• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Sosial Social Protection un

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Sosial Social Protection un"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Sosial (

Social Protection

) untuk Buruh Migran Indonesia

Perlindungan terhadap buruh migran yang rentan dalam konteks perlindungan hukum memang menjadi prioritas advokasi kebijakan yang dilakukan berbagai kalangan selama ini khususnya di Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan banyaknya kasus kekerasan, pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran terhadap hak buruh migran. Advokasi dari masalah pra pemberangkatan seperti perlindungan di tempat penampungan dan balai pelatihan hingga pasca kepulangan seperti kasus pemerasan di bandara memang begitu mengemuka. Hingga kini, usaha untuk mendorong terciptanya sistem dan kebijakan yang berorientasi melindungi buruh migran terus diupayakan baik oleh kalangan civil society dan stake holder lain.

Namun sebenarnya ada isu lain yang sama pentingnya untuk segera ditindaklanjuti berkaitan dengan dampak migrasi dari aspek sosial budaya. Problem kerentanan yang dihadapi oleh jutaan buruh migran Indonesia tidak selesai hanya dengan menciptakan sistem yang melindungi mereka dari sisi hak hukum sipil dan politik. Melainkan juga harus mencakup hak – hak dasar sosial dan ekonomi buruh migran. Aspek ini biasanya terdiri dari berbagai hal yang berkaitan dengan buruh migran beserta anggota keluarga hingga komunitas terdekat mereka.

Ada beberapa hal yang memperlihatkan selama ini bahwa kondisi buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri sangat rentan. Kerentanan tersebut dikarenakan beberapa hal, yakni latar belakang pendidikan, status, hingga kondisi ekonomi. Ada fakta yang tidak bisa dihindari selama ini bahwa sebagian besar buruh migran Indonesia adalah perempuan dan bekerja di sektor domestik. Hingga tahun 2013, tercatat bahwa buruh migran perempuan yang berdokumen resmi dan tercatat lebih banyak dibanding buruh migran laki-laki. Tahun 2010 misalnya dari total BMI terdiri dari 78% perempuan dan 22% laki-laki. Kuat dugaan apabila hitungan tersebut juga menyertakan BMI yang tidak berdokumen resmi, maka akan semakin banyak buruh migran perempuan dibandingkan dengan laki-laki.

Data BMI berdasarkan Jenis Kelamin

No Tahun Jumlah Perempuan % Laki-Laki %

1 2010 575.804 451.120 78 124.684 22

2 2011 585.802 376.686 64 210.116 36

3 2012 494.609 279.784 57 214.825 43

4 2013 512.168 276.998 54 235.170 46

Jumlah 2168383 1384588 64 784795 36

Sumber: diolah dari Puslitfo BNP2TKI

(2)

inilah yang paling mudah diakses dari segi pendidikan dasar dan mengengah dan tidak membutuhkan ijazah keahlian lain.

Data BMI Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Sumber: Diolah dari Puslitfo BNP2TKI

Kerentanan berikutnya adalah pada konteks aturan dan perlindungan hukum yang menaungi pekerja migran. Ketidaktegasan aturan hukum hingga kegagalan perlindungan dan implementasi kebijakan dari pemerintah turut memperbesar peluang BMI yang menjadi korban. Hingga kini usaha untuk merevisi UU no 39 tahun 2004 serta usaha meratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai kerja layak masih menemui jalan terjal.

Analisis Problem Sosial Budaya

Secara teoretis terdapat dua aliran utama yang berkembang dalam studi migrasi internasional. Pertama, aliran neoklasik yang memandang bahwa migrasi terjadi karena adanya kelebihan tenaga kerja di suatu wilayah dan kebutuhan akan tenaga kerja di wilayah lainnya. Akibatnya, akan terjadi aliran tenaga kerja dari wilayah yang mengalami kelebihan (oversupply) tenaga kerja ke wilayah yang membutuhkan tenaga kerja. Aliran kedua yaitu aliran strukturalis. Aliran ini memandang bahwa migrasi tenaga kerja internasional terjadi karena ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi di dunia maju dan dunia ketiga (uneven geographical development). Dalam upaya mengakumulasi kapital, dunia maju memerlukan tenaga buruh murah yang dapat menjamin kelanggengan produksi dan reproduksi sosial warga negaranya. Untuk dapat mempertahankan produktivitas kerjanya dan juga pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut, keluarga-keluarga di negara maju membutuhkan seseorang yang mampu menangani urusan domestik mereka dengan tingkat upah yang relatif lebih rendah dibanding menggunakan tenaga kerja lokal (Dewayanti, 2010).

Oleh karenanya, proses migrasi menjadi siklus yang tidak pernah kunjung berhenti. Migrasi terus mereproduksi diri hingga menciptakan mekanisme ketergantungan alamiah. Ironisnya, sebagian besar sikuls itu melibatkan dua jenis negara, negara industri (emerging eonomies) dengan negara berkembang (least developed countries maupun lower middle income countries). Fenomena di

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00

2011 2012 2013

17,79

24,20 24,37

39,84 39,45

37,40 37,02

29,75 31,26

SMU

SMP

(3)

Indonesia sendiri sebagian besar migrasi yang dilakukan bukanlah jenis voulentary migration melainkan forced migration. Yakni proses migrasi yang dilakukan karena keterpaksaan dan keterbatasan pilihan ekonomi.

Proses migrasi dengan keterpaksaan ini tentu memperkuat kerentanan buruh migran sendiri. Dalam banyak kasus, seorang buruh migran yang keluar harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar bisa diberangkatkan bekerja ke luar negeri. Modal besar yang sebagian besar dari akumulasi aset maupun hutang tersebut yang akhirnya turut memperbesar peluang siklus migrasi kembali terulang. Hal tersebut dikarenakan buruh migran membutuhkan uang agar modal awal yang ia keluarkan bisa kembali.

Buruh migran Indonesia sebagian besar telah berstatus memiliki keluarga yang terdiri dari Istri/ Suami dan anak. Oleh karenanya proses mereka bermigrasi berimplikasi banyak terhadap keadaan dan perkembangan keluarga yang mereka tinggalkan. Ada beberapa dampak negatif dalam konteks sosial dalam proses migrasi ke luar negeri.

Pertama, problem kerentanan keluarga hingga penyelewengan norma sosial. Sebagian besar status buruh migran yang bekerja diluar negeri telah menikah. Perginya salah satu buruh migran baik mereka yang berstatus sebagai suami maupun istri secara otomatis akan meninggalkan anggota keluarga lain di daerah asal. Fenomena yang muncul menunjukkan bahwa terjadi kerentanan terhadap keluarga buruh migran. Kerentanan tersebut misalnya dalam bentuk perceraian dan keretakan keluarga.

Data BMI Berdasarkan Status Perkawinan

No Status Perkawinan 2011 2012 2013

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Menikah 379.366 64,6 300.030 60,7 309.427 60,4

2 Cerai 41.451 7,1 36.228 7,3 43.883 8,6

3 Belum Menikah 165.989 28,3 158.351 32,0 158.858 31,0

Total 586.806 100 494.609 100 512.168 100

Sumber: Diolah dari Puslitfo BNP2TKI

Penyebab kerentanan terhadap rumah tangga buruh migran dilatarbelakangi tiga hal, pertama dampak dari interaksi budaya, kedua dampak dari intensitas komunikasi yang menurun, dan ketiga ketiaksiapan dalam hal perubahan ekonomi rumah tangga. Penelitian dari Puslitbang Kementerian Sosial mengenai relasi gender dalam konteks buruh migran (Nainggolan, 2010) menunjukkan pasca kepulangan sebagai TKW, mereka membawa nilai-nilai baru yang diserap melalui proses akulturasi budaya di negara perantauannya yang didukung dengan posisi ekonomi isteri yang meningkat yang berimplikasi pada perubahan posisi dan peran di tengah keluarga. Hal ini memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya pergeseran pola relasi gender lokal di tengah keluarganya, yang secara psikologis mengarah pada konsep androgini. Dalam hal ini pihak isteri mulai independen dalam membuat keputusan sehingga posisinya sebagai sub ordinat makin kabur. Pergerseran peran suami dan istri dalam rumah tangga pun semakin besar. Hal tersebut umumnya berimplikasi pada konflik keluarga sehingga relatif kurang harmonis.

(4)

No Keadaan sebelum menjadi TKW Keadaan setelah menjadi TKW

1. Pencari nafkah utama adalah suami Pencari nafkah utama adalah suami dan istri

2. Suami meyakini nilai-nilai pemingitan terhadap istri

Suami mulai permisif ketika istri masuk sektor publik

3. Istri fokus terhadap sektor domestik Istri mulai terbuka pada sektor publik 4. Istri tidak independen dalam membuat 6. Pembagian kerja sexiest dikotomis Pembagian kerja mulai kabur, tidak sexiest

dan tidak dikotomis

10 Keluarga relatif harmonis Ada konflik yang bersifat potensial dan manifest

Sumber: Nainggolan (2010)

Selain itu, pengalaman migrasi internasional yang dilakukan oleh warga Juntinyuat yang menjadi buruh migran internasional ternyata membawa konsekuensi pada perubahan atau pergeseran relasi gender tradisional atau dari relasi gender yang sudah ada dan telah lama dipraktekkan dalam rumah tangga komunitas Juntinyuat kepada relasi gender yang baru yang mengarah kepada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Rosadi (2011) menunjukkan perubahan relasi gender itu terjadi pada 2 aspek penting yaitu aspek peran dan akses terutama perubahan peran perempuan menjadi semkain berkembang, bergeser dan bertambah antara peran domestik dan peran publik. Hal tersebut berimplikasi pula pada tingginya kasus perceraian di berbagai daerah yang menjadi basis pengirim buuh migran. Hasil pengamatan migrant institute misalnya di salah satu desa di daerah Ponorogo menunjukkan banyaknya angka perceraian terutama pada keluarga buruh migran. Secara sosial dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap keharmonisan iklim sosial dan struktur masyarakat setempat yang selama ini kental dengan keharmonisan dan keguyuban.

Bahkan implikasi lain dari kerentanan rumah tangga tersebut juga berkaitan dengan penyelewengan norma sosial dengan maraknya hubungan suami istri di luar pernikahan. Para suami yang ditinggalkan istrinya pergi bekerja ke luar negeri banyak yang menjalin hubungan dengan PSK di daerah tersebut. Lebih buruknya adalah maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi. Penelitian lapangan yang dilakukan pegiat SERUNI Banyumas menemukan beberapa fakta yang terjadi di beberapa desa yang menjadi basis pengirim buruh migran di daerah jawa tengah.

Kepada pegiat dari SERUNI Banyumas, laki-laki yang sudah terbiasa hidup sendiri tersebut berbicara secara blak- laka . Ka i sudah ko it e de ga istri, Mas. Jaja juga ggak apa-apa, yang penting hati-hati, tutur laki-laki setengah baya itu.

Pegiat SERUNI sempat terkejut mendengar penuturan warga yang tinggal di Kecamatan Gumelar,

(5)

Ketika pegiat SERUNI melontarkan pertanyaan mengenai resiko penyakit AIDS yang bisa saja

e i pa a, erikut ja a a “u : Takut sih, tapi ka ada pe a gkal a… Apa pe a gkal a? Maka pisa g a o …. 1

Fakta dan fenomena tersebut ironisnya diamini oleh warga sekitar. Komunitas sosial dan struktur masyarakat setempat akhirnya beranggapan bahwa praktik penyelewengan dan perselingkuhan yang acap terjadi di keluarga BMI menjadi hal yang wajar. Disadari atau tidak, fenomena ini berdampak jauh terhadap kultur dan budaya kearifan masyarakat. Selain itu, banyaknya praktik ini akhirnya berimplikasi pada kasus penyebaran penyakit AIDS di beberapa daerah kantong buruh migran.

Kedua, fenomena kerentanan terhadap hak asuh anak dari orang tua (children left behind) dan hak pendidikan dasar anak. Buruh migran yang telah berkeluarga seringkali meninggalkan anak dan anggota keluarga lain di daerah asal. Akhirnya, peran asuh anak dari Ayah atau Ibu dalam rentang waktu yang cukup lama pun absen. Fenomena Children Left Behind ini kemudian menimbulkan banyak dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak baik pada konteks pendekatan pendidikan maupun praktik kenakalan yang terjadi di komunitas asal buruh migran tersebut. UNICEF mendefinisikan anak yang terabaikan (Children Left Behind) sebagai kondisi-kondisi yang harus dihadapi anak-anak berkaitan dengan kesenjangan kesejahteraan materi, pendidikan dan kesehatan saat mereka ditinggalkan oleh orangtua mereka bermigrasi ke luar negeri

Jelas fakta ini perlu disikapi ketika UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah mengatur hak yang harus diperoleh oleh anak. Pasal 13 UU tersebut menyebutkan, setiap anak selama dalam pengasuhan orangtuanya, wali atau pihak manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun sosial, penelantraran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya .

Paguyuban Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Banyumas bekerja sama dengan Yayasan Tifa erilis hasil pe elitia erjudul Pe a gu a “trategi Pola Pe gasuha Children Left Behind (CLB) berbasis Komunitas Kabupaten Banyumas /4/ 4 . Pe elitia terse ut dilakuka di tiga kecamatan di Kabupaten Banyumas, yakni Pakuncen, Kedungbanteng, dan Kalibagor. Ada beberapa fakta hasil penelitian mengenai kondisi children left behind yang menggejala di daerah tersebut, antara lain:

a. Mayoritas Anak TKI ditinggal bekerja ke luar negeri saat usia balita dan usia sekolah dasar. b. Dengan dalih asal tidak rewel, pengasuh cenderung menuruti apapun permintaan anak TKI

dengan kiriman uang dari orang tua yang bekerja di luar negeri, sehingga memunculkan pola prilaku tidak patuh/disiplin dan malas.

c. Meskipun tercukupi secara materi, ternyata masih ditemui anak-anak TKI/CLB yang putus sekolah dan pengasuh tidak berdaya mengatasi masalah ini.

d. Terdapat kasus inses (hubungan kelamin sedarah/ayah dengan anak perempuan) atau tindak kejahatan seksual pemerkosaan pada anak TKI/CLB.

1

(6)

e. Komunitas/lingkungan mempunyai anggapan bahwa persoalan pengasuhan merupakan urusan pribadi keluarga BMI.

Temuan tersebut akhirnya menjelaskan bahwa di beberapa tempat yang menjadi basis pengirim buruh migran memiliki problem terhadap pengasuhan dan pendidikan anak. Namun demikian di beberapa daerah di perbatasan Indonesia dan Malaysia misalnya, ada praktik yang sama terhadap pelanggaran terhadap hak pengasuhan dan pendidikan yang seharusnya diperoleh anak walaupun dalam tingkatan yang berbeda. Di Sabah, ada aturan yang memungkinkan pekerja ladang kelapa sawit dari Indonesia untuk membawa keluarga. Namun permasalahannya fasilitas pendidikan bagi anak BMI yang bekerja di sana tidak memadai. Bahkan dalam taraf tertentu, tidak sedikit anak-anak yang tidak melek huruf. Sebagian dari anak-anak-anak-anak tersebut ditampung dalam pendidikan semacam kejar paket yang dinamakan Community Learning Centres (CLC) dengan guru campuran, Indonesia dan Malaysia. Sayangnya CLC ini jumlahnya baru mencapai 207 dengan 23.824 murid.

Menurut Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Akhmad Irfan, terdapat sekitar 30ribu anak usia sekolah yang tidak tertampung dalam sistem CLC. Mereka saat ini menganggur, bekerja seadanya atau bermain main saja. Kekosongan tersebut bahkan dalam batas-batas tertentu telah mendorong sebagian di antara a u tuk erti dak kri i al. “aya kira masalah ini bukan hanya domain pemerintah Indonesia tetapi juga Malaysia. Sebab kalau anak-anak itu tidak terdidik dengan baik maka berpotensi bikin masalah di manapun berada. Untuk mendirikan CLC baru sepertinya pemerintah sabah agak enggan mengeluarkan izin, dengan berbagai dalih. Selain itu ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang enggan mengluarkan CSR nya dalam bentuk bangunan CLC.2

Problem pengasuhan dan pendidikan anak ini jamak terjadi di berbagai daerah maupun keluaga buruh migran. Bila setidaknya ada dua juta buruh migran dengan dua orang anak dan bekerja ke luar negeri itu artinya ada potensi sebesar empat juta anak yang terlantar akan asuhan dari orang tua/ keluarga maupun tercampakkan pendidikannya.

2

(7)

Analisis Masalah

Berbicara migrasi tidak hanya berbicara mengenai perpindahan manusia dan pekerjaan. Melainkan juga mengenai interkasi sosial dan budaya yang sedikit banyak berpengaruh terhadap konteks sosial di komunitas dan daerah asal maupun di negara tujuan. Dalam konteks sosial, migrasi juga memiliki dampak negatif terhadap keluarga, komunitas, hingga kultur masyarakat daerah asal buruh migran. Secara umum permasalahan yang muncul dalam konteks sosial ini mampu dikelola dengan dua pendekatan yang saling melengkapi, yakni pendekatan social protection dan pendekatan social reintegration.

Social Protection

Motif utama migrasi adalah motif ekonomi dimana buruh migran secara berkala akan mengirimkan hasil kerja kerasnya (remitansi) dari luar negeri kepada keluarganya di daerah. Untuk itu konteks social protection sangatlah penting sebagai mekanisme proteksi jangka panjang. Namun, kajian dan dorongan untuk menerapkan secara sistem proteksi sosial secara optimal belum menjadi prioritas yang penting khususnya di Indonesia.

..detailed attention is neither given to the right to broader social protection for migrant workers, nor

igra ts’ a ess to domestic social security systems in origin and destination countries. Discussion of

igra ts’ rights to pe sio s, or o e igra ts’ rights to ater it lea e are relati el rare...

The issue of social protection as a long-term protection measure for migrants is of crucial importance. Among many long-ter prote tio issues is that of igra ts’ old age pe sio s, as it is e essar to ensure that migrants benefit from access to the social protection systems of their home country when they return after many ears of o o tri utio . (Hall, Andy: 2011).

Secara umum penggunaan istilah social protection dan social securtity sering digunakan secara bergantian karena substansi nya yang hampir sama. Namun demikian definisi dari social protection sendiri sebenarnya lebih dalam dan luas. Menurut definisi ILO dalam World Social Security Report (ILO, 2011) dalam Hall, Andy, 2011 social protection di jelaskan sebagai berikut:

“o ial prote tio … is ofte i terpreted as ha i g a roader hara ter than social security (including protection provided between members of the family or members of a local community) but is also used in some contexts with a narrower meaning (understood as comprising only measures addressed to the poorest, most vulnerable or excluded e ers of so iet … “o ial prote tio has the follo i g aspects: (1) i ter ha gea le ith so ial se urit ; 2 as prote tio pro ided by social security in case of social risks and needs.

Social security covers all measures providing benefits, whether in cash or in kind, to secure protection from: (a) lack of work-related income (or sufficient income) caused by sickness, disability, maternity, employment injury, unemployment, old age or death of a family member; (b) lack of access or unaffordable access to health care; (c) insufficient family support, particularly for children and adult

depe de ts; a d d ge eral po ert a d so ial e lusio … Social security has two main dimensions,

a el i o e se urit a d a aila ilit of edi al are… .

(8)

Dalam konteks permasalahan buruh migran hari ini sistem perlindugnan sosial ini memang telah mulai dirintis dengan pengelolaan asuransi oleh swasta pada beberapa aspek menyangkut kecelakaan, pemutusan hubungan kerja, hingga kematian. Namun sistem ini belum mencakup perlindungan atas keluarga buruh migran dan perlindungan pasca kepulangan (reintegrasi). Oleh karenanya perlu ada konsep yang lebih komperhensif untuk menampung beberapa aspek tersebut. Secara lebih terperinci skema perlindungan buruh migran dalam kesatuan social protection harus mencakup tiga aspek penting. Pertama menyangkut keselamatan dan kesehatan buruh migran, kedua menyangkut jaminan akan pekerjaan yang layak dan sesuai kontrak. Poin ketiga adalah perlindungan atas keluarga buruh migran. Dan terakhir adalah perlindungan pada masa reintegrasi baik sosial maupun ekonomi.

“o ial Prote tio o igra t worker’s family

Perlindungan terhadap keluarga buruh migran perlu ada terutama menyangkut keberlanjutan hak asuh anak dan pendidikan anak. Untuk itu perlu ada integrasi antara afirmasi kebijakan yang mendorong terciptanya sistem untuk mampu memastikan bahwa hak asuh anak dan pendidikan tetap berjalan ketika salah satu orang tua nya pergi sementara waktu ke luar negeri dengan dukungan komunitas serta sistem sosial yang menopang pengasuhan dan pendidikan anak. Perlindungan ini perlu dilakukan baik untuk anak buruh migran yang ada di negara asal maupun anak buruh migran yang ikut serta bekerja ke negara penempatan seperti buruh perkebunan di daerah Malaysia.

Pengasuhan Anak berbasis komunitas

Dampak negatif dari migrasi terhadap pengasuhan anak secepatnya harus ditindaklanjuti. Anak-anak dalam hal ini memiliki hak untuk memperoleh kasih sayang dan pengasuhan khususnya dari keluarga terdekatnya. Dalam praktiknya perlindungan terhadap anak menjadi tanggung jawab orang tua dan komunitas terdekatnya. Oleh karenanya dalam konteks keluarga buruh migran yang menyebabkan anak ditinggalkan oleh salah satu dari orang tuanya (ayah/ ibu) perlu dukungan khusus dari keluarga dan komunitas sekitar untuk turut memberikan perhatian dan perlindungan.

Komunitas memiliki sistem untuk membangun sistem pengasuhan bagi anak BMI secara efektif karena berasal dari inisiatif masyarakat (bersifat bottom up) dan secara kontekstual disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan anak yang terabaikan yang ada di komunitas masing-masing (Marku, 2014). Peran komunitas untuk perlindungan anak telah diamanatkan dalam pasal 25 UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang secara gamblang menyatakan bahwa masyarakat wajib dan bertanggungjawab dalam perlindungan anak melalui kegiatan peran masyarakat dalam perlindunga anak. Kemudian pasal 73 (ayat 2) UU no 23 tahun 2002 menyebutkan tentang perlindungan anak dapat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

(9)

bahwa sistem perlindungan dan pengasuhan anak yang berbasis komunitas bisa dimulai di banyak daerah kantong-kantong buruh migran. Mengenai gagasan pengasuhan anak berbasis komunitas ini ada beberapa rekomendasi yang bisa dijalankan baik oleh pemerintah dan masyarakat terkait:

1. Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah perlu memastikan berjalannya sistem pendataan bagi keluarga buruh migran khususnya yang telah berkeluarga dan meninggalkan anak. Pendataan ini penting untuk membuat kategorisasi, analisis, dan kebijakan perlindungan terhadap keluarga buruh migran. 2. Perlu dibentuknya sistem di level lokal yang mampu memantau perkembangan sekaligus

menjalankan pengasuhan anak yang ditinggal oleh orang tua nya bekerja. Sistem ini bisa melibatkan komunitas terdekat dan terkecil di tingkat desa. Misalnya dengan menempatkan orang tua maupun guru asuh dan pelatihan maupun sosialisasi secara berkala kepada keluarga buruh migran.

3. Pelibatan organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat untuk memantau dan memberikan dukungan terhadap kebijakan perlindungan dan pengasuhan kepada anak-anak buruh migran.

4. Khusus bagi buruh migran yang membawa anaknya ke negara tempat mereka bekerja seperti pekerja kebun di kawasan Sabah, Malaysia, maka dalam hal ini pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa ada jaminan infrastruktur dan kebijakan yang mampu mengcover jalannya pendidikan bagi anak-anak buruh migran. Hal tersebut bisa dimulai dengan meninjau kembali MoU antara Indonesia dan Malaysia agar pemerintah Malaysia melalui perusahaan pemakai jasa tenaga kerja Indonesia juga memberikan perlindungan dan pendidikan yang adil terhadap anak-anak BMI yang ikut serta bersama orang tuanya di tanah perantauan.

Optimalisasi sistem asuransi yang menyeluruh (social security)

Kerentanan yang dialami oleh buruh migran baik pada masa pra pemberangkatan hingga kepulangan tidak serta merta diikuti oleh kebijakan yang berpihak. Sistem asuransi yang selama ini meliputi ganti rugi, biaya kesehatan, kecelakaan, dan santunan masih menemui banyak kendala. Permen nomor 38 tahun 2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia yang dirubah dengan Permen nomor 1 tahun 2012 belum cukup menjawab kegelisahan hingga resiko yang dialami oleh jutaan tenaga kerja Indonesia yang mengalami masalah.

Problem yang seringkali terjadi adalah persoalan sosialisasi dalam memanfaatkan jasa asuransi, kesulitan klaim, hingga penipuan dan pemerasan pihak ketiga yang memanfaatkan situasi buruh migran yang mengalami masalah. Permasalahan krusial lain adalah ketika sistem social security ini berbenturan dengan perjanjian bilateral atau MoU yang menjadi kesepakatan antara negara pengirim dan penerima, oleh karenanya mengkaji potensi dan optimalisasi social security ini perlu ada kajian komperhensif juga mengenai isi dan substansi MoU antara Indonesia dan negara penempatan. Faktanya hingga kini, sistem yang ada terutama di negara penempatan belum memberikan perlindungan sosial yang optimal kepada buruh migran Indonesia terlebih kepada pekerja migran yang tidak berdokumen.

(10)

protection in both the country of origin and destination. ..Indonesian social protection is very limited for irregular migrants and domestic workers anyway, and does not provide adequate assistance to migrants once they return to Indonesia and/or to family members of migrants (Hall, Andy: 2011).

Kelemahan proteksi (social security system) di negara penempatan yang menjadi konsideran dari MoU antara Indonesia dan Malaysia misalnya, dijelaskan oleh Salma (dalam Hall, Andy:2011) sebagai berikut:

The MOU has been criticized as legalizing commoditization practices and for making Indonesian female migrant workers, particularly domestic workers, more vulnerable. In addition, the MOU provides no information or guarantees for adequate rest, and prohibits marriage and bringing spouses into the country. Prohibitions are also placed on the employment of those who are identified as having

ertai diseases, gatheri gs ith orkers’ fa ilies, a d for migrants to keep their own passports (Salma, 2006).

Rekomendasi Reintegrasi

Dengan analisis problem tersebut, maka harus ada upaya serius untuk memperbaiki sistem perlindungan sosial (social security system) yang tidak hanya berbicara pada legalitas formal asuransi namun berkesinambungan dengan pola perlindungan sosial buruh migran pasca kepulangan ke daerah asal yang kurang lebih sebagai berikut:

1. Perbaikan perlindungan sosial saat masa reintegrasi khusus bagi buruh migran yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan manusia. Hingga hari ini upaya reintegrasi korban kekerasan hanya berhenti pada mekanisme santunan dan pendampingan konsultasi. Negara baik melalui pemerintah pusat maupun daerah perlu serius merancang mekanisme reintegrasi pada para buruh migran yang menjadi korban kekerasan yang lebih komperhensif. Bagi korban yang terpenting adalah bisa kembali dengan baik dan menjalin hubungan (sosialisasi) dengan baik baik dengan keluarga maupun komunitas. Artinya, aspek perlindungan sosial ini, bukan hanya korban yang diintervensi, namun keluarga dan komunitas, baik dalam bentuk sosialisasi maupun pendidikan/ training dengan tujuan bahwa keluarga dan komunitas tersebut mampu menerima dengan baik dan mendukung buruh migran yang menjadi korban.

2. Pendampingan yang sistematis baik dalam bentuk pendampingan penguatan ekonomi maupun soft skill bagi buruh migran yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan manusia. Hal tersebut menjadi penting untk memulihkan kemampuan psikis dan mental dan mampu kembali bekerja baik dengan berusaha atau melalui sektor yang lain. Pendampingan ini juga wajib dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan segenap elemen organisasi yang perduli terhadap kepentingan buruh migran agar negara tidak hanya melakukan recycling atau pemulangan terhadap buruh migran yang menjadi korban tersebut tanpa memberikan intervensi lain demi perbaikan nasib mereka atau minimal tidak kembali terulang kasus yang sama.

Referensi

Dokumen terkait

pandangan ini, suatu pernyataan dianggap benar bila didukung oleh fakta empiris. Artinya penyajian atau pembuktian secara empirislah yang dianggap lebih mensahkan

Dalam pernyataan tersebut dicantumkan besarnya dana hibah yang diajukan untuk didanai oleh DIKTI (sesuai dengan Proposal Lengkap dan saran dari Tim Reviewer setelah Evaluasi

menerima , kata nerima pada kalimat tersebut adalah kata tidak baku, namun dalam kaidah nonformal kata tersebut disyahkan, tapi karena di dalam penelitian ini

Pelayaran Nasional Indonesia dan perusahaan pelayaran nasional pemenang pemilihan penyedia jasa lainnya menyampaikan laporan penggunaan dana penyelenggaraan kewajiban

Dalam dunia kosmetik, lensa kontak digunakan untuk menyamarkan mata yang buta karena bekas luka pada kornea dengan lensa kontak yang digambar dan untuk mengubah warna mata dengan

Setelah perasaan negatif muncul, orang yang mengalami body dissatisfaction memiliki keyakinan bahwa tubuhnya tidak sesuai dengan yang diinginkannya dan men- ganggap bahwa

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa langkah pembelajaran dengan menerapkan strategi REACT dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang dapat meningkatkan keaktifan

Akuntansi adalah proses dari transaksi yang dibuktikan dengan faktur, lalu dari transaksi dibuat jurnal, buku besar, neraca lajur kemudian akan menghasilkan informasi dalam