• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat terakhir guru yang rendah hati itu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat terakhir guru yang rendah hati itu."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Tujuh Manusia Harimau (7) Pendekar Wanita Buta

Motinggo Busye - Novelis Malam Jahanam

Semuanya diluar dugaan orang banyak, Ki Putih Kelabu mengirimkan undangan kepada beberapa orang yang disegani di Kumayan. Orang mengira, undangan itu adalah pemberitahuan pertunangan Ki Pita Loka dengan Guru Gumara.

Nyatanya hanya sebuah undangan syukuran belaka. Guru Gumara juga diundang, dan dia datang mengenakan kemeja putih, juga terjadi hal di luar dugaan, karena Ki Putih Kelabu yang dikenal pendiam itu ternyata pandai berpidato. "Saya dengan segala kerendahan hati ingm mengingatkan lagi kepada anda, bahwa keluarga kami mewaris sifat pemaaf". Tidak berdendam dan tidak menyukai permusuhan. Kami sudah berusaha meghindari segala pertikaian dengan siapapun. Karena usaha itu, anak kami Pita Loka harus menelan

penderitaan kebutaan sebelah matanya yang tidak dapat dipersalahkan kepada satu orang pun. Saya ulangi, kami tidak menyalahkan siapa - siapa. Karena itu siapapun yang menganggap dirinya bersalah, harap lupakan seluruh kejadian sebab tidak satupun peristiwa yang berdiri sendiri. Mari kita belajar dari dalam semesta, di mana satu perpindahan bintang hanyalah karena mengikuti aturan kemestian sejak awal kejadian. Gunung yang meletus tidak berdaya menolak takdir, lalu lahar dingin seolah menganggu tanah pertanian. Tapi ini semua menjadi modal kesuburan anak cucu di kemudian hari, yang mewarisi kesuburan tanah.

Jadi, gunung yang meletus lahar yang mengalir, hanyalah tunduk dengan aturan alam semesta. Yang senantiasa bandel itu, hanyalah kita manusia. Tapi tentu ada manusia yang selamat karena ikut dalam aturan semesta. Maka, barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia,dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan , . ."

Ki Putih Kelabu rupanya sudah mengakhiri pidatonya. Guru Gumara mencoba memahami kalimat terakhir guru yang rendah hati itu.

Apa itu Sufia?

Setiba di rumah, Gumara membongkar kembali Kitab Tujuh. Dia membaca semua huruf gundul di Kitab itu. Namun dia tidak menemukan perkataan Sufia. Gumara yakin itu sejenis ilmu. Bukan kitab. Dicobanya merenungi kembali ucapan Guru Putih Kelabu diakhir pidatonya: "Maka, barang siapa yang mencari dan mendapatkan Sufia, dialah yang selamat dan kebal atas keruntuhan".

Jika Gumara membongkarnya dalam lembaran Kitab Tujuh, maka Pita Loka menanyakan hal itu kepada sang Ayah.

(2)

"Aku pun tidak tahu. Ucapan itu Kami warisi dari Guru, dan Guru mewarisinya dari gurunya pula,"

"Saya menganggapnya begitu penting. Tiap soal yang menarik perhatian manusia, lalu mendapatkan jawabannya, lantas hal itu tidak penting lagi. Ketika Thomas Alva Edison menemukan listrik, orang mempertanyakan cahaya pijar itu. Tetapi sekarang listrik bukan barang mewah lagi. Tapi jika ada satu soal seperti Sufia dipertanyakan, tapi tidak dapat jawaban, itu pertanda masalah itu penting dan bermutu tinggi,"

Pita Loka kecewa karena ayahnya hanya berdiam diri. Pagi harinya, ketika Pita Loka mau berangkat ke sekolah, ada tamu. Tamu itu Ki Lading Ganda yang bartanya, "Bisakah bicara sejenak dengan Ki Guru?"

Ki Putih Kelabu muncul dan mempersilahkan anggota Harimau Kumayan itu duduk di tikar permadani.

Pita Loka kembali ke kamar, dengan maksud mendengar percakapan antara ayahnya dan sahabatnya itu.

"Diantara kita tidak perlu ada rahasia. Coba terangkan padaku, apa itu Sufia?"

"Jangan berkecil hati, Guru Lading Ganda. Saya tidak mengetahuinya", jawab Ki Putih Kelabu.

"Darimana kau perdapat kata ajaib itu?"

"Dari Guru. Aku pernah mempertanyakannya seperti kau mempertanyakannya sekarang ini, padaku. Tapi Guru hanya menyatakan, itu beliau dengar dari Gurunya." ujar Ki Lading Anda pergi mencegat Ki Gumara yang akan berangkat mengajar di SMA.

"Tentu anda mengetahui apa itu Sufia, Guru!" ujar Ki Lading Ganda. "Maaf. Sama sekali tidak".

"Tampaknya itu wasiat penting. Ki Putih Kelabu tidak suka bicara, tapi kali ini dia bicara. Kau yang ahli takwil, coba terangkan padaku apa takwil ini semua?"

"Jika itu yang Guru tanyakah pada saya, saya sekedar dapat memahami. Kira-kira sebentar lagi akan muncul huru-hara di Kumayan ini. Biasanya, hanya orang berilmu yang selamat atas huru - hara, karena orang berilmu pandai membaca keadaan. Itulah tugas kita; Membaca keadaan. Suasana".

KI Lading Ganda bertanya lagi; "Huru-hara itu tentulah ada penyebabnya. Besar kemungkinan kekacauan ini mungkin datangnya dari pihak yang

(3)

"Maksud tuan Guru, Ki Putih Kelabu akan membalas padanya?"

"Semua orang bilang, Guru Gumara yang membuat puterinya buta," kata Ki Lading Ganda.

"Ah, itu perasaan Tuan Guru saja," ujar Guru Gumara.

"Menurut renungan saya semalam, dia lontarkan perkataan Sufia itu sebagai isyarat, itulah ilmu yang dia miliki."

"Kami sudah saling bermaafan, Sebaiknya jangan kita perbesar lagi satu soal yang sudah diselesaikan, Tuan Guru.

Maafkan, saya musti mengajar, dan hari ini saya akan mengajar Sejarah. Saya tidak boleh terlambat, karena kita ingin anak-anak muda itu mengenal

disiplin," kata Gumara.

"Tampaknya Anda melecehkan hal penting ini, Guru Gumara."

"Begitulah penafsiran Tuan. Buat saya semua soal adalah penting!" lalu dia salami Ki Lading Ganda dengan sikap hormat. Ki Lading Ganda tidak segera berlalu dari pekarangan rumah Guru Gumara.

Dia hanya menatap kepergian guru SMA itu hingga hilang dari pandangan matanya. Kemudian dia mengetuk pintu rumah dan keluarlah Alif.

"Oh, Tuan Guru. Tadi Anda bicara dengan Guru Gumara, bukan?" "Ya. Sekarang saya akan bicara dengan Alif."

"Apa maksud tuan?" tanya Alif.

Ki Lading Ganda menatap Alif. Mata guru itu begitu tajam, sehingga

menakutkan Alif. Alif mulanya bengong. Tapi kemudian dia merasa pusing. Dia tak mampu menahan pancaran sinar mata Guru Lading Ganda yang seakan-akan berubah jadi mata harimau. Dan ketika Lading Ganda menyeringai, tampak oleh Alif taring-taring mengerikan. Lalu dia tidak sadarkan diri lagi, dalam keadaan duduk.

Ki Lading Ganda memasuki kamar Guru Gumara, Apa yang dia cari, dia

ketemukan seketika. Yaitu Kitab Tujuh, yang masih terhampar di atas sebuah meja yang terbuat dari bekas kotak sabun. Sebagai murid yang tekun dari zaman silam, Ki Lading Ganda tidak mendapatkan kesulitan membaca semua huruf gundul dalam kitab itu. Dia telah menamatkan bacaan di Kitab Pertama. Tapi ketika membaca Kitab Kedua, susunan kalimatnya tidak ada hubungannya dengan Kitab Pertama. Hal inilah yang membuatnya bingung. Kunci membaca

(4)

urutan Kitab itulah yang tidak diketahuinya. Sebab dalam kunci kitab yang tujuh itu, justru seorang yang membacanya harus dimulai dari Kitab Tujuh. Baru kemudian Kitab Pertama. Kemudian urutan ketiga adalah membaca Kitab Enam. Selanjutnya baru membaca Kitab Dua. Setelah itu baru membaca Kitab Lima. Berikutnya membaca Kitab Tiga, Sedangkan Kitab Empat adalah mata pelajaran terakhir.

Biarpun bingung, Ki Lading Ganda sudah cukup puas sudah menamatkan membaca Kitab Pertama buku itu. Seluruh isi Kitab Pertama pun sudah diketahui kuncinya oleh Ki Lading Ganda. Karena ada kalimat di pertengahan buku itu, yang tidak ada hubungan dengan kalimat sebelum maupun kalimat sesudahnya. "Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram," bunyi kalimat itu, Sebagai bekas murid dari guru yang tekun, Ki Lading Ganda mengetahui, bahwa kalimat itulah kuncinya, suatu perintah untuk pergi ke Lembah Suliram.

Segera Ki Lading Ganda keluar. Dia duduk kembali menghadapi Alif. Disapunya wajah Alif dengan telapak tangannya dengan sapuan lembut. Lalu Alif

sadarkan diri, tak menyadari bahwa dia sudah dalam keadaan tak sadar selama satu jam,

"Oh, Guru Lading Ganda," Ujar Alif, "Tadi saya lihat Tuan Guru bicara diluar dengan Guru Gumara. Kini tuan ingin sesuatu?"

"Saya haus. Tolong segelas air kendi," ujar Ki Lading Ganda.

Setelah minum air kendi, Ki Lading Ganda minta ijin pada Alif. Alif tidak curiga sedikit pun dengan kepergian Tuan Guru itu. Tapi Guru Gumara mandi keringat di depan kelas pada mata pelajaran satu jam, bertepatan ketika tadi Ki Lading Ganda membaca Kitab Pertama dengan cara mencuri itu. Gumara punya firasat. Bahkan dia tidak mengetahui, Pita Loka memperhatikan

keanehan yang dialami gurunya di depan kelas. Dia sebenarnya sudah buta sebelah matanya olah salah sebuah kuku Guru Gumara ketika memperebutkan Kitab Tujuh tempo hari. Namun karena Pita Loka menganggap kejadian itu hanyalah peristiwa suratan nasib, dia tak dendam.

Malahan dia kasihan melihat Sang Guru mengalami kesulitan mengajar Sejarah. Keringat guru mengocor terus. Hal itu menghibakan hati Pita Loka. Maka Pita Loka berkata; "Pak Guru, sepertinya bapak sakit, ya?"

Gumara menoleh pada murid yang barusan berkata. Dia terkejut. Karena hal inilah yang dikehendakinya agar dia tidak jadi olokan murid dan menderita malu di hadapan murid –muridnya.

GURU Gumara terharu atas sikap Pita Loka. Dia merasa berhutang budi. Lalu semangat mengajarnya bangkit. Dan berkata: "Anak-anak, sementara kita

tinggalkan mata pelajaran Sejarah Kebangkitan Afrika Merdeka. Kita memasuki mata pelajaran Geografi."

(5)

Tetapi konsentrasi Guru Gumara mengajar bukan seperti sebagaimana biasa. Ada firasat buruk yang mengganggu perasaannya, yang belum dia pahami. "Berhubung buku tuntunan mata pelajaran ini belum tiba di Kumayan, saya mencoba untuk mengajar kalian mengenai keadaan Bumi kita sekarang ini. Bumi yang kita diami sekarang ini, yang kita kenal dengan bentuknya seperti pemetaan yang terlihat pada bola dunia ini," ujar sang Guru sembari memperlihatkan bola dunia di atas mejanya, yang diangkatnya.

“Geografi bukan sekedar ilmu mengenai pemetaan, tetapi kumpulan dari berbagai masalah yang terjadi dalam bola dunia ini. Baik yang di darat, maupun yang di laut maupun yang di udara kita yang disebut atmosfir. Tentu ada diantara kalian yang mungkin lebih pandai dari saya, karena rajin membaca, sehingga dia lebih mengetahui,” lalu ditatapnya Pita Loka, tapi Pita Loka tidak memperlihatkan reaksi karena dia malu sebab usianya melebihi usia rata-rata murid SMA di kelas itu. Gumara hanya ingin

mengingatkan Pita Loka, bahwa dulu dia pernah mengajarkan hal itu ketika Pita Loka masih muridnya di SMP.

“Suhu bumi kita sekarang ini amat panas karena putarannya yang berabad-abad sejak bumi kita diciptakan Tuhan. Pada awalnya, bumi kita ini adalah bola dunia yang amat dingin berupa gumpalan-gumpalan es yang dikenal pada masa itu sebagai Zaman Es.”

“Keringat Bapak, Pak!” tegur Ardi pada sang Guru.

Ketika Gumara melihat pakaian yang melekat di tubuhnya sudah seluruhnya basah, dia lalu sadar, bahwa dia tak layak jadi tontonan.

“Saya mohon maaf. Mungkin saya kurang sehat,” kata Gumara.

“Sebaiknya bapak istirahat pulang saja,” ujar Pita Loka. Gumara melihat sekali lagi pada Pita Loka. Hatinya bahagia. Lalu dia pamit, kemudian menemui Direktur dan minta ijin pulang sebab sakit.

Setiba di rumah, Alif memberitahu padanya: “Guru, tadi setelah Guru pergi, Ki Lading Ganda menemui saya, lalu meminta minum air kendi, Apa maksudnya?” “Oh, begitu. Karena kau orang awam, sesuatu yang menjadi perhatianmu pasti karena kejujuran dan tanpa prasangka. Apa kau sempat melihat Ki Lading Ganda masuk ke kamar saya?”

“Tidak, Guru,” sahut Alif. “Betul tidak?”

(6)

Namun Gumara mempunyai firasat. Ketika dia memasuki kamarnya, dia melihat keanehan pada meja papan sabun itu. Susunan Kitab berubah dari letak semulanya.

Kitab Pertama terletak di atas. Sedangkan hal itu bukan semestinya. Gumara lalu mendapati Alif.

“Kau merasa terkena sihir?” tanya Gumara pada Alif. “Saya hanya duduk,” kata Alif.

“Ketika kau duduk, apa kau tak merasa ada yang aneh?” Alif mencoba mengingat-ingat. Namun gagal.

“Tidakkah Ki Lading Ganda menatap ke matamu?” tanya Gumara. Alif mencoba mengingat, kemudian baru dia ingat, dan berkata: “Ya.Guru!”

“Bagaimana keadaan bola mata beliau?” “Biasa. Tapi kemudian saya ngeri.”

“Ada yang menakutkan Anda?” tanya Gumara. “Ya. Hanya rasa ngeri.”

“Kau tidak melihat sesuatu selain perasaan ngeri?” “Saya bertambah ngeri, setelah melihat sesuatu, Guru!”

“Wajahnya, kan ? Dia menyeringai, kan ? Lalu kau melihat saing taring harimau diwajahnya?”

Alif berdiam diri. Dia malah jadi ketakutan. Gumara cepat menghapus wajah Alif dengan sapuan telapak tangannya. Alif terdongak, seperti barusan terjaga dari mimpi. Gumara puas, lalu dia kembali ke kamar. Dibukanya lembaran tengah buku Pertama dari Kitab Tujuh itu, dan dia membaca amanat penting dari buku itu: “Sesungguhnya, ada sesuatu di Lembah Suliram itu. “Pasti Ki Lading Ganda telah menuju ke sana . Terjebak oleh pancingan amanat ini,” kata Gumara pada dirinya sendiri. Lalu dipanggilnya Alif, Dan berkata: “Hari ini saya berpuasa. Saya akan pergi sebentar.”

GUMARA melangkah tenang. Maksudnya ingin ke rumah Ki Lading Ganda untuk sebuah kepastian. Tapi untuk menuju ke sana, mestilah melewati rumah Pita Loka.

(7)

Ketika itu Pita Loka ada di rumah, sebab Direktur menyuruh seluruh kelas 1 B pulang karena tidak ada guru yang akan mengajar. Tapi ketika Gumara lewat, Pita Loka cepat turun rumah untuk menyelidiki arah kepergian sang Guru. Dan ketika dia tahu arahnya akan menuju rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka masuk ke kebun dan mengambil jalan pintas. Pita Loka menyelidiki. Dari arah selatan dia kemudian membuktikan benarnya firasat. Tampak olehnya, Guru Gumara Peto Alam memasuki pekarangan rumah Ki Lading Ganda. Hati

sanubarinya sebetulnya ingin mencegah, agar Guru Gumara tidak lagi terlibat dalam dunia kependekaran.

Tapi dia kini ingin memastikan! Sebab dia yakin, akan terjadi lagi sebuah huru hara besar menimpa desa Kumayan”. Ini hanya dugaan dan ramalannya saja. Dan ini ditafsirkannya dari kalimat terakhir pidato ayahnya, seorang pendekar sejati, yang intinya mengandung makna besar tentang Sufia itu. Maka, ketika Gumara selesai dari rumah Ki Lading Ganda, Pita Loka

mencegatnya.

“Dari mana, Guru?” tanyanya. Gumara terkejut mendapatkan muridnya barusan meloncat dari semak.

“Saya juga akan bertanya. Mengapa kamu mendadak ada di sini?” kata Gumara. “Karena saya yakin, ada hal penting Pak Guru ke rumah Ki Lading Ganda. Ada sesuatu yang sedang merisaukan anda?” tanya Pita Loka.

“Sesungguhnya sulit bagiku untuk merahasiakannya. Tetapi apa pula gunanya kuterangkan padamu, Pita Loka?”

“Saya pun tidak ingin mengetahui lebih jauh, jika itu Pak Gumara anggap suatu rahasia. Hati anda sedang bercabang sekarang ini, Guru!”

Gumara menoleh. Dia berusaha tersenyum: “Kau terlalu banyak tahu, Tapi janganlah risaukan saya.”

“Itu sudah jelas,” sahut Pita Loka, “Misalnya Tuan Guru luka atau buta mata dalam pertempuran disini dengan Guru Lading Ganda, buat saya tak menjadi masalah. Tapi, misalkan karena pertempuran itu Tuan Guru mati, itu menjadi masalah.”

“Siapa yang dirugikan jika saya mati?” tanya Gumara girang.

Seluruh murid SMA Kumayan,” sahut Pita Loka. Gumara mendadak kecewa. Dia mengira Pita Loka akan menjawab dirinyalah yang rugi jika Gumara mati. Tau-taunya bukan! Sialan!

Keduanya menyusuri jalan setapak sampai akhirnya berhenti di depan rumah Pita Loka. Ki Putih Kelabu yang hampir membuang daun sirihnya ke jendela lalu mundur. Dia menampak puterinya berjalan beriring dengan Gumara.

(8)

Hatinya puas sekali, kendati tak mendengar percakapan itu.

“Maukah tuan berjanji tidak perlu mengusik tingkah laku Ki Lading Ganda?” “Kenapa? Apa kau menduga, meramal, bahwa Ki Lading Ganda sedang melakukan sesuatu?” tanya Gumara.

“Saya menduga demikian. Saya menduga, antara Tuan dan dia sedang

memperebutkan sesuatu. Setidaknya akan memperebutkan sesuatu,” ucap Pita Loka.

“Saya akan pulang ke rumah jika demikian,” kata Gumara, “Dan beristirahat. Sebab Tuan kurang sehat,” ujar Pita Loka, “Yah, begitulahl”

“Jika tuan usik Ki Lading Ganda, anda akan celaka, Gurul” “Yah, saya berjanji.”

Gumara memberi salam, lalu berlalu meninggalkan Pita Loka. Pita Loka lalu masuk ke rumah. Kemudian didapatinya ayahnya sedang menusuk-nusuk selembar daun sirih dengan jarum pentul.

“Ayah percaya mataku yang buta masih bisa diobati dengan itu!”“ tanya Pita Loka.

“Kebutaan matamu bukan suatu takdir, Tapi hanya sebuah musibah kecil. Usaha mengobatinya akan terus kulakukan,” ujar Ki Putih Kelabu. Maka, ketika magrib tiba,setelah mandi, Pita Loka mematuhi panggilan ayahnya.

Mata yang tak dapat melihat itu diperintahkan Ki Putih Kelabu supaya

ditutup. Lalu dilapisi dengan selembar daun sirih yang sudah ditusuk tusuk jarum pentul. Dan dilapis lagi dengan perban plester.

Ketika dilihatnya puterinya termenung dikala malam tiba, Ki Putih Kelabu bertanya: “Apa yang sedang kau pikirkan, nak?”

“Sebuah renungan yang berbunyi. Jika seorang awam mati, maka dia tidak meninggalkan suatu apa. Tapi jika seorang yang berguna bagi masyarakat mati, maka kematiannya menimbulkan kerugian.”

ILMU Ki Putih Kelabu ibarat air dalam kendi. Putih bersih, dan dingin. Dia segera memahami renungan puterinya itu.

Dia berdiam diri tak banyak bicara. Belum pernah dia mendengar tutur kisah sepasang manusia saling mencintai melebihi dahsyatnya cinta puterinya pada

(9)

Gumara. Begitupun sebaliknya.

Hal itu sulit untuk diurai kecuali apabila keduanya telah mendapatkan titik temu, kemudian kesepakatan, untuk dikawinkan!

Jiwanya menggebu di tengah malam buta. Serasa dia ingin terlibat dalam derita puterinya. Yaitu berangkat malam ini juga, mencegah pertempuran antara Gumara dan Ki Lading Ganda.

Malam begitu gelap, ketika dibukanya jendela samping. Mau rasanya dia

meloncat bagai seekor harimau pohon menembus kegelapan malam. Tapi itu akan diketahui sang anak, lalu akan dicegahnya. Tapi segalanya seperti terjadi bersamaan! Pita Loka pun membuka daun jendela kamarnya, bertepatan ayahnya barusan menutupnya. Pita Loka turun dari jendela, berlambat-lambat memasuki kebun. Dan Ki Putih Kelabu pun membuka kembali daun jendelanya, cuma

sekedar bisa mengintip. Dia tercengang sewaktu dilihatnya bagai segumpal asap mirip asap knalpot motor menyelusupi semak belukar. Yah, didapatinya anaknya masih memiliki ilmu menerobos semak yang sangat hebat.

Benarlah itu semua! Bagai kilat Pita Loka membelah semak belukar dengan kemampuan Ilmu Api yang diperolehnya dari Ki Surya Pinanti dahulu. Dia tiba di sisi lembah sebelah barat bagai segumpal asap terakhir, menyatu dengan kabut yang merayap.

Pita Loka melihat satu sosok, kendati dengan sebelah matanya saja, namun sosok itu amat jelas. Itulah Guru Gumara, yang sedang mengintai ulah Ki Lading Ganda.

Ki Lading Ganda ketika itu mencoba memanjat satu tebing curam, dalam usaha separuh berhasil untuk sampai ke guha di tengah tebing itu. Tapi begitu tangan si tua itu memegang satu susunan batu besar, batu-batu itu bergeser dari tempatnya, lalu runtuhlah semua susunannya, menimpa kapala Lading Ganda, dan beliau ikut terseret, merosot dan menggapai kian kemari mencari pegangan. Untunglah ada akar pohon kinantu unluk menyambut gapaiannya. Si tua itu berpegang erat, Terdengarlah hembusan nafasnya yang bergema ke dalam lembah Suliram yang tabu itu.

Lembah Suliram sudah lama menjadi dongeng para pendekar sebagai sebuah lembah yang tabu. Kecuali bagi mereka yang sudah setaraf suhu dengan satu ilmu Cahaya yang sulit didapati kecuali tingkatan wali-wali.

Gumara juga mengikuti ulah Ki Lading Ganda yang masih juga kembali berusaha memanjati tebing itu. Kemampuan itu tidak sulit untuk siapa pun yang

menguasai amalan ilmu cicak yang merambati dinding. Tapi si tua itu jelas tidak memiliki. Dia hanya memiliki kaberanian, kekuatan, dan kekerasan hati belaka.

(10)

tujuannya semula, dalam posisi di tengah tebing menjelang guha. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Sementara itu fajar sudah menyingsing. Hal itu menggembirakannya, karena tebing yang dirayapi itu menghadap ke timur.

Mata tua itu berhati-hati meneliti tiap celah yang dapat menjadikan jari-jarinya untuk menyelusup bagi pertahanan agar tak jatuh. Tapi dia teramat malang ketika digapainya susunan batu-batu besar di mulut guha itu, lagi-lagi batu itu bergeser dan runtuh menimpa kepalanya, dan bagai terbang bersama batu-batuan itu kebawah, Ki Lading Ganda menggapai-gapai, kali ini gagal berpegang pada akar pohon kinantu, tapi toh dia berhasil menyergap dahan pohon sari dulur lalu bergayutan pada salah sebuah dahannya.

Hembusan nafas dahsyat bergema lagi di lembah Surilam, menggemakan perasaan puas karena tak jadi hancur bila membentur permukaan dibawah itu.

“Orang tua keras hati .,,...,” ucap Gumara seorang diri.

“Memang,” sahut Pita Loka, yang mendadak ada di sampingnya, yang membuat Gumara kaget.

Gumara menatap Pita Loka. Dia malu karena tidak menepati janji. Dan dia lebih malu lagi karena Pita Loka berkata: “Sejak fajar menyingsing sekarang ini, saya akan membenci tuan. Tuan tidak menepati janji!”

Suara itu terjaga perlahan. Gumara pun mengejarnya dengan menjaga suara berisik agar tak diketahui si pencari sesuatu, yang masih bergelayutan di dahan pohon saridulur.

Gumara terus berlari menuruti jejak Pita Loka yang kembali menuju Kumayan. Tetapi sekelebatan langkah Pita Loka menggebubu menciptakan asap menerjang semua semak padat daunan. Itu mencengangkannya.

Sekiranya Gumara harus memilih sebuah gunting emas ataukah kemarahan Pita Loka, jurtru Gumara akan memilih kemarahan gadis ini. Kemarahannya ini membuktikan cintanya. Kendati Pita Loka menolak untuk dikawini, justru hal ini bukan soal penting. Penolakan perkawinan tentu berdasar satu alasan yang tidak akan menggoyahkan prinsip cinta. Gumara tiba dirumahnya dengan perasaan plong.

Tapi Pita Loka tiba di rumahnya dalam keadaan ditunggu sang Ayah. Ki Putih Kelabu menyergahnya dengan pertanyaan; “Jika kamu mencintai Gumara Peto Alam, apa salahnya kalian berdua kawin saja?”

“Kawin?” tanya Pita Loka.

“Ya. Sekiranya kalian berdua kawin, banyak kenikmatan hidup yang akan kalian dapati. Cinta yang diwujudkan melalui perkawinan, tidak akan pernah

(11)

runtuh karena goncangan alam. Selain itu, jika perkawinan membuahkan keturunan, maka keturunan kalian merupakan paduan dari dua bibit unggul terpuji. Sebab kalian akan mendapatkan anak - anak yang memiliki hati yang tulus, otak yang cemerlang dan jiwa kependekaran yang menghancurkan tiap kebatilan di muka bumi.”

Pita Loka menoleh pada ayahnya, lalu; “Memang itu konsep hidup yang indah. Tidak saya dengar di sini, seorang ayah memiliki konsep seperti ini. Tapi tahukah ayahanda, Guru Gumara itu memiliki dua muka apabila dia berhadapan dengan saya, dan Harwati”

Pita Loka meneruskan: “Harwati itu bagi Guru Gumara adalah titipan khusus almarhum Ki Karat. Sedangkan Gumara bagi Harwati merupakan sebuah monumen agung dari cintanya yang berkobar tanpa memperdulikan aturan alam maupun moral.

Dia tidak dapat dipersalahkan, karena dia lebih dulu mencintai Gumara ketimbang pengetahuannya yang dia terima kemudian, bahwa Gumara itu satu ayah dengan dia.”

“Jadi adanya Harwati inikah yang menjadi ganjal penolakan perkawinan?” “Ya, Ayah,”

“Dia bisa dipanggil, lalu diyakinkan, bahwa pendiriannya ngawur!”

“Dia mau mati untuk ini. Dia sudah bergabung dengan Ki Rotan, pemilik ilmu Iblis yang hebat pula. Kalau dipikir secara dangkal, memang cuma kematian Harwati yang akan melicinkan perkawinan saya dengan Guru Gumara.”

“Dan kau takkan mau menempuh cara ini,” kata Ki Putih Kelabu.

“Itu sudah pasti, Tidak layak untuk membunuh Harwati. Tidak sehat untuk menaklukkannya, lalu memaksanya tunduk.

Harwati bukan pantas untuk ditebas dengan pedang, juga dipaksa takluk dengan senjata, maupun bujukan kata-kata fasih seorang bijak. Tidak.

Kecuali apabila dari dirinya sendiri memancar cahaya kebenaran hidup. Tapi apa yang tarakhir ini mungkin? Rasanya tidak. Saya tidak akan bicara lagi soal ini. Dan saya harap, ayah pun jangan bicara lagi soal ini,” ujar Pita Loka, yang langsung mencopot plester dan daun sirih dari matanya.

Lalu berkata manis, “Ayah, tolong buatkan lagi sirih obat mataku.” Ki Putih Kelabu mengambil selambar daun sirih yang direndamnya di gelas. Dengan jarum pentul ditusuk-tusukknya permukaan daun sirih itu. Lalu dia

menempelkan lembaran itu ke mata Pita Loka yang buta. Dan merekatnya dengan plester.

“Mengobati kebutaanmu ini lebih utama dari soal apa pun sekarang ini,” ujar Ki Putih Kelabu. Ketika Pita Loka hari itu berada dalam kelas, dia dengar

(12)

di kelas sebelah Guru Gumara sedang mengajar ilmu Fisika.

Suara Gumara sangat dikenalnya. Dan dia merasa puas, sebab kedengarannya Guru Gumara sehat-sehat. Maka ketika jam istirahat dilihatnya pula sang Guru berwajah segar, kepuasannya bertambah. Pada gilirannya Gumara Gumara mengajar di kelas Pita Loka, gadis buta ini

Lebih puas lagi sebab tak tampak ada ganguan batin. Mengajarnya lancar. Sesekali dia melirik pada Pita Loka. Dan Pita Loka sekejap membalas lirikan itu tapi kemudian menundukkan kepala dengan tersipu.

Pita Loka yakin, Gumara sudah memaklumi arti benci yang diucapkan di waktu fajar di tepi tebing Lembah Suliram. Cuma, pada malam harinya sehabis belajar di kamar menjelang tengah malam, goncangan batin membuat Pita Loka curiga. Kecurigaan itu dia taklukkan dengan membaringkan tubuh.Rupanya perasaan was-was ini terbukti. Guru Gumara tepat tengah malam menghambur dari rumah menerobos hutan semak belukar menuju tebing Lembah Suliram. Dia malah menuruni lembah itu setelah melihat usaha Ki Lading Ganda begitu hebatnya untuk memanjat dan memanjat lagi agar mencapai lubang pintu guha itu.

Setiba di bawah lembah berbatu miring terjal itu, Guru Gumara melihat Ki Lading Ganda siap untuk naik memasuki Guha. Gumara berseru:

“Tuan Guru!”

MALANG tak dapat dihindari. Begitu mendengar seruan Gumara dibawah, si tua keras hati ini menoleh. Dia gamang melihat keadaan dibawah, dan untuk menjaga keseimbangan dia meraih tepian batu. Dan batu itu bergeser, mengikuti berat tubuh Ki Lading Ganda. Batu besar itu bersama tubuh Ki Lading Ganda meluncur ke bawah. Detik itu Gumara menghambur meloncat. Dia manyambar tubuh pendekar tua itu, lalu dalam keadaan menggendongnya sebuah acuan membuat dua tubuh itu terlempar ke pohon mugira yang bercabang

banyak.

Ki Lading Ganda sempat menyergap dahan pohon itu. Juga Gumara menyergap dahan pohon yang lain. Sehingga kedua-duanya sudah terpisahkan dari kesatuannya,

“Anak celaka!” gerutu Ki Lading Ganda menatap Gumara.

“Justru tuan akan menemukan celaka jika tidak saya samber segera,” jawab Gumara.

“Kenapa tidak kau biarkan aku mati dicoblos batuan runcing di bawah?”

“Itu semua karena saya menghargai setiap kelebihan. Tuan Guru memiliki satu kelebihan. Kelebihan Anda itu cuma anda yang tahu. Itulah sebabnya saya menyergap Anda sebelum mati konyol,” ujarGumara.

(13)

Tapi Ki Gumara tidak menyukai bantuan begini. Dia berkata; “Aku tidak ingin berhutang budi padamu.”

Tanpa diduga dia menghambur ke arah Gumara dengan tendangan tumit yang menghantam pelipis mata Gumara. Gumara terpelanting bagai melayang menuju batu-batuan runcing di bawah sana itu, tetapi dengan cekatan dia justru dalam keadaan seperti penari yang telapak kakinya menyentuh tiap batu

runcing sekedar sentuhan, sampai dia akhirnya melompat ke dataran rumput di tepi tebing yang lain.

Begitu dia menghembuskan napas kelegaan dua kali, seketika sudah muncul dihadapannya Ki Lading Ganda dalam keadaan memegang Golok Kembar. Golok itu dipermainkannya dalam posisi siap memancing pertempuran. Gumara cukup tabah manghadapi pengkhianatan budi ini. Dia tegak perkasa sembari mengatur

pernapasan. Seakan dia akan membiarkan tubuhnya ditebas lawan.

Tapi begitu kilatan golok itu menghunjam mau menebas lehernya, Gumara berkelebat sedikit menggeser tubuh, sehingga mata golok yang licin itu tidak masuk ke daging lengannya yang menangkis melainkan kepelesetlah mata golok itu oleh keringat.

Sebagai imbalannya Gumara memutar badan dan menendang kebelakang, sehingga telapak kakinya menggedor dada Ki Lading Ganda. Gedoran itu membuat si tua itu muntah darah! Mujur baginya tidak terlempar ke kiri, sebab andaikata itu terjadi sudah pasti tubuhnya akan dinanti batu-batuan runcing yang mirip tombak di Lembah Suliram itu.

Muntah darah itu justru terjadi karena si tua bertahan berdiri menyediakan dadanya terkena gedoran telapak kaki!

Gumara siap untuk membantai si tua itu dengan satu tendangan lagi ke arah nyali. Tapi itu dia lakukan juga, cuma tidak sampai mengenai. Dia cukup puas melihat Ki Lading Ganda ketakutan. Ketika dia ulangi sampai tiga kali tendangan untuk menggedor dada si tua, namun tak mengenai, dia lagi-lagi puas melihat kerdipan mata mengernyit dahi pada wajah tua itu, pancaran kecut hati dan ngeri.

“Untung aku bukan dikendalikan setan iblis,” ujar Gumara.

“Kenapa kamu tak membunuhku? Padahal sekarang ini pun kamu bisa. Dibawahku jurang. Tinggal kamu tendang. Di bawah jurang ini ada batu-batu runcing. Kenapa, Gumara?”

“Karena tidak ada turunan harimau yang makan harimau,” ujar Gumara. “Jika itu dilakukannya, dia mati.”

(14)

“Nah, Tuan Gumara sudah tahu ancamannya. Tapi masih ada satu rahasia lagi mengapa saya tidak layak membunuh tuan,” ujar Gumara kemudian.

Kelengahan Gumara dimanfaatkan oleh Ki Lading Ganda yang menetak kening Gumara, tepat pada tengah jidat, yang membuat Gumara terjungkal tapi mujurlah tidak tertusuk batu runcing. Dia jatuh tepat diantara dua batuan runcing bagai tombak, dan justru ujung dua batu runcing itu menjadi tempat pegangannya.

Gumara tahu keningnya luka oleh tetakan golok Ki Lading Ganda. Darah

mengucur membasahi kemeja putihnya. Namun dia bertahan terus memegang kedua ujung batu runcing itu. Dia merasa akan pingsan. Tapi dia musti menunggu sampai darah itu berhenti mengalir, barulah menyerahkan diri pada nasib. Sementara itu Ki Lading Ganda sudah memanjati lagi tebing Lembah Suliram dengan tujuan mantap akan memasuki guha itu. Gumara pun menghentikan seluruh perjalanan darahnya, satu ilmu yang sukar sebab hal ini berarti menghentikan gerak klep jantung.

Ilmu mati-suri ini sulit. Tapi pendekar yang cekatan, selalu menaruhkan sedikit gula di liang telinganya. Dan itu sudah dipersiapkan Gumara sebelum menuju sini.

Gumara berjuang untuk mengendalikan waktu. Yang penting luka di jidatnya tak mengucurkan darah lagi. Ketika darah yang semula mengucur dari kening itu kemudian berhenti, Gumara membiarkan dirinya dalam keadaan lemas, lemas dan makin lemas. Lalu dia ambruk ke bawah. Dia telah mati suri. Benarlah, ketika dia satu jam lebih menjalani kematian suri itu, beberapa ekor semut mengrubungi telinganya. Telinga yang berisi gula itu menjadi rebutan semut. Beberapa diantaranya,mencari cara mudah dengan menggigit kulit Gumara. Inilah yang menggerakkan kembali aliran darah yang terhenti. Rasa geli di liang telinga, membangunkan Gumara dari mati-surinya!

Matahari sudah akan terbit. Gumara tergesa-gesa meninggalkan sela bebatuan itu. Ketika dia melihat ke dinding guha tebing Suliram, dia tak melihat lagi Ki Lading Ganda memanjat.

“Jika dia berhasil masuk, dia akan ditelan bencana, Biarlah,” ucap Gumara dalam hati, lalu meninggalkan Lembah Suliram. Dia harus cepat tiba kembali di Kumayan, di rumahnya. Dan setiba di rumah. dia berkaca. Goresan luka sedikit pada kening dia urut pelahan dengan daun sirih yang dihancurkan. Bekas ada, namun sedikit. Setelah dilihatnya Alif menyediakan sarapan pagi. Gumara kembali memberitahukannya bahwa dia berpuasa.

Begitu habis cuci muka dan menyiram tubuhnya dengan sari bunga mawar, Gumara siap untuk pergi mengajar. Ketika itulah pintu diketuk. dan begitu dilihatnya, ternyata tamu itu Pita Loka.

(15)

“Nyenyak,” sahut Gumara.

“Saya mampir ke sini untuk menyampaikan amanat ayah”, kata Pita loka. “Tetapi sekalian menyelidiki, apakah bapak tadi malam pergi lagi mencegah Ki Lading Ganda. Pak Guru semalam tak keluar rumah kan?”

“Tanyakan saja pada Alif,” ujar Gumara menoleh pada Alif.

Alif nenjelaskan: “Beliau tidur nyenyak dan ngorok semalam suntuk.” “Kamu puas, Pita Loka?” tanya Gumara.

“Puas, Guru!”

“Coba saya ingin dengar amanat ayahmu,” ujar Gumara.

Karena ada Alif, Pita Loka hanya menuliskannya saja di halaman buku tulisnya: “Bapak tadi malam mendengar wisik, yaitu bisikan angin, dimana dia mendengar kalimat ini. Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah

Suliram ...,” setelah menulis itu Pita loka melanjutkan dengan kata: “Apa makna kalimat itu?”

“Itu adalah kalimat inti kedua dari susunan Kitab Tujuh,” ujar Gumara.. Gumara mengajak Pita Loka untuk melihat Kitab Tujuh itu, tapi Pita Loka menolak: “Bukan hak siapa pun untuk memiliki dan membacanya, kecuali Anda, Guru!”

“Rupanya kamu mengetahui sumpah tabu kitab itu,” ujar Gumara.

“Bukan! Bukan! Saya manusia biasa. Tak ada yang tabu di muka bumi ini

kecuali 10 perkara besar. Tapi apa yang ayah tanyakan pada Guru, belum Anda jawab, Guru!”

“Baik. ini jawabannya, dan ikhlas menjawabnya: Itu adalah kalimat yang tertera dalam Kitab Kesatu dari tujuh kitab itu. Sepertinya kalimat itu pemberitahuan. Tapi sebetulnya larangan halus. Maka selama ini Lembah Suliram tabu kecuali bagi pendekar yang sudah memiliki ilmu Cahaya, itu sebabnya saya mengejar Ki Lading Ganda. Tapi dia bandel. Terserah padanya untuk mengalami kasulitan dahsyat!”

Pita Loka lalu melihat lengan Guru Gumara bekas lecet, kemudian pada keningnya. Dia lalu curiga dan langsung bertanya:

“Mestikah Guru merahasiakan, lalu berdusta pada saya bahwa tadi malam tuan ke sana , dan mengalami sedikit perkelahian dengan beliau Ki Lading Ganda?”

(16)

“Saya tahu kau baru melihat bekas pada keningku,” ujar Gumara.

“Saya makin benci pada tuan,” ujar Pita Loka, lalu berpamitan. Ketika tiba di rumah dia dalam keadaan berwajah suram. Ki Putih Kelabu bertanya:

“Kalian baru cekcok, Pita Loka?”

“Tidak. Saya hanya benci padanya, ayah. Mengenai wisik yang ayah dengar itu. menurut Guru Gumara Peto Alam, adalah isyarat larangan ke Lembah

Suliram. Itu tertera di Kitab Kesatu dari tujuh kitab sakti itu. Jadi wisik itu anggap saja godaan iblis.”

“Sampaikan terima kasihku pada Gumara. Hampir saja ayah ke sana ,” ujar Ki Putih Kelabu.

Tapi, justru aneh, di dalam kelas, ketika giliran Guru Gumara mengajar, Pita Loka batal melaksanakan rencananya untuk bermuka-masam pada Guru Gumara. Dia malahan memperlihatkan wajah kekaguman sembari mendengarkan kisah perjuangan rakyat Afrika melawan orang kulit putih. Sebuah keterangan mengesankan adalah ucapan sang Guru: “Sebuah tahayul kadangkala berguna bagi gerakan kemerdekaan Afrika. Misalnya tahayul bahwa orang kulit putih yang sudah hampir mati, namun bisa ditolong, harus dibunuh.”

Ki Lading Ganda seperti orang kebingungan. Dia mundar-mandir dalam guha itu. Kalau dia melangkah ke arah selatan, dia terbentur menemui dinding buta. Kalau dia melangkah ke utara, dia terbentur dinding buta. Dan jika dia melangkah ke barat, dia lagi-lagi terbentur dinding buta. Sewaktu dia melangkah ke arah timur, dia juga menghadap dinding buta. Padahal itu pintu guha itu, yang terbuka lebar. Saking bingungnya, Ki Lading Ganda menjerit lantang. Suaranya tentu saja keluar menerobos pintu guha itu, mengalir ke Lembah Suliram. Tengah hari bolong waktu itu!

Ki Lading Ganda sudah untuk ke sekian kalinya mundar-mandir menghadapi empat dinding buta sejak masuk ke guha itu, kecewa tidak menemukan sesuatu. Dia lantas menjerit lagi: “Bajingaaaaaaann!”

Suara itu kedengaran sampai ke bawah, ke dasar Lembah Suliram.

Padahal ketika itu. dua manusia di dasar lembah sedang kehilangan arah peta serta tujuan. Yang satu wanita. Yangsatu pria.

Dua-duanya buntung, Yang pria memegang tongkat, menoleh lagi ke pintu guha setelah mendengar lagi: “Bajingaaaaaaaaaannnnnl”

“Ki Harwati, kita berhenti dulu di sini,” ujar pria tua bertongkat dan satu tangannya buntung.

“Jangan layani, Ki Rotan,” ucap Harwati.

“Mungkin dalam guha itu ada penuntut ilmu, Kita berangkat kesana, lalu mendapatkan ilmunya, kemudian dia kita bunuh,” ujar Ki Rotan.

(17)

“Supaya tuan Guru tahu, kita mungkin tersesat ke Lembah Keramat. Yah, mungkin inilah yang Lembah Suliram. juga disebut ayahku Lambah Tabu bagi para penuntut ilmu,” ujar Ki Harwati.

Terdengar lagi gema seruan: “Bajingaaaaaannnnnn!”

Ki Rotan menoleh ke arah sana. Dia berkata tegas: “Jika kamu tidak ikut aku ke sana, kita bubarkan persekutuan kita hingga disini,”

“Tapi anda akan celaka sebagaimana layaknya saya. Lihatlah batu-batuan runcing sekitar sini, bagaikan tombak-tombak yang memperingatkan.

Sebetulnya kita sudah mujur mendengar teriak orang kebingungan di dalam guha itu. Kita tadi sudah kehilangan peta. Jika betul ini Lembah Suliram, kita tinggal mencari celah sempit lembah ini, memasang garis lurus ke utara sana dan celah sempit, akan sampai ke desaku Kumayan!”

“Kumayan lagi! Kumayan lagi!” gerutu Ki Rotan, “Tujuan kita ilmu! Bukan pulang ke desa semata-mata.”

“Aku bertujuan pulang ke desa. Aku rindu desaku. Aku rindu berziarah ke kuburan ayahku. Aku rindu bertemu muka dengan pria yang aku cintai, Guru Gumara. Pendeknya, sejak kita berguru pada Guru Kembar itu, kerinduan dan cintaku berkobar lagi, Ki Rotan!”

“Mereka berdua menipumu dengan menyatakan bahwa Guru Gumara itu bukan anak dan air mani Ki Karat. Mereka menipumu bahwa Gumara itu anak angkat Ki Karat! Aku lebih tahu semua silsilahnya. Bahwa memang benar Ki Gumara itu anak haram Ki Karat. Sudah ditetapkan dalam Buku Resi, bahwa ilmu yang didapatkan Ki Karat setelah dia menyetubuhi wanita itu dan lahirnya Gumara hanya bertahan seumur 33 tahun saja. Jika suatu hari Ki Karat didatangi Peto Alam, tepat ketika anak itu berusia 33 tahun, Ki Karat akan hidup sekarat. Kemudian mati.

Ki Karat satu-satunya harimau Kumayan yang mengalami hidup dua kali saja, kemudian dia mati”. Ki Harwati tercengang beberapa saat. Dia masih meyakini keterangan Guru Kembar, bahwa Ki Karat bukan ayah kandung Guru Gumara, melainkan ayah angkat.

“Kita berpisah di sini kalau begitu, Ki Rotan”, ujar Ki Harwati.

Ki Rotan jadi berang, lalu menyabet tubuh Ki Harwati, namun tidak mengenai, sebab Ki Harwati secepat kilat meloncat ke udara dan membuat jarak berdiri jadi menjauh.

“Pembunuh!” seru Ki Hawati.

“Untuk memiliki kekuatan yang lebih unggul, pembunuhan wajar dalam dunia persilatan”. kata Ki Karat.

(18)

“Tapi anda membunuh dua manusia kembar yang mengajarkan inti Kitab Tujuh pada anda. Maka kita sampai di sini!. Dan kini tuan mau belajar lagi pada orang dalam guha itu, dengan rencana membunuh. Alangkah busuk hati tuan!” “Karena ilmuku ilmu Seratus, Supaya kamu tahu. Aku musti membunuh seratus pendekar, baru ilmuku sempurna”, kata Ki Karat.

Terdengar lagi seruan dari mulut guha di tengah tebing lembah itu: “Bajingaaaaaaaaan! Kitab Tujuh Bajingannnn!”.

Suara itu jelas. Baik oleh telinga Ki Harwati, maupun telinga Ki Karat. Ucapan tarakhirnya itu membuat Ki Harwati menoleh pada Ki Karat.

“Kau dengar sendiri”, kata Ki Karat, “Dia dalam uji coba Kitab Tujuh itu . . . dan mungkin saja dialah Gumara”.

Mungkin saja Gumara”, ulang Ki Rotan pada Harwati. Hal ini menggoyahkan batin Harwati. Lalu dii dengarnya lagi teriakan dari mulut guha itu; “Bajiingannnn! KitabTujuh bajiingannnn!”

Ki Rotan menatap mata Harwati. Dia berkata; “Kita tidak boleh menunggu sampai Ki Gumara jadi gila. Kita harus ke sana segera, membantu dia!” Semangat Harwati sudah makin menggebu.

“Tapi, apakah itu pasti suara teriakan Gumara, Ki Rotan?” tanyanya.

“Siapa lagi yang memiliki Kitab Tujuh selain dia. Dia itu sekarang dalam kesetanan atau kebingungan”, Kata Ki Rotan.

“Baik kalau begitu. Asalkan tuan berjanji, jika ilmu ini sudah kita

dapatkan darinya, jangan jadikan dia korban yang tuan bunuh”, kata Harwati. “Dia tentu harus dibedakan dengan Ki Kembar itu”, ujar Ki Rotan.

Harwati lalu mendekat guru tua ilmu Seratus itu, dan mengikuti jejak

langkahnya. Memang menemui sedikit kesukaran setelah batu-batu runcing yang berbahaya itu mulai menjadi penghalang.

Ki Rotan menoleh kebelakang melihat Ki Harwati jauh tertinggal. Lalu dia berkata: “Masih ingatkah kamu silat Belalang?”

“Itu silat anak kecil. Ketika kecil ayah mengajarkan padaku!”

“Namun itu bila kau gunakan sekarang. ilmu yang kecil biasanya diperlukan untuk mendapatkan ilmu yang besar”, ujar Ki Rotan,

Ki Harwati mulai melakukan konsentrasi untuk loncatan demi loncatan. Dan dia pun akhirnya meloncat dengan telapak kaki menginjak sedetik demi

(19)

sedetik pada tiap ujung batu tombak di lembah itu.

Barulah menjelang sore Ki Rotan dan Ki Harwati tiba pada tempat yang tepat untuk memanjati dinding tebing ke arah mulut guha di atas. Dari situ masih terdengar teriak yang makin parau: “Buku Bajingannn!”

“Sudah tak perlu diragukan lagi, itu teriakan Gumara”, ujar Ki Rotan. “Kini saya tambah yakin, Guru!”, tambah Harwati.

Dan bagaikan cicak merambat, perlahan dan pasti, kedua pendekar memanjati dinding Lembah Surilam. Matahari menyinari tubuh yang memanjat itu. Dan matahari yang sama itu pula menyinari wajah Pita Loka, yang berseri-seri senja itu, menyambut kedatangan Guru Gumara.

Guru itu membawa seperangkat buku-buku. Dia minta bertemu sejenak dengan Ki Putih Kelabu. Gumara berkata pada orangtua itu: “Saya menemui tuan untuk minta ijin merunding satu soal dengan Pita Loka”. Ki Putih Kelabu memanggil Pita Loka dan memberitahukan hasrat tamunya.

“Saya mungkin besok berhalangan mengajar, Maukah kamu menyalin pelajaran dari catatan saya ini di papan tulis?” ujar sang Guru.

“Saya bersedia karena saya murid Pak Guru”, jawab Pita Loka.

“Kamu cek lebih dulu di kantor dewan guru, di kelas-kelas mana dan pada jam mana saya mengajar. Lalu pinjamkan catatan ini pada Ketua Kelas masing-masing”.

“Baik, Guru”.

“Tentu kamu tahu saya mau kemana, Pita Loka”, ujar Gumara.

“Tuan Guru rupanya begitu terganggu dengan ulah Ki Lading Ganda “ “Isterinya sendiri merisaukan kepergiannya. Saya hanya ingin mencegah usahanya yang hanya akan sia - sia saja”, kata Gumara.

“Oh ya. Guru adalah ahli takwil mimpi. Saya tadi malam bermimpi, ada dua semut atau lalat . . . yah katakanlah lalat, sebesar raksasa, yang memanjat ke mulut guha itu”, kata Pita Loka.

Mendengar berita mimpi itu, Gumara diam sejenak. Mendadak semangatnya berkobar, karena dia justru menerima wisik bahwa Ki Rotan dan seorang pengikutnya dengan memanjat dinding tebing.

Semangat di wajah Gumara itu merisaukan Pita Loka yang lantas menerka dengan rasa cemburu: “Apakah tuan Guru bersemangat sampai meninggalkan tugas mengajar karena didorong oleh membela seseorang yang dekat dengan hati anda?”

(20)

“Maksud kamu?”

“Saya menduga salah seorang dari tamsil dua ekor lalat besar itu adalah Harwati”, kata Pita Loka.

Gumara langsung terperangah. Tuduhan itu didorong oleh motivasi, dan dia menyadari hal ini.

“Taruhlah dia Harwati, bukankah saya wajib mencegahnya karena aku dan dia satu titisan darah?” ujar Gumara.

Pita Loka hanya berdiam. Dia merasa lidahnya kelu. Padahal dia ingin mengumbar kejengkelannya mendengar pengakuan tak langsung ini! Setelah Gumara berpamitan pada Ki Putih Kelabu, Pita Loka lalu menyatakan dengan manja pada ayahnya: “Tempelkan lagi daun sirih tanya itu, ke mataku, ayah. Tak layak bila seorang gadis cantik disertai kebutaan”.

Ketika sang ayah menempelkan sirih ke mata yang buta itu, di mata yang buta tampak airmata bercucuran, Beliau bertanya: “Kenapa kau menangis?”

Pertanyaan ayahnya itu malahan membuat Pita Loka semakin tersedu-sedu. Ki Putih Kelabu adalah ayah yang bijaksana, lalu berkata: “Maafkan jika pertanyaan ayah melukaimu, nak”.

“Apakah ayah yakin kebutaanku akan sembuh?” tanya Pita Loka.

“Yang penting usaha. Jika yang kau tanya, apakah air akan bisa naik ke hulu? Itu akan kujawab tidak. Tapi soal penyakit, semua penyakit ada obatnya. Bahkan penyakit jika tergigit bisa ular, atau tergores kuku jari seseorang yang kukunya itu mengandung bisa”.

“Kuku Gumara memang berbisa, ayah. Kukunya inilah penyebab kebutaan mataku”, kata Pita Loka.

“Mungkin juga, jika benar dalam kuku Gumara ada bisa, kebutaanmu akan sembuh jika kalian berdua kawin”, ujar Ki Putih Kelabu.

“Kawin? Dengan Gumara? Cis, lebih baik aku terus dalam kebutaan daripada merelakan kawin dengan dia hanya berharap butaku sembuh. Ayah musti tahu, batin Gumara adalah batin manusia retak jiwa. Dalam jiwanya ada kembaran perasaan terhadap dua wanita: aku, dan Harwati. Itu ayah pun sudah tahu. Orang semacam ini jika menjadi suami, hanya akan mencelakakan hari depanku. Setamat SMA ini, dengan modal keberanian, aku akan ke kota . Dari kota aku akan menuju Jakarta . Desa terlalu kecil bagiku, sehingga telingaku

mendengar orang-orang bergunjing mengenai kebutaanku. Sayang sakali,

(21)

apalah arti kependekaran di abad ini dibandingkan dengan seorang Thomas Alva Edison yang menemukan listrik. Atau apalah artinya pendekar abad duapuluh ini dibandingkan dengan Wagner, Einstein ahli fisika itu”? Katakanlah aku cemburu Pak Guru besok bolos karena dia mau menyelamatkan Harwati! Tapi mungkin juga karena saya tidak suka dia memasuki lagi ilmu zaman silam itu yang tak ada kepentingannya dengan zaman sekarang ini. Pita Loka menatap ayahnya agar ayahnya sakit hati.

“Untuk sementara, kau benar. Jika listrik sekedar untuk alat penerangan, dulu, kami, di abad silam, tetap juga terang tanpa listrik. Itu hanya alat, anakku! Jika peluru dipakai untuk membunuh, di kawasan Cina sana, menurut guruku, orang punya pisau yang kecepatannya melebihi peluru. Lebih hebat lagi apabila peperangan itu dengan Ilmu Cahaya!”

“Itu dulu! Kini pun orang merencanakan perang dengan cahaya!”

“Tapi perang yang sekarang ini, dengan cahaya pemusnah itu, ikut pula membunuh manusia-manusia tak berdosa. Tapi dulu ilmu Cahaya hanya membunuh lawan-lawan tertentu. Yang binasa mungkin sepuluh orang saja dengan para ketuanya. Tapi kini, jika terjadi Perang Cahaya, jutaan orang bisa musnah, bukan?”

“Yah, ayah benar”, kata Pita Loka.

“Manusia membutuhkan pimpinan. Dunia, pelbagai negeri, membutuhkan

pimpinan. Negeri ibarat sebuah sekolah. Seperti sekolah membutuhkan Guru, juga sebuah negeri membutuhkan Guru. Guru mendasarkan diri pada ilmu, Begitupun negeri, selain butuh Guru butuh pula ilmu. Kau pernah

menceritakan kekagumanmu pada ilmu tahayul bangsa Afrika dalam melawan bangsa kulit putih. Pendeknya, kata ceritamu, tahayul itu dimanfaatkan guru-guru Afrika itu malawan kezaliman bangsa kulit putih. Jika bertemu bangsa kulit putih, bunuhlah dia sampai mampus, dan mampuskan sekalian dia sekalipun dalam keadaan masih bisa hidup ketika itu. Tapi menurut hematku, itu cara yang salah untuk melawan kekejaman orang kulit putih, Tahayul memang menjadi ilmu. Tapi yang lebih utama dari membunuh orang kulit putih adalah tugas ilmu dan para guru, mengajarkan bangsa kulit putih itu supaya merubah caranya berfikir agar tidak berlaku kejam pada orang kulit hitam. Katakan pada gurumu Gumara Peto Alam, agar dia tidak terlalu kagum pada orang Afrika yang bersemboyan “bunuh mati si kulit putih”. Dia seorang guru. Seorang guru harus mengajarkan yang betul, bukannya yang mudah, nak!” “Terima kasih, ayah. Ayah telah mengisi dalam jiwaku kebencian pada pribadi Gumara, guruku. Ha! apapun yang jelek-jelek dari dirinya saya butuhkan sekarang agar saya tidak mencintainya lagi”, kata Pita Loka.

“Wah, itu kau salah tafsir. Gumara itu lebih banyak kebaikannya dari kejelekannya. Suatu ketika nanti, mungkin waktu itu aku sudah mati . . . kau akan berkata : Memang Gumara Peto Alam layak menjadi suamiku!”.

(22)

“Ayah! Jangan hidupkan kambali api cinta itu ! Aku buta! Aku bukan gadis cantik lagi! Aku butuh bahan kebencian, bukan api cinta!” lalu Pita Loka melarikan diri masuk kamar. Mulanya malam itu dia tidak akan tidur. Tetapi ketika dia sedang tidur, dia bermimpi. Harwati masuk ka dalam kamarnya. Tangannya buntung. Dia berkata: “Pita Loka, kita sama - sama cacat. Tapi kamu lebih berhak memiliki Gumara daripada diriku”.

Dalam mimpi itu Pita Loka sangat bahagia. Tapi ketika dia terbangun segera dia jengkel! Dia langsung membuka jendela. Dan meloncat membelah semak-semak di malam buta itu . . ..

Rupanya Ki Putih Kelabu mendengar ketika Pita Loka melompat jendela. Dan serta merta orangtua ini menghambur masuk kebun dengan lompatan yang lebih beringas disertai auman harimau.

Tapi Pita Loka bukannya langsung ke Lembah Suliram. Dia ke rumah Gumara terlebih dahulu. Begitu Alif memberitahu Gumara tidur, dia tidak percaya. “Dengarlah suara ngoroknya itu”, ujar Alif menunjuk kamar Gumara.

Memang kedengaran suara orang ngorok. Tapi Pita Loka malahan yakin, yang mengorok itu adalah raga halus Gumara. Raga kasar Gumara pasti pergi. Pita Loka meloncati tangga rumah panggung itu, menyelusup cepat disela-sela pohonan jeruk dan bagaikan bola asap dia membelah hutan belantara. Tapi langkahnya terhenti karena dia kena sergah auman harimau. Harimau itu amat besar, menggeram dengan sikap mau menerkam, Pita Loka menghambur ke kanan, tapi harimau itu sudah terlebih dahulu menerjang pohon yang roboh seketika, lalu menghalangi Pita Loka.

“Jangan halangi saya!” seru Pita Loka menghambur ke kiri, tetapi tubuhnya merasakan lecutan ekor harimau itu sehingga dia jatuh jungkir balik. Tiba-tiba Pita Loka menyadari, Dia berkata pada harimau itu: “Baiklah, ayah. Saya akan pulang”.

Pita Loka melangkah lesu, lalu harimau itu berlalu menghilang dibalik semak belukar, Pita Loka melangkah terpincang – pincang memasuki pekarangan

rumahnya. Dia mengetuk pintu untuk menguji dugaannya. Tapi dia juga jadi keheranan ketika yang dilihatnya membuka pintu adalah ayahnya, dalam pakaian kemeja Cina dan celana batik,

“Telapak tangan ayah kotor”, kata Pita Loka menyindir,

“Apakah tadi ayahanda tidur atau barusan menggali tanah? Kaki ayah pun ada bekas sisa rumputan”

(23)

“Tak usah dijelaskan lagi. Saya tahu siapa yang menghalangi saya ketika menuju Lembah Suliram. Pohon itu rubuh. Lalu ada ekor binatang menyabet pahaku ini hingga aku jatuh jungkir balik”.

“Mari ayah urut pahamu yang keseleo itu”, ujar Ki Putih Kelabu. Warna itu sebesar lengan membekas pada dua paha Pita Loka.

Dengan ujung jempol jari dimasukkan ke langit-langit mulut, itulah cara mengurut yang terbaik.

“Terlalu keras pukulan ekor harimau itu”, ujar Pita Loka mencoba melangkahkan kaki yang masih sedikit pincang,

“Mungkin dia bermaksud baik menghalangi perjalananku!”,

“Memang betul. Andaikata harimau tadi itu seorang ayah, lalu aku ini anak harimau, maka harimau tadi akan menggendong saya dengan cara yang khas. Menggigit tengkukku, lalu demikianlah keadaanku sampai ke rumah, ibarat induk kucing memindahkan sarang bagi anaknya. Bukan begitu. ayah?”

“Marilah ayah berterus terang”, ujar Ki Putih Kelabu.

“Tak usah nyatakan segala yang sudah diketahui dua belah pihak. Itu harinya akan melukai salah satu fihak. Saya akan tidur dan tidak akan meloncat lagi dari jendela. Percuma itu saya lakukan lagi, karena nanti toh saya akan dicegat oleh harimau tua itu. Dan dengan cintanya yang agung dia sabet pahaku ini dengan ekornya”, dengan tersenyum Pita Loka memasuki kamarnya. Ki Putih Kelabu hanya bisa terperangah. Dia duduk berayun-ayun di kursi goyang. Sampai pagi tiba dia ketiduran di kursi goyang itu. Dan ketika akan berangkat ke sekolah, muncullah seorang tamu tak dikenal.

“Saya ingin berjumpa dengan Ki Putih Kelabu”, ujar tamu itu. “Anda siapa?”

“Saya Dasa Laksana”, ujar tamu itu.

“Dasa Laksana ?” Pita Loka tercengang, mencoba mengingat dan mencocokkan dengan wajah tamu itu.

“Saya Dasa Laksana”, tegas tamu itu.

“Apa itu bukan nama samaran?”, tanya Pita Loka. “Bukan. Itulah nama asli saya”, kata Dasa Laksana.

(24)

hidup anda?”

Guha Lebah? Saya tak tahu itu!” ujar Dasa Laksana.

Lelaki itu gagah, memakai baju dan kemeja orang kota , bersepatu berkilat, kemudian diberi ijin masuk oleh Pita Loka. Pita Loka meninggalkan rumah menuju ke saholah, sementara tamu itu menyatakan maksudnya: “Saya ingin bertemu dengan dik Pita Loka, Pak”.

“Lho itu yang tadi tuan temui pertama, itu Pita Loka”, ujar Ki Putih Kelabu keheranan.

Ki Putih Kelabu adalah seorang pendekar tua yang amat santun. Kedatangan tamu yang tidak dikenal itu dilayaninya dengan ramah. Dia tidak pernah mengenal nama Dasa Laksana sebelum ini. Juga dia tidak pernah melihat seumur hidupnya seorang lelaki ganteng selain dari Gumara. Yang dilihatnya sekarang ini justru lelaki yang lebih ganteng lagi dari Gumara.

Tamu ini pun seorang lelaki yang rendah hati. Dia mengeluh; “Rupanya di Kumayan ini tidak ada penginapan”.

“Penginapan ada, nak Dasa Laksana. Tapi mungkin anak tidak tahu”, ujar Ki Dasa Laksana.

“Tapi saya tidak melihatnya”, ujar pemuda ganteng itu. “Mungkin karena tidak memakai papan merek”.

“Seseorang memberitahu pada saya, bahwa Bapak adalah seorang guru”.

“Oh, itu berlebihan. Saya cuma petani biasa. Saya tak punya ilmu apa-apa”. “Apakah karena itu saya salah alamat?. Atau orang itu menipu saya?”

“Siapa orang yang anak muda maksudkan? Maksud saya yang memberitahu bahwa saya ini seorang Guru?”

“Dia tidak memberitahukan namanya. Tapi disebuah warung di tepi jalan dia memberitahukan pada saya; Jika tuan ingin ke desa Lembah Gading, harus melewati Kumayan lebih dahulu.

Temuilah Guru Putih Kelabu. Tadi pun seorang bocah yang menunjukkan rumah Guru ini, memberitahu pada saya bahwa Tuan adalah seorang Guru”.

Ki Putih Kelabu mencoba membatin. Untuk mengetahui niat tamunya ini. Apa dia punya niat busuk atau baik. Ternyata batinnya tak memberi getaran suatu apa. Jadi orang ini masih merupakan tamu misterius.

(25)

“Kalau begitu nyatakan maksud anda”, kata Ki Putih Kelabu, “Saya ingin belajar pada Guru”.

Ki Putih Kelabu membatin lagi. Juga tak ada getaran batin. Hal ini menambah kebingungan pendekar tua itu.

“Sebaiknya anak muda meneruskan perjalanan ke Lembah Gading itu. Mungkin di sanalah anak muda akan menemukan Guru yang dimaksud”.

“Tidak”, ucap Dasa Laksana mantap, “Hanya pada anda saya ingin belajar”. Batin Ki Putih Kelabu bergetar kencang. Dia ingin diyakini batinnya, bahwa tamu ini bermaksud baik. Perasaan lega di hati luputnya rasa bingung

membuat Ki Putih Kelabu berada dalam kemantapan.

Jika kamu sungguh-sungguh, syaratnya harus meninggalkan hidup mewah dan semua yang berbau kemewahan. Mungkin hal itu berat bagi anda, nak!”

“Tidak”“ kata Dasa Laksana, dengan serta merta mencopot jaketnya, sehingga dia mengenakan pakaian kaos oblong saja. Dia ditertawakan oleh sang Guru. “Juga sepatu mahal itu anda copot?” tanya Ki Putih Kelabu.

“Apa boleh buat. Memang ini sepatu mewah. Biarpun saperti sepatu basket saja, sepatu ini mungkin lambang kemewahan. Saya akan mematuhi seluruh persyaratan”.

“Pernah berpuasa?” “Tentu, tuan Guru”.

“Tapi ini semacam puasa tirakatan. Siang malam tidak makan minum dan tidak tidur. Lagi pula, tempatnya tidak di sini. Kita harus jalan kaki menuju Pancuran Putih dan Ngarai Kelabu. Untuk pergi ke sana , akan anda jumpai berbagai rintangan. Tapi karena bersama saya, maka saya sedia membantu. Saya tidak bisa menurunkan ilmu saya pada anak perempuan saya. Juga kepada seseorang yang saya sukai. Saya baru berhak menurunkan ilmu saya kepada orang yang menyukai saya. Apakah anda menyukai saya?”

“Tentu, tuan Guru, Begitu saya melihat wajah anda, saya langsung menyukai tuan!”

“Baik, tinggalkan koper anda di kamar tamu sana itu. Anda cuma akan

mengenakan kain sarung dan tanpa alas kaki. Saya bahagia menemukan seorang yang patuh seperti anak muda”, ujar Ki Putih Kelabu.

Dasa Laksana membawa kopernya masuk ke sebuah kamar depan. Lalu dia

mengikuti langkah Ki Putih Kelabu yang mengambil jalan setapak di belakang rumah. Seketika keduanya sudah memasuki semak belukar yang pantang dilalui orang lain selain Ki Putih Kelabu dan pewaris ilmunya.

(26)

Pita Loka sejak kecil sudah dididik memantangi jalan setapak yang banyak liku rahasianya ini. Apalagi ada lorong rahasia di bawah tanah yang begitu rupa, sehingga mata biasa sukar untuk mengetahui jalan masuknya.

“Inilah Ngarai Kelabu itu. Dan itulah Pancuran Putih”. Kata Ki Putih Kelabu setelah tiba di tempat itu siang hari. Yang anehnya, tak ada rintangan dalam perjalanan bawah tanah itu, di mana seharusnya akan menemui segala binatang tanah yang akan teruji keberaniannya sebagai calon pewaris, Ki Putih Kelabu memanjat sebatang pohon kelapa kuning,

Dua buah kelapa ranum dipetiknya, lalu berkata: “Ini modal untuk puasa tirakatan. nak”.

Harwati dengan seregap berdiri, dan dahan kenyal membuat dia terjungkal. Tapi dengan seregap pula dia manfaatkan kekenyalan dahan pohon tembiru itu sebagai alat pendorong untuk meloncat ke atas. Dia meloncat, tetapi Gumara sudah keburu menyambar ujung kakinya. Hingga jatuh membal lagi gadis itu, dan dicekal terus oleh Gumara.

“Lepaskan cekalanmu itu, babi!” maki Harwati.

Namun Gumara tidak melepasnya. Harwati tetap meronta menggeliat, lalu dia menggunakan kesempatan baik untuk menghantam kepala Gumara pula dengan pukulan sisi telapak tangan. Pukulan itu cukup telak.

Gumara puyeng seketika itu juga! Lembah itu bagai bergoyang dalam

pandangannya. Sementara itu dilihatnya Harwati sudah hinggap disatu akar besar di dinding tebing.

Keseimbangan Gumara hancur karena konsentrasinya cuma tertuju pada

keselamatan Harwati. Dia jatuh dalam keadaan melayang separuh tak sadar, tapi sempat mencari keseimbangan ketika dilihatnya batu-batu berbentuk tombak. Dia membalik, dan menyerahkan punggungnya saja untuk kena tancap batu runcing.

Tubuh Gumara terlentang, menancap. Punggungnya bagai menancap dipaku. Ia tak sempat menggeliat lagi. Darah bercucuran membasahi ujung “tombak alam” itu . . .

Harwati terus memanjat dengan semangat dua kali lipat.

Dia sempat tersenyum menyeringai melihat Gumara dalam keadaan sudah selayaknya mati itu. Harwati terus memanjat lagi, memanjat sekuat tenaga bagaikan cicak memanjat dinding, Dengan suara geram, kadang menggigit bibir agar mendapatkan kekuatan,

Harwati terus berupaya tanpa keraguan. Usahanya tampaknya akan berhasil, ketika dia sudah sempat menemukan retakan batu dasar mulut guha. Jarinya

(27)

mencengkeram retakan itu, dorongan tubuhnya sepenuh tenaga membuat pantatnya menungging. Dengan itulah dia membuat pantatnya menunging ke dalam guha. Dan. . , selamat sampai di dalam.

Harwati lalu berdiri tegak. Dia mulai mencari apa yang dia ingin cari. Dia menuju dinding kanan. Tak ada apa-apa. Tak ada aksara apa-apa. Dia menuju dinding kiri. Semuanya berdinding.

Dia mondar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Rotan yang mundar-mandir. Kadang bertabrakan dengan Ki Lading Ganda yang tidak ia kenal. Masing-masing orang bertiga itu saling tak mengenal satu sama lain.

Pita Loka akhirnya sampai juga ke Lembah Suliram ini. Dari atas tebing utara dia menuju ke tebing timur agar dapat melihat lurus ke pintu guha. Dan dia tidak melihat sesuatu kecuali sepi.

Beberapa ekor kelelawar senja mulai tampak. Burung – burung menyanyikan kemerduan nada pada senja itu. Tapi tiba-tiba Pita Loka ternganga, di bawah sana tampak sosok tubuh menggeletak celentang.

Firasat Pita Loka yang gelisah sejak pagi kini dia saksikan sendiri. Dan bagaikan bola meluncur, Pita Loka menuruni tebing-tebing curam itu ke bawah. Dan dengan kekuatan ilmu yang pernah dia petik, bagaikan belalang dia melompati ujung-ujung tombak alam itu, telapak yang sekedar nemplok sejenak di atas keruncingan batu-batu itu

Tibalah dia ditempat sosok tubuh yang menggeletak itu.

“Guru!” teriaknya meyakini guru yang dicintainya itu. Pita Loka mencoba mengangkat tubuh Gumara. Tapi rupanya hunjaman tombak batu alam itu sudah merekat ke tubuh sang guru. Namun Pita Loka tetap mencoba mengangkat tubuh itu, agar lepas dari rekatannya di ujung batuan runcing. Lalu Gumara

menggeliat tanda dia sadarkan diri.Keningnya mengernyit menahan sakit. Bila kesadarannya makin mengada, Gumara tidak merasa sakit lagi. Memang dengan batuan Pita Loka tubuhnya terlepas dari cengkereman tombak batuan itu. “Guru tidak sakit?”

“Periksalah punggungku”, ujar Gumara.

Pita Loka memeriksa. Baju robek, bekas cucuran darah.Tapi luka itu sendiri? Sudah kering begitu saja.

“Siapa menyuruhmu ke sini” tanya Gumara.

“Jadi, Guru marah karena saya ke sini?” tanya Pita Loka.

(28)

Pita Loka menjadi jijik mendengar ucapan tak tegas itu,

“Kalau anda marah, bilang marah. Jangan menyembunyikan kejengkelan dan kebencian dalam bahasa berselimut”, ujar Pita Loka dengan kejengkelan yang sempurna, didukung oleh tindak sempurna, meloncat dia bagai belalang dari satu ujung mata tombak batu lain ke ujung lainnya sampai dia sudah tiba di tepi tebing utara, tanpa menoleh, terus memanjat tebing bagai cecak yang tak tampak karena malam menjelang tiba.

Dia terus! menerobos semak belukar. Sebagian daun terbakar kena geseran tubuhnya yang lari menggebubu.

Siang itu, apabila Pita Loka pulang dari sekolah, kekesalan hati,

kecemburuan pada Gumara, bertambah lagi dengan kedongkolan setiba di rumah. Rumah didapatinya dalam keadaan kosong. Sebuah koper, sepatu bagus, dengan sepotong baju yang tergantung di lengan kursi, telah membenarkan

perkiraaannya. Yah, Kumayan bakal tertimpa huru-hara. Tentulah barang-barang ini semua adalah milik tamu tadi pagi, yang mengaku bernama Dasa Laksana.

“Tentu ayah sudah terkecoh”, ujar Pita Loka sendirian, bernada menggerutu. Di angkat koper tamu itu, dan dibantingnya!

Pita Loka sudah mengenal kusuk dan tipu ilmu persilatan melalui pengalaman. Apalagi ilmu yang dikenal ilmu Hitam yang berlindung pada Iblis dan Setan. Dia kini kaheranan sandiri, karena seperti “tertiup lupa” dengan tamu yang jelas-jelas mengaku bernama Dasa Laksana! Bukankah ia pernah kenal Dasa Laksana?. Pernah mengajarnya ilmu kependekaran di Guha Lebah? Dan pernah tahu bahwa orang ini penghkhianat dan mata keranjang?

“Bukan ayah yang terkecoh, tapi aku sendiri pun terkecoh!”, ujar Pita Loka. Sendirian menggerutu.

“Guru Gumara sendiri pun, betapapun ilmunya yang tinggi, hari ini akan kena kecoh lagi dengan dalih berjuang ke Lembah Suliram untuk menyelamatkan Harwati, Bukankah Harwati pun berjiwa pengkhianat? Penipu?”, Pita Loka menggerutu lagi.

“Kebutaanku juga karena terlibat dalam bujuk dengkinya ilmu silat”, gerutu Pita Loka lagi.

Sepintas lalu, apa yang dibayangkan oleh Pita Loka memang terbukti. Begitu bersemangatnya Gumara Peto Alam menyeret kaki Harwati agar gagal memanjat tebing Lembah Surilam yang menuju ke mulut guha sana itu.

(29)

“Lepaskan kakiku!”“ bentak Hawati seraya menggerak-gerakkan kakinya yang dipegang Gumara, yang kadang lepas lagi. Bila lepas, Harwati memanjat lagi dengan penuh semangat, sebab bibir guha itu hanya tinggal berjarak tiga depa saja.

“Jika kau memang menghendaki Kitab Tujuh, aku akan memberikannya”, kata Gumara.

“Kau pendusta! Penipu! Aku lebih tahu mengenai Kitab Tujuh dan Ki Kembar. Aku tak sudi kitab itu itu pada Ki Rotan “, kata Harwati.

“Kitab Tujuh itu ada padaku, dik!” seru Pita Loka.

“Itu Kitab Tujuh yang palsu!” balas Harwati, yang menekan kepala Gumara dengan telapak kakinya agar Gumara terpeleset jatuh ke bawah sana .

“Ki Rotan sudah ada di dalam guha sana , jangan banyak omong lagi!” kata Harwati lagi, yang menggapai, penuh semangat, dan lebih bersemangat lagi setelah telapak tangannya menjamah bibir batu penahan. Batu itu bergeser. Harwati tambah bersemangat! Dia kira dia akan dapat masuk dengan meraih sekuat tenaga. Namun batu besar itu menggeser. Gumara melihat hal itu. Dia dengan sekuat tenaga menjambak kaki Harwati. Akibat tarik-menarik itu sebuah batu besar itu bergeser lalu batu itu bagai muntah dari mulut guha. Harwati berteriak!

Sekaligus dengan teriakan itu, dia menyamping menghindari diri ketiban batu besar. Dan serentak dengan itu tubuh itu terpeleset, jatuh ke bawah bagai melayang Gumara sekelebatan itu pula melompat melayang, menyambar tubuh Harwati, dan dalam keadaan melayang itu Gumara menyeretnya menuju pohon tembitu.

Dahan pohon tembitu yang amat banyak itu menolong selamatnya Harwati dari bencana. Dia jatuh dan membal lagi, lalu jatuh dan membal lagi karena tekanan kenyal dahanan lebat pohon tembitu. Tapi Gumara sudah duduk tenang diantara dedahanan yang kenyal itu, tersenyum melihat tubuh Harwati membal-membal sampai akhirnya duduk mantap dijalinan dahan.

Harwati bukannya berterimakasih. Tapi menatap Gumara dengan jijik, “Kenapa kau halangi aku masuk?!” makinya.

“Karena kau adikku! Karena aku kasihan padamul”

“Dusta! Kau mengaku aku adikku agar cintaku padamu musnah dan kau bisa memperisteri Pita Loka!”

“Aku tidak dusta, itu ucapan ayah kandung kita sendiri!” kata Gumara. “Ayah pun pendusta. Sudah kuketahui dari Ki Kembar, bahwa ayah pun berdusta. Masuk akalkah kau tiba-tiba menjadi “kakak mendadak”? Soalnya

(30)

ayah menghindari aku supaya tidak menjadi isterimu. Karena dia lebih suka ilmunya jatuh pada orang lain yang bukan padaku.

Ayah dusta karena dia ingin ilmunya jatuh kepadamu, lalu kau mengawini Pita Loka sebab ayah pernah berjanji pada Ki Putih Kelabu akan mempertalikan darah dengan anak lelakinya. Padahal ayah tak punya anak lelaki. Begitu bernafsunya ayah untuk melestarikan ilmunya demi kelanggengan ilmuitu lewat kau. Alangkah tolol orang yang mempercayai cerita ayah yang terkenal

seorang pembohong terbesar diantara Tujuh Manusia Harimau di Kumayan”. Setelah puas memaki, Harwati meludahi Gumara: “Ciih, kamu tak usah mengaku putra Ki Karat, karena kau cuma manusia dari kasta rendahan!”

Setiba di rumah. Pita Loka mengobrak-abrik kursi dan menggulingkan meja. Dan ketika dia masuk kamar depan, mau mengobrak-abrik koper tamu . . . tidak jadi.

Senyumnya terkembang. Dia ingat, tamu tadi begitu gantengnya.

Dia bertekad untuk berbaik-baik pada ayahnya. Dia susun meja dan kursi yang berantakan. Dia berharap ayahnya akan pulang agak malam dan butuh

disediakan makan malam. Dia memasak, kemudian menyediakan hidangan di meja. Benarlah dugaannya. Menjelang jam Romawi itu berdenting sebelas kali dari pintu belakang terdengar suara ayahnya; “Pita Loka, apa kau di rumah, nak?” “Ya, ayah”.

Pita Loka lalu membuka pintu, dengan harapan sang tamu gagah itu pun serta. Ternyata tak tampak seorang lain pun kecuali ayah.

“Ayah sendiri?” tanya Pita Loka. “Ya”.

“Tadi ada tamu. Saya lihat ada koper. Kemana tamu itu?” “Dia pergi. Dia menitipkan kopernya”, kata Ki Putih Kelabu.

Pita Loka terhempas kecewa di kursi. Hal itu membuat Ki Putih Kelabu gembira. Lebih gembira lagi dia, ketika didengarnya putrinya berkata kecewa:

“Padahal untuk makan malam sudah kusediakan untuk tiga orang, Termasuk saya”, kata Pita Loka.

“Siapa tamu ayah itu, yah?” tanya Pita Loka kemudian. “Namanya Dasa Laksana, bukan?”

(31)

“Betul. Dasa Laksana namanya. Kenapa?”.

“Tentuu tidak tiap nama watak manusianya sama. Ada nama Dasa Laksana yang baik, ada nama Dasa Laksana yang busuk dan pengkhianat”.

“Tapi sepanjang firasatku, ini Dasa Laksana yang baik”, ujar Ki Putih Kelabu seraya mulai menikmati santapan malam.

“Tampaknya ini hidangan istimewa”, ujar lelaki tua itu. “Enak masakanku kali ini, yah?”

“Nikmat sekali”.

“Sekiranya tamu ayah itu juga menikmati hidangan, dia belum tentu akan memuji seperti ayah”, ujar Pita Loka.

“Dia akan terkagum-kagum, memujinya dan akan bicara dalam hati: Inilah gadis yang tepat menjadi ibu Rumah Tangga”, ujar Ki Putih Kelabu.

“Ayah memancing kegembiraanku!” ujar Pita Loka.

“Memang. Memang demikianlah tujuan pancinganku. Hidup ini merupakan sarana harapan bagi setiap orang. Tapi sarana itu tidak layak ditumpukan pada diri satu orang saja. Harapan tidak tunggal, tapi majemuk. Lelaki yang baik bukan hanya seorang, tapi banyak.”

Pita Loka gembira dengan bahasa perlambang yang diucapkan ayahnya itu, dia yakin bahwa tujuan ayahnya begitu luhur dan baik.

Ketika Pita Loka asyik berbincang dengan ayahnya, waktu itu Gumara Peto Alam sudah kembali ka rumahnya, dan membaca kembali Kitab Tujuh, yang dimulainya pada Kitab Ketujuh.

Dia teliti intisari kitab itu, apa rahasia yang tersembunyi dari pengertian kalimat demi kalimatnya. Tiba-tiba Gumara riang sewaktu dia yakin ada

sebuah kalimat yang berbunyi:

“Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari.Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis.”

Jika kalimat ini disusun dengan kalimat sebelumnya, tidak punya arti. Juga jika dikaitkan dengan kalimat berikutnya, lebih tak punya arti. Kalimat berikut itu berbunyi;

Orang yang memakai terompah berkelahi Tanda bukan pendekar pintar.

(32)

rahasia dan Kitab Ketujuh tadi.

Sesungguhnya ada sesuatu di lembah Suliram yang madunya asam berisi kekuatan

Dan dibukanya pula Kitab Keenam untuk menemukan jalinan kalimat ini. Maka ditemukannya kalimat yang berdiri sendiri, yang tak ada kaitan dengan kalimat sebelum maupun sesudahnya. Kalimat di Buku Keenam itu berbunyi: Kekuatan dari madu yang dijilati semut hitam

Membuka rahasia warisan Kerajaan Solaiman

Dan dengan tergesa penuh semangat dibukanya Buku Kedua dari Kitab Tujuh itu untuk menemukan kalimat-kalimat rahasia. Dia menemukannya segera:

Selain kekayaan, orang gila pun dapat disembuhkan Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu.

Karena bersemangat, Gumara lantas membuka Kitab Kelima, yang dia temui lagi kata-kata rahasia:

Kerajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta

Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba – laba. . . .

Gumara lebih bersemangat lagi setelah menemukan Rahasia Kitab Kelima. Lalu dibacanya dengan tekun pula Kitab Ketiga untuk mendapatkan rahasia. Memang sedikit terdapat kesulitan. Tapi ketika dia menemukan kalimat : Tiga itu! sebetulnya tiga rangkaian . . . . Gumara mencoba meneliti kembali berulang kalinya kalimat itu semenjak awal pembacaan. Jadi,rahasianya, pikir Gumara, dicari tiga rangkai kalimat. Itu ditemukannya pada susunan kalimat ditengah kitab. Lalu dekat akhir kitab, lalu dipenghujung kalimat kitab tersebut. Kalimat itu, jika dirangkaikan adalah:

Laba-laba yang membuat sarang melindungi isteri isteri melindungi suami karena butuh keturunan

Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama.

Kunci seluruh ilmu Kitab Tujuh, seperti diyakini Gumara adalah. Buku

Keempat. Begitu kalimat pertama dari kitab itu dia baca, dia sudah meyakini diri arti “nama” dalam Kitab Ketiga dari kalimat rahasia itu. Sebab begitu dia membacanya, dia sudah membaca sebuah nama

Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga, lalu ditemukan pula kalimat: Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini, yang pasti bahwa Dwi Satya itu sebuah nama pula.

(33)

Dan ditemuinya kalimat; Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke— 4, yaitu Nun, nama ikan.

Angka ini diperhatikan Gumara. Dia menghitung jumlah baris sejak dari Buku Ketujuh, Kesatu, Keenam, Kedua, Kelima, Ketiga dan Keempat, kalimat rahasia itu memang Tujuhbelas baris seluruhnya.

Untuk melaksanakan petunjuk tujuh buah kitab itu, agar Gumara merasa tertib mengamalkannya, dia pun menyusun seluruh 17 baris kalimat rahasia itu. Agar dapat ditafsirkan.

Maka diambilnya kertas, dimulainya urutan dari Kitab KeTujuh seluruh 17 baris kalimat rahasia itu:

Semut yang memasuki lubang tempat masuknya matahari Sesungguhnya mencari madu rahasia yang manis

Sesungguhnya ada sesuatu di Lembah Suliram Yang madunya asam berisi kekuatan

Kekuatan dari madu yang dijiati semut hitam

Membuka rahasia warisan kekayaan Kerajaan Solaiman Selain kekayaan, orang g!!a pun dapal disembuhkan Oleh semut yang mestinya dicari di guha itu

Kefajaan Isa menyembuhkan lumpuh dan buta

Sungguh madu sama mujarabnya dengan sarang laba-laba Laba-laba yang membuat sarang melindungi isterinya Isteri melindungi suami karena butuh keturunan Keturunan menjamin kelangsungan dunia, periksa nama Yogandala bernyawa dari langit 12 sangga

Menuturkan kepada Dwi Satya rahasia kisah ini Kekebalan otot Tri Abdalla, pagar perkasa

Seluruh pagar itu 17 baris terpujilah yang ke-4, yaitu Nun, nama ikan.

Kepala Gumara menggeletak di atas meja, menindih 17 baris yang ditulisnya dalam keadaan capek dan mengantuk.

Paginya dia dibangunkan Alif yang menggedor pintu: “Tuan Guru tidak mengajar pagi hari ini?!”

“Mengajar! Mengajar!” seru Gumara langsung bangun, menyusun seluruh kitab dan mempersiapkan diri dengan bercuci muka, untuk pergi mengajar. Dan, setiba di sekolah, dia didatangi oleh Pita Loka:

“Apa yang Pak Guru pesankan pada saya, sudah saya laksanakan”. “Baik, terimakasih”, ujar Gumara.

Referensi

Dokumen terkait