• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN KUMBANG TOMCAT SEBAGAI PREDATOR HAMA TANAMAN DAN PENULAR PENYAKIT DERMATITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN KUMBANG TOMCAT SEBAGAI PREDATOR HAMA TANAMAN DAN PENULAR PENYAKIT DERMATITIS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN KUMBANG TOMCAT SEBAGAI

PREDATOR HAMA TANAMAN DAN PENULAR

PENYAKIT DERMATITIS

Muhammad Arifin

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114

e-mail: bbp2tp@litbang.deptan.go.id Telp. (0251) 8351277; Faks. (0251) 8350928 Diajukan: 24 Januari 2012; Disetujui: 28 Februari 2012

ABSTRAK

Kumbang tomcat (Paederus fuscipes Curt.) merupakan salah satu predator penting berbagai jenis serangga hama pada padi dan palawija yang ditanam setelah padi sawah. Kumbang ini dapat menularkan penyakit paederus dermatitis pada manusia sehingga sebagian masyarakat berusaha untuk membasminya. Tindakan ini akan merugikan petani karena predator sebagai faktor pengendali alami bagi hama tanaman akan berkurang. Makalah ini membahas deskripsi dan bioekologi kumbang tomcat, peran kumbang tomcat dalam ekosistem, serta dampak racun paederin pada manusia dan cara menanggulanginya. Di Indonesia, kumbang tomcat dikenal sebagai semut kanai atau semut kayap; diberi nama tomcat karena bentuknya seperti pesawat tempur Tomcat F-14. Kumbang berukuran panjang 7-10 mm dan lebar 0,5 mm, dengan tubuh ramping dan ujung bagian perut meruncing. Telur diletakkan di dalam tanah. Larva mengalami dua kali pergantian kulit. Setelah dewasa, kumbang hidup pada tajuk tanaman dan mencari mangsa berupa serangga hama. Kumbang aktif pada siang hari dan tertarik cahaya pada malam hari. Kumbang dapat mengeluarkan racun yang disebut paederin yang dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Reaksi pada kulit terjadi 12-36 jam setelah kulit kontak dengan racun. Untuk menanggulanginya, bagian kulit yang terkena racun dicuci dengan sabun kemudian dibilas dengan air mengalir. Jika timbul rona merah, kulit dikompres dengan air es atau dioles salep steroid.

Kata kunci: Kumbang tomcat, Paederus fuscipes, predator, dermatitis

ABSTRACT

Management of Rove Beetle as Predator of Crop Pests and Vector of Dermatitis Disease

Rove beetle (Paederus fuscipes Curt.) is one of the important predators of insect pests on rice and secondary crops planted after rice. This beetle can transmit a disease known as paederus dermatitis in humans, so most people try to remove it. Of course this will hurt farmers because predators as a natural controlling factor for crop pests will reduce. This paper discusses the description and bioecology of rove beetle, role of rove beetle in ecosystem, as well as impact of paederin and efforts to overcome them. In Indonesia, rove beetle is known as kanai ant or kayap ant; it is called tomcat as its shape like a fighter plane Tomcat F-14. Rove beetle has 7-10 mm body lenght and 0.5 mm wide with a slim body

(2)

PENDAHULUAN

Dalam beberapa bulan terakhir, kumbang tomcat telah menghebohkan masyarakat, terutama warga Surabaya dan sekitarnya. Serangga yang biasanya hidup pada pertanaman padi dan palawija yang ditanam setelah padi sawah ini telah menyerang permukiman di sekitarnya. Serangan kumbang tomcat pada manusia menyebabkan dermatitis, ditandai oleh kulit yang melepuh seperti luka bakar, gatal, dan mengeluarkan cairan.

Kumbang yang menurut Kalshoven (1981) bernama ilmiah Paederus fuscipes ini tergolong sebagai predator berbagai jenis serangga, terutama yang berstatus hama, seperti wereng batang coklat, ngengat, dan telur penggerek batang padi. Dengan demikian, kumbang tomcat sebe-narnya merupakan sahabat petani karena memiliki potensi dalam mengatur populasi hama di alam. Bila kumbang tomcat dan predator potensial lainnya, seperti kumbang (Ophionea nigrofasciata) dan laba-laba (Lycosa pseudoannulata) musnah akibat penggunaan pestisida kimiawi secara berlebihan dalam pengen-dalian hama, dikhawatirkan predator sebagai faktor pengendali hama secara alamiah akan musnah sehingga dapat menyebabkan populasi hama menjadi eksplosif.

DESKRIPSI DAN BIOEKOLOGI Deskripsi

Kumbang tomcat atau kumbang Paederus (dalam bahasa Inggris dinamai rove beetles atau kumbang penjelajah) termasuk ordo Coleoptera dan famili Staphylinidae. Kumbang ini memiliki lebih dari 622 spe-sies (Singh dan Ali 2007), salah satu di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu Paederus fuscipes Curtis (Kalshoven 1981). Kumbang yang telah lama dikenal masyarakat sebagai semut kanai atau semut kayap ini akhir-akhir ini diberi nama tomcat mungkin karena sepintas bentuknya mirip pesawat tempur Tomcat F-14.

Kumbang tomcat berukuran panjang 7-10 mm dan lebar 0,5 mm. Tubuhnya ramping dengan ujung bagian perut (abdomen) meruncing, dada (thorax) dan perut bagian atas berwarna merah muda hingga tua, serta kepala, sayap depan (elytra), dan ujung perut (dua ruas terakhir) berwarna hitam. Sayap depannya pendek, berwarna biru atau hijau metalik bila dilihat dengan kaca pembesar. Sayap depan yang keras menutupi sayap belakang dan tiga ruas perut pertama. Sayap belakang digunakan untuk terbang (Gambar 1). Meskipun dapat terbang, kumbang lebih suka berlari dengan gesit. Kumbang memi-liki kebiasaan yang mudah diidentifikasi,

and tapered tip of the abdomen. Eggs are laid in the ground. Larva underwent two skin turnover. Adult beetles live on plant canopy to find preys of insect pests. The bettles are active during the day and attracted to light at night. The beetles can release toxin called paederin which can cause irritation to the skin. The reaction occurred 12-36 hours after the skin contacts with toxin. To cope, the skin exposed to the toxin was washed with soap and then rinsed with running water. If there is a red symptom, the skin was bathed with ice water and smeared with steroid ointment.

(3)

yakni melengkungkan bagian perutnya bila diganggu dan sedang berlari.

Bioekologi

Kumbang tomcat tersebar secara luas di seluruh dunia, meliputi Eropa, Asia, Afrika, New Guinea, dan Australia (Manley 1977). Serangga ini bersifat kosmopolit (berada di mana-mana) dan berhabitat di tanah lembap pada pertanaman padi dan palawija yang ditanam setelah padi sawah. Di dalam tanah, telur diletakkan secara tunggal. Setelah telur menetas, larva mengalami dua instar (dua kali pergantian kulit) sebelum menjadi pupa (Gambar 2).

Setelah dewasa, kumbang keluar dari dalam tanah kemudian hidup pada tajuk tanaman untuk mencari mangsa yang umumnya adalah kelompok serangga hama. Perkembangan dari telur menjadi dewasa berlangsung 13-19 hari (Singh dan Ali 2007). Stadium telur, larva, prapupa, dan pupa masing-masing berlangsung 4,0; 9,2;

1,0; dan 3,8 hari. Lama hidup serangga betina 113,8 hari dan serangga jantan 109,2 hari. Seekor kumbang betina mampu menghasilkan telur 106 butir selama hidupnya. Tingkat penetasan telur 90,2% dan tingkat perkembangan menjadi dewasa 77,6%. Kemampuan kumbang memangsa wereng batang coklat rata-rata 7,3; 7,5; 4,2; 3,2; dan 2,3 ekor masing-masing untuk instar 1, 2, 3, 4, dan 5 (FAO dalam Hadi 2012). Kemampuan kumbang memangsa wereng hijau berkisar antara 1,8–2,4 ekor/3 jam (Sarana 1998). Kelompok burung merupakan predator bagi larva dan kumbang tomcat.

Kumbang tomcat aktif pada siang hari dan tertarik cahaya terang pada malam hari. Sifat inilah yang diduga memicu masuknya kumbang ke permukiman, selain karena berubahnya habitat tomcat.

Populasi kumbang meningkat pesat pada akhir musim hujan (Maret dan April), kemudian dengan cepat berkurang seiring munculnya cuaca kering pada bulan-bulan berikutnya. Beberapa laporan penelitian Gambar 1. Morfologi kumbang tomcat dari arah atas (kiri) dan dari bawah

(4)

menunjukkan bahwa populasi kumbang tomcat meningkat pesat sejalan dengan meningkatnya curah hujan, terkait feno-mena El Nino di beberapa negara pada beberapa waktu yang lalu (Hadi 2012).

PERAN KUMBANG TOMCAT DALAM EKOSISTEM

Dalam ekosistem pertanian, kumbang tomcat berperan sebagai predator gene-ralis karena memiliki mangsa berbagai jenis serangga, terutama yang berstatus hama. Oleh karena itu, kumbang ini memiliki peran penting dan perlu diperhitungkan dalam pengambilan keputusan pengendalian hama dengan insektisida.

Dalam kondisi tertentu, kehadiran suatu jenis hama di pertanaman diper-kirakan akan mengakibatkan kerugian bagi petani. Karena populasi predator relatif sedikit sehingga tidak mampu mengatur populasi hama maka tindakan pengen-dalian dengan insektisida dapat

dibe-narkan. Sebaliknya, meskipun populasi hama di pertanaman cukup banyak, karena populasi predator juga cukup banyak dan diperkirakan mampu mengatur populasi hama maka pengendalian dengan insekti-sida tidak dibenarkan. Oleh karena itu, upaya perlu dilakukan agar keberadaan kumbang tomcat dapat dilestarikan, tetapi populasinya tidak menjadi eksplosif agar tidak mengganggu manusia.

Eksplosi kumbang tomcat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu peningkatan populasi kumbang menjelang berakhirnya musim hujan, panen secara serempak, dan pembangunan kawasan permukiman di dekat habitat kumbang. Pada kondisi demikian, pada malam hari kumbang akan berterbangan dan bergerak menuju sumber cahaya di permukiman.

Mengingat kumbang tomcat meru-pakan sahabat petani yang dapat mem-bantu mengendalikan hama secara alamiah, untuk mengantisipasi terjadinya eksplosi perlu upaya untuk melestarikan habitatnya. Perubahan area persawahan menjadi Gambar 2. Paederus fuscipes dewasa (A), pupa (B), larva instar kedua

(C), dan larva instar pertama (D) (Nikbakhtzadeh dan Tirgari 2008).

(5)

permukiman berarti meniadakan habitat kumbang tomcat sehingga akan memicu terjadinya eksplosi.

DAMPAK PAEDERIN DAN UPAYA MENGATASINYA

Dampak Paederin

Kumbang tomcat dinamai Paederus karena cairan hemolimpfa yang ada dalam rongga tubuhnya mengandung senyawa beracun yang disebut paederin. Racun ini dapat menyebabkan penyakit kulit, yang dalam istilah kedokteran disebut dermatitis paederus, yaitu iritasi kulit yang terjadi jika racun paederin menyentuh kulit. Reaksi kulit terhadap paederin terjadi antara 12-36 jam setelah kontak dengan cairan racun.

Kumbang tomcat juga disebut kum-bang pelepuh (blister) karena dapat menyebabkan kulit melepuh (Gambar 3). Selain karena sentuhan langsung, mele-puhnya kulit juga dapat terjadi karena sentuhan tidak langsung melalui bahan atau alat yang tercemar racun paederin.

Oleh karena itu, semua bahan atau alat yang tercemar racun paederin harus dibersihkan.

Umumnya paederin diproduksi dalam tubuh kumbang betina. Rumus kimia paederin adalah C24H45O9N. Jumlah molekul H yang dominan menjadikan senyawa ini bersifat sangat asam sehingga bersifat korosif dan mampu mengiritasi permukaan kulit. Piel (2002) menyatakan produksi paederin bergantung pada aktivitas endosimbion (bakteri Pseudo-monas sp.) yang hidup bersimbiosis dalam tubuh kumbang. Senyawa tersebut juga dapat menjadi racun bagi predator poten-sial lainnya.

Upaya Mengatasi Dampak Paederin

Jika ada bagian tubuh yang terkena cairan paederin, jangan diusap, tetapi bagian tubuh dan pakaian yang dihinggapi kumbang tomcat segera dicuci dengan sabun kemudian dibilas dengan air mengalir. Sabun bersifat basa sehingga dapat menetralkan paederin yang bersifat asam. Jika timbul rona merah, bagian tubuh yang terkena paederin dikompres dengan air es untuk mengecilkan pembuluh darah dalam kulit. Hal ini dimaksudkan agar paederin yang masuk dalam jaringan akan terisolasi dan pembengkakan dapat berkurang. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mengoleskan salep steroid tipis-tipis pada permukaan kulit yang teriritasi untuk mengurangi rasa gatal dan radang. Salep antibiotik sebaiknya hanya digunakan jika timbul infeksi sekunder, misalnya menjadi bisul yang besar (Singh dan Ali 2007). Luka yang masih basah jangan sampai terkena sinar Gambar 3. Gejala melepuh akibat terkena racun

(6)

matahari karena dapat meninggalkan bekas hitam yang sulit dihilangkan. Jangan menggaruk luka karena racun dapat berpindah ke bagian kulit yang lain. Bila luka terjadi pada area mata dan selaput lendir, sebaiknya segera ke dokter. Dengan pengobatan, umumnya luka akan membaik dalam 10-21 hari tanpa menimbulkan bekas.

Menghindari terjadinya kontak ma-nusia dengan kumbang merupakan tindakan utama mencegah dermatitis karena paederin. Untuk itu, taktik yang dilakukan antara lain adalah (Singh dan Ali 2007):

1. Mengenal kumbang tomcat dan tidak menyentuh atau memusnahkannya. 2. Menutup ventilasi rumah dengan kain

kasa untuk mencegah kumbang masuk serta menutup jendela dan pintu pada malam hari sebelum menyalakan lampu.

3. Menggunakan kelambu saat tidur untuk mengurangi kemungkinan kumbang menyentuh kulit.

4. Memberi jaring pelindung yang diikatkan di bawah lampu untuk mencegah kumbang jatuh ke manusia. 5. Jika kumbang hinggap di bagian tubuh, jangan ditepuk atau dipencet, tetapi cukup ditiup atau dihalau dengan kertas atau benda lain. Kulit yang tersentuh kumbang segera dicuci.

6. Memeriksa dinding dan langit-langit di sekitar sumber cahaya sebelum tidur. Kumbang yang masuk ke dalam rumah boleh dibunuh dengan insek-tisida nabati atau kimia piretroid. 7. Membersihkan lingkungan, terutama

semak belukar di sekitar rumah.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Saran

1. Kumbang tomcat memiliki potensi dalam mengatur populasi hama. Upaya memusnahkan kumbang akan meniadakan faktor pengendali hama secara alamiah sehingga akan memicu terjadinya eksplosi hama.

2. Kumbang tomcat menyukai habitat tanah yang lembap. Apabila habitat berubah, misalnya karena alih fungsi lahan, kumbang tomcat yang memiliki sifat tertarik pada cahaya terang pada malam hari akan masuk ke permukiman dan mengganggu manusia.

3. Kumbang tomcat dapat mengeluarkan senyawa paederin yang dapat menye-babkan penyakit paederus dermatitis. Berbagai cara pencegahan dan peng-obatan telah direkomendasikan, tetapi yang utama adalah menghindari kontak manusia dengan kumbang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Implikasi Kebijakan

Untuk mencegah kumbang tomcat masuk ke permukiman dan menyerang warga masyarakat, terutama yang berdekatan dengan persawahan, diperlukan langkah kebijakan, antara lain:

1. Meluruskan persepsi masyarakat bahwa kumbang tomcat adalah sahabat petani sehingga tidak dianggap sebagai musuh yang harus dibasmi.

2. Memanfaatkan keberlimpahan popu-lasi kumbang tomcat dan musuh alami lainnya sebagai agens pengendalian

(7)

hama secara hayati melalui upaya konservasi, antara lain membatasi penggunaan pestisida pada lahan pertanian.

3. Menyusun dan mensosialisasikan pe-doman pencegahan dan penanganan serangan kumbang tomcat pada manusia, yang memuat informasi antara lain: (a) pengamatan kumbang tomcat secara intensif di permukiman, terutama pada akhir musim hujan (Maret dan April) karena kondisi ekosistem saat itu cocok bagi kumbang tomcat untuk ber-kembang biak; (b) tidak berburu burung pemakan serangga yang berperan dalam menjaga kestabilan ekosistem; dan (c) menggunakan pestisida secara bijaksana di pertanaman untuk men-cegah hama dan musuh alami yang tertarik pada cahaya pada malam hari bergerak menuju ke permukiman.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, U.K. 2012. Fenomena tomcat atau dermatitis paederus. http://upikke. staff.ipb.ac.id/files/2012/03/Fenomena-Dermatitis-Paederus-tomcat.1.pdf

Kalshoven, L.G..E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. In P.A. van der Laan (Ed). PT Ichtiar Baru – van Hoeve, Jakarta. Manley, G..V. 1977. Paederus fuscipes (Col.:

Staphylinidae): A predator of rice fields in West Malaysia. BioControl 22(1): 47-59.

Nikbakhtzadeh, M.R. and S. Tirgari. 2008. Medically important beetles (Insecta: Coleoptera) of Iran. J. Venom. Anim. Toxins incl. Trop. Dis. 14(4): 597-618. Piel, J. 2002. A polyketide synthase-peptide

synthetase gene cluster from an uncultured bacterial symbiont of Paederus beetles. Proceedings of the National Academy of Sciences 99(22): 14002–14007.

Sarana, A.P. 1998. Perilaku konsumsi predator Paederus fuscipes Curtis terhadap dua spesies wereng padi. Majalah Ilmiah Flora dan Fauna 8(7): 1-5.

Singh, G. and S.Y. Ali. 2007. Paederus dermatitis. Indian J. Dermatol. Venereol. Leprol. 73(1): 13–5.

Wikipedia. 2011. Paederus. http://en. wikipedia.org/wiki/Paederus

(8)

Gambar

Gambar 1. Morfologi kumbang tomcat dari arah atas (kiri) dan dari bawah (kanan) (Wikipedia 2011).
Gambar 2.  Paederus fuscipes dewasa (A), pupa (B), larva instar kedua (C), dan larva instar pertama (D) (Nikbakhtzadeh dan Tirgari 2008).
Gambar 3. Gejala melepuh akibat terkena racun paederin.

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran penilaian risiko secara kuantitatif maupun.. keterkaitan analisis risiko dengan

Pada dasarnya komunikasi serial adalah kasus khusus komunikasi paralel dengan nilai n = 1, atau dengan kata lain adalah suatu bentuk komunikasi paralel

Laporan akhir ini disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan pendidikan Diploma III pada Jurusan Teknik Elektro Program Studi Teknik Listrik Politeknik Negeri

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan siswa kelas VIII SMP Pangudi Luhur, Moyudan, Yogyakarta,

Berdasarkan hasil pengujian aplikasi menggunakan metode Black-box , implementasi MultiPoint Mouse SDK berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dengan ditunjukkan oleh

PENERAPAN STRATEGI REACT (RELATING, EXPERIENCING, APPLIYING, COOPERATING, and TRANSFERING) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia

Daripada penerangan di atas jelas menunjukkan bahawa kajian terhadap faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh pemaju-pemaju perumahan sebelum membangunkan harta tanah perumahan

Oleh karena itu dalam merealisasikan MoU tersebut, Pimpinan Wilayah Pencak Silat NU Pagar Nusa Jawa Tengah bersama Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU