• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir masa. Amma ba’du.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi perte muan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat

(2)

keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang -orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)

Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut -nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat

1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)

2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri -negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan -Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr [59]: 8-9)

(3)

4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)

5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)

Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya.”(Muttafaq ‘alaih)

2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).”(Muttafaq ‘alaih)

3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)

4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat

(4)

yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”

2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”

3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”

4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang -orang selain mereka.” (lihatAl Is’aad, hal. 78)

Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat

Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!

Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah menurunkan ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)

(5)

beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela mereka !!

Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka serta apa yang akan muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan seenaknya ….

Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru umat manusia setelah Rasul -Nya sedangkan orang-orang ini justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam

Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada umat Islam adalah sebagai berikut.

(6)

penghafal al-Qur’an gugur. Karena itulah Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga akhirnya Abu Bakar pun menerima saran tersebut. Maka Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga berkat jasa Abu Bakar dan para sahabat lainnya inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah berbentuk mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 118-134)

2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya hadits-hadits Nabi belum boleh dicatat karena ketika itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya al-Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian larangan itu beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan baik oleh para sahabat sehingga tidak dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits tercampur dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya pencatatan hadits itu memang sudah terjadi di jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah sabda beliau pada saat khutbah di tahun pemb ukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta kepada beliau untuk dituliskan ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau menceritakan, “Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencata t (hadits) sedangkan aku tidak mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar sabdamu dan akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya, (silakan).”Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun ridha?” Beliau menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.”(HR. Ahmad, sanadnya shahih kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi, Mushthalahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)

(7)

Hijriyah bisa mengetahui secara gamblang dengan tangan yang manakah seharusnya dia makan, dan dengan tangan yang manakah seharusnya dia mencuci duburnya..!! Sebagaimana kaum muslimin pada masa sahabat pun mengetahuinya.

Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat, dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin selamat !!

Hukum Mencela Sahabat

Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan:

1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah, Rasul -Nya dan berdusta atas nama agama.

2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul karena kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati 3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan agama mereka, seperti dengan

menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)

Urutan Keutamaan Para Sahabat

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.

(8)

2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Aufradhiyallahu ‘anhum.

3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu

4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allahta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)

5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10) Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah.

6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum, 7. Kemudian kaum Anshar.

Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-Qur’an, Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri -negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8)

(9)

Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta -harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).

Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat

(10)

Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih

2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)

3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang -orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan

4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya. 5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan

6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.

7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka

(11)

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu dikarenakan mereka adalah sebaik -baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tid ak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat -pendapat

ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.

Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)

Macam-Macam Perkataan Sahabat

Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:

1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’ (bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamnamun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(12)

kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.

3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para ulama.

4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda denga n pendapat kaum filsafat yang menyimpang.

Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa syarat yaitu:

1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)

2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.

3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.

4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.

(13)

Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang bertentangan dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para sahabat.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!

Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah

Mu’adz bin Jabalradhiyallahu ‘anhuberkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).” Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”

(14)

yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”

Abdullah bin ‘Umarradhiyallahu ‘anhumamengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang -orang memandangnya sebagai kebaikan.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhumengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten dengan atsar.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuberkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”

Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallammenciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”

(15)

adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang -ngurangi petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem. Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.” Imam Auza’i rahimahullahu ta’alaberkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”

Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”

Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”

(16)

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam kebatilan.”

Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain. “Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”

(17)

agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 197-206)

Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tid ak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyahcet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)

Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.

Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran

Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya bak kacang goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya. Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu da n relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.

(18)

menunjukkan Al Qur’an dan sabda RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di du nia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.

Pengertian Sahabat Nabi

Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah: “Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” (Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24))

Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan: “Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi” (Al Ba’its Al Hatsits (1/25))

Keutamaan Sahabat

Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi: “Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena AllahTa’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Al Ba’its Al Hatsits (1/24))

(19)

merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga -surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda: Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7))

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka” (HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533)

Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda denga n kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani me reka, dan tidak mencela mereka.

Imam Abu Hanifah berkata: “Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah” (Nur Al Laami’ (199), dinukil dari kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7))

(20)

Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran

Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka. Kare na merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita,walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.

Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita membaca ayat: “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang di murkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama -sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Tafsir Ibnu Katsir (1/140))

(21)

Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata: “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)” (Tafsir Al Qurthubi (1/60))

Beliau juga berkata: “Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’alamemperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah” (HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no.8504. Dalam Majma’ Az Zawaid (8/453), Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah”)

Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.” Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?” “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

(22)

perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnah ku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara yang diada -adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)

Jika Sahabat Berselisih Pendapat

Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi'i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur'an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat? Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau Ijma' atau Qiyas yang paling shahih” (Ar Risalah (1/597))

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if

Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allahta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?

(23)

tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu m embedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab -kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“(I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan merek a adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat me ngilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fata wa1/250).

Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallall ahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan had its tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).

(24)

Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, “Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian“. (Hadits ini dho’if(lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).

Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.

Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.

(25)

seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tida k layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).

Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang disampaikan dho’if atau dusta. (LihatMuntahal Amani)

Hukum Memakai Hadits Dho’if

Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.

Imam Muslim -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasikmembawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)

(26)

Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan DalamFadho’il A’mal?!

Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahala di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha’il a’mal.

Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan had its dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam pe netapan hukum.

Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalamfadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah: (1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang sangat dho’if/lemah, (2). Hendaknya hadits tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum, (3) Di dalam mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya, (4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.

Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)

(27)

Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”(QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?

Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah maupun dakwah.

Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran

Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”(QS. An Nisaa’: 115)

(28)

surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100). Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari pengaruh-pengaruh peradaban lama dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.

Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah

Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah menegaskan saat beliau sakit mendekati wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salafbagimu” (HR. Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab mereka. Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka mengatakan, “Dan setiap kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya, bahkan wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah kebenaran.

Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat

(29)

Mari Mengenal Manhaj Salaf

Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).

Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.

Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”

Pemahaman yang Benar dan Niat Baik

(30)

Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).

Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.

(31)

benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab -Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihatTafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).

Kata Salaf Secara Bahasa

(32)

(pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik -baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).

Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun ya ng akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…

(33)

Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

(34)

Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanla h termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).

Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”

Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakanny a sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihatLimadza, hal. 31-32).

(35)

Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.”Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).

Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ahbahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorangtabi’in.

Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah

Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode berag ama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab -kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).

Referensi

Dokumen terkait

Iuran adalah sejumlah dana tertentu yang wajib dibayarkan kepada Badan Pengatur oleh Badan Usaha yang melakukan kegiatan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar

Hasil penelitian Bennett dan Hatfield (2013) juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengumpulan bukti lebih besar antara email dan komunikasi tatap muka pada peserta

(lebih dari 10000 spesies, 1500 genus, 17 famili), memiliki mata majemuk yang besar dan tympanium di ruas abdomen pertama, bersifat teresterial dan aktif siang hari. 

Pada setiap kemasan packaging susu Dancow 800gr yang berhadiah buku menggambar imajinasi penanda ini selalu ada pada bagian depan , untuk menandakan bahwa hadiah buku

19.Bagian yang berfungsi sebagai penghubung antara komputer dengan lingkungan di luarnya dan sebagai media komputer untuk menerima masukan dari luar

Berdasarkan kasus kemenangan pasangan Faida-Muqit dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Jember tahun 2015, artikel ini mengulas strategi politik pemenangan dalam

dengan adanya tabungan haji yang ditawarkan oleh BTN Syariah , maka dalam penulisan tugas akhir ini, penulis memilih “ Prosedur Pelaksanaan Tabungan Haji Di BTN Syariah

Pada kesempatan ini saya menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan sehingga penulis dapat