• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA 5.1. Undang-Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia

Pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia, khususnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, dapat dilihat dari perangkat perundang-undangan yang telah digunakan di Indonesia mulai tahun 1945 sampai sekarang(tahun 2005). Pelaksanaan pembangunan daerah atau pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, tercermin dalam Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengalami perubahan sebanyak delapan kali dalam kurun waktu 60 tahun (Marbun, 2005). Kedelapan undang-undang tersebut adalah:

1. Undang-Undang No.1 Tahun 1945, tentang Peratutan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, ditetapkan tanggal 23 Nopember 1945.

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, ditetapkan tanggal 10 Juli 1948.

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 17 Januari 1957.

4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 7 September 1959.

5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan tanggal 1 September 1965.

6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, ditetapkan tanggal 23 Juli 1974.

7. Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 7 Mei 1999.

8. Undang-Undang No.32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 15 Oktober 2004.

Dari semua UU tentang Pemerintah Daerah di atas, ternyata UU Nomor 5 Tahun 1974 yang paling lama digunakan di Indonesia, yaitu selama 24 tahun pada masa pemerintahan orde baru, dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1998.

(2)

Kaloh (2002), mengatakan bahwa otonomi daerah bila dilihat perkembangannya di Indonesia, dapat merupakan isu menarik untuk dicermati. Semenjak pendiri negara menyusun format negara Indonesia, isu menyangkut pemerintahan lokal sudah diakomodir dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan Daerah dalam pasal 18 UUD 1945 sebenarnya telah diakui keragaman dan hak asal-usul daerah yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Sehingga meskipun Negara RI menganut negara kesatuan, dimana pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat, namun dengan menyadari berbagai heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dialirkan kepada daearah otonom.

Sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini, distribusi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan itu sangan jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kata lain, pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada di tangan pemerintah daerah. Kodisi ini dapat disebabkan karena dua hal, yaitu :

1. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki delapan UU tentang Pemerintahan Daerah. Masing-masing UU Pemerintahan Daerah tersebut memiliki ciri dan karakteristik tersendiri termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika dicermati secara analitis, ternyata bahwa titik berat bobot kekuasaan berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya suatu UU tentang Pemerintahan Daerah.

2. Adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah yang disebabkan karena adanya kepentingan penguasa. UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah merupakan UU tentang Pemerintah Daerah yang diimplementasikan pada masa pemerintahan orde baru. UU ini bertujuan

(3)

untuk membangun dan menjaga integrasi nasional, serta persatuan dan kesatuan nasional yang kuat, sementara itu di sisi lain tetap menjamin munculnya inovasi dan kreativitas daerah yang mengacu pada paradigma otonomi daerah. Hanya saja dalam pelaksanaannya telah terjadi deviasi, karena kekuasaan dan dominasi pemerintah pusat menjadi sangat besar sehingga menyebabkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat menjadi semakin besar.

Sebagai suatu sistem pemerintahan terutama bagi negara yang berukuran besar (penduduk dan wilayahnya) ternyata sentralisasi telah gagal bahkan hancur walau dipimpin secara ditaktor. Sadar akan kelemahan tersebut, hampir semua negara besar melaksanakan desentralisasi dengan memberi otonomi kepada daerah-daerahnya. Hal ini dilakukan oleh Indonesia untuk pertama kalinya setelah disahkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut The Liang Gie, alasan dianutnya desentralisasi bagi suatu negara besar, adalah (Kaho, 1988) :

1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.

3. Untuk mencapai pemerintahan yang efisien.

4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti goegrafi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.

5. Dari sudut pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

(4)

Rumusan desentralisasi dari The Liang Gie, ternyata sebagian besar tertampung dalam isi Amandemen Pasal 18 UUD 1945 Tahun 2000. Selanjutnya Kaho (1988), juga mengatakan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan diberlakukannya sistem desentralisasi, sebagai berikut:

1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.

2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak membutuhkan tindakan yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat. 3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan

dapat segera dilaksanakan.

4. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna untuk kepentingan tertentu.

5. Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara.

6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat. 7. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi

daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung.

Kaho (1988) secara berimbang juga mengatakan bahwa desentralisasi mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain :

1. Karena besarnya organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.

2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan daerah dapat lebih mudah terganggu.

3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau propinsialisme.

4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu, lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.

5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman dan kesederhanaan.

(5)

Pendapat Kaho di atas, memberikan gambaran bahwa selain ada rasa optimis akan manfaat dari pelaksanaan desentralisasi, juga cukup banyak yang merasa pesimis.

Selanjutnya, pada pembahsaan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia hanya terbatas pada dua masa pemerintahan yang dianggap cukup relevan untuk mewakili pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: (1) pelaksanaan otonomi daerah dimasa pemerintahan orde baru, dan (2) pelaksanaan otonomi daerah pada pemerintahan pasca orde baru sampai dengan saat ini.

5.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Orde Baru

Kebijakan otonomi daerah di masa orde baru, dilaksanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, berjalan dengan dimensi yang amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual selama penerapan UU tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagai UU yang dihasilkan pada era pemerintahan orde baru, pada prinsipnya UU ini mengutamakan pembangunan ekonomi, dimensi perundangan ini tidak bisa terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogi pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan pada terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya sebagai berikut (Kaloh, 2004) :

1. Konsentrasi kekuasaan terletak di lembaga eksekutif (kepala daerah).

2. Dihapusnya lembaga Badan Pemerintahan Harian (BPH) sebagai perwakilan partai politik di dalam pemerintahan daerah (versi UU Nomor 1 Tahun 1957). 3. Tidak dilaksanakannya hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

yang dapat mengganggu keutuhan kepala daerah.

4. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada presiden.

(6)

5. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah sekali dalam setahun.

Selanjutnya, Kaloh (2004) juga mengatakan bahwa, dalam pelaksanaan undang-undang ini telah terjadi ekses negatif yaitu berupa kesenjangan atau ketimpangan-ketimpangan pembangunan antar daerah. Setidaknya ada lima kesenjangan yang terjadi pada era ini, yaitu :

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang cukup tinggi. 2. Kesenjangan investasi antar daerah yang cukup besar.

3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat.

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat.

5. Meluasnya kesenjangan regional akibat adanya ketimpangan alokasi kredit. Berbagai fakta di atas hanyalah sebagian dari kompleksitas masalah yang berkembang, yang mendorong pemerintah secara sadar mengedapankan sentralisasi (pemusatan) dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, suatu daerah atau propinsi yang kaya akan sumber daya alam tidak bisa menikmati hasil dari kekayaan alamnya tersebut. Hal inilah yang mendorong agar terjadi perubahan dalam pola hubungan pusat dan daerah. Walaupun sebenarnya UU Nomor 5 Tahun 1974 itu cukup baik, namun dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai deviasi atau penyimpangan-penyimpangan, sehingga cita-cita dan jiwa otonomi daerah tidak sesuai lagi dengan tuntutan UU tersebut.

Salah satu kelemahan UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah tidak konsisten dan tidak konsekuennya pelaksanaan UU tersebut.Dalam pemerintahan orde baru, ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin eskalatif. Dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah misalnya, kepala daerah hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada anggota DPRD. Sedangkan pertanggungjawabannya diberikan kepada pemerintah di atasnya atau pemerintah pusat. Hal ini disebabkan karena kepala daerah tidak merasa harus bertanggung

(7)

jawab kepada DPRD sebagaimana tercantum pada pasal 113 UU Nomor 5 Tahun 1974.

Dengan demikian, mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemberian keterangan pertanggung-jawaban oleh kepala daerah yang terjadi selama berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tidak mengandung umpan balik dari DPRD. Karena bentuknya hanya keterangan pertanggungjawaban yang memberikan kesan bahwa DPRD tidak dapat menyanggah dan membantah laporan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, terjadi dominasi kepala daerah atau kepala wilayah terhadap DPRD, dan hal ini cenderung mematikan kedaulatam masyarakat daerah. Kepala daerah akan lebih memperhatikan aspirasi pemerintah pusat dari pada aspirasi masyarakat yang ada di wilayahnya.

Implikasi dari dominasi kekuasaan yang lebih berat pada pemerintah pusat dan kepemimpinan di daerah yang berorientasi pada pemerintah pusat, mengakibatkan rakyat berada pada posisi yang lemah (strong state and weak society), dimana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisan akibat kuatnya kekuasaan pemerintahan yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah. Oleh karena itu kedaulatan rakyat masih dianggap suatu konsep nilai saja, dan reorientasi pemerintahan berseberangan dengan prinsip-prinsip yang demokratis.

Kedudukan rakyat yang lemah menyebabkan bargaining power-nya terhadap pemerintah sangat terbatas, sehingga rakyat tidak dapat mengekspresikan kedaulatannya dalam proses pemerintahan. Rakyat seakan-akan tidak mempunyai pilihan selain harus taat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, karena kenyataannya kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah akan menghadapi berbagai hambatan yang sengaja dihambat.

Penyerahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi ( daerah tingkat I) dan ke pemerintah kabupaten (daerah tingkat II) tidak secara otomatis disertai dengan sumber-sumber pembiayaan, aparatur, dan sarananya. Hal ini menyebabkan pelaksanaan urusan dimaksud menjadi kurang berhasil terutama pada pemerintah kabupaten/kota (daerah tingkat

(8)

II) yang secara nyata menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Kondisi ini menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil daerah tingkat II yang benar-benar mampu mandiri mengurus rumah tangganya sendiri.

Dengan konsep otonomi yang demikian, pemerintah daerah pada dasarnya bukan sebuah institusi otonom yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, tetapi merupakan wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep dekonsentrasi, yang lebih menonjolkan asas dekonsentrasi, menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.

Hal ini terjadi bukan disebabkan oleh lemahnya ketentuan dalam perundang-undangan, tetapi lebih disebabkan karena politisasi otonomi daerah atau otonomi daerah dijadikan sebagai alat politik. Tuntutan otonomi daerah bukan sebagai kehendak untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat, melainkan kebutuhan akan keadilan dan kemajuan dengan kecepatan relatif sama dengan daerah-daerah yang ada di pusat-pusat kekuasaan. Otonomi daerah adalah kesempatan bagi daerah untuk menata diri sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya, dan lebih dari itu, agar daerah berkembang sejalan dengan sejarah dan asal-usul daerah tersebut.

5.3. Pelaksanaan Otonomi Daerah Pasca Pemerintahan Orde Baru

Pasca pemerintahan orde baru atau yang lebih dikenal dengan istilah masa pemerintahan reformasi, telah diberlakukan dua UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 yang ditetapkan tanggal 7 Mei 1999, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang ditetapkan tanggal 15 Oktober 2004. Kedua UU ini lahir merupakan koreksi total atas UU Nomor 5 Tahun 1974 dalam upaya memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD 1945 (Marbun, 2005).

5.3.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 1999 – 2004

UU Nomor 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah Tahun 1999, lahir sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan juga di bawah

(9)

kerangka UUD 1945. Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang baru ini dapat dikatakan sebagai pergerakan bandul kekuasaan dari kondisi ekstrim yang satu kekondisi ekstrim lainnya, yaitu dari kondisi sentralistis ke kondisi desentralisasi yang lebih luas. Lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 ini juga dilengkapi oleh lahirnya UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan secara eksplisit bahwa unit pemerintahan yang melaksanakan otonomi di daerah adalah pemerintah ditingkat kabupaten/kota. Namun pemerintah menggunakan masa transisi untuk mengalihkan kewenangan pemerintahannya secara bertahap, agar pada waktunya asas desentralisasi dan dekonsentrasi dapat terlaksana penuh. Peraturan pemerintah mengenai kewenangan, yang didefinisikan dalam bentuk kewenangan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.

Meskipun dalam Peraturan Pemerintah tersebut mengatur kewenangan banyak daerah yang bersifat heterogen, kewenangan tersebut disepakati seragam. Dalam pelaksanaannnya disesuaikan sendiri dan akan berubah dari waktu ke waktu. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) diberi peran untuk memberikan berbagai pertimbangan mengenai pemerintahan, organisasi, aset fisik, personalia, dan perimbangan keuangan.

Secara umum, beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 ini, adalah :

1. Otonomi daerah harus dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan

2. Pelaksanaan otonomi daerah menggunakan tata cara desentralistis sehingga peran daerah sangan menentukan.

3. Pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari mendifinisikan kewenangan, organisasi, personal, dan kemudian keuangan, bukan sebaliknya.

4. Perimbangan keuangan uang dimaksud adalah perimbangan horizontal (antar-daerah) dan perimbangan vertikal (antar pusat dan (antar-daerah).

(10)

5. Fungsi pemerintah pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (moneter, pertahanan, hubungan luar negeri, dan hukum) maupun untuk mengatasi ketimpangan antar daerah.

Begitu pentingnya dasar legalitas dalam penerapan suatu kebijakan pemerintahan daerah yang bersifat strategis dan jangka panjang, maka dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 menekankan tiga faktor yang mendasar, sebagai berikut: 1. Memberdayakan masyarakat

2. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dan meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ketiga faktor tersebut dijabarkan ke dalam penguatan lembaga seperti bupati/ walikota dipilih oleh DPRD Kabupaten/ Kota dan bertanggung jawab kepada DPRD. Jika terjadi krisis kepercayaan dan dirasa perlu, maka DPRD dapat meminta pertanggungjawaban kepada bupati/ walikota, dan kalau pertanggungjawaban ini di tolak sangat mungkin bupati/ walikota harus mundur.

Persoalan yang dihadapi oleh daerah-daerah di Indonesia adalah keragaman dalam banyak hal, misalnya: potensi ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, infrastruktur, kultur, dan lain sebagainya, sehingga pelaksanaan otonomi daerah secara seragam akan menghadapi masalah yang cukup serius. Tantatangan bagi pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, apakah bisa mengadopsi keragaman tersebut dengan memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Atau bahkan dirasa perlu beberapa pasal-pasal kedua undang-undang tersebut direvisi, tergantung pada DPR dalam memenuhi aspirasi masyarakat.

Tujuan dari pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengembangkan mekanisme demokrasi di tingkat daerah dalam bentuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah setempat maupun untuk mendukung kebijaksanaan politik nasional dalam era reformasi.

Selanjutnya, pokok-pokok pikiran dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, yang terkait dengan pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

(11)

daerah, dan pengaturan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, adalah sebagai berikut (Kaloh, 2002):

1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang ketiganya berstatus Daerah Otonom yang tidak bertingkat, tidak memiliki hubungan subordinasi. Kabupaten dan Daerah Kota sebagai Daerah Otonom murni, dan tidak merangkap sebagai Daerah Administrasi.

2. Kabupaten dan Kota hanya menganut asas desentralisasi murni, dan Daerah Propinsi menganut asas dekonsentrasi. Status Kecamatan sebagai aparat dekonsentrasi beralih menjadi perangkat Daerah Otonom Kabupaten dan Kota 3. Daerah Propinsi disamping berstatus sebagai Daerah Otonom, juga sebagai

Daerah Administrasi. Dalam kedudukannya sebagai Daerah Otonom, propinsi memiliki kewenangan yang besifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan lainnya yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten atau kota. Sedangkan sebagai Daerah Administrasi menyelenggarakan kewenangan di bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dalam rangka dekonsentrasi.

4. Pemberian otonomi kepada daerah tidak lagi didasarkan pada banyaknya penyerahan urusan, melainkan kepada pemberian kewenangan yang luas untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama. Kewenangan pemerintah pusat lainnya, yaitu : kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara mikro, perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

5. Kewenangan daerah tidak hanya di wilayah daratan, tetapi juga di wilayah kelautan yang meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut 12 mil laut diukur dari garis

(12)

pangkal kepulauan ke arah perairan kepulauan, (b) pengaturan kepentingan administratif, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat, dan (e) bantuan penegakan dan kedaulatan negara.

6. Pada dasarnya pemerintah kabupaten/ kota diberi keleluasaan untuk menyatakan tidak atau belum mampu menyelenggarakan pemerintahan tertentu, sehingga wewenang di bidang pemerintahan tertentu tersebut dapat menjadi wewenang pemerintah propinsi. Ada beberapa bidang pemerintahan tertentu yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/ kota, meliputi bidang-bidang : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

7. Gubernur memiliki kedudukan rangkap, baik sebagai Kepala Eksekutif di Daerah maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur diarahkan untuk mendorong percepatan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Daerah Kabupaten/Kota. Sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah seorang Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Eksekutif di Daerah Propinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah Kabupaten dan Kota, Bupati atau Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota dan berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan.

8. Bentuk Daerah Otonom memisahkan antara posisi Kepala Daerah dan DPRD, supaya tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat melakukan fungsi legislasi dan pengawasan, serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat.

9. Pelaksanaan Otonomi Daerah diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi, meningkatkan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat, serta menetapkan regulasi demi kepentingan daerahnya. Hal ini diwujudkan dalam pengaturan tentang susunan, kedudukan, keanggotaan, hak dan kewajiban,

(13)

syarat-syarat pemilihan dan pemberhentian, masa jabatan anggota DPRD, dan pertangunggjawaban kepala daerah.

10. Untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kepada DPRD diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak terdapat di dalam perundang-undangan sebelumnya, antara lain: (a) meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Daerah atas pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah, (b) meminta keterangan kepada Kepala Daerah atas suatu rencana kebijakan, atau akibat dari pelaksanaan kebijakan, atau atas suatu masalah yang menurut hukum yang berlaku termasuk dalam lingkup tanggung jawab Kepala Daerah, (c) mengadakan penyeledikan, termasuk meminta pejabat dan/ atau warga masyarakat yang diperlukan untuk memberikan keterangan tentang suatu hal demi kepentingan daerah, masyarakat, dan pemerintah (hak subpoena). Selain itu, DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya di hadapan pemerintah, dan memperjuangkan kepada DPR (hak petisi).

11. Rekrutmen Kepala Daerah sepenuhnya dilakukan oleh Daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat, kecuali untuk calon Gubernur, setelah nama-nama calon tersebut ditetapkan oleh pimpinan DPRD, dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden untuk memperoleh persetujuannya mengingat seorang Gubernur selain sebagai Kepala Eksekutif di Daerah juga merupakan wakil Pemerintah Pusat di Daerah.

12. Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, dan menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Kewajiban Kepala Daerah meliputi : (a) mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI, (b) memegang teguh Pancasila dan UUD 1945, (c) menghormati kedaulatan rakyat, (d)menegakkan seluruh peraturan perundang-undanagan, (e) meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, (f) menjaga dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, dan (g)

(14)

mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkan sebagai Peraturan Daerah bersama dengan DPRD.

Kritisi terhadap pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999, juga disampaikan oleh Kaloh (2004) sebagai berikut :

1. Perwilayahan.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Wilayah NKRI dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang besifat otonom.” Untuk melakukan penyesuaian sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen tersebut, maka Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 ini perlu diatur kembali, sehingga seharusnya berbunyi sebagai berikut, “Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi, wilayah NKRI dibentuk Daerah Propinsi, dan di wilayah Daerah Propinsi dibentuk Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.”

2. Hubungan Hierarkis Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota.

Salah satu aspek yang tidak kalah pentingnya untuk dipikirkan kembali adalah menyangkut hubungan hierarkis antara Daerah Propinsi dengan daerah Kabupaten/ Kota (Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 22 tahun 1999). Dalam UU ini dinyatakan secara eksplisit bahwa Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten tidak memiliki hubungan hierarkis. Dampak psikologis dari pernyataan secara eksplisit ini dapat berakibat Daerah kabupaten/ Kota akan tidak lagi menghormati Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Hal ini sudah banyak dijumpai dimana para Bupati dan Walikota dalam beberapa hal menyangkut pengambilan keputusan merasa tidak perlu memberikan laportan atau setidaknya memberikan tembusan terhadap beberapa kebijakan yang diambilnya.

3. Posisi Pemerintah Daerah dan DPRD.

Dalam UU ini, posisi DPRD terpisah dari Pemerintah Daerah, mengakibatkan DPRD memposisikan diri bersebrangan dengan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. Padahal institusi Perangkat Daerah menjadi struktur yang independen, non politis, fungsional dalam struktur, serta menjadi lembaga

(15)

profesional yang akan memberikan dinamika bagi kehidupan pemerintahan, pembangunan, dan terutama dalam pelayanan kepada masyarakat. Di sisi lain, Perangkat Daerah juga merupakan lembaga yang secara fungsional menjawab kebutuhan administrasi bagi kedua lembaga Daerah tersebut.

4. Pengaturan Kepegawaian Daerah.

Pengaturan Kepegawaian Daerah yang sepenuhnya diurus oleh Pemerintah Daerah, dapat menyebabkan suatu hal yang dilematis berupa ketimpangan dan keragaman dalam standar, kualitas, kepangkatan, dari satu Daerah dengan Daerah lainnya di dalam NKRI.

5. Masalah Keuangan Daerah

Dalam hal pengaturan keuangan daerah, UU ini mengamanatkan adanya UU yang mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD). Namun dalam kenyataannya UU Nomor 25 Tahun 1999 hanya mengatur hal-hal yang menyangkut PKPD saja, sedangkan hal-hal lain selain PKPD diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu perlu dimasukkan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun1999 antara lain yang menyangkut penyusunan APBD, perubahan APBD, dana cadangan, sistem dan prosedur akuntansi, dan lain sebaginya.

6. Pembinaan dan Pengawasan.

Hal yang menyangkut pendelegasian kewenangan kepada Gubernur dalam hal pembinaan dan pengawasan haruslah jelas. Pengawasam represif terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat pengaturan dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Disamping pengawasan represif, perlu juga diatur pengawasan fungsional. Untuk pengawasan fungsional, hal ini merupakan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan oleh Pemerintah Daerah.

5.3.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2005

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah UU pemerintahaan daerah yang terbaru, menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999. Lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 pada akhir masa kerja DPR 1999-2004, atau

(16)

tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2004, adalah merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. UU ini dilengkapai dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Bersamaan dengan lahirnya UU ini, pada tanggal yang sama, lahir pula UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Situasi dan nuansa lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004, menurut Marbun (2005), adalah :

1. Adanya pergeseran suasana dan pergeseran kekuatan politik di Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam konsideran menimbang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.

2. Suasana reformasi mendapat tafsir yang kurang tepat. 3. Diberikannya otonomi khusus bagi Aceh dan Papua.

4. DPRD dan Pemerintah Daerah membuat Peraturan Daerah yang tumpang- tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

5. Maraknya korupsi di DPRD di seluruh Indonesia.

6. DPRD bertindak overacting berhadapan dengan Kepala Daerah terutama menyangkut Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) setiap akhir tahun dan pada akhir masa jabatan Kepala Daerah.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa, negara adalah satu sistem, maka kedudukan pemerintah daerah adalah sub sistem dan merupakan badan operasional negara yang langsung berhubungan dan berhadapan dengan warga negara. Seperti dalam praktek manajemen mutakhir, kekuasaan dan kewenangan operasional sebaiknya didelegasikan ke jajaran yang lebih bawah. Hal ini menjadi lebih relevan bagi negara Indonesia dengan luas wilayah lebih dari 2 juta km2, dengan jumlah penduduk sekitar 225 juta orang. Pada tahun 2005 ini, di Indonesia terdapat 33 propinsi dan jumlah kabupaten/ kota sebanyak 365.

Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu : Pemerintahan Daerah dan DPRD. Masing-masing badan atau lembaga melaksanakan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan

(17)

kesatuan yang integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan hukum, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Kepala daerah menjalankan pemerintahan di daerahnya. Adapun kepala daerah propinsi disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut bupati, dan kepala daerah kota disebut walikota. Masing-masing kepala daerah dibantu oleh seorang wakil kepala daerah.

Dalam UU ini juga disebutkan bahwa, hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah, untuk melaksanakan otonomi daerah. Kedua lembaga ini membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung dan bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

Dalam menjalankan pemerintahan daerah, daerah memiliki hak dan kewajiban daerah yang sekaligus merupakan pedoman yang harus dijalankan oleh setiap penyelenggara pemerintahan daerah (Pemerintahan Daerah dan DPRD). Hak daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, adalah :

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. 2. Memilih pimpinan daerah.

3. Mengelola aparatur daerah. 4. Mengelola kekayaan daerah.

5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.

6. Memperoleh bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang ada di daerah.

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, adalah:

1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta NKRI.

(18)

3. Mengembangkan kehidupan demokrasi. 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan. 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.

6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak.

7. Mengembangkan sistem jaminan sosial. 8. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. 9. Mengembangkan sumberdaya produktif di daerah. 10. Melestarikan lingkungan hidup.

11. Mengelola administrasi kependudukan. 12. Melestarikan sosial budaya.

13. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.

14. Kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan.

Dalam pengertian tradisonal, daerah otonom berarti pemerintah daerah dapat membelanjai pemerintahan sendiri tanpa bantuan dari luar. Tetapi negara sebagai satu sistem, keuangan daerah saling berimpitan atau kait-mengait dengan sistem keuangan negara dalam arti luas. Adapun prinsip yang dianut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah :

1. Otonomi yang seluas-luanya, nyata, dan bertanggung jawab.

2. Penyelenggaraan otonomi yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan serasi daerah dengan pemerintah pusat.

Dalam hal keuangan daerah, rumusan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 agak mirip dengan rumusan UU yang berlaku sebelumnya (UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sumber pendapatan daerah, terdiri atas :

1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu :

a. Hasil pajak daerah, seperti : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak rekalame, dan lain-lainnya.

(19)

b. Hasil retribusi daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan-kekayaan daerah d. Lain-lain PAD yang sah.

2. Dana perimbangan, berupa:

a. Dana bagi hasil, yang bersumber dari : pajak-pajak ( PBB, PPh, Bea Perolehan atas Hak tanah dan Bangunan), dan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah ( kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi).

b. Dana alokasi umum (DAU) c. Dana alokasi khusus (DAK) 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Selanjutnya, untuk mengoptimalkan pertumbuhan daerah, pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Berdasarkan pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penyediaan pelayanan publik, Daerah dapat mengembangkan kerjasama dengan daerah lainnya atau bekerjasama dengan pihak ketiga yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

Bentuk kerjasama pemerintah daerah dapat berupa :

1. Kerjasama antar daerah yang berdekatan, khususnya pelayanan yang terdapat di daerah yang berbatasan seperti: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, penanganan sampah terpadu, penyuluhan pertanian, pengairan, penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS), perencanaan tata ruang dan lain- lain.

2. Kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan, dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan bersifat situasional dilakukan dalam rangka pengembangan potensi dan komoditi unggulan dari masing-masing daerah yang bekerjasama. 3. Kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga, dikembangkan

berdasarkan pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi langsung oleh pemerintah daerah yang bersangkutan karena berbagai keterbatasan yang

(20)

dimiliki. Kerja sama ini bisa dilakukan dengan pihak swasta, BUMN/BUMD, LSM/masyarakat dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang telah diuraikan, pemerintahan daerah merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan nasional dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh menyimpang dari sistem nasional. Belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana pelaksanaan otonomi berarti semua kegiatan kenegaraan di daerah dilaksanakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan, tetapi pada prakteknya masih terjadi penyimpangan atau salah tafsir tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Dalam periode tahun 1999-2004, terdapat begitu banyak Peraturan Daerah, praktek birokrasi di daerah yang salah kaprah. Pada UU yang baru ini, di coba untuk diatasi dengan rumusan pengawasan dari pusat yang lebih jelas dengan diikuti program pembinaan.

Fokus pengawasan otonomi daerah diarahkan pada : (1) pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (2) pengawasan terhadap Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Pasal 218). Sedangkan kalau dilihat dari jenis pengawasannya, dapat dibedakan menjadi :

1. Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang khusus diperlakukan untuk Peraturan Daerah yang menyangkut pajak daerah, retribusi, dan tata ruang. 2. Pengawasan Represif, yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan

Daerah terhadap pelanggaran kepentingan umum dan atau perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah seperti yang dimaksud di atas ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dalam hal pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan berlaku (Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Atas dasar perbedaan harga pokok penjualan dan laba yang dihasilkan serta adanya pertimbangan pajak maka variabilitas harga pokok penjualan dapat mempengaruhi pemilihan

Agar tidak terjadi kepunahan maka pemerintah beserta instansi terkait melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kepunahan dengan beberapa cara, antara lain:.. 1.)

Lewat kostum yang mereka gunakan dapat mencirikan dan mempromosikan band mereka yaitu Grays Harbor, selain itu kostum mereka yang tidak begitu “aneh” daripada band dengan

Hasil tabulasi mengacu kepada nilai tanggapan dan kriteria skor aktual menunjukan jaminan sosial yang diberikan sudah sesuai dengan jabatan / pekerjaan karyawan

Sekolah : Dengan adanya pembinaan laman web ini, ianya dapat membantu pihak sekolah dalam melahirkan pelajar bijak pandai dalam mata pelajaran matematik di samping ianya dapat memberi

Sebagai pemuda generasi calon penerus bangsa, ada baiknya kita mulai melakukan satu dua hal untuk menanggulangi masalah bagi penyandang disabilitas dan lansia,

Dalam setiap Perusahaan, instansi, organisasi atau badan usaha akan memberikan gaji sebagai kompensasi dari kerja seorang karyawan, disamping pemberian gaji pokok

Berdasarkan pada hasil penelitian dapat diketahui bahwa upaya yang dilakukan dalam dimensi tujuan program upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam