• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jokowi dan Potret Hak Ekosob DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jokowi dan Potret Hak Ekosob DKI Jakarta"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

http://sosbud.kompasiana.com/2014/09/03/jokowi-dan-hak-ekosob-dki-676974.html

OPINI | 03 September 2014 | 11:50 Dibaca: 216 Komentar: 2 1

Potret Hak Ekosob di DKI Jakarta:

Hak Atas Kesehatan dan Pendidikan

1

Sofian Munawar Asgart

Hiruk pikuk politik elektoral dari pemilu nasional hingga pemilukada di sejumlah daerah di sisi lain telah melenakan kita pada “urusan politik warga” lainnya yang bisa jadi justru lebih fundamental dan substansial. Salah satunya adalah Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau kerap disebut sebagai Hak Ekosob. Meskipun Hak Ekosob sendiri meliputi hal yang cukup luas, namun sejumlah pihak seringkali memberikan skala prioritas yang lebih fokus pada lima aspek yang dianggap lebih fundamental, yakni: pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.

Tulisan ini merupakan salah satu segmen dari hasil sementara “proyek uji Coba” Indikator dan Pembuatan Indeks Hak Asasi Manusia yang dilakukan Komnas HAM di sejumlah provinsi untuk lima aspek issu hak Ekosob: hak atas pangan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Tulisan berikut merupakan pemetaan awal dari dua aspek hak Ekosob, yaitu hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta (2013) dimana penulis turut terlibat di dalam tim yang dibentuk Komnas HAM.

Pendahuluan

Humanisme yang merupakan dasar-pijak bagi lahirnya konsep hak asasi manusia merupakan bentuk antroposentrisme dimana manusia menjadi titik sentral bagi perjuangan beragam kepentingan. Munculnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM) mencerminkan suatu tingkat perkembangan kesadaran yang menentukan dimana harkat dan martabat kemanusiaan diakui secara setara. James W. Nickel menyebut deklarasi itu sebagai suatu standar pencapaian hak yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara. Menurutnya, instrumen yang termuat dalam DUHAM menegaskan bahwa sesungguhnya semua orang mempunyai hak atas berbagai pelayanan dari negara.2

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

1 Laporan penelitian “Uji Coba Indikator dan Pembuatan Indeks Hak Asasi Manusia (Kesehatan dan Pendidikan) di Provinsi DKI Jakarta “difasilitasi” Komnas HAM, Jakarta, 2013.

2 James W. Nickel, 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Universal Hak Asasi

(2)

Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), negara mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan HAM. Sementara itu, kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis untuk menjamin pelaksanaan HAM sesuai DUHAM.

Perdebatan ideologis atas kelahiran konvensi hak Ekosob telah menjadi wacana yang cukup menarik. Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi liberalis-kapitalis tidak mendukung dilahirkannya konvensi Ekosob dengan alasan bahwa negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan negara-negara sosialis mendukung kelahiran konvensi Ekosob ini dengan alasan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk menyejahterahkan rakyatnya. Jalan tengah perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua konvensi atas derivasi deklarasi universal HAM 1948, yaitu Konvensi Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar belakang perdebatan ideologis ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurut Themaat, dalam tertib ekonomi internasional terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah negara-negara yang menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya intervensi negara dalam bidang ekonomi.3

Jika melihat bagian pembukan konvensi Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan konvensi didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta 55) serta Deklarasi Universal HAM 1948, terutama pada Pasal 22-27. Konvensi juga menyadari bahwa individu memiliki kewajiban atas individu dan komunitasnya serta memiliki kewajiban untuk memperjuangkan hak-hak yang dijamin dalam konvensi.4

Sejak lama, Indonesia telah mengakui dan berkomitmen atas pemenuhan hak Ekosob yang secara eksplisit telah diakomodasi dalam konstitusi dan sejumlah

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

3 Simak: http://senandikahukum.wordpress.com/2009/02/25/hak-asasi-manusia-dalam-hukum- ... 4

(3)

peraturan perundangan yang ada. Dalam hal kesehatan, misalnya, Pasal 28H (1) menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Sementara dalam Pasal 34 (3) disebutkan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Demikian pula dalam hal pendidikan, Pasal 28C (1), Pasal 31 (1), (2), (3), dan (4) antara lain menyebutkan bahwa:

Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD .

Komitmen Indonesia dalam mengimplementasikan hak Ekosob juga diwujudkan dengan mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) melalui UU No. 11 Tahun 2005. Dengan demikian, pelaksanaan ketentuan dalam Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum oleh karena Indonesia telah menjadi Negara Pihak. Kovenan ini mengatur tentang kewajiban negara pihak.

Pertama, mengambil langkah-langkah secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis. Kedua, memaksimumkan sumber dayanya yang tersedia dalam pemenuhan hak Ekosob. Ketiga, secara bertahap mencapai realisasi atas hak-hak Ekosob. Keempat, melalui cara-cara yang sesuai, termasuk secara khusus melakukan perbaikan terhadap langkah-langkah legislatif.

Sebagai lembaga yang memiliki mandat dalam pemajuan HAM –seperti termuat dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia– Komnas HAM melakukan berbagai upaya, termasuk mendorong pemajuan hak Ekosob. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menunjang hal ini adalah merumuskan Indeks Hak Asasi Manusia (Human Rights Index/HRI) melalui serangkaian penelitian. Kegiatan penelitian HRI untuk tahun ini mengambil sampel empat wilayah provinsi sebagai pilot project: DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Maluku. Adapun hak Ekosob yang masuk dalam cakupan penelitian ini adalah hak atas pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. Tulisan ini merupakan laporan penelitian untuk hak atas kesehatan dan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta.

Pemenuhan Hak Atas Kesehatan

(4)

harus dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminasi, partisipatif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara menyeluruh serta berkesinambungan.

Mengacu pada KIHESB bahwa hak atas kesehatan berisi hak kebebasan dan kepemilikan, kemerdekaan mencakup hak untuk memeriksakan kesehatan tubuh termasuk kebebasan seksual dan berproduksi dan hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk bebas dari penganiayaan, tindakan medis tanpa persetujuan dan eksperimen. Kepemilikan termasuk hak atas sistem proteksi kesehatan yang menyediakan kesempatan yang sama bagi tiap orang untuk memenuhi standar kesehatan yang memadai dan terjangkau.

Standar kesehatan yang memadai dan terjangkau sebagaimana dimuat Pasal 12 ayat (1) KIHESB mencakup keadaan biologis individu dan kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan sumber daya yang ada pada negara. Terdapat beberapa aspek yang tidak dapat diarahkan secara sendiri dalam hubungan antara negara dan individu. Lebih lanjut hak ini berusaha sedapat mungkin menjaga agar layanan kesehatan yang tersedia cukup dapat menyesuaikan dengan latar belakang budaya seseorang. Pasal 12 ayat (1) KIHESB secara khusus menyebutkan: ”Negara pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.”

Kerangka legal-normatif tersebut dapat dijadikan acuan dasar untuk mengukur sejauh mana pemenuhan hak atas kesehatan. Penilaian terhadap suatu capaian pembangunan di bidang kesehatan dapat diukur dengan menggunakan indikator hak. Indikator tersebut dapat mengukur pelaksanaan kewajiban negara yang disyaratkan dalam Komentar Umum No. 14 KIHESB, yaitu: ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas. Penelitian ini akan berfokus pada tiga elemen kunci yang dipandang paling relevan yaitu ketersediaan, aksesibilitas dan kualitas. Indikator ini pula yang akan digunakan untuk melihat tingkat pemenuhan hak atas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta.

(5)

A. Ketersediaan

Dari aras struktur, komitmen pelaksanaan kewajiban negara atas hak kesehatan dapat dirujuk pada Undang-Indang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang memposisikan kesehatan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dalam konteks DKI Jakarta, hal yang sama juga diakomodasi dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI No.4 Tahun 2009 Tentang Sistem Kesehatan Daerah. Dari Perda itu tampak jelas bahwa Pemda DKI melihat aspek kesehatan sebagai “urusan wajib” pemerintah untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi sekaligus menjadikannya investasi strategis pada sumber daya manusia agar semakin produktif dan kompetitif.

Demikian pula produk legislasi lainnya yang merupakan turunan dari Undang-Undang dan Perda tersebut. Setidaknya, ada tiga Peraturan Gubernur (Pergub) DKI kini yang secara langsung mengatur soal pemenuhan hak atas kesehatan. Pertama, Pergub DKI No.187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Layanan Kesehatan. Kedua, Pergub DKI No.14 Tahun 2013 Tentang Pembebasan Biaya Layanan Kesehatan. Ketiga, Pergub DKI No.171 Tahun 2012 Tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Penduduk Renta, Korban Bencana, dan Penerima Penghargaan. Selain itu, masih ada produk legislasi lainnya yang juga relevan dengan upaya pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta, seperti: Pergub DKI No.4 Tahun 2011 Tentang Organisasi dan Tatakerja Pusat Kesehatan Masyarakat, Pergub DKI No. 15 Tahun 2013 Tentang Formasi Jabatan Fungsional Dokter Pendidikan Medis, dan sejumlah legislasi pendukung lainnya. Karena itu, dari sisi struktur, ketersediaan regulasi ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesehatan ini sudah on the right track.

(6)

menyebutkan bahwa DKI Jakarta termasuk daerah yang maju, bahkan mungkin paling maju di Indonesia dalam hal pelayanan kesehatan. “Ini antara lain dan terutama karena Program KJS yang menjadi pilot project untuk diterapkan di tingkat nasional,” ujarnya.5

Meskipun demikian, kehadiran Program KJS sebagai “jangkar” program kesehatan di Provinsi DKI Jakarta awalnya memunculkan pro-kontra. Sejumlah kalangan legislatif di DPRD DKI melontarkan kritik terhadap program ini. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Achmad Nawawi, misalnya, menilai KJS sebagai program yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Menurut Nawawi, sejak awal program KJS tidak memperlihatkan orientasi yang jelas. Bahkan, ia menuduh kebijakan soal KJS bertentangan dengan Perda Kesehatan yang ada. Nawawi menilai, dalam hal KJS Jokowi tidak mengkaji terlebih dahulu, misalnya berapa pasien yang akan datang, berapa Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah yang tersedia, ketersediaan obat-obatan hingga ketersediaan Sumber Daya Manusia kesehatan yang dibutuhkan. Karena itu menurutnya banyak pasien KJS yang terbengkalai. “Ini jadi crowded di lapangan. Perawat tidak nambah, obat tidak nambah. Itu semua diberikan dan dijanjikan dalam waktu tiga menit, kacau,” ujar politisi Partai Demokrat itu.6

Kritik lainnya datang dari pihak rumah sakit. Sejumlah pengelola rumah sakit di Jakarta menyatakan keberatan, terutama terkait klaim penggantian ongkos perawatan yang kecil. Artinya, rumah sakit mengalami selisih bayar yang cukup besar sehingga pihak rumah sakit merasa tidak sanggup menjalankan sistem ini. Menurut sejumlah pengelola rumah sakit, penggantian ongkos perawatan hanya mencapai 30 persen dari total biaya yang diajukan. “Ya, kalau penggantiannya sekitar 85 persen mungkin cukup masuk akal, tapi kalau cuma 30 persen kami rugi. Lalu bagaimana kami harus nombok dan bagaimana juga nanti menghadapi kesulitan berikutnya,” ujar Barry Rodjak, Wakil Direktur Rumah Sakit Thamrin Internasional, Jakarta.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta, Tony S. Natakarman mengakui bahwa memang pada awalnya ada semacam kegusaran di kalangan pengelola Rumah Sakit, terutama Rumah Sakit swasta. Ada kekhawatiran misalnya akan sulitnya klaim biaya kesehatan, dan lain-lain. Itu saya kira wajar, tapi setelah semuanya dikomunikasikan secara baik sebetulnya tidak ada masalah, dan bahkan sekarang semuanya mendukung. “Jadi, ini hanya persoalan komunikasi dan sosialisasi saja,” ujarnya. Sementara soal membludaknya pasien di sejumlah Rumah Sakit menurutnya bukanlah karena katidaksiapan KJS, tapi lebih ke soal pola dan sistem rujuk yang belum tertib. Ini juga tak lepas dari

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

5 Wawancara dengan Theryanto, Jakarta: Kamis, 26 September 2013.

6 Simak: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/20/3/132471/DPRD-Kartu-Jakarta-Sehat-Gubernur-Jokowi-Melanggar-Perda

(7)

ketidaktahuan masyarakat yang umumnya mau langsung dirujuk ke Rumah Sakit besar sehingga disana terjadi penumpukan pasien yang lagi-lagi menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal.

Idealnya, 60 persen pasien dapat dilayani di Puskesmas, 25 persen dilayani di rumah sakit kecil, dan 15 persen pasien saja yang dirujuk ke Rumah Sakit besar. Kondisinya sekarang justru terbalik, pasien menumpuk di Rumah Sakit sementara Puskesmas hanya dilewati saja. Karena itu kami sudah usulkan untuk membuat layanan kesehatan dan sistem/pola rujuk secara on-line, komputerisasi dan linking data base antar Rumah Sakit. Dengan begitu secara real time kondisi ketersediaan kamar, dan lain-lain tiap Rumah Sakit dapat terpantau secara on-line. “Itu sudah kita pikirkan dan sudah diantisipasi sejak awal,” ujarnya.7

Namun yang terpenting dari program KJS adalah dibukanya ruang partisipasi dari masyarakat dan upaya perbaikan sistem yang dilakukan secara terus menerus.

Hal senada disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dien Emmawati. Menurutnya, perbaikan sistem dan layanan KJS terus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan tertibnya administrasi kesehatan. Beberapa waktu lalu, Dinas kesehatan Provinsi DKI Jakarta telah membagikan KJS “versi baru”. Kartu ini dilengkapi barcode yang terhubung ke server data. Lewat kartu ini, data-data riwayat kesehatan pasien bisa diakses oleh elemen kesehatan seperti Rumah Sakit, Dinas Kesehatan, dan PT.Askes. “Dengan begitu, setiap tahun bisa dipetakan penyakit terbanyak di wilayah Jakarta. Atau, bisa juga menjelaskan kecenderungan pola kesehatan di masyarakat. Sedangkan keuntungan bagi masyarakat adalah bisa mengecek penuh tidaknya Rumah Sakit atau Puskemas”, ujar Dien Emmawati.8

Namun terlepas dari polemik dan dinamik KJS tersebut hal ini menunjukkan bahwa Pemda Provinsi DKI Jakarta telah melakukan beragam upaya sekaligus hal ini telah menunjukkan ketersediaan program layanan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatan. Upaya ini bahkan telah memunculkan apresiasi publik yang tinggi terhadap layanan kesehatan di DKI Jakarta.9

Beragam respon positif muncul, bukan saja dari warga Jakarta. Wakil Perdana Menteri Inggris Lord Mandelson bahkan memberikan pujian dan apresiasi khusus kepada Jokowi terkait program KJS di DKI Jakarta. "Saya melihat sesuatu yang kuat pada progress dan transisi DKI Jakarta di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan melalui program KJS dan KJP. Ini bisa memberikan inspirasi untuk menerapkan kebijakan yang dapat diterima semua pihak,” ujar Mandelson saat berkunjung ke Jakarta beberapa waktu lalu.10

Dukungan publik yang kuat ini sungguh telah menjadi modal tersendiri bagi

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

7 Wawancara dengan Tony S. Natakarman, Jakarta: Kamis, 3 Oktober 2013. 8

Simak: Koran TEMPO, Jakarta: Selasa, 28 Mei 2013. 9

Apresiasi publik terhadap program KJS dapat disimak antara lain dalam pemberitaan berbagai media massa terutama sepanjang pertengangan tahun 2013.

(8)

Jokowi dan Pemda Provinsi DKI untuk menjadikan KJS sebagai salah satu program andalannya.11

Capaian penting lainnya yang perlu dikemukakan dan dideskripsikan secara lebih detil dari indikator ketersediaan adalah dimensi hasil. Dalam konteks ini kita akan melihat bagaimana target dan capaian beberapa aspek terkait layanan kesehatan dasar semisal ketersediaan fasilitas kesehatan, Puskesmas, Rumah Sakit, balai pengobatan, program obat generik, pencegahan penyakit menular, sanitasi dan air bersih, ketersediaan tenaga medis seperti dokter, perawat dan bidan, serta perbandingannya dari waktu ke waktu, termasuk bagaimana pula implikasinya terhadap tingkat dan derajat kesehatan masyarakat seperti pada angka harapan hidup, angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, dan aspek-aspek penting lainnya.

Kepala Bidang Jamkesda, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Theryanto, menyebutkan bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta sudah sangat memadai. Menurut Theryanto, lebih dari 150 rumah sakit yang ada di DKI Jakarta. Sementara jumlah Puskesmas tingkat kecamatan sekitar 40-an dan Puskesmas tingkat kelurahan/desa hampir 300-an belum termasuk Balai Pengobatan Umum yang jumlahnya lebih banyak lagi. Secara lebih rinci, perkembangan jumlah fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-1:

Jumlah Fasilitas Kesehatan, 2010-2012

No Fasilitas Kesehatan Tahun

2010 2011 2012

1 Rumah Sakit 145 153 158

2 Rumah Sakit Bersalin 64 64 38

3 Puskesmas Kecamatan 44 44 44

4 Puskesmas Kelurahan/Desa 295 296 296

5 Balai Pengobatan Umum 779 779 779

6 Balai Pengobatan Gigi 113 125 125

7 Klinik Spesialis 171 153 168

8 Laboratorium 170 175 175

9 Apotik 1.811 1.811 1.922

10 Posyandu 4.185 4.241 4.245

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Dari sisi jumlah sebetulnya tidak terlalu banyak perubahan berarti atas penambahan fasilitas kesehatan antara tahun 2012 dengan tahun sebelumnya. Bahkan, justru terjadi penurunan pada jumlah Rumah Sakit Bersalin. Dengan data itu kita bisa saja menduga-duga atau berspekulasi. Pertama, untuk kasus

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(9)

Rumah Bersalin yang berkurang misalnya menunjukkan “keberhasilan” program KB yang berimplikasi pada menurunnya angka kelahiran yang secara otomatis juga berimplikasi pada berkurangnya jumlah Rumah Bersalin. Kedua, program kesehatan Provinsi DKI Jakarta berfokus pada peningkatan kualitas layanan, bukan pada kuantitas penambahan fasilitas kesehatan. Ketiga, belum tercatatnya perkembangan mutakhir mengenai angka perkembangan jumlah fasilitas kesehatan tahun 2013. Semua praduga ini tentu perlu diklarifikasi lebih jauh untuk mendapatkan informasi yang lebih sahih.

Asumsi bahwa program kesehatan Provinsi DKI Jakarta berfokus pada peningkatan kualitas layanan barangkali dapat membawa kita pada “titik terang” jika menyimak perkembangan jumlah tenaga medis yang dari tahun ke tahun terus bertambah. Sejak 2010 hingga 2012, jumlah tenaga medis, kecuali apoteker: dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, asisten apoteker, dan bidan relatif terus meningkat. Secara lebih rinci, perkembangan jumlah tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-2:

Jumlah Tenaga Kesehatan, 2010-2012

No Tenaga Kesehatan Tahun

2010 2011 2012

1 Dokter Umum 2.873 2.484 2.886

2 Dokter Spesialis 1.386 4.232 5.506

3 Dokter Gigi 586 725 1.102

4 Apoteker 1.886 508 271

5 Asisten Apoteker 1.052 1.142 2.164

6 Bidan 1.897 2.111 2.398

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

(10)

Tabel-3:

Rasio Tenaga Kesehatan

Provinsi DKI Jakarta dan Target Indonesia Sehat

No Rasio Tenaga Kesehatan

per 100.00 Penduduk DKI Jakarta

Target Indikator Indonesia Sehat

1 Dokter Umum 25,2 40

2 Dokter Gigi 10,8 11

3 Bidan 21,5 100

4 Perawat 198,7 117,5

Sumber: Diolah dari Data Badan PPSDMK, Kemenkes RI, 2013

Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun jumlah tenaga kesehatan di Provinsi DKI Jakarta sudah relatif banyak dan terus bertambah, namun sebenarnya rasionya masih berada di bawah target Indikator Indonesia Sehat. Bahkan untuk tenaga medis terbawah –yang menjadi ujung tombak layanan kesehatan– yaitu bidan dan perawat rasionya masih sangat jauh. Demikian pula rasio Puskesmas yang menjadi ujung tombak fasilitas pelayanan kesehatan. Di Provinsi DKI Jakarta, hanya tiga daerah saja yang angka rasionya berada di atas rata provinsi, sementara tiga daerah lainnya masih berada di bawah rata-rata. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-4:

Rasio Puskesmas di DKI Jakarta per 100.000 Penduduk

Sumber: Pusdatin, Kemenkes RI, 2013.

(11)

Dari sisi ketersediaan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang telah dan terus berupaya melakukan berbagai program, termasuk dan terutama menambah jumlah fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga medis. Upaya ini tampak secara signifikan telah menunjukkan peningkatan atas tersedianya fasilitas dan tenaga kesehatan yang ada di DKI Jakarta. Namun demikian, meskipun jumlah dan angkanya terus meningkat, tapi rasionya masih belum optimal. Hal ini bisa jadi karena tingkat pertumbuhan penduduk di DKI masih sangat tinggi, dan rasio pertumbuhannya masih lebih tinggi ketimbang rasio penanmbahan jumlah fasilitas maupun jumlah tenaga medis. Karena itu, dari sisi ketersediaan, kondisi ini masih membersitkan sejumlah tantangan yang tidak sedikit untuk memantapkan pemenuhan hak publik atas kesehatan di DKI Jakarta.

B. Aksesibilitas.

Keterjangkauan (aksesibilitas) terhadap hak atas kesehatan mencakup empat dimensi yang saling terkait. Pertama, fasilitas dan layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum dan dalam kehidupan nyata, tanpa diskriminasi dengan dasar apapun juga. Kedua, akses secara fisik. Fasilitas dan layanan kesehatan harus dapat terjangkau secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau marginal, misalnya etnis minoritas atau masyarakat terasing, perempuan, anak-anak, dan kelompok marginal lainnya seperti warga di daerah pinggiran dan penyandang cacat. Ketiga, akses ekonomi. Fasilitas kesehatan, layanan kesehatan, serta barang dan jasa kesehatan harus dapat terjangkau secara ekonomi bagi semua kalangan warga. Keempat, akses informasi. Aksesibilitasnya mencakup hak untuk mencari dan menerima atau membagi informasi terkait fasilitas dan layanan kesehatan secara terbuka dan transparan.

Dengan merujuk sejumlah peraturan perundangan yang ada, seperti Perda kesehatan dan Pergub DKI yang relevan dengan isu kesehatan tampaknya tidak ada klausul yang secara eksplisit maupun implisit mendorong sikap dan perilaku diskriminatif. Bahkan ratio legis dari peraturan yang ada secara jelas dan eksplisit mendorong dan mempromosikan kesetaraan warga dalam mengakses layanan kesehatan.12 Dalam tataran yang lebih praksis, sejumlah program

kesehatan Provinsi DKI –termasuk dan terutama misalnya KJS yang menjadi program kesehatan andalan– juga tidak menampakkan unsur-unsur diskriminatif. Bahkan sebaliknya, menjadikan kesetaraan warga sebagai salah satu visi dan prinsip dasarnya: “Jakarta Sehat untuk Semua,” demikian visi yang terus digelorakan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 12

(12)

Demikian juga akses secara fisik berbagai layanan kesehatan yang disediakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terlepas dari jumlah dan rasionya yang masih perlu ditingkatkan, namun bila dibandingkan dengan yang ada di provinsi lain, Provinsi DKI Jakarta masih cukup baik. Tingkat penyebarannya pun terhitung cukup merata. Bahkan, Kabupaten Kepulauan Seribu yang seringkali dianggap dan dipersepsikan sebagai daerah terisolir di DKI Jakarta justru memiliki ketersediaan dan akses paling baik dalam sejumlah aspek kesehatan. Bukan saja dalam ketersediaan sarana fisik kesehatan, bahkan dalam hal jumlah dan rasio tenaga kesehatan pun Kepulauan Seribu lebih baik aksesnya dibanding daerah-daerah lainnya di Provinsi DKI Jakarta. Contoh, misalnya rasio dokter umum dan rasio bidan yang menggambarkan –selain ketersediaan tenaga medis— tapi sekaligus kemudahan akses layanan masyarakat terhadap sarana maupun tenaga kesehatan. Untuk rasio dokter umum, perbandingan angka rinciannya per kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-5:

Perbandingan Rasio Dokter Umum

per 100.000 Penduduk di Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Pusdatin, Kemenkes RI, 2013.

(13)

Tabel-6:

Cakupan Layanan Anak Balita

Karena itu barangkali tidaklah terlalu berlebihan jika Ketua IDI DKI Jakarta, Tony S. Natakarman mengatakana bahwa dari sisi aksesibilitas kesehatan di DKI Jakarta tidak terlalu bermasalah. Apalagi dengan adanya program KJS yang menurut Tony sangat berdampak pada upanya peningkatan akses sekaligus mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan sehingga semakin terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Namun begitu memang harus diakui bahwa program kesehatan yang ada sekarang belum optimal. Masih harus ada upaya keras untuk terus meningkatkan layanan. Dari sisi aksesibilitas, terutama harus ada upaya yang lebih keras lagi untuk mendorong peningkatan aksesibilitas bagi warga yang memiliki kebutuhan khusus, seperti bagi para penyandang cacat, kelompok marginal, kelompok manula, dan kelompok masyarakat lainnya yang “kurang beruntung” sehingga memerlukan intervensi khusus.

Dari segi akses ekonomi program kesehatan yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta sudah termasuk progresif. Hal ini dapat dilihat dari dimensi regulasi dimana produk-produk legislasi yang ada sudah sangat mendukung, baik Perda maupun Pergub yang memperlihatkan adanya ‘kebijakan affirmatif” bagi kelompok miskin dan kurang mampu. Dengan begitu, layanan kesehatan menjadi lebih mudah dan secara ekonomi lebih terjangkau bagi warga kebanyakan.

(14)

Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah, Pergub No. 171 Tahun 2012 Tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Penduduk Rentan, Korban Bencana, dan Penerima Penghargaan, Pergub No. 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan yang kemudian diperbaharui lagi dengan Pergub No.14 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Pergub No. 187 Tahun 2012 Tentang Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan.

Dalam Pergub yang terakhir itu disebutkan cakupan Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan secara lebih luas. Dengan begitu lebih banyak lagi segmen masyarakat yang mendapatkan “Pembebasan Biaya Pelayanan Kesehatan”, mulai dari kelompok miskin dan rentan sampai kelompok masyarakat yang diberi penghargaan, termasuk di dalamnya kelompok lansia dan perangkat pemerintahan terendah, seperti RT, RW, dan perangkat desa/kelurahan. Mereka sebetulnya bukan tidak membayar layanan kesehatan, tapi pembayarannya ditanggung oleh negara melalui anggaran kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah. “Dari sisi anggaran, program KJS itu hampir tidak ada masalah karena sebenarnya Pemda DKI punya uang yang sangat cukup, bahkan bisa dibilang unlimited sehingga kita mampu membayar klaim rumah sakit mana pun,” ujar Theryanto, Kepala Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Namun masih ada kesan kuat di benak kita bahwa layanan kesehatan itu seperti gratisan sehingga ‘asal-asalan’. Padahal, pemerintah maupun Pemda membayar semua klaim pelayanan kesehatan itu. Karena itu, Pergub kesehatan yang terus diperbaharui itu pada dasarnya untuk mendekatkan akses ekonomi masyarakat kebanyakan atas layanan kesehatan yang tersedia, semisal KJS.

Dari sisi akses informasi, pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sudah tergolong maju. Sineas yang juga pemerhati kebijakan publik, Garin Nugroho menilai berbagai upaya keterbukaan yang ditunjukkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti penyediaan informasi mengenai regulasi atau legislasi daerah, program-program Pemda beserta penganggarannya secara transparan dan terbuka itu

merupakan langkah positif yang sangat baik. “Pengumuman tentang anggaran

daerah sudah diumumkan di berbagai tempat, namun yang penting lagi adalah kesadaran menggunakan informasi itu. Jadi kalau timbulnya masyarakat informatif harus timbul kesadaran bagaimana menggunakan

informasi lewat sistem pelayanan publik secara baik,” ujarnya.13

Senada dengan itu, Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Yulianto Widirahardjo, menilai bahwa saat ini ada perkembangan sangat signifikan tentang keterbukaan informasi publik di DKI Jakarta. Hal ini antara lain dan terutama lantaran pucuk pimpinannya, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI

Jakarta yang lebih mengedepankan transparansi. “Dengan sikap seperti itu mau

tidak mau seluruh jajaran di bawahnya akan mengikuti,” ucapnya.14 Menurut

Yulianto, pelaksanaan Undang-undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

13

Simak: http://kebebasaninformasi.org/2013/10/16/keterbukaan-informasi-di-dki-hingga-tingkat-kelurahan/

(15)

Informasi Publik (KIP) telah diimplementasikan Pemda DKI, baik dalam penyediaan media informasi berbasis internet maupun media konvensional seperti papan pengumuman (mading) yang ditempel di semua kantor kelurahan.

Demikian pula keterbukaan informasi dalam hal akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut Yulianto, salah satu nilai lebih program KJS dibandingkan program-program kesehatan lainnya dan program-program kesehatan sebelumnya antara lain dan terutama dalam hal keterbukaan informasi. “Dari sisi akses informasi, program KJS ini sudah sangat informatif dan sangat terbuka, serta mudah diakses oleh publik. Dalam situs resmi Pemda DKI atau website khusus mengenai program KJS selain juga di media-media mainstream, informasi mengenai KJS sudah demikian massif sehingga masyarakat bukan saja dapat mengaksesnya tapi sekaligus juga bisa mengkritisinya. Ini saya kira sangat baik bagi iklim keterbukaan informasi,” tambah Yulianto.

Sebagai salah satu program andalan bidang kesehatan, KJS sepertinya memang dirancang menjadi program yang partisipatif. Berbagai masukan sejak awal program ini dicanangkan hingga kini terus bergulir banyak masukan diakomodasi sehingga sebagai sebuah program KJS terus berevolusi mengalami sejumlah penyempurnaan signifikan. Ini tampak pada munculnya “KJS versi baru” yang terus mengalami pemutakhiran sampai pada level paling teknis sehingga, misalnya, secara on-line trend penyakit di DKI lebih mudah dipetakan. Demikian pula kapasitas dan densitas pemakaian Puskesmas dan Rumah Sakit dapat terpantau secara on-line dan real-time. Kondisi dan kualitas layanan kesehatan yang baik seperti ini dapat dicapai, salah satunya, karena adanya keterbukaan informasi sebagai salah satu kuncinya.

C. Kualitas

(16)

Tabel-7:

Cakupan Persalinan Ditolong Tenaga Medis

Sumber : Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2012

Demikian pula mengenai tingkat kematian bayi, angka kematian balita dan kematian ibu melahirkan yang angkanya relatif baik dan sudah memenuhi target MDG’s. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa Angka Kematian Banyi 22 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 23 per 1000 kelahiran hidup. Sementara angka kematian balita 31 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 32. Demikian pula angka kematian ibu melahirkan, 41 per 1000 kelahiran hidup, lebih rendah dari target MDG’s, yakni 44 per 1000 kelahiran hidup. Rincian angkanya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-8:

AKB/B dan AKI (2012)

NO SDKI 2012 Target MDG’s

1 AK Bayi 22 23

2 AK Balita 31 32

3 AK Ibu 41 44

Sumber: SDKI, 2012

(17)

Tabel-9:

Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi

Sumber : Ditjen Gizi dan KIA Kemenkes RI, 2013.

Kualitas cakupan pelayanan kesehatan balita juga memperlihatkan angka sangat positif. Secara umum, hampir semua daerah kota/kabupaten yang ada di Provinsi DKI Jakarta memperlihatkan capaian sangat baik, reratanya per provinsi mencapai 89,75. Dengan rerata ini angkanya telah melampaui target Renstra Kesehatan (81%), kecuali Jakarta Pusat (80,48). Kepulauan Seribu dan Jakarta Selatan bahkan jauh melampaui target Renstra Kesehatan Nasional. Rincian angkanya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-10:

Cakupan Pelayanan Kesehatan Balita

(18)

Capaian kemajuan taraf kesehatan lainnya dapat dilihat dari upaya pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mendorong warganya untuk berperilaku hidup sehat. Upaya ini antara lain tampak, misalnya, pada upaya-upaya dan program pencegahan terhadap penyakit menular, program penciptaan sanitasi dan penyediaan air bersih, baik aspek kualitas fisik air bersih maupun akses terhadap air minum bersih yang berkualitas, serta akses terhadap pembuangan tinja secara layak.

Dalam hal program pencegahan terhadap penyakit menular, pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan berbagai upaya, terutama terkait sejumlah penyakit menular yang banyak menjangkit masyarakat, seperti TB Paru, HIV/Aids, dan terutama belakangan yang banyak mewabah adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Untuk itu, Pemda DKI bahkan mengeluarkan Perda khusus terkait penanganan DBD di DKI Jakarta, yaitu Perda DKI No.6 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue. Upaya penting lainnya adalah program prefentif untuk menangkal mewabahnya penyakit menular melalui kegiatan imunisasi dasar, seperti imunisasi DPT, folio, dan campak. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-11:

Cakupan Imunisasi Campak/DPT/HB-1 Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Ditjen PPPL, Kemenkes RI, 2013

(19)

upaya-upaya dan program pemerintah dalam mencapai tingkat kualitas kesehatan yang telah dilakukan pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalu beragam program yang mendorong perilaku hidup sehat serta bagaimana perbandingan hasil dan capaian upaya itu dengan target capaian Renstra Kesehatan Nasional.

Tabel-12:

2 Presentase penduduk terhadap akses air minum layak

29.5 44,2

3 Presentase rumah tangga terhadap akses air minum berkualitas

87 67,5

4 Presentase rumah tangga terhadap kualitas fisik air minum yang baik

92,5 90

5 Presentase penduduk terhadap sanitasi layak

84,5 55,3

6 Presentase rumah tangga menurut akses terhadap pembuangan tinja secara layak

82,7 55,5

Sumber: Pusat Promosi Kesehatan, Kemenkes, 2013.

Capaian dan hasil atas berbagai upaya dan program tersebut menunjukkan bahwa tingkat dan taraf kualitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta relatif sudah cukup baik. Kecuali dalam hal akses penduduk terhadap air minum yang layak, hasil dan capaian lainnya, seperti penyediaan sanitasi, ketersediaan air dengan kualitas fisik yang baik, serta akses terhadap pembuangan tinja secara layak, sudah mencapai dan bahkan melampaui Target Renstra Kesehatan Nasional. Demikian pula program-program dan upaya prefentif untuk menangkal mewabahnya penyakit menular melalui kegiatan imunisasi dasar, seperti imunisasi DPT, folio, dan campak telah memperlihatkan kualitas yang cukup baik.

(20)

ujarnya.15 Hal senada juga disampaikan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI

Jakarta, Tony S. Natakarman. Menurut Tony, kondisi dan taraf kesehatan di DKI Jakarta bahkan sudah sangat baik. Beragam upaya yang telah dilakukan pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama melalui program KJS telah mendorong pencapaian target program MDG’s bidang kesehatan dan bahkan berada di atas rata-rata capaian tingkat nasional, baik dari sisi ketersediaan sarana-prasarana kesehatan, ketersediaan tenaga medis, maupun beragam program layanan kesehatan pada umumnya.16

.

Pemenuhan Hak Atas Pendidikan

Dasar pertimbangan atas lahirnya Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Selanjutnya, Pasal 4 UU Sisdiknas ini memberikan penekanan atas pentingnya aspek hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu pegangan pokok dalam aktivitas pendidikan: “Bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.”17

Dalam konteks hukum HAM internasional, elemen kunci indikator hak atas pendidikan dasar mengacu pada Komentar Umum No. 13 KIHESB yang memuat pengaturan mengenai hak untuk menikmati pendidikan dasar yang layak di suatu negara. Pada komentar umum tersebut dinyatakan bahwa segala bentuk pendidikan dan tingkatan harus memperbanyak fitur-fitur yang saling berkaitan dan esensial pada empat elemen kunci yang menjadi parameter, yaitu: ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan/dapat diterima (acceptability), dan kebersesuaian/dapat diadaptasi (adaptibility). Setiap elemen kunci tersebut terdiri dari indikator struktur, proses, dan hasil.

Indikator struktur mencerminkan hukum nasional yang relevan. Indiktor ini menunjukkan komitmen pelaksanaan kewajiban negara dan penerimaan atas standar-standar HAM. Indikator proses mencerminkan upaya negara mewujudkan komitmennya sebagaimana tertuang dalam indikator struktur. Indikator ini merujuk semua langkah, termasuk program-program publik dan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

15Koran Jakarta: Rabu, 21 Maret, 2012. 16

Wawancara dengan Tony S. Natakarman, Jakarta: Kamis, 3 Oktober 2013.

(21)

intervensi-intervensi khusus. Indikator ini menjelaskan perwujudan secara progresif suatu hak dan menggambarkan upaya-upaya negara dalam melindungi hak atas pendidikan dasar. Indikator hasil akan mengungkap pencapaian upaya atau program, baik yang bersifat individu maupun kolektif, yang menggambarkan tingkat pemenuhan hak atas pendidikan.

Berbasiskan penelitian yang telah dilakukan Komnas HAM sebelumnya18,

penelitian ini akan berfokus pada dua elemen kunci yang dipandang paling relevan yaitu ketersediaan dan aksesibilitas. Indikator ini pula yang akan digunakan untuk melihat tingkat pemenuhan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam tataran implementasinya, kedua elemen kunci tersebut beririsan dengan tiga ranah pendekatan, yaitu: struktur, proses, dan hasil. Setiap elemen kunci mengukur tiga indikator yang menjadi satu kesatuan secara integratif untuk memandang komitmen dari struktur, upaya atau proses terutama terkait legislasi dan kebijakan yang mendukung, serta hasil dari perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta dalam bentuk kegiatan dan program pendidikan yang dilakukan. Kerangka model evaluasi ini secara illustratif dapat divisualisasikan sebagai berikut.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(22)

A. Ketersediaan

Pada level struktur, pemenuhan hak atas pendidikan perlu mengacu pada sumber hukum perundangan tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konstitusi negara kita barangkali pendidikan dipandang merupakan aspek paling penting dan mendasar sehingga dalam konstitusi disebutkan secara eksplisit hak warga dan sekaligus kewajiban negara untuk memenuhinya sampai pada penyebutan nominal anggarannya. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa “ (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’ (3) ... ; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”19 Pesan yang sama juga dapat kita simak

pada Undang-Undang no.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Selanjutnya, dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, dasar normatif tersebut dijabarkan dalam serangkaian regulasi daerah, baik melalui Perda, Pergub, Surat Keputusan Gubernur, maupun Surat Keputusan dan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Menurut Tri Joko, Kepala Sub-Bagian Perda, Setda Provinsi DKI Jakarta, regulasi bidang pendidikan di DKI Jakarta merupakan yang terbanyak dan mungkin paling komplit.20 Selama tahun 2013 saja lebih dari sepuluh regulasi

mengenai pendidikan yang ada di DKI Jakarta. Namun demikian, meskipun secara kuantitatif sangat banyak, anatomi regulasi pendidikan secara umum dapat dipetakan sebagai berikut.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

19 Simak Pasal 31 UUD 1945 beserta penjeasannya.

(23)

Bagan tersebut menunjukkan adanya ketersediaan struktur yang mendukung pemenuhan dan perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam konteks DKI, mulai dari Perda DKI No. 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan, beragam Pergub tentang pendidikan yang menjadi turunan pelaksanaannya hingga ke level petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaannya (juklak). Dalam hal Pergub pendidikan, untuk tahun 2013 saja, misalnya, ada tiga Pergub yang dikeluarkan, yaitu: Pergub No.34 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Negeri; Pergub No.36 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Swasta; Pergub No. 23 tahun 2013 Tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar. Sejumlah produk regulasi ini yang kemudian akan tercermin dan terimplementasikan dalam ragam program pendidikan.

Dari sisi proses, Pemda DKI juga telah menunjukkan beragam upaya terkait program layanan pendidikan, terutama program publik dalam bentuk intervensi khusus yang mendorong pemenuhan hak atas pendidikan. Program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dengan segala program turunannya bahkan menjadi ikon tersendiri yang sekaligus menjadi salah satu program andalan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang pendidikan. Namun demikian, di luar program KJP yang paling massif, program pendidikan lainnya juga sebetulnya cukup beragam, termasuk dan terutama misalnya “Program Wajib Belajar” yang sedikit banyak memiliki implikasi paling nyata terhadap capaian hasil dan kualitas pendidikan di DKI Jakarta.21

Capaian penting lainnya yang perlu dikemukakan dan dideskripsikan secara lebih detil dari indikator ketersediaan adalah dimensi hasil. Dalam konteks ini kita akan melihat bagaimana target dan capaian beberapa aspek terkait pemenuhan dan perwujudan hak atas pendidikan, seperti jumlah sarana pendidikan, SDM dan tenaga pendidikan yang dimiliki, terutama guru beserta rasionya serta implikasinya terhadap tingkat kemampuan baca tulis, maupun capaian makro yang lebih progresif, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tentu saja sangat dipengaruhi taraf dan capaian hasil pendidikan.

Data Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa rasio siswa terhadap sarana-prasarana pendidikan dan tenaga pendidik (guru) relatif baik. Demikian juga rasio siswa terhadap ketersediaan kelas. Hal ini dapat disimak pada tabel berikut.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(24)

Tabel-13:

Jumlah Sekolah, Guru, Murid, dan Ruang Kelas Menurut Jenis Sekolah Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, 2012/2013

Dibandingkan angka-angka tahun sebelumnya, perkembangan jumlah sekolah mengalami perubahan yang bervariasi. Pada tahun 2011/2012, misalnya jumlah total sekolah TK dan SMP meningkat menjadi 1.802 (TK), dan 958 (SMP). Sementara SD dan SMA justru menurun, yakni menjadi 2.938 (SD) dan 486 (SMA). Sementara jumlah guru dan siswa untuk semua tingkatan meningkat. Adapun jumlah ruang kelas relatif tetap, dan kalau pun ada penambahan maupun pengurangan angka tidak terlalu signifikan. Kondisi ini tentu akan melahirkan masalah dalam hal ketersediaan ruang kelas. Masalah susulan lainnya terkait kondisi ruang kelas itu sendiri yang banyak dikabarkan mengalami penyusutan kualitas fisiknya. Bahkan, ratusan ruang kelas akhir-akhir ini dikabarkan rawan ambruk.

Hingga saat ini, ada sekitar 744 unit sekolah negeri di Jakarta yang diperkirakan rawan ambruk. Rawan ambruk akibat atap sekolah tersebut masih menggunakan kayu sehingga ke depan harus diganti dengan atap penyangga baja ringan. “Sesuai instruksi bapak wakil gubernur mulai tahun depan semua gedung sekolah yang masih menggunakan kayu sebagai penyangga atap akan diganti menjadi baja ringan. Saya kira instruksi pimpinan merupakan hal baik untuk menghindari munculnya gedung rawan ambruk,” ujar Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Didi Sugandhi. 22 Karena itu,

Disdik DKI juga berencana untuk segera melakukan renovasi sejumlah sekolah yang secara fisik sudah kurang layak. “Kita sudah ajukan daftar gedung sekolah rawan ambruk. Mudah-mudahan dewan mendukung semua program yang diajukan. Ini jadi prioritas kami selama ini,” tambah Didi.

Sementara itu, dari sisi peserta didiknya sendiri meskipun pemerintah Provinsi DKI telah melakukan program pendidikan secara massif, nyatanya belum mampu menggenjot peningkatan secara sangat signifikan terhadap tingkat pendidikan. Hingga kini, presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(25)

menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan masih menyisakan angka lulusan pendidikan Sekolah Dasar dan yang belum tamat Sekolah Dasar dalam jumlah yang cukup tinggi, yakni sekitar 27 persen. Rinciannya dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-14:

Presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

No Jenis Pendidikan Tahun

2011 2012

1 Tidak Sekolah dan belum tamat SD

10,36 9,85

2 Sekolah Dasar 18,75 17,75

3 Sekolah Lanjutan Pertama 19,38 19,86 4 Sekolah Lanjutan Atas 37,27 37,99 5 Akademi/Universitas 14,24 14,46 Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2012.

Data tersebut menunjukkan bahwa presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan presentasinya masih didominasi tamatan pendidikan dasar (SD dan SLTP), yakni hampir mendekati angka 50 persen, jauh lebih besar ketimbang lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi. Bahkan data lainnya menunjukkan bahwa angka buta aksara di DKI Jakarta juga masih tergolong tinggi. Hal ini dapat disimak pada tabel berikut.

Tabel-15:

Presentase penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang tidak bisa menulis dan membaca

No Kota/ Kab

Tidak dapat membaca dan menulis Laki-laki Perempua

n

Jumlah

1 Kepulauan Seribu 124 331 455

2 Jakarta Selatan 2.750 9.015 11.765

3 Jakarta Timur 3.450 6.450 9.900

4 Jakarta Pusat 425 3.404 3.829

(26)

B. Keterjangkauan (Aksesibilitas)

Aksesibilitas terhadap hak atas pendidikan mencakup tiga dimensi yang satu sama lain saling berhubungan dan saling menguatkan. Pertama, prinsip “tanpa diskriminasi. Bahwa pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa kecuali. Segala fasilitas dan perwujudan atas hak pendidikan harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum dan dalam kehidupan nyata, tanpa diskriminasi dengan dasar apapun juga. Kedua, akses secara fisik. Fasilitas dan pemenuhan hak atas pendidikan harus dapat terjangkau secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau marginal, misalnya etnis minoritas atau masyarakat terasing, perempuan, anak-anak, dan kelompok marginal lainnya. Ketiga, akses ekonomi. Biaya pendidikan harus terjangkau oleh semua orang. Untuk pendidikan dasar bahkan mengacu pada Pasal 13 ayat (2) KIHESB dimana pendidikan dasar harus "bebas biaya bagi semua orang".

Dengan merujuk sejumlah regulasi pendidikan yang ada, seperti Undang-Undang, Peraturan pemerintah, Perda, Pergub, dan bahkan dalam konstitusi UUD 1945 sebagai hukum formal tertinggi tampaknya tidak ada klausul yang secara eksplisit maupun implisit mendorong sikap dan perilaku diskriminatif. Bahkan, dasar pertimbangan dari Perda DKI Tentang Sistem Pendidikan secara jelas dan eksplisit mendorong dan mempromosikan kesetaraan warga dalam mengakses hak atas pendidikan. Demikian pula dalam UU Sisdiknas dan UUD 1945, prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan selalu didasarkan pada kaidah dan nilai-nilai kesetaraan, kemajemukan, keadilan, demokrasi, dan penghormatan atas hak asasi manusia.23 Meskipun demikian, dalam taran

praksis memang harus diakui masih adanya kenyataan dimana dunia pendidikan masih menjadi alat penyekat primordialitas, baik yang berbasis etnis maupun agama. Namun begitu mainstream umumnya masih dalam koridor dan semangat tanpa diskriminasi, karena sejauh ini tidak ditemukan, misalnya, kasus penolakan peserta didik dari kelompok minoritas/rentan (berdasarkan agama, gender, ras, etnis, dan disabilitas) untuk masuk sekolah.

Dari sisi aksesibilitas fisik, perwujudan hak atas pendidikan di DKI Jakarta boleh dibilang sudah cukup baik. Faktanya, sebaran sarana dan parasara pendidikan sudah tersedia dengan cukup merata, termasuk di daerah-daerah yang sebelumnya masuk kategori sebagai daerah terpencil, seperti Kepulauan Seribu. Saat ini dapat dipastikan untuk seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta pasti memiliki setidaknya satu SMA negeri di setiap kota/kabupaten, SLTP negeri di !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(27)

setiap kecamatan, dan beberapa SD negeri di setiap kelurahan/desa. Dalam rangka memenuhi dan mencapai aksesibilitas fisik terhadap layanan pendidikan dasar, Pemda DKI bahkan telah membuat regulasi spesifik, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.060/U/2002 Tentang Pedoman Pendirian Sekolah; Pergub DKI No.105 Tahun 2012 Tentang Prosedur Pendirian, Penggabungan, dan Penutupan Lembaga Pendidikan dan “program rayonisasi sekolah” yang intinya untuk mendekatkan akses fisik siswa terhadap lembaga pendidikan. Selain itu, dalam Pergub tentang KJP juga sudah diakomodasi elemen anggaran untuk transportasi pulang-pergi dari rumah ke sekolah. Ini semua menunjukkan bahwa dari sisi akses fisik sebetulnya sudah hampir tidak ada masalah. Karena dari sisi regulasi maupun program telah ada upaya-upaya antisipatif untuk menjawab persoalan itu. Namun begitu tetap saja harus ada catatan kritis mengenai hal ini. Terutama terkait soal memburuknya berbagai fasilitas pendidikan, seperti makin banyaknya jumlah gedung sekolah yang rawan ambruk24 dan nihilnya perhatian untuk fasilitas-fasilitas penunjang

seperti toilet/jamban, terutama di lingkungan Sekolah Dasar.

Dari sisi aksesibilitas ekonomi perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta sebenarnya sudah sangat baik, bahkan dapat dibilang progresif. Hal ini dapat dilihat dari dimensi regulasi dimana produk-produk legislasi yang ada sudah sangat mendukung, baik Perda maupun Pergub yang memperlihatkan adanya ‘kebijakan affirmatif” bagi kelompok miskin dan kurang mampu untuk mendapatkan dana pendidikan. Dengan mengacu pada beberapa regulasi pendidikan paling mutakhir –seperti Pergub No.34 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Negeri; Pergub No.36 Tahun 2013 Tentang Biaya Operasional Pendidikan SD/MI Swasta; Pergub No. 23 tahun 2013 Tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar– dana pendidikan yang dikeluarkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan tidak terbatas pada level pendidikan dasar, tapi juga untuk siswa SMA dan SMK. Selain itu bahkan masih ada sumbangan biaya lainnya, misalnya uang praktek untuk SMK.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai bahwa secara umum akses pendidikan di DKI Jakarta sudah terpenuhi dengan baik, tapi perlu juga ada pembedaan antara Pendidikan Dasar (SD dan SMP) dengan SLTA (SMA dan SMK). Untuk level SLTA, menurutnya masih harus dikritisi karena

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(28)

datanya menunjukkan bahwa angka putus sekolah masih banyak ditemukan, berbeda dengan level SD dan SLTP. Menurut Retno, hal Ini perlu dipertanyakan secara kritis, apakah karena aspek ekonomi (biaya pendidikan) yang berhubungan dengan anggaran pendidikan atau karena aspek lain? Dengan melihat berbagai upaya perbaikan program KJP dengan penganggarannya, mestinya dengan kebijakan ini sudah tidak ada alasan lagi siswa putus sekolah di DKI, meski kenyataannya ternyata masih ada.25

Di luar itu, ada catatan tambahan penting lainnya yang justru memperlihatkan “angka merah” terkait perwujudan hak atas pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, yaitu soal kualitas. Retno Listyarti menilai bahwa dari sisi kualitas, pendidikan di DKI Jakarta masih sangat krusial. Setidaknya, ada tiga masalah mendasar yang terkait satu sama lainnya, yaitu: tenaga pendidik (guru), sarana dan prasarana, serta mentalitas para penyelenggara pendidikan yang ujungnya berdampak pada masih rendahnya kualitas out-put pendidikan.

Pertama, masalah guru. Mestinya kita berangkat dari Tupoksi guru sebagai pendidik. Acuannya terutama bisa merefer ke Undang-Undang Guru dan Dosen. Tugas profetik guru menurut UU No.14 Tahun 2005 itu adalah merencanakan pembelajaran, melakukan proses pembelajaran serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran secara professional. Karena itu, guru semestinya memainkan multi-peran secara variatif mulai sebagai konservator, transformator, planner, komunikator, motivator, dan evaluator secara kreatif dan inovatif. Namun nyatanya guru saat ini lebih banyak terjebak pada pola rutinitas formal, sekadar mengajar, tidak ada waktu untuk belajar dan mengembangkan diri dan ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap output kualitas pendidikan.

Kedua, soal sarana-prasarana pendidikan. Ini mungkin lebih bervariasi masalahnya. Perlu dibedakan terutama misalnya sanpras pendidikan SLTA dengan SD. Kalau untuk SMA boleh dibilang sudah cukup representatif baik ketersediaan ruang kelas, ruang guru, sarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium sampai ke jamban siswa. Kalau untuk tingkat Sekolah Dasar (bahkan sebagian juga untuk level SMP) kondisi sanprasnya sangat memperihatinkan. Contoh untuk banyak kasus SD negeri di Jakarta ruang kelasnya masih kurang dan bahkan dipake bersama secara bergantian. Ruang dan meja guru juga demikian, dipakai secara berbagi (sharing) antara guru pagi dan guru siang/sore. Jadi bayangkan, ada guru sampai antri untuk memakai ruang kelas dan raung/meja guru, karena guru pagi belum selesai sementara guru siang/petang sudah datang. Demikian juga siswa-siswanya, jadi krodit juga !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(29)

suasasna di sekolah. Ini menyedihkan, karena efeknya juga berdampak pada waktu belajar siswa yang terpotong. Karena ruang kelas dipake pagi dan siang/petang maka jam pelajaran pun dipersempit, misalnya 1 jam pelajaran = 30 atau 35 menit, bahkan ada yang 25 menit. Kondisi ini tentu berpengaruh pada kualitas pendidikan yang buruk.

Ketiga, soal mentalitas para penyelenggara pendidikan, ini terutama para “pejabat” struktural seperti kepala sekolah, kepala dinas, dan sebagainya, beberapa (atau mungkin sebagian besar) masih memelihara mental lama: sulit mendengar dan menerima kritik, padahal untuk perbaikan dan kemajuan dunia pendidikan. Pengangkatan orang-orang kunci di level pendidikan juga masih melihat kedekatan, patron-klien, bukan atas dasar prestasi dan kecakapan atau kinerjanya. Untuk ini saya rencana Jokowi-Ahok untuk melakukan lelang jabatan di lingkungan Dinas Pendidikan dengan berbasiskan prestasi dan kinerja perlu didukung. “Jadi bukan Kepala Dinas saja, termasuk jabatan Kepala Sekolah juga bisa dilelang tapi dengan pendekatan meritokrasi. Saya kira ini akan berdampak baik pada dunia pendidikan karena semua terpacu untuk berprestasi dan berkinerja baik, bukan berlomba-lomba untuk menjilat atasan,” tambah Retno.

Hal penting lainnya, menurut Retno, perlu ada kritisme terhadap diskriminasi organisasi guru, dimana yang diakui secara formal oleh pemerintah hanya PGRI. Padahal, menurut data BPK, PGRI mendapat berbagai fasilitas dari negara, baik dari APBD maupun APBN. Jadi seharusnya PGRI tidak boleh lagi melakukan pungutan-pungutan seperti pemotongan gaji ke-13 dan berbagai potongan lainnya atas gaji guru. Data BPK bahkan menyebutkan bahwa APBN 2013 memberikan Rp 10 miliar untuk operasional kegiatan PGRI. Sementara APBD DKI Jakarta 2013 melalui anggaran Dinas Pendidikan memberikan dana 750 juta untuk PGRI. Fakta ini juga membuktikan bahwa pemerintah masih bersikap diskriminatif terhadap organisasi guru yang lain.

Diskusi dan Rekomendasi

(30)

Pemenuhan hak atas kesehatan di DKI Jakarta mengalami peningkatan cukup signifikan pasca pergantian pemerintahan Jokowi-Ahok. Dari ketiga ranah yang dijadikan basis pengkajian, yaitu struktur, proses, dan hasil, kinerja hak atas kesehatan mengalami peningkatan. Berbagai kebijakan dan legislasi terkait hak atas kesehatan dibarengi upaya-upaya implementasinya telah menunjukkan capaian angka-angka positif yang juga diiringi tingkat kepuasan dan harapan yang sangat positif dari warga Jakarta umumnya. Angka-angka capaian indikator yang dideskripsikan di atas cukup mengkonfirmasi kinerja positif dalam hal akes dan pemenuhan hak atas kesehatan.

Adapun untuk pemenuhan hak atas pendidikan tampaknya masih stagnan. Meskipun dari sisi proses legislasi dan kebijakan sudah diupayakan berbagai terobosan yang cukup progresif, namun di tingkat struktur, terutama struktur pelaksana di bawah Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tampak kurang greget. Bahkan sejumlah rencana perbaikan yang sudah disepakati pun kesulitan implementasinya karena ketidaksiapan struktur pelaksananya. Hal ini sekaligus menjadi penghambat sehingga sejumlah indikator pencapaian hasil hak atas pendidikan cenderung stagnan, meskipun beberapa indikator lainnya mengalami sedikit perbaikan. Karena itu, “kebijakan susulan” yang kemudian banyak dipromosikan Ahok seperti lelang jabatan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan bisa jadi merupakan terobosan untuk memecah kebuntuan di level “struktur” untuk mendongkrak proses dan hasil yang lebih baik dalam kaitannya dengan akses dan perbaikan hak atas pendidikan di DKI Jakarta.

Terpilihnya Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini membawa angin segar bagi banyak hal, termasuk dan terutama dalam hal perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob. Hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan yang merupakan hak paling mendasar telah direspon Jokowi-Ahok dengan “Kartu Jakarta Sehat” dan “Kartu Jakarta Pintar” di level DKI Jakarta. Dengan runningnya Jokowi ke pentas nasional setidaknya kita dapat berharap agar program ini dapat diproyeksikan menjadi kebijakan nasional. Dengan begitu, perbaikan dan peningkatan atas pemenuhan hak Ekosob, terutama hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Salah satunya, misalnya dengan mempromosikan “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar” di level nasional. ***

Referensi

Dokumen terkait

Mulai tahun 2013, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 tahun 2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan Dalam Rangka

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis uji pengaruh yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh modifikasi pembelajaran bola kecil

PERMAINAN BOLA VOLI: Pengertian, Sejarah, Peraturan & Teknik Dasar Bola Voli Permainan Bola Voli termasuk salah satu olahraga yang diminati oleh banyak orang, termasuk

Upaya Kabupaten Garut melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut menyajikan gambaran rinci tentang Rencana Strategis (Renstra) lima tahun

Ribuan sampai jutaan butiran polen akan menempel pada permukaan tubuh, selanjutnya dibersihkan dengan rambut-rambut yang ada pada tungkai dan masuk ke dalam keranjang khusus yang

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan masyarakat desa Payaman kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan adalah bahwa

Perubahan arah perpindahan dari stasiun pengamatan terletak di bagian utara pulau Sumatera, yang disebabkan oleh gempa bumi Aceh yang terjadi pada bulan Desember 2004

Dalam penelitian ini gempa yang terjadi pada tanggal 11 April 2012 dijadikan subjek untuk melihat pergeseran salah satu stasiun SuGAr (UMLH) yang terletak di Provinsi