----~-
-Daftar lsi
ii
DAFTAR lSI
SUSUNAN REDAKSI
DAFTAR ISI
.
II...
ii
PENGANTAR REDAKSI
iii
LAHMUDDIN ZUHRI
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Atas sumber Daya A1am (SDA) di
Kabupaten Sumbawa...
1-21
I NYOMAN PUTU BUDIARTHA
Penata2ln Aset Daerah dan Pengelolaan Dana Bergulir...
22-63
I KETUT KASTA ARYA WIJAYA
Qua Vadis Politik Hukum Pengelolaan
Indonesia
Sumber Daya Alam Di
64-76
I MADE ARJAYA, MOCH. BAKRI, SIHABUDIN,
WINARNO
Problem Konsep Dalam Pengaturan CSR Di Indonesia
BAMBANG
77-106
I NYOMAN NURJAYA
Adat Community Lands Rights as Defined Within The State
Agrarian Law of Indonesia: Is
It
A Genuine or Pseudo-Legal
Recognition?
107-122
I NYOMAN AUT PUSPADMA
Fungsi dan Wewenang Notaris Dalam Pembuatan Akta
123-148
NYOMAN SATYAYUDHA DANANJAYA
Polluter
Pays
Principle
Dalam
Kerangka
Penegakan
Hukum
Lingkungan (Implementasi Dalam Penanggulangan Perusakan dan
Pencemaran Lingkungan Hidup).
149-172
UCAPAr~
TERIMA KASIH
BIODATA PENULIS
PEDOMAN PENULISAN
173
174
175
JURNAL HUKUM - PRASADA Semesteran ini diterbitkan oleh Program Studi Magister (S-2) I1mu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa sebagai media komunikasi dan pengembangan ilmu. Jurnal terbit setiap bulan September dan Maret. Redaksi menerima naskah artikel laporan penelitian, dan artikel konseptual resensi buku sepanjang relevan dengan misi redaksi (daya selingkung agraria dan investasi). Naskah yang dikirim minimal 15 halaman maksimal 20 halaman diketik 1,5 spasi dilengkapi abstrak bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta biodata penulis. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mempengaruhi substansi tulisannya.
Polluter Pays Principle Dalam Kerangka Penegakan Hukum Lingkungan (Implementasi Dalam Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran
Lingkungan Hidup) Oleh:
Nyoman Satyayudha Dananjaya1
Abstract
Trade competition law i's a relatively law that deve/ops in Indonesia. The essence of existence is to keep "National Economy codusivity and Effectiveness". The economy has a great infiuence to the existence of trade competition law, so the reiation between iaw and economy in investigating trade competition iawcan not be avoided. Economy effect which Js a part of pubiic importance will effect on the enforcement of the trade competition iaw, so that the pubiic and private nuance and private attach each other to the enforcement, especia/iy on the proving part. Therefore, proving system in the procedure of iaw trade competition has a speciai character a part from the character fbund in procedure ofcivii code and precodure ofcivii iaw. That matters can be seen from the basis, proving theory, proving responsibiiity, and proving approach.
Keywords/ Trade competition, Economy infiuence, Proving Character. Abstrak
Hukum Persaingan Usaha merupakan hukum yang relatif baru berkembang di Indonesia. Hakekat keberadaannya adalah untuk menjaga kodusifitas dan efektivitas ekonomi nasional. Ekonomi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan hukum persaingan usaha, sehingga hubungan antara hukum dengan ekonomi dalam pengkajian hukum persaingan usaha tidak dapat dihindari. Pengaruh ekonomi yang merupakan bagian dari kepentingan publik berdampak pada bidang penegakan hukum persaingan usaha tersebut, sehingga nuansa publik dan privat saling melekat pada penegakannya khususnya pada bagian pembuktian. Dengan demikian sistem pembuktian pada hukum acara persaingan usaha memiliki karakter yang khas berbeda dengan karakter yang terdapat dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Hal tersebut dapat dilihat dari bagian asas-asasnya, teori pembuktian, pembebanan pembuktian dan pendekatan pembuktian.
Kata kunci: Persaingan Usaha, Pengaruh Ekonomi, Karakter Pembuktian.
150.
JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015.150-172
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di negara- negara berkembang pada umumnya didasari oleh adanya suatu pilihan dalam peningkatan kemampuan suatu negara itu sendiri. Pembangunan yang dilakukan bukan hanya di satu segi kehidupan saja melainkan dari berbagai segi kehidupan. Peningkatan perekonomian, taraf hidup rakyatnya, mendapat kehidupan manusia yang layak bagi rakyatnya, meminimkan kekurangan sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Pada umumnya pembangunan berkelanjutan sangat bersentuhan dengan lingkungan hidup dan ini baik secara langsung ataupun tidak langsung merupakan penyebab timbulnya permasalahan lingkungan berupa kerusakan lingkungan hidup (environmenta/ disasters). Pencemaran yang bersifat massif mulai terjadi bukan hanya dalam lingkup nasional melainkan regional dan bahkan global. Penurunan kualitas lingkungan hidup ini disadari mempunyai arti yang sangat penting untuk mengupayakan suatu perbaikan secara terus menerus. Penurunan kualitas lingkungan bukan dilihat sebagai suatu ancaman serius di masa depan, melainkan suatu epidemi yang setiap saat dimulai dari terjadinya merupakan suatu ancaman yang dramatis dan begitu sangat berbahaya. Kontekstual degradasi lingkungan menyadarkan adanya bahaya fenomenal monumental yang mengancam lingkungan.2
Bahaya fenomenal monumental terhadap lingkungan hidup ini ditangkap sebagai hal yang harus dibicarakan dan mencari suatu bentuk solusi dalam
2 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press,
menjaga lingkungan hidup dari adanya pembangunan berkelanjutan yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, realisasi dari hal ini telah diakomodir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation) melalui Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan mengadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan di era dasawarsa Pembangunan Dunia Pertama (1960-1970) guna merumuskan strategis di era dasawarsa pembangunan Dunia kedua, (1970-1980).3 Kemudian tercetuslah mengenai permasalahan lingkungan hidup
yang harus dibahas dalam bentuk konferensi yang kemudian diadakan di Stockholm Swedia pada tanggal 05-16 Juni 1972 (iConference of Human Environement, Stockholm 1972) yang merupakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menghasilkan deklarasi lingkungan hidup yang dikenal dengan Deklarasi Stockholm. Ada beberapa hal penting yang terjadi dalam deklarasi ini yaitu penetapan tanggal 05 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia, pembentukan UNEP (United Nation Environment Programme) dan yang paling utama adalah adanya kesepakatan berupa pandangan umum serta prinsip-prinsip umum (26 prinsip) sebagai pandauan (guidance) bagi negara-negara dan seluruh manusia di muka bumi dalam pelestarian, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Deklarasi Stockholm telah merefleksi konsep tentang pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep ini bukan saja mengajak seluruh negara dan penduduk bumi untuk meningkatkan kepedulian terhadap ancaman kerusakan lingkungan, tetapi juga melihat adanya kesejajaran antara pembangunan pengelolaan lingkungan hidup dan bukan sesuatu yang harus dipertentangkan
3 R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
152. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL 3 SEPTEMBER 2015. 152-172
anara satu dengan yang lain.4 Masih banyak konferensi, konvensi dan pertemuan tingkat dunia
yang membicarakan mengenai lingkungan hidup setelah Deklarasi Stockholm. Namun setelah tercetusnya Deklarasi Stockholm tahun 1972 dan berselang 20 tahun kemudian, sebuah Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (United nation
Conference on Environmental and Devetopment) di Rio de Janeiro Brazil pada tahun 1992 yang
merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm, terutama mengenai permasalahan lingkungan yang mana merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia.
Bagaimana yang terjadi di Indonesia? sebagai negara berkembang tidak dipungkiri ketika pada waktu itu masih menganut konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan klasik di mana pemanfaatan, ekploitasi sumber daya lingkungan sebesar-besarnya dengan waktu sesingkat mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ketika melihat hal seperti ini, maka pembangunan yang dilakukan di Indonesia sudah pasti akan berdampak negatif pada lingkungan. Dengan adanya Deklarasi Stockholm, Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk membenahi sistem pengelolaan lingkungan hidup. Deklarasi ini dijadikan pilar dari perkembangan hukum lingkungan internasional. Indonesia telah mengimplementasikan dengan membuat regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang merupakan peraturan yang bersifat menyeluruh untuk melindungi
lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga UULH dikatakan sebagai ketentuan payung (umbrella
act) bagi semua peraturan di bidang lingkungan hidup, peraturan yang lahir sebelum UULH
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan begitu pula peraturan yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan UULH.5 Dengan banyaknya permasalahan lingkungan hidup
di Indonesia, ketergantungan manusia terhadap sumber daya alam, pertambahan jumlah penduduk, beragam jenis kebutuhan manusia, perkembangan teknologi dan kegiatan industrialisasi, ketentuan dalam UULH sebagai umbrella act tidak lagi sesuai untuk diterapkan. Pemerintah kembali menyusun suatu perundang-undangan yang dapat mengakomodasikan setiap perkembangan kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan yang berhimpitan dengan timbulnya dampak terhadap lingkungan hidup, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLD) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUUPPLH).
Upaya yang dilakukan pemerintah ini sebagai bentuk tanggung jawab negara yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin hak-hak warganya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan layak bagi kemanusiaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung memiliki dampak positif dan negatif bagi lingkungan hidup. Pembangunan hakekatnya adalah proses perubahan lingkungan yaitu
5 Koesnadi Hardjosoemantri, Catatan Salah Seorang Arsitek Undang-Undang No.4 Tahun 1982, (Jurnal
154. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015.
154-172
mengurangi risiko lingkungan dan atau memperbesar manfaat lingkungan.5 Kondisi yang
terjadi di Indonesia ternyata berbeda, pembangunan yang dilakukan lebih menuju ke arah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Berbeda dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang sejatinya menekankan pada pembangunan yang berwawasan lingkungan. Banyak terjadi kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan utamanya terhadap hak-hak orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan layak dengan pemanfaatan lingkungan hidup yang berjalan secara positif. Pada umumnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup ini terjadi akibat kegiatan orang, pelaku usaha atau badan usaha, sehingga sering timbulnya permasalahan atau sengketa lingkungan. Permasalahan atau sengketa lingkungan ini timbul dan merugikan karena ada pihak yang menderita kerugian akibat dari kegiatan orang, pelaku usaha atau badan usaha yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Permasalahan ataupun sengketa lingkungan hidup harus mendapatkan penyelesaian yang tepat yang nantinya berujung pada suatu penyelesaian yang prosesnya tidak merugikan pihak-pihak yang bersengketa.
Ada beberapa cara penyelesaian permasalahan dan sengketa lingkungan hidup yang dapat diupayakan baik melalui jalur litigasi (melalui pengajuan gugatan atau tuntutan) maupun jalur non litigasi (melalui alternatif penyelesaian sengketa/a/ternative dispute reso/ut/on. Jenis perusakan maupun pencemaran terhadap lingkungan hidup berupa perusakan atau pencemaran terhadap air, 6
6 Siswanto Sunarto, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Rineka
sungai, tanah, udara membutuhkan penyelesaian yang cepat agar nantinya tidak memiliki dampak yang lebih luas lagi dan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sejatinya, tersedianya upaya preventif sebagai upaya terpenting dalam konsep penegakan hukum lingkungan, namun berbeda halnya ketika perusakan dan pencemaran telah terjadi, yang dibutuhkan oleh lingkungan hidup ketika telah terjadi perusakan maupun pencemaran adalah sebuah pemulihan. Permasalahan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi harus segera kita atasi bersama. Untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, tentunya kita harus mengetahui sumber pencemar, bagaiaman proses pencemaran itu terjadi, dan bagaimana langkah penyelesaian pencemaran lingkungan itu sendiri. Di negara-negara maju telah berkembang suatu prinsip yaitu polluterpays principle, di Indonesia dikenal sebagai suatu prinsip pencemar membayar. Secara sederhana prinsip ini dapat dimengerti dengan kata lain yaitu ketika orang, pelaku usaha atau badan usaha yang dalam melakukan kegaitannya telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan atau setidaknya dalam melakukan kegiatannya itu berpotensi menyebabkan kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, dibebankan untuk melakukan pemulihan atau penanggulangan atas apa yang ditimbulkan dan melakukan pencegahan atas apa yang mungkin dapat ditimbulkan.
2. Permasalahan
Berbagai bentuk penyelesaian permasalahan maupun sengketa lingkungan hidup telah tersedia sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan serta pelestarian lingkungan hidup. Polluter pays principle dapat dikatakan sebagai suatu prinsip yang mengedepankan sisi humanistik tanpa
156. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015. 156-172
mengesampingkan tegaknya hukum dalam menjamin tercapainya kepastian hukum dan keadilan, dengan melihat dari sudut pandang tersebut, bagaimanakah implementasi polluter
pays principle dalam penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dalam
kerangka penegakan hukum lingkungan?
II. ANALISIS
Kondisi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menentukan bahwa: "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Makna yang terkandung dalam pasal tersebut adalah kemakmuran rakyat dapat terwujud apabila baik perbuatan pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), pengaturan (regelensdaad) dan pengawasan (toezichthoudendsdaad) terhadap sumber daya alam termasuk didalamnya bumi, air, beserta kekayaan alam lainnya dilakukan dengan sebenar-benarnya tujuan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia, maka dilakukan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan ini tentunya memanfaatkan potensi yang ada baik itu sumber daya alam dan sumber daya manusia, maka dilakukan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan ini tentunya memanfaatkan poptensi yang ada baik itu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pemanfaatan potensi sumber daya alam dalam pembangunan harus selalu memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup berikut perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, yang tujuannya untuk menjamin setiap orang mendapatkan lingkungan hidup yang
baik. Hal ini juga diamanahkan dalma Pasal 38 huruf H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
Pengertian yang timbul tidak mudah untuk dipahami mengenai "dipergunakannya sebesar-besarnya" untuk kemakmuran rakyat bukanlah untuk dimiliki bersama tanpa ada pembatasan. Ketika dipahami secara sempit, bahwa "kekayaan alam diperuntukkan kesejahteraan rakyat" sehingga dapat dimanfaatkan secara cuma-cuma, dipergunakan dengan cara melanggar hak- hak orang lain, sudah barang tentu akan menimbulkan chaos. Disinilah pentingnya regulasi di bidang lingkungan hidup yang mengatur hubungan hukum antara, orang, masyarakat, badan usaha, pelaku usaha, pemerintah dan negara. Scholsberg menyebutkan bahwa environmental justice is not oniy distribution, but /t is aiso about individual and
community recognition, participation and functioning.7 Keadilan lingkungan bukanlah tentang
bagaimana keadilan itu diberikan tetapi juga tentang orang atau individu, bagaimana fungsi, partisipasi dan penerimaan masyarakat atas lingkungan hidup, permasalahan lingkungan hidup sudah banyak terjadi dan membutuhkan penyelesaian yang tepat dan cepat. Banyak upaya yang dapat dilakukan guna menempuh penyelesaian permasalahan dan sengketa lingkungan hidup. Menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita.7 8 Lingkungan hidup
menurut St.
7 David Schlosberg, Defining Environmental Justice: Theories, Movement and Nature,
(OUP: Oxford University Press, 2007), hal. viii.
8 Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, (Yogyakarta: Universitas Gadjah
158.
JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015.158-172
Munadjat Danusaputro 9 adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan
tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup dan kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut UUPPLH menyebutkjan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan perlakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Mengingat pentingnya perlindungan dan pengelolaan serta pelestarian fungsi lingkungan hidup maka sedapat mungkin harus meminimalkan potensi perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, pencemaran merupakan penyimpangan dari keadaan normalnya. Pencemaran adalah.10 Suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan atau
energi diintroudkskan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam keadaan termaksud yang mengakibatkan lingkungan itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati. Dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH disebutkan bahwa "pencemaran lingkungan hidup adalah masuk/dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan". Pasal 1 angka 16 UUPPLH disebutan bahwa "perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
9 St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Nasional (Buku II, Bandung: Binacipta, 1981), hal,
36. Selanjutnya disebut St. Munadjat Danusaputro I.
10 St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan Melandasi Sistem Hukum
Pencemaran, (Buku V, Bandung: Binacipta, 1986), hal. 77. Selanjutnya disebut St. Munadjat Danusaputro
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria kerusakan lingkungan hidup". Dari kedua pengertian tersebut di atas dapat ditentukan bahwa pelaku pencemaran maupun perusakan terhadap lingkungan hidup adalah manusia dengan kegiatan dan tindakan yang dilakukannya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Permasalahan atau sengketa lingkungan hidup ini timbul dari kegiatan dan tindakan manusia tersebut. Dimensi permasalahan dan sengketa lingkungan yang besar menyebabkan harus diupayakan mencari suatu proses penyelesaian yang memberikan manfaat. Ada prinsip hukum yang dapat digunakan sebagai salah satu upaya mencari proses penyelesaian permasalahan dan sengketa lingkungan yang lebih bersifat humanistik dan tanpa mengurangi kaidah penegakan hukum.
Prinsip menurut Henry Campbel Black adalah as a fundamental truth or doctrine, as of la w:
a comprehensive rule or doctrine which fumishes a basis or origin of others; a sett/ed rule of action, procedure or legal determination. ^Prinsip berasal dari kata latin principium, dalam bahasa Inggris principle, dalam bahasa perancis principe. Prinsip seringkali diterjemahkan dalam kata asas.
Demikian dengan hukum lingkungan, prinsip hukum lingkungan (asas hukum lingkungan) berarti pokok dasar atau landasan hukum lingkungan.11 12
Polluter pays principle adalah prinsip yang dapat dan tepat digunakan untuk mencari
solusi ataupun bentuk penyelesaian permasalahan dan sengketa lingkungan hidup. The Polluter
Pays Principles is a broad concept with different
11 Henry Campbel Black, Btacks LawDictionary, Six Edition (St. Paul: West Publishing CO, 1990),
hal. 1193.
160.
JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL 3 SEPTEMBER 2015.160-172
meanings depending on the speciflc context.13 In theoretica! terms, the polluter pays pr/ncip/es fs a model
for allocating and abating environmental harm and requires the responsible individual, ftrm or nation to bear the cost o f po/iution.14 Polluter pays principies pada intinya merupakan suatu prinsip yang
menekankan dan mengedepankan pola preventif dengan diringi dengan pola represif. Pencemar memeluk biaya pencegahan dan penanggulangan, biaya pencegahan disini diperuntukkan sebagai upaya preventif dalam menjaga dan mengurangi dampak negatif seperti pencemaran akibat dari kegiatan yang dilakukan, bahkan memungkinkan sebagai upaya pendahuluan untuk memastikan bahwa jaminan tidak terjadinya perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup atas kegiatan yang dilakukan. Selain itu juga prinsip ini sebagai jaminan bahwa andai kata telah terjadi perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, maka secara langsung si pelaku perusakan atau pencemaran terhadap lingkungan hidup memikul beban untuk melakukan pemberian ganti rugi, perbaikan, pemulihan lingkungan hidup.
Latar belakang sejarah munculnya Polluter Pays Principies adalah sebuah rekomendasi dari OECD pada tanggal 26 Mei 1972. OECD adalah sebuah organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan (organization of economic Corporation and development). " This mechanism, the costs of
environmental damage fail on the general community, either through taxation to fund governmental c/eanup or by reduced environmental quality". "In the legal sense, the polluter pays princip/e embodies the general equitabfe notion that polluting
13Eric Larson, Why Environmental LiabHity Regimes in the United States, the European Community and Japan Have Grown
Synonymous with the Polluter Pays Principies (Vand J. Transnat'l L, 2005), hal. 541.
14Sumudu A. Atapattu, Emerging Principies Of Internasional Environmental Law (Transnational
entitfes should bear the costs of their pollution".15 Negara-negara anggota OECD ini secara tepat dan
sepakat bahwa pada intinya setiap pelaku perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup harus membayar ganti kerugian dan/atau pemulihan terhadap lingkungan hidup.
Selain itu dalam Hukum Uni Eropa (Eumpean Union Law) polluter pays Princip/e adalah sebagai sebuah prinsip yang sangat mudah diterima selain dikarenakan dari nama/slogan yang diberikan sangat mudah untuk dimengerti dan dilaksanakan. Hal ini dikarenakan bahwa Polluter
Pays Princip/e memiliki fungsi utama yaitu memudahkan otoritas publik {pubiic authority) dalam
pengeluaran biaya-biaya sosial yang nantinya dibebankan kepadanya yang digunakan sebagai bentuk pencegahan dan pengawasan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
The poiiuter-pays principie has graduaiiy commanded recognition as one of the piiiars of the EU's environmentai poiicy. It has suceessiveiy been invoked to address distortion of competition, to prevent chronic pollution and finally to justify the adoption o f fiscal measures or strict liability regimes.16
JJ. Bruggink menyatakan bahwa asas/prinsip hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma hukum. Selanjutnya 11 Brugging menyitir/mengutip pendapat dari Paul Scholten bahwa asa hukum merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan
15 Boris N. Mamlyuk, Anatyzing The Polluter Pays Princip/es Through Law andEconomics, (Southeaster
Environmentai Law Journal, Vol. 18 No. 1,P.43,2010), hal. 47.
16 Nicolas de Sadeleer, The Polluter-Pays Princip/es in EU- Law-Boid Case Law and Poor Harmonisation (Oxford :
162.
JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL 3 SEPTEMBER 2015. 162-172dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual. 17 Dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup ada 14 asas yang telah dirumuskan dan tertuang dalam perundang-undangan. Salah satunya adalah prinsip pencemar membayar {po/luter pays
principle). Hal ini berarti dalam hukum yang berlaku di Indonesia telah menentukan bahwa
sebagai sebuah prinsip/asas, 'pencemar membayar' selain diperlukan sebagai landasan dalam pembentukan suatu aturan hukum dapat juga secara langsung digunakan sebagai suatu landasan dalam memecahkan persoalan atau permasalahan hukum andai kata aturan hukum yang ada atau tersedia belum memadai.
Polluter pays principle sudah diadopsi dan ditentukan dalam UUPPLH. Pasal 2 huruf J
menentukan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas "pencemar membayar' berdasarkan ketentuan pasal ini dapat dijelaskan bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan (penjelasan Pasal 2 huruf J UUPPLH). Terkait dengan ketentuan pasal ini, ada beberapa dasar yang dapat digunakan sebagai tumpuan keberlakuan dan implementasi dari prinsip/asas ini. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu: "tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut'. Sejalan dengan prinsip pencemar
membayar {polluter pays principle), bahwa pasal 1365 KUHPerdata menentukan bahwa siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
17 JJ. Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan: Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
kerugian bagi orang lain akan mengganti kerugian. Prinsip pencemar membayar selain ditujukan kepada lingkungan sebagai objek namun juga ditujukan kepada orang sebagai subjek yang dirugikan. Lebih lanjut ketika dikaitkan dengan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH, juga menyebutkan bahwa "setiap penanggung jawab usaha dan atau/kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan atau/perusakan lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau/meiakukan tindakan tertentd'. Dalam penjelasan Pasal 87 ayat (1) UUPPLH tersebut
diterangkan: "Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar (polluter pays principie). Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan atau/perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk: a. Memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan. b. Memulihkan fungsi lingkungan hidup dan/atau
c. Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Terkait dengan polluter pays principie yang tertuang dalam UUPPLH, sebagai upaya penegakan hukum lingkungan dalam mencegah dan menanggulangi perusakan dan pencemaran lingkungan, ada beberapa hal yang berhubungan dengan penerapan prinsip ini, yaitu untuk penyelesaian sengketa serta prosedur dan proses ganti kerugian. Mengenai bentuk penyelesaian sengketa sebagai upaya penegakan hukum lingkungan telah disediakan dan tertuang dalam UUPPLH dalam Pasal 84 ayat (1) dimana ditentukan bahwa
164. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015. 164-172
penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Adanya 2 cara penyelesaian sengketa ini sebagai bentuk dan cara penyelesaian yang tepat dan sesuai dengan kondisi permasalahan dan kondisi para pihak sehingga tujuan dari penyelesaian adalah bukan hanya kepada pihak melainkan yang utama adalah bagaimana kita mendudukan lingkungan hidup sebagai pilar kehidupan yang terpenting. Mengenai prosedur dan proses ganti kerugian, pemerintah telah menyediakan perangkat/produk hukum yaitu melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut PMNLH). Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan penghitungan pembayaran ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan tertentu akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Makna yang terkandung dalam polluter pays principfe dan penerapannya dapat dilihat dari Pasal 3 dan Pasal 4 PLNLH, yaitu:
Pasal 3
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau masyarakat dan/atau lingkungan hidup atau negara wajib:
a. Melakukan tindakan tertentu; dan/atau b. Membayar ganti kerugian
Pasal 4
Kewajiban melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a) meliputi:
a. Pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. Penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan/atau c. Pemulihan fungsi lingkungan hidup
Penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beraneka ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi, penanggulangan masalah lingkungan hidup harus dimulai dari diri sendiri sampai pada masyarakat luas.18 Penegakan
hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan (regu/atary Chain) perencanaan kebijakan (,poiicy planning) tentang lingkungan yang didahului dengan perundang- undangan (legislation), penentuan standar (Standard setting), pemberian izin (Hcencing), penerapan (imp/ementat/on) dan penegakan hukum (law enforcement).19
Polluter pays principle selain telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan,
dalam kerangka penegakan hukum lingkungan yang meliputi upaya preventif dan represif,
polluter pays princip/e juga merupakan prinsip yang dapat diterapkan dengan mudah sebagai
upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Selain itu juga, ada dua hal penting terkait dengan kerangka penegakan hukum lingkungan yang cocok dengan kondisi di Indonesia dengan dituangkannya polluter pays principle dalam UUPPLH:
18 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 49. 19 Ibid, hal. 52
166. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015. 166-172
Yang pertama bahwa konsep preventif, terkandung makna bahwa setiap orang/badan usaha/pelaku usaha ataupun penanggung jawab usaha yang dalam kegiatan usahanya sudah dapat dipastikan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup seperti pencemaran dan perusakan lingkungan, maka ada pembayaran yang dilakukan yaitu upaya apa yang dilakukan agar kegiatan usaha yang sedari awal sudah diketahui akan membawa dampak negatif, dapat ditanggulangi sehingga dapat menjamin bahwa dampak negatif yang dihasilkan tidak merugikan dan mendatangkan kerugian bagi pihak lain, hal ini bukan merupakan pembenaran pemahaman bahwa ketika seseorang sudah membayar maka setiap kegiatan usaha yang menimbulkan dampak negatif dan merugikan pihak lain dapat dilakukan dan dibenarkan {paying to pollute atau /isence to po/lute). Seorang pakar ekonomi, John Maddox memberikan argumentasi bahwa pencemaran akan dapat dipecahkan dengan menghitung ongkos-ongkos yang timbul {price) dan merupakan masalah ekonomi. Lebih lanjut diuraikan bahwa "we can reduce pollution ifwe are prepared to pay for it', yang dapat dipahami bahwa seberapa besar kemampuan membayar baik dengan program untuk menciptakan alat pencegah pencemaran {anti pollution) maupun secara tidak langsung dengan membayar kerugian yang disebabkan oleh pencemaran.20
Yang kedua adalah konsep represif, terkandung makna bahwa setiap orang/badan usaha/pelaku usaha atau penanggung jawab usaha yang dalam menjalankan kegiatan usahanya menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan hidup yang secara nyata telah dirasakan dan merugikan pihak lain maka wajib melakukan tindakan tertentu dan membayar ganti kerugian. Dapat diilustrasikan
20 Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni
sebagai berikut: "Penanggung jawab usaha pabrik tekstil sudah mengetahui bahwa dalam menjalankan kegiatan usahanya akan menimbulkan limbah, maka penanggung jawab usaha membayar untuk membuat instalasi pengolahan limbah tekstil (preventif) dan melakukan tindakan tertentu dan/atau membayar ganti kerugian manakala secara nyata menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan merugikan pihak lain akibat dari pembuangan limbah tekstil (represif)" Inilah makna sebenarnya dari prinsip pencemar membayar/polluter
paysprinciple yang terdapat dalam UUPPLH.
Penerapan polluter pays principle secara riil memiliki korelasi yang jelas dengan penegakan hukum lingkungan. Penegakan hukum dipengaruhi salah satunya oleh faktor hukum atau undang-undang.21 Hukum dan undang-undang sangat dipengaruhi oleh adanya
asas atau prinsip hukum sebagai dasar tumpuan pembentukan hukum dan undang-undang. Ukuran efektivitas dari suatu hukum dan undang-undang itu tergantung dari seberapa efektif prinsip/asas yang tercantum di dalamnya dalam memecahkan permasalahan hukum yang akan terjadi. Dalam Press Conference tentang Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia yang diadakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Menteri Lingkungan Hidup Prof.Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menyatakan bahwa Kementrian Lingkungan Hidup sampai dengan tahun 2003 telah melakukan penegakan hukum lingkungan dengan 3 (tiga) instrumen penegakan, yaitu:
1. Pengelolaan pengaduan masyarakat dan penerapan sanksi administrasi. 2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup (penegakan hukum perdata); dan
21 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
168. JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015. 168-172
3. Penegakan hukum pidana.
Upaya penegakan hukum lingkungan tersebut untuk melindungi dan melestarikan lingkungan hidup dari kegiatan-kegiatan perusahaan yang telah melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Disampaikan pula bahwa ada sebuah putusan pengadilan yaitu Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor: 12/Pdt.G/2012-MBO, tentang Gugatan Menteri Lingkungan Hidup terhadap PT. Kalista Alam pada 8 Januari 2014. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh antara lain berisi amar putusan yang berbunyi:
• Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum
• Menghukum Tergugat membayar ganti kerugian materil sebesar Rp 114.333.419.000 (seratus empat belas milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah).
• Menghukum tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup dengan biaya Rp 251.765.250.000 (dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
• Memerintahkan Tergugat tidak menanam di lahan gambut seluas 1000 ha. Menteri Lingkungan Hidup Prof.Dr. Balthasar Kambuaya, MBA mengatakan
"Keberhasilan memenangkan gugatan perkara lahan ini merupakan pembelajaran yang baik bagi kami bahwa prinsip "po//uter pays principld' dapt berlaku. Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp 300.000.000, dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya. Upaya penegakan hukum lingkungan ini meningkatkan kepercayaan
kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan pengadilan.22
Keberlakuan suatu prinsip/asas hukum seperti polluter pays principle yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup / UUPPL mendukung alur penerapan hukum lingkungan sehingga memudahkan suatu proses penegakan hukum lingkungan. Keberhasilan proses penegakan hukum lingkungan dapat dijadikan suatu ukuran apakah hukum itu efektif dan keberlakuan suatu aturan hukum itu dapat menjamin ketertiban, keadilan dan kepastian hukum. Polluter pays principle merupakan prinsip yang efektif untuk dilaksanakan sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang jelas dan tegas serta menyeluruh guna menjamin kepastian hukum, dan sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan sebagai ukuran bahwa pembangunan yang baik dari suatu negara adalah pembangunan di segala bidang yang berwawasan lingkungan.
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan
Polluter pays principle adaiah sebuah prinsip yang telah diakui secara universal yang
digunakan dalam upaya memecahkan permasalahan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Dalam hukum lingkungan, prinsip ini memiliki arti sempit yaitu ditujukan apabila pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah terjadi dan dilakukan oleh orang, badan usaha, pelaku usaha dan/atau
22 Kementrian Lingkungan Hidup, Menteri Lingkungan Hidup Memenangkan Gugatan Kasus Kebakaran Lahan di
170.
JURNAL HUKUM PRASADA NO. 1 VOL. 3 SEPTEMBER 2015.170-172
penanggung jawab kegiatan, dimana wajib membayar sebagai konsekuensi dari kegiatan yang dilakukan yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Dalam arti luas polluter pays
principle memiliki dua fungsi yaitu mencegah terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan
hidup {prevention ofpollution) dan ganti kerugian serta pemulihan terhadap lingkungan hidup
(remediation if pollution were to occui). Prinsip ini sudah diimplementasikan sebagai upaya
penanggulangan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup karena selain merupakan kerangka penegakan hukum lingkungan yang preventif dan represif, prinsip ini telah ditentukan dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai umbrella acfdari segala peraturan tentang lingkungan hidup di Indonesia.
2. Rekomendasi
Diupayakan agar setiap kegiatan yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup untuk menerapkan polluter pays principle dalam arti yang luas, karena selain telah terdapat dalam ketentuan UUPPLH, juga sebagai upaya konsistensi bagi penegakan hukum lingkungan bahwa prinsip ini relevan untuk diterapkan di Indonesia sebagai bentuk pencegahan, pemecahan dan penyelesaian masalah perusakan dan pencemaran lingkungan yang mengedepankan sisi humanistik tanpa mengurangi esensi dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
Nyoman Satyayudha Dananjaya.
Polluter... 171
DAFTAR PUSTAKA.
A. Atapattu, Sumudu., 2006, Emerging Principles Of Internasional Environmental LsrvTransnational Publishers.
Black, Henry Campbel, B/acks Law Dictionary, Six Edition (St. Paul: West Publishing CO, 1990) Bruggink, J.J. 1996,Rechtsreflecties, Terjemahan: Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, Eric Larson, Why Environmental Liabfflty Regimes in the United States, the European Community and
Japan Have Grown Synonymous with the Polluter Pays Principles (Vand J. Transnat'l L, 2005)
Hamzah, Andi 2008, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika.
Munadjat Danusaputro, St., 1981, Hukum Lingkungan Nasional, Buku II, Bandung: Binacipta. Munadjat Danusaputro, St., 1986, Hukum Lingkungan dalam Pencemaran Lingkungan Melandasi
Sistem Hukum Pencemaran, Buku V, Bandung: Binacipta.
Nicolas de Sadeleer, 2005, The Poiiuter-Pays Principles in EU- Law-Boid Case Law andPoor
Harmonisation, Oxford : Oxford University Press.
Schlosberg, David, 2007, Defining Environmental Justice: Theories, Movement andNature, OUP: Oxford University Press
Silalahi, Daud, 2001, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni Bandung.
Soejono, 1996, Hukum Lingkungan dan Peranannya dalam Pembangunan, Jakarta: Rineka Cipta. Soemartono, Gatot P., 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Soemarwoto, Otto, 1991, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo.
Sunarto, Siswanto, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta.