5 2.1 Lanjut Usia (Lansia)
Lansia adalah umur untuk populasi orang tua diatas enam puluh tahun yang disepakati oleh United Nation (UN) (World Health Organization, 2015). Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Penuaan bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan dan fungsi tubuh baik secara fisik maupun psikologis. Penuan alamiah atau fisiologis harus dibedakan dengan penuan patologis, karena penurunan fungsional manusia tidak hanya disebabkan oleh proses penuaan saja (penuaan fisiologis) tetapi bisa disebabkan oleh penyakit atau penuaan patologis (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
Perubahan fisiologis normalnya akan terjadi pada setiap lansia. Perubahaan fisiologis akan terjadi pada beberapa sistem dalam tubuh manusia, yaitu sistem kardiovaskular dan respirasi, sistem saraf, sistem indra, sistem
integument dan sistem muskuloskeletal (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi,
2004; Martono, 2009).
Pada sistem kardiovaskular, kemampuan peregangan jantung akan berkurang, karena perubahan jaringan ikat pada penumpukan lipofusin, ventrikel
kiri mengalami hipertrofi, dan masa jantung bertambah. Arteri pada lansia akan
dengan sistem respirasi, sistem respirasi pada lansia mengalami perubahan pada jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap sedangkan volume cadangan paru bertambah. Pada lansia untuk mengkompensasi kenaikan ruang rugi paru, volume
tidal menjadi bertambah. Udara ke paru-paru lansia berkurang dan terjadi
perubahan pada sendi, kartilago, dan otot thorak mengakibatkan gangguan pada gerakan pernafasan dan peregangan thorak (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004).
Pada sistem saraf lansia akan mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan persepsi sensoris, respon motorik pada sisitem saraf pusat dan reseptor proprioseptif mengalami penurunan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Akson pada
medulla spinalis mengalami penurunan 37%. Dendrit mengalami perubahan
menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar saraf. Daya hantar saraf menurun 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, kekuatan otot, refleks, proprioseptif keseimbangan, perubahan postur dan peningkatan reaksi (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Martono, 2009).
Sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi, lensa mengalami kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa lemah dan mengalami kehilangan tonus sehingga daya akomodasi dan ketajaman penglihatan berkurang (Ismayadi, 2004; Martono, 2009). Pada sistem pendengaran lansia, mengalami hilangnya sel-sel pada rambut koklear dan reseptor sensoris primer
pendengaran. Terjadinya gangguan pendengaran pada lansia disebabkan karena koagulasi cairan yang terjadi selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004).
Pada sistem integument lansia yaitu atrofi glandula sebasea dan glandula
sudorifera menyebabkan kulit lansia akan menjadi kering. Selain itu kulit lansia
akan mengalami atrofi, kendur, berkerut, dan berbercak, serta mempunyai pigmen berwana coklat pada kulit yang dikenal dengan liver spot. Faktor lingkungan menjadi faktor utama yang menyebabkan perubahan kulit pada lansia, seperti sinar matahari terutama sinar ultra violet (Pudjiastuti dan Utomo, 2003).
Pada sistem muskuloskeletal, jaringan penghubung (kolagen dan elastin) yang merupakan protein pendukung jaringan kartilago, tulang, tendon, jaringan ikat dan kulit mengalami perubahan menjadi cross linking yang tidak teratur. Selain itu, pada sistem muskuloskeletal juga terjadi penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen dan penurunan tensile strength serta kekakuan dari kolagen. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan penghubung mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan jaringan penghubung tersebut menyebabkan terjadinya penurunan fleksibilitas pada usia lanjut yang nantinya menimbulkan dampak berupa timbulnya nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi duduk, kesulitan jongkok dan kesulitan berjalan. Pada lansia, otot-otot juga akan mengalami atrofi karena selain berkurangnya aktivitas juga akibat gangguan metabolik atau denervasi saraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup (olahraga atau aktivitas yang terprogram). Dampak yang ditimbulkan akibat
dari perubahan morfologis otot tersebut adalah penurunan kekuatan otot, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi dan penurunan fungsional otot. Pada jaringan kartilago akan mengalami granulasi dan mulai melunak yang nantinya akan menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk regenerasi akan berkurang dan kemampuan degenerasinya akan lebih meningkat. Pada lansia juga akan mengalami penurunan kepadatan tulang dan bertambahnya jaringan penghubung, penurunan jumlah dan ukuran serat, dan bertambahnya jaringan lemak pada otot serta berkurangnnya elastisitas pada fasia, ligamen, dan tendon yang akan memberikan efek negatif pada lansia (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Ismayadi, 2004; Martono, 2009).
2.2 Pergelangan Kaki (Ankle) 2.2.1 Anatomi Fungsional Ankle
2.2.1.1 Komponen tulang pada sendi pergelangan kaki
Sendi pergelangan kaki dibentuk oleh 3 artikulasi tulang yaitu bagian
distal tulang tibia, bagian distal tulang fibula, dan tulang talus.
A. Tulang tibia
Tulang tibia memiliki bagian proksimal yang lebih besar dan berat dengan bentuk korpus triangular dan bagian anterior serta batas medialnya terletak lebih
superfisial. Bagian medial dari tulang tibia membentuk malleolus medial (Lippert,
2011). Permukaan lateral dari malleolus medial merupakan artikular facet untuk tulang talus. Pada sisi lateral dari distal tibia terdapat fibular notch yang
berbentuk konkaf triangular, sebagai tempat artikulasi dengan ujung distal fibula untuk membentuk sendi distal tibiofibular (Neumann, 2010).
B. Tulang fibula
Tulang fibula merupakan tulang panjang dan pipih yang terletak pada lateral
cruris, sejajar dengan tibia. Sebagian besar dari korpusnya merupakan origo dari
otot-otot. Bagian tepi merupakan batas interoseus dengan tepi tajam menghadap ke medial. Bagian distal dari tulang fibula membentuk malleolus lateral.
Malleolus lateral berfungsi sebagai katrol untuk tendon peroneus longus dan brevis. Letak malleolus lateral lebih distal daripada malleolus medial. Pada
bagian medial dari malleolus lateral terdapat artikular facet untuk tulang talus (Neumann, 2010; Lippert 2011).
C. Tulang talus
Tulang talus merupakan dasar mekanika dari aspeks kaki. Tulang talus terdiri dari korpus, kolumn, dan kaput. Bentuk tulang talus seperti kubah, konveks secara
antero-posterior dan sedikit konkaf secara medial-lateral. Bagian superior dan
kedua sisi korpus berartikulasi dengan tibia dan fibula (Neumann, 2010; Lippert 2011).
2.2.1.2 Persendian regio pergelangan kaki (ankle) A. Tibiofibular joint
Secara anatomis, tibiofibular joint bagian superior dan inferior terpisah dari
ankle tetapi memiliki peran memberikan gerakan asesori untuk menghasilkan
gerakan yang lebih luas pada ankle sehingga secara fungsional termasuk ke dalam regio ankle. Tibiofibular superior joint adalah sendi sinovial plane joint yang
dibentuk oleh caput fibula dan facet pada bagian postero-lateral dari tepi
condylus tibia. Sedangkan tibiofibular inferior joint adalah sindesmosis dengan
jaringan fibrous (jaringan ikat) antara tibia dan fibula yaitu ligamen interosseous
tibiofibular dan ligamen tibiofibular anterior serta posterior (Anshar dan
Sudaryanto, 2011). B. Ankle joint
Ankle joint atau talocrural joint termasuk ke dalam sendi sinovial hinge joint
dibentuk oleh malleolus tibia dan malleolus fibula serta talus. Permukaan
superior dan kedua sisi dari talus tertutupi oleh kartilago artikular dan terjepit
diantara malleolus, bagian ini disebut ankle mortise. Ankle mortise merupakan permukaan yang konkaf, sementara talus merupakan permukaan yang konveks.
Malleolus medial memanjang sampai menutupi sepertiga dari sisi medial,
sedangkan malleolus lateral menutupi seluruh sisi lateral. Jika dilihat dari
superior, posisi malleolus medial lebih ke anterior daripada malleolus lateral.
Korpus dari talus berbentuk seperti baji dengan bagian anterior yang lebih lebar. Pada gerakan dorsofleksi ankle, bagian anteriornya akan terjepit diantara
malleolus sehingga membatasi gerakannya. Sedangkan pada gerakan plantarfleksi ankle, bagian posterior yang lebih sempit terjepit diantara malleolus,
memungkinkan pergerakan talus ke lateral karena luas gerak sendi yang lebih besar daripada dorsofleksi ankle. Karena mobilitas talus pada gerakan
plantarfleksi ankle disertai posisi malleolus medial yang lebih superior, sehingga
memberikan beban tambahan pada ligamen collateral lateral ankle untuk mempertahankan stabilitas ankle (Anshar dan Sudaryanto, 2011; Lippert, 2011).
Ankle joint diperkuat oleh ligamen deltoideum dan ligamen collateral lateral. Ligamen deltoideum terdiri atas empat ligamen yang mengikat malleolus medial
tibia dengan calcaneus, talus dan navicular yaitu ligamen calcaneotibia, talotibial anterior, tibionavicular, dan talotibial posterior. Ligamen deltoideum juga
dibantu oleh ligamen spring (ligamen plantar calcaneonavicular) yang memberikan hubungan horizontal antara os navicular dan proyeksi sustentaculum
tali pada bagian medial calcaneous (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
Ligamen collateral lateral terdiri atas tiga ligamen yang menghubungkan
malleolus lateral dangan bagian upper lateral dari colcaneus serta bagian anterior
dan posterior talus, yang terdiri atas ligamen colcaneofibular, talofibular anterior dan talofibular posterior. Ligamen collateral lateral lebih lemah daripada ligamen deltoideum (sisi medial), diantara semua ligamen collateral lateral terdapat ligamen talofibular anterior yang paling lemah (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
C. Subtalar joint
Subtalar joint atau talocalcanea joint termasuk kedalam sendi sinovial plane joint yang dibentuk oleh permukaan inferior talus dan superior calcaneus. Subtalar joint diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus, ligamen talocalcanea posterior, ligamen talocalcanea lateral. Dibantu oleh ligamen deltoideum (ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular posterior) (Anshar dan
D. Talonavicular joint
Secara anatomis dan fungsional, talonavicular joint merupakan bagian dari
talocalcaneonavicular joint. Talonavicular jonit diperkuat oleh ligamen talonavicular dorsal dan ligamen bifurcatum, serta dibantu oleh ligamen deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
E. Transversal tarsal joint
Secara fungsional, transversal tarsal joint merupakan gabungan dari 2 sendi yaitu talonavicular joint (sisi medial) dan calcaneocuboid joint (sisi lateral), walaupun secara anatomis terpisah. Transversal tarsal joint distabilisasi oleh ligamen calcaneocuboid (ligamen plantaris yang panjang dan pendek) serta dibantu oleh ligamen talonavicular dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen
deltoideum (ligamen tibionavicular) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
F. Intertarsal joint dan tarsometatarsal joint
Intertarsal joint dibentuk oleh tulang-tulang tarsal yaitu tulang navicular, cuneiforme medial, cuneiforme intermediate, dan cuneiforme lateral serta cuboideum. Intertarsal joint termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial.
Tarsometatarsal joint terdiri atas lima sendi yaitu tarsometatarsal I – V, yang
dibentuk oleh ossa tarsalia bagian distal (cuneiforme medial, cuneiforme
intermediate, cuneiforme lateral, cuboideum) dengan basis metatarsal I sampai V. Tarsometatarsal joint juga termasuk ke dalam sendi plane joint non-axial (Anshar
G. Metatarsophalangeal joint
Metatarsalsophalanngeal joint terdiri atas lima sendi yaitu
metatarsalsophalanngeal joint I – V. Metatarsalsophalanngeal joint merupakan
modifikasi condyloid joint. Metatarsalsophalanngeal joint 1 (ibu jari kaki) berbeda dengan lainnya karena lebih besar dan memiliki 2 tulang sesamoid diantaranya (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
H. Interphalangeal joint
Interphalangeal joint pada kaki termasuk kedalam sendi hinge joint. Pada ibu
jari kaki hanya terdapat interphalangeal joint, sedangkan pada jari II – V terdapat
proximal interphalangeal joint dan distal interphalangeal joint (Anshar dan
Sudaryanto, 2011). I. Arkus plantaris
Arkus plantaris terdiri atas arkus longitudinal medial, arkus longitudinal lateral, dan arkus transversal serta diperkuat oleh :
1. Bentuk tulang dan saling keterketaitan antara tulang satu dengan tulang lainnya.
2. Ligamen dan aponeurosis plantaris yang merupakan struktur paling penting dalam mempertahankan arkus.
3. Otot-otot plantaris yaitu otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus,
fleksor digittorum longus dan peroneus longus (Anshar dan Sudaryanto,
Gambar 2.1 Struktur Tulang Pembentuk Foot and Ankle (Wolgin, 2012)
2.2.2 Kemampuan Fungsional Ankle
Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang terdapat pada ankle. Regio ankle dan kaki memiliki beberapa sendi dan regio ini sangat berperan penting dalam melakukan aktivitas seperti : berjalan, berlari, dan menumpu berat badan saat berdiri. Ankle merupakan pusat titik tumpu berat badan pada saat tubuh berdiri, berjalan, berlari, dan melakukan aktivitas fisik lainnya. Biomekanik dari ankle memiliki fungsi sebagai stabilitator dan juga berperan menjadi lever struktural yang kaku untuk gerakan tubuh saat berjalan atau berlari (Miller and Alexander, 2003; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).
Kemampuan fungsional ankle pada lansia tidak jauh berbeda dengan kelompok umur lainnya. Beberapa bentuk aplikasi dari kemampuan fungsional
ankle pada lansia meliputi pola jalan, menumpu berat badan saat berdiri dan
aktivitas fisik lainnya. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibilitas sangat diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik pada lansia. Gangguan kemampuan fungsional ankle pada lansia dapat disebabkan oleh gangguan musculoskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Semakin meningkatnya usia seseorang maka akan diikuti dengan penurunan fungsi sistem tersebut. Penurunan kinerja tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kualitas aktivitas sehari – hari yang dilakukan oleh lansia (Ismayadi, 2004; Urruela and Egol, 2011; Soliman and Brogan, 2014).
2.2.3 Penurunan Kemampuan Fungsional Ankle pada Lansia
Dalam sistem muskuloskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan penghubung (kolagen dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur. Cross
linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas otot
sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan untuk berdiri dari posisi duduk, kesulitan jongkok dan kesulitan berjalan. Hal tersebut menyebabkan penurunan mobilitas pada lansia yang berpengaruh terhadap kerja otot dan dapat menimbulkan terjadinya muscle imbalance (Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Sari, 2014).
Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang
dalam mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari, melompat dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki. Sehingga otot deep posterior tibia akan bekerja lebih berat saat ankle memasuki
fase mid stance ke toe off ketika bejalan dan berlari. Sehingga otot akan cepat lelah dan beban kontraksi berlebih secara terus menerus (Sari, 2014).
Akibat keadaan lansia yang mengalami penurunan mobilitas menyebabkan terjadinya keterbatasan gerakan kaki. Gerakan ankle yang terbatas dapat mengganggu aktivitas yang membutuhkan gerakan ankle yang cukup luas, sehingga mengalami kesulitan disaat akan memasuki fase mid-stance saat berjalan, akibatnya gerakan menjadi tidak efisien dan tidak efektif yang berdampak terhadap penurunan kemampuan fungsional ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014).
2.3 Latihan Calf Raises
Latihan calf raises adalah latihan penguatan otot-otot kaki bagian bawah sekitar regio ankle khususnya calf muscle yang menggunakan beban tubuh sendiri. Dengan menggunakan beban tubuh sendiri, latihan ini dapat memaksimalkan kekuatan dari otot sehingga pada otot terjadi peningkatan tonus otot yang mempengaruhi peningkatan kekuatan otot. Selain itu latihan calf raises juga mengaktivasi propioceptif, maka dengan latihan ini akan menghasilkan suatu
performance yang lebih baik. Latihan calf raises ditujukan untuk memulihkan
berbagai gerak sendi dan fleksibilitas otot, meningkatkan kekuatan otot dan daya tahan serta meningkatkan stabilisasi pada ankle, sehingga ankle lebih stabil dan mencegah terjadinya cedera berulang (He´bert-Losier et al., 2009; Saydah, 2013; Sari, 2014).
Gambar 2.2 Calf Muscle (Malone, 2011)
Latihan calf raises bertujuan untuk menciptakan lengthening dari tendon
achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink yang
berdampak pada berkurangnya nyeri dan meningkatnya stabilisasi ankle serta fleksibilitas ankle sehingga terjadinya peningkatan berjalan (Saydah, 2013; Sari, 2014).
Latihan calf raises dilakukan dengan cara, menyiapkan blok atau tangga terlebih dahulu untuk melakukan standing calf raises. Berdiri dipinggir blok atau tangga tersebut dengan tangan berpegangan pada tembok. Gerakan pada latihan
calf raises terdiri dari gerakan plantarfleksi dan dorsofleksi ankle. Pada saat
melakukan gerakan plantarfleksi ankle, saat itu ankle sedang mengangkat beban berat badan sehingga akan terjadi kontraksi konsentrik pada tendon achilles dan pada otot-otot penggerak plantarfleksi ankle yaitu otot gastrocnemius dan soleus, yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor digitorum
longus, serta otot peroneus longus dan brevis (Radford, 2006; He´bert-Losier et al., 2009; Anshar dan Sudaryanto, 2011; Sari, 2014).
Sedangkan pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle yaitu otot tibialis
jari-jari kaki), dan peroneus tertius akan terjadi kontraksi eksentrik. Saat ankle kembali kearah gerakan dorsofleksi ankle, maka terjadi kontraksi eksentrik pada tendon achilles serta pada otot-otot pengerak plantarfleksi ankle. Dan terjadi kontraksi konsentrik pada otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Latihan ini bertujuan untuk menciptakan kontraksi eksentrik dari calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink dan dapat menyebabkan fleksibilitas dari jaringan tersebut membaik. Selain itu, latihan ini juga dapat meningkatkan kekuatan otot
lower leg baik otot-otot penggerak plantarfleksi ankle maupun otot-otot
penggerak dorsofleksi ankle yang berperan dalam gerakan-gerakan ankle saat berjalan, melompat dan lari, sehingga dapat memaksimalkan fungsional ankle (Radford, 2006; He´bert-Losier et al., 2009; Anshar & Sudaryanto, 2011).
Manfaat pemberian latihan calf raises pada ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014) : 1. Meningkatkan fungsional, stabilitas serta keseimbangan ankle
2. Meningkatkan fungsi sensorimotor dan propioceptif 3. Mempertahankan kekuatan otot ankle
4. Meningkatkan fleksibilitas ankle
5. Membentuk dan mengencangkan otot-otot tungkai bawah 6. Memelihara sistem sirkulasi
Prosedur pemberian latihan calf raises (Saydah, 2013; Sari, 2014) :
1. Sebelum melakukan latihan calf raises, pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang bagaimana cara melakukan latihan calf raises dengan benar dan manfaat atau tujuan dari latihan ini.
2. Kemudian siapkan blok kayu atau gunakan anak tangga sebagai tempat untuk melakukan latihan calf raises.
3. Terapis memberikan contoh gerakan latihan calf raises yang akan dilakukan.
4. Kemudian terapis yang bertugas berdiri disamping pasien memberikan instruksi untuk memulai latihan sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya dan mengawasi pasien selama melakukan gerakan latihan calf
Dosis pemberian latihan calf raises :
Tabel 2.1 Program Pemberian Latihan Calf Raises
Minggu Ke- Frekuensi Intensitas Repitisi
1 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan relaksasi selama 6 detik
10 x 3 set 2 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan
relaksasi selama 6 detik
15 x 3 set 3 3 x Seminggu Kontraksi selama 3 detik dan
relaksasi selama 6 detik
15 x 3 set (Sari, 2015)
2.4 Pengaruh Pemberian Latihan Calf Raises terhadap Kemampuan Fungsional Ankle pada Lansia
Kemampuan fungsional ankle merupakan kemampuan fisiologis yang terdapat pada ankle. Pada lansia mengalami penurunan mobilitas yang menyebabkan terjadinya keterbatasan gerakan kaki karena dalam sistem musculoskeletal pada lansia terjadi perubahan pada jaringan penghubung (kolagen dan elastin) menjadi cross linking yang tidak teratur dan terjadi muscle imbalance.
Cross linking yang tidak teratur tersebut menyebabkan penurunan fleksibilitas
otot. Muscle imbalance menyebabkan otot bekerja menjadi tidak seimbang dalam mempertahankan kestabilan dan fungsional ankle saat berjalan, berlari, melompat dan aktivitas lainnya yang melibatkan fungsi pergelangan kaki (Miller and Alexander, 2003; Pudjiastuti dan Utomo, 2003; Saydah, 2013; Sari, 2014).
Pemberian latihan calf raises akan menciptakan lengthening dari tendon
achilles dan calf muscle sehingga dapat melepas abnormal crosslink,
ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle, meningkatkan stabilisasi ankle serta fleksibilitas ankle (Saydah, 2013; Sari, 2014).
Pada saat melakukan gerakan latihan calf raises terjadi kontraksi konsentrik dan eksentrik pada tendon achilles serta pada otot-otot penggerak
plantarfleksi ankle maupun otot-otot penggerak dorsofleksi ankle. Pada kontraksi
eksentrik yaitu gerakan dorsofleksi ankle saat melawan beban terjadi aktivitas kontraktil. Serat-serat otot-otot plantarfleksor ankle yaitu otot gastrocnemius dan
soleus, yang dibantu oleh otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor digitorum longus, serta otot peroneus longus dan brevis serta termasuk tendon achilles tetap berkontraksi melawan peregangan, dan ketegangan ini menahan
berat badan yang menyebabkan terjadinya lengthening dari tendon achilles atau
calf muscle (Radford, 2006; Anshar dan Sudaryanto, 2011).
Selama kontraksi eksentrik, kekuatan otot yang dihasilkan dari otot lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontraksi isometrik dan kontraksi konsentrik. Hal ini terjadi karena selama kontraksi eksentrik ketegangan yang dihasilkan dari
sliding myofilament meningkat sehingga terjadi peningkatan pada elastisitas
serabut otot yang berdampak pada terlepasnya abnormal crosslink. Selain itu, pada kontraksi eksentrik pembuluh darah dalam keadaan yang bebas sehingga memungkinkan nutrisi dan suplai oksigen menjadi tercukupi. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan fungsional ankle dimana kemampuan fungsional
ankle tersebut akan dapat meningkat dengan pemberian latihan calf raises
2.5 Foot and Ankle Ability Measure (FAAM)
FAAM terdiri dari 2 sub skala yaitu sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living (ADL) dan sub-skala sports.
Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living (ADL) terdapat 21 item yaitu :
A1 Berdiri
A2 Berjalan diatas tanah rata
A3 Berjalan diatas tanah rata tanpa sepatu A4 Berjalan menanjak
A5 Berjalan menurun A6 Naik tangga A7 Turun tangga
A8 Berjalan diatas tanah tidak rata A9 Jalan ditempat
A10 Jongkok
A11 Melangkah dengan jari-jari kaki A12 Berjalan perlahan
A13 Berjalan 5 menit atau kurang
A14 Berjalan kurang lebih selama 10 menit A15 Berjalan selama 15 menit atau lebih A16 Pekerjaan rumah
A17 Aktivitas kehidupan sehari-hari A18 Perawatan diri
A20 Pekerjaan berat (mendorong/ menarik,mendaki, mengangkat) A21 Aktivitas rekreasional
Sedangkan pada sub-skala sports terdapat 8 item yaitu : S1 Berlari
S2 Melompat S3 Menapak
S4 Memulai dan berhenti dengan cepat S5 Pergerakan menyilang
S6 Aktivitas dengan efek rendah
S7 Kemampuan untuk menunjukkan aktivitas dengan teknik normal S8 Kemampuan untuk mengikuti olahraga yang disukai
Pengisian form FAAM, baik pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living (ADL) dan pada sub-skala sports dapat dilakukan dengan memberi rentang skor 0-4 (Martin et al., 2005) :
0 : Unable to do (tidak dapat melakukan aktivitas dimaksud).
1 : Extreme difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan di 2 sisi tubuh).
2 : Moderate difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan bantuan di 1 sisi tubuh).
3 : Slight difficulty (dapat melakukan aktivitas dimaksud dengan mandiri tapi terkadang perlu bantuan).
Penghitungan nilai skor pada FAAM dilakukan dengan cara :
1. Pada sub-skala fungsi dalam kehidupan sehari-hari atau activities daily living (ADL)
2. Pada sub-skala sports
Keterangan :
- : sampai dengan
Nilai skor akhir untuk masing-masing sub-skala adalah 0-100 dengan pembagian sebagai berikut :
0-25 : Severely abnormal (fungsional ankle sangat tidak berfungsi normal). 26-50 : Abnormal (fungsional ankle tidak berfungsi normal).
51-75 : Nearly normal (fungsional ankle mendekati fungsi normal). 76-100 : Normal (fungsional ankle normal) (Martin et al., 2005).