• Tidak ada hasil yang ditemukan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYUSUNAN PROFIL PSIKOLOGIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BIRO SUMBER DAYA MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYUSUNAN PROFIL PSIKOLOGIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BIRO SUMBER DAYA MANUSIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BIRO SUMBER DAYA MANUSIA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

PENYUSUNAN PROFIL PSIKOLOGIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BIRO SUMBER DAYA MANUSIA

Menimbang : a. bahwa Bagian Psikologi Biro SDM bertugas untuk membina dan menyelenggarakan fungsi Psikologi Kepolisian dan dalam pelaksanaannya didukung oleh Subbagian Psikologi Kepolisian dan Subbagian Psikologi Personel;

b. bahwa dengan semakin banyaknya kasus-kasus tindak pidana pembunuhan dengan modus operandi yang cukup kompleks, maka membutuhkan penangananan yang lebih komprehensif dalam upaya pengungkapannya.

c. bahwa dalam pengungkapan kasus secara komprehensif, perlu melibatkan dukungan berbagai disiplin keilmuan dalam mewujudkan pengungkapan kasus kriminal secara ilmiah (Scientific Crime Investigation);

d. bahwa salah satu disiplin ilmu yang mendukung pengungkapan kriminal secara ilmiah adalah ilmu psikologi dengan metode profil psikologis;

e. bahwa dalam penyusunan profil psikologis tindak pidana pembunuhan harus memperhatikan perundang-undangan yang berlaku;

f. bahwa dalam rangka memberikan panduan penyusunan profil psikologis, maka diperlukan pedoman tentang Standar Operasional Prosedur penyusunan profil psikologis tindak pidana pembunuhan;

(2)

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan huruf c,d,e,f perlu menetapkan Standar Operasional Prosedur Penyusunan Profil Psikologis Tindak Pidana Pembunuhan di Lingkungan Bagian Psikologi Biro SDM;

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa;

5. Peraturan Kapolri Nopol 1 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyusunan Profil Psikologis terhadap Tersangka Tindak Pidana;

6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tanggal 14 September 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;

7. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana;

8. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang

9. Program Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENYUSUNAN PROFIL PSIKOLOGIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.

(3)

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

1. Penyusunan profil psikologis adalah suatu rangkaian kegiatan pengumpulan dan pengolahan data dengan menggunakan metode dan teori-teori psikologi yang dipadukan dengan informasi pendukung lain untuk menggambarkan karakteristik seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

2. Profil psikologis adalah gambaran karakteristik seseorang yang diperoleh dari rangkaian kegiatan penyusunan profil psikologis.

3. Metode psikologi adalah cara untuk mendapatkan data melalui kegiatan observasi, wawancara dan tes psikologi.

4. Teori psikologi adalah pendekatan ilmu psikologi yang digunakan untuk memahami kecenderungan dan dinamika perilaku manusia.

5. Informasi pendukung adalah segala sesuatu yang diperoleh selain menggunakan metode psikologi.

6. Pembunuhan adalah tindakan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.

7. Pelaku adalah orang yang melakukan pembunuhan.

8. Psikologi Polri adalah badan yang bertugas untuk membina dan atau menyelenggarakan fungsi psikologi kepolisian dan dalam struktur organisasi Polri termasuk di dalamnya Biro Bagian Psikologi Biro SDM dan Bagian Psikologi Biro SDM Polda.

9. Psikolog Polri adalah ahli yang latar belakang pendidikannya adalah cabang ilmu psikologi dan bekerja pada institusi Kepolisian Republik Indonesia.

10. Ahli profil psikologis adalah seseorang yang memiliki keahlian menganalisis, menyusun dan menyajikan profil psikologis terduga pelaku tindak pidana pembunuhan yang berdasar pada kaidah ilmu psikologi. 11. Keterangan ahli psikologi adalah penjelasan yang diberikan oleh psikolog

yang melakukan kegiatan profil psikologis.

(4)

Pasal 2 Tujuan dari peraturan ini sebagai :

a. pedoman bagi psikolog Polri dalam melakukan kegiatan profil psikologis; b. mengarahkan psikolog Polri untuk melaksanakan tugas, fungsi dan

peranannya dalam penyusunan profil psikologis tindak pidana pembunuhan secara prosedural.

Pasal 3 Fungsi-fungsi dalam peraturan ini :

a. untuk memperlancar tugas psikolog Polri serta tim kerja;

b. agar psikolog Polri dapat menjaga konsistensi kinerja dalam proses penyusunan profil psikologis.

Pasal 4 Prinsip-prinsip dalam peraturan ini :

a. akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah keilmuan psikologi;

b. profesional, yaitu mendasarkan pada ilmu pengetahuan, pengalaman, sikap dan moral;

c. responsif, yaitu sikap tanggap dan segera dalam memberikan dukungan untuk membuat terang suatu perkara melalui kegiatan profil psikologis; d. efisiensi dan efektif, yaitu memberikan pelayanan dengan memanfaatkan

semua sumber daya yang ada secara optimal dan bertanggung jawab; e. ilmiah, penyelenggaraan profil psikologis didasarkan pada ilmu

pengetahuan yang dapat dibuktikan dan diuji ulang serta bersifat umum. MEKANISME

Pasal 5

Penyusunan profil psikologis mengikuti mekanisme sebagai berikut :

a. melakukan koordinasi dengan satker/satwil yang memerlukan dukungan kegiatan profil psikologis;

b. membentuk tim beserta dukungan administratifnya guna pelaksanaan kegiatan profil psikologis;

c. mengumpulkan data, keterangan yang diperlukan dalam penyusunan profil psikologis;

d. menyusun profil psikologis;

e. menyajikan atau melaporkan hasil kegiatan penyusunan profil psikologis.

(5)

BAB II

PETUGAS DAN SUMBER DATA Petugas

Pasal 6

a. penyusunan profil psikologis terhadap tersangka tindak pidana dilaksanakan

oleh psikolog Polri;

b. dalam penyusunan profiI psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

psikolog dibantu oleh tim yang ditunjuk sesuai dengan surat perintah; c. psikolog Polri dapat melibatkan tenaga ahli di luar instansi Polri.

Pasal 7

a. dalam penyelenggaraan penyusunan profil psikologis, psikolog Polri bertugas sebagai berikut :

1) turut serta dalam melakukan olah TKP; 2) melaksanakan wawancara dan observasi; 3) melaksanakan analisa dan evaluasi data; dan 4) menyusun profil psikologis.

b. dalam penyelenggaraan penyusunan profil psikologis, tim pendukung bertugas sebagai berikut :

1) mengumpulkan data;

2) mengklasifikasikan data; dan

3) melaksanakan kegiatan administrasi profil psikologi. Sumber Data

Pasal 8

Sumber data penyusunan profil psikologis dapat diperoleh dari : a. tempat kejadian perkara;

b. riwayat hidup korban/pelaku; c. dokumen-dokumen; d. kepustakaan; e. bukti digital; f. pelaku; g. saksi/saksi korban; h. keluarga korban/pelaku;

i. teman-teman/orang dekat pelaku; dan j. hasil tes psikologi.

(6)

BAB III

METODE PENGUMPULAN DATA DAN SISTEMATIKA PROFIL PSIKOLOGIS Metode Pengumpulan Data

Pasal 9

a. untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam pembuatan profil psikologis, digunakan metode sebagai berikut :

1) wawancara; 2) observasi; dan 3) tes psikologi.

b. wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap penyidik, saksi, keluarga dan sumber lain yang mengetahui hal-hal apa saja yang berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi.

c. observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap korban, pelaku, tempat kejadian perkara dan tempat lain yang diduga berkaitan dengan terjadinya tindak pidana pembunuhan.

d. yang dimaksud dengan sumber lain pada pasal 5 ayat (2) di atas adalah informasi yang diperoleh melalui :

1) olah tempat kejadian perkara;

2) kunjungan keluarga dan teman untuk mendapatkan : a) latar belakang;

b) kebiasaan;

c) struktur keluarga;

d) informasi terakhir (kapan, dimana, dengan siapa, apa yang dikerjakan, dan lain-lain);

e) identitas;

3) saksi untuk mendapatkan :

a) ciri-ciri pelaku : jenis kelamin, tinggi badan, pakaian, jumlah pelaku dan ciri-ciri khusus lainnya;

b) sarana yang digunakan oleh pelaku;

c) keterangan lain yang dapat diberikan oleh saksi;

4) dari masyarakat sekitar diharapkan dapat diperoleh keterangan tentang hal-hal yang diketahui, dilihat ataupun didengar baik secara langsung maupun tidak mengenai kejadian dan pelakunya.

(7)

Sistematika Profil Psikologis Pasal 10

Sistematika penyusunan profil psikologis adalah sebagai berikut :

a. dasar;

b. tujuan;

c. kronologi kasus;

d. metode;

e. waktu pelaksanaan;

f. deskripsi profil psikologis;

g. rekomendasi; dan

h. penutup.

BAB IV

PEMBUATAN, HASIL DAN PENGARSIPAN PROFIL PSIKOLOGIS Pasal 11

Pembuatan Profil Psikologis

Dalam pembuatan profil psikologis sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 adalah sebagai berikut :

a. dasar, rujukan dan atau surat permintaan dari kasatker/kasatwil;

b. tujuan, untuk memberikan gambaran psikologi tentang karakteristik seseorang

yang diduga sebagai pelaku tindak pidana;

c. kronologi kasus, uraian tentang rangkaian peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana pembunuhan;

d. metode, tehnik yang digunakan dalam mengumpulkan data;

e. waktu pelaksanaan, periode dilaksanakannya kegiatan penyusunan profil

psikologis;

f. deskripsi profil psikologis, gambaran karakteristik psikologis seseorang yang

diduga sebagai pelaku yang meliputi : 1) aspek kemampuan intelektual; 2) aspek kepribadian;

3) aspek sosial dan ekonomi; 4) aspek orientasi seksual;

5) aspek kecenderungan penyimpangan perilaku;

6) aspek relasi spesifik korban dan pelaku (terduga pelaku); 7) aspek motivasi, modus operandi;

8) aspek-aspek lain yang ditemukan.

g. rekomendasi, berupa saran kepada penyidik untuk menindaklanjuti hasil profil

psikologis;

h. penutup.

(8)

Pasal 12

Hasil Profil Psikologis

a. hasil profil psikologis dalam bentuk tertulis disampaikan kepada pihak penyidik;

b. penjelasan secara lisan dapat disampaikan dalam gelar perkara.

Pasal 13 Pengarsipan

a. pengarsipan profil psikologis dilakukan secara terpusat oleh Biro Bagian Psikologi Biro SDM;

b. arsip profil psikologis dapat diakses terbatas oleh psikolog Polri;

c. arsip profil psikologis disimpan dalam pusat data yang dapat digunakan sebagai referensi penanganan kasus-kasus yang ditangani psikolog Polri; d. pihak di luar psikolog Polri yang ingin mengakses pusat data profil

psikologis harus atas persetujuan Kepala Bagian Psikologi Biro SDM.

BAB V

PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 14

Pengawasan dan pengendalian kegiatan penyusunan profil psikologis dilaksanakan oleh Kepala Bagian Psikologi Biro SDM.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP Pasal 15

Pada saat SOP ini mulai berlaku, semua peraturan yang berkaitan dengan penyusunan profil psikologis tindak pidana pembunuhan di lingkungan Bagian Psikologi Biro SDM dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan SOP ini.

Pasal 16

Standar Operasional Prosedur Biro SDM ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Surabaya

pada tanggal : Oktober 2018 KEPALA BAGIAN PSIKOLOGI BIRO SDM

IHSAN AMIN, S.I.K., M.H

Referensi

Dokumen terkait

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

Klinik harus melakukan perencanaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menghindari kekosongan. Perencanaan

Untuk itu, diperlukan pedoman sebagai acuan sehingga dalam penyusunan Keputusan dan Instrumen hukum lainnya pada Kementerian Agama dapat dilakukan dengan tertib, mempergunakan

bahwa dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran belanja program dan kegiatan pada satuan kerja perangkat daerah, diperlukan Standar Satuan Harga yang

[r]