• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Merah dan Lelaki Haru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan Merah dan Lelaki Haru"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

Perempuan Merah dan Lelaki Haru

Kumpulan Cerpen Forum Lingkar Pena Malang

Tukang Cerita Ai El Afif Fauziah Rachmawati

Mashdar Zainal Gusti Aisyah Putri

Penyunting Gusti Aisyah Putri

Diah Wulandari

Ilustrator Izzuddin Abdurrahim

Penerbit Ide Kreatif

Publikasi versi E-Book Pustaka E-Book www.pustaka-ebook.com

©2012

Lisensi Dokumen

E-book ini dapat disebarkan secara bebas untuk tujuan non-komersial (nonprofit) dan tidak untuk diperjualbelikan, dengan syarat tidak menghapus

(3)

3

Tutur Mereka

Sukses, kata orang bijak, berarti melakukan yang terbaik yang kita bisa dengan apa yang kita punya. Artinya FLP Malang telah sukses, karena dengan semangat yang mereka punya, mereka telah berhasil menggugah nurani kita dengan cerita-cerita pilihan yang mengagumkan!

Boim Lebon, sahabat FLP, penulis cerita komedi anak & remaja, produser RCTI

"Selain disuguhkan cerpen-cerpen ciamik yang pernah dimuat di berbagai media nasional, kumcer ini semakin menarik untuk dibaca dan ditelusuri karena dirangkai dengan proses kreatif pembuatan

tiap-tiap cerpennya. Salah satu kelebihan yang jarang ditemukan pada kumcer-kumcer yang lain. Two thumbs up!"

Lia Oktavia Admin FLP Pusat

"Manusia dan keseharian adalah lautan cerita yang tak habis untuk digali. Maka rekan-rekan FLP Malang pun dengan cantik merangkai fragmen-fragmen kehidupan menjadi kisah-kisah yang penuh perenungan dan hikmah. Cerita yang bergizi dan enak dikunyah."

Rahmadiyanti Rusdi, Sekjend BPP FLP 2009-2013, PR & Communications Noura Books

Kumpulan kisah yang ringan dan menarik, refleksi dari cerita sehari-hari di sekitar kita. Kau mungkin akan menemukann dirimu di salah

satu kisahnya.

(4)

4

Saya, bukan orang yang bisa menikmati fiksi berlama-lama, apalagi membuatnya. Bagi saya itu siksaan, mending baca atau nulis lainnya. Tetapi membaca kumpulan cerpen ini, saya mendapatkan "hiburan lain" yang menurut saya sangat menarik. Apa itu? Proses kreatif dalam membuat masing-masing cerpen yang ada di dalam buku ini. Jadi kalo anda orang seperti saya, saya sarankan tak ada salahnya membaca buku ini, dijamin dapat pengalaman baru.

Heri Mulyo Cahyo Founder & Admin Proyek Nulis Buku Bareng

http://proyeknulisbukubareng.com

Kumpulan cerita pendek karya para penulis muda ini seperti kumpulan anak-anak rohani dari para penulisnya, yang ia bebas tumbuh sesuai dengan persepsi pembaca. Sangat menarik mencermati tiap alur, ide, dan kata-kata yang dibawa oleh tiap penulis karena di dalamnya terkandung dunia yang menunggu untuk diselami. Selamat membaca.

Fikrul Akbar Alamsyah – Pengajar di Jurusan Teknik Industri UB.

Membaca Di balik 102 Tahun Pak Sinden, membuat saya merasakan suasana yang digambarkan. Bagi yang suka dengan teka-teki, saya rekomendasikan membaca cerpen ini.

Harlinda Rukmana – Penulis Ilmiah, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, UB.

Umumnya, cerpen-cerpen yang selalu saya temukan dibaca bahkan ditulis oleh remaja, mengisahkan cerita yang tidak jauh dari kata romantisme. Namun, cerpen-cerpen di dalam buku ini, meskipun mengambil tema yang simpel, ringan dan beragam, pesan moral yang disampaikan melalui permainan kata-kata dan emosi, membuatnya beda dari yang lain. Unik, beda, dan penuh pesan!

(5)

5

Rampaian Kekata

Assalaamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh

“Assalaamu’alaikum WR WB, pak Dian minta izin cerpen Adikku Bela dan Bola kami masukkan ke buku kumcer FLP Malang,” begitu isi SMS dari mbak Fauziah Rahmawati, Ketua FLP Cabang Malang.

“ALHAMDULILLAH,dengan senang hati mbak,” saya seketika menjawabnya.

Jawaban saya yang pendek tersebut mewakili perasaan saya yang beraneka macam, antara syukur-senang-bangga-tersanjung. Bagaimana tidak, cerpen saya yang ketiga (sampai saat ini pun saya baru menulis tiga cerpen) disandingkan dengan karya teman-teman FLP Malang yang berkali-kali menang lomba dan berhasil menembus media cetak nasional.

Sebenarnya, saya sudah sangat bangga bisa bergabung dalam Forum Lingkar Pena Cabang Malang. Komunitas penulis yang memiliki semangat yang tinggi untuk berkarya, berbagi, dan berperan dalam masyarakat dengan menulis. Saya belum pernah berinteraksi dengan FLP cabang lain, wilayah atau pusat, tetapi saya yakin mereka semua punya semangat dan visi yang sama dengan FLP Malang.

Buku kumpulan cerpen ini adalah salah satu bukti semangat berkarya teman-teman FLP.

Di tengah proses editing, mbak Gusti Aisyah Putri, salah seorang pengurus FLP Malang mengusulkan ditambahkan proses kreatif penulisan cerpen pada setiap cerpen yang ada dalam buku ini. Usul yang sangat luar biasa, yang ditanggapi dan disikapi dengan luar biasa oleh semua penulis cerpen buku ini. Semua penulis sepakat dan semangat membuat tulisan berisi proses kreatif masing-masing cerpennya.

Pembuatan essay proses kreatif cerpen ini membuktikan betapa besarnya semangat berbagi teman-teman FLP Malang.

(6)

6

Saat anda memegang dan membaca buku ini berarti kami berhasil melalui proses pembuatan buku ini. Proses yang panjang dan berliku. Proses yang penuh makna dan hikmah.

Tidak mudah mengumpulkan karya dari banyak penulis, apalagi seperti yang saya sampaikan di awal, mengumpulkan karya para penulis produktif yang berkali-kali menang lomba dan mengisi media cetak nasional, para penulis yang sibuk menulis. Untuk menentukan judul buku saja kita harus melakukan pertemuan beberapa kali, disamping diskusi panjang melalui media group facebook.

Kami optimis buku ini disukai oleh pembaca karena berkualitas dan bermanfaat. Pembaca buku ini akan mendapatkan manfaat ganda, menikmati cerpen-cerpen berkualitas dan mendapatkan ilmu menulis fiksi. Namun optimisme kami tidak cukup mampu meyakinkan penerbitan major label untuk menerima dan membukukan naskah kami. Karena itu, dengan semangat berkarya dan berbagi, kami memutuskan untuk menerbitkan dalam bentuk E book gratis ini.

Kami juga menerbitkan buku ini dalam versi cetak. Keterangan tentang buku cetaknya silakan baca di bagian akhir buku ini.

Kami yakin akan manfaat yang akan didapatkan pembaca buku ini karena niat kami seperti itu, namun kami pasrahkan hasil akhirnya kepada ALLOH SWT. Bila pembaca puas dan merasakan manfaat, itu semata-mata kehendak ALLOH. Begitu pula sebaliknya.

Selamat membaca, selamat menikmati karya kami. Mohon maaf sebesar-besarnya bila ada hal yang menyebabkan anda kurang berkenan

Wassalaamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh

(7)

7

Daftar Judul

1. Perempuan Merah – Ai El Afif

2. Kampung yang Terbakar – Fauziah Rachmawati

3. Gelar di Atas Batu Nisan – Mashdar Zainal

4. Demokrasi Batagor – Gusti Aisyah Putri

Buku versi cetak dilengkapi cerita :

5. Bocah Pasir Brantas Mashdar Zainal

6. Lelaki dan Haru - Rialita Fithra Asmara

7. Adik Bela dan Bola Nur Muhammadian

8. Kopiah Subuh Ahmad Tito

9. Di Balik 102 Tahun Pak Sinden Ummu Rahayu

10. Laung Mudigah Fauziah Rachmawati

11. Sepenggal Janji Maulida Azizah

12. Bunddu Ai El Afif

13. Laptop Tahun Baru Fahrul Khakim

14. Ode Sebuah Perjalanan Mashdar Zainal

(8)

8

PEREMPUAN MERAH

Ai El Afif

CERITA ( I ) UNTUK DULLAH;

Jangan pernah kau berharap melihat warna lain pada tubuh perempuan itu. Tak ada yang salah. Hanya saja seringainya membuat bulu meremang seakan-akan cakar, mata, geligi, telah dipersiapkan olehnya guna mengoyak-ngoyak tubuhmu hingga cabikan terkecil. Aku tak membayangkan betapa tololnya mati dalam kesia-siaan seperti itu tanpa ada perlawanan sebelumnya, Dullah.

Ketahuilah, aku tak takut dengan perempuan merah. Sungguh. Nyali tak menciut tiap kali terdengar keteplok sepatu atau desau nafas yang dihembuskan perempuan itu kala ia menghampiri kamar tidurku. Aku telah akrab dengannya setelah ibu meninggalkanku tepat di pertengahan musim penghujan lalu, Dullah. Ayah yang memperkenalkannya. Katanya Perempuan Merah adalah pengganti ibu yang telah tiada akibat TBC. Aku terbeliak. Memasang kebencian penuh ke arah ayah.

Tak tahu persisnya kapan ayah membawa Perempuan Merah ke rumah. Kala itu, malam telah lindap dan tetangga terlelap, pun jam dinding telah tajam menunjuk angka dua belas hingga tak ada yang akan timbul di pikiran selain setan-setan tengah melayang, berkitar-kitar di areal pekuburan, dan pepohonan kamboja telah sesak dijejali hantu-hantu wanita, diiringi lolongan panjang memandang bulan. Aku terlalu kurang ajar menggambarkan keadaan, Dullah. Terlalu menyeram-nyeramkan semuanya. Namun sadarilah, aku hanya bercerita dengan cara tak beradab agar kau juga membenci Perempuan Merah, sama seperti kebencianku, Dullah.

“Perkenalkan ibu barumu,” ucap ayah kala itu dengan wajah

(9)

9

Aku benci semuanya. Aku benci ayah yang tak setia kepada ibu kita!

Bagaimana bisa Perempuan Merah kupanggil “Ibu”? Ibu kita

wanita bercahaya dengan senyum dan lesung pipit yang tak bisa dilupakan. Matanya hitam, pun rambutnya sewarna cerlang gerhana. Ibu kita memiliki jemari panjang, juga harum badan kembang gula. Ibu malaikat, Dullah. Kuyakini Ibu tengah berada di surga. Jadi kau tahu alasan mengapa aku ketakukan melihat Perempuan Merah, juga ayah

yang memaksaku memanggilnya “Ibu”?

Aku tak ingin mengganti kedudukan ibu kita dengan setan, Dullah! Tak ingin!

“Ibu, bila engkau mendengar lirihku, kiranya engkau

memaafkan laku ayah. Mungkin ayah telah dimantra oleh Perempuan Merah. Tetapi cintanya hanya untuk Ibu seorang. Aku tak akan

menyerah sebelum menyadarkan ayah, Ibu… Tak akan…”

***

Aku membuka mata perlahan, kudapati cahaya surya dengan kasar menerobos kaca jendela. Aku beringsut dari ranjang dan berjalan gontai ke kamar mandi. Aku berharap semua berbeda dari sepuluh bulan pagi-pagi sebelumnya. Berharap dengan sangat keajaiban melesat di rumah ini seketika.

Aku menyalakan keran air. Tak mandi, hanya cuci-cuci dan gosok gigi. Sementara di ruang keluarga telah terdengar suara TV. Aku berjingkat-jingkat melihat situasi ruang keluarga. Mencari tahu setan mana yang sepagi ini sudah berasyik masyuk mencumbu layar TV.

(10)

10

merah menyala. Kukunya menakutkan dilabur merah soka. Badannya dibalut gaun tak berlengan berwarna merah saga. Semua merah.

Merah. Merah. Merah. Wanita. Wanita. Wanita.

Merah darah. Merah menyala. Merah soka. Merah bata. Merah saga.

Merah. Merah. Merah. Persis Drakula. Persis serigala. Persis anjing gila.

***

CERITA ( II ) UNTUK DULLAH;

Dullah, ini bagian yang harus kuceritakan padamu, tentang mengapa Perempuan Merah kini bersebelahan denganmu.

Perempuan Merah telah lama membohongi ayah. Ternyata ia menyimpan lelaki selain ayah kita. Ketika ayah ke luar kota, Perempuan Merah menjelma serigala dan mengundang lelaki lain dengan lolongan panjang mengerikan. Lelaki menyukai Perempuan Merah. Katanya, merah selalu menggairahkan.

Aku sebaliknya, Dullah. Gemetar tiap kali Perempuan Merah mengelus rambutku karena takut cakarnya ia benamkan tepat di batang leher dan menyesap habis darahku dengan dua taring lancipnya. (Dullah, maafkan aku karena lagi-lagi kugambarkan ibu tiri secara berlebihan dan mengerikan). Tapi sungguh Dullah, Perempuan Merah tak baik untuk ayah kita. Ia tak sebanding dengan ibu yang melesatkan kita dari rahim setelah sembilan bulan mengandung dan melewati mual muntah. Kau tak keberatan kan Dullah bila Perempuan Merah kuhadirkan tepat di sampingmu?

Maafkan Dullah... Jangan kau temui aku bila tanggalan tepat pada malam Jumat Kliwon dan waktu persis menyerukan dua belas malam.

Jangan… Aku menghadirkan Perempuan Merah agar ia tak

(11)

11

jangan sekali pun kau luput karena ia bisa saja mencekikku dan menjambak rambutku juga menampar kanan-kiri pipiku. Aku takut

Dullah.. Takut…

Dullah, Kau mau tahu… Ayah ternyata mudah dikelabuhi. Ketika pagi itu. Pagi di mana Perempuan Merah berdandan rapi, berbau wangi, menyesap kopi, merokok dengan tangan kiri, sembari melihat gosip selebriti, aku menyusun rencana agar ia menyusul ibu dan memohon pengampunan tepat di telapak kaki ibu kita.

Aku merenggangkan selang tabung gas, Dullah… Aku pun sengaja memasang sebatang nyala lilin satu meter berhadapan dengan tabung gas. Aku mencium sengatan gas memencar penuh kutukan (ke segala) arah. Aku suka wangi gas kala itu. Dan ini yang kulakukan untuk melengkapi semuanya: aku memecahkan tiga buah piring sekaligus dan berlari keluar rumah secepat mungkin. Perempuan Merah tertipu. Kupikir ia berjalan tergesa-gesa ke arah dapur mencari tahu, dan…

BUMMM!!

Dari luar rumah aku mendengar lolongan pilu dan teriakan jalang memohon pertolongan. Aku senang, Dullah. Aku senang melihat ia berlari keluar rumah dipenuhi merah api di sekujur tubuhnya. Perempuan merah ternyata lebih jelita di balik bungkusan api. Ia menari. Meronta-ronta, juga berguling-guling tak jelas di atas tanah. (Dullah, kali ini aku tak perlu meminta maaf karena aku tak menyeram-nyeramkan atau membuat cerita terkesan kurang ajar. Ini kenyataan, Dullah.. Nyata!)

Dullah… Telah kutabur kembang kuning kamboja, tepat di

makammu. Pun telah kubalur makam ibu kita dengan irisan hijau pandan agar menyeruakkan wangi. Serta tak lupa, Perempuan Merah yang dikuburkan tepat di sampingmu, telah kuhujami makamnya dengan kelopak-kelopak mawar merah seperti kegemarannya.

(12)

12

Dullah, adikku sayang adikku malang… Jaga ibu dan

Perempuan Merah sebaik mungkin. Abang harus pergi sekarang. Harus kembali ke rumah baru kita, dan bergabung bersama orang-orang yang me-Yasinkan Perempuan Merah untuk sepuluh hari kematiannya…

***

(13)

13

Proses Kreatif

Perempuan Merah

Ai El Afif

Saya takut api dan ledakan. Lebih tepatnya takut menyalakan kompor gas. Selalu saya dipaksa oleh abang agar berani memutar pemantik kompor. Di dapur, saat hendak merebus air untuk mie

instant, berita di TV membayang: tabung gas meledak! Mati sia-sia dan jauh dari kampung halaman. Kejadian yang saya dapatkan secara langsung, bukan melalui TV makin membuat ngeri saja.

Adalah seorang teman abang yang hendak memperbaiki motor. Saat itu, bensin motornya ditempatkan pada sebuah gelas pelastik Aqua. Teman abang yang juga merokok, ia mungkin kelelahan atau bagaimana hingga rokoknya terjatuh, namun sayangnya masuk ke dalam bensin dan meledak. Kejadiannya di akhir bulan puasa, dan teman abang meninggal tepat di malam takbiran di salah satu rumah sakit sebab kulitnya 90% melepuh dan mati rasa.

Saya akrab dengan teman abang saya. Sempat ia beberapa kali ke tempat saya dan begitu pula sebaliknya.

Perempuan merah sendiri tercipta kala melihat ibu kost saya bergincu. Beliau hendak ke tempat tahlilan, katanya waktu itu. Saat memoles gincu, entah bagaimana gincunya terpatah dan warna merah melebar melewati bibir. Saya menyimpan adegan itu di kepala. Mungkin suatu saat berguna.

Memasuki pertemuan FLP entah kali keberapa, saya mendapatkan tugas mengirimkan karya ke media. Saya tak tahu harus menulis apa, sama tidak tahunya harus mengirim ke media mana. Saya mengumpulkan beberapa karya yang pernah dimuat di berbagai media. Membaca berhari-hari dan tiba pada kesimpulan: rasanya masih jauh untuk seperti mereka. Pemula, amatir, miskin informasi, makin meyakinkan saya sulit menempuh tugas FLP itu.

(14)

14

dimuat tidaknya cukup saya sadar diri saja. Lama mengurung diri di kamar mandi mencari ide, ada gunanya juga. Ibu kost saya mengetuk, katanya ingin mencuci. Saat keluar, saya sempat melihat kompor yang menyala dan ibu kost berganti-ganti.

Saya merenungkan sudah berapa lama saya di kost ini. Apa saja kejadian yang saya lewati. Anehnya, pikiran saya melompat ke pertengkaran anak dan bapak kost, ibu kost yang harus bersiap-siap ke pasar tiap subuh menjual tahu. Semua seperti meluncur begitu saja.

Saya ke kamar. Lama. Berjalan mondar-mandir. Berbicara sendiri. Seperti orang gila saja saya karena tugas harus mengirimkan karya ke media. Kebiasaan saya yang aneh: duduk lama di kamar mandi, berbicara sendiri, berjalan mondar mandir, seperti menganggu ibu (kandung) saya. Beliau selalu bertanya, berbicara dengan siapa? Bisa tidak mondar-mandir terus-terusan? Apa yang dilakukan di kamar mandi padahal saya tidak mandi? Ternyata saya merindukan ditegur ibu saya lagi.

Saat hendak membuka lemari untuk melihat potret orangtua saya, saya melihat wajah saya di cermin yang tergantung di atas lemari, (kini sudah berpindah tempat, tetap di atas lemari, namun bukan lagi di lemari baju, melainkan lemari buku-buku). Pintu kamar saya yang terbuka, dan saat itu ibu kost saya juga masuk ke kamarnya. Beliau berseru: belum mandi, tidak usah bercermin. Mau kuliah Ai?

Kata ‘Mau kuliah Ai?’ mengingatkan pertanyaan saya tempo

hari: mau ke mana ibu?

“Ke tahlilan.”

Saya tersenyum. Kini, saya tahu, bercermin tak ada gunanya. Saya harus menyalakan komputer, menuliskan ide, merangkai kejadian saat keluar dari kamar mandi: api di kompor, ibu kost yang bertanya.

Saya merangkaikan apa yang berhubungan antara api, dan gincu patah. Adalah warna merah. Siapa yang menjadikan ide itu ada: ibu kost saya. Ia Perempuan. Warna api dan perempuan menjadikan judul itu ada: Perempuan Merah.

(15)

15

KAMPUNG YANG TERBAKAR

Fauziah Rachmawati

Kebakaran! Kebakaran!

Tersentak, segera kusibakkan selimut warna abu-abu putih itu.

Jam di sudut kamar menunjuk pada angka dua. “Nduk, Nduk1 tangi2!”

suara emak dan bapak sambil memukul lembut kakiku. Di luar, orang berteriak kebakaran, diselingi suara teriakan-teriakan yang lain.

Mimpi opo kowe3? Dibangunin dari tadi ko angel4!”

Aku meringis, segera turun dari dipan kayu. Kami segera keluar rumah, bapak mengambil beberapa kaleng air, bersama warga berusaha mematikan api. Setengah sadar aku ikut membantu. Tapi sepertinya api itu terlalu besar, petugas pemadam kebakaran tak juga datang.

“Sepertinya ini kutukan!” celetuk Pak Hadi sambil membawa

kaleng.

“Maksudnya?” tanya bapakku.

“Bukankah kita sudah berusaha menutup tempat ini? Tapi tak ada yang menggubris permintaan kita!”

“Kebakaran ini karena arus pendek, bukan kutukan!” protes

ibu yang memakai daster bunga.

“Arus pendek itu hanya penyebab, tapi sebenarnya ini adalah

peringatan! Lihat, api semakin berkobar, meski sudah ratusan kaleng

kita siram! Ini peringatan buat kalian wahai Perempuan!”

“Jaga ucapanmu, Pak!” Ibu berdaster bunga itu meninggalkan kami. Kupegangi tangan emakku erat, mata perempuan itu terlalu menakutkan untuk kulihat.

(16)

16

Aku lahir dan dibesarkan di sini, sebuah kampung di daerah Malang Selatan, kampung yang menurutku sangat unik. Betapa tidak, di daerahku ada banyak pondok pesantren. Setiap sore pasti ada puluhan anak kecil berjilbab membawa Al-Qur’an untuk mengaji. Tiga kali seminggu ada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Setiap ada peringatan agama, masjid dekat rumahku tak pernah absen dengan pengajian akbar. Pengajian yang dihadiri para kyai dari luar kota.

Selain pondok pesantren, ada hal lain yang membuat kampungku selalu ramai. Hampir setiap sore dan malam akan datang puluhan mobil. Sopir truk, sopir angkutan kota, pekerja, bahkan pengusaha datang.

Mereka menuju satu tempat yang terletak tak sampai seratus meter dari rumahku, satu tempat di tepi sungai brantas, di daerah pematang nan hijau, di sudut selatan kampung. Satu tempat di mana beberapa perempuan menawarkan diri.

Kala sore tiba, beberapa perempuan berkumpul di depan rumah mereka. Sentuhan lipstik warna merah memasang senyum goda pada laki-laki yang lewat. Bila duduk, mereka akan menjulurkan kakinya yang mulus putih.

Inilah yang membuat emak melarangku bermain ke rumah tetangga. Biasanya teman-teman yang datang ke rumahku. Tapi sepertinya tak banyak juga yang mau bermain denganku. Sampai saat ini teman dekatku hanya si Rahma. Dan aku hanya boleh main ke rumah Rahma.

Kembali ke cerita kampung tempat aku tinggal. Dua bulan yang lalu aku melihat beberapa lelaki berseragam datang. Mereka menemui Pak Lurah yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Katanya tempat ini mau ditutup, bapak-bapak itu meminta beberapa warga pindah. Tapi sepertinya himbauan itu tidak diikuti warga hingga peristiwa semalam. Masih belum jelas juga apa penyebab kebakaran.

Nduk, bapakmu ono5?” Pak Lurah membuyarkan lamunanku.

(17)

17

Sebuah tepukan ringan mendarat di bahuku. Memanggil tanpa menepuk, menyubit, atau memegangku pasti cukup sulit, kecuali kami benar-benar sedang berhadapan. Emak memberikan senyuman, menarik tanganku untuk masuk rumah kembali. Kuturuti langkah kaki perempuan yang telah membesarkanku dengan penuh kesabaran. Untuk anak perempuan dengan banyak kekurangan seperti diriku, emak adalah wanita tersabar yang pernah kutemui. Tak bisa kubayangkan jika ada wanita lain yang mempunyai anak seperti aku. Membuangnya? Menelantarkannya? Atau malah membunuhnya? Ah Mak, sanggupkah aku membalas budi baikmu itu?

Beberapa teguk air putih yang diberikan melunasi dahagaku. Kuperhatikan Pak Lurah yang sedari ngobrol di ruang tamu bersama

bapak. Emak sepertinya tahu jalan pikirku. “Pak Lurah minta Bapak

nanti malam ikut rapat di rumahnya,” mulut dan tangan emak

memberi isyarat.

Kukerjapkan mata, “Apakah kita nanti dapat makanan?”

tanganku membuat bentuk lingkaran di udara. Karena biasanya setiap kali kumpul dengan banyak tetangga, bapak pulang sambil membawa banyak makanan. Emak menggeleng. Keningku berkerut.

“Boleh aku ikut?” kutelungkupkan tangan ke dada. Emak tetap

menggelengkan kepala.

Pertemuan apa ini? Tidak ada kue dan melarangku untuk ikut. Biasanya bapak paling senang kalau aku ikut. Bahkan beliau yang selalu mengajakku. Emak mengelus kepalaku dan memintaku segera mandi. Kuanggukan kepala, aku berlari menuju kamar mandi dari bambu yang terletak terpisah dari rumah.

Selesai mandi, aku segera menemui emak. Ingin kutanyakan akan ada pertemuan apa nanti malam. Kulangkahkan kaki ke ruang tamu dengan tergesa. Sampai di balai-balai depan rumah, nampak Rahma tersenyum ke arahku. Tangannya membuat gerakan seperti orang menimang bayi, mungkin ia memintaku menemaninya bermain lagi. Kuanggukan kepala, senyumnya sumringah. Ia menarik tanganku, mengajakku berpamitan, dan berlari menuju rumahnya.

(18)

18

di sana. Kata Rahma, malam ini bapaknya diminta untuk rapat di rumah Pak Lurah. Kutulis di kertas kalau bapakku juga diminta Pak Lurah kumpul. Selain dengan bahasa isyarat, kami biasanya juga berbicara melalui tulisan. Ada banyak kertas yang kami simpan, kertas percakapan yang penuh dengan canda kami.

Asyik-asyiknya bermain, emak datang ke rumah Rahma untuk menitipkan aku sampai Isya. Emak ada perlu ke kota untuk beli sesuatu. Senang sekali aku mendengarnya. Ini berarti waktu bermainku dengan Rahma bertambah. Rahma tersenyum senang mendengar ibunya mengizinkan kami bermain sampai nanti.

Adzan maghrib berkumandang, seperti biasa segera kami ambil air wudhu di air mancur belakang rumah Rahma. Kami sholat jamaah di musola dekat rumah. Mungkin inilah yang membuat kami selalu akrab. Bagaimana tidak, adzan yang mempertemukan kami, jadi pertengkaran itu hanya berumur sebentar. Karena setiap selesai sholat kami selalu bersalaman.

Rumahku kelihatan sepi. Mungkin bapak sudah berangkat ke rumah Pak Lurah. Begitu pula dengan bapaknya Rahma yang tak kami temui di meja kerjanya. Kami pun kembali bermain. Tengah bermain, terdengar suara hape berbunyi. Rahma meletakkan boneka yang

dipegangnya. “Hape Bapak ketinggalan,” tangannya menunjukkan hape warna coklat itu.

Kuangkat bahuku, dia tersenyum. Tangannya menunjuk ke rumah pak lurah. Kuikuti gerak tangannya. Sepertinya ia mengajakku ikut ke rumah Pak Lurah untuk menyerahkan hape bapaknya. Mungkin ada telepon penting. Kuanggukkan kepala. Ia menggenggam tanganku. Kami berjalan menuju rumah Pak Lurah.

Akhirnya rasa penasaranku sebentar lagi akan terjawab. Sebenarnya aku ingin ikut bapak rapat, karena dengan begitu aku pasti mendapat teh dan kue gratis. Tapi mengapa rapat kali ini emak benar-benar tidak mengizinkan aku ikut? Hape bapaknya Rahma bisa dijadikan alasan agar kami juga ikut rapat. Asyik.

(19)

19

dengan baju mencolok. Rahma menarik tanganku, mengajak lewat jalan belakang. Ia mengarahkan telunjuk ke mulutnya. Kuturuti.

Di dekat jendela samping rumah Pak Lurah, Rahma menghentikan langkahnya. Ia mengendap-endap mendekati jendela yang tak tertutup itu. Apa yang direncanakannya? Entahlah. Dan sebagai sahabat setia aku mengikuti apa saja yang dilakukannya. Diam-diam kami melongokkan kepala untuk melihat ruang tamu Pak Lurah. Ada bapak-bapak berseragam, berdasi, bapakku, dan bapaknya Rahma di sana. Di atas meja nampak banyak kue terhidang dan sirup warna hijau. Kutahan air liurku. Semoga bapak nanti membawa beberapa untukku di rumah.

Salah satu lelaki berdasi mengeluarkan beberapa lembar uang ke pada Pak Lurah. Pak Lurah tersenyum. Horeee bapakku pasti juga akan menerima banyak uang. Tapi kok wajah bapak tidak menunjukkan kesenangan. Bapaknya Rahma juga. Mereka sepertinya tidak mau diberi uang. Lelaki berdasi itu menggebrak meja. Aku kaget setengah mati. Tangannya mengacung-acung ke arah bapakku dan bapak Rahma. Sepertinya ia marah. Heran aku dengan perilaku bapak, mengapa beliau menolak pemberian orang baik hati ini.

Wajah Rahma terlihat pasi. Kusentuh pundaknya ia terlonjak. Masih seperti tadi, aku diminta untuk diam. Permainan apa ini? Mengapa dari tadi Rahma memintaku diam? Bukankah sebaiknya kami masuk ke rumah Pak Lurah dan ikut makan di sana?

Di dalam, bapakku dan bapaknya Rahma pamit. Tak ada satu kue pun yang dibawa. Bahkan sirup warna hijau itu tetap utuh tak tersentuh. Rahma kembali menarik tanganku berlari menuju rumahnya. Di rumah, orang tuanya dan orang tuaku nampak kebingungan. Mereka mengkhawatirkan kami.

“Ngapunten, tadi masih main.”

Aku mengangguk mendukung alasan Rahma.. ***

(20)

20

hanya ada di TV. Mobil-mobil itu berjalan menuju kampung yang beberapa hari lalu terbakar. Ada lelaki berdasi di antara mereka.

Kutarik baju emak, “Mereka akan membangun kampung itu lagi,” Emak membuat gambar bangunan besar di udara.

Kukerjap-kerjapkan mataku. Apakah ini berarti, mereka juga akan membangun rumahku? Kutatap wajah emak, tak ada senyum, beliau menarik napas panjang. Ibu menoleh ke belakang, rupanya bapak memanggil dan meminta kami masuk rumah.

***

1. Panggilan sayang untuk anak perempuan

2. Bangun

3. Kamu

4. Sulit

5. Ada

(21)

21

Proses Kreatif

Kampung yang Terbakar

Fauziah Rachmawati

Kapan saya menulis?

Pertanyaan ini sering sekali diutarakan pada saya. Dan tak bosan saya menjawab dengan jawaban yang sama.

“Yaitu saat hati dan pikiran saya tidak tenang terhadap suatu

hal.”

“Kok?”

Ya begitulah. Ketika ada yang mengganjal. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Hal yang ingin saya ungkap,

Seperti pesan Anis Matta "Jangan Pikirkan apa yang akan kamu tulis, tapi tulislah apa yang ada dalam pikiranmu."

Inilah yang membuat saya menulis cerpen “Kebakaran”.

Ide yang datang dari keadaan suatu kampung yang maksiat sudah menjadi hal biasa, suatu keadaan di mana menjual diri malah mendapat sokongan pejabat dan polisi setempat. Meski berulang kali mendapat protes dari beberapa kalangan dan dibakar, tempat yang berada di selatan kota Malang itu tetap menjalankan transaksi yang

sama. Malah banyak pengunjung. Uhhhhfff…

Fiksi, seperti yang kita ketahui. Ketika menulisnya kita bebas menambah dan mengurangi fakta yang ada. Apalagi hal ini menyangkut dengan nama baik suatu tempat. Dan lagi seorang pemenang hadiah Nobel di bidang Kimia, Linus Pauling pernah

mengatakan: ”the best way to get good ideas is to get a lot of ideas.”

Cara terbaik untuk mendapat gagasan yang bagus adalah dengan mengumpulkan banyak sekali gagasan.

(22)

22

gagasan, satu jawaban, satu cara, dan satu kehidupan yang kita jalani, kita tidak akan pernah memperoleh hal-hal terbaik yang dapat diberikan oleh kehidupan ini kepada kita. Latihlah pikiran anda untuk senantiasa mencari banyak solusi atau alternatif. Kembangkan kreativitas dan imajinasi Anda senantiasa”.

Lagi pula, imajinasi kita tidak dibatasi oleh batasan dunia nyata kita. Imajinasi kita tidak mengenal batas dan apa pun yang ditangkap oleh pikiran kita dan kita yakini, akan dapat mewujud menjadi realitas. Imajinasi kreatif kita membantu kita untuk mengeksplorasi pilihan-pilihan atau opsi yang berbeda dan melihat banyak sekali skenario dan peluang hasilnya.

Untuk itulah saya membuat tokoh utama bisu tuli. Tokoh utama dengan orang tua yang mempunyai pengaruh di lingkungannya. Hanya saja ada yang membuat saya bingung, bagaimana ceritanya nanti? Ditangkap? Ditutup? Atau? Sedang di kenyataannya tidak seperti itu. So jadilah cerita Kebakaran seperti cerpen yang saya buat itu. Cerita dengan ending yang ditentukan pembaca.

(23)

23

GELAR DI ATAS BATU NISAN

Mashdar Zainal

Menurutku, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dicerai-beraikan. Seperti jilbab dan mahkota perempuan, seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan sebuah kebijakan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku.

Ya, aku sudah memikirkannya masak-masak, kalau mahasiswaku melakukan salah satu dari tiga hal, aku tak usah berpikir panjang untuk menghadiahkan nilai C pada mereka, atau kalau lebih buruk lagi, aku tak sungkan-sungkan mendupak mereka untuk mengulang perkuliahan pada semester depan. Memang sebaiknya begitu!

Ketiga hal itu, yang pertama ialah mahasiswa yang menganggap skripsinya tak lebih penting dari novel-novel terjemahan yang tebal, yang setia mereka baca berjam-jam sampai akut memenuhi otak mereka yang kering.

Yang kedua ialah mereka yang menganggap perkuliahan tak lebih dari sekedar ludruk yang bisa mereka datangi setiap kali mereka butuh lelucon. Mereka adalah mahasiswa yang punya ciri-ciri mudah ditebak, biasanya mereka hanya masuk dua sampai lima kali dalam hampir satu semester.

Dan yang ketiga, ialah mereka yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku. Seperti yang aku sebutkan di awal cerita, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral. Tak boleh diotak-atik oleh siapapun.

(24)

24

perkuliahan, aku suka panjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut.

Posisiku sebenarnya cukup signifikan, bagaimana tidak? Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.

Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskanya begini:

Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D

Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, maka dengan semangat aku menjelaskan pada mereka bahwa kata Prof. dari namaku itu berarti Profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang. Bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.

Adapun mengenai huruf Dr. dari namaku ialah singkatan dari kata Doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H. yang bertengger pada namaku, huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata Haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Mekah. Dan untuk huruf M aku takkan menjelaskan panjang lebar, karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku Muhammad.

Dan huruf M.A, Master of Art merupakan oleh-oleh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu menara Eiffel. Dan yang terakhir adalah Ph.D, gelar yang penghujung itu berarti Philosophy of Doctoral, aku mendapatkan gelar itu karena S3-ku yang pertama, di negeri yang sama, Prancis. Hebat bukan?

(25)

25

sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multi-talent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola. Itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu. Justru aku mengagungkan kebenaran. Semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain. Mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.

***

Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu meng-acc skripsinya yang amburadul itu.

Seminggu terakhir ini sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku dupak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.

Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan dari pada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakanya masuk. Terpaksa aku meladeninya.

“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa -basi.

“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya

menyelesaikan bab terakhir ini. Dan waktu saya ke kampus bapak tidak ada,” dalihnya enteng.

(26)

26

kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu.

Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat...” tukasku

santai.

“Tapi Pak, Minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan Bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari Bapak, supaya semuanya clear dan lusa saya

sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.

“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaanya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kadaluwarsa?”

“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”

“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.

Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengkilat seperti kaca.

“Sudah, terserah draft itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.

Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita, ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu resiko yang harus ia tanggung, maka baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.

(27)

27

seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menagkap kemuakannya terhadapku, mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya.

Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib, dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini:

”Dan pada Jum’at kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”

Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini:

”Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D.”

Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Utung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.

“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.

“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat

itu! Apa pantes itu dibaca orang?” pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.

“Maaf, Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Akan segera saya perbaiki,” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.

“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama

dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada

tulisan: ‘Dosen Pembimbing: Prof. H. Kibari, MA. Ph.D’.

”Ini Doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah,

(28)

28

sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali, kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghapalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.

Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan

print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhnya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera meng-acc-nya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya. Bisa-bisa darah tinggiku kumat.

***

Usai sidang skripsi, aku bisa bernafas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan; yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.

Biasanya, seusai nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terimakasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding bahkan sampai sepatu made in Itali.

Dan malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.

”Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu

pada istriku.

“Wah sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.

“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau

(29)

29

Istriku tersenyum, ”Cepet buka Pak! Saya jadi ndak sabar

pingin ngeliat isinya apa.”

”Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, Ibu bikinin teh dulu buat Bapak.”

”Iya, Ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak!” Ujarnya sambil beranjak ke dapur.

Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.

Maka dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu persatu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengkilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:

Alm. Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D

Jidatku terasa dihantam pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:

Bapak Prof. Dr. H. M. Kibari, MA. Ph.D. yang ter—gila— hormat. Mohon maaf sebelumnya.

Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.

(30)

30

itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.

Salam

Mahasiswamu.

Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak karuan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu-persatu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu, aku tak mau siapapun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali, rapat-rapat.

“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat,” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tanganya.

“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa,” balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku.

***

Lembah Ibarat, 2009-2010

(31)

31

Proses Kreatif

Gelar di Atas Batu Nisan

Ide cerpen ini muncul ketika saya mengikuti sebuah khotbah Jum’at. Ketika sebelum khotib naik ke mimbar, bilal menyebutkan siapa saja nama khotib plus imam yang akan mengisi khutbah shalat Jum’at waktu itu. Ketika itu, bilal menyebutkan nama sang khatib lengkap dengan rentetan gelarnya, ketika itu saya tertawa sendiri, dalam hati bertanya-tanya, haruskan gelar sepanjang jalan itu dicantumkan? Apa perlunya? Apakah supaya orang-orang tahu bahwa ia orang yang pandai yang sudah puluhan tahun makan bangku kuliah? Entahlah.

Notabenenya, kejadian seperti itu saya jumpai bukan cuma sekali. Kejadian menyebalkan itu terulang kembali ketika saya menyelesaikan skripsi saya. Berkali-kali saya ‘dikerjai’ sang dosen ketika saya salah menuliskan atau menyebutkan gelarnya dengan benar, di luar itu sang dosen memang menyebalkan, ia tak pernah mengizinkan mahasiswanya untuk berkunjung ke rumahnya untuk urusan kampus. Lebih lebih, ketika mengajar di kelas dosen tersebut memang selalu

‘lebay’, acap kali ia menceritakan kisahnya ketika berkuliah di luar

negeri. Cerita itu tampaknya ia ulang setiap semester, ia sampaikan pada mahasiswa yang berbeda, berulang-ulang, tak jemu-jemu.

Di sinilah, akhirnya ‘tanduk’ saya benar-benar keluar. Semua saya tumpahkan dalam cerpen beberapa lembar ini. Pada awalnya, dalam merias cerpen ini sampai selesai, kesulitan saya adalah pada

ending. Hingga suatu ketika saya mengikuti pengajian, yang entah kebetulan atau kebenaran, sekilas membahas tentang gelar Almarhum (itu juga gelar bukan? Bahkan gelar wajib). Di sinilah saya menemukan

ending yang saya pikir benar-benar mantab untuk saya terakan. Dan

(32)

32

DEMOKRASI BATAGOR

Kawaii Neko

Matahari bersinar begitu terik saat aku baru pulang dari tempat bimbel siang itu. Belakangan ini aku memang berubah menjadi sangat rajin. Lupakan playstation, komik, ngeband, Andina pacarku yang cantik, bola basket, dan segala tetek-bengek yang lainnya. Sekarang saatnya berjuang untuk menghadapi SPMB! Buat kami yang baru saja lulus SMU, UAN bukanlah perang terakhir. Masih ada 'perang besar' yang menunggu di belakangnya, apalagi kalau bukan tes SPMB? Dan untuk itu aku gak main-main.

Raymond si anak metal langsung bertobat begitu sudah duduk di kelas tiga. Kusingkirkan kaset-kaset, komik-komik, majalah-majalah game dan musik, juga CD-CD PS yang memenuhi lemariku. Kuganti dengan buku-buku kumpulan soal SPMB yang tebalnya rata-rata 350 halaman itu. (nggak ada yang beli, semua buku-buku itu aku dapat dari hasil 'nodong' kakak-kakak kelasku yang terdahulu hehehe)

Aku korbankan karir basketku yang cemerlang untuk konsentrasi pada bimbel dan berbagai les. Aku nggak mau ikut jalur minat bakat. Padahal dengan kemampuan basketku aku bisa dengan mudah masuk ke universitas yang aku dambakan seperti teman-teman seekskul yang lain. Tapi aku ngotot ingin mencoba menempuh jalur SPMB. Hanya untuk membuktikan kepada mereka yang nyinyir bahwa atlet pun punya otak.

Kupelajari soal demi soal sampai begadang segala. Kutelan semua rumus-rumus logaritma, trigonometri, matrix, integral, dll sampai otakku serasa meleleh. Tapi segala perjuanganku akan terbayar kalau aku bisa lulus masuk universitas favoritku nanti. No Pain No Gain,

kalau ingin sukses harus ada pengorbanan yang setimpal kan? Lagipula bukankah hidup ini adalah perjuangan?

(33)

33

kepada pemerintah sambil membawa kertas dan spanduk warna-warni. Jalanan jadi macet, aparat keamanan tampak sibuk mengamankan jalan, berjaga kalau-kalau ada kerusuhan. Seorang pria ceking berdiri di atas pick-up sambil meneriakkan kata-katanya lewat halo-halo yang ia pegang. Rupanya ia pemimpin mereka.

“Sodara-sodara, kita rakyat kecil sudah terlalu banyak menderita! Rakyat kelaparan! Rakyat butuh makan! Tapi apa yang dikerjakan para wakil-wakil rakyat di dalam sana, sodara-sodara?!”, teriaknya menggebu-gebu.

“MENE KETEHEEE?!!!” sahut orang-orang itu.

“Nothing sodara-sodara! Mereka cuma ongkang-ongkang di atas penderitaan kita sodara-sodara! Apa kita harus diam saja mendiamkan semua itu sodara-sodara?!! Setiap aspirasi kita selalu diabaikan, sodara-sodara!!!” Semburnya lagi, dengan irama seperti rapper sekelas Eminem.

“Capeeekk deeeh!!!” Para demonstran menjawab koor.

Si Ceking itu berusaha menghimpun semangat dari para demonstran. Ia selalu mengakhiri kalimatnya dengan 'sodara-sodara'. Setiap kali juga orang-orang yang bergerombol itu bersorak-sorai menimpali perkataan lelaki ceking itu.

“Sodara-sodara jangan menyerah pada kedzaliman! Selama tuntutan kita tidak mereka penuhi, selama itu juga kita akan terus berdemo di sini sodara-sodara!!!”

Setelah itu, serentak para demonstran itu mengangkat kertas-kertas dan spanduk-spanduknya dan mengacungkan tinjunya

tinggi-tinggi ke udara, berteriak, “Turunkan BBM!!!” Kemudian mereka menyanyi meneriakkan yel-yel dan menabuh genderang sambil menari-nari. Para pengendara kendaraan mulai tak sabaran dan berlomba-lomba membunyikan hornnya keras-keras. Siang itu pun terasa kian panas dan rikuh. Orang-orang berdiri terpaku di trotoar sambil melongo menonton aksi para demonstran. Lumayan ada hiburan gratis!

(34)

34

biasa mencegat angkot untuk pulang. Tapi di tengah jalan aku berbelok ke jalan Pajajaran. Dan benar saja, sosok bertopi pet hitam yang familiar itu berada di sana. Di bawah pepohonan rindang yang menaunginya dari terik mentari. Aku tersenyum menghampirinya.

“Batagornya lima belas, Cak. Yang extra pedas!” seruku.

Ia menangadah, menatapku. Senyum lebar menghiasi

wajahnya yang bersahaja. “Urab ngalup sampeyan? (bahasa terbalik

malangan: baru pulang?)” tanyanya.

“Yoi, dari bimbel nih. Bentar lagi kan SPMB,” jawabku sambil menaruh pantatku di bangku kayu panjang yang ada di situ.

“Wah, sebentar lagi kuliah ya. Nggak terasa ya. Rasanya baru

kemarin Sampeyan masih seragaman putih biru, pertama kali beli

batagor di saya,” ujarnya. Tangannya membungkus batagor pesananku

dengan cekatan.

“Kok seminggu ini nggak keliatan, Cak?”

Ayas kolem sidang DPR (saya melok sidang DPR= Saya ikut sidang DPR),” jawabnya sambil mesem. Aku melongo.

“Iya, DPR. Dewan Pedagang batagoR,” jelasnya lagi.

Aku ngakak hebat. Satu lagi guyonan khas rakyat kecil yang aku dengar darinya. Ada-ada saja! Kreatif sekali Cak Ji ini. Seharusnya dia ndaftar jadi tim kreatifnya Extravaganza di TRANS TV aja kali ya!

(35)

35

wuah! Enak tenan! Rasanya benar-benar bikin ketagihan, dan yang paling penting tahunya 100% bebas formalin hehehe! Pokoknya kamu kudu nyoba deh (lho promosi).

“Ini Dik!” tegurnya membuyarkan nostalgiaku, menyodorkan

15 bungkus batagor pesananku.

“Berapa?”

“Biasa 7,5 juta, tunai gak terima kartu kredit!” jawabnya

mesem. Kamsudnya 7500 perak!

Aku tersenyum mangangsurkan selembar sepuluh ribu

kepadanya. “Kembaliannya buat sampeyan aja,” aku menolak saat ia hendak memberikan uang kembaliannya. Aku tidak segera beranjak, rasanya masih ingin aku mengobrol dengannya.

“Gak ikut demo di balai kota,Cak?” tanyaku iseng.

“Buat apa panas-panas teriak-teriak di jalan? Bikin macet aja!

Mending di sini jualan batagor. Ngadem, dapat duit pula!” jawabnya

terkekeh.

“Lho mau ke mana?” tanyanya ketika tiba-tiba tiga temannya yang sesama pedagang keliling mendorong gerobaknya hendak pergi. Aku kenal tiga orang itu. Cak Udin tukang bakso, Mang Damar penjual cilok, dan Mas Parjo penjual pop ice.

“Ya ke tempat orang-orang demo itu toh.” Jawab Mang Damar.

Cak Ji terkekeh, “Mau ngapain sampeyan semua ke sana, hah. Nggak usah ditambahi sampeyan-sampeyan, jalanan sudah sumpek

tau!”

“Gimana sih, demo-demo kayak gini kan sumber rejeki buat kita. Orang-orang itu pasti pada laper atau haus abis teriak-teriak panas-panas gini. Dagangan kita bisa laris Cak!” sahut Cak Udin.

“Ya udah sana, ayas kadit kolem! (saya tidak ikut),” tukas Cak Ji.

“Nyesel lho Sampeyan!” cibir Mas Parjo. Cak Ji cuma

mengangkat bahu.

(36)

36

ya, Cak?” tanyaku setelah ketiga orang itu pergi.

“Tauk ya, tapi kata mereka setelah tiga kali dagang waktu demo-demo yang kemarin dapat untung besar katanya,” jawab Cak Ji.

“Lah, Sampeyan gak ikut mereka Cak? Kan bisa laris manis dagangannya.”

“Halah Dik, ayas hadus kopak (saya sudah kapok). Bukannya untung malah benjut,” kata Cak Ji sambil membuka topi pet hitamnya. Nafasku tertahan, ada luka memanjang di bagian kepalanya yang tidak ditumbuhi rambut! Jadi karena itu, Cak Ji tak pernah melepas topinya?

“Tadinya saya ya kayak temen-temen yang lain. Suka manfaatin keadaan pas ada demo. Kita-kita mana ngerti yang namanya politik. Biar aja mereka yang di atas pada ribut. Buat kita bisa ngasih uang

belanja ke istri aja udah cukup,” jelasnya.

Ia mengelus-elus bekas lukanya, “Ini, kenang-kenangan yang saya dapat waktu bareng temen-temen jualan di lokasi demonstrasi.”

Kemudian lelaki itu pun bercerita tentang bagaimana saat ia dan teman-temannya yang lain berusaha mengais rejeki di tengah-tengah demonstrasi di Jakarta. Kemudian entah siapa yang memulai, moment penyampaian aspirasi rakyat itu berubah menjadi bentrokan antara aparat keamanan dan para demonstran. Massa yang mengamuk membakari apa saja yang ada di hadapannya. Dalam keadaan panik berusaha menyelamatkan diri tiba-tiba Cak Ji dihantam dari belakang. Begitu sadar ia sudah berada di rumah sakit. Kepalanya robek dan mendapat sepuluh jahitan. Cak Ji terpaksa hutang sana-sini untuk menebus biaya pengobatan rumah sakit.

“Setelah bisa ngumpulin duit lagi, saya balik ke Malang.

Ternyata saya memang gak cocok di ibukota.” Cak Ji mengakhiri ceritanya yang membuatku tercenung. Nggak nyangka ternyata Cak Ji pernah mengalami masa lalu yang seperti itu.

“Karena itu ayas kadit akus omed (karena itu saya nggak suka demo),” kata Cak Ji.

(37)

37

“Demokrasi mbhelgedhes. Mek slogan thok. Buat saya demo

iku ora ana gunane. Percuma berak-berok tapi yang di atas pada tutup

kuping!”

“Tapi demo itu kan fungsinya buat nyampein aspirasi kita kepada para wakil rakyat. Kita sebagai rakyat kan juga wajib ngasi tau kalopemerintah sudah mulai melenceng!”

Cak Ji mencibir, “Yo opo dirungokno? Buktinya ya sampeyan liat aja apa terus karena orang-orang pada demo trus harga BBM nggak jadi naik? Apa karena didemo wong-wong korup itu pada keder? Nggak

toh? Jadi percuma kan?”

Aku masih tidak mau kalah, “Tapi Presiden Marcos, Estrada, juga Pak Harto kan ditumbangkan dengan demonstrasi? People Power”

“Ya tapi mereka kan gak langsung serta merta lengser setelah didemo. Keadaan waktu itu juga mendukung. Kerusuhan-kerusuhan, hutang negara yang membengkak, dan merajalelanya KKN di jaman Soeharto, maraknya kasus korupsi hancurnya ekonomi, di Filipina masa pemerintahan Marcos, juga Estrada yang dilengserkan oleh kasus

korupsinya sendiri, semua itu yang mempercepat kejatuhan mereka,”

aku melongo. Hampir aku gak ngeh kalau sedang bicara politik dengan

penjual batagor! “Jangan heran Dik! Gini-gini saya rajin numpang baca di loper koran!” ujarnya terkekeh seolah menjawab keherananku.

“Trus sering demonstrasi itu dilatarbelakangi oleh kepentingan

oknum tertentu, bukan murni demi rakyat. Saya sering lho mergoki para demonstran itu diturunkan truk di tempat sepi, terus coba tebak, ternyata mereka semua dibayar lho, Dik!”

“Ah mosok!”

“Lhooo, gak percaya Sampeyan. Ngapain saya bohong!

Makanya saya gak percaya lagi sama demo-demo itu.”

Aku termanggu, sebegitu parahnyakah negara ini? Hingga aspirasi rakyat pun dijadikan alasan untuk menangguk keuntungan pribadi?

“Ya udah kalo gitu nanti Cak Ji aja yang nyalonin diri jadi

(38)

38

memahami rakyat,” gurauku.

“Waaah, boleh tuh. Kalau saya jadi presiden saya bisa bikin

kebijakan baru: 'Makanan pokok bangsa ini diganti dari nasi jadi batagor'. Enak toh, selain lebih murah, para pedagang batagor seperti saya bisa makmur semua,” ujarnya sambil terkekeh.

“Yee, kalau gitu Cak Ji masih memikirkan kepentingan golongan

dong, bukan rakyat! Bukan demokrasi tuh!” protesku.

“Yee saya kan pedagang batagor, bukan politikus!” serunya

membela diri. Kami berdua pun tertawa terbahak-bahak.

“Lho kok wis balik. Wis ludes tah dagangan Sampeyan?” tegur

Cak Ji ketika ketiga temannya kembali dari lokasi demo balai kota beberapa saat kemudian.

“Huu.. boro-boro ludes!” gerutu Mas Parjo.

“Lho kok?”

“Gimana mereka mau beli, lha wong ternyata para demonstran itu menggelar aksi mogok makan! J**c*k!” Cak Udin misuh-misuh.

Aku dan Cak Ji spontan tertawa terbahak-bahak lagi.

“Lho Cak Ji mau ke mana?” tanyaku saat lelaki itu beranjak dari

sampingku dan mulai mendorong gerobak dorongnya, pergi.

“Mau ikut demo!” jawabnya pendek.

Kami semua melongo. “Lhah, katanya kadit akus omed?”

tanyaku.

Cak Ji tersenyum, “Jangan salah sangka dulu! Yang mau saya datangi itu demo masak ibu-ibu PKK di RT saya. Kalo yang ini ditanggung bebas manipulasi dan kerusuhan dan dapet kenyang. Sampeyan-sampeyan mau ikut nggak?” Habis berkata begitu pria unik itupun berlalu. Ketiga temannya cuma bengong. Aku tergelak lagi.

Ah Cak Ji...Cak Ji...

Malang, 28 Juli 2006 By: Kawaii Neko

(39)

39

Proses Kreatif

Proses Kreatif

Demokrasi Batagor

Gusti Aisyah Putri

Raymond, si Ababil (ABG Stabil)

Dulu Neko termasuk orang yang selalu heran kalau teman-teman Neko menolak menulis (baik fiksi maupun nonfiksi) karena masalah kekurangan ide. Memang nggak setiap saat Neko bisa dapat ide bagus buat ditulis, tapi sebenarnya ide itu bertebaran di mana-mana kan? Sebagai seorang penulis (maupun yang mau belajar menjadi penulis), kita dituntut memiliki kepekaan yang lebih dibanding dengan orang-orang tidak menulis: kepekaan sosial, psikologis, juga dalam menanggapi berbagai isu yang terjadi di masyarakat, dunia, dan tak kalah penting kepekaan untuk menangkap ide tentunya.

Sumber yang paling baik dan paling sedap untuk diolah menjadi bahan tulisan adalah pengalaman penulis sendiri. Karena sudah pernah mengalaminya sendiri, tentu penulis jadi bisa lebih menjiwai suatu kisah, bukan? Sudah pernah merasakan dahsyatnya novel-novel Andrea Hirata yang kebanyakan terinspirasi dari kehidupannya mulai dari masa kecil, remaja, hingga masa dewasanya di Pulau Belitong? Sudah pernah merasakan dalamnya inspirasi dalam Negeri 5 Menara A. Fuadi? Atau perut terpelintir karena kebanyakan tertawa setelah membaca personal literature ala Kambing Jantannya Raditya Dika? Karya mereka itulah contohnya.

Tapi bukankah tidak semua penulis memiliki masa kecil yang eksotis di pulau Belitong? Apakah untuk mencari ide tulisan kita harus masuk Ponpes Gontor dulu? Dan berapa orang sih yang seolah seumur

(40)

40

Cerpen Neko yang berjudul Demokrasi Batagor ini adalah cerpen pertama Neko yang bisa menembus media massa, ditulis saat Neko masih SMA. Ide dan proses kreatifnya sangat-sangat-sangat sederhana sekali.

Adalah Raymond, seorang remaja yang sebentar lagi menghadapi ujian masuk perguruan tinggi alias SNMPTN (waktu jaman Neko nulis cerpen ini dulu, namanya masih SPMB). Di cerpen ini diceritakan bahwa dia sebenarnya adalah atlet basket yang cukup handal di sekolahnya dan bisa saja mendapatkan beasiswa masuk ke universitas tertentu dengan prestasi olahraganya. Tapi ia menolak tawaran-tawaran beasiswa itu dan memilih menodong buku-buku soal latihan SPMB dari kakak-kakak kelasnya dan belajar keras untuk SPMB. Itu karena dia ingin membuktikan pada semua orang bahwa atlet pun punya otak. Selama ini bukankah ada semacam olok-olok dalam masyarakat awam bahwa para atlet biasanya hanya mengandalkan otot dan prestasi akademisnya agak jeblok?

Neko sendiri sama sekali bukan atlet, disuruh push-up, sit-up

aja langsung pingsan (atau pura-pura pingsan wkwk). Mungkin karakter Raymond yang atlet basket itu terinspirasi dari tokoh Sakurai dari komik Harlem Beat (dulu Neko tergila-gila sama komik basket yang satu ini). Sakurai ceritanya seorang atlet basket yang handal, juga ditawari masuk universitas lewat jalur prestasi basket, tapi ditolak karena ia mengejar mimpinya untuk menjadi dokter.

(41)

41

Neko. Coba simak 4 paragraf pembuka cerpen “Demokrasi Batagor” di

bawah ini (buset! Paragraf pembuka aja ada empat? Banyak amat yah? Hehehe) :

Matahari bersinar begitu terik saat aku baru pulang dari tempat bimbel siang itu. Belakangan ini aku memang berubah menjadi sangat rajin. Lupakan playstation, komik, ngeband, Andina pacarku yang cantik, bola basket, dan segala tetek bengek yang lainnya. Sekarang saatnya berjuang untuk menghadapi SPMB! Buat kami yang baru saja lulus SMU, UAN bukanlah perang terakhir. Masih ada 'perang besar' yang menunggu di belakangnya, apalagi kalau bukan tes SPMB? Dan untuk itu aku gak main-main.

Raymond si anak metal langsung bertobat begitu sudah duduk di kelas tiga. Kusingkirkan kaset-kaset, komik-komik, majalah-majalah game dan musik, juga CD-CD PS yang memenuhi lemariku. Kuganti dengan buku-buku kumpulan soal SPMB yang tebalnya rata-rata 350 halaman itu. (nggak ada yang beli, semua buku-buku itu aku dapat dari hasil 'nodong' kakak-kakak kelasku yang terdahulu hehehe)

Aku korbankan karir basketku yang cemerlang untuk konsentrasi pada bimbel dan berbagai les. Aku nggak mau ikut jalur minat bakat. Padahal dengan kemampuan basketku aku bisa dengan mudah masuk ke universitas yang aku dambakan seperti teman-teman seekskul yang lain. Tapi aku ngotot ingin mencoba menempuh jalur SPMB. Hanya untuk membuktikan kepada mereka yang nyinyir bahwa atlet pun punya otak.

(42)

42

Biasanya Neko membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk membuat paragraf pembuka. Tapi untuk yang satu ini, semua tiba-tiba

mengalir begitu saja. Hehe…iya kan? Enaknya kalau menulis tentang

dunia yang sudah kita pahami. Terasa lebih menjiwai, begitu. Kata ayah Neko, paragraf pembuka ini juga udah keren (ayah Neko itu susah muji kalau nggak benar-benar bagus. Jadi percaya aja deh ahahaha). Di sini Neko pingin menunjukkan semangat juang para ABG seumuran Neko saat itu. Raymond yang mengaku sebagai anak metal, doyan musik, baca komik, dan punya pacar, rela meninggalkan itu semua demi memfokuskan konsentrasinya pada persiapan ujian SPMB. Keren kan? Nggak semua remaja itu ababil (ABG labil). Banyak juga yang ababil (ABG stabil).

Awal Ide Cerpen: Semua Berawal dari Sebuah Celetukan Sakti

Neko sebenarnya juga menulis cerita ini “di bawah tekanan.”

Apa pasal? Waktu itu Neko baru aja dibelikan laptop oleh ayah dan umi Neko. Laptop Toshiba tipe badak yang tebelnya minta ampun itu, harganya 3,5 juta. Dan ayah udah wanti-wanti Neko, “Pokoknya kalau kamu nggak segera bikin karya, dan nggak segera menghasilkan

(maksudnya ya duit), laptop ini bakal Yaya balikin ke toko!”

DHIENG!

Horor banget kan ancamannya? Karena itu pas akhirnya cerpen ini berhasil dimuat di HAI sekitar satu bulanan setelah ditulis, Neko legaaaaaaaaaaaaa banget! Yes! Laptop nggak jadi dijual! Neko bisa terus main spider solitaire lagi! Yeey! Adios rental computer. Cup cup muaaah!

(43)

43

yang ganti mendemo mereka.

Bukannya sok kritis, tapi bagi Neko demo-demo seperti

itu…hampir nggak jelas dan nggak ada gunanya. Apa hanya karena

mereka menuntut, lalu pemerintah akan mengabulkan semua tuntutan mereka? Apalagi yang pakai aksi bakar-bakaran segala. Dulu pas SMP, Neko pernah baca novel berjudul Akademos. Ceritanya tentang seorang mahasiswa aktivis di UI. Dia sampai telat lulus karena asyik jadi aktivis kesana-kemari. Dan mendekati akhir cerita, dia baru menyadari bahwa kebanyakan teman-temannya menjadi aktivis untuk mengisi CV mereka sehingga mudah mendapat pekerjaan. Dalam buku itu ditulis, selama ini demonstrasi dianggap sebagai kunci tumbangnya para diktator seperti Pak Harto (alm) dan Ferdinand Marcos (juga alm) di Filipina. People Power istilahnya. Tapi sebenarnya, penyebabnya tidak hanya hebohnya demonstrasi. Suasana saat itu juga mendukung, dimana hutang negara yang membengkak, merajalelanya KKN, hancurnya ekonomi, semua itu menumbangkan kedigdayaan para diktator itu dengan sendirinya. Ketika menulis cerpen ini, Neko tahu bahwa Neko perlu mengutip isi buku itu.

“Karena itu ayas kadit akus omed (karena itu saya nggak suka demo)

kata Cak Ji.

“Tapi Cak, demonstrasi itu kan salah satu aplikasi dari demokrasi juga”, sanggahku, mengutip isi buku PPKn.

“Demokrasi mbhelgedhes. Mek slogan thok. Buat saya demo iku ora ana gunane. Percuma berak-berok tapi yang di atas

pada tutup kuping!”

“Tapi demo itu kan fungsinya buat nyampein aspirasi kita

kepada para wakil rakyat. Kita sebagai rakyat kan juga wajib ngasi tau kalopemerintah sudah mulai melenceng!”

Cak Ji mencibir, “Yo opo dirungokno? Buktinya ya sampeyan liat aja apa terus karena orang-orang pada demo trus harga BBM nggak jadi naik? Apa karena didemo wong-wong korupitu pada keder? Nggak toh? Jadi percuma kan?”

(44)

44

Estrada, juga Pak Harto kan ditumbangkan dengan demonstrasi? People Power.”

“Ya tapi mereka kan gak langsung serta merta lengser setelah didemo. Keadaan waktu itu juga mendukung. Kerusuhan-kerusuhan, hutang negara yang membengkak, dan merajalelanya KKN di jaman Soeharto, maraknya kasus korupsi dan hancurnya ekonomi di Filipina di masa pemerintahan Marcos, juga Estrada yang dilengserkan oleh kasus korupsinya sendiri, semua itu yang mempercepat kejatuhan mereka”.

Aku melongo. Hampir aku gak ngeh kalau sedang bicara

politik dengan penjual batagor! “Jangan heran Dik! Gini-gini saya

rajin numpang baca di loper koran!” ujarnya terkekeh seolah

menjawab keherananku.

Nah puncak awal ide inti dari cerpen ini adalah ketika Neko sedang ngumpul bareng teman-teman Neko di kelas Bahasa waktu jam istirahat. Saat itu sedang ada demonstrasi di depan DPRD. Lumayan keras karena sampai bisa terdengar di kelas Neko yang letaknya menjorok di bagian belakang sekolah. Saat itu, tiba-tiba teman Neko yang bernama Lina, tiba-tiba nyeletuk. Celetukan sakti yang menjadi awal dari ide inti cerpen ini:

“Wah kalau demo-demo gini, orang yang jualan makanan keliling itu untung ya? Mereka kan bisa jualan di lokasi demonstrasi itu. Pasti laris. Soalnya kan mereka pasti pada laper dan haus gara-gara terus teriak-teriak kaya gitu.”

Teman-teman Neko otomatis tergelak mendengar celetukan itu.

Iso-iso ae si Lina iki (Si Lina ini bisa aja).” ujar mereka.

Sementara itu, Neko langsung merasa seperti Archimedes yang menemukan hukum volume benda yang tidak mempunyai bentuk

baku. “Eureka!”

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam kajian ini adalah pelajar yang menempuh pendidikan di SMAN dengan spesifikasi untuk kelas 2. Adapun alasan dipilihnya pelajar kelas 2 ini adalah

Ada empat jenis suara yang dikeluarkan owa jawa, yaitu suara betina untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas dan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah yang diteliti maka rumusan

Dari data yang ditunjukkan di atas dapat dikatakan bahwa kegiatan bernyanyidapat meningkatkan kemampuan anak dalam penguasaan kosa kata bahasaInggris jika kegiatan bernyanyi

SA ROMA 5:5 SINASABI NA HINDI TAYO NABIBIGO SA ATING PAG-ASA, SAPAGKAT ANG PAG-IBIG NG DIYOS AY IBINUHOS SA ATING MGA PUSO SA PAMAMAGITAN NG ESPIRITU SANTO4. NA PINAGKALOOB

%erf/rman+e indikat/r akan memfasilitasi %etugas %erf/rman+e indikat/r akan memfasilitasi %etugas kesehatan untuk mengisi2menuliskan %elayanan kesehatan untuk

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan dengan tingkat pemberian pod kakao fermentasi pada level yang berbeda-beda (0%, 10%, 20% dan 30%)

(19% Keluarga Penerima Manfaat tidak memahami hak dan kewajibannya). 2) Tepat sasaran dalam pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Cisalak Kabupaten