• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1.1 Pajak

2.1.1.1 Definisi Pajak

Definisi Pajak Menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan :

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang – undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat

Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu :

1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani dalam Mohammad Zain (2007; 10), mengemukakan bahwa :

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurutparaturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”

2. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., dalam Mardiasmo (2011; 1) mengemukakan bahwa :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”

Definisi tersebut kemudian disempurnakan, menjadi :

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus” nya digunakan untuk publicsaving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment Mohammad Zain (2007; 10).

(2)

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak dipungut berdasarkan Undang – Undang yang berlaku di Negara baik bagi pemerintahan pusat atau daerah. Dalam pembayaran pajak tidak ada jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Pajak diperuntukan pengeluaran pemerintah maka apabila dalam pemasukannya mendapatkan surplus maka akan digunakan untuk membiayai public investment.

2.1.1.2 Ciri-ciri Pajak

Berikut ini terdapat beberapa pendapat dari ahli perpajakan tentang ciri-ciri pajak yang melekat pada definisi pajak.

Ciri-ciri pajak menurut Mohammad Zain (2007; 12) adalah sebagai berikut: 1. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor swasta (Wajib Pajak membayar pajak) ke sektor negara

(pemungut pajak / administrasi pajak).

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

4. Tidak dapat ditunjukan adanya imbalan (kontraprestasi) individu oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak.

5. Selain fungsi budgetair (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas negara atau anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur/regulerend).

Sedangkan ciri-ciri pajak menurut Mardiasmo (2011; 1) adalah sebagai berikut :

(3)

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan Undang-Undang.

Pajak dipungut berdasarkan atas dengan kekuatan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dilihat dari ciri-ciri pajak diatas maka dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri yang tidak terlepas dari :

1. Rakyat sebagai pembayar pajak (Wajib Pajak) 2. Tidak ada kontraprestasi yang langsung dirasakan 3. Negara sebagai pemungut

4. Undang-Undang sebagai ketetapan pajak

5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara 2.1.1.3 Fungsi Pajak

Menurut Prof. Dr. P. J. A Adriani dan Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam Resmi (2008; 3) mengatakan bahwa dalam pajak terkandung fungsi diantaranya:

1. Fungsi Budgetair (Anggaran)

Fungsi budgetair yaitu dengan pajak digunakan sebagai alat untuk dapat membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan didalam suatu negara. Untuk mengoptimalkan fungsi budgetair pajak pemerintah biasanya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pemunggutan pajak.

2. Fungsi Regulerend atau Mengatur

Fungi regulerend atau mengatur yaitu pajak digunakan sebagai pengatur untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang sosial,

(4)

ekonomi, dan lainya dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.

Selain dua fungsi pajak diatas, adapun dua aspek tambahan, yaitu : 1. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

2. Fungsi Retribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Dari fungsi pajak diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pajak memiliki fungsi yang tidak terlepas dari tujuan pajak yang merupakan tujuan negara. Oleh karena itu tujuan dan fungsi pajak tidak mungkin lepas dari tujuan dan fungsi yang mendasarinya.

Tujuan pajak yang selaras dengan tujuan negara akan menjadi sebuah landasan yang dapat memperkuat tujuan pemerintah dalam memungut pajak.

2.1.1.4 Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011; 2) Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

Untuk mencapai tujuan hukum yakni keadilan maka undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil . Adil dalam perundang-undangan secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing- masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan

(5)

hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran dan banding kepada majelis pertimbangan pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis) Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan bagi rakyat dan negara. 3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. System pemungutan pajak harus sederhana

System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang- undang perpajakan yang baru.

Beberapa syarat diatas mengisyaratkan bahwa pemungutan pajak akan membawa kesejahteraan bukan membawa kesengsaraan bagi masyarakat. Demikian juga dengan pemerintah yang senantiasa melakukan deregulasi khususnya dalam bidang pajak yang tujuannya adalah makin menyederhanakan proses pemungutan pajak.

2.1.1.5 Hukum Pajak

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak rakyat selaku pembayar pajak (Wajib Pajak) . Ada dua macam hukum pajak, yaitu:

1. Hukum pajak materiil.

Memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan

(6)

(tarif) segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.

Contoh : Undang-Undang Pajak Penghasilan 2. Hukum pajak formil.

Memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain :

a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak. b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

c. Kewajiban pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.

Contoh : Ketentuan Umum Dan Tata cara Perpajakan.

Berdasarkan hukum pajak diatas, maka dapat dikatakan bahwa hukum pajak mempunyai kedudukan bagian dari hukum-hukum lain. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., dalam Mardiasmo (2011; 4) mengemukaan bahwa hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum hukum sebagai berikut :

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.

2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci sebagai berikut :

a. Hukum Tata Negara

b. Hukum Tata Usaha (Hukum administratif) c. Hukum Pajak

(7)

2.1.1.6 Jenis-Jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2011) Pajak dapat dikelompokan dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Menurut Golongannya.

a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan.

Contoh : Pajak Penghasilan.

b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifatnya.

a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan

b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari wajib pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

2. Menurut Pemungut dan Pengelolanya

a. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contohnya Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

(8)

2.1.1.7 Sistem Pemungutan Pajak

Ada tiga sistem pemungutan pajak yang dapat digunakan menurut Mardiasmo (2011; 7) yaitu :

1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya :

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

2) Wajib Pajak bersifat pasif.

3) Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya :

1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak itu sendiri.

2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. With Holding Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Ciri-cirinya :

(9)

2.1.2 Subjek Pajak

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:

1. a. Orang Pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak

2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 1. Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari : a. Orang Pribadi

a) Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

b) Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

b. Badan yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi criteria :

a) Pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan; b) Pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD:

c) Penerimaannya dimasukan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

(10)

2. Subjek Pajak Luar Negeri

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan pulih tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua bela) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2.1.2 Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

(11)

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

(12)

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan s. surplus Bank Indonesia.

2.1.4 Wajib Pajak Orang Pribadi

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan :

“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

Dengan demikian, Wajib Pajak dibedakan menjadi dua yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Wajib Pajak Orang Pribadi adalah Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia selama 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia. Wajib Pajak Orang Pribadi dapat dikategorikan menjadi dua kelompok utama, yaitu :

1. Wajib Pajak yang bekerja atau menerima penghasilan dari pemberi kerja.

Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja dan menerima penghasilan dari pemberi kerja ini biasanya kita kenal sebagai karyawan, pekerja, penerima imbalan sehubungan dengan pekerjaan/kontrak kerja.

Contoh : karyawan, direktur dan komisaris yang dibayar gaji/honor, pegawai harian, pegawai magang, dan sejenisnya.

(13)

2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki usaha dan pekerja bebas. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan :

“Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terkait oleh suatu hubungan kerja”.

Dari definisi diatas, maka Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yaitu orang pribadi yang memiliki usaha atau pekerjaan yang dikelola sendiri tanpa mendapatkan perintah dari seseorang atau badan pemberi kerja.

Contoh : Pengacara, dokter, konsultan bisnis, konsultan hukum, arsitek dan sejenisnya yang menawarkan jasa atau keahlian khusus yang dimiliki.

Sedangkan Orang Pribadi yang melakukan usaha bebas merupakan wiraswasta seperti orang yang membuka toko, membuka kantor jasa sendiri dan sejenisnya.

2.1.4.1 Kewajiban Wajib Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Kewajiban yang melekat pada Wajib Pajak, sebagai berikut :

1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan mendaftarkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.

2. Menghitung, memotong/memungut dan membayar sendiri pajak dengan benar.

3. Mengisi dengan benar surat pemberitahuan (SPT) dan menyampaikannya ke kantor pelayanan Pajak sesuai ketentuan mengenai batas waktu penyampaian.

4. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.

5. Membayar kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi.

(14)

a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang

dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau Memberikan keterangan lain yang diperlukan.

2.1.4.2 Hak – Hak Wajib Pajak

Hak-hak yang perlu didapat oleh Wajib Pajak , sebagai berikut :

1. Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan.

2. Menerima Surat tanda bukti setoran (SSP) dari Kantor Pajak setelah membayar pajak.

3. Meminta keterangan tertulis dari Direktorat Jenderal Pajak tentang dasar pengenaan pajak atau pemotongan pajak.

4. Melakukan pembetulan sendiri SPT.

5. Mengajukan permohonan pembetulan atas kesalahan tulis, kesalahan hitung atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam Surat Ketetapan Pajak.

6. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak dalam Hal-hal atau kondisi tertentu.

7. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak dalam hal-hal atau kondisi tertentu.

8. Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak dan memperoleh tanda terima surat keberatan. 9. Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan.

(15)

2.1.5 Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.

Dasar hukum pemungutan pajak penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak-pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Undang-undang PPh mengatur cara menghitung dan cara melunasi pajak yang terutang. Dengan demikian Undang-Undang PPh menjamin memberi keringanan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.

2.1.5.1 Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan dan Perhitungan

Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dasar pengenaan pajaknya adalah Penghasilan Kena Pajak sedangkan dasar pengenaan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.

2.1.5.2 Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1

Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%

Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 15 % Diatas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 25%

Diatas Rp 500.000.000,00 30 %

(16)

2.1.5.3 Penghasilan Tidak Kena Pajak

Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar sebagai berikut :

a. Rp 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri wajib pajak orang pribadi;

b. Rp 1.320.000 ( satu juta tigaratus duapuluh ribu rupiah) tambahan untuk wajib pajak yang kawin;

c. Rp 15.840.000 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghaslan suami ;

d. Rp 1.320.000 ( satu juta tigaratus duapuluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semanda dalam garis keturunan lurus anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang setiap keluarga.

2.1.5.4 Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Pajak penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 17. Untuk menghitung PPh Wajib Pajak Orang Pribadi digunakan rumus sebagai berikut :

Tabel 2.2

Rumus Perhitungan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi

Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi) = Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17 = (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17

= [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP] x tarif pasal 17

(17)

2.1.5.5 Wajib Pajak yang Menerima Penghasilan dari Pemberi Kerja Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari pemberi kerja ini, perhitungannya tidaklah terlalu rumit dan Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan khusus. Yang diperlukan hanyalah mengumpulkan bukti-bukti pembayaran dan pemotongan penghasilan yang diperoleh dari pemberi kerja.

2.1.5.6 Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas

Wajib Pajak yang memiliki pekerjaan dan usaha bebas, dalam menghitung penghasilan kena pajak wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan serta perhitungan yang lebih mendetail dan lebih rumit. Karena mereka perlu menentukan terlebih dahulu penghasilan neto yang telah diperoleh selama setahun untuk usaha dan pekerjaan yang telah mereka lakukan.

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 Tentang Pajak Penghasilan, metode penghitungan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Memiliki Usaha dan Pekerjaan Bebas, yaitu sebagai berikut:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan dengan syarat memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan

2. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan wajib menyelenggarakan pencatatan.

3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari

(18)

Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) tetapi tidak memberitahukan kepada Direktorat Jendera Pajak (DJP) untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Metode perhitungan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha dan pekerjaan bebas diperjelas dalam peraturan sebagai berikut :

1. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 tentang Norma Perhitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto dengan Menggunakan Norma Perhitungan.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Tata Cara Pencatatan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (jo. Pendirjen Nomor PER-4/PJ/2009).

2.1.6 Surat Pemberitahuan (SPT)

Surat Pemeberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.1.6.1 Fungsi SPT

Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak uang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;

b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; c. Harta dan kewajiban;

d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

(19)

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan

b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bagi pemotongan atau pemungutan pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaorkan dan mempertanggunjawaban pajak yang dipotong atau dipungut dan disertorkannya.

2.1.6.2 Jenis SPT

Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

b. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

SPT meliputi:

a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan; b. SPT masa yang terdiri dari:

1. SPT Masa Pajak Penghasilan; 2. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai;

3. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

SPT dapat berbentuk:

a. Formulir kertas (hardcopy); atau b. e-SPT.

(20)

2.1.6.3 Batas Waktu Penyampaian SPT

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:

a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh hari) setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

b. Untuk surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak; atau

c. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

2.1.6.4 Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:

a. Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,

b. Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, c. Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak

Penghasilan Wajib Pajak Badan,

d. Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

2.1.7 Kesadaran untuk Membayar Pajak

Suharso (2005) mengungkapkan kesadaran adalah keinsafan; keadaan mengerti; hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Dalam penelitian Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa kesadaran adalah keadaan mengetahui atau mengerti. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk membayar pajak merupakan mengerti dengan sungguh sehingga menimbulkan rasa keinginan Wajib Pajak (Tax Payer) dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan jumlah pajak terutangnya.

(21)

Sumarso dalam Jatmiko (2006) menyatakan bahwa kesadaran perpajakan masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat dijaring. Larce dalam Jatmiko (2006) mengemukakan bahwa kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat.

Irianto dalam Vanesa dan Hari (2009) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak. Terdapat tiga bentuk kesadaran utama terkait pembayaran pajak, yaitu :

1. Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara.

2. Kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.

3. Kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan.

Selain itu, Widayati dan Nurlis (2010) menambahkan bahwa kesadaran membayar pajak tidak sesuai dengan jumlah pajak yang terutang dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.

Berdasarkan uraian diatas, maka dengan adanya kesadaran terhadap hal – hal tersebut maka Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak tanpa menunda atau memperlambat karena disadari bahwa pajak memiliki landasan hukum yang kuat yaitu Undang- Undang.

Loekman Sutrisno (1995) menyatakan bahwa membayar pajak merupakan sumbangan wajib pajak bagi terciptanya kesejahteraan bagi terciptanya kesejahteraan bagi diri mereka sendiri serta bangsa secara keseluruhan. Selain itu Wajib Pajak tidak akan merasa dirugikan karena hasil pungutan pajak itu sendiri dapat digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

2.1.8 Pengetahuan dan Pemahaman tentang Peraturan Perpajakan

Dalam penelitian Widayati dan Nurlis (2010) menjelaskan bahwa pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan adalah proses dimana

(22)

wajib pajak mengetahui tentang perpajakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu untuk membayar pajak.

Resmi (2008) menyatakan pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan yang dimaksud mengerti dan paham tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) yang meliputi tentang bagaimana cara menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), pembayaran, tempat pembayaran, denda dan batas waktu pembayaran atau pelaporan SPT.

Dari uraian diatas, maka dapat diidentifikasi bahwa pengetahuan dan pemahaman berkaitan erat. Dengan pengetahuan Wajib Pajak mengenai peraturan perpajakan, maka Wajib Pajak akan mendalami pengetahuan tersebut sehingga mereka dapat mengerti serta paham dengan jelas mengenai peraturan perpajakan. Dalam penelitian Widayati dan Nurlis (2010) terdapat beberapa indikator bahwa Wajib Pajak perlu mengetahui dan memahami peraturan perpajakan, sebagai berikut :

1. Wajib Pajak mengetahui bahwa pajak diatur oleh Undang-Undang Pajak tidak lepas dari peraturan yaitu Undang-Undang Perpajakan dimana segala hal yang berhubungan dengan pajak sudah ada dalam Undang Undang.

2. Pengetahuan dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai wajib pajak. Masyarakat perlu mengetahui dan memahami hak dan kewajiban mereka sebagai Wajib Pajak, maka mereka akan melakukan kewajibannya untuk membayar pajak dengan sendirinya.

3. Kepemilikan NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). NPWP merupakan sarana pengadministrasian pajak.

4. Pengetahuan dan pemahaman mengenai memahami tata cara menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang. Sesuai dengan Tax

Reform yaitu adanya perubahan sistem perpajakan yang digunakan yaitu

(23)

PKP dan tarif pajak sangat penting karena Wajib Pajak akan mampu menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya.

5. Pengetahuan dan pemahaman mengenai Surat Pemberitahuan (SPT). SPT merupakan surat yang wajib disampaikan atau dilaporkan oleh Wajib Pajak mengenai perhitungan pajak terutang serta pembayaran pajak. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman Wajib Pajak mengenai SPT sangat penting.

6. Pengetahuan dan pemahaman mengenai sanksi perpajakan.

Pengetahuan dan pemahaman Wajib Pajak mengenai sanksi perpajakan dapat berpengaruh terhadap kemauan Wajib Pajak untuk membayar pajak, karena Wajib Pajak akan dirugikan oleh sanksi tersebut apabila Wajib Pajak melalaikan kewajiban perpajakan mereka.

2.1.9 Persepsi yang Baik atas Efektivitas Sistem Perpajakan

Persepsi menurut Robbins (1996:124) didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu – individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Dalam penelitian Vanesa dan Hari (2009) menyatakan bahwa persepsi merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek tertentu. Sedangkan efektifitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Persepsi Wajib Pajak atas efektifitas sistem perpajakan berbeda-beda. Namun dari setiap persepsi Wajib Pajak atas efektifitas sistem perpajakan akan membantu sistem administrasi perpajakan untuk meningkatkan kemauan Wajib Pajak untuk membayar pajak.

Dalam Penelitian Widayati dan Nurlis (2010) terdapat beberapa hal yang mengindikasikan persepsi Wajib Pajak atas efektifitas sistem perpajakan.

1. Wajib pajak menilai aparat pajak memberikan pelayanan dengan baik. Pelayanan aparat pajak (fiskus) terhadap Wajib Pajak dengan baik akan mempengaruhi Wajib Pajak untuk membayar pajak, karena kenyamanan pelayanan pajak merupakan hal yang diperlukan oleh Wajib Pajak.

(24)

2. Wajib pajak menilai sanksi-sanksi perpajakan dilaksanakan dengan adil. Apabila sanksi yang diberikan telah diberlakukan dengan sesuai dan adil, maka Wajib Pajak akan takut untuk tidak membayar pajak.

3. Adanya sistem pelaporan melalui e-SPT dan e-Filling.

Sistem pelaporan e-SPT dan e-Filling merupakan sarana untuk mempermudah Wajib Pajak dalam melaporkan SPT. Selain itu, dengan sistem e-SPT dapat menjaga keamanan data serta efisien berkas.

4. Peraturan perpajakan dapat diakses secara lebih cepat melalui internet. Wajib Pajak akan dengan mudah dan cepat mengakses mengenai peraturan perpajakan tanpa harus menunggu pemberitahuan dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

5. Pendaftaran NPWP yang dapat dilakukan secara online.

Hal ini dapat memudahkan Wajib Pajak untuk mendapatkan NPWP dengan cepat sebagai syarat administrasi perpajakan dengan cara mendaftarkan diri melalui e-register.

2.1.10 Kemauan untuk Membayar Pajak

Dalam Suharso (2005) mendefinisikan kemauan sebagai dorongan dari dalam yang sadar, berdasarkan pertimbangan pikir dan perasan, serta seluruh pribadi seseorang yang menimbulkan kegiatan yang terarah pada tercapainya tujuan tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan hidupnya.

Konsep kemauan untuk membayar pajak dikembangkan melalui dua subkonsep, yaitu konsep kemauan untuk membayar dan konsep pajak. Pertama, konsep kemauan untuk membayar. Kemauan membayar merupakan suatu nilai dimana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau jasa. (Widaningrum, 2007). Definisi ini sejalan dengan definisi Wechel & Kimberly dalam Widjonarko (2007: 25), yaitu sebagai jumlah uang yang bersedia dibayarkan oleh individu untuk mendapatkan suatu barang atau jasa layanan. Kedua, Konsep Pajak. Menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam Waluyo (2007) mengemukakan bahwa pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh negara dan terutang kepada pengusaha (menurut

(25)

norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

Dari definisi tersebut, Vanessa dan Hari (2009) mengembangkan definisi kemauan untuk membayar menjadi definisi kemauan untuk membayar pajak diartikan sebagai suatu nilai yang rela dikontribusikan oleh seseorang (yang ditetapkan dengan peraturan) yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung.

Dilihat dari definisi tersebut maka secara garis besar dapat disimpulkan bahwa konsep kemauan untuk membayar tidak terlepas dari konsep pajak itu sendiri. Kedua konsep tersebut berkaitan erat yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah konsep kemauan untuk membayar pajak (willingness to Pay

Taxes) bagi para Wajib Pajak.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pajak merupakan iuran paksa yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat yang dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Dalam kewajibannya untuk membayar pajak, masyarakat tidak menerima secara langsung imbalan atas pajak yang dibayar kepada pemerintah. Masyarakat tidak menyadari bahwa sebagian apa yang mereka gunakan merupakan fasilitas-fasilitas hasil dari iuran pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Dalam Undang-Undang tentang perpajakan tertulis kewajiban bagi para wajib Pajak untuk membayar pajak yang apabila kewajiban tersebut tidak terpenuhi, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi yang sesuai. Tetapi masih banyak masyarakat tidak peka terhadap sanksi yang diterimanya karena dalam kenyataannya masyarakat tidak ingin membayar pajak. Masyarakat beranggapan bahwa mereka mampu bekerja sama dengan oknum petugas pajak sehingga mendapat pengurangan jumlah pajak Wajib Pajak dan penundaan pembayaran.

Kemauan membayar merupakan suatu nilai dimana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau jasa Widaningrum (2007). Sedangkan kemauan membayar pajak dapat

(26)

diartikan sebagai hasrat seseorang yang rela memberikan sejumlah uang untuk melakukan kewajibannya yaitu membayar pajak.

Kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan, dan tarif pajak. (Devano dan Rahayu, 2006)

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Widayati dan Nurlis (2010) dengan judul “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemauan untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas” dengan melakukan Studi Kasus di KPP Pratama Gambir Tiga. Hasil penelitiannya :

1. Kesadaran membayar pajak tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak.

2. Pengetahuan dan Pemahaman Peraturan Pajak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak.

3. Persepsi yang Baik terhadap Sistem Perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak.

Pada penelitian ini juga penulis mengambil referensi lain dari penelitian terdahulu sebagai gambaran untuk mempermudah proses penelitian Vanessa dan Hari (2009) yang berjudul “Dampak Program Sunset Policy Terhadap Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak” Studi Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Pelaku Usaha di Wilayah KPP Pratama Salatiga. Hasil penelitiannya:

1. Kesadaran membayar berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak. 2. Pengetahuan dan Pemahaman Peraturan Pajak berpengaruh terhadap

kemauan membayar pajak.

3. Pengaruh Program Sunset Policy berpengaruh terhadap Persepsi yang Baik dan terhadap Sistem Perpajakan.

(27)

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis Penelitian

Menurut Sugiyono (2008), hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

Penetapan hipotesis berkaitan dengan variabel X dan variabel Y. Kedua variabel tersebut akan menentukan hipotesis yang ditetapkan untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh kedua variabel tersebut.

Hipotesis nol (H0) akan menunjukan penolakan yang berarti tidak ada

pengaruh antara variabel X terhadap variabel Y. Sedangkan Hipotesis alternatif (Ha) akan menunjukan penerimaan yang berarti ada pengaruh antara variabel X

terhadap variabel Y.

Penetapan hipotesis untuk penelitian ini, sebagai berikut : 1. Secara Parsial

H0 : β1 = 0 Kesadaran membayar pajak tidak berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak.

Ha : β1 ≠ 0 Kesadaran membayar pajak berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak.

Kesadaran Membayar Pajak (X1)

Pengetahuan dan Pemahaman tentang Peraturan Perpajakan (X2)

Persepsi yang Baik atas Efektifitas Sistem Perpajakan (X3)

Kemauan untuk Membayar Pajak (Y)

(28)

H0 : β2 = 0 Pengetahuan dan Pemahaman tentang peraturan perpajakan

tidak berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak. Ha : β2 ≠ 0 Pengetahuan dan Pemahaman tentang peraturan perpajakan

berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak.

H0 : β3 = 0 Persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan tidak

berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak.

Ha : β3 ≠ 0 Persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan

berpengaruh terhadap kemauan untuk membayar pajak. 2. Secara Simultan

H0 : β4 = 0 Kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan , serta persepsi yang baik atas

efektivitas sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap

kemauan untuk membayar pajak.

Ha : β4 ≠ 0 Kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan , serta persepsi yang baik atas

efektivitas sistem perpajakan berpengaruh terhadap kemauan

Referensi

Dokumen terkait

bahwa sesuai ketentuan Pasal 184 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12

Mereka mengemukakan beberapa alasan terkait pendapat tersebut, antara lain: pernikahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang dilaksanakan begitu saja karena alasan

Kompleksitas pekerjaan atau kerumitan geometri produk yang harus dibuat dapat diatasi dengan memilih mesin perkakas dengan jumlah sumbu gerakan yang lebih banyak

Berdasarkan hasil output dapat dilihat bahwa nilai F hitung untuk perbedaan permanen dan perbedaan temporer sebesar 6.038 dengan tingkat signifikansi 0.007 < 0,05 sehingga

Nalar pembentukan hukum CLD-KHI, juga mengusung enam visi hukum Islam yang dicita-citakan, yaitu: pluralisme (ﺔّﯾدّﺪﻌﺗ), nasionalitas (ﺔﻨطاﻮﻣ), penegakan

t yang terorganisir untuk mencapai tujuan sebagaimana mestinya, dan dalam usaha tidak lukan suatu Hukum yang dijadikan sebagai alat sia baik yang bergerak maupun tidak

Sehingga tidak hanya bersandar kepada data-data tertulis seperti beberapa mushaf yang ditulis oleh para sahabat sesuai dengan pemahamannya akan turunnya ayat per ayat tau mushaf

Berdasarkan latar belakang tersebut membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara pengawasan, prosedur kerja dan kondisi fisik dengan terjadinya