Lebaran, Dilema dua sisi yang saling melukai
“Kalau ingin sukses datanglah ke Jakarta”, itulah yang selalu didengung-dengungkan kebanyakan orang jika mereka ingin menjadi sukses dan kaya raya. Hastrat untuk menjadi sukses selalu diidentikkan dengan pergi ke Ibukota karena kesempatan meraih kesuksesan di Ibukota jauh lebih terbuka daripada di desa dan/atau kota-kota lainnya di Indonesia. Apalagi menjelang momen lebaran saat ini, sudah pasti banyak yang akan membawa sanak saudara mereka dari kampung halaman ke Ibukota Jakarta, padahal Jakarta sudah penuh sesak dengan banyaknya lautan manusia. Banyak alasan yang dipakai, mulai dari menyebabkan kekumuhan, akan hanya menjadi pengangguran, menyebabkan kemacetan, dan sebagainya. Mungkin hal-hal yang disebutkan itu benar, tetapi negeri ini suka melihat masalah dari kulitnya saja, tidak melihat secara keseluruhan bagaimana caranya agar masalah yang sama tidak terulang kembali. Tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana sebenarnya jalan keluar bagaimana memecah masalah ini agar pemprov DKI Jakarta tidak dituduh sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena melarang warga dari kota lain untuk datang ke Jakarta sekaligus mengubah paradigma agar Jakarta tidak lagi menjadi primadona sebagai tempat meraih kesuksesan.
Makna HAM, dilema dua sisi
alasan sewenang-wenang. Hal inilah yang harus dipahami oleh pemprov DKI Jakarta bahwa tidak boleh melarang orang sembarangan untuk berpindah-pindah tempat termasuk pergi ke Ibukota Jakarta dengan operasi Yustisi maupun dengan cara-cara kasar maupun halus yang akan dilakukan karena Indonesia sendiri sudah terikat dengan kedua kovenan tadi. Dalam hukum internasional, bila suatu negara sudah meratifikasi sebuah perjanjian maka negara tersebut wajib tunduk kepada isi dari perjanjian tersebut, dan terikat secara hukum dalam isi-isi pasalnya. Indonesia juga secara moral terikat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang tiap 10 Desember diperingati masyarakat dunia, meskipun deklarasi hanya terikat secara moral, bukan secara hukum. Berbekal kedua perjanjian internasional inilah, Indonesia menyetujui HAM sebagai moralitas baru dalam masyarakatnya. Dilema inilah yang mungkin dialami oleh pemprov DKI Jakarta, di satu sisi ingin merapikan kota Jakarta, tapi di satu sisi takut dibilang akan melanggar HAM. Persoalan-persoalan inilah yang menganggu apakah melanggar HAM atau soal tata estetika kota dan sebagainya. Maka dari itu berbagai macam dilakukan agar mencegah datangnya pendatang baru sehabis libur lebaran nanti, yang mungkin sudah menjadi tradisi dimana mereka yang pulang kampung akan membawa sanak saudaranya untuk mengadu nasib di Ibukota. Jika pada jaman Gubernur Sutiyoso dilakukan operasi Yustisi kependudukan, tetapi pada jaman Gubernur Joko Widodo dilakukan dengan cara yang lebih halus dan lebih “ngemong”. Pernyataan keras justru dilontarkan oleh Wakil Gubernur Basuki Tjahja Purnama yang melarang orang yang tidak mempunyai pekerjaan untuk datang ke Jakarta. Mungkin cara-cara yang dilakukan seorang pemimpin haruslah otoriter, tetapi cara-cara tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab akar permasalahannya sendiri pun tidak dicabut, hanya memotong ranting-ranting dan daunnya saja akan menyebabkan pohon tersebut tumbuh lagi. Dan yang terjadi adalah kita akan lelah sendiri melihat permasalahan yang terus ada, padahal masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan di Jakarta yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit tentunya. Jika permasalahan ini diteruskan, maka energi kita akan tersedot oleh hal-hal yang menyebabkan kemunduran bangsa ini. Padahal-hal bangsa lain sudah memikirkan bagaimana caranya membuat teknologi-teknologi yang canggih, sementara bangsa kita justru sibuk mengurusi hal-hal seperti ini.
tertanam seperti itu yang menyebabkan mereka terus berdatangan ke Ibukota. Inilah bukti bahwa negara kita tidak memprioritaskan mana yang lebih dulu penegakan HAM yang harus didahulukan dan dapat menunjukkan hasil yang nyata. Pendidikan dalam khazanah HAM termasuk hak-hak positif dimana membutuhkan peran negara dalam mewujudkan HAM tersebut. berarti dalam bidang pendidikan, pemerintah harus peduli dan bijak dalam menyelenggarakan pendidikan. Bukan seperti sekarang, justru pendidikan carut marut dan malah menimbulkan banyak masalah.
Hal inilah yang harus direnungkan setiap pihak jika ingin di antara kita tidak melanggar HAM tanpa kita sadari. Proses ini membutuhkan waktu yang amat panjang dan melelahkan, dan juga membutuhkan kepedulian dan kebijaksanaan terutama dari negara khususnya pemerintah. Jika hal ini tidak dimulai dari sekarang, jangan salahkan Pemprov DKI Jakarta jika mereka terus mencari cara agar melarang pendatang baru masuk ke lingkungan Ibukota. Hal ini harus kita sadari dan direnungkan secara bersama-sama.
Remigius Nikolas Wijaya
Mahasiswa Semester 6