa tempat di sekitar Jakarta. Vaksin yang tidak diketahui kandungannya selain tidak memberikan manfaat untuk ketahanan tubuh juga bisa membahayakan bagi anak yang menerima vaksin tersebut.

Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, dra. Maura Linda sitanggang, Ph.D, mengatakan Kemenkes telah mengeluarkan surat edaran ke dinkes seluruh Indonesia serta rumah sakit negeri dan swasta berupa pemantauan dan himbauan untuk menggunakan vaksin yang benar.“ Pengadaan vaksin yang dilakukan oleh

fasilitas kesehatan sebaiknya dibeli dari produsen dan distributor yang resmi”, ujar Dirjen Farmalkes.

Menurut Dirjen Farmalkes, mayoritas vaksin palsu yang terindikasi beredar adalah vaksin yang tidak wajib diberikan kepada anak atau hanya pelengkap. Hal ini karena vaksin reguler yang digunakan di fasilitas kesehatan adalah vaksin program sehingga peredaran dari vaksin palsu hanya bersifat minoritas. Sebagian besar vaksin dapat dibeli melalui e-catalog dan resmi dari pemerintah, sementara para pelaku kejahatan memanfaatkan celah pasar dari vaksin yang bukan bagian dari program pemerintah untuk diproduksi dan diperjualbelikan.

Vaksin yang ada di Indonesia disediakan oleh sektor swasta

dan pemerintah sehingga rumah sakit dan Puskesmas milik pemerintah tidak membeli vaksin karena diberikan gratis oleh Kemenkes, tetapi Rumah Sakit swasta boleh memilih untuk mendapatkan dari Kemenkes .

“Masyarakat yang

menggunakan JKN pasti

mendapatkan vaksin

yang asli karena hanya

boleh menggunakan

vaksin dari pemerintah,

tetapi bila tidak

menggunakan fasilitas

JKN maka itu hak dari

masyarakat untuk

memillih vaksin yang

disediakan pemerintah

atau membeli dari

swasta”

(28)

LIPUTAN

LIPUTAN

LIPUTAN

Pada kesempatan terpisah, Menkes menyatakan bahwa Kemenkes RI menjalankan program imunisasi secara nasional. Ketersediaan vaksin untuk program imunisasi tersebut terjamin ketersediaan dan keamanannya. Vaksin tersebut disediakan oleh pemerintah, diberikan kepada Provinsi dan didistribusikan kepada Kabupaten/Kota sampai ke Posyandu.

Di samping itu, terkait pengungkapan kasus vaksin palsu bayi di tiga Provinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), Kemenkes RI mendukung penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam produksi dan distribusi vaksin palsu. “Jika terbukti fasilitas pelayanan kesehatan terlibat, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku”, tandas Menkes.

KEMENKES SIAPKAN IMUNISASI

ULANG

Sejak terbongkarnya kasus vaksin palsu ini, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada seluruh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Surat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dr. H. Mohammad Subuh, MPPM, untuk memastikan ada tidaknya peredaran vaksin palsu di wilayahnya. Dalam pelaksanaannya Dinas Kesehatan akan berkoordinasi dengan Badan POM setempat. Selain ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, surat tersebut juga disampaikan kepada organisasi profesi diantaranya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).

Bagi anak-anak yang diduga telah mendapat vaksin palsu pada saat imunisasi dasar, kemenkes akan memberikan imunisasi ulangan secara gratis dan dalam pelaksanaannya kemenkes akan berkoordinasi dengan IDI, IDAI dan IBI.

Imunisasi dan Self Immunity

Ditengah derasnya pemberitaan mengenai vaksin yang diduga palsu, terdapat informasi yang luput dari pandangan masyarakat, yakni mengenai konsep self immunity. Konsep ini menerangkan bahwa cakupan

Universal Child Immunization (UCI) suatu daerah selaras

dengan besarnya perlindungan bagi anak-anak terhindar dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

“Anak-anak yang berada di wilayah dengan cakupan imunisasi dasar lengkap yang tinggi, yakni UCI lebih dari 90% terlindungi self immunity”, terang Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. H. M. Subuh, MPPM.

“Vaksin untuk program imunisasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dapat dimanfaatkan oleh seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, baik fasilitas pemerintah maupun swasta,” ujar Menkes. Lebih lanjut Menkes menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan imunisasi, seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, diimbau agar:

1) Melakukan kontrol ketat dalam pengadaan vaksin dari produsen dan pedagang besar farmasi (PBF) resmi;

2) Melakukan pengelolaan vaksin yang baik, mulai dari pengadaan, pencatatan, penyimpanan, dan penggunaan sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku sehingga dapat dilakukan penelusuran balik (mampu telusur);

3) Laporkan kepada Badan POM, jika ditemukan adanya dugaan penyimpangan.“Kepada masyarakat, silahkan tetap melakukan imunisasi di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai upaya memberikan kekebalan bagi buah hati terhadap penyakit,”

Referensi

Dokumen terkait