• Tidak ada hasil yang ditemukan

PNEUMONIA: Adakah Tempat untuk Pemberian Antiinflamasi ?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PNEUMONIA: Adakah Tempat untuk Pemberian Antiinflamasi ?"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PNEUMONIA:

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4)

Reviono

PNEUMONIA:

Adakah tempat untuk pemberian

antiinflamasi ?

(5)

PNEUMONIA:

Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Hak CiptaReviono. 2017

Penulis

Dr. dr. Reviono, Sp.P (K)

Editor

Dr. dr. Harsini, Sp. P (K)

Ilustrasi Sampul Arif Hasanudin

Penerbit dan Percetakan

Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press)

Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628

Website : www.unspress.uns.ac.id Email : unspress@uns.ac.id Cetakan 1, Edisi 1, November 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved

(6)

- v -

KATA PENGANTAR

Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia

merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang

pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif

dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut

pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah.

Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri,

meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang

tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama

komplikasi penyakit dan juga kematian.

Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab

pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus

terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial,

pneumonia aspirasi dan juga health care associated

pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang

berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat

tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti

peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang

menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan

sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit

kanker serta HIV-AIDS.

Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik,

dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi

empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata

laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan

beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan

(7)

- vi -

secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal

ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut

akan rawat inap atau rawat jalan.

Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi

sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan

angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang

mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka

kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang

cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan,

meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap

berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan

menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi.

Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu

mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang

terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi

lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis

sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut

mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel

inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi

yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan

dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak

disampaikan semuanya.

Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik

perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada

makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang

mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik

(8)

- vii -

Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid.

Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk

inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang

mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen

yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih

pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason

merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.

Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan

alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang

dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek

antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid

lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga

mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan

air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan

pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason

bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh

melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason

menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan,

termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta

dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase

(DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated

protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan

mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid

dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi

diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau

TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase

(9)

- viii -

Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian

deksametason akan diukur respons inflamasi dengan

menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu

pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain

menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis,

yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap.

Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu

pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang

disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi.

Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor

jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi

oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat

metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari

dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena

makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin.

Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein

(CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar,

karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa

statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan

terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam

menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru

ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6,

TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil

yang menjadi penyebab utama inflamasi paru.

Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai

antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat

pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan

(10)

- ix -

diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah

pemberian antiinflamasi selama 5 hari.

Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan

makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai

antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci,

Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat

bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui

dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan

atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah

pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas

fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang

digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin.

Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat

memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan

menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan

terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian

azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan

kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan

bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita

pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek.

Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh

pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan

infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara

imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan

mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin.

Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien

pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak

(11)

- x -

Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak,

SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian

payung, mulai menentukan proses registrasi sampel,

pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan

hingga terbitnya buku ini.

Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter

yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat

memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada

masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran

demi perbaikan penulisan selanjutnya.

(12)

- xi -

Daftar Isi

Kata Pengantar ... v

daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Gambar ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ... 9

A. Pertahanan Paru ... 10

B. Respons Sistem Imun ... 13

BAB III TERAPI PNEUMONIA ... 19

A. Terapi Antibiotik ... 20

B. Terapi Suportif ... 21

C. Terapi Antiinflamasi ... 22

BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI ... 25

A. Kortikosteroid ... 26

1. Mekanisme kerja glukokortikoid ... 30

2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada Pneumonia ... 33

B. Statin ... 36

1. Mekanisme Kerja Statin ... 37

2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada Pneumonia ... 43

C. Makrolid ... 45

1. Mekanisme Kerja Makrolid ... 50

2. Efek Antiinflamasi Makrolid ... 54

(13)

- xii -

BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA... 59

A. Respons Klinis ... 60

1. Definisi operasional variabel penelitian ... 80

2. Teknik Pemeriksaan ... 84

3. Prosedur pengumpulan data ... 88

4. Analisis data ... 89

B. Kerangka Konsep Penelitian ... 91

C. Hasil Penelitian ... 95

1. Karakteristik dasar subyek penelitian ... 95

2. Pengaruh pemberian deksametason terhadap kadar PCT danTNF- ... 101

3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap kadar PCT dan IL-6 ... 109

D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap kadar IL-8 dan neutrofil sputum ... 113

E. Pemberian deksametason, pravastatin dan azitromisin terhadap pencapaian perbaikan klinis ... 118

BAB VII PEMBAHASAN... 123

A. Pemberian deksametason pada pneumonia ... 125

B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia ... 129

C. Pemberian azitromisin pada pneumonia ... 133

(14)

- xiii -

BAB VIII PENUTUP ... 141

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144

Daftar Pustaka ... 146

Daftar Singkatan... 160

(15)

- xiv -

Daftar Tabel

Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid ... 47

Tabel 6.1. Karakteristik dasar subyek penelitian ... 97

Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian ... 98

Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian ... 100

Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF- sebelum (pre) perawatan antara kelompok deksametason dan kelompok kontrol ... 103

Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada kelompok Deksametason ... 104

Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada kelompok kontrol ... 106

Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum sesudah perawatan antara kelompok deksametason dan kelompok kontrol ... 108

Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6 sebelum (pre) perawatan antara kelompok Pravastatin dan kelompok kontrol ... 110

Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok Pravastatin .... 111

Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok kontrol ... 112

Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan IL-6 sesudah perawatan antara kelompok pravastatin dan kelompok kontrol ... 113

(16)

- xv -

Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan

neutrofil sputum pada kelompok

azitromisin... 116

Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan

neutrofil sputum pada kelompok kontrol . 117

Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan

neutrofil sputum sesudah perawatan

antara kelompok azitromisin dan

kelompok kontrol ... 118

Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan

klinis antara kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol ... 119

Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan

klinis antara kelompok pravastatin dan

kontrol. ... 120

Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan

klinis antara kelompok azitromisin dan

(17)

- xvi -

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada

pneumonia ... 11

Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu

kaskade bakteri ... 17

Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada

Sitoplasma ... 32

Gambar 4.2. Struktur kimia statin ... 36

Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin .... 42

Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika. ... 46

Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid ... 49

Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika. ... 51

Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan

imunomodulator. ... 53

Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal

intraseluler oleh azitromisin ... 58

Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan

pneumonia. ... 62

Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia ... 93

Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian

(18)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan

infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari

masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI,

2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling

serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus

rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus,

peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai

penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya

(19)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

2

Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini

dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang

tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus

pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka

kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini

relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan

penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers

JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi

dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut,

ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap

tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011).

Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus

pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di

rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10%

memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi

pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia

berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka

kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia

tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014).

Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial

diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi

sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru.

Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada

vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010).

Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses

tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses

inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut

(20)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

3

Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam

tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme

pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri

sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti

apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.

Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan

terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan

(Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012).

Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan

untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang

berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun

sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al,

2012)

Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan

lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang

mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan

mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated

molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern

recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR).

Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar,

yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi

pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis

factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α. (Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro

inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba.

Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin

(PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan

(21)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

4

R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat

dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut

maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi

seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus.

Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan

IL-6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R,

2010).

Sampai saat ini terapi pneumonia hanya

mengandal-kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu

perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya

penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al,

2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa

beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang

berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan

pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya

kerusakan jaringan yang lebih lanjut.

Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia

merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka

kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti

inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat

ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al,

2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat

antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate

(c-AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS)

(Steel HC, et al, 2013).

Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan

(22)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

5

yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah

dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi

sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi

dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru

pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu

steroid yang cukup kuat adalah deksametason.

Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi

dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan

dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid

yang lemah akan menguntungkan karena mencegah

gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek

yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting

sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali.

(Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa

hasil penelitian yang menunjukan keunggulan

deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang

terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al,

2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason

mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada

pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham

et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu

menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF,

siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al, 2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil

sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang

menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat

(23)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

9

BAB II

PATOGENESIS PNEUMONIA

Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan

dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang

berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan

respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh

karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada

dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap

(24)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

10

A.

Pertahanan Paru

Infeksi saluran napas bawah tergantung dari

virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat

melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme

pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005;

Goetz MB, et al, 2005))

1. Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai

penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring

berfungsi mengeluarkan partikel atau

mikroorganis-me mikroorganis-melalui batuk atau tertelan.

2. Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran

napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel

berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama

pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin

(protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel

epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan

meningkatkan permeabilitas membran),

leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi

menghambat neutrofil elastase dan menghambat

aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil

berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram

negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti

makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh

darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi

inflamasi makrofag.

3. Sistem pertahanan imun didapat yang berada di

(25)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

19

BAB III

TERAPI PNEUMONIA

Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi

patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu

perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat

menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat

meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu

(PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan

(26)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

20

A.

Terapi Antibiotik

Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia

sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan

hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris

dapat diberikan hingga didapatkan data

mikro-organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas

dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh

bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik

secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis

kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat,

terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan

faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai

sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia

ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan

antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit

(< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI,

2014). Karakteristik farmakokinetik dan

farmako-dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi

terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik

harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10

hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72

jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik

parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada

perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri

patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia,

jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab,

pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari)

(27)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

25

BAB IV

TERAPI ANTIINFLAMASI

Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme

pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen.

Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat

mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan

pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro

dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada

(28)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

26

Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun

terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya.

Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah

respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga

dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat

mempe-ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek

samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja

antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan

kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi

kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut

yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian

antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada

makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang

mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik

klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid.

A.

Kortikosteroid

Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis

kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid

dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks

adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan

elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian

terapi steroid mempengaruhi produksi endogen

kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis

hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri

dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi

menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona

(29)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

59

BAB V

EVALUASI TERAPI PNEUMONIA

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis

adalah komponen penting dalam penatalaksanaan

pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi

dalam membuat sejumlah keputusan penting, (Akram AR, et

al, 2013). Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan

pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi

(30)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

60

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis

adalah komponen penting dalam penatalaksanaan

pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi

dalam membuat sejumlah keputusan penting, antara lain:

untuk pergantian antimikroba intravena menjadi oral dan

untuk memulangkan pasien dari rumah sakit. Perbaikan

klinis penderita pneumonia dapat dinilai dengan berbagai

kriteria antara lain menggunakan kriteria Halm dan kriteria

American Thoracic Society/ Infectious Disease Society

American (2007) (Akram AR, et al, 2013).

Sebenarnya untuk kriteria klinis ada beberapa yang

pernah dilagunakan yaitu Pneumonia severity index (PSI),

CURB-65 (confusion, ureum, respiratory rate, blood pressure,

65 years old), dan CRB-65. Ketiga sistem tersebut

mempunyai persamaan dalam hal keakuratan penilaian

tetapi lebih sesuai digunakan sebagai prediktor beratnya

penyakit dan juga lama rawat (Surjanto E, et al, 2013)

Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan

penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi ataupun

sitokin (Viasus D, et al, 2010).

A.

Respons Klinis

Respons klinis terhadap terapi yang diberikan pada

penderita pneumonia rawat inap dinilai berdasarkan

perbaikan klinis (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et

al, 2013). Waktu terjadinya stabilitas klinis pada pasien

CAP yang dirawat inap dapat dianggap sebagai indikator

respons klinis yang sedang berlangsung. Aliberti dkk

(31)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

77

BAB VI

PENELITIAN SENDIRI

Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg

perhari, pravastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis

250 mg perhari pada kasus pneumonia, dengan mengukur

penanda inflamasi TNF-

α, IL

-8 dan IL-6, penanda infeksi yaitu

PCT dan neutrofil sputum dari sisi imunologis, serta diukur

dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis

(32)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

78

A.

Metode Penelitian

Penelitian sendiri ini terdiri dari 3 penelitian yaitu

penelitian dengan melakukan pemberian 3 jenis

antiinflamasi pada pasien pneumonia, masing masing

penelitian menggunakan antiinflamasi yang berbeda.

Untuk menilai output atau variabel tergantung

menggunakan variabel yang sama dan ada pula yang

berbeda. Variabel tergantung yang sama adalah

perbaikan Klinis, sedangkan variabel yang lain adalah

penanda biologi. Untuk penanda inflamasi akibat infeksi

digunakan PCT, dan neutrofil sputum sedangkan untuk

penanda inflamasi sistemik digunakan sitokin (IL-6, IL-8

dan TNF–α). Pada penelitian I dilakukan pemberian

antiinflamasi golongan kortikosteroid yaitu deksametason,

penelitian II pemberian antiinflamasi golongan statin

yaitu pravastatin dan penelitian III pemberian makrolid

yaitu azitromisin. Penelitian ini dilakukan dengan

dibantu mahasiswa pendidikan dokter spesialis

Pulmonolog dan Kedokteran Respirasi Fakultas

kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Desain penelitian ini adalah uji klinis dengan

metode quasi experimental dan menggunakan pretest

and posttest design pada kelompok perlakuan dan

kontrol. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang

diberi terapi pneumonia standard sesuai pedoman

penatalaksanaan pneumonia oleh Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia (PDPI) tahun 2014 dengan ditambahkan

(33)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

123

BAB VII

PEMBAHASAN

(34)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

124

Meskipun perkembangan-perkembangan penemuan

antibiotik terus maju, juga tindakan pencegahan misalnya

vaksinasi terus berlanjut, tetapi angka kesakitan dan

kematian pneumonia tetap tinggi. Apalagi kalau

dihubungkan dengan pembiayaan perawatan kesehatan

yang membutuhkan biaya semakin tinggi (Meijvis SCA, et

al, 2012). Masalah klinis dan imunologis pada kasus

pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang

cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi

ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman

patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Berbagai

produk reaksi inflamasi yaitu sitokin-sitokin tersebut yang

terdapat di lokasi inflamasi diperlukan untuk

mengeliminasi dan mengontrol infeksi primer pada

pneumonia tersebut (Meijvis SCA, et al, 2012). Akan tetapi

apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang

berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik

yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena

itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan

cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau

tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari

inflamasi tersebut. Intervensi atau terapi yang ideal adalah

yang mampu menurunkan komplikasi sistemik dari

respons inflamasi tersebut tanpa menganggu perbaikan

inflamasi yang bersifat lokal (Meijvis SCA, et al, 2012). Oleh

karena itu pemberian antiinflamasi diharapkan mampu

(35)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

125

Pada saat terjadi respons inflamasi oleh tubuh akibat

terpajan bakteri, berbagai macam sel inflamasi akan aktif,

serta berbagai produk sitokin ataupun mediator inflamasi

akan terlibat pada proses ini. Sitokin terbagi menjadi

protein pro dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi yang

penting adalah IL-6 dan TNF α. Respons inflamasi dimulai dengan peningkatan TNF-α yang singkat tetapi intens diikuti dengan peningkatan IL-Iβ dan IL-6, Selanjutnya, IL-10 yang merupakan sitokin antiinflamasi akan terinduksi

dan menghambat produksi makrofag dan neutrofil.

Pelepasan IL-10 adalah merupakan awal dari respons

antiinflamasi untuk mencegah inflamasi yang tidak

terkontrol. Interleukin 8 dan monocyte chemoattractant-1

merupakan kemokin yang memobilisasi, mengaktifkan dan

merangsang degranulasi leucocyte polymorphonuclear

(PMNs) (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada penelitian ini diteliti

peranan deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin

dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari

dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, serta penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum.

Selain dari sisi imunologis juga diukur dari sisi klinis yaitu

untuk perbaikan klinis.

A.

Pemberian deksametason pada pneumonia

Pada penelitian pemberian deksametason ini

menggunakan parameter PCT sebagai penanda inflamasi

akibat infeksi dan TNF sebagai penanda inflamasi

sistemik. Hasil penelitian ini menunjukkan

(36)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

126

penanda infeksi, tetapi untuk penurunan inflamasi

sistemik tidak terbukti. Deksametason mampu menekan

respons inflamasi akibat infeksi ditandai dengan

menurunnya PCT secara bermakna dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang tidak terjadi penurunan

PCT. Procalcitonin (PCT) merupakan penanda infeksi

yang stabil, efisien dan mudah dilakukan pemeriksaan

(Kosanke R, et al, 2008). Kadar PCT pada infeksi bakteri

akan meningkat dalam waktu 4 jam pertama dan

mencapai puncaknya selama 8-24 jam. (Chamberlain

RS, et al, 2014), kemudian akan menurun setelah 1,5

hari dan akan mencapai setengahnya dari kadar puncak

(Meisner M, 2013). Kadar PCT meningkat saat infeksi

dengan berbagai jalur, yaitu akibat rangsangan

endotoksin (infeksi bakteri) sehingga sel-sel

neuroendokrin akan memproduksi PCT. (Nakamura M,

et al, 2013; Lee H, 2013). Selain itu juga melalui jalur

lain yaitu lewat rangsangan IL-1β, IL-6 dan TNF-α (Lee H, 2013; Nakamura, et a., 2013). Rangsangan sitokin

tersebut akan meningkatkan produksi PCT dalam

sirkulasi darah (Nakamura M, et al, 2013).

Secara umum diketahui bahwa kortikosteroid

merupakan penghambat inflamasi yang sangat poten.

Kortikosteroid akan memutus gen yang menyandi

sitokin antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada

penelitian ini pasien pneumonia mendapat

deksametason 5 mg perhari selama 5 hari yang

(37)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

127

menyampaikan pemberian kortikosteroid dosis rendah

maupun menurunkan proses transkripsi sitokin

proinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada dosis

rendah kortikosteroid akan mengontrol penurunan

transkripsi sitokin proinflamasi, sehingga akan mampu

mencegah perpanjangan respons inflamasi dari mediator

inflamasi, selain itu diharapkan akan mempercepat

resolusi sistemik dan inflamasi paru pada CAP.

Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki

efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan

pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah

satu kortikosteroid sintetis kuat. Kemampuannya dalam

menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih

sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki

prednisone. (Meijvis, et al, 2011). Hal ini terbukti

deksametason yang menghambat aktivitas NF-κβ sehingga akan menekan produksi TNF-α dan IL-β (Barnes P, 2005) sehingga akan menurunkan PCT

sebagai penanda infeksi. Efek deksametasonyangtahan

lama, memungkinkan pemberiannya hanyasekali sehari

(Meijvis SCA,et al, 2011).

Berdasarkan data penelitian ini, pengaruh

pemberian deksametason terhadap kadar TNF-α serum didapatkan penurunan, tetapi tidak bermakna. Data ini

berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Hilde et al.

Penelitian tersebut menggunakan deksametason dengan

yang sama dengan penelitian ini yaitu 5 mg tiap hari

(38)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

141

BAB VIII

PENUTUP

Pemberian antiinflamasi deksametason dan

azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan,

atau pendamping antibiotik pada kasus pneumonia.

Alasannya, karena mampu menurunkan reaksi inflamasi

akibat infeksi serta mempercepat perbaikan klinis. Untuk

pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai

antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama

(39)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

142

Tujuan utama terapi pneumonia adalah eradikasi

kuman penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan

waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang (PDPI,

2014). Antibiotik merupakan terapi utama pada

penatalaksanaan pneumonia bakterial. Selain terapi

antibiotik, komponen lain adalah terapi suportif untuk

menghilangkan gejala pneumonia misalnya antipiretik,

mukolitik, ekspektoran, terapi oksigen, terapi cairan dan

juga memberikan istirahat yang cukup kepada pasien

pneumonia.

Akhir-akhir ini antiinflamasi mulai menarik perhatian

untuk digunakan dalam tatalaksana pneumonia. Dasar

pemberian terapi inflamasi adalah terjadinya respons

inflamasi yang tinggi pada pneumonia. Inflamasi adalah

respons imun yang bertujuan mengeliminasi mikroba

patogen, tetapi reaksi imun yang menetap dan berlebihan

seperti pada kasus pneumonia akan menyebabkan

kerusakan struktur dan fungsi paru (Mizgerd, 2008).

Keseimbangan respons inflamasi sangat dibutuhkan pada

homeostasis paru. Pemberian terapi antiinflamasi

diharapkan dapat mengubah respons imun agar lebih

menguntungkan. Data penelitian pemberian antiinflamasi

pada pneumonia masih terbatas dan banyak terjadi

perbedaan hasil yang didapat. Selain itu juga masih banyak

pula perbedaan pendapat mengenai golongan antiinflamasi

apa yang baik untuk kasus pneumonia.

Pada penelitian ini digunakan 3 antiinflamasi yaitu

(40)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

143

perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari. Desain

penelitian ini cukup ketat dengan menggunakan kelompok

kontrol yang relatif sama dengan kelompok perlakuan. Pada

kedua kelompok terapi antibiotik awal secara empiris

menggunakan pola kuman setempat, dan apabila didapatkan

factor modifikasi digunakan pedoman pneumonia

komunitas yang diterbitkan oleh PDPI.

A.

Kesimpulan

1. Pada penelitian ini diteliti 3 antiinflamasi yang

mempunyai peluang digunakan dalam terapi

pneumonia

a. Deksametason dapat menurunkan respons

inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan

PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu

kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.

b. Pravastatin dapat menurunkan respons inflamasi

yang ditunjukkan dengan penurunan PCT

dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu

kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.

c. Azitromisin dapat menurunkan respons inflamasi

yang ditunjukkan dengan penurunan IL-8 dan

neutrofil sputun dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa

antiinflamasi.

2. Selain mengukur pengaruh antiinflamasi secara

(41)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

144

yaitu dengan menilai perbaikan klinis. Pemberian

antiinflamasi :

a. Deksametason, dapat mencapai waktu perbaikan

klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol

yaitu kelompok terapi standar tanpa

antiinflamasi.

b. Pravastatin, waktu perbaikan klinis yang dicapai

tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok

kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa

antiinflamasi.

c. Azitromisin, dapat mencapai waktu perbaikan

klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol

yaitu kelompok terapi standar tanpa

antiinflamasi.

B.

Saran

1. Pemberian antiinflamasi deksametason dan

azitromisin direkomendasikan sebagai terapi

tambahan, sebagai pendamping antibiotik pada

kasus pneumonia. Untuk pemberian pravastatin

dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam

tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa

penyakit penyerta yang berat.

2. Perlu dilakukan penelitian multi center di Indonesia,

karena pada penelitian ini pengaruh strain bakteri di

sirkulasi berbeda antar lokasi, mungkin akan

(42)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

145

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu untuk

kasus pneumonia rawat jalan, karena setting dari

(43)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

146

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK. 2012. Innate immunity. In: Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, editors. Cellular and molecular immunology. 7th edition. Philadelphia: Saunders

Elsevier. hlm. 55-88.

Abraham SM, Lawrence T, Kleiman A, Warden P, Medghalchi M, Tuckermann J, et al. 2006. Antiinflammatory effects of dexamethasone are partly dependent on induction of dual specificity phosphatase 1. JEM. vol. 203(8). hlm. 1883-9.

Akram AR, Chalmers JD, Taylor JK, Rutherford J. 2013. An evaluation of clinical stability criteria to predict hospital course in community-acquired pneumonia. Clin Microbiol Infect. vol.19. hlm. 1174–80.

Alcon A, Fabregas N, Torres A. 2005. Pathophysiology of pneumonia. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 39-46. Aliberti S, Peyrani P, Filardo G, Mirsaedi M, Amir A, Blasi F,

et al. 2011. Association between time to clinical stability and outcomes after discharge in hospitalized patients with community acquired pneumonia. Chest. vol. 140(2). hlm. 482-8.

Al-Shirawi N, Al-Jahdali H, Al Shimemeri A. 2006. Pathogenesis, etiology and treatment of bronchiectasis. Annals of Thorasic Medicine. vol 1. hlm. 41-51.

Amsden GW. 2005. Anti-inflammatory effects of macrolides-an underappreciated benefit in the treatment of community-acquired respiratory tract infections and chronic inflammatory pulmonary conditions. Journal of antimicrobial chemotherapy. vol. 55. hlm. 10-21.

(44)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

147

Arnold FW, Summersgill JT, Lajoie AS, Peyrani P, Marrie TJ, Rossi P. 2007. A worldwide perspective of atypical pathogens in community acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. vol.175. hlm. 1086-93. Azeem AAE, Hamdy G, Saraya M, Fawzy E, Anwar E,

Abdulattif S. 2013. The role of procalcitonin as a guide for the diagnosis, prognosis, and decision of antibiotic therapy for lower respiratory tract infections. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis. vol. 62. hlm. 687-95.

Azhdarzadeh M, Lotfipour F, Zakeri-milani P, Mohammadi G, Valizadeh H. 2012. Antibacterial performance of azithromycin nanoparticles as colloidal drug delivery system against different gram-negative and gram positive bacteria. Advanced pharmaceutical bulletin. vol. 2(1). hlm. 17-24. Bacci MR, Leme RCP, Zing NCP, Murad N, Adami F, Hinnig

PF, et al. 2015. Chagas ACP, Fonseca FLA. IL-6 and TNF-a serum levels are associated with early death in community-acquired pneumonia patients. Brazilian Journal of Medical and Biological Research. vol. 48(5). hlm. 427-32.

Balamayooran G, Batra S, Fessler MB, Happel KI, Jeyaseelan S. 2010. Mechanism of neutrophil accumulation in the lungs against bacteria. Am J Respir Cell Mol Biol. vol. 43. hlm. 5-16.

Baratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Imunologidasar. Edisi ke-8. Jakarta: FKUI. hlm. 226-8.

Barnes P. 1998. Antiinflammatory actions of glucocorticoids: molecularmechanisms. Clinical Science. vol. 94. hlm. 557-72.

(45)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

148

Bordon J, Aliberti S, Botran RF, Uriarte SM, Rane MJ, Duvvuri P, et al. 2012. Understanding the roles of cytokines and neutrophil activity and neutrophil apoptosis in the protective versus deleterious inflammatory response in pneumonia. International Journal of Infectious Diseases. vol. 17. hlm. 76-83. Borovac DN, Pejcic T, Petkovic TR, Dordevic D, Dordevic I,

Stankovic I, et al. 2011. Scientific Journal of the Faculty of Medicine. vol. 28. hlm. 147-54.

Boureux A, Vignal E, Faure S, Fort P. 2007. Evolution of the rho family of ras-like GTP-ases in eukaryotes. Mol. Biol. Evol. vol. 24(1). hlm. 203-16.

Bradley JR. 2008. TNF mediated inflammatory disease. Journal of Pathology. vol. 214. hlm. 149-60.

British Thoracic Society (BTS). 2009. Guidelines for the management of community in adults:update 2009. Thorax. vol. 64. hlm. 1-15. therapy for community acquired pneumonia. Annals of intensive care. vol. 1. hlm. 48.

Chalmers JD, Short PM, Mandal P, Akram AR, Hill AT. 2010. Statins in community acquired pneumonia: evidence from experimental and clinical studies. Respiratory Medicine. vol. 104(8). hlm. 1081-91.

Chamberlain RS, Shayota BJ, Nyberg C, Sridharan P. 2014. The utilityof procalcitonin as a biomarker to limit the duration of antibiotic therapy in adult sepsis patients. Surgical Science. vol. 5. hlm. 342-53. Chambers HF. 2001. Antimicrobial agents: Protein

synthesis inhibitors and miscellaneous antibacterial agents. In: Hardman JG, Limbird LE,

editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological

basis of therapeutics. 10th edition. McGraw-Hill.

(46)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

149

Chopra V, Flanders SA. 2009. Does statin use improve pneumonia outcomes?. Chest. vol. 136. hlm. 1381-88.

Chow CW, Moraes TJ, Downey GP. 2008. Host defenses. In: Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia:

Elsevier. hlm. 166-76.

Christ-Crain M, Mu¨ller B. 2007. Biomarkers in respiratory tract infections: diagnostic guides to antibiotic prescription, prognostic markers and mediators. Eur Respir J. vol. 30. hlm. 556–73.

Chun SK, Jessica KY, Richard MT, Rodrigo C, Sonal S, Yoon KL. 2012. Statins and associated risk of pneumonia: a systematicreview and meta-analysis of observational studies. Eur J Clin Pharmacol. vol. 68. hlm. 747–55.

Chung SD, Tsai MC, Lin HC, Kang JH. 2014. Statin use and clinical outcomes among pneumonia patients. Clin Microbiol Infect. vol. 20. hlm. 879-85.

Compos DB, Ibiapina CC. 2011. The role of macrolides in noncystic fibrosis bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation Pulmonary Medicin. vol. 4. hlm. 1-5.

Craig A, Mai J, Cai S, Jeyaseelan S. 2009. Neutrophil recruitment to the lungs during bacterial pneumonia. Infection and Immunity. vol. 77. hlm. 568-75.

Davies L, Angus RM, Calverley PM. 1999. Oral corticosteroids in patients admitted to hospital with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: a prospective randomised controlled trial. Lancet. vol. 354. Hlm. 456-60. Gazzerro P, Proto MC, Gangemi G, Malfitano AM, Ciaglia E,

(47)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

150

Ghanei M, Mehdi GZ, Majid S. 2005. Improvement of respiratory symptoms by long-term low-dose erythariomycin in sulfur mustard exposed cases: a pilot study. Journal of Medical Chemical, Biological, Radiological Defense. vol. 3. hlm. 1-9.

Goetz MB, Rhew DC, Torres A. 2005. Pyogenic bacterial pneumonia, lung abscess and empyema. In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Murray and Nadels Textbook of Respiratory Medicine. 4th ed. Philladelphia:

Elsevier Inc. hlm. 979-1032.

Groenewegen KH, Schols AM, Wouters EF. 2008. Mortality and mortality-related factors after hospitalization for acute exacerbation of COPD. Chest. vol. 124. hlm. 459-67

Gupta P, Bhatia V. 2008. Corticosteroid physiology and principles of therapy. Indian Journal of Pediatrics. vol. 75(10). Hlm. 1039-44.

Guzman C, Calleros CH, Griego LL, Montor JM. 2010. Interleukin-6: a cytokine with a pleiotropic role in the neuroimmunoendocrine network. The Open Neuroendocrinology Journal. vol. 3. hlm. 152-160. Haworth CS, Bilton D Elborn JS. 2014. Long – term

macrolide maintenance therapy in non – cf bronchiectasis : evidence and questions. Respiratory Medicine. vol. 108. hlm. 1397-1408.

Haworth CS. 2011. Antibiotics treatment strategies in adults with bronchiectasis. Eur Respir Mon. vol. 52. hlm. 211-22.

Hedlun J, Hansson LO. 2000. Procalcitonin and c-reactive protein levels in community acquired pneumonia: correlation with etiology and prognosis. Infection. vol. 28. hlm. 68-73

(48)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

151

Idriss HT, Naismith JH. 2013. TNF alpha and the TNF receptor superfamily: structure-function relationship(s). Microsc Res Tech. vol. 50(3). hlm. inflammatory cytokine production from human bronchial epithelial cells. Clinical and Experimental Immunology. vol. 168. hlm. 234-40.

Jain MK, Ridker PM. 2005. Antiinflammatory effects of statins: clinical evidence and basic mechanisms. Nature Reviews. vol. 4. hlm. 977-87.

Jenks K. 2008. Corticosteroid. editor, In: Clinical drug therapy. 6th edition.Philadelphia: Lipponcott. hlm. 352-72.

Kanoh S and Rubin BK. 2010. Mechanism of action and clinical application of macrolides as immunomodulatory medications. Clinical microbiology reviews. vol. 23(3). hlm. 590-615. Katzung B. 2006. Adenocortocosteroid and adrenocortical

antaogonis, editor. In:Basic and clinical pharmacology. 10th edition. Newyork: Mcgraw Hill. hlm. 1163-94.

Kiriyama Y, Nomura Y, Tokumitsu Y. 2002. Calcitonin gene expression induced by lipopolysaccharide in the rat pituitary. Am J Physiology Endocrinol Metab. vol. 282. hlm. 1380-4.

Kishimoto T. 2010. IL-6: from its discovery to clinical applications. International Immunology. vol. 22(5). hlm. 347-52.

(49)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

152

Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. 2008. Clinical benefits of procalcitonin. Tanaffos. vol. 7. hlm. 14-18.

Kristiansen OP, Mandrup-Poulsen T. 2005. Interleukin-6 and diabetes: the good, the bad, or the indifferent? Diabetes. Suppl. vol. 2. hlm. 114-24.

Lee H. 2013. Procalcitonin as a biomarker of infectious Diseases. Korean J Intern Med. vol. 28. hlm. 285-91.

Lentino JR and Krasnicka B. 2002. Association between initial empirical therapy and decreased length of stay among veteran patients hospitalized with community acquired pneumonia. International journal of antimicrobial agents. vol. 19(1). hlm. 61-6.

Liao JK, Laufs U. 2005. Pleiotropic effects of statins. Annu Rev Pharmacol Toxicol. vol. 45. hlm. 89-118.

Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D, Leinonen M, et al. 2001. Study of community acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults admitted to hospital: implications for management guidelines. Thorax. vol. 56. hlm. 296-301.

Lionakis M, Kontoyiannis D. 2003. Glucocorticoids and invasive fungal infections. Lancet. vol. 362. hlm. 1828-38.

Loecker ID, Preiser JC. 2012. Statins in the critically ill. Annals of Intensive Care. vol. 2. hlm. 1-12.

Lorenzo MJ, Moret I, Sarria B, Cases E, Cortijo J, Mendez R, et al. 2015. Lung inflammatory pattern and antibiotic treatment in pneumonia. Respiratory research. vol. 16. hlm. 15

Maitra A, Kumar V. The lung. 2007. In: Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell, editors.Robbin Basic Pathology. 8th ed.Philladelphia: Saunders Elsevier. hlm.

(50)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

153

Makris D, Manoulakas E, Komnos A, Papakrivou E, Tzovaras N, Hovas A, et al. 2011. Effect of pravastatin on the frequency of ventilator-associated pneumonia and on intensive care unit mortality: Open-label, randomized study. Crit Care Med. vol. 39(11). hlm. 2440-46.

Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al. 2007. Infectious diseases society of america/american thoracic societycon sensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Diseases. vol. 44. hlm. 27-72. Martinez R, Menedez R, Reyes S, Polverino E, Cilloniz C,

Martinez A, et al. 2011. Factors associated with inflammatory cytokine patterns in community-acquired pneumonia. Eur Respir J. vol. 37. hlm. 393-9.

Maruna P, Nedelkova K, Gurlich R. 2000. Physiology and genetics of procalsitonin. Physiol Res. vol. 49. hlm. 57-61.

Masakela R, Green RJ. 2012. The role of macrolides in childhood-non cystic fibrosis-related bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation

Mediators of Inflammation. hlm. 1-7.

Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla S, Navarro JC, Flores E, et al. 2005. Usefulness of procalcitonin levels in community-acquired pneumonia according to the patients outcome research team pneumonia severity index. Chest. vol. 128. hlm. 2223–9.

Mason CM, Nelson S. 2005. Pulmonary host defenses and factors predisposing to lung infection. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 11-7.

Medchrome. Mechanism of action of steroid hormones: animation. [cited April 14th2015]. Available from: http://tube.medchrome.com/2011/10/mechanis m-of-action-of-steroid-hormones.html

(51)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

154

Meijvis SCA, Hardeman H, Remmelts FH, Heijligenberg R, Rijkers GT, Velzen-Blad H, et al. 2011. Dexamethasone and length of hospital stay in patients with community-acquired pneumonia: a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet. vol. 377(9782). hlm. 2023-30.

Meijvis SCA, Van de Garde EMW, Rijkers GT, Bos WJW. 2012. Treatment with anti-inflammatory drugs in community acquired Pneumonia. J Intern Med. vol. 272. hlm. 25–35.

Meisner M. 2013. Current status of procalcitonin in the ICU. Neth J Crit Care. vol. 17(2). hlm. 4-12.

Menendez R, Torres A, Rodriguez de castro F, Zalacain R, Aspa J, Borderias L, et al. 2004. Reaching stability in community-acquired pneumonia: the effects of the severity of the disease, treatment, and the characteristics of patients. Clinical infectious diseases. vol. 39. hlm. 1783-90.

Meynaar IA, Droog W, Batstra M, Vreede R, Herbrink P. 2011. In critically ill patients, serum procalcitonin is more useful in differentiating between sepsis and SIRS than CRP, Il-6, or LBP. Critical Care Research and Practice. hlm. 1-6.

Mizgerd JP. 2008. Acute lower respiratory tract infection. N Engl J Med. vol. 358. hlm. 716-27. Chronic heart failure and risk of hospitalization with pneumonia: a population-based study. European Journal of Internal Medicine. vol. 24. hlm. 349-53.

(52)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

155

Mukaida N. 2003. Pathophysiologycal roles of interleukin-8/CXCL8 in pulmonary diseases. AJP Lung Cell Mol Physiol. vol. 284. hlm. 566-77.

Nakamura M, Kono R, Nomura S, Utsunomiya H. 2013. Procalcitonin: Mysterious Protein in Sepsis. Journal of Basic & Clinical Medicine. vol.2(1). hlm. 7-11.

Naugler EW, Karin M. 2007. The wolf in sheep’s clothing:

the role of interleukin-6 in immunity, inflammation and cancer. Trends In Molecular Medicine. vol. 12. hlm. 1-11.

Nicod LP. 2005. Lung defences: an overview. Eur Respir Rev. vol. 14. hlm. 45-50.

Novack V, Eisinger V, Frenkel A, Terblanche M, Adhikari NKJ, Douvdevani A, et al. 2009. The effects of statin therapy on inflammatory cytokines in patients with bacterial infections: a randomized double-blind placebo controlled clinical trial. Intensive Care Med. vol. 35. hlm. 1255-60.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014. Pneumonia komunitas. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. Prasetyo SE, Reviono, Suradi. 2016. Pengaruh omega 3

fatty acid terhadap kadar prokalsitonin dan perbaikan klinis pada pasien pneumonia komunitas. J Respir Indo. vol. 36, hlm. 138-46.

Purba JYL, Reviono, Suradi, Harsini, Aphridasari J. 2017. Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada penderita pneumonia. J Respir Indo. vol. 37. hlm. 75-83.

Purba JYL. 2016. Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada

(53)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

156

Ramirez SH, Heilman D, Morsey B, Potula R, Haorah J, Persidsky Y. 2008. Activation of peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) suppresses rho GTPases in human brain microvascular endothelial cells and inhibits adhesion and transendothelial migration of HIV-1 infected monocytes. J Immunol. vol. 180. hlm. 1854-65.

Reinhart K, Karzai W, Meisner M. 2000. Procalcitonin: a new marker of the systemic inflammatory response to infections. Intensive Care Med. vol. 26. hlm. glucocorticoids newmechanisms for old drugs. New England Journal of Medicine. vol. 353. hlm. 1711-23.

Rubin R. 2011. Adrenocortical hormones and drugs affecting the cortex adrenal, editor. In: Modern pharmacology with clinical application, 5th edition. Scheller J, Chalaris A, Arras DS, John SR. 2011. The pro and antiinflammatory properties of the cytokine interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta. vol. 1813. hlm. 878-88.

Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj R, Galpin JS, et al. 2005. Procalcitonin and C-reactive protein levels in HIV-positive subjects with tuberculosis and pneumonia. European Respiratory Journal. vol. 25. hlm. 688-92.

Sevilla-sanchez D, Soy-muner D, Soler-porcar N. 2010. Usefulness of macrolides as anti-inflammatories in respiratory diseases. Arch bronchoneumol. vol. 46(5). hlm. 244-54.

(54)

PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

157

Simanjutak LH. 2016. Pengaruh azitromisin dosis rendah terhadap lama waktu perbaikan klinis, kadar IL-8 dan neutrophil sputum penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2016.

Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J. 2004. Serum procalcitonin and c-reactive protein levels as marker of bacterial infection : a systematic review and meta-analysis. CID. vol. 39. hlm. 206-16.

Sing B. Pengaruh kadar prokalsitonin dan TNF-α terhadap perbaikan klinis setelah pemberian deksametason selama lima hari pada pasien pneumonia. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. FakultasKedokteran. UniversitasSebelasMaret. Surakarta. 2015.

Stancu C, Sima A. 2001. Statins: mechanism of action and effects. J Cell Mol Med. vol. 5(4). hlm. 378-87. Steel HC, Cockeran R, Anderson R, Feldman C. 2013.

Overview of community-acquired pneumonia and the role of inflammatory mechanisms in the immunopathogenesis of severe pneumococcal disease. Mediators of Inflammation. vol. 2013. hlm. 1-18.

Stellari FF, Sala A, Donofrio G, Ruscitti F, Caruso P, Topini TM, et al. 2014. Azithromycin inhibits nuclear factor-κB activation during lung inflammation: an in vivo imaging study. Pharma Res Per. vol. 2(5). hlm. 1-9.

(55)

PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

158

Surjanto E, Sutanto YS, Reviono, Harsini, Indrayati D. 2013. Perbandingan Tiga Metode Prediksi secara Retrospektif dalam Menilai Derajat Pneumonia Komunitas pada Pasien Lanjut Usia di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. vol. 33. hlm. 34-9.

Tamaoki J. 2004. The effects of macrolides on inflammatory cells. Chest. vol. 125. hlm. 41-51.

Tamariz L, Hare HM. 2010. Inflammatory cytokines in heart failure: roles in aetiology and utility as biomarkers. European Heart Journal. vol. 31. hlm. 768-770. Tong L, Tergaonkar V. 2014. Rho protein GTPases and their

interactions with NFκβ: crossroads of inflammation and matrix biology. Biosci Rep. vol. 34(3). hlm. 283-95.

Tsang KWT, Ho PI, Chan KN, Lam WK, Yuen KY, Ooi GC. 1999. A Pilot study of low-dose erythariomycin in bronchiectasis. Eur Respir J. vol. 13. hlm. 361-4.

Unger NR and Gauthier TP. 2015. Protein synthesis inhibitors. In: Whalen K, Finkel R, Panavelil TA, editors. Lippincott illustrated reviews: pharmacology. 6th edition. Walters Kluwer. hlm.

499-512.

Vanaudenaerde BM, Robin V, Meyts I, Stephanie I, Vleeschauwer D, Verleden SE, et al. 2008. Makrolide therapy target a specific phenotype in respiratory medicine: from clinical experience to basic science and back. Inflammation and allergy. Drugs Target. vol. 7. hlm. 279-87.

Verleden GM, Vanaudenaerde BM, Dupont LJ, Van Raemdonck DE. 2006. Azithromycin reduces airway neutrophilia and interleukin-8 in patients with bronchiolitis obliterans syndrome. Am J Respir Crit Care Med. vol. 174. hlm. 566-70.

Gambar

Tabel 6.13.

Referensi

Dokumen terkait