• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU AJAR

MPK SENI WAYANG

Penyusun

PRIYANTO, S.S., M.Hum DARMOKO, S.S., M.Hum

Program Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi

Universitas Indonesia

(2)

ASPEK-ASPEK SENI DALAM WAYANG

1. Asal-usul kata wayang

Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan, seperti halnya kata walu dan batu, yang berarti batu atau kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi yang dilambangkan dengan huruf w dan b pada

kata yang pertama dengan yang ke dua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut.

G.A.J Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa Melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya, bayangan,

samara-samar, remang-remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayang,

artinya bayangan, bahasa Bugis bayang atau wayang, dalam bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, atau barang atau nerawang. Semua itu berasal dari akar kata, yang, yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: layang (nglayang) = yang, dhoyong = yong, reyong = yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong, yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingan = bingung, ruwet, dari kata asal: poyang, akar kata yang.

Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong

ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, berubah, melayang, samara-samar. Kata depan wa menurut parmasastra jaman sekarang sudah tidak pernah digunakan lagi, dan tidak memberi daya atau wibawa lagi pada akar kata tadi (kata yang didahului). Seperti misalnya dalam kata wahiri yang artinya iri, bila diperbandingkan dengan kata bahiri.

(3)

menyatakan bahwa kata hyang (roh, sukma, dewa, Allah) juga berasal dari akar kata yang.

Menurut buku kamus Kawi-Bali karangan Dr, Van der Tuuk, arti Hyang sebenarnya adalah leluhur persamaannya dalam kata Jawa : heyeng (eyang),

(heyang-heyang). Mengapa Dr. Van der Tuuk memperbandingkan hyang dengan

heyang, itu menandakan bahwa kata pendahulunya (kata depan) adalah ha (h)

tidak dianggap sebagai akar kata. Dengan demikian akar kata hyang adalah yang. Akar kata yang ini, di atas sudah diberi arti = bergerak berkali-kali, simpang siur, lalu lalang, melayang. Dengan demikian kata hyang dapat diartikan yang tinggalnya tidak tetap, melayang, oleh karena itu dapat pula berarti : sukma, roh,

yang melayang, yang mengitar, jadi makna dan artinya dapat diperinci menjadi dua : pertama sukma, roh, Allah, kedua : orang yang sudah meninggal (leluhur).

Adapun kaitannya dengan akar kata yang, kalau sudah mendapat imbuhan menjadi: hyang dan wayang ; dan semuanya ini memang ada kemiripannya seperti: layangan (bayang-bayang), sukma, roh, leluhur. Tapi hal ini memang tak ada bukti yang memperkuatnya. Oleh karena wayang kulit itu menghasilkan bayangan (wayangan), maka lalu dinamakan wayang. Adapun awayang atau amayang di jaman kuna, sekarang berarti amayang atau mayang (memainkan

wayang). Lama-lama wayang jadi terbiasa menjadi nama wayang kulit. Semakin lama pula, setelah wayang kulit menjadi tontonan yang umum di masyarakat maka kata atau istilah wayang tadi dipakai pula untuk menamakan tontonan yang mirip wayang kulit purwa, seperi wayang golek, beber, gedog, wayang orang, malah sekarang ada yang menamakan wayang topeng2.

Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang yaitu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemuadian ia diterpa cahaya / sinar matahari yang mengenai badan si orang itu, maka orang itu kemudian menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang dan pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari

(4)

Terdapat pula kata yang berhubungan dengan kata ayang, yaitu ngayang.

Ngayang (Bahasa Jawa), artinya seseorang dalam keadaan melengkungkan

badannya ke belakang dengan posisi kepala melihat ke belakang ; atau hanya

sampai pada melihat dan memperhatikan langit, angkasa atau ‘atas’. Sehingga

apabila dikaitkan dengan pengertian wayang dalam konteks kata hyang, yang berarti roh melayang-layang di angkasa atau ke atas, maka kata ngayang tersebut ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang biasanya dipergunakan dalam konteks permainan maupun olah raga.

Pengertian-pengertian wayang di atas lebih berorientasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan oleh suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenai/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layer (kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di bagian depan layar dan yang kedua bayangan di balik layar. Bayangan yang terdapat di bagin depan layar terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layar dn mendekati blencong. Apabila boneka wayang tersebut di dekatkan pada blencong, maka bayangan akan membesar baik di depan atau di belakang layar.

2. Perkembangan pengertian wayang

Berdasarkan asal-usul kata, wayang dapat diartikan sebagai bayangan. Lebih dari itu apabila kita berbicara mengenai wayang maka paling tidak secara aspektual terdiri atas empat hal, yaitu wayang sebagai : 1. pertunjukan / performance, penampilan, pemanggungan; 2. boneka atau sejenisnya, yang

terbuat dari bahan kayu, kulit (kerbau) dan lain-lain ; 3. sastra dalam wujud lakon /cerita; 4. penari-penari dia atas panggung.

(5)

yang digerakkan oleh seniman/dalang, dalam bentuk boneka atau sejenisnya, pengertian ketiga, cenderung terfokus pada bahan lakon, cerita atau sastranya (sastra wayang), pengertian keempat mengacu kepada orang-orang yang menari di atas panggung yang berperan menjadi wayang (wayang orang).

Disamping wayang mempunyai pengertian sebagai bayangan (bayang-bayang), wayang secara khusus (filosofis) mempunyai pengertian lukisan atau gambaran mengenai kehidupan manusia, bagaimana perwatakannya, bentuknya, kegiatannya, lakuan, kejadiannya, sejarahnya, dan juga bagaimana hubungannya dengan Tuhan, alam semesta dan makhluk hidup lainnya, seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Secara lebih makro, wayang mempunyai pengertian lukisan atau gambaran mengenai keadaan dan kehidupan kosmos (lam semesta), baik mengenai wujud maupun isinya. Kosmos terbagi atas mikro kosmos (jagad cilik) dan makro kosmos (jagad gedhe). Mikro kosos (jagad cilik) sebagai dunia (batin) manusia sedangkan makro kosmos (jagad gedhe) sebagai dunia besar / luas yang melingkupi dunia (batin) manusia. Di dalam wayang dilukiskan bahwa alam semesta (kosmos) merupakan wujud satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak terlepaskan anatara unsur yang satu dengan yang lainnya dan selalu berhubungan. Hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya ternyata tidak selalu serasi dan harmonis, pendek kata, pada suatu saat akan terjadi kegoncangan (kelabilan). Mikro kosmos selalu mempengaruhi ; kejadian yang timbul pada dunia mako sebagai akibat dari ulah dunia mikro atau sebaliknya. Untuk mengembalikan suasana dari kelabilan menjadi keserasian biasanya dengan mengadakan upacara persembahan untuk keselamatan alam semesta. Unsur-unsur di dalam alam semesta itu berjalan dan beputar sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam ruang dan waktu tertentu. Memperhatikan hal ini, maka kosmos atau alam semesta dapat dipandang sebagai suatu susunan yang tertata rapi (tertib kosmos). Tertib di dalam makro kosmos dapat terjaga dengan baik (serasi) apabila mikro kosmos, sebagai dunia batin manusia, mengusahakan untuk selalu berbuat baik (laku beik sejtining becik) dan mengusahakan pula untuk selalu menjaga ketentraman dan keselamatan alam semesta (memayu hayuning bawana).

(6)

mengatakan bahwa, di jaman dulu yang mendalang atau memainkan wayang adalah si kepala keluarga, tempatnya di bagian rumah yang dipandang paling sesuai. Tempat tadi sampai sekarang disebut paringgitan (ringgit = wayang, paringgitan = tempat untuk wayangan). Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari konsep membuat rumah bagi oranng Jawa; bagaimana harus menempatkan fungsi-fungsi tertentu di dalam suatu tempat / ruang di dalam rumah itu. Misalnya : kata pawon (pa-awu-an) = per-abu-an, berarti bagian suatu rumah yang dipergunakan

untuk ‘memproses terjadinya abu’ ; dalam konteks tempat untuk memasak (dapur); karena ketika memasak menggunakan kayu, daun-daun dan lain-lain kemudian menghasilkan abu, maka tempat tersebut dinamakan pawon.

3. Wayang dalam karya sastra

Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang itu sendiri. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos tanah Hindu (India). Tokoh-tokoh wayang tersebut dalam karya sastra Hindu (India), terutama Ramayana dan Mahabharata memang ada perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan (kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit peubahaan (transformasi budaya).

Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukan wayang, tidak secara langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa Kuna, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang

sudah diciptakan dan digubah oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada ‘jaman Jawa baru’, seperti Kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta). Paling tidak dari dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan.

(7)

merupakan cabang-cabang dari pohon inti (batang) ; yaitu lakon yang belum dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua generasi dan belum dipentaskan oleh banyak dalang. Adapun pengertian lakon pakem terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu : lakon pakem balungan dan lakon pakem jangkep. Lakon balungan ialah lakon yang memuat seluruh / hampir seluruh unsur-unsur di dalam pertunjukan wayang, yang biasanya mempergunakan judul serat pakem tuntunan pedhalangan (sedalu muput).

Ki Siswoharsojo menulis beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan (lakon pakem) oleh para calon dalang maupun para dalang, antara lain : Wahyu Makutharama dan Wahyu Purbasejati ; Ki Nojowirongko mengubah buku pakem

pedalangan Lampahan Irawan Rabi / pernikahan Irawan (berisi mengenai patokan mendalang dan lakon pernikahan Irawan itu sendiri). Sedangkan untuk lakon balungan sebagai contoh yaitu : Pakem Ringgit Purwo Lampahan Lairipun Romo

– Brubuh Ngalengka, yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang pernah dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pethel dan Bagong sunat.

Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai sumber informasi mengenai adanya pertunjukan wayang (permainan bayang-bayang), bukan mengenai cerita atau lakon wayang itu sendiri. Sebagai contoh : di dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Mpu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur (950 Saka = XI sesudah Masehi), masa Kediri, disebutkan mengenai seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia, padahal sudah tahu bahwa yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah, kata orang ia terkena daya gaib. (R.Ng.Poerbatjaraka, 1926 : 20-21).

4. Wayang dalam prasasti dan relief candi

(8)

keterangan-keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar belakang / orientasi pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah satunya adalah menyembah dan mengagungkan dewa-dewa, seperti kepada dewa Wisnu, Brahma dan Siwa.

Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan tembaga yang ditemukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun 980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalin oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit hingga kini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang. Dengan demikian penggunaan kata ringgit untuk pengertian wayang telah sangat tua. Lebih lanjut Hazeu mengatakan lempengan berangka tahun 782 Saka yang diterbitkan dan diterangkan oleh Prof. Kern terdapat istilah juru barata. Istilah tersebut berarti orang yang memainkan teater atau dalang atau lelucon. (1979:45). Kecuali itu di dalam lempengan logam yang memuat kata kawi yang diterbitkan oleh Cohen Stuart, dibicarakan tentang juru banyol dan aringgit, abanyol. Lempengan ini berangka tahun 762 Saka. Meskipun di dalam prasasti (lempengan logam) berulang kali disebutkan kata aringgit, namun dengan menyebutkan secara berdiri sendiri, kiranya sulit untuk membuat kesimpulan.

Sementara itu ternyata sejak abad IX sesudah Masehi, sekalipun dalam keadaan yang sangat kuna, di Jawa sudah ada pertunjukan teater. Pertunjukan teater bayang-bayang tersebut diduga merupakan asal dari pertunjukan wayang yang kita kenal sekarang.

(9)

dalam relief yang tidak serupa dengan wayang Parwa di Bali. Hal ini didukung pula dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar, dikenal dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang di daerah Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah perkembangan yang terakhir.

Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya yang dekat dengan bentuk-bentuk di alam, seperti yang terdapat pada relief cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yng terdapat pada panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu anggapan yang memandang gaya realistik pada relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada relief candi-candi Jawa Timur yang lebih tua usianya.

Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk membatasi adegan-adegan dalam relief dengan menggunkan gunungan atau kayon seperti yang terdapat dalam pertunjukan wayang kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pakeliran wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan menancapkan gunungan di tengah layar. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampai pada pemilihan gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi. Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan demikian maka keterangan mengenai wayang pun dapat pula ditemukan pada prasasti dan relief candi, di samping keterangan mengenai wayang di dalam karya sastra.

5. Sekilas perkembangan bentuk pertunjukan wayang

(10)

kemerdekaan. Disamping itu Kapustakan Jawi yang ditulis oleh Prof. Dr. Poerbotjaraka di dalam pendahuluan dapat dipergunakan pula sebagai acuan menerangkan tentang latar belakang adanya wayang, meskipun di dalamnya dibahas mengenai sejarah bangsa, bahasa, sastra dan tulisan Jawa.

M.C. Ricklefs juga pernah menulis tentang Sejarah Indonesia Modern, yang menitikberatkan pada tinjauan sejarah sosial; diawali dari munculnya jaman modern (kedangan Islam) sampai Indonesia Merdeka. Adapun yang secara khusus membahas mengenai bagaimana Islam masuk dan berkembang di Indonesia, yang sedikit banyak memberikan latar belakang wayang pada jaman Islam adalah De Graaf dan TH Pegeaud dalam tulisannya Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia.

Mengenai asal-usul wayang, baik bonekanya, sastranya, maupun pertunjukannya, memang masih terus diperdebatkan. Namun ada kecenderungan para sarjana Indonesia mengikuti pendapat G.A.J. Hazeu; yang mengatakan bahwa wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut hyang. Atas dasar keterangan ini, maka periodesasi mengenai perkembangan pertunjukan wayang di Indonesia diawali dari jaman prasejarah.

5.1. Masa prasejarah

(11)

harus melukiskan bayang-bayang. Karena itulah pada perkembangannya wayang mempunyai bentuk yang unik, tidak menyamai manusia (1975:48).

Upacara pemujaan roh nenek moyang itu dilakukan pada waktu malam hari di tempat yang mereka anggap suci. Pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Syaman atau kepala keluarga yang bersangkutan. Lakonnya sendiri menceritakan tentang kepahlawanan atau petualangan nenek moyang dan dibawakan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna. Cerita ini merupakan sastra lisan yang diturunkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, tidak ada kepustakaan mengenai wayang (Hazim Amir, 1991:34).

Pendapat Hazeu yang disunting oleh Sri Mulyono dan Hazim Amir pada dasarnya menekankan perihal hubungan antara manusia sebagai makhluk yang hidup nyata dengan para roh yang hidup di alam supranatural (gaib). Jadi syaman dapat dipandang sebagai penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Mengenai bahasa yang dipergunakan dalam upacara tersebut saya kira

mempergunakan “bahasa mantra”. Hazim Amir mengatakan bahwa pertunjukan

wayang pada masa itu menggunakan bahasa Jawa Kuna, bahasa yang manakah ini ?. Padahal jaman itu adalah pra-sejarah dan apabila mempergunakan bahasa Jawa Kuna yang bersifat literer atau bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Kuna dipergunakan di dalam literature Jawa Kuna dalam bentuk prosa maupun puisi setelah bangsa Hindu masuk ke Indonesia. Bahkan sebelum bahasa Jawa Kuna berkembang terlebih dahulu tersebar karya sastra berbahasa Sansekerta baru kemudian karya sastra-karya sastra ini disadur, diterjemahkan atau disalin ke dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuna. Tentu saja ini bukan masa pra-sejarah, maka masih belum jelaslah bahasa Jawa Kuna yang dikemukakan oleh Hazim Amir itu.

5.2 Masa Hindu dan Budha

(12)

Selama periode ini wayang mengalami kemajuan yang cukup pesat. Perpustakaan wayang mulai dikenal dengan adanya kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan. Wayang mendapat bentuk-bentuk barunya. Selain itu fungsi wayang pun tidak lagi sebagai sarana yang bersifat ritual semata, tetapi jug menjadi sarana pendidikan dan komunikasi.

5.3. Masa Mataram I

Pada masa Mataram I ini cerita wayang diambil dari epos Ramayana dan Mahabharata yang diberi sifat lokal. Orang-orang Indonesia mengadopsi dewa-dewi dan pahlawan dari India yang kemudian dicampur dengan mitos kuna tradisional. Cerita-cerita pewayangan mulai ditulis secara teratur, diantaranya kitab Ramayana yang ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung pada tahun 903 Masehi dalam bahasa Jawa Kuna bercampur Sansekerta (S.Haryanto, 1988:189). Diduga bahwa penampilan pertunjukan wayang diadakan pada malam hari dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna yang bercampur bahasa Sansekerta. Wayang pada masa ini dibuat dari kulit.

Selain itu, ada hasil karya yang erat hubungannya dengan wayang, antara lain : 1). Candi Prambanan. Adanya relief cerita Ramayana yang dibuat pada dinding-dinding candi Loro Jonggrang. Pembuatannya dimulai kurang lebih pada tahun 856 M. Apa yangn dilukiskan pada dinding candi ini merupakan gambar yang polanya dibuat terlebih dahulu; 2). Adanya sebuah inskripsi batu dari jaman pemerintahan raja Dyah Balitung yang oleh Claire Holt dibaca sebagai mawayang buat Hyang atau performing (Sri Mulyono, 1975:63-68)

Apabila ditelusuri dari aspek bahasanya, memang pertunjukan wayang yang kini berkembang, masih sedikit mempergunakan bahasa Jawa Kuna dan Sansekerta. Dugaan bahwa pada masa Hindu dan Budha di Indonesia (Mataram I) pertunjukan wayang mempergunakan bahasa Jawa Kuna bercampur dengan bahasa Sansekerta ada benarnya, seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata : Om awignam astu (Sansekerta) dan teks-teks suluk pedalangan yang dipetik dari

(13)

5.4 Masa kerajaan di Jawa Timur

5.4.1 Kerajaan Kediri

Pada masa ini kepustakaan wayang semakin bertambah. Kitab-kitab yang dihasilkan antara lain : Agastyaparwa, Uttarankanda, Adiparwa dan lain-lain. Antara tahun 1157-1188, tokoh punakawan mulai dikenal. Hal ini didasarkan pada kitab pewayangan Gathotkacasraya yang ditulis Empu Panuluh. Penggambaran wayang selain dilakukan di atas kulit, juga di atas daun lontar, kulit sapi yang telah diolah dan dikeringkan (yang kemudian dikenal dengan wayang purwa), atau pada kayu pipih (kemudian dikenal sebagai wayang klithik) (Haryanto, 1988:188-189).

Selain itu terdapat juga hasil karya lain yang berhubungan erat dengan wayang pada masa itu, antara lain : candi Jago, relief-reliefnya merupakan pahatam mendatar berupa gambar-gambar cerita wayang yang menyerupai wayang purwa Bali sekarang. Juga terdapat arca punakawan : candi panataran, terdapat arca punakawan dan inye (pelayan wanita) (Haryanto, 1988:189).

5.4.2 Kerajaan Majapahit

Pada masa Majapahit, wayang mengalami masa penyempurnaan. Wayang telah diberi warna, digambarkan dalam kain sehingga tercipta wayang beber purwa dengan gamelan slendro di tahun 1361 M. (Haryanto, 1988:198-199). Kepustakaan wayang diperkaya dengan penulisan kitab-kitab Tantu Panggelaran, Korawasrama, Dewaruci dan Sudamala. Pertunjukan wayang diadakan pada malam hari, kecuali untuk cerita Murwakala, diadakan di rumah atau tempat yang dianggap keramat dengan pimpinan raja, orang sakti atau kepala keluarga dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna bercampur Sansekerta (Hazim Amir, 1991:35).

(14)

5.4.3 Masa Islam

Wayang pada masa Islam bertambah fungsinya menjadi alat dakwah, alat pendidikan dan komunikasi, sumber sastra dan budaya dan sebagai hiburan (Hazim Amir, 1991:35). Ceritanya diambil dari cerita-cerita babad yang menyerupai percampuran antara epos Ramayana dan Mahabharata versi Indonesia dengan cerita-cerita Arab atau Islam. Pertunjukan wayang dipimpin oleh dalang dan diadakan pada malam hari selama semalam suntuk dengan mempergunakan bahasa Jawa Tengahan (1476-1715) (Sri Mulyono, 1975-100).

Pertunjukan wayang memang tidak terlepas dari aspek bahasa yang dipergunakan, namun bahasa Jawa tengahan yang disajikan untuk pertunjukan wayang pada masa Islam ini belum jelas bentuknya, bahasa literer atau bahasa sehari-hari?. Menurut Poerbatjaraka bahasa Jawa tengahan tumbuh pertama kali tergamar dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Tengahan dalam bentuk prosa dan puisi (kidung). Karya sastra dalam bentuk prosa seperti : Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawasrama, Pararaton; sedangkan dalam bentuk puisi (kidung) tergambar dalam kitab : Dewaruci, Sudamala, Subrata, Panji Angreni dan Sri Tanjung (1952:170).

5.4.4 Kerajaan Demak (1478-1548)

Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama Raden Patah adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari raja sebelum Islam), yang dalam legenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina dari kraton raja Majapahit. Waktu hamil itu dihadiahkan kepada seorang nk emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Disitulah Raden Patah lahir.

(15)

dengan rupa manusia; 2). Wayang dibuat dari kulit kerbau yang ditatah halus dan diberi warna hitam putih, sedang gambar muka dibuat miring dengan tangan masih melekat pada badan serta diberi pegangan (gapit) untuk dapat ditancapkan pada batang pisang (debog) atau pada kayu yang berlubang; 3). Bentuk dan gambar dibuat serupa dengan wayang beber Majapahit dan dipisahkan satu persatu untuk dapat dijajarkan di kanan kiri dalang pada tahun 1521, bentuk wayang tersebut lebih disempurnakan lagi dengan menambah jumlahnya, sehingga dapat dipergunakan untuk pementasan cerita Ramayana maupun Mahabharata semalam suntuk dengan gamelan slendro (Haryanto, 1988:202).

Pada masa ini, wayang beber lenyap dari peredaran dan yang berkembang adalah wayang purwa. Perlengkapan pertunjukan ditambah dengan adanya wayang gunungan (kayon), ricikan (Sri Mulyono, 1975:85), baik berupa binatang-binatang, barisan prajurit (prampogan) (Haryanto, 1988:202). Adanya keterangan bahwa wayang beber telah lenyap, agaknya perlu dipertanyakan, apakah memang demikian?. Nyatanya hingga sekarang wayang beber masih ada dan lestari. Mungkin saja pada masa ini, untuk sementara waktu wayang beber tersisih dari wayang purwa, karena masyarakat lebih menggemari wayang purwa dibanding dengan wayang beber.

5.4.5 Kerajaan Pjang (1546-1586)

Perkembangan wayang pada masa kerajaan Pajang dapat tercatat, yaitu: pembuatan wayang kidang kencana, dibuat pada tahun 1556. Wayang ini lebih kecil ukurannya dibanding wayang pada umumnya. Wayang Gedog, dibuat pada tahun 1563 oleh Sunan Giri dengan cerita Panji dan memkai gamelan pelog. Kemudian pada tahun 1564 dibutlah wayang beber gedog oleh Sunan Bonang.

(16)

5.5 Masa Mataram II

Dari tahun 1586-1942 terjadi banyak perkembangan, penyempurnaan, penciptaan bentuk-bentuk baru pada wayang. Selam periode ini terjadi perubahan pada bahasa yang digunakan. Sampai dengan tahun 1745 bahasa yang dipergunakan ialah bahasa Jawa Tengahan dengan cerita babad yang bercampur dengan mitos, epos dan hikayat.

Kemudian sejak tahun 1745-1945 bahasa yang digunakan bahasa Jawa Baru dengan cerita yang diambil dari babad (Sri Mulyono, 1975:88-100). Waktu pertunjukan wayang tidak hanya dilakukan pada malam hari, tetapi juga pada siang hari. Lakon-lakon wayangpun bertambah, seperti yang terjadi pada masa Kartasura (dua gaya lakon), yaitu gaya wetan (Kanoman) dan gaya kulon (Kasepuhan) yang dipentaskan di dalam kraton. Pertunjukan wayang telah memakai tokoh punakawan Bagong (1680) (Sri Mulyono, 1975:88-100).

Disamping itu terdapat penyempurnaan pakaian wayang, tatanan rambut, pembuatan wayang-wayang baru (wayang klitik, wayang-wayang dagelan, sabrangan, kenyawandu dan lain-lain), yang mengisyaratkan adanya perhatian dan minta yang besar di kalangan istana dan budayawan kita pada masa itu terhadap wayang. Dalam periode ini fungsi wayang sebagai upacara agama telah mengalami perubahan menjadi suatu bentuk seni klasik tradisional yang mempunyai unsur : seni, kejiwaan (dakwah dan upacara agama yang bersifat magis religius), pendidikan dan komunikasi, ilmu pengetahuan dan sastra budaya, hiburan (Sri Mulyono, 1975:88-100).

5.6 Masa Kemerdekaan

(17)

sehingga wayang dapat terus mempunyai eksistensi dan diminati oleh masyarakat. Pertunjukan wayang tersebut dilakukan pada waktu malam hari maupun siang hari dan seringkali dilakukan tidak semalam suntuk (Sri Mulyono, 1975:103-108). Tema lakon yang diangkat pada pertunjukan tersebut dapat berupa tema sosial dan tidak terlalu istanasentris. Bahasa yang dipergunakan sebagai pengantar dapat berupa bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia.

Di dalam masa ini juga diciptakan bentuk-bentuk wayang baru, seperti wayang suluh, Pancasila, perjuangan (1947), wayang wahyu (1969). Wayang Sandosa (wayang berbahasa Indonesia) dan sebagainya. Fungsi wayangpun bertambah luas, disamping sebagai hiburan juga sebagai komunikasi massa, pendidikan sastra, filsafat, pendidikan kesenian, agama, dan lain-lain. (Hazim Amir, 1991:35-36).

Pada kenyataannya pertunjukan wayang dapat berisi konsep-konsep ideology, politik, sosial, budaya, hankam dan lain-lain. Pertunjukan wayang adalah pertunjukan teater yang bersifat momot kamot, artinya suatu sajian teater yang dapat memuat berbagai aspek nilai kehidupan manusia. Di jaman kemerdekaan wayang sangat erat hubungannya dengan para pendukungnya. Oleh karena itu para birokrat, seniman / dalang, sastrawan dan pendukungnya selalu berusaha untuk melestarikan, mengembangkan dan membina terhadap kebudayaan wayang ini. Demikian pentingnya fungsi dan kedudukan wayang di dalam kehidupan masyarakat, maka pertunjukan wayang pun selalu dapat hidup dan berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat pendukungnya itu.

6. Jenis-Jenis serta Unsur-Unsur Pertunjukan Wayang di Indonesia

(18)

penyebarannya) Wayang betawi, wayang cirebon, wayang jawa timuran, wayang sasak, wayang bali, wayang banjar. (4)Bunyi (musik) pengiringnya, meliputi wayang cekdong/dakdong, wayang jemblung, wayang kentrung. (5) Bentuk pertunjukkan, meliputi wayang beber, wayang topeng. Wayang cirebon, wayang jawa timuran, wayang sasak, wayang bali, wayang banjar.(6) Fungsi, meliputi wayang suluh, wayang dakwah. (7) bunyi benturan boneka wayang meliputi wayang klitik/krucil.

Kemudian pendukung seni pertunjukkan wayang, ini terdiri paling tidak 4 unsur, yaitu dalang, niyaga, pesinden dan wiraswara. Sedangkan perlengkapan seni pertunjukan wayang dapat terdiri dari wayang, kelir, blencong, debog, kotak wayang, cempala, kepyak, dan gamelan.

7. Seni Gerak dalam Pertunjukan Wayang

Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan. Dalam seni gerak wayang dikandung aturan-aturan, norma-norma atau wewaton yang merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang ketika menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam pertunjukan wayang adalah udanegara. Udanegara yaitu tatacara bertutur kata, bersikap, dan bertingkah laku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang didalamnya dikandung etika dan estetika. Yang dimaksud dengan gerak wayang meliputi, antara lain: menyembah, berjalan, berlari, menari, terbang, dan perang. Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua muda (usia), klasifikasi, dan wanda tokoh-tokah wayang. Dalam seni gerak memperhatikan juga prinsip wiraga (benar dan tepatnya action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya

penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama dalam gerak).

8. Seni Musik dalam Pertunjukan Wayang

(19)

dilakukan oleh tokoh-tokoh wayang, ekspresi perasaan batin, seperti: kemarahan, keharuan, kesedihan, kecintaan, keagungan, kekacauan, keheningan.

8.1 Vokal dan Instrumen

Musik dibagi menjadi dua, yaitu musik vokal dan musik instrumen. Pembagian ini berdasarkan pada alat yang menghasilkan suara. Musik vokal dihasilkan oleh mulut dan musik instrumen dihasilkan oleh alat yang diciptakan manusia dari berbagai bahan.

8.2 Notasi

Pada dasarnya notasi terbagi menjadi dua, yaitu diatonis dan pentatonis. Notasi diatonis yaitu satu titian/susunan nada terdiri dari 7 nada pokok, ialah 1 2 3 4 5 6 7 (do re mi fa sol la si) sedangkan notasi pentatonis terdiri dari nada slendro dan pelog; yaitu satu titian/susunan nada terdiri dari 5 nada pokok, ialah 1 2 3 5 6 (siji loro telu lima enem disingkat ji ro lu ma nem (slendro dan pelog) ditambah 7 2 3 5 6 (pelog barang).

8.3 Gending

Komposisi musik tradisional yang mengandung aspek nada dan irama tertentu. Gamelan nusantara yang dimiliki oleh masing masing etnik memiliki konvensi penulisan dan komposisi berbeda. Jawa menuliskan untuk slendro dan pelog 1 2 3 5 6 (ji ro lu ma nem) meskipun sama lambang tetapi berbeda intensitas bunyinya. Satu varian susunan nada pelog barang 7 2 3 5 6 (pi(tu) ro lu ma nem)

8.4 Komposisi lancaran

(20)

8.5 Komposisi Ladrang dan Ketawang

Ladrang: komposisi musik tradisional yang biasanya terdiri dari 2 baris dan 32 ketukan; ditandai pukulan instrumen kenong ketukan ke-8, 16, 24, dan 32; pukulan kempul ketukan ke-12, 20, dan 28; pukulan gong ketukan ke-32.

Ketawang: komposisi musik tradisional yang biasanya terdiri dari 16 ketukan, pukulan kenong ketukan ke-8, pukukan kempul ketukan ke-12, dan pukulan gong ketukan ke-16.

8.6 Komposisi gending

Komposisi musik tradisional yang terdiri dari 64 ketukan. Ditandai oleh pukulan kenong ketukan ke-16, 32, 48, dan 64; tidak ada pukuklan kempul (kecuali sudah minggah/ ciblon), dan pukulan gong ketukan ke-64. Komposisi ketawang gending terdiri dari 2 baris dan 32 ketukan; ditandai pukukan kenong ketukan ke-16, 32; pukulan gong ketukan ke-32.

8.7 Komposisi Ayak-ayak

Komposisi ini agak unik, masing-masing orientasi gagrag memiliki komposisi masing-masing. Gagrag Surakarta berbeda dengan Yogyakarta dan Banyumas. Ditandai dengan irama yang lamban. Sedangkan komposisi srepeg ditandai irama yang sedang, dan komposisi sampak ditandai dengan irama yang cepat. Masing-masing gending tersebut terbagi atas beberapa pathet (nada dasar).

8.8 Pathet atau “nada dasar”

Setiap adegan dalam wayang diiringi musik yang memiliki pathet (“nada

dasar”) tertentu. Untuk slendro terdiri dari slendro pathet nem, slendro pathet sanga, dan slendro pathet manyura. Sedangkan untuk nada pelog terdiri dari pelog pathet lima, pelog pathet nem, pelog pathet nyamat, dan pelog pathet barang. Pelog pathet barang merupakan varian baru dari nada pelog.

8.9 Gamelan Tumbuk Nem

(21)

slendro sama tingginya (intensitas bunyinya) degan nada enam pada nada pelog. Namun demikian ada pula yang tumbuk lima. Nada 5 pada slendro sama dengan nada 5 pada nada pelog.

8.10 Seni Vokal

Seni vokal biasa diproduksi oleh dalang (pemain wayang), pesinden (penyanyi wanita), wiraswara (penyanyi laki-laki), maupun nayaga (pemusik). Sulukan, janturan, pocapan, carita kombangan, dialog diproduksi oleh dalang. Gerongan dan tembang biasanya dilantunkan oleh wiraswara, sindenan dilantunkan oleh pesinden. Di dalam seni sastra menyatu dengan aspek-aspek yang dilantunkan oleh dramatis personae tersebut.

9. Seni Drama dalam Pertunjukan Wayang

Seni drama dalam pertunjukkan wayang lebih menekankan pada pembelajaran penguasaan dialog, tinggi rendah suara, dan penguasaan karakteristik tokoh.

10. Seni Sastra dalam Pertunjukan Wayang

Sastra merupakan bahasa yang indah hasil karya manusia. Rakitan kata, frase, dan kalimat, tersusun sedemikian rupa sehingga memiliki nilai seni tinggi. Baik naratif maupun puisi dikandung nilai seni yang tinggi. Pilihan kata dalam struktur tertentu (wangsalan, parikan, purwakanthi, dsb) menjadi modal para dramatis personae untuk diekspresikan ke dalam bentuk seni bersama instrumen.

(22)

11. Seni Rupa dalam Pertunjukkan Wayang

Seni rupa dalam wayang dikenal dengan istilah wanda. Wanda pada seni kriya wayang (kulit maupun kayu) yakni pengejawantahan wujud dari prejengan dan karakter dasar pada kondisi mental dan lingkungan tertentu. Wanda merupakan manifestasi dari kecanggihan seni rupa wayang sebagai unsur pendukung utama dari drama pementasan.

Pengejawantahan wujud dari prejengan dan karakter dasar pada kondisi mental dan lingkungan tertentu. Wujud visual boneka salah satu aspek yang diperhatikan seniman sebagai titik tolak menggerakkan wayangnya. Gathutkaca=guntur, gelap, kilat, thathit.

Arjuna=jimat, mangu Kresna=botoh, rondhon

Daftar Pustaka

Amir Hazim, 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Darmoko, 1996. Wayang, Bentuk, Isi dan Nilainya. Depok: Fakultas Sastra UI. ---, 1996. Gendhing-Gendhing Jawa. Depok: Fakultas Sastra UI.

---, 2004. Seni Gerak Dalam Pertunjukan Wayang : Tinjauan Etika Dan Estetika. Makara, Sosial Humaniora.

---, 2006. Kresna dan Bharatayuda pun Terjadi. Bogor: Akademia. Senawangi, 2000. Ensiklopedi Wayang.

Groenendael, Victoria M. Clara Van, 1987. Dalang Dibalik Wayang. Jakarta: Grafiti-Pers.

Guritno, Pandan, 1978. Wayang Kebudayaan Indonesia danPancasila. Jakarta: UI Pers.

Hardjowirogo, 1982. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Pradya Paramita.

Marto Sedono, Amir, 1993. Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya. Semarang: Dahana Prize.

Mulyono, Sri, 1989. Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung.

Sagio dan Samsugi, 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: Haji Masagung.

Sedyawati, Edi, 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Soejanto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahana Prize.

Soekmono, R, 1991. Sejarah Kebudayaan Indonesia (1), (2), (3). Yogyakarta: Kanisius.

(23)

Wibisono Singgih, 1983. Wayang Sebagai Sarana Komunikasi dalam Seni dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan contoh sederhana dari dalihan na tolu ini nenek moyang suku bangsa Batak Toba melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun keluarga tidak

Ada tuntutan dalam masyarakat bahwa sastra haruslah dapat menjadi sarana pembelajaran moral dan pekerti un- tuk dapat dinilai sebagai karya sastra yang baik.Timbulnya banyak

In der Umfrage mussten die jungen Erwachsenen, die entweder noch studieren, mindestens 1 Jahr studiert haben oder die schon arbeiten, anklicken ob sie die Germanismen auf der

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif untuk mengetahui pengaruh minat, kemandirian, dan sumber belajar terhadap prestasi belajar siswa

Melihat kenyataan bahwa kebudayaan yang ada di Indonesia sangatlah banyak ragamnya, maka cerita rakyat yang dipilih adalah berasal dari kota Surabaya, yaitu Sura dan

Jika nilai b 1 yang merupakan koefisien regresi dari Strategi Promosi sebesar 0,152 yang artinya mempunyai pengaruh positif terhadap variabel dependen mempunyai

Karena GFR (glomerulo filtration rate) atau kecepatan filtrasi glomerulus yang tinggi sehingga walaupun hanya sedikit molekul protein plasma (misalnya