• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN

NOMOR : 10 TAHUN 2005

TENTANG

PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SOLOK SELATAN

Menimbang Mengingat : : a. b. c. d. 1.

bahwa kebun sebagai Karunia dan Rahmat Allah SWT, yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-sebesarnya kemak-muran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka kewenangan untuk mengatur terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Perkebunan adalah merupakan kewenangan Kabupaten;

bahwa dalam rangka melakukan Pembinaan, Pengaturan dan Pengen-dalian serta Pengawasan terhadap kegiatan pengelolan perkebunan maka setiap orang atau badan yang akan menyelenggarakan kegiatan perkebunan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Pemerintah Daerah; bahwa untuk memberi pedoman dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud huruf c di atas perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Perizinan Usaha Perkebunan.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

(2)

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); Undang–Undang Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Propinsi Sumatera Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4348);

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389);

Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438 );

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3330);

(3)

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596); Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41);

Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1998 tentang Bidang atau Jenis Usaha yang di Cadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang /Jenis yang terbuka untuk Jenis Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan Syarat Kemitraan;

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 74/KPTS/TP.500/2/98 tentang Jenis Komoditas tanaman Binaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Direktorat Jenderal Perkebunan ;

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/KPTS/-II/1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Budidaya Perkebunan;

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357 / Kpts / HK. 350 / 5 / 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan;

(4)

Dengan Persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN

dan

BUPATI SOLOK SELATAN

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Solok Selatan;

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati Solok Selatan dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;

3. Bupati adalah Bupati Solok Selatan;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Solok Selatan yang selanjutnya disebut DPRD Kabupaten Solok Selatan adalah unsur penyelenggara pemerintahan Daerah; 5. Dinas Pertanian dan Kehutanan adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten

Solok Selatan;

6. Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai yang diberi tugas terbatas di bidang perkebunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Usaha Perkebunan adalah kegiatan untuk melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dan atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan;

8. Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pra tanam, penanaman, pemeliharan tanaman dan pemanenan termasuk perubahan jenis tanaman;

9. Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan dan atau meningkatkan nilai tambah;

10. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum meliputi koperasi, badan usaha milik negara termasuk badan usaha milik daerah dan badan usaha milik swasta yang melakukan usaha bidang perkebunan;

(5)

11. Grup Perusahaan adalah beberapa perusahaan yang sahamnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh pemegang saham yang sama, baik atas nama perorangan maupun perusahaan; 12. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah izin tertulis yang wajib

dimiliki perusahaan untuk dapat melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dan atau Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan;

13. Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut SPUP adalah surat yang diberikan oleh pejabat pemberi izin yang berlaku seperti layaknya IUP;

14. Klasifikasi Kebun adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja perusahaan perkebunan dalam pengelolaan usaha perkebunan dalam kurun waktu tertentu;

15. Wisata Perkebunan yang selanjutnya disebut Wisata Agro adalah suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha perkebunan sebagai obyek wisata dengan tujuan untuk diversifikasi usaha, perluasan kesempatan kerja dan promosi perkebunan;

16. Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu;

17. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan.

18. Hak Guna Usaha yng selanjutnya disebut HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.

Pasal 2

(1) Peraturan Daerah Perizinan Usaha Perkebunan bertujuan untuk :

a. Memberikan pedoman pelaksanaan pelayanan perizinan usaha perkebunan

b. Bahan pengendalian dan pembinaan pemanfaatan sumber daya alam untuk usaha perkebunan.

(2) Ruang lingkup Peraturan Daerah perizinan usaha perkebunan ini meliputi : a. Jenis,luas maksimum, dan pola pengembangan usaha;

b. Syarat-syarat perizinan usaha perkebunan; c. Tata cara perizinan usaha perkebunan; d. Penggunaan tanah untuk usaha perkebunan; e. Pembinaan dan pengawasan;

BAB II

JENIS, LUAS MAKSIMUM DAN POLA PENGEMBANGAN USAHA Pasal 3

(1) Jenis usaha perkebunan terdiri atas Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan dan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan;

(2) Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas Usaha Budidaya Tanaman skala besar yang harus diusahakan oleh perusahaan

(6)

pekebunan dan usaha budidaya tanaman skala kecil yang dapat dilakukan oleh petani pekebun;

(3) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. Industri gula pasir dari tebu; b. Industri Ekstraksi kelapa sawit; c. Industri teh hitam dan teh hijau; d. Industri lateks;

e. Industri pengupasan dan pengeringan kopi; f. Industri pengupasan dan pengeringan kakao; g. Industri pengupasan dan pengeringan lada; h. Industri pengupasan kapas;

i. Industri perkebunan lainnya yang bertujuan memperpanjang daya simpan. Pasal 4

(1) Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang luas lahannya 25 Ha atau lebih wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan;

(2) Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang luas lahannya kurang dari 25 Ha wajib dilakukan pendaftaran oleh pemberi izin;

Pasal 5

(1) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh perusahan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) harus memiliki Izin Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan;

(2) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan yang dilakukan oleh petani pekebun sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) harus didaftar oleh pemberi izin;

Pasal 6

(1) Izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat(1) diberikan oleh :

a. Bupati, apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada di wilayah daerah kabupaten; b. Gubernur apabila lokasi lahan usaha perkebunan berada pada lintas daerah Kabupaten

dan atau Kota;

(2) Luas Izin Usaha Perkebunan yang diberikan oleh Bupati, pada 1 (satu) perusahaan atau grup perusahaan maksimal adalah 20.000 Ha dalam satu Kabupaten;

(3) Izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku selama perusahaan masih melakukan pengelolaan perkebunan secara komersial yang sesuai standar teknis dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditetapkan;

(7)

Pasal 7

(1) Luas lahan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) untuk satu perusahaan atau grup perusahaan ditetapkan sebagai berikut :

a. Luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 Ha dalam satu Propinsi atau 100.000 Ha untuk seluruh Indonesia, kecuali usaha perkebunan tebu;

b. Luas maksimum lahan usaha perkebunan tebu adalah 60.000 Ha dalam satu Propinsi atau 150.000 Ha untuk seluruh Indonesia;

(2) Luas maksimum untuk usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

a. Perusahaan perkebunan yang pemegang saham mayoritasnya koperasi usaha perkebunan;

b. Perusahaan Perkebunan yang sebagian atau seluruh saham dimiliki oleh Negara baik Pemerintah maupun Propinsi, Kabupaten, atau kota;

Pasal 8

(1) Setiap pengembangan usaha perkebunan harus mengikutsertakan masyarakat petani pekebun;

(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam berbagai pola, antara lain ;

a. Pola Koperasi Usaha perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal usahanya 100 % dimiliki oleh koperasi usaha perkebunan;

b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65 % dimiliki oleh koperasi dan 35 % dimiliki investor perusahaan;

c. Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya maksimal 80 % dimiliki Investor/ Perusahaan dan minimal 20 % dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap;

d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan pada koperasi;

e. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, mem-butuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan;

(3) Pola pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan dengan cara kombinasi dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;

(8)

BAB III

SYARAT-SYARAT PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN Pasal 9

Usaha perkebunan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia meliputi Koperasi, Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

Pasal 10

Untuk memperoleh Izin Usaha Perkebunan, perusahaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Akte pendirian dan perubahannya yang terakhir; b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

c. Surat keterangan domisili;

d. Rencana kerja usaha perkebunan;

e. Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan;

f. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan;

g. Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari kepala dinas yang membidangi usaha perkebunan, Kabupaten setempat yang didasarkan pada perencanaan makro, perwilayahan komoditi dan Rencana Umum Tata Ruang;

h. Pernyataan penguasaan lahan perusahaan atau grup bahwa usaha perkebunannya belum melampaui batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;

i. Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akte notaris;

j. Peta calon lokasi dengan skala 1 : 100.000;

k. Surat persetujuan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari komisi AMDAL Daerah;

Pasal 11

(1) Pembangunan pabrik pengolahan hasil perkebunan wajib dilakukan secara terpadu dengan jaminan pasokan bahan baku dalam kebun sendiri;

(2) Apabila pasokan bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mencukupi dapat dipenuhi dari sumber lain melalui perusahaan patungan dengan menempuh salah satu pola pengembangan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf I;

(3) Pembangunan pabrik pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan perkembangan penanaman dan produksi kebun.

(9)

BAB IV

TATA CARA PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN Pasal 12

(1) Perusahaan perkebunan yang lokasi lahan usaha perkebunannya berada pada lintas wilayah daerah kabupaten atau Kota permohonan izin usahanya disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian;

(2) Perusahaan perkebunan yang lokasi lahan usaha perkebunannya berada disuatu wilayah daerah kabupaten, permohonan izin usahanya disampaikan kepada Bupati dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan Departemen Pertanian;

Pasal 13

Bupati setelah menerima permohonan izin usaha perkebunan dari pemohon dalam jangka waktu tertentu memberikan jawaban menyetujui atau menolak permohonan izin usaha perkebunan;

Pasal 14

Dalam hal Bupati menolak permohonan izin usaha perkebunan wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis;

Pasal 15

Dalam hal Bupati menyetujui permohonan izin usaha perkebunan, maka Bupati dalam jangka waktu tertentu memberikan surat keputusan pemberian izin usaha perkebunan;

Pasal 16

Apabila dalam jangka waktu tertentu sejak permohonan diterima dengan lengkap, Bupati tidak memberikan jawaban menyetujui atau menolak permohonan izin usaha perkebunan, maka permohonan dianggap memenuhi persyaratan untuk disetujui;

Pasal 17

(1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan dengan jenis tanaman tertentu yang akan melakukan perubahan jenis tanaman harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemberi izin;

(2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) permohonan dilengkapi dengan :

a. Foto Copy Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan atau Hak Guna Usaha (HGU); b. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir;

(10)

c. Rencana kerja (proposal) yang berisi tentang dilakukannya perubahan jenis tanaman serta rencana pengmbangan tanaman pengganti;

d. Surat dukungan perubahan jenis tanaman dari lembaga penelitian yang terkait; Pasal 18

(1) Perusahaan perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan yang mengadakan perluasan kapasitas pabrik, terlebih dahulu wajib memperoleh izin peningkatan kapasitas pabrik dari pemberi izin;

(2) Untuk memperoleh izin penambahan kapasitas pabrik sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) permohonan dilengkapi dengan :

a. Foto Copy Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan atau Hak Guna Usaha (HGU); b. Akte pendirian perusahaan dan perubahan yang terakhir;

c. Rencana kerja (Proposal) yang berisi tentang alasan dilakukannya peningkatan kapasitas pabrik, pasokan bahan baku serta rencana kegiatan peningkatan kapasitas; d. Surat rekomendasi perluasan kapasitas pabrik dari kepala Dinas yang membidangi

perkebunan;

BAB V

PENGGUNAAN TANAH UNTUK USAHA PERKEBUNAN Pasal 19

(1) Dalam rangka penyelenggaraan usaha Perkebunan kepada pelaku usaha Perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundangan;

(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya;

Pasal 20

(1) Hak Guna Usaha (HGU) diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha , dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik Perusahaan yang baik;

(2) Hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha ditetapkan oleh instansi yang berwenang dibidang pertanahan;

(11)

Pasal 21

(1) Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima ) tahun;

(2) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keberadaan usahanya memenuhi seluruh kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai dengan ketentuan teknis yang ditetapkan, jangka waktu sebagaimana disebutkan pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 25 ( dua puluh lima) tahun;

BAB VI

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 22

(1) Perusahaan perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan wajib :

a. Menyelesaikan hak atas tanah selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya IUP.

b. Merealisasikan pembangunan kebun sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun dan sesuai dengan perencanaan makro pembangunan secara nasional.

c. Mengelola usaha perkebunannya secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna dan berhasil guna.

d. Membuka lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari.

e. Melaporkan kegiatan diversifiksi usaha selain usaha pokok perkebunan, seperti usaha wisata agro, kepada instansi pembina teknis perkebunan dan memperoleh izin diversifikasi usaha perkebunan dari instansi terkait sesuai ketentuan yang berlaku. f. Menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat.

g. Melaporkan perkembangan usaha perkebunan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada pemberi izin dengan tembusan kepada Menteri Pertanian dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.

(2) Dalam mengelola usaha wisata agro sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (1) butir e perusahaan wajib menjaga keamanan plasma nutfah dan mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tanaman.

Pasal 23

(1) Pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten sesuai lingkup kewenangannya;

(2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan evaluasi secara berkala berdasarkan laporan perkembangan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf g, dan melalui kegiatan klasifikasi kebun yang hasilnya diinformasikan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunanan.

(12)

BAB VII PENYIDIKAN

Pasal 24

(1) Selain Penyidik Pejabat Kepolisiaan Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perkebunan;

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk : a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan

dengan tindak pidana dibidang perkebunan;

b. Melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan periksa sebagai tersangka atau sebagai saksi tindak pidana di bidang perkebunan;

c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan;

d. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana dibidang perkebunan;

e. Membuat dan menandatangani berita acara; dan

f. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana dibidang perkebunan;

(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia;

BAB VIII

KETENTUAN PIDANA Pasal 25

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan atau usaha pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkerbunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan atau usaha pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkerbunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

(13)

Pasal 26

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya,penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perke-bunan, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan atau aset lainnya, pengguna lahan perkebunan tanpa izin dan atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya uasah perkebunan, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 27

(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau

luka berat pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar).

Pasal 28

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dalam Pasal 22 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 29

(1) Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran dan atau pemasaran hasil perkebunan dengan sengaja melanggar larangan :

a. Memalsukan mutu dan atau kemasan hasil perkebunan;

b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau

c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahaya-kan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, diancam dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(14)

(2) Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan atau pemasaran hasil perkebunan karena kelalaiannya melanggar larangan :

a. memalsukan mutu dan atau kemasan hasil perkebunan;

b. menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau

c. mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain;

yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi ling-kungan hidup dan atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

Pasal 30

(1) Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

Pasal 31

Setiap orang dengan sengaja melanggar larangan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan atau pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

Pasal 32

Semua benda sebagai hasil tindak pidana dan atau alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana dapat dirampas dan atau dimusnahkan oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(15)

BAB IX

SANKSI ADMINISTRASI Pasal 33

Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan tetapi tidak melaksana-kan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 (1) huruf a, b, d, f dan g dan ayat (2) diberikan 3 (tiga) kali peringatan tertulis, dan apabila setelah 6 (enam) bulan sejak diberikan peringatan tertulis tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenakan pencabutan izin usaha perkebunan.

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34

(1) Perusahaan perkebunan yang telah memiliki izin usaha perkebunan atau surat pendaftaran usaha perkebunan, maka izin usaha perkebunan atau surat pendaftaran perkebunan dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan peraturan daerah ini;

(2) Kecuali terhadap hak atas tanah yang telah diberikan, perusahaan perkebunan yang telah melakukan pengelolaan perkebunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini diberikan waktu 3 (tiga) tahun untuk melaksanakan penyesuaian sejak Peraturan Daerah ini diberlakukan;

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelak-sanaannya diatur lebih lanjut oleh Bupati;

Pasal 36

(1) Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini maka seluruh petunjuk pelaksanaan atau pedoman yang ada sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini apabila tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku;

(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka peraturan yang sudah ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku;

(16)

Pasal 37

Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan;

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Solok Selatan.

Ditetapkan di Padang Aro

Pada tanggal, 12 September 2005 BUPATI SOLOK SELATAN,

dto. S Y A F R I Z A L

Diundangkan di Padang Aro Pada tanggal 13 Oktober 2005

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN, dto.

ROSMAN EFFENDI, SE,SH,MM,MBA Pembina Tk. I. NIP. 010122943

(17)

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR……….. TAHUN 2005

TENTANG

PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

A. PENJELASAN UMUM

Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka kewenangan untuk memproses Perizinan Usaha dibidang Perkebunan telah menjadi kewenangan Kabupaten sesuai dengan Kriteria dan Standar Perizinan yang ditetapkan Pemerintah.

Untuk menyelenggarakan kewenangan tersebut, serta untuk memberikan pedoman atau acuan dalam rangka melakukan pembinaan, pengaturan dan pengendalian serta pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan perkebunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan, maka perlu adanya pengaturan Perizinan Usaha dibidang Perkebunan tersebut.

Dengan adanya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam pemberian izin ini, maka terhadap kegiatan dibidang perkebunan tersebut perlu dilakukan pengaturan yang lebih baik yang sekaligus dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.

Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3

Ayat 1 Cukup jelas.

Ayat 2 Usaha Budidaya Tanaman Skala Besar adalah usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luas 25 Ha s/d 20.000 Ha. Usaha Budidaya Tanaman Skala Kecil adalah usaha budidaya tanaman perkebunan yang dilaksanakan oleh petani pekebun dengan luas kurang dari 25 Ha.

Ayat 3 Cukup jelas. Pasal 4

Ayat 1 dan Ayat 2

(18)

kebun yaitu oleh Perusahaan Besar dan oleh Petani Pekebun.

Untuk luas lahan dengan batasan 25 Ha atau lebih dikelola oleh Perusahaan Besar dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan sedang-kan untuk lahan dibawah 25 Ha dikelola Petani Pekebun cukup dilakusedang-kan pendaftaran tanpa adanya beban persyaratan yang ditentukan.

Pasal 5.

Ayat 1 dan Ayat 2

Industri pengolahan hasil perkebunan dilakukan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan di bidang perindustrian kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 6.

Ayat 1 Cukup jelas. Ayat 2 Cukup jelas.

Ayat 3 Lokasi izin usaha perkebunan dapat berada dalam satu kabupaten atau beberapa kabupaten pada 1 Propinsi dengan ketentuan luas makasimal dalam 1 Propinsi tersebut tetap seluas 20.000 Ha.

Ayat 4 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup Jelas. Pasal 8.

Ayat 1 Pengikut sertaan masyarakat dalam pengembangan usaha perkebunan adalah dalam bentuk pembangunan dan penyediaan kebun plasma oleh perusahaan perkebunan sesuai kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak.

Ayat 2 Cukup jelas. Ayat 3 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup Jelas. Pasal 10 Cukup Jelas. Pasal 11 Cukup Jelas. Pasal 12 Cukup Jelas.

Pasal 13. Jawaban Bupati diberikan maksimal 1 bulan setelah diajukannya permohonan izin usaha perkebunan.

Pasal 14 Cukup jelas.

Pasal 15. Surat Keputusan Izin Usaha Perkebunan diberikan oleh Bupati dalam jangka waktu maksimal 6 bulan setelah diajukannya permohonan izin usaha perkebunan. Pasal 16 Cukup jelas.

Pasal 17.

Ayat 1 Cukup jelas.

Ayat 2. Lembaga Penelitian dimaksud adalah lembaga yang menangani penelitian tanaman perkebunan, dapat berupa Balai Penelitian Tanaman ataupun Perguruan Tinggi.

Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19.

(19)

Ayat 2 Masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur :

a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinschaft). b. Adanya kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat. c. Adanya wilayah hukum adat yang jelas.

d. Adanya pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati.

e. Adanya pengukuhan dengan peraturan daerah.

Musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas tanah tidak selamanya diikuti dengan pemberian hak atas tanah.

Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22.

Ayat 1 Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat atau koperasi setempat adalah meliputi antara lain :

1. Memfasilitasi sumber pembiayaan / permodalan. 2. memfasilitasi pelaksanaan distribusi hasil perkebunan. 3. Memfasilitasi aksesibilitas IPTEK dan Informasi.

Ayat 2 Yang dimaksud dengan keamanan plasma nutfah adalah keamanan terhadap keaslian dan kelestarian benih/ bibit.

Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas.

Pasal 25. Usaha budidaya perkebunan dengan luasan tanah tertentu adalah sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 7 Peraturan Daerah ini.

Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN TAHUN 2005 NOMOR ..

Referensi

Dokumen terkait

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan

Persetujuan Perubahan Luas Lahan, Persetujuan Perubahan Jenis Tanaman, Persetujuan Penambahan Kapasitas Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan Persetujuan

(2) Usaha budidaya tanaman perkebunan yang luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih sampai dengan luasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Peraturan Daerah ini dan

budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan

tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan

mendapat persetujuan penambahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penambahan kapasitas pengolahan, atau diversifikasi usaha berhak untuk melakukan kegiatan usaha

Setiap perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas